DISHARMONIS PENGHUNI PADA RUMAH SUSUN
SEDERHANA SEWA (RUSUNAWA)
DI KOTA TEBING TINGGI
SKRIPSI
Diajukan oleh:
ARIS PRASETYO
100901038
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (RuSuNaWa) yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum diperuntukkan dalam penyediaan hunian atau tempat tinggal layak huni dengan tarif sewa yang murah, bagi para keluarga berpenghasilan rendah agar bisa memperoleh hunian. Pengoperasian hunian RuSuNaWa itu sendiri telah berjalan dalam kurun waktu lima tahun. Selama dalam proses pengelolaan RuSuNaWa, pastinya para penghuni yang ada di rusunawa berasal dari berbagai macam latar belakang yang berbeda dan akhinya menetap menjadi satu tempat di RuSuNaWa. Pengelola dan penghuni selama berada di hunian RuSuNaWa tidak terlepas dari suatu interaksi sosial antar penghuni lainnya dan beberapa permasalahan yang ditimbulkan di lingkungan huniannya. Adanya tindakan-tindakan yang dilakukan para penghuni bersifat tidak sesuai dengan aturan yang berlaku di hunian tersebut. Kondisi disharmonis melekat pada para penghuni RuSuNaWa. Rumusan masalah dalam pnelitian ini adalah bagaimana ketidakharmonisan antar penghuni dan pengelola RuSuNaWa di Kota Tebing Tinggi. Manfaat penelitian ini diharapkan nantinya dapat menambah wawasan kajian ilmiah yang berkaitan dengan interaksi sosial sosial yang bersifat disharmonis serta memberikan manfaat untuk memahami permasalahan-permasalahan sosiologis yang muncul di masyarakat
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah para penghuni dan pengelola rumah susun sederhana sewa (RuSuNaWa) Kota Tebing Tinggi. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang didapat dari hasil observasi, wawancara mendalam, dan diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di hunian RuSuNaWa didiami oleh berbagai individu dengan latar belakang yang beragam mempengaruhi bagaimana cara para penghuni yang satu dengan yang lainnya saling berinteraksi. Interaksi sosial yang terjadi di hunian RuSuNaWa menghasilkan hubungan yang disharmonis, perlu diketahui bahwa sering terjadi konflik antar penghuni serta dengan pengelola RuSuNaWa itu sendiri. Konflik yang terjadi bisa dengan tetangga huniannya ataupun dalam satu blok hunian yang sama. Karakteristik dua unit blok hunian rusunawa juga saling berbeda, kecenderungan timbal balik antara hunian di blok a dan b terjadi, pada hunian blok a memiliki karakter para penghuni yang taat aturan, mempunyai sikap menghormati dengan para tetangga hunian serta memiliki kondisi lingkungan yang nyaman dan bersih. Hal sangat berbeda dialami oleh hunian yang berada di blok b memiliki karakter dimana para penghuninya sering terlibat dalam keributan, suka melanggar aturan yang telah ditetapkan, tidak jarang meraka para penghuni juga melawan pihak pengelola dalam hal pembayaran kewajiban mereka yang harusnya ditaati dan kesadaran akan menciptakan lingkungan hunian yang nyaman dan bersih pada hunian blok b tidak tercipta melainkan kesan negatif selalu ada melekat di hunian blok b. Pihak pengelola membandingkan kedua blok tersebut seperti siang dan malam.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT, atas segala limpahan rahmad dan hidayahn-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Disharmonis Penghuni Pada Rumah Susun Sederhana Sewa (RuSuNaWa) Di Kota Tebing Tinggi” disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Secara ringkas skripsi ini mendeskripsikan tentang bagaimana kondisi disharmonis yang
dihadapi oleh para penghuni serta pengelola rumah susun sederhana sewa dalam kesehariannya menjalani aktivitas di hunian tersebut.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak
skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik berupa ide, semangat, doa, bantuan moril maupun materil
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada kedua orangtua
tercinta Ayah saya Walimin dan Ibu saya Yuliani yang telah melahirkan dan membesarkan serta mendidik penulis dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Akhirnya inilah yang dapat saya berikan sebagai tanda ucapan terimakasih dan
tanda bakti saya.
Dalam penulisan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara serta selaku dosen wali saya sejak tahun 2014.
2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku ketua Departemen Sosiologi FISIP USU dan dosen pembimbing skripsi yang telah banyak mencurahkan waktu, tenaga, ide-ide dan pemikiran dalam membimbing penulis dari
awal hingga penyelesaian penulisan skripsi ini.
3. Drs. Muba Simanihuruk, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi FISIP
USU dan dosen penguji skripsi yang telah bersedia menjadi penguji skripsi ini serta telah memberikan masukan-masukan dalam perbaikan skripsi ini. 4. Bapak Drs. Terang Kita Brahmana dan Ibu Dra. Rosmiani, M.A selaku
dosen wali penulis sejak tahun 2010 hingga 2015 yang telah memberi pelajaran dan arahan selama perkuliahan berlangsung hingga saat ini. 5. Segenap dosen, staff, dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Sumatera Utara. Kak Fenni Khairifa dan Kak Betty yang telah cukup banyak membantu penulis selama masa perkuliahan
dalam hal administrasi.
6. Bapak Walimin dan Ibu Yuliani yang saya sayangi, yang telah mencurahkan kasih sayangnya tiada terhingga dan tiada batasnya kepada
saya, selalu memberikan doa dan nasehat, dan mendidik saya serta dukungan moril maupun materil kepada saya selama perkuliahan.
8. Sahabat-sahabat baik saya waktu SMA yang telah memberikan semangat
suka maupun duka, Kiki, Hariz Handyka, Hendy, Danny, Yudi, Juvan, Fauzi.
9. Saudara-saudara dan sahabat-sahabat baik penulis yang senantiasa bekerja sama selama perkuliahan dan telah menjalani periode kepengurusan IMASI 2013-2014: Hilal (Sos 10), Aditya (Sos 10), Alaudin (Sos 10),
Rahmadsyah (Sos10), Mulkan (Sos10), Fahmi (Sos10), Yoga (Sos 10) dan lainnya yang selalu memberi dukungan dan doanya.
10.Teman-teman PKL: Yamin (Sos 10), Johan (Sos 10), Tri Quari (Sos 10), Hening (Sos 10), Sempati (Sos 10), Hivo (Sos 10), Sonya (Sos 10), Natalia (Sos 10) dan yang lainnya yang telah memberi warna baru kepada saya
selama perkuliahan dengan semua canda dan tawa yang ada.
11.Teman-teman Sosiologi 2010, Sugianto (Sos 10), Yuni (Sos 10), Rida (Sos 10), Yati (Sos 10), Syarifah (Sos 10), Dewi (Sos 10), Afriyani (Sos 10),
Nurly (Sos 10), Feni (Sos 10), Ricky (Sos 10), Prayugo (Sos 10), Habib (Sos 10), Rifqi (Sos 10), Imam (Sos 10), Nurma (Sos 10).
12.Juliah Karolia Pinayungan (Sos 10) dan Septiana Putri Lubis (Sos 10), atas perhatian, dukungan, waktu, motivasi yang diberikan kepada penulis hingga penulis dapat menyelesaikan penelitian.
13.Bapak dan Ibu penghuni serta para pengelola hunian rusunawa yang telah memberikan informasi yang sangat dibutuhkan dalam penulisan skripsi
Penulis merasa bahwa dalam penulisan skripsi masih terdapat berbagai
kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi perbaikan tulisan ini.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, harapan saya agar tulisan ini dapat berguna bagi pembacanya, dan akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu
penulisan skripsi ini.
Medan, Juni 2015 (Penulis)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9
2.1 Interaksi Sosial ... 9
2.1.1 Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Dalam Interaksi Sosial ... 13
2.1.2 Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial ... 14
2.2 Konsep Prilaku Menyimpang Dalam Masyarakat ... 18
2.2.1 Teori Labeling (Pemberian Cap) ... 22
2.3 Habitus dan Lingkungan (habit and field) ... 23
2.4 Modernitas dan Identitas Pada Masyarakat Berisiko ... 28
2.5 Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa ... 29
BAB III METODE PENELITIAN ... 36
3.1 Jenis Penelitian ... 36
3.2 Lokasi Penelitian ... 36
3.3 Unit Analisis dan Informan ... 37
3.3.1 Unit Analisis ... 37
3.3.2 Informan ... 37
3.3.3 Karakteristik Informan ... 38
3.4 Tehnik Pengumpulan Data ... 38
3.4.1 Teknik Pengumpulan Data Primer ... 38
3.4.2 Teknik Pengumpulan Data Sekunder ... 39
3.5 Interpretasi Data ... 40
3.6 Jadwal Kegiatan ... 40
3.7 Keterbatasan Penelitian ... 41
BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA ... 42
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 42
4.1.1 Keadaan Geografis Kelurahan ... 42
4.1.2 Luas Wilayah Kelurahan Menurut Penggunaanya ... 43
4.1.3 Sarana dan Prasarana Kelurahan ... 43
4.1.3.1 Sarana Kesehatan ... 43
4.1.3.2 Sarana Pendidikan ... 44
4.1.3.3 Sarana Peribadatan ... 44
4.1.3.4 Sarana Transportasi dan Komunikasi ... 45
4.1.3.6 Sarana Olahraga ... 46
4.1.4 Keadaan Penduduk di Tebing Tinggi ... 46
4.1.4.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin . 46 4.1.4.2Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan 47 4.1.4.3 Komposisi Penduduk RuSuNaWa Berdasarkan Suku Bangsa ... 47
4.1.4.4Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 48
4.1.4.5Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 48
4.1.5 Ekonomi Masyarakat ... 49
4.1.5.1 Jumlah Pengangguran di Kelurahan Tebing Tinggi... 49
4.1.5.2 Kemiskinan di Kelurahan Tebing Tinggi ... 50
4.1.6 Deskripsi Hunian RuSuNaWa ... 51
4.1.6.1 Keadaan Geografis Hunian RuSuNaWa ... 51
4.1.6.2 Luas Wilayah RuSuNaWa Berdasarkan Penggunaan ... 52
4.1.7 Sarana di Hunian RuSuNaWa ... 52
4.1.8 Keadaan Penduduk di RuSuNaWa Kota Tebing Tinggi 53 4.1.8.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin . 53 4.1.8.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 53
4.1.8.3 Komposisi Penduduk RuSuNaWa Berdasarkan Etnis dan Suku Bangsa ... 54
Tingkat Pendidikan ... 54
4.1.8.5 Komposisi Penduduk RuSuNaWa Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 55
4.2 Profil Informan ... 56 4.3 Kondisi Sosial di Hunian RuSuNaWa Kota Tebing Tinggi . 69 4.3.1Kehidupan di RuSuNaWa dan Hunian Sebelumnya ... 70
4.3.2Masyarakat Luar Memberi Label Adanya
Keberadaan RuSuNaWa ... 72
4.3.3 Rasa Aman Dan Nyaman Yang Diperoleh Penghuni .. 76 4.4 RuSuNaWa Blok A dan Blok B ... 80 4.4.1 Satu Tempat Hunian RuSuNaWa Berbeda Kondisi .... 80
4.4.2 Hubungan Keterikatan Di Antara Para Penghuni
Dalam Kesehariannya ... 88 4.5 Interaksi Sosial Yang Terjalin di RuSuNaWa ... 92
4.5.1 Proses Interaksi Dengan Para Penghuni Bersifat
Disharmonis ... 93
4.5.2 Interaksi Penghuni Dengan Pengelola RuSuNaWa
Bersifat Disharmonis ... 99 4.5.3 Kegiatan Sosial Yang Dilakukan Penghuni RuSuNaWa 107
4.6 Bentuk Interaksi Yang Mempererat Hubungan Di Antara Para Penghuni ... 111
4.7 Bentuk Interaksi Yang Merusak Hubungan Diantara
Para Penghuni ... 124
4.7.1 Persaingan Antar Penghuni ... 124
4.7.2 Kontravensi Dalam Mencapai Tujuan ... 126
4.7.3 Pertentangan Antar Penghuni RuSuNaWa ... 127
4.7 Faktor Hambatan Dalam Interaksi Sosial Sesama Penghuni RuSuNaWa ... 128
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 131
5.1 Kesimpulan ... 131
5.2 Saran ... 133
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Batas Wilayah Kota Tebing Tinggi ... 1
Tabel 1.2 Presentase Perseberan Penduduk Kota Tebing Tinggi ... 2
Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan ... 40
Tabel 4.1 Sarana Kesehatan Kelurahan Tebing Tinggi ... 44
Tabel 4.2 Sarana Pendidikan Kelurahan Tebing Tinggi ... 44
Tabel 4.3Sarana Peribadatan Kelurahan Tebing Tinggi ... 45
Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 46
Tabel 4.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 47
Tabel 4.6 Komposisi Penduduk Berdasarkan Etnis dan Suku Bangsa ... 48
Tabel 4.7 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 48
Tabel 4.8 Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 49
Tabel 4.9 Jumlah Pengangguran Kelurahan Tebing Tinggi... 50
Tabel 4.10 Jumlah Keluarga Miskin Kelurahan Tebing Tinggi ... 50
Tabel 4.11 Sarana di Hunian RuSuNaWa ... 52
Tabel 4.12 Jumlah Penduduk RuSuNaWa Berdasarkan Jenis Kelamin ... 53
Tabel 4.13 Komposisi Penduduk RuSuNaWa Berdasarkan Agama ... 53
Tabel 4.14 Komposisi Penduduk RuSuNaWa Berdasarkan Etnis dan Suku Bangsa ... 54
Tabel 4.15 Tingkat Pendidikan Penduduk RuSuNaWa Tebing Tinggi ... 55
ABSTRAK
Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (RuSuNaWa) yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum diperuntukkan dalam penyediaan hunian atau tempat tinggal layak huni dengan tarif sewa yang murah, bagi para keluarga berpenghasilan rendah agar bisa memperoleh hunian. Pengoperasian hunian RuSuNaWa itu sendiri telah berjalan dalam kurun waktu lima tahun. Selama dalam proses pengelolaan RuSuNaWa, pastinya para penghuni yang ada di rusunawa berasal dari berbagai macam latar belakang yang berbeda dan akhinya menetap menjadi satu tempat di RuSuNaWa. Pengelola dan penghuni selama berada di hunian RuSuNaWa tidak terlepas dari suatu interaksi sosial antar penghuni lainnya dan beberapa permasalahan yang ditimbulkan di lingkungan huniannya. Adanya tindakan-tindakan yang dilakukan para penghuni bersifat tidak sesuai dengan aturan yang berlaku di hunian tersebut. Kondisi disharmonis melekat pada para penghuni RuSuNaWa. Rumusan masalah dalam pnelitian ini adalah bagaimana ketidakharmonisan antar penghuni dan pengelola RuSuNaWa di Kota Tebing Tinggi. Manfaat penelitian ini diharapkan nantinya dapat menambah wawasan kajian ilmiah yang berkaitan dengan interaksi sosial sosial yang bersifat disharmonis serta memberikan manfaat untuk memahami permasalahan-permasalahan sosiologis yang muncul di masyarakat
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah para penghuni dan pengelola rumah susun sederhana sewa (RuSuNaWa) Kota Tebing Tinggi. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang didapat dari hasil observasi, wawancara mendalam, dan diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di hunian RuSuNaWa didiami oleh berbagai individu dengan latar belakang yang beragam mempengaruhi bagaimana cara para penghuni yang satu dengan yang lainnya saling berinteraksi. Interaksi sosial yang terjadi di hunian RuSuNaWa menghasilkan hubungan yang disharmonis, perlu diketahui bahwa sering terjadi konflik antar penghuni serta dengan pengelola RuSuNaWa itu sendiri. Konflik yang terjadi bisa dengan tetangga huniannya ataupun dalam satu blok hunian yang sama. Karakteristik dua unit blok hunian rusunawa juga saling berbeda, kecenderungan timbal balik antara hunian di blok a dan b terjadi, pada hunian blok a memiliki karakter para penghuni yang taat aturan, mempunyai sikap menghormati dengan para tetangga hunian serta memiliki kondisi lingkungan yang nyaman dan bersih. Hal sangat berbeda dialami oleh hunian yang berada di blok b memiliki karakter dimana para penghuninya sering terlibat dalam keributan, suka melanggar aturan yang telah ditetapkan, tidak jarang meraka para penghuni juga melawan pihak pengelola dalam hal pembayaran kewajiban mereka yang harusnya ditaati dan kesadaran akan menciptakan lingkungan hunian yang nyaman dan bersih pada hunian blok b tidak tercipta melainkan kesan negatif selalu ada melekat di hunian blok b. Pihak pengelola membandingkan kedua blok tersebut seperti siang dan malam.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota Tebing Tinggi adalah adalah satu dari tujuh kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara, yang berjarak sekitar 78 kilometer dari Kota Medan. Kota Tebing
Tinggi terletak pada 3°19’-3°21’ LU dan 98°11’-98°21’ BT. Kota Tebing Tinggi terdiri dari 5 kecamatan dan 35 kelurahan dengan luas wilayah 38.438 km2.
Kecamatan Padang Hilir merupakan kecamatan yang terluas dengan luas 11.441 km2 atau 29,76% dari luas Kota Tebing Tinggi. Batas wilaya
Tabel 1.1 Batas Wilayah Kota Tebing Tinggi
Bagian Wilayah
Sebelah Utara PTPN III Kebun Rambutan, Kabupaten Serdang Bedagai
Sebelah Timur PT. Socfindo Kebun Tanah Besih, Kabupaten Serdang Bedagai
Sebelah Selatan PTPN IV Kebun Pabatu , Kabupaten Serdang Bedagai
Sebelah Barat PTPN III Kebun G
unung Pamela Bandar Bejambu , Kabupaten Serdang Bedagai
Sumber: Data BPS Kota Tebing Tinggi 2012
Berdasarkan Data BPS Kota Tebing Tinggi, pada pertengahan tahun 2011 jumlah penduduk Kota Tebing Tinggi sebanyak 146.606 jiwa dengan jumlah rumah tangga sebanyak 35.232 rumah tangga. Dengan luas wilayah Kota Tebing
Tabel 1.2 Presentase Perseberan Penduduk Kota Tebing Tinggi
Wilayah Penduduk (jiwa) Presentase (%)
Kecamatan Bajenis 33.411,50 jiwa 22,79%
Kecamatan Rambutan 31.798,84 jiwa 21,69%
Kecamatan Padang Hilir 30.318,12 jiwa 20,68%
Kecamatan Padang Hulu 26.975,50 jiwa 18,40%
Kecamatan Tebing Tinggi Kota 24.102,02 jiwa 16,44%
Jumlah penduduk 146.606 jiwa 100%
Sumber: Data BPS Kota Tebing Tinggi 2011
Di tahun 2011 di Kota Tebing Tinggi terdapat 36.171 keluarga yang terdiri
dari 313 Keluarga Pra Sejahtera dan 35.858 Keluarga Sejahtera. Keluarga Sejahtera terdiri dari 7.301 Keluarga Sejahtera I, 11.993 Keluarga Sejatera II, dan 14.192 Keluarga Sejahtera III, dan 2.372 Keluarga Sejahtera III+. Hal ini
mengindikasikan bahwa ada 0,86% keluarga di Kota Tebing Tinggi yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pengajaran dan agama sedangkan untuk keluarga yang sudah dapat
memenuhi kebutuhan dasar minimal ada 99,13%. Di tahun 2008 terdapat 23.070 penduduk miskin, di tahun 2009 terdapat 25.030 penduduk miskin, dan tahun
2010 18.900 jiwa.
Wilayah perkotaan dengan kompleksitas segala permasalahan yang ada, seperti halnya jumlah penduduk yang mendiami wilayah perkotaan semakin
bertambah seiring waktu. Secara umum masyarakat berlomba-lomba untuk datang ke wilayah perkotaan untuk memperoleh suatu profesi pekerjaan untuk memenuhi
urbanisasi ini yaitu berlebihnya jumlah penduduk yang mendiami suatu wilayah
tertentu sehingga menciptakan suatu permasalahan baru di masa mendatang. Dengan luas wilayah lahan yang terbatas serta wilayah yang dijadikan
sentral kegiatan perekonomian menciptakan suatu kelangkaan suatu lahan yang membuat harga lahan manjadi melambung tinggi. Harga lahan yang tinggi akan menjadikan masyarakat merasa sulit untuk memperolehnya dikarenakan tidak
semua warga masyarakat memiliki perekonomian yang memadai. Selain langka dan mahalnya harga lahan/tanah di wilayah kota untuk pembangunan perumahan,
beberapa permasalahan mendasar berupa: beban biaya yang tinggi dalam pengurusan proses perizinan (izin pemanfaatan ruang, lokasi, sertifikasi tanah dan mendirikan bangunan), beban pajak, keterbatasan sarana prasarana dan utilitas
(PSU). Perlu diingat bahwa kebutuhan mendasar manusia memiliki tiga aspek yaitu: pangan, sandang dan papan. Kebutuhan dasar tersebut harus dipenuhi bagi setiap manusia dan terlepas dari kebutuhan yang lainnya setelah kebutuhan dasar
terpenuhi terlebih dahulu.
Kecenderungan yang ada saat ini bahwa di wilayah kota memiliki
permukiman kumuh (Slum Area) yang biasanya berada pada daerah aliran sungai (DAS), jalur rel kereta api, dan lainnya. Hal tersebut diakibatkan oleh ketidakmampuan masyarakat untuk memiliki hunian berupa rumah yang memiliki
harga yang relatif tinggi, sehingga masyarakat menengah kebawah (miskin) tidak sanggup memenuhi kebutuhan papan yang layak huni. Dengan adanya kawasan
kejahatan. Terlebih lagi bahwa pendirian bangunan tanpa izin dari pihak terkait
merupakan contoh dari tindakan melanggar hukum.
Pemerintah dalam hal ini berperan mensejahterakan masyarakat, berupaya
memberikan program terbaik untuk menyelesaikan suatu masalah. Salah satunya yaitu memenuhi kebutuhan dasar setiap individu yaitu pemenuhan kebutuhan papan yaitu hunian (rumah). Untuk mendekatkan kembali masyarakat
berpenghasilan menengah ke bawah ke pusat aktivitas kesehariannya dan mencegah tumbuhnya kawasan kumuh (Slum Area) di perkotaan, maka direncanakan suatu pembangunan hunian secara vertikal berupa rumah susun
(Flat). Dengan intensitas bangunan tinggi, diharapkan dapat mendorong pemanfaatan lahan lebih efisien dan efektif.
Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (RUSUNAWA) ini dapat mempercepat pemenuhan kebutuhan rumah layak huni yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), peningkatan efisiensi penggunaan
tanah sesuai peruntukan tata ruang, serta meningkatkan daya tampung, mobilitas, produktivitas, dan daya saing kota. Salah satunya pembangunan RUSUNAWA di
Kota Tebing Tinggi yang beralamat lengkap pada Jl. Syech Beringin, Kelurahan Tebing Tinggi, Kecamatan Padang Hilir. Sejak tahun 2010 RUSUNAWA tersebut telah beroperasi dan ditujukan untuk ditempati oleh masyarakat berpenghasilan
rendah (MBR) sebanyak 192 kepala keluarga. Bangunan terdiri dari 2 blok dan 5 lantai. Tipe RUSUNAWA adalah tipe 24 yang terdiri dari 1 kamar, ruang tamu,
Berdasarkan keadaan nyata dilapangan, bahwa saat ini rumah susun
sederhana sewa (RUSUNAWA) yang semula bisa dihuni oleh 192 kepala keluarga sekarang kondisinya hanya bisa dihuni sebanyak 172 kepala keluarga.
Hal ini disebabkan sekitar 20 kamar hunian mengalami kerusakan akibat dari kesalahan penggunaan. Penghuni RUSUNAWA tidak memperdulikan kondisi lingkungan huniannya, minim akan perawatan. Hal ini bisa dilihat dari lingkungan
hunian yang tampak kumuh, kotor dan tidak nyaman. Disisi lain juga penghuni memiliki budaya sosial yang terkesan individualis, tidak peduli dengan sekitar dan
kurang harmonis antar penghuni yang mendiami lingkungan hunian tersebut. RUSUNAWA dihuni oleh masyarakat yang memiliki berbagai karakter latar belakang pendidikan, kebudayaan, agama, etnis, ras yang berbeda sehingga
akan memaksa penghuni yang mendiami tempat tersebut untuk menjaga jarak dengan penghuni lainnya. pada akhirnya sangat mempengaruhi proses interaksi yang terjalin antar pengelola maupun antar penghuni. Penghuni yang ada
sebelumnya tidak saling mengenal sehingga pada saat telah mendiami hunian itu, mereka belum bisa saling percaya sepenuhnya kepada individu lain. Desain
hunian bangunan yang minim serta berorientasi pada konsep pembangunan secara vertikal ditujukan untuk dapat menampung secara maksimal seluruh penghuni yang ada, sehingga terbangun suatu hubungan lahiriah diantara para
penghuninya karena mereka tinggal di tempat yang sama. Hubungan yang terjalin merupakan konsekuensi logis dari persinggungan yang tidak sengaja. Tradisi
yaitu miskin sehingga adanya suatu kecenderungan sikap tidak peduli pada
lingkungan tempat tinggalnya, mereka hanya berpikir pada pemenuhan kebutuhan hidup mereka sendiri. Sikap individu lebih dominan terjadi pada masyarakat yang
tinggal di hunian ini.
Penyediaan ruang terbuka untuk dapat digunakan bersama oleh penghuni, seperti ruang pertemuan dan taman bermain merupakan suatu konsep untuk
memberikan ruang interaksi bagi penghuninya dengan mengadakan berbagai kegiatan yang menunjang dalam proses berinteraksi. Setiap penghuni yang
mendiami tempat tersebut berperan serta dalam segala kegiatan yang positif untuk kawasan daerah tempat tinggalnya seperti menjaga hubungan yang baik antara penghuni dan pengelola, hubungan antar penghuni yang ada serta menjaga segala
fasilitas sarana dan prasarana yang telah menunjang di RUSUNAWA.
Kondisi bangunan RuSuNaWa yang kotak menjulang ke atas serta rumah berdekatan memberikan berbagai kemungkinan dalam proses interaksi sosial yang
diwujudkan dalam sikap-sikap asosiatif maupun disosiatif baik dengan sesama penghuni maupun dengan pengelola RuSuNaWa. Interaksi sosial terjalin di semua
lapisan masyarakat dan tidak ada manusia yang tidak berinteraksi dengan orang lain, tetapi pada kenyataannya interaksi yang terjalin pada masyarakat perkotaan lebih cenderung individual dan hal tersebut sedikit banyak juga berpengaruh pada
penghuni RUSUNAWA yang kehidupannya sudah mengikuti perkembangan perkotaan.
Berangkat dari kondisi latar belakang seperti yang telah diuraikan, peneliti
tertarik melakukan kajian sosiologis untuk dijadikan sebuah skripsi dengan judul “Disharmonis Antar Penghuni Pada Rumah Susun Sederhana Sewa
(RUSUNAWA) di Kota Tebing Tinggi”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka peneliti membuat rumusan masalah berdasarkan fokus penelitian. Adapun yang menjadi rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana ketidakharmonisan antar penghuni Rumah Susun Sederhana Sewa (RUSUNAWA) di Kota Tebing Tinggi ?
2. Bagaimana ketidakharmonisan antar penghuni dan pengelola Rumah Susun Sederhana Sewa (RUSUNAWA) di Kota Tebing Tinggi ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui ketidakharmonisan antar penghuni Rumah Susun Sederhana Sewa (RUSUNAWA) di Kota Tebing Tinggi.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat menambah wawasan
kajian ilmiah yang berkaitan dengan interaksi sosial sosial antar penghuni rumah susun sederhana sewa (RUSUNAWA) di Kota Tebing Tinggi serta dapat memberikan data pendukung bagi kajian ilmu pengetahuan sosial
khususnya dalam sosiologi perkotaan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk memahami permasalahan-permasalahan sosiologis yang muncul di masyarakat dan diharapkan menjadi referensi penunjang bagi instansi-instansi terkait
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Interaksi Sosial
Dalam kehidupan bersama, antar individu satu dengan individu lainnya terjadi hubungan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui
hubungan itu individu ingin menyampaikan maksud, tujuan dan keinginannya masing-masing. Gillin & Gillin (1954:489) interaksi sosial merupakan hubungan
sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok. Interaksi terjadi apabila seorang individu melakukan tindakan, sehingga menimbulkan reaksi dari
individu-individu yang lain, karena itu interaksi terjadi dalam suatu kehidupan sosial.
Hubungan-hubungan sosial itu pada awalnya merupakan proses penyesuaian nilai-nilai sosial dalam kehidupan sosial, kemudian meningkat
menjadi semacam pergaulan yang tidak hanya sekedar pertemuan secara fisik, melainkan merupakan pergaulan yang ditandai adanya saling mengerti tentang
maksud dan tujuan masing-masing pihak yang terjadi dalam hubungan sosial tersebut.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, setiap individu terikat dalam
struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakatnya. Setiap struktur-struktur sosial mengatur kedudukan masing-masing individu dalam kaitannya kedudukan-kedudukan dari
Kebutuhan individu akan individu lain mendorong dirinya untuk belajar
pola-pola, rencana-rencana dan strategi untuk bergaul dengan individu yang lain. Individu pun mulai belajar memainkan peranan sesuai dengan status yang diakui
oleh lingkungan sosialnya. Status dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu status yang diperoleh dengan sendirinya (ascribed status) dan status yang diperoleh dengan kerja keras atau diusahakan (achieved status). Status otomatis
(ascribed status) merupakan status yang diterima individu secara otomatis sejak individu itu dilahirkan, hal ini bisasanya terjadi karena kedudukan orang tuanya
sebagai orang yang terpandang atau bangsawan. Status disengaja (achieved status) merupakan status yang dicapai individu melalui usaha-usaha yang disengaja, hal ini tampak dalam usaha pencapaian cita-cita atau profesi sebagai guru, dokter dan
banyak lainnya (Sunarto:2000).
Sebagai mahluk sosial manusia membutuhkan individu lain ntuk memenuhi segala kebutuhannya, dari sinilah terbentuk kelompok-kelompok yaitu
suatu kehidupan bersama individu dalam suatu ikatan, dimana dalam suatu ikatan tersebut terdapat interaksi sosial dan ikatan organisasi antar masing-masing
anggotanya (Soekanto,2001:128). Dalam proses sosial, interaksi sosial merupakan sarana dalam melakukan hubungan dengan lingkungan sekitarnya.
Ciri-ciri hubungan sosial pada masyarakat khususnya masyarakat kota
memiliki hubungan sosial yang longgar, hal ini karena kota merupakan pemukiman yang relatif besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang
kontrak atau perjanjian), pembagian kerja komplek, dan sanksi sosial berdasarkan
hukum.
Dalam hal ini interaksi menurut pendapat Young (Gunawan, 2000:31)
adalah kontak timbal balik antara dua orang atau lebih. Sedangkan menurut psikologi tingkahlaku (Behavioristic Psychology), interaksi sosial berisikan saling perangsangan dan pereaksian antara kedua belah pihak individu.
Hubungan sosial masyarakat juga tidak terlepas dari corak hubungan kerjasama, hubungan persaingan, dan corak hubungan konflik. Ketiga corak
hubungan itu akan mewarnai kehidupan masyarakat kota yang cenderung tidak saling mengenal satu dengan yang lain karena kepentingan-kepentingan yang berbeda.
Individu hanya mempunyai hubungan sosial dengan individu-individu tertentu karena individu tersebut mempunyai kepentingan yang sama. Dalam kehidupan sosial yang terkecil, seorang individu berhubungan sosial antara warga
penghuni rumah susun sederhana sewa di mana ia berada pada lingkungan sosial tersebut. Pada tingkat berikutnya, hubungan sosial diperluas menjadi hubungan
bertetangga yang tinggal berdekatan dengan ruangnya ataupun bersebrangan dengan bangunan yang dihuni. Hubungan bertetangga di kota tidak seintim hubungan sosial pada masyarakat desa yang cenderung saling mengenal satu
dengan yang lain, serta mempunyai rasa bersatu yang biasanya dikuatkan dengan sentimen-sentimen kelompok. Dalam hal ini, hubungan sosial bertetangga
sewa. Pola-pola hubungan (interaksi) sosial yang teratur dapat terbentuk apabila
ada tata kelakuan atau perilaku dan hubungan yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Sistem itu merupakan pranata sosial yang didalamnya
terdapat nilai-nilai dan norma-norma yang dipedomani serta ada lembaga sosial yang mengurus pemenuhan kebutuhan masyarakat sehingga interaksi sosial dalam masyarakat dapat berjalan secara teratur. Menurut Bales dan Homans dalam
Santoso (2004:10), pada hakekatnya manusia memiliki sifat yang dapat digolongkan ke dalam :
a. Manusia sebagai makhluk individual, b. Manusia sebagai makhluk sosial, dan c. Manusia sebagai makhluk berkebutuhan.
Menurut Kimbal Young dan Raymond dalam Soekanto (1970:192) mengatakan bahwa interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena itu tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama.
Bertemunya orang perorang secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru
akan terjadi apabila orang-orang, perorangan atau kelompok-kelompok manusia bekerjasama, saling berbicara dan seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian dan lain sebagainya.
Selanjutnya dalam penelitian skripsi ini yang dimaksud dengan interaksi sosial adalah suatu proses hubungan sosial yang dinamis baik dilakukan oleh
2.1.1 Faktor-Faktor yang Berpengaruh dalam Interaksi Sosial
Dalam interaksi sosial terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi tersebut, yaitu faktor yang menentukan berhasil atau tidaknya interaksi tersebut
(Santoso, 2004:12). Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial sebagai berikut:
a. Situasi sosial, memberi bentuk tingkah laku terhadap individu yang berada
dalam situasi tersebut. Misalnya, apabila berinteraksi dengan individu lainnya yang sedang dalam keadaan berduka, pola interaksi yang
dilakukan apabila dalam keadaan yang riang atau gembira, dalam hal ini tampak pada tingkah laku individu yang harus dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang dihadapi,
b. Kekuasaan norma-norma kelompok, sangat berpengaruh terhadap terjadinya interaksi sosial antar individu. Misalnya, individu yang menaati norma-norma yang ada dalam setiap berinteraksi individu tersebut tak
akan pernah berbuat suatu kekacauan, berbeda dengan individu yang tidak menaati norma-norma yang berlaku, individu itu pasti akan menimbulkan
kekacauan dalam kehidupan sosialnya, dan kekuasaan norma itu berlaku untuk semua individu dalam kehidupan sosialnya.
c. Tujuan pribadi masing-masing individu. Misalnya setiap individu tentunya
punya tujuan yang dicapai dalam berinteraksi, seseorang penghuni melaporkan suatu permasalahan huniannya kepada pihak pengolala
dengan tujuan agar masalah cepat teratasi.
oleh setiap individu adalah bersifat sementara, misalnya seorang warga
yang biasa berinteraksi dengan ketua RT, maka dalam hubungan itu terlihat adanya jarak antara seorang yang tidak memiliki kedudukan yang
menghormati orang yang memiliki kedudukan dalam kelompok sosialnya. e. Ada penafsiran situasi, dimana setiap situasi mengandung arti bagi setiap
individu sehingga mempengaruhi individu untuk melihat dan menafsirkan
situasi tersebut. Misalnya, apabila ada teman yang terlihat murung atau suntuk, individu lain harus bisa membaca situasi yang sedang
dihadapainya, dan tidak seharusnya individu lain tersebut terlihat bahagia dan cerita dihadapannya. Bagaimanapun individu harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan dengan keadaan yang sedang dihadapi dan berusaha
untuk membantu menafsirkan situasi yang tak diharapkan menjadi situasi yang diharapkan.
2.1.2 Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
Interaksi sosial adalah bentuk utama dari proses sosial, yaitu pengaruh
timbal-balik antara berbagai bidang kehidupan bersama. Menurut Soekanto (2001:76-107) interaksi sosial merupakan bentuk yang tampak apabila orang saling mengadakan hubungan, baik secara individu maupun secara kelompok.
Bentuk interaksi sosial memiliki dua jenis yaitu: interaksi sosial yang bersifat asosiatif dan interaksi sosial yang bersifat disosiatif.
negatif, artinya hubungan ini dapat merenggangkan atau menggoyahkan jalinan
atau solidaritas kelompok yang telah terbangun. Adapun bentuk-bentuk interaksi sosial yang sifatnya asosiatif meliputi: kerja sama (cooperation), akomodasi (accomodation), asimilasi (assimilition), dan akulturasi (acculturation). Bentuk interaksi yang sifatnya disosiatif meliputi: persaingan (competition), kontravensi (contravention) dan pertentangan (conflict)).
Beberapa bentuk interaksi sosial asosiatif meliputi : 1. Kerjasama (cooperation)
Kerjasama adalah suatu usaha bersama antar individu atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama timbul apabila seseorang menyadari memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, serta menyadari bahwa hal tersebut
bermanfaat bagi dirinya atau orang lain. Kerja sama timbul karena orientasi individu terhadap kelompoknya (in group) dan orientasi individu terhadap kelompok lainnya (out group).
2. Akomodasi (accomodation)
Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses (Young dan Raymond, 1959:146). Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti adanya suatu
keseimbangan (equilibrium) dalam interaksi antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan
3. Asimilasi (Assimilition)
Asimilasi merupakan bentuk proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan di antara orang-orang atau
kelompok manusia. Mereka tidak lagi merasa sebagai kelompok yang berbeda sebab mereka lebih mengutamakan kepentingan dan tujuan yang akan dicapai bersama. Bila kedua kelompok masyarakat telah mengadakan asimilasi, batas
antara kedua kelompok masyarakat itu dapat hilang dan keduanya berbaur menjadi satu kelompok.
4. Akulturasi (acculturation)
Akulturasi adalah proses sosial yang timbul apabila terjadi percampuran
dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi. Dalam akulturasi, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu, sebagian berusaha menolak pengaruh itu.
Beberapa bentuk interaksi sosial disosiatif meliputi :
1. Persaingan (competition)
Persaingan adalah suatu perjuangan (struggle) dari pihak-pihak untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Suatu ciri dari persaingan adalah perjuangan
menyingkirkan pihak lawan itu dilakukan secara damai atau secara fair Play, artinya selalu menjunjung tinggi batas-batas yang diharuskan. Persaingan dapat
beberapa pihak yang melakukan persaingan, pihak-pihak yang berkompetisi
(bersaing) disebut saingan (rivalry) Taneko (1990:121).
2. Kontravensi (contravention)
Kontravensi berasal dari kata Latin, conta dan venire, yang berarti menghalangi atau menantang. Dalam kontravensi dikandung usaha untuk
merintangi pihak lain mencapai tujuan. Yang diutamakan dalam kontravensi adalah menggagalkan tercapainya tujuan pihak lain. Hal ini didasari oleh rasa
tidak senang karena keberhasilan pihak lain yang dirasakan merugikan, walaupun demikian tidak terdapat maksud untuk menghancurkan pihak lain. Narwoko dan Suyanto (2010:70).
3. Pertentangan atau Pertikaian (conflict)
Konflik adalah suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan
orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan (Narwoko dan Suyanto, 2010:68). Konflik terjadi karena adanya
perbedaan pendapat, perasaan individu, kebudayaan, kepentingan, baik kepentingan individu maupun kelompok, dan terjadi perubahan-perubahan sosial yang cepat yang menimbulkan disorganisasi sosial. Perbedaan-perbedaan ini akan
memuncak menjadi pertentangan karena keinginan-keinginan individu tidak dapat diakomodasikan.
ataupun pertikaian. Dengan demikian aktivitas sosial itu terjadi karena adanya
aktivitas dari individu dalam hubungannya dengan individu yang lain.
2.2 Konsep Perilaku Menyimpangan Dalam Masyarakat
Fenomena perilaku menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat memang menarik untuk dibicarakan. Perilaku menyimpang itu adalah perilaku dari para
warga masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan atau norma sosial yang berlaku. Secara sederhana kita memang dapat mengatakan,
bahwa seseorang berperilaku menyimpang apabila menurut anggapan sebagian besar masyarakat (minimal disuatu kelompok atau komunitas tertentu) perilaku atau tindakan tersebut diluar kebiasaan, adat istiadat, aturan, nilai-nilai atau norma
sosial yang berlaku.(Narwoko, 2010:98)
Tindakan menyimpang yang dilakukan orang-orang tidak selalu berupa tindak kejahatan besar, seperti merampok, korupsi, menganiaya atau membunuh.
Melainkan bisa pula cuma berupa tindakan pelanggaran kecil-kecilan, semacam berkelahi dengan teman, suka meludah disembarang tempat, makan dengan
tangan kiri dan sebagainya.
Secara umum yang digolongkan sebagai perilaku menyimpang antara lain adalah :
1. Tindakan nonconform yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma yang ada. Contohnya, membuang sampah tidak pada
2. Tindakan anti sosial atau asosial yaitu tindakan yang melawan kebiasaan
masyarakat atau kepentingan umum. Bentuknya seperti menarik diri dari pergaulan sekitar lingkungan warga RuSuNaWa.
3. Tindakan-tindakan kriminal yaitu tindakan yang nyata-nyata telah melanggar aturan-aturan hukum tertulis dan mengancam jiwa atau keselamatan orang lain. Contohnya, pencurian yang terjadi di lingkungan
hunian RuSuNaWa.
Meskipun secara nyata kita dapat menyebtkan berbagai bentuk perilaku
menyimpang, namun mendefenisiskan arti perilaku menyimpang itu sendiri merupakan hal yang sulit karena kesepakatan umum tentang itu berbeda-beda diantara berbagai kelompok masyarakat. Hal lain yang menyebabkan perilaku
menyimpang bersifat relatif adalah karena perilaku menyimpang itu juga dianggap seperti gaya hidup, kebiasaan-kebiasaan, fashion ayau mode yang dapat berubah dari zaman ke zaman. Pada masa lalu jika ada lelaki atau perempuan
yang memasuki usia 25 tahun tetapi belum bersedia menikah dianggap sebagai jejaka atau perawan tua yang dapat membawa aib keluarga. Tetapi, pada masa
kini usia 25 tahun adalah masa yang menyenangkan untuk kuliah, berteman, mengeksplorasi kehidupan dan mengembangkan karir.
Kualitas tindakan menyimpang yang dilakukan seorang dapat
dikategorikan berdasarkan rangkaian pengalamannya dalam melakukan tindakan tersebut. Jenis penyimpangan semacam itu disebut dengan primary deviance
seseorang yang tidak menyadari bahwa perilakunya dapat menjurus kearah
penyimpangan yang lebih berat. Penyimpangan yang lebih berat akan terjadi apabila seseorang sudah sampai pada tahap secondary deviance (penyimpangan sekunder). Suatu tindakan menyimpang yang berkembang ketika perilaku dari si penyimpang itu mendapat penguatan (reinforcement) melalui keterlibatannya dengan orang atau kelompok yang juga menyimpang.
Tindakan menyimpang, baik primer maupun sekunder, tidak terjadi begitu saja tapi berkembang melalui suatu periode waktu dan juga sebagai hasil dari
serangkaian tahapan interaksi yang melibatkan interpretasi tentang kesempatan untuk bertindak menyimpang. Pemahaman tentang bagaimana seseorang atau sekelompok orang dapat berperilaku menyimpang dapat dipelajari dari berbagai
perspektif teoritis, paling tidak ada dua perspektif yang digunakan untuk memahami sebab-sebab dan latar belakang seseorang atau kelompok orang berperilaku menyimpang. Pertama adalah perspektif individualistik dan yang
kedua adalah teori-teori sosiologi.
Teori individualistik berusaha mencari penjelasan tentang munculny
tindakan menyimpang melalui kondisi yang secara unik mempengaruhi individu. Teori individualistik sebagian besar berdasarkan pada proses-proses yang sifatnya individual dan mengabaikan proses sosialisasi atau belajar tentang norma-norma
sosial yang meyimpang. Perspektif ini juga mengabaikan faktor-faktor kelompok atau budaya yang dapat melatarbelakangi tindakan menyimpang pada seseorang.
Rumpun teori-teori individualistik itu, antara lain adalah : 1. Penjelasan biologis.
3. Penjelasan psikoanalisis
4. Penjelasan psikologis
Berbeda dengan halnya dengan teori individualistik, teori-teori yang
berperspektif sosiologis tentang penyimpangan berupaya menggali kondisi-kondisi sosial yang mendasari penyimpangan. Berapa hal yang dianggap bersifat sosiologis dalam memahami tindakan menyimpang, misalnya proses
penyimpangan yang ditetapkan oleh masyarakat, bagaimana faktor-faktor kelompok dan subkultur berpengaruh terhadap terjadinya perilaku menyimpang
pada seseorang dan reaksi-reaksi apa yang diberikan oleh masyarakat pada orang-orang yang dianggap menyimpang dari norma-norma sosialnya.
Secara umum ada dua tipe penjelasan dalam perspektif sosiologis tentang
penyimpangan, yaitu struktural dan prosesual. Pada penjelasan yang bersifat struktural adaah sejumlah asumsi yang mendasarinya. Pertama, penyimpangan dihubungkan dengan kondisi-kondisi strukturak tertentu dalam masyarakat.
Kedua, menjelaskan penyimpangan sebagai suatu proses epidemiologi, yaitu suatu kondisi dimana distribusi atau penyebaran penyimpangan dapat terjadi dalam
waktu dan tempat tertentu, atau dari suatu kelompok ke kelompok lain. Ketiga, menjelaskan bentuk-bentuk tertentu dari penyimpangan sebagai suatu fenomena yang terjadi diberbagai strata sosial, baik dikelas bawah maupun dikelas atas.
Sedangkan pada penjelasan yang bersifat prosesual didasarkan pada : 1. Gambaran tentang proses individu sampai pada tindakan atau perilakunya
yang menyimpang.
3. Penjelasan tentang bagaimana orang-orang tertentu sampai melakukan
tindakan menyimpang.
2.2.1 Teori Labeling (Pemberian Cap)
Teori labeling menjelaskan penyimpangan terutama ketika perilaku itu sudah sampai pada tahap penyimpangan sekunder (secondary deviance). Definisi menyimpang dari kaum reaktivis didasarkan pula dari teori labeling ini. Dalam penjelasannya teori labeling juga menggunakan pendekatan interaksionisme yang
tertarik pada konsekuensi-konsekuensi dari interaksi antara si penyimpang dan masyarakat biasa (Konvensional). (Narwoko, 2010:114)
Menurut para ahli teori labeling, mendefinisikan penyimpangan
merupakan suatu yang bersifat relatif dan bahkan mungkin juga membingungkan. Karena untuk memahami apa yang dimaksud sebagai suatu tindakan menyimpang harus diuji melalui reaksi orang lain. Oleh karena itu Becker, salah seorang
pencetus teori labeling (dalam Clinard & Meier, 1989:92) mendefinisikan penyimpangan sebagai “suatu konsekuensi dari penerapan aturan-aturan dan
sanksi oleh orang lain kepada seorang pelanggar”. Dimensi penting dari penyimpangan adalah pada adanya reaksi masyarakat, bukan pada kualiatas dari tindakan itu sendiri. Atau dengan kata lain, penyimpangan tidak ditetapkan
berdasarkan norma, tetapi melalui reaksi atau sanksi dari penonton sosialnya. Konsekuensi dari pemberian label tersebut, terutama oleh aparat atau
dimana cap menyimpang menghasilkan suatu peran sosial yang menyimpang
juga. Artinya dengan adanya cap yang dilekatkan pada diri seseorang maka ia (yang telah diberi cap) cenderung mengembangkan konsep diri yang menyimpang
(disebut juga sebagai proses reorganisasi psikologis) dan kemungkinan berakibat pada suatu karier yang menyimpang. Proses terjadinya penyimpangan sekunder membutuhkan waktu yang panjang dan tidak kentara.
2.3 Habitus dan Lingkungan (habit and field)
Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari,
dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektika habitus adalah produk internalisasi dunia sosial. Kita sebenarnya dapat membayangkan habitus sebagai struktur sosial
yang diinternalisasikan yang diwujudkan. Habitus mencerminkan pembagian objek dalam struktur kelas seperti menurut umur, jenis kelamin, kelompok, dan
kelas sosial. Habitus diperoleh dari akibat lamanya posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Jadi habitus akan berbeda-beda, tergantung pada wujud posisi seseorang dalam kehidupan sosial. Karena tidak setiap orang sama kebiasaannya, orang yang
menduduki posisi yang sama dalam kehidupan sosial cenderung mempunyai kebiasaan yang sama. Dalam pengertian ini habitus dapat pula menjadi fenomena
dipaksakan seragam kepada seluruh aktor. (George Ritzer & Douglas J.
Goodman, 2010: 522)
Habitus sering dipahami sebagai hasil keterampilan yang menjadi tindakan
praktis yang tidak selalu harus disadari dan kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah, serta berkembang dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Habitus sangat menentukan keberhasilan persaingan di
arena sosial. Habitus merupakan hasil keterampilan yag menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu
kemampuan yang keliahatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Konsep habitus menunjukkan bahwa keterampilan seseorang dalam menjawab tantangan dikondisikan oleh lingkungannya dan dipengaruhi
oleh rutinitas tindakannya (Haryatmoko, 2010 : 164)
Tindakanlah yang mengantarai habitus dan kehidupan sosial. Di satu pihak, habitus diciptakan melalui praktik (tindakan); di pihak lain, habitus adalah
hasil tindakan yang diciptakan kehidupan sosial. Bourdieu mengungkapkan fungsi perantara tindakan ketika ia mendefinisikan habitus sebagai sistem yang tertata
dan menata kecenderungan yang ditimbulkan oleh tindakan dan terus-menerus tertuju pada fungsi praktis. Sementara tindakan cenderung membentuk habitus, pada gilirannya berfungsi sebagai penyatu dan menghasilkan praktik/tindakan.
Menurut Bourdieu (Ritzer, 2010 : 524) habitus semata-mata mengusulkan apa yang sebaiknya dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk
itu aktor membuat pilihan dan memilih strategi yang akan digunakan dalam
kehidupan sosial. Seperti dinyatakan Bourdieu dan Wacquant, “orang tidaklah bodoh”. Namun, orang juga tak rasional sepenuhnya (Bourdieu dengan
pernyataannya ini melecehkan teori pilihan rasional). Aktor bertindak menurut cara yang masuk akal (reasonable). Mereka mempunyai perasaan dalam bertindak, ada logikanya untuk apa orang bertindak, dan itulah logika tindakan.
Habitus berfungsi di bawah tingkat kesadaran dan bahasa, di luar jangkauan pengamatan dan pengendalian oleh kemauan. Meski kita tak menyadari
habitus dan cara bekerjanya, namun ia mewujudkan dirinya sendiri dalam aktivitas kita yang sangat praktis seperti cara kita makan, berbicara, bahkan dalam cara berteman. Kebiasaan atau habitus ini berperan sebagai struktur, tetapi orang
tidak memberikan tanggapan terhadapnya atau terhadap struktur eksternal yang mempengaruhi secara mekanis. Jadi, dalam pendekatan Bourdieu kita menghindari keekstreman sesuatu yang baru yang tak teramalkan dan
determinisme total.
Lingkungan (field) menurut Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang struktural. Lingkungan adalah jaringan hubungan antarposisi objektif di dalamnya. Keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauan individu. Lingkungan bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan bukanlah
intersubjektif antara individu. Penghuni posisi mungkin agen individual atau lembaga, dan penghuni posisi ini dikendalikan oleh struktur lingkungan. Bourdieu
dan kolektif) yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk
memaksakan prinsip perjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri. Bourdieu menyusun tiga langkah proses untuk menganalisis
lingkungan. Langah pertama, menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan (politik) untuk menemukan hubungan setiap khusus dengan lingkungan politik. Langkah kedua menggambarkan struktur objektif hubungan antar berbagai posisi
di dalam lingkungan tertentu. Ketiga, analisis harus mencoba menentukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan.
(George Ritzer & Douglas J. Goodman, 2010: 524-525)
Penghuni posisi dalam lingkungan menggunakan berbagai strategi. Gagasan ini sekali lagi menunjukkan bahwa, menurut Bourdieu, aktor mempunyai
derajat kebebasan tertentu: “Habitus tak meniadakan peluang untuk membuat perhitungan strategis di pihak agen. Tetapi, strategi tak mengacu pada “tujuan dan rencana untuk mengejar tujuan yang sudah diperhitungkan tetapi mengacu pada
perkembangan aktif garis tindakan yang diarahkan secara objektif yang menaati aturan dan membentuk pola yang koheren dan secara sosial dapat dipahami,
meskipun tak mengikuti aturan yang ditetapkan secara sadar atau tertuju pada tujuan yang diterapkan sebelumnya oleh seorang penyusun strategi. Melalui strategi itulah penghuni posisi itu berupaya secara individual atau kolektif
melindungi atau meningkatkan posisi mereka dan berupaya memaksakan prinsip perjenjangan yang paling menguntungkan terhadap produk mereka sendiri.
Strategi agen tergantung pada posisi mereka dalam lingkungan.
itu sendiri adalah “lingkungan dari kekuatan yang ada”, sebuah situasi dinamis di
mana kekuatannya hanya terjelma dalam hubungan dengan kecenderungan tertentu. Inilah yang menyebabkan mengapa habitus yang sama mendapat makna
dan nilai yang berlawanan dalam lingkungan yang berlainan, dalam konfigurasi yang berbeda atau dalam sektor yang berlawanan dari lingkungan yang sama. (George Ritzer & Douglas J. Goodman, 2010: 528)
Habitus juga merupakan kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai realita, sekaligus juga penghasil praktek-praktek kehidupan yang membentuk dan
menyesuaikan diri dengan struktur-struktur obyektif. Dua hal ini sama sekali tidak bisa dipisahkan. Kepribadian seseorang didasarkan pada habitusnya. Pembentukan dan berfungsinya habitus dapat dibayangkan sebagai sebuah
lingkaran, yang tidak diketahui ujung pangkalnya. Di satu sisi, habitus sangat memperhitungkan hasil dari keteraturan perilaku manusia, disisi lain, perkembangan dan lahirnya habitus menyandarkan dirinya pada improvisasi
struktur maupun aturan yang sudah ada. Dengan demikian, di dalam habitus, ada dua gerak timbal balik, yakni pertama adalah struktur obyektif yang dibatinkan,
kedua adalah gerakan subyektif, seperti persepsi orang, evaluasi, yang menyingkapkan hasil dari pembatinan. Dalam konteks inilah proses sosialisasi dapat lebih jelas dipahami. Habitus disini mengandaikan seluruh proses
pembatinan, dimana dengan cara itu, setiap individu membuka dan melatih diri dalam hubungan-hubungan sosial, nilai-nilai serta keyakinan masyarakat dimana
2.4 Modernitas dan Identitas Pada Masyarakat Beresiko
Transformasi dalam identitas diri dan globalisasi adalah dua kutub dialektika kondisi lokal dan global modernitas. Perubahan aspek keintiman
kehidupan pribadi berkaitan langsung dengan kemapanan hubungan sosial yang paling luas cakupannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, “diri” dan “masyarakat” saling berkaitan dalam lingkungan global. (Giddens dalam Ritzer &
Goodman, 2010: 559)
Giddens mendefinisikan dunia modern sebagai dunia refleksif dan ia
menyatakan, “refleksivitas modernitas meluas hingga ke inti diri, kedirian menjadi sebuah proyek refleksif. Artinya, diri menjadi sesuatu yang direfleksikan, diubah, dan dibentuk. Tak hanya individu bertanggung jawab untuk menciptakan
dan memelihara kedirian, tetapi tanggung jawab ini pun berlanjut dan mencangkup semuanya. Diri adalah produk dari eksplorasi dan produk dari perkembangan hubungan sosial yang intim. Dalam kehidupan modern, bahkan
tubuh “tertarik ke dalam organisasi refleksif kehidupan sosial”.
Giddens menyatakan, modernitas adalah kultur beresiko. Ini bukan berarti
bahwa kehidupan sosial kini lebih berbahaya daripada dahulu; bagi kebanyakan orang, itu bukan masalah. Konsep resiko menjadi masalah mendasar baik cara menempatkan aktor biasa maupun aktor yang berkemampuan spesialis-teknis
dalam organisasi kehidupan sosial. Modernitas mengurangi risiko menyeluruh bidang dan gaya hidup tertentu, tetapi pada waktu bersamaan memperkenalkan
agen-agen semakin bebas dari paksaan struktural dan karenanya semakin mampu
menciptakan secara refleksif diri mereka sendiri dan masyarakat di mana mereka hidup. Sebagai contoh, daripada ditentukan oleh situasi kelas mereka, aktor
berperan kurang lebih berdasarkan atas kemauan mereka sendiri. Dengan menyerahkan pada diri mereka sendiri, orang terpaksa menjadi refleksif. Pentingnya refleksitas dalam hubungan sosial dicontohkan Beck seperti berikut:
“Bentuk baru hubungan sosial dan jaringan sosial kini tergantung pada pilihan orang secara individual; ikatan sosial pun makin refleksif, dengan demikian ikatan
sosial itu dibentuk, dipelihara, dan terus-menerus diperbaharui oleh individu. (Ritzer & Goodman, 2010: 561-562)
2.5 Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (RUSUNAWA)
Dalam bukunya “The descent of Man” Darwin (Eko, 2004:55) menyatakan bahwa untuk melindungi diri terhadap panas matahari, kera
menggunakan untaian jerami di atas kepalanya. Sedang pada malam hari, mereka membuat dataran sebagai alas tempat tidur untuk kemudian menutupi dirinya
dengan daun pandanus. Konon itulah awal dari lahirnya pakaian dan rumah dalam bentuknya yang paling sederhana.
Membangun rumah masih tetap merupakan kegiatan sehari-hari yang
dilakukan oleh pribadi, keluarga atau masyarakat. Setiap lingkungan pemukiman berkembang sesuai pola kehidupan masyarakatnya dengan karakter dan identitas
komoditi, sebagai produk akhir barang jadi. Aspek-aspek sosial budaya,
kesejahteraan ekonomi, tata nilai dan perilaku manusianya lepas dari pengamatan. Tantangan paling besar yang harus dihadapi dalam bidang perumahan di
indonesia sekarang ini, bagaimana mengatasi masalah perumahan masyarakat miskin terutama di kota-kota besar yang merupakan mayoritas pusat ativitas. Tuntutan akan kebutuhan pengadaan rumah sangat besar dan selalu meningkat,
sedangkan lingkungan hunian yang ada dinilai kurang manusiawi. Tambahan pula kemampuan ekonomi mereka terbatas, sulit untuk bisa mengangkat sendiri tanpa
bantuan pihak lain. Selama ini perumahan/rumah, sebetulnya tidaklah betul-betul murah dan tidak menjangkau masyarakat lapisan bawah. Kenyataan menunjukkan bahwa bagi kebanyakan rakyat miskin, rumah termasuk dalam daftar prioritas
rendah sesudah lapangan kerja, pangan, sandang dan kesehatan.
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, yang berfungsi dalam mendukung terselenggaranya pendidikan, keluarga, persemaian budaya,
peningkatan kualitas generasi yang akan datang dan berjati diri. Salah satu permasalahan utama pertumbuhan penduduk perkotaan adalah peningkatan
permintaan akan rumah. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun pedesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang
layak huni. Sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana,
Permasalahan utama yang dihadapi oleh negara-negara sedang
berkembang termasuk Indonesia adalah permasalahan permukiman penduduk khususnya di kota-kota besar. Kendala yang dihadapi adalah terbatasnya lahan
perkotaan. Salah satu alternatif untuk memecahkan kebutuhan rumah di perkotaan yang terbatas adalah dengan mengembangkan model hunian secara vertikal berupa bangunan rumah susun. Untuk masyarakat ekonomi menengah ke bawah,
Pemerintah membangun rumah susun sederhana dengan sistem sewa. Untuk memenuhi kebutuhan pokok akan rumah tinggal yang sangat meningkat,
khususnya pada daerah-daerah perkotaan dan daerah-daerah industri, Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (RuSuNaWa) menjadi alternatif dalam memenuhi kebutuhan tempat tinggal.
Rumah susun sederhana sewa (RUSUNAWA) adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun
vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan
bagian bersama serta status penguasaannya dengan sistem sewa.
Berdasarkan Undang Undang No 20 Pasal 3 tahun 2011, Penyelenggaraan rumah susun bertujuan untuk:
a. Menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan serta
b. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah, serta
menyediakan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan dalam menciptakan kawasan permukiman yang lengkap serta serasi dan
seimbang dengan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
c. Mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan permukiman
kumuh.
d. Mengarahkan pengembangan kawasan perkotaan yang serasi, seimbang,
efisien, dan produktif;
e. Memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi yang menunjang kehidupan penghuni dan masyarakat dengan tetap mengutamakan tujuan pemenuhan
kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)
f. Memberdayakan para pemangku kepentingan di bidang pembangunan
rumah susun.
g. Menjamin terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak dan
terjangkau, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan dalam suatu sistem tata kelola perumahan dan permukiman yang terpadu.
2.5 Definisi Konsep 2.5.1 Interaksi Sosial
Bentuk-bentuk dalam proses terjadinya interaksi. Interaksi sosial
juga dapat dinamakan proses sosial, interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia yang
saling mempengaruhi, mengubah ataupun memperbaiki kelakuan individu satu dengan individu lainnya. Dengan demikian antar individu tersebut
terjadi hubungan timbal balik. Pola interaksi yang diteliti pada ruang lingkup lokasi hunian RuSuNaWa akan mengetahui bagaimana dalam kesehariannya para penghuni melakukan interaksi sosial ke penghuni
lainnya untuk menyesuaikan dirinya dari masalah-masalah yang timbul.
2.5.2 Disharmonis
Suatu bentuk tidak terjadinya keselarasan secara keseluruhan yang dianggap mempunyai nilai negatif dengan beberapa penilaian. Dalam hal
ini disharmonis yang dimaksud keadaan atau kondisi dimana para penghuni yang tinggal di RuSuNaWa merasakan tidak bahagianya menempati hunian tersebut dikarenakan beberapa masalah di lingkungan
2.5.3 Penghuni
Individu ataupun kelompok manusia yang mendiami suatu tempat hunian tertentu, dalam hal ini yaitu rumah susun sederhana sewa
(RUSUNAWA) dengan status kepemilikan sewa. Penghuni mensepakati aturan-aturan yang diberlakukan pihak pengelola hunian tersebut.
2.5.4 Rumah Susun sederhana Sewa (RUSUNAWA)
Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu
lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama serta status penguasaannya dengan sistem sewa. RuSuNaWa ditujukan untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
RuSuNaWa pada penelitian ini dijadikan tempat lokasi penetian untuk skripsi ini.
2.5.5 Perilaku Sosial
Perilaku sosial adalah perilaku yang relatif menetap yang
diperlihatkan oleh individu di dalam berinteraksi dengan orang lain. Orang
yang berperilakunya mencerminkan keberhasilan dalam proses sosialisasinya
dikatakan sebagai orang yang sosial, sedangkan orang yang perilakunya tidak
mencerminkan proses sosialisasi tersebut disebut non sosial. Yang termasuk
ke dalam perilaku non sosial adalah perilaku a-sosial dan anti sosial.
oleh kelompok sosial, sehingga berperilaku yang tidak memenuhi tuntutan
sosial. Mereka akan mengisolasi diri atau menghabiskan waktunya untuk
menyendiri. Sedangkan yang berperilaku anti sosial mereka mengetahui
hal-hal yang dituntut kelompok tetapi karena sikap permusuhannya, mereka
melawan norma kelompok tersebut.
2.5.6 Problem Sosial
Suatu problem atau masalah yang menyangkut persoalan sosial, sebab problem ini berkaitan erat dengan hubungan antar manusia. Problem sosial merupakan gejala-gejala yang mengganggu kelanggengan integritas
hubungan sosial di dalam masyarakat (Setiadi, Elly M.,Usman Kolip.2010:925). Hal ini perlu diamati bagaimana keadaan yang terjadi
pada lokasi hunian RuSuNaWa akan menciptakan suatu kondisi tertentu mempengaruhi segala aktivitas di lingkungan hunian.
2.5.7 Sikap Apatis Masyarakat
Suatu sikap yang mencerminkan suatu perilaku tidak peduli, acuh
tidak acuh, masa bodoh terhadap suatu hal penting serta merasa bahwa dirinya tidak bertanggung jawab atas suatu hal. Hal demikian akan menciptakan suatu permasalahan di kemudian hari, individu seharusnya
lebih tanggap terhadap permasalah di sekitar lingkungannya. Keadaan yang serupa bisa terjadi di hunian RuSuNaWa, dalam kesehariannya penghuni tidak memperdulikan barang yang ditujukan untuk kepemilikan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian sosial dengan format deskriptif
bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat sebagai objek
penelitian (Bungin, 2007: 68). Sedangkan pendekatan kualitatif bertujuan untuk memahami secara lebih mendalam permasalahan yang diteliti sehingga diharapkan dapat memberikan masukan gambaran yang lebih mendalam tentang
gejala-gejala dan gambaran yang akan diteliti ( Narbuko dan Acmadi, 2004 : 44 ). Penelitian dengan pendekatan kualitatif diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dan apa yang diamati
dan juga untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian. Penelitian pendekatan kualitatif yang akan dilakukan adalah
menggambarkan bagaimana disharmonis penghuni pada rumah susun sederhana sewa (RuSuNaWa) di Kota Tebing Tinggi.
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Tebing Tinggi yang beralamat Jalan
terdekat peneliti berdomisili, sehingga memudahkan peneliti untuk mengakses
data yang dibutuhkan serta meninjau lokasi penelitian secara langsung. Pada hunian RuSuNaWa yang terdiri dari dari 2 blok yaitu blok a dan blok b, memiliki
karakteristik yang berbeda.
3.3 Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis
Salah satu ciri karakteristik dari penelitian sosial adalah
menggunakan apa yang disebut dengan ” Unit of Analysis ” ada sejumlah unit analisis yang lazim digunakan pada kebanyakan penelitian sosial individu ( Danandjaja, 2005:31 ). Dalam penelitian ini, yang menjadi unit
analisisnya atau objek kajiannya adalah penghuni rumah susun sederhana sewa (RuSuNaWa) dalam hal ini juga termasuk pengelola hunian yang beralamat di Jl. Syech Beringin, Kelurahan Tebing Tinggi, Kecamatan
Padang Hilir, Kota Tebing Tinggi.
3.3.2 Informan
Informan adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi dalam melakukan penelitian. Informan penelitian adalah subjek yang
memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek penelitian (Bungin, 2007:76). Adapun yang
menjadi informan yaitu:
2. Pihak pengelola hunian Rumah Susun Sederhana Sewa
(RuSuNaWa) Kota Tebing Tinggi
3.3.3 Karakteristik Informan
1. Mempunyai hubungan informasi mengenai kondisi hunian RuSuNaWa.
2. Minimal sudah tinggal di RuSuNaWa Kota Tebing Tinggi selama 6 bulan.
3. Hidup membaur/bertetangga dengan penghuni RuSuNaWa lainnya.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
3.4.1 Teknik Pengumpulan Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber informan yang ditemukan di lapangan. Adapun langkah-langkah dalam
pengumpulan data primer ini adalah dengan cara: a. Observasi
Kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan panca indera mata sebagai alat bantu utamanya selain panca indera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit. Kemampuan seseorang untuk
menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta dibantu panca indera lainnya. Metode observasi adalah metode
ikut berpartisipasi bagaimana dalam kesehariannya penghuni rumah susun
sederhana sewa saling berinteraksi.
b. Wawancara Mendalam
Salah satu elemen penting dalam proses penelitian, yaitu mengadakan tanya jawab langsung dengan informan di lokasi penelitian.
Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam (in-deph interview). Wawancara bertujuan untuk mendapatkan informasi (data), memperoleh keterangan, pendapat secara lisan dari informan dengan berbicara dengan orang tersebut. Agar wawancara lebih terarah maka digunakan instrumen berupa pedoman wawancara (interview guide) yakni
urutan-urutan daftar pertanyaan sebagai acuan bagi peneliti untuk memperoleh data yang diperlukan. Peneliti nantinya mewawancarai informan yang dijadikan subjek penelitian guna mengetahui perilaku sosial
dan interaksi sosial penghuni rumah susun sederhana sewa.
3.4.2 Teknik Pengumpulan Data Sekunder
Data yang diperoleh dari pihak lain yang secara tidak langsung oleh peneliti dari subjek penelitiannya (Azwar, 2010:91). Sumber
informasi dari data sekunder dapat diperoleh dari penelitian kepustakaan, arsip-arsip, koran, majalah, jurnal, bahan-bahan dari internet yang