• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ecology and Bio-prospecting of Bamboo in Mount Baung Natural Park, Pasuruan, East Java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ecology and Bio-prospecting of Bamboo in Mount Baung Natural Park, Pasuruan, East Java"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

EKOLOGI DAN BIOPROSPEKSI BAMBU DI KAWASAN

TAMAN WISATA ALAM GUNUNG BAUNG PASURUAN

JAWA TIMUR

SITI SOFIAH

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ekologi dan Bioprospeksi Bambu di Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Baung, Pasuruan, Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2013

(4)

Alam Gunung Baung, Pasuruan, Jawa Timur. Dibimbing oleh DEDE SETIADI dan DIDIK WIDYATMOKO.

Bambu merupakan salah satu taksa yang sangat beragam dan mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. Bambu termasuk ke dalam anak suku Bambusoideae dalam suku Poaceae. Terdapat sekitar 1250 spesies bambu yang ditemukan di dunia, dan Indonesia memiliki 135 spesies. Tidak semua spesies bambu dikenal oleh masyarakat dengan baik, dan hanya beberapa spesies saja yang tumbuh dan tersebar di Jawa.

Hutan bambu di Indonesia semakin berkurang akibat adanya fragmentasi hutan/lahan dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan/pertanian. Salah satu hutan bambu di Jawa Timur yang berada di kawasan konservasi adalah di Taman Wisata Gunung Baung, Jawa Timur. Informasi mengenai keanekaragaman spesies, kondisi populasi, dan kelimpahan bambu, dan hubungannya dengan faktor abiotik di dalam kawasan TWA Gunung Baung belum banyak diketahui. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari ekologi bambu, dan hubungan pertumbuhan bambu dengan faktor biotik dan abiotiknya, serta mempelajari aspek bioprospeksi bambu di TWA Gunung Baung, Pasuruan, Jawa Timur.

Penelitian ini dilaksanakan di empat blok yakni Blok Perlindungan, Blok Rehabilitasi, Blok Pemanfaatan Terbatas dan Blok Pemanfaatan Intensif TWA Gunung Baung, pada bulan September 2011-Mei 2012. Pengambilan data dilakukan melalui analisis vegetasi bambu dengan membuat plot sampel sepanjang transek, yang ditentukan dengan cara stratified random sampling

dalam purposive sample.

Data yang dicatat meliputi jumlah spesies bambu, jumlah rumpun bambu pada setiap plotnya, dan diameter masing-masing rumpun bambu. Data lingkungan yang dicatat meliputi ketinggian tempat, intensitas penyinaran, kelerengan, suhu udara, kelembapan udara, dan pH tanah. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah, Balai Besar Penelitian Sumberdaya Lahan, Bogor.

Parameter kemelimpahan dan kepadatan bambu menggunakan Indeks Nilai Penting (INP), yang merupakan hasil penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR). Penentuan karakteristik habitat sebagai faktor yang paling berkaitan erat dengan kehadiran kelompok bambu dalam komunitasnya dengan melakukan analisis statistik korelasi menggunakan software STATISTICA minitab 14. Untuk mengetahui karakteristik faktor abiotik dengan keberadaan kelompok bambu dalam komunitasnya dilakukan dengan menggunakan metode Analisis Komponen Utama atau

Principal Component Analysis (PCA) dan Cononical Correspondence Analysis

(CCA). Analisis klaster dilakukan untuk mengetahui kemiripan kondisi lingkungan tempat tumbuh antar spesies bambu. Analisis aspek bioprospeksi dilakukan dengan metode Index Cultural Significance (ICS).

Terdapat tujuh spesies bambu, diantaranya Bambusa blumeana, Bambusa

vulgaris, Dendrocalamus asper, Schizostachyum iraten, Gigantochloa apus,

(5)

Bambusa blumeana memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi diantara semua spesies bambu, yakni 127,97%. Struktur populasi bambu digolongkan berdasarkan kelas fase diameter rumpun, dimana fase A memiliki diameter < 5 m, fase B berdiameter 5-10 m dan fase C berdiameter > 10 m. Berdasarkan kelas ini menunjukkan bahwa umumnya bambu di TWA Gunung Baung berada pada kelas fase A.

Tanah pada lokasi penelitian memiliki karakteristik baik untuk pertumbuhan bambu, yaitu ber-tekstur lempung liat berdebu, dan kapasitas tukar kation (KTK)

sedang (10,90–18,52 cmol kg-1) serta kandungan unsur fosfor, kalium dan

kejenuhan basa yang tinggi. Fosfor merupakan unsur tanah yang berpengaruh kuat

terhadap B. blumeana dan B. vulgaris, sedangkan natrium dan mangan

berpengaruh terhadap G. apus.

Hasil analisis kluster menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok besar yang memiliki kondisi tempat tumbuh yang mirip. Kelompok pertama adalah B.

blumeana-B. vulgaris dan kelompok kedua adalah D. asper-G. atter –G. apus–S.

iraten. Secara umum, kondisi tempat tumbuh marga Bambusa memiliki

kemiripan. Hasil analisis ordinasi menunjukkan bahwa B. blumeana tersebar menurut adanya pengaruh kelerengan dan ketinggian.

Spesies bambu yang memiliki INP dan ICS tertinggi adalah B. blumeana, pada Blok Pemanfaatan Terbatas dan Blok Pemanfaatan Intensif. Ini menunjukkan bahwa bambu Gesing selain memiliki tingkat dominansi spesies terhadap spesies tumbuhan lain pada tegakan di kawasan TWA Gunung Baung, juga merupakan spesies tanaman yang memiliki nilai kegunaan, intensitas kegunaan dan nilai ekslusivitas yang sangat tinggi, sehingga bambu di kawasan ini perlu dipertahankan, dikelola dengan baik, dan dikonservasi dengan baik, sehingga menjadi spesies tanaman unggulan di kawasan TWA Gunung Baung. Spesies bambu lain yang memerlukan upaya konservasi adalah bambu D. asper

memiliki nilai INP yang kecil namun ICS yang cukup besar. Jika tidak diupayakan adanya konservasi, maka populasinya di alam dapat hilang.

(6)

Park, Pasuruan, East Java. Supervised by DEDE SETIADI and DIDIK WIDYATMOKO.

Bamboo is one of plant taxa comprising various species with high economic potential. Bamboo is a member of Bambusoideae of the Poaceae family. There are 1250 bamboo species in the world, 135 of them are in Indonesia. Not all bamboo species are well known, and only some of them can be found in Java Island.

Land use changes reduce bamboo natural habitats in Indonesia. One of the bamboo forests in East Java is found at a conservation area namely Mount Baung Natural Park. The information of bamboo diversity, population structure and the relationship between bamboo and its biotic and abiotic factors in Mount Baung Natural Park is not well known. The aims of the research were to study the ecology of bamboo, the relationship between bamboo growth and its biotic and abiotic factors, and the bio-prospection aspect of this taxon in Mount Baung Natural Park, Pasuruan, East Java.

This research was carried out at four different locations from September 2011 to Mei 2012. Those locations were Preserved Area, Rehabilitation Area, Limited Usage Area, and Intensive Usage Area. Data collection was conducted by analyzing the bamboo populations using sampled plots along the transects that were determined by stratified random samplings within four purposive sampled areas.

The collected botanical data consisted of the bamboo scientific names, the number of clumps per plot and the diameter of clumps. The environmental data consisted of altitude, solar radiation, temperature-humidity, and soil pH. Soil samples were analyzed at the Soil Chemical Laboratory, Center for Research of Land Resources, Bogor.

The abundances and densities of bamboo expressed an importance value index, namely the resultant of the sum of Relative Density, Relative Frequency, and Relative Dominance. The determination of habitat characteristics (i.e. determining the most related factors in relation to the presence of bamboo in their community) were analyzed by statistical correlations using the software STATISTICA Minitab 14. The principal component analysis (PCA) and cluster analysis were performed to determine relationships between abiotic/biotic components and bamboo’s occurrences. Canonical Correspondence Analysis (CCA) was used to determine component relationships. Cluster analysis was used to analyze the similarity of the environmental conditions of the bamboo habitat. Index Cultural Significance (ICS) was performed to determine the bamboo bio-prospecting of bamboo.

(7)

category, the bamboo in Mount Baung Natural Park belonged to A phase class. Based on the soil analysis, the location had good soil characteristics and was feasible for bamboo growth, namely silty clay loam, medium CEC (Cation

Exchange Capacity) ranging from 10,90 to 18,52 cmol kg-1, and high Phosphorus

(P), Potassium (K), and base saturation. P is an edafic factor significantly contributing to B. blumeana and B. vulgaris growth and while Sodium (Na) and Manganese (Mn) affecting to G.apus growth.

Cluster analysis showed that there were two groups of bamboo which had similar habitat. First group consisted of B. blumeana - B.vulgaris, and the other one consisted of D. asper - G. atter - G. apus - S. iraten. Ordination analysis showed that B. blumeana was affected mainly by slope and altitude.

Bamboo blumeana or Gesing bamboo which can be found in Limited, and Intensive Usage areas had the highest important values index and ICS as well as very high usage intensity and exclusive values. This indicateed that Gesing bamboo is a dominant species over the other species at Mount Baung Natural Park. Therefore B. blumeana species must be protected, managed, and conserved proverly. The other bamboo species D. asper, which had low important value index but high ICS, required conservation attention. The absence of conservation actions will lead to the extinction of bamboo population in the Mount.

(8)

© Hak Cipta miliki IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)

JAWA TIMUR

SITI SOFIAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Biologi Tumbuhan

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tesis : Ekologi dan Bioprospeksi Bambu di Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Baung Pasuruan Jawa Timur

Nama : Siti Sofiah

NIM : G353100081

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S. Dr. Didik Widyatmoko, M.Sc.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Biologi Tumbuhan

Dr. Ir. Miftahudin, M. Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc Agr.

(12)

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan rizki-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Ekologi dan Bioprospeksi Bambu di Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Baung, Pasuruan, Jawa Timur”. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S. Dan Dr. Didik Widyatmoko, M. Sc selaku komisi pembimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Kementriam Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk dapat melanjutkan studi melalu beasiswa Karya Siswa Ristek tahun 2010.

Penulis mengucapkan terima kasih pula kepada:

1. Dr. Ir. Miftahudin M. Si, selaku Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan atas segala perhatian, saran, dan masukannya selama perkuliahan dan penyusunan tesis,

2. Dr. Ir. Muhadiono M.Sc, selaku dosen penguji pada ujian tesis penulis atas segala masukannya,

3. Ir. Mustaid Siregar MP., selaku Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun

Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang telah memberikan kesempatan dan dorongan kepada penulis untuk dapat melanjutkan studi, 4. Dr. R. Hendrian, selaku Kepala UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya

Purwodadi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang telah memberikan dukungan kesempatan dan dorongan kepada penulis untuk melanjutkan studi. 5. Ir. Solikin MP, selaku staf peneliti UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun

Raya Purwodadi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk dapat melanjutkan studi.

6. Kepala Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Timur yang telah

memberikan kesempatan untuk dapat melakukan kegiatan penelitian di Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Baung.

7. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

pelaksanaan penelitian hingga penyusunan tesis ini. Terima kasih bagi teman-teman Program Studi Biologi Tumbuhan 2010 atas kebersamaan, kerjasama, dukungan dan persahabatan yang telah terjalin erat selama ini. Terima kasih kepada Bapak Matrani, Bapak Chaerul Fatah dan Bapak Pramujito yang selalu mendampingi penulis selama pengambilan data di lapangan.

Secara khusus, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibunda Siti Hindun yang senantiasa memberikan doa dan motivasi, dan Ibunda mertua Sri Hartini, beserta seluruh keluarga yang senantiasa memberikan motivasi, dorongan dan doa kepada penulis. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rono Toga Iqbal, suami tercinta, yang senantiasa memberikan dorongan dan doa serta penulis selama ini. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat, amin.

(13)

DAFTAR ISI

Manfaat penelitian ... 4

Kerangka pemikiran ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Ekologi... 6

Morfologi dan Sistematika Bambu ... 6

Bioprospeksi ... 8

METODE PENELITIAN ... 9

Waktu dan Tempat Penelitian ... 9

Letak dan Luas Kawasan ... 9

Kondisi Sosial Ekonomi Sekitar Kawasan ... 10

Topografi dan Tanah ... 10

Iklim ... 11

Kondisi Biologi Kawasan ... 11

Metode ... 12

Pengamatan Struktur, Populasi dan Kelimpahan Bambu ... 12

Pengamatan faktor lingkungan ... 13

Faktor Iklim dan Topografi ... 13

Faktor Edafik ... 13

Analisis Bioprospeksi ... 14

Analisis Data ... 16

Diagram Alir Penelitian ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Struktur, Populasi dan Kelimpahan Bambu ... 17

Spesies bambu di TWA Gunung Baung ... 17

Bambusa blumeana Blume ex. Schult ... 18

Bambusa vulgaris Schrad ex Wendl ... 18

Dendrocalamus asper (Roem.& Schult.f.) Backer ex Heyne ... 19

Schizostachyum iraten Steud ... 20

Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz ... 20

Gigantochloa apus ... 21

D. matmat ... 21

Kelimpahan ... 25

Karakteristik Habitat ... 28

Faktor Edafik ... 28

Faktor Iklim ... 34

Faktor topografis ... 36

Interaksi dengan komponen abiotis ... 36

(14)
(15)

DAFTAR TABEL

1 Nilai kualitas kegunaan suatu jenis tumbuhan menurut kategori

etnobotani ... 15

2 Kategori yang menggambarkan tentang intensitas penggunaan (intensity of use) jenis tumbuhan berguna ... 16

3 Kategori yang menggambarkan tentang tingkat eksklusivitas atau tingkat kesukaan ... 16

4 Parameter kemelimpahan bambu dominan B. blumeana ... 27

5 Eigenvalue unsur-unsdur tanah terhadap tempat tumbuh individu bambu. ... 32

6 Matriks karakteristik hara tanah terhadap bambu di TWA Gunung Baung ... 33

7 Intensitas sinaran surya rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan bambu di TWA Gunung Baung, Pasuruan. ... 34

8 Eigenvalues matriks korelasi faktor abiotis ... 37

9 Matriks karakteristik abiotis terhadap bambu di TWA Gunung Baung ... 38

10 Kondisi lingkungan parameter perjumpaan tiap spesies bambu (rata-rata). ... 39

11 ICS bambu di TWA Gunung Baung ... 42

12 Hasil perbandingan ICS terhadap INP bambu di kawasan TWA Gunung Baung ... 42

DAFTAR GAMBAR

1 Alur Kerangka Pemikiran Penelitian ... 5

2 Tipe Perakaran pada Bambu ... 7

3 Peta Penataan Blok Pengelolaan TWA Gunung Baung. ... 10

4 Peta kontur kawasan TWA Gunung Baung ... 11

5 Petak analisis vegetasi dan arah pembuatan transek ... 13

6 Diagram alir penelitian ... 17

7 Rumpun B. blumeana ... 18

8 (a) percabangan, (b) pelepah buluh, dan (c) perawakan B. vulgaris ... 19

9 (a) percabangan (b) buluh dan pelepah buluh, dan (c) perawakan D. asper ... 19

10 (a) pelepah buluh, (b) percabangan, dan (c) perawakan S. iraten ... 20

11 (a) bunga dan (b) percabangan pada G. atter ... 21

12 (a) Pelepah buluh dan (b) percabangan pada G. apus ... 21

13 (a) percabangan, (b) ruas buluh, dan (c) perawakan D. matmat ... 22

14 Struktur Populasi Bambu di TWA Gunung Baung, Purwodadi ... 23

15 Fisiognomi bambu pada bagian Utara-Selatan TWA Gunung Baung ... 25

16 Indeks Nilai Penting (INP) bambu pada blok kawasan di TWA Gunung Baung ... 26

17 Jumlah rumpun bambu pada setiap blok di kawasan TWA Gunung Baung ... 27

(16)

19 Hasil komponen utama unsur-unsur tanah terhadap lingkungan tempat tumbuh bambu di TWA Gunung Baung... 33 20 Hasil analisis komponen utama terhadap variabel lingkungan fisik

tempat tumbuh bambu dengan jumlah rumpun spesies bambu. ... 38 21 Hasil analisis kluster bambu berdasarkan lingkungan fisiknya di TWA

Gunung Baung. ... 40 22 Distribusi 6 spesies bambu terhadap variabel lingkungan fisik dan

biotik di TWA Gunung Baung. ... 41

DAFTAR LAMPIRAN

1 Indeks Nilai Penting dan Indeks Shannon Winner Fase Tumbuh

Pohon dan Habitus Bambu pada Blok Perlindungan TWA Gunung Baung ... 48

2 Indeks Nilai Penting dan Indeks Shannon Winner Fase Pohon dan

Habitus bambu pada Blok Rehabilitasi TWA Gunung Baung ... 49

3 Indeks Nilai Penting dan Indeks Shannon Winner Fase Pohon dan

Habitus Bambu pada Blok Pemanfaatan Terbatas TWA Gunung Baung ... 50

4 Indeks Nilai Penting dan Indeks Shannon Winner Fase Pohon dan

Habitus Bambu pada Blok Pemanfaatan Intensif TWA Gunung Baung... 51 5 Hasil Analisis Tanah TWA Gunung Baung ... 52

6 Data Intensitas Cahaya, Suhu, Kelembapan udara Mikro, Kelerengan

(17)
(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bambu merupakan salah satu taksa yang sangat beragam dan mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. Bambu termasuk ke dalam anak suku Bambusoideae

dalam suku Poaceae. Terdapat sekitar 1250 spesies bambu yang ditemukan di dunia, dan Indonesia memiliki 135 spesies yang termasuk ke dalam 21 marga (Widjaja 1997). Distribusi geografi bambu dipengaruhi oleh aktivitas manusia (Holtum 1985), karena bambu merupakan jenis tumbuhan yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia (Dransfield dan Widjaja 1995). Tidak semua spesies bambu dikenal oleh masyarakat dengan baik, dan hanya beberapa jenis saja yang tumbuh dan tersebar tersebar di Jawa (Widjaja 2001). Distribusi bambu di Pulau Jawa sangat unik karena beberapa jenis hanya terbatas pada daerah tertentu di pulau ini (Widjaja 1987). Bambu merupakan salah satu tumbuhan bernilai tinggi di Indonesia, karena memiliki berbagai nilai dan kegunaan serta berperan penting dalam konservasi keanekaragaman hayati.

Konservasi dan pengelolaan populasi bambu liar menjadi salah satu kegiatan penting, terutama pada lokasi dengan keragaman tinggi atau pada lokasi di mana tingkat deforestasi merupakan ancaman signifikan bagi kelestarian plasma nutfah dan keragaman jenis (Nath dan Das 2011). Tekanan besar terhadap habitat alami dapat menimbulkan bencana bagi kelestarian spesies tumbuhan yang hidup di dalamnya. Konservasi bambu di Jawa telah diimplementasikan baik secara in-situ maupun ex-situ. Diperkirakan lebih dari 75% bambu asli Indonesia tumbuh pada area konservasi atau pada habitat liarnya (Widjaja 1998).

Hutan bambu di Indonesia semakin berkurang akibat adanya fragmentasi hutan atau lahan dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan atau pertanian, sehingga mengakibatkan hilangnya habitat alami maupun keragaman jenisnya (Hakim et al. 2002). Tingginya laju kehilangan spesies bambu berkaitan dengan tingginya laju kehilangan pengetahuan tradisional, dan ini menyebabkan dampak negatif. Pengintroduksian spesies bambu baru dan peningkatan penggunaan beberapa spesies asli (lokal) tanpa diimbangi dengan kegiatan budidaya menyebabkan tanaman bambu tereksploitasi secara tidak terkendali. Hal ini menjadi penting penyebab hilangnya atau menurunnya keanekaragaman hayati bambu di Indonesia.

Bambu merupakan jenis tumbuhan yang memiliki banyak manfaat. Hampir seluruh bagian bambu dapat dimanfaatkan, mulai dari akar hingga daunnya. Beberapa sumber informasi dan penelitian menyebutkan bahwa spesies bambu tertentu merupakan jenis bambu langka di Indonesia, salah satunya adalah B.

blumeana. Namun demikian, spesies-spesies bambu di Indonesia belum ada yang

terdaftar dalam International Union for The Conservation of Nature and Natural

Resources (IUCN). Untuk itu penting dilakukan suatu kajian ekologis terhadap

spesies bambu di Indonesia, mengingat bahwa bambu merupakan jenis tumbuhan yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat.

(19)

memberikan manfaat bagi manusia (antara lain bahan obat, sumber makanan, bahan bakar dan bahan bangunan). Menurut Widyatmoko (2001), konservasi berbasis spesies akan efektif dengan melakukan identifikasi kebutuhan-kebutuhan habitat dan ekologi, status dan populasi, viabilitas populasi, asosiasi, distribusi, jumlah lokasi dan area minimum di mana spesies dapat dikonservasi, serta aspek-aspek biologis penting lainnya yang dapat menjadi penyebab kelangkaan spesies. Argumentasi konservasi dapat juga dilihat dari aspek etika, di mana justifikasi (argumentasi) konservasi dilakukan lebih berdasarkan pada nilai-nilai filosofi keagamaan, konservasi terhadap keanekaragaman hayati spesies berlaku untuk semua spesies penyusun ekosistem, termasuk spesies yang belum diketahui manfaatnya tanpa melihat nilai ekonominya (Mudiana 2012).

Bambu merupakan salah satu jenis tumbuhan tumbuh cepat. Namun kurangnya apresiasi terhadap sumber daya bambu di Indonesia menyebabkan terbatasnya upaya untuk menggali segala aspek pengetahuan yang berkaitan dengan usaha pembudidayaan, pengelolaan, pemanfaatan maupun pelestariannya (Sulthoni 1992). Melalui kegiatan penelitian semacam ini diharapkan dapat diketahui kondisi keragaman, ekologi dan bioprospeksi bambu yang tumbuh secara alami di berbagai hutan, terutama di kawasan-kawasan konservasi yang masih ada. Informasi ilmiah yang diperoleh dari penelitian ini, dapat dijadikan basis pertimbangan dalam pengelolaan dan konservasi bambu, khususnya di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Baung, Jawa Timur.

Salah satu hutan bambu di Jawa Timur yang berada di kawasan konservasi adalah di Taman Wisata Gunung Baung, Jawa Timur (Dephut 1998). Hutan bambu merupakan keunikan TWA Gunung Baung. TWA Gunung Baung juga memiliki air terjun yang diberi nama Coban Baung (dalam bahasa Jawa, coban

berarti air terjun). Keberadaan air terjun tersebut menjadi daya tarik utama kawasan ini. Sebagai suatu komponen ekosistem, air terjun tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor biotik dan abiotik yang ada di sekelilingnya, termasuk flora yang ada di dalamnya. Secara khusus diantaranya adalah bambu, merupakan salah satu tumbuhan penunjang konservasi tanah dan air, yang sering ditemukan di sepanjang aliran sungai (riparian) dan mata air. Inventarisasi yang telah dilakukan Departemen Kehutanan (1998) menyebutkan bahwa terdapat enam spesies bambu yang ada di kawasan ini, diantaranya B. blumeana, B. vulgaris, D. asper, S. iraten, G. atter dan G. apus.

Alasan penting lainnya dalam upaya pelestarian dan konservasi di TWA Gunung Baung adalah, berkaitan dengan keberadaan flora dan fauna, diantaranya kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dan kelelawar besar pemakan buah atau

kalong (Pteropus vampyrus) di kawasan ini kemungkinan berkaitan dengan

kondisi tumbuhan yang mendukung kehidupannya. Selain itu terdapat flora berpotensi diantaranya Amorphophallus variabilis atau dikenal dengan nama lokal Suweg, yang merupakan jenis tumbuhan berpotensi sebagai pangan alternatif dan ekonomi. Kekayaan jenis tumbuhan ini menunjukkan kelimpahan plasma nutfah yang dapat dijadikan objek penelitian untuk pengembangan berbagai ilmu pengetahuan dan pendidikan.

(20)

oleh pihak-pihak yang kurang memperhatikan aspek konservasi. Jika hal ini terus berkelanjutan, bukan hal yang tidak mungkin akan terjadi degradasi keragaman plasma nutfah di TWA Gunung Baung, khususnya bambu. Berdasarkan hal tersebut diperlukan kajian mengenai ekologi bambu di kawasan TWA Gunung Baung, mengingat kawasan ini sangat penting dalam upaya konservasi sumber daya alam. Alasan penting lainnya adalah karena faktor hayatinya berupa kekayaan satwa dan tumbuhan, serta aspek ekologisnya. Informasi mengenai keanekaragaman spesies, kondisi populasi, dan kelimpahan bambu, dan hubungannya dengan faktor abiotik di dalam kawasan TWA Gunung Baung dapat menjadi dasar bagi tindakan pengelolaan kawasan tersebut. Hal ini dikarenakan keberadaannya akan berkaitan dengan proses-proses ekologi di dalam kawasan tersebut.

Untuk itu diperlukan suatu kajian mengenai keragaman bambu, populasi, struktur dan kelimpahan bambu, serta hubungan bambu dengan faktor abiotiknya di TWA Gunung Baung. Informasi bioprospeksi bambu, dapat menjadi acuan pada rancang tindak prioritas konservasi flora di kawasan TWA Gunung Baung.

Perumusan Masalah

Masih terbatasnya upaya pengembangan dan pelestarian bambu disebabkan karena terbatasnya informasi mengenai potensi dan karakteristik pertumbuhan bambu dan habitat ekologi bambu tersebut. Diharapkan dengan adanya data dan informasi mengenai karakteristik, ekologi dan pemanfaatan bambu ini akan sangat berguna dalam merencanakan pengembangan upaya pelestarian bambu itu, khususya bambu di Jawa Timur.

Pemanfaatan bambu di sekitar kawasan TWA Gunung Baung sendiri cukup besar, mengingat di kawasan ini bambu merupakan salah satu komponen ekologi yang dapat menopang kehidupan di sekitarnya. Bambu yang paling banyak dimanfaatkan masyarakat sekitar adalah B. blumeana (bambu Gesing) dan umumnya digunakan untuk bahan kerajinan dan kayu bakar. Potensi lain masih belum terungkap, misalnya sebagai bahan baku obat. Selain itu bambu di kawasan ini berperan dalam fungsi ekologi lain yakni dalam hal konservasi tanah dan air, sehingga kehadiran bambu di kawasan ini sangat penting. Penelitian mengenai ekologi bambu itu sendiri masih jarang dilakukan. Sebagian penelitian lebih banyak berhubungan dengan peranan bambu pada konservasi tanah dan air tersebut, sedangkan yang berhubungan dengan struktur populasi, kelimpahan dan bioprospeksi (pemanfaatan) masih jarang dilakukan.

Penelitian pendahuluan mengenai keragaman bambu di TWA Gunung Baung pernah dilakukan dalam rangka inventarisasi spesies bambu di kawasan ini. Dari hasil inventarisasi ini terdapat enam spesies bambu yang terdapat di kawasan TWA Gunung Baung, yakni Bambusa blumeana, Bambusa vulgaris,

Dendrocalamus asper, Schizostachyum iraten, Gigantochloa atter, dan

Gigantochloa apus. Terdapat satu spesies bambu yang baru terinventarisir di

(21)

Tujuan penelitian

1. Mempelajari ekologi bambu di TWA Gunung Baung.

2. Mempelajari hubungan ekologis antara bambu dengan faktor-faktor biotik

dan abiotiknya.

3. Mempelajari aspek bioprospeksi bambu beserta konservasinya di kawasan

TWA Gunung Baung.

Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah penting tentang populasi dan preferensi tumbuh spesies bambu dalam upaya konservasi bernilai ekonomi di Taman Wisata Alam Gunung Baung. Informasi ini selanjutnya diharapkan dapat menjadi bahan-bahan rekomendasi dalam pelestarian dan pemanfaatan bambu secara berkelanjutan. Selain itu, dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai keragaman bambu secara lengkap di Taman Wisata Alam Gunung Baung, Jawa Timur.

Kerangka pemikiran

(22)
(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Ekologi

Dalam perkembangan ilmu ekologi dikenal dengan istilah sinekologi dan autekologi. Sinekologi lebih banyak mengkaji tentang golongan atau kumpulan organisme yang berasosiasi membentuk satu kesatuan di alam, sedangkan autekologi merupakan bagian dari bidang ilmu ekologi yang lebih fokus mempelajari individu organisme atau spesies yang berinteraksi dengan lingkungannya. Autekologi merupakan cabang ilmu ekologi yang membahas pengkajian individu organisme atau spesies, yang berkaitan dengan sejarah hidup dan perilaku sebagai cara-cara penyesuaian diri terhadap lingkungan di mana spesies atau individu itu hidup (Odum 1994). Penekanan autekologi terkait dengan siklus hidup, distribusi individu spesies pada kondisi alaminya, adaptasi, serta status dan perbedaan populasi.

Uraian lebih lanjut tentang autekologi dikemukakan oleh Barbour et. al

(1987) dikemukakan bahwa autekologi merupakan bagian yang besar dari ekologi tumbuhan dalam kaitannya dengan adaptasi dan kelakuan individu setiap spesies atau populasi yang terkait dengan tempat hidup. Mempelajari suatu komunitas merupakan aspek penting dalam ekologi dengan cara mengumpulkan data kualitatif, kuantitatif dan mensintesis data struktur tegakan, komposisi, dan tingkat organisasi dari komunitas. Suatu vegetasi merupakan hasil interaksi faktor-faktor lingkungan seperti bahan induk, topografi, tanah iklim, organisme-organisme hidup dan waktu. Pola interaksi dengan faktor-faktor lingkungan tersebut dapat digunakan sebagai indikator dari lingkungan atau komponen-komponen penduga sifat yang bersangkutan.

Morfologi dan Sistematika Bambu

Bambu merupakan salah satu jenis tumbuhan dengan daya tumbuh yang pesat. Rebung yang muncul sebagai calon buluh, akan menyelesaikan pertumbuhan vertikalnya dalam waktu setahun, sedangkan tahun-tahun berikutnya merupakan proses penuaan dan pada akhir tahun ketiga, bambu sudah dapat ditebang. Bambu sering disebut rumput raksasa yang tumbuh besar dan tinggi, berkembang biak dengan cukup luas dan pada umumnya tidak akan ada tumbuhan lain yang akan hidup di bawahnya jika tumbuhan ini berkembang besar (Heyne 1987). Bambu termasuk ke dalam family Poaceae dan sub family Bambusoideae.

(24)

dan tidak membentuk rumpun. Pertumbuhannya seperti individu-individu yang terpisah pada jarak yang berjauhan.

Bambu yang tumbuh di kawasan tropis seperti Malaysia dan Indonesia umumnya memiliki tipe pertumbuhan yang simpodial, sedangkan di daerah subtropik, seperti Jepang, Cina dan Korea umumnya bertipe monopodial (Berlin dan Estu 1995). Tipe monopodial dan simpodial bambu ditunjukkan pada Gambar 2. Rimpang yang terdapat di bawah tanah membentuk sistem percabangan, di mana dari ciri percabangan tersebut nantinya akan dapat membedakan asal dari kelompok bambu tersebut. Bagian pangkal akar rimpangnya lebih sempit dari pada bagian ujungnya dan setiap ruas mempunyai kuncup dan akar. Kuncup pada akar rimpang ini akan berkembang menjadi rebung yang kemudian memanjat dan akhirnya menghasilkan buluh (Widjaja 2001).

Monopodial Sympodial

Gambar 2 Tipe Perakaran pada Bambu

Di Indonesia, spesies bambu asli umumnya mempunyai perakaran yang pakimorf, yang dicirikan oleh ruasnya yang pendek dengan lehernya yang pendek

juga. Percabangan bambu umumnya terdapat atas buku-buku (Dransfield 1995).

Cabang juga dapat digunakan sebagai ciri penting untuk membedakan marga bambu (Widjaja 2001). Menurut Dahlan (1994) , bambu dengan tunas monopodial akan tumbuh lebih serempak dan cepat. Tanaman bambu yang tumbuh subur di Indonesia merupakan tanaman bambu yang simpodial, yaitu batang-batangnya cenderung mengumpul di dalam rumpun karena percabangan rhizomnya di dalam tanah cenderung mengumpul (Sindusuwarno 1963). Rimpang bambu di Indonesia umumnya bersifat simpodial diduga berkaitan dengan iklim di Indonesia yang termasuk ke dalam iklim wilayah tropis, di mana sinar matahari bersinar sepanjang tahun, dan hanya memilik dua musim, yakni musim penghujan dan musim kemarau. Posisi geografis Indonesia ini menguntungkan pertumbuhan bambu, di mana siklus hara tanah berjalan seimbang, sehingga pertumbuhan tunas rumpun bambu bersifat memusat (tunas bambu tidak perlu tumbuh jauh dari induknya dalam mencari sumber makanan).

(25)

khas warna pada ujungnya dan bulu-bulu yang terdapat pada pelepahnya. Bulu pelepah rebung umumnya hitam, tetapi ada pula yang coklat atau putih. Pelepah buluh merupakan hasil modifikasi daun yang menempel pada setiap ruas, yang terdiri atas daun pelepah buluh, keping pelepah buluh dan ligulanya terdapat antara sambungan antara pelepah daun dan pelepah buluh, sedangkan helai daun bambu memiliki tipe pertulangan yang sejajar seperti rumput. Helai daun dihubungkan dengan pelepah oleh tangkai daun yang mungkin panjang atau pendek. Pelepah dilengkapi dengan kuping pelepah daun dan juga ligula.

Bioprospeksi

Bioprospeksi pada dasarnya adalah pemanfaatan keanekaragaman hayati dan pengetahuan tradisional untuk mendapatkan sumber genetik dan senyawa

biokimia yang bernilai ekonomi tinggi (Reid et al. 1993: Posey 1997).

Bioprospecting (bioprospeksi) merupakan kependekan dari biodiversity

prospecting. Di dalam bioprospeksi terdapat serangkaian kegiatan yang bertujuan

untuk mencari dan menemukan senyawa bioaktif baru melalui pemanfataan keanekaragaman hayati.

Bioprospeksi pada prinsipnya adalah upaya pencarian, penelitian, pengumpulan, ekstraksi dan pemilihan sumberdaya hayati dan pengetahuan tradisional untuk mendapatkan materi genetik dan sumber biokimia yang bernilai ekonomi tinggi. Kegiatan bioprospeksi penting untuk mendokumentasikan sumberdaya genetik dan sekaligus mengembangkan manfaat ekonominya sebelum sumberdaya ini habis tereksploitasi. Oleh karena itu, keanekaragaman, struktur dan komposisi vegetasi sebagai sumber genetik dan komponen utama habitat perlu dikaji dan dianalisis. Bioprospeksi dapat digunakan sebagai alternatif strategis pemanfaatan sumberdaya hutan pengganti kayu. Bioprospeksi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu melalui cara tradisional dan ilmiah.

Bambu merupakan tumbuhan bernilai ekonomi, pemanfaatannya sangat luas, baik untuk keperluan sehari-hari maupun untuk hasil-hasil lain. Meskipun secara umum telah diketahui fungsi ini, namun upaya bioprospeksi dapat terus dilakukan, terutama bila dikaitkan dengan upaya konservasi jenisnya pada suatu kawasan konservasi tertentu, misalnya TWA Gunung Baung. Semua bagian tumbuhan bambu dapat dimanfaatkan mulai dari akar hingga daun. Akar umumnya dimanfaatkan untuk dibuat ukiran bambu, sedangkan buluh biasa dimanfaatkan untuk bahan bangunan, bahan jembatan, kerajinan tangan, keranjang, dan lain sebagainya. Selain itu buluh juga dapat digunakan untuk alat musik tradisional maupun alat musik modern. Banyak pakar bambu mengkategorikan bambu di Jawa sebagai bambu kampung yang telah umum dibudidayakan dan bambu liar yang berasal dari hutan (Widjaya 2001). Selain itu bambu berperan penting dalam mengamankan fungsi hidrologi daerah aliran sungai (DAS). Hal ini dikarenakan sistem rimpang luas bambu terletak terutama di lapisan atas tanah, yang berfungsi menstabilkan tanah di lereng dan tepi sungai, mencegah erosi dan longsor tanah. Tipe perakaran bambu yaitu perakaran

serabut (fibrous root), sehingga menjadikan bambu memiliki kemampuan

(26)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2011 - Mei 2012 di TWA Gunung Baung. Studi herbarium dilakukan di Herbarium Kebun Raya Purwodadi dan Herbarium Bogoriense Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)-Cibinong, Bogor. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Balai Besar Penelitian Sumberdaya Lahan, Bogor.

Letak dan Luas Kawasan

Kawasan hutan Gunung Baung seluas 195,5 Ha ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam (TWA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 657/Kps/Um/9/1980, tanggal 11 September 1980. Secara geografis kawasan ini terletak antara 7°49’9” - 7°47’23” LS dan 112°16’23” - 112°17’17” BT. Lokasi TWA ini berbatasan langsung dengan Kebun Raya Purwodadi (LIPI), tepatnya berada di Desa Cowek, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Pasuruan. Secara administratif pengelolaan kawasan ini termasuk wilayah kerja Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur II, Sub Seksi Konservasi Sumber Daya Alam Pasuruan Resort Konservasi Sumber Daya Alam Gunung Baung. Di sebelah utara kawasan TWA Gunung Baung berbatasan dengan Desa Kertasari, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cowek, sebelah timur dengan Desa Lebakrejo, dan sebelah barat dengan Desa Purwodadi, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan.

(27)

Gambar 3 Peta Penataan Blok Pengelolaan TWA Gunung Baung

Kondisi Sosial Ekonomi Sekitar Kawasan

Kondisi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan TWA Gunung Baung sedikit banyak berpengaruh terhadap kelestarian dan keberlangsungan proses di dalam kawasan. Terdapat empat wilayah desa yang bersinggungan secara langsung dengan kawasan, yaitu Desa Kertosari (sebelah Utara), Desa Cowek (sebelah Selatan), Desa Purwodadi (sebelah Barat), dan Desa Lebakrejo (sebelah Timur). Sebagian besar masyarakat di keempat desa tersebut bekerja di sektor pertanian. Sektor pekerjaan lainnya yang cukup banyak dilakukan oleh masyarakat adalah konstruksi bangunan dan industri olahan rumah tangga.

Topografi dan Tanah

(28)

Gambar 4 Peta kontur kawasan TWA Gunung Baung

Jenis tanah di TWA Gunung Baung adalah mediteran merah kuning dan latosol. Tanah berasal dari batuan kuarter tua dengan bahan induk berupa batu endapan metamorf (Dephut 1998).

Iklim

Menurut klasfikasi tipe curah hujan Schmidt dan Ferguson (1951), kawasan ini memiliki iklim type curah hujan D dengan nilai Q = 81,82%, jumlah rata-rata tahunan sebesar 2.654,10 mm dengan jumlah rata-rata hari hujan sebanyak 141,05 hari. Musim hujan (curah hujan > 100 mm/ bulan) umumnya terjadi pada bulan November-April, sedangkan musim kemarau (curah hujan < 60 mm/bulan) terjadi pada bulan Mei-Oktober (Dephut 1998).

Kondisi Biologi Kawasan

Jenis flora yang ada di TWA Gunung Baung diantaranya Beringin (Ficus

benjamina), kepuh (Sterculia foetida), bendo (Artocarpus elastica), gondang

(Ficus variegata) dan bambu. Sedangkan jenis fauna diantaranya kijang

(Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus sp.), kera abu-abu (Macaca fascicularis),

(29)

Salah satu spesies tumbuhan obat langka yang tumbuh di kawasan ini adalah

kayu rapet (Parameria laevigata). Spesies tumbuhan bawah yang tumbuh di

sekitarnya antara lain: Piper betle, Hypoestes polythyrsa, Sericocalyx crispus,

Oplismenus compositus, dan Bidens pilosa (Pa’i dan Yulistiarini 2006).

Setidaknya tercatat sebanyak 30 spesies satwa yang terdapat di kawasan ini, yang terdiri atas 8 spesies mamalia, 13 spesies aves, 8 spesies reptil dan 1 spesies amphibia. Beberapa satwa liar yang hidup di dalam kawasan antara lain kera ekor panjang (Macaca fascicularis), kelelawar besar (Pteropus vampyrus) kijang (Muntiacus muntjak), ayam hutan (Gallus sp), lutung (Trachypithecus

auratus), kucing hutan (Felis bengalensis), bajing terbang, landak (Hystrix

brachyura), dan trenggiling (Manis javanica). Beberapa spesies burung yang

dijumpai di kawasan ini diantaranya adalah raja udang (Alcedo sp.), kutilang

(Pycnonotus aurigaster), kacer (Chopsycus saularis), dan prenjak (Prinia

familiaris) (Baung Camp 2013; BKSDA 1998).

Metode

Pengamatan Struktur, Populasi dan Kelimpahan Bambu

Pengamatan bambu yang dimaksud dalam hal ini adalah untuk menjelaskan bambu dalam konteks individu yang kemudian membentuk populasi. Kegiatan pengukuran atau pengamatan yang dilakukan meliputi:

1. Jumlah rumpun pada setiap unit contoh. Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah rumpun setiap spesies bambu. Satu rumpun adalah sebagai satu individu tanaman. Penetapan individu atau rumpun bambu pada setiap jarak antar rumpun ± minimal 3 m.

2. Struktur populasi bambu. Pola pertumbuhan suatu organisme ditentukan oleh jumlah individu dalam setiap fase pertumbuhannnya. Pola pertumbuhan ini selanjutnya mencerminkan parameter struktur populasi yang dimaksudkan adalah struktur populasi bambu.

3. Diameter rumpun bambu. Spesies bambu menentukan pola pertumbuhannya.

Pengukuran diameter rumpun bambu dilakukan dengan menggunakan pita meteran. Pada beberapa rumpun bambu yang memiliki bentuk rumpun yang tidak merata, pendekatan pengukuran dilakukan dengan cara menentukan keliling lingkar rumpun, sehingga didapat nilai diameternya. Namun pada bentuk rumpun bambu yang melingkar cukup merata, pengukuran diameter menggunakan kayu, yang kemudian panjangnya diukur oleh pita meteran. Kategori diameter lingkar rumpun bambu dibagi menjadi 3 kelas, yakni kelas A dengan diameter kurang dari 5 m (D<5m), kelas B adalah diameter berukuran 5-10 m dan kelas C adalah lebih dari 10 m (D>10m).

Pengambilan data dilakukan melalui analisis vegetasi bambu dengan membuat plot sampel sepanjang transek, yang ditentukan dengan cara sampling

purposive menggunakan metode stratified random sampling (Krebs 1989).

(30)

Gambar 5 Petak analisis vegetasi dan arah pembuatan transek

Plot ditentukan pada setiap Blok yang ada di TWA Gunung Baung. Masing-masing dilakukan pengambilan sampel sebanyak 30 plot pada setiap bloknya, namun pada Blok Perlindungan dilakukan pengambilan sampel plot sebanyak 200 plot, dikarenakan memiliki luas area yang lebih besar. Dengan demikian total plot secara keseluruhan adalah 300 plot. Parameter kemelimpahan dan kepadatan bambu menggunakan Indeks Nilai Penting (INP), yang merupakan hasil penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR). Di manapersamaannya adalah sebagai berikut:

n n n

Studi mengenai lokasi penelitian adalah dengan melakukan penjelajahan di kawasan Taman Wisata Alam Gunung Baung. Berdasarkan pengamatan ini akan

menentukan spot untuk pengambilan sampel lokasi pengamatan. Karakteristik

habitat yang diukur di lapangan meliputi faktor topografis, klimatik dan edafik. Faktor topografis yang diukur adalah ketinggian menggunakan GPS dan altimeter, kemiringan tempat diukur dengan clinometer Suunto, serta arah lereng dengan kompas. Data iklim yang dicatat meliputi kelembaban dan suhu udara dengan menggunakan thermohigrograf serta curah hujan. Data curah hujan diperoleh dari data sekunder di lokasi yang bersumber dari Stasiun Klimatologi Karang Ploso. Data tanah yang diukur di lokasi penelitian adalah kemasaman tanah (pH), kelembaban dan suhu tanah yang diukur menggunakan Soil Tester.

Faktor Edafik

Contoh tanah diambil secara komposit. Pengambilan contoh dilakukan di setiap Blok lokasi penelitian terdari Blok Perlindungan, Blok Pemanfaatan Intensif, Blok Pemanfaatan Terbatas dan Blok Rehabilitasi. Sampel tanah diambil dari lapisan top soil (0-20 cm) dan lapisan sub soil (> 20 cm). Pada setiap Blok diambil dari lima (5) titik diagonal, lalu tanah dari kelima titik dikompositkan sesuai dengan kedalamannya, dan diambil dua (2) contoh ulangan sampel yang dianalisis. Contoh sampel tanah yang diambil pada Blok Perlindungan adalah tiga sampel, dengan pertimbangan memiliki luasan wilayah yang lebih luas dibanding Blok yang lainnya. Pengambilan sampel tanah pada kedalaman ini merupakan

(31)

kedalaman efektif bagi jenis tumbuhan yang memiliki akar serabut seperti bambu yang termasuk suku Poaceae.

Contoh tanah yang diambil di lokasi penelitian dianalisis sifat fisik dan kimianya di Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Penelitian Sumberdaya Lahan Pertanian Bogor, melalui tahap pengeringan suhu 105°C. Faktor fisika tanah yang dianalisis meliputi tekstur tanah (pasir, debu dan liat), sedangkan faktor kimiawi meliputi kemasaman tanah (pH), kandungan bahan organik tanah yang dinyatakan dalam rasio C/N, kandungan Ca, Mg, K dan Na, serta nilai kapasitas tukar kation (KTK). Analisis tekstur tanah dilakukan dengan pemisahan partikel liat, pasir dan debu dilakukan dengan metode kuantitatif melalui proses analisis mekanis. Proses ini terdiri atas pendispersian agregat tanah menjadi butir-butir tunggal, kemudian diikuti dengan sedimentasi. Kemasaman tanah (pH) diukur pada esktraksi campuran tanah dan air dengan perbandingan 1:5, KTK diekstraksi dengan NH4 asetat 1 N dan pH 7, kandungan C dianalisis dengan metode Walkley & Black, sedangkan N total dideterminasi dengan metode Kjeldahl.

Analisis Bioprospeksi

Bioprospeksi dilakukan untuk mendokumentasikan sumberdaya keanekaragaman hayati sebelum tereksploitasi habis kekayaan tersebut (Kodir 2009). Pengumpulan dan pengamatan data bioprospeksi dengan menggunakan perpaduan beberapa teknik pengumpulan data seperti wawancara, pengamatan langsung (observasi) di lapangan dan penelusuran pustaka. Metode wawancara dilakukan melalui semi terstruktur, di mana responden menjawab segala pertanyaan yang telah disiapkan pada quisioner. Pemilihan responden di setiap

dusun dilakukan secara bertujuan (purposive) disesuaikan dengan kondisi

lingkungan dan jumlah responden yang akan diambil yaitu responden kunci yang dapat mewakili dan memahami permasalahan yang diteliti, seperti Kepala Dusun, orang tua (sepuh) yang dianggap mengetahui tentang sejarah dan pengetahuan tentang tanaman obat-obatan, serta masyarakat umum lain yang dianggap memiliki pengetahuan cukup baik tentang manfaat dan kegunaan jenis-jenis tanaman. Adapun total responden yang diambil adalah sebanyak 30 orang.

Analisis bioprospeksi bambu dilakukan dengan Index of Cultural

Significance (ICS) atau indeks kepentingan budaya. Indeks kepentingan budaya

(ICS) adalah merupakan hasil analisis etnobotani kuantitatif yang menunjukkan nilai kepentingan tiap-tiap jenis tanaman berguna yang didasarkan pada keperluan masyarakat (Purwanto 2003). Perhitungan indeks kepentingan budaya (ICS) menggunakan rumus (Cunningham 2003) sebagai berikut:

n

ICS

=

(q x i x e)

ni

i = 1

di mana:

ICS = index of cultural significance

(32)

i = nilai intensitas (intensity value), yaitu menggambarkan intensitas pemanfaatan dari jenis tumbuhan

e = nilai eksklusivitas (exclusivity value)

Nilai kualitas, kuantitas dan ekslusivitas dari suatu pemanfaatan jenis tumbuhan yang ada pada persamaaan ICS, didapat melalui pemberian skor menurut kategori etnobotani (usage) dari tumbuhan tersebut. Berikut ini pada Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3 adalah kategori etnobotani untuk penilaian skor.

Tabel 1 Nilai kualitas kegunaan suatu jenis tumbuhan menurut kategori etnobotani

No. Deskripsi Kegunaan Nilai

Guna

1 Makanan pokok 5

2 Bahan pangan tambahan (secondary foods); umbi-umbian; buah-buahan; bahan

minuman 4

Bahan Pangan Lain yang Digunakan

3 Menambah rasa, aroma, bumbu-bumbuan dan penambah rasa lainnya; pembungkus bahan pangan; pakan ternak dan makanan hewan 3

Bahan Materi Utama

4 Kayu bahan bangunan, bahan wadah; kayu bahan bakar; bahan serat dan pakaian; bahan kerajinan atau teknologi tradisional; kayu sebagai bahan konstruksi. 4

Bahan Materi Sekunder

5

Penghasil bahan berguna untuk perawatan; bahan pewarna, dekorasi dan kosmetika; bahan deodoran, bahan pembersih; bahan perekat, tali, bahan tahan air; bahan alas dan tikar, bahan pembalut; bahan campuran sebagai bahan yang berguna

3

Bahan Obat

6 Bahan obat untuk penyakit manusia; bahan obat untuk penyakit hewan 3

7 Medicine miscelloneous or unspecified 2

Ritual atau Spiritual

8

Ritual kelahiran; inisiasi; kematian, keberanian, kepahlawanan dalam perang antar suku; ritual pengobatan; ritual perburuan, pemancingan dan kegiatan pertanian; Bahan pangan utama untuk ritual

2

9 Jenis yang secara spesfifik ditabukan atau hanya digunakan untuk ritual

adat/penyembuhan 2

10 Sebagai jimat, tanda cinta kasih (simbol), permanan, bahan ritual penolak hujan dll

Mitologi

11

Jenis tumbuhan berperan dalam supranatural atau mitos; supranatural, atau mitos yang bersifat magis dan religius; mitos sejarah; simbol desa; indikator lingkungan, nama seseorang, desa; tumbuhan yang berharga memiliki nilai

2

12

Tumbuhan yang secara speesifik tidak diketahui kegunaannya tetapi mempunyai gambaran yang indah atau mempunyai kemiripan dengan jenis tumbuhan yang lainnya

2

13

Tumbuhan yang memiliki nilai, tetapi tidak digunakan secara khusus atau adakalanya sangat khusus atau mempuyai perkecualian. Tumbuhan tidak berharga atau tidak bernilai atau tidak diketahui gunanya oleh siapapun.

(33)

Tabel 2 Kategori yang menggambarkan tentang intensitas penggunaan (intensity of use) jenis tumbuhan berguna

No. Deskripsi Nilai

1

Sangat tinggi intensitas penggunaannya; yaitu jenis-jenis tumbuhan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, digunakan secara reguler hampir setiap hari dalam memenuhi kebutuhan hidupnya

5

2

Intensitas penggunaannya tinggi; meliputi jenis-jenis tumbuhan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, digunakan secara reguler harian, musiman, atau dalam waktu berkala

4

3

Intensitas sedang; penggunaan jenis-jenis tumbuhan secara reguler tetapi dalam waktu-waktu tertentu, misalnya pemanfaatan yang bersifat musiman. Biasanya jenis-jenis diramu, diekstrak, atau bila hasilnya berlebihan bisa diperjualbelikan

3

4 Intensitas penggunaannya rendah; meliputi jenis-jenis yang jarang digunakan dan tidak mempunyai pengaruh kehidupan sehari-hari masyarakat. 2

5 Sangat jarang intensitas penggunaannya; meliputi jenis-jenis tumbuhan yang sangat minimal atau sangat jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. 1

Tabel 3 Kategori yang menggambarkan tentang tingkat eksklusivitas atau tingkat kesukaan

No. Deksripsi Nilai

1

Paling disukai dan merupakan pilihan utama dan merupakan jenis tumbuhan yang menjadi komponen utama dan sangat berperan dalam kulturnya. Jenis-jenis ini memiliki kegunaan yang paling disukai atau juga bagi jenis-jenis yang mempunyai nilai guna tidak tergantikan oleh jenis lain.

2

2 Meliputi jenis tumbuhan yang berguna yang disukai tetapi terdapat jenis-jenis lain apabila jenis-jenis tersebut tidak ada. 1 3 Meliputi jenis-jenis tumbuhan berguna yang hanya sebagai sumber daya sekunder,

ekslusifitasnya atau nilai kesukaannya rendah. 0,5

Analisis Data

Penentuan karakteristik habitat sebagai faktor yang paling berkaitan erat dengan kehadiran kelompok bambu dalam komunitasnya dengan melakukan

analisis statistik korelasi menggunakan software STATISTICA minitab 14.

Karakteristik faktor abiotik dengan keberadaan kelompok bambu dalam

komunitasnya dilakukan dengan menggunakan metode principal component

analysis (PCA). Principal Component Analysis atau Analisis Komponen Utama

dilakukan untuk melihat secara serentak keseluruhan hubungan antar variabel yang diamati untuk keperluan intepretasi dan analisis hubungan. Analisis klaster dilakukan untuk mengetahui kemiripan kondisi lingkungan tempat tumbuh antar spesies bambu.

Hubungan antara spesies bambu dengan variabel faktor lingkungan secara lebih lanjut dilakukan dengan menggunakan metode Canonical Correspondence

Analysis (CCA) dengan menggunakan CANOCO 4.5. Metode ini merupakan

(34)

lingkungannya. Hal tersebut dapat terlihat dari eigenvalues yang dihasilkan dari analisis ini.

Diagram Alir Penelitian

Berdasarkan uraian mengenai konsep penelitian bambu di TWA Gunung Baung, maka disusunlah diagram alur penelitian (Gambar 6).

Gambar 6 Diagram alir penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur, Populasi dan Kelimpahan Bambu

Spesies bambu di TWA Gunung Baung

Dari hasil penelitian diketahui terdapat tujuh spesies bambu yang ada di lokasi penelitian. Ketujuh spesies tersebut adalah Bambuasa blumeana, Bambusa

vulgaris, Dendrocalamus asper, Schizostachyum iraten, Gigantochloa. atter,

Gigantochloa apus. Terdapat satu spesies bambu yang sangat sedikit jumlahnya,

(35)

yakni Dinochloa matmat yang merupakan spesies bambu merambat. Berikut ini pertelaan dari spesies bambu tersebut.

Bambusa blumeana Blume ex. Schult

B. blumeana atau dikenal dengan bambu duri (Indonesia), pring Ori

(Jawa), pring gesing. Bambu ini banyak terdapat di Jawa. Tumbuh baik di daerah yang lembab, di sepanjang sungai, dan juga di daerah kering. Rumpun simpodial, tegak dan padat, karena percabangannya yang berduri rapat. Rebung bambu ini berwarna jingga, tertutup bulu coklat. Tinggi buluh mencapai 25 m, berduri. Buluh muda diselimuti lapisan lilin putih dengan bulu coklat tersebar, tetapi ketika tua menjadi gundul dan berwarna hijau mengilap. Panjang ruas 25-30 cm dan berdiameter 5-10 cm.

Gambar 7 Rumpun B. blumeana

Pelepah buluh mudah luruh dan tertutup bulu coklat, kuping pelepah buluh kecil, bercuping melebar kadang berkeriput hingga dasar daun pelepah buluh, dengan panjang buluh kejur mencapai 12 mm. Ligula bertangkai rendah, lebih kurang 3 mm dengan bulu kejur panjangnya 5-6 mm. Daun pelepah buluh tegak dan pada ruas bagian atas berkeluk balik. Daun agak berbulu pada bagian bawah, kuping pelepah buluh kecil dengan panjang bulu yang pendek mencapai 3 mm; ligula menggergaji dan menggerigi, tinggi mencapai 5 mm jika dengan bulu kejur mencapai 2 mm.

Bambusa vulgaris Schrad ex Wendl

(36)

Gambar 8 (a) percabangan, (b) pelepah buluh, dan (c) perawakan B. vulgaris

Dendrocalamus asper (Roem.& Schult.f.) Backer ex Heyne

Bambu ini dikenal dengan nama lokal bambu petung. Widjaja (1995) menggambarkan, bahwa bambu petung mempunyai tipe perakaran yang simpodial, dengan rumpun yang cukup rapat. Tinggi buluh mencapai 20-30 m, diameter pangkal 20-30 cm dengan panjang ruas 40-60 cm. Dinding buluh cukup tebal 11-38 mm dan pelepah daunnya jatuh, dengan panjang pelepah 20-25 cm serta memiliki cabang primer yang lebih besar dari cabang lainnya dan lebih dominan.

Gambar 9 (a) percabangan (b) buluh dan pelepah buluh, dan (c) perawakan D. asper

Bambu betung memiliki warna batang hijau kekuning-kuningan dengan ukuran yang lebih besar daripada jenis yang lainnya, warna miang coklat muda

a

b c

a

(37)

keputih-putihan dan pada batas-batas bukunya terdapat akar-akar pendek menggerombol yang memungkinkan untuk ditanam secara stek.

Schizostachyum iraten Steud

S. iraten dikenal dengan nama lokal bambu wuluh. Bambu ini merupakan

spesies bambu yang dimanfaatkan untuk membuat seruling. Sebagian masyarakat mengenalnya sebagai bambu suling. Bambu ini merupakan spesies bambu dengan diameter buluh yang kecil. Rumpun bambu rapat, dengan tipe perakaran yang simpodial. Buluh bambu tegak, terkulai di bagian ujungnya. Diameter buluh 20-50 mm, dengan tinggi buluh mencapai 6 m. Dinding buluh tipis, panjang, dan berwarna hijau. Panjang ruas pada buluh berukuran 70-120 cm.

Percabangan muncul pada seperempat bagian terbawah dari panjang buluh. Daun pelepah buluh persisten, panjang berukuran 20-28 cm, dengan bulu halus berwarna coklat. Aurikel berukuran 7 mm. Panjang ligula pada pelepah buluh adalah 7 mm. Daun-selubung di permukaan licin dan bersilia. Daun-blade dasar dengan koneksi tangkai-seperti singkat ke sarungnya. Daun berbentuk pisau lanset, dengan panjang 15-45 cm, dan lebar 15-90 mm.

Gambar 10 (a) pelepah buluh, (b) percabangan, dan (c) perawakan S. iraten

Gigantochloa atter (Hassk.) Kurz

G. atter dikenal dengan nama lokal bambu atter. Bambu ini banyak

tumbuh di Jawa dan beberapa daerah lain di Indonesia. Habitat bambu ini adalah daerah lembab dan kering, juga dataran rendah hingga dataran tinggi. rebung bambu atter berwarna hijau hingga keunguan, tertutup oleh bulu hitam. Tinggi buluh mencapai 2 m. Percabangan tumbuh jauh dari permukaan tanah, satu cabang latteral lebih besar dari cabang lainnya, dan ujungnya yang melengkung. Buluh muda dengan bulu hitam tersebar, gundul ketika tua dan hijau hingga hijau tua. Ruas panjangnya mencapai 50 cm, diameter 5-10 cm, dengan dinding tebal yang mencapai 8 mm. Daun pelepah tertutup bulu hitam, mudah luruh, kuping pelepah buluh membulat atau membulat dengan ujung melengkung keluar, tinggi 3-7 mm, dengan panjang bulu kejur mencapai 6 mm, ligula menggerigi, tinggi 3-6

a

(38)

mm, gundul. Daun pelepah buluh terkeluk balik, menyegitiga dengan pangkal sempit.

Gambar 11 (a) bunga dan (b) percabangan pada G. atter

Gigantochloa apus

G. apus dikenal dengan nama lokal bambu tali. Persebaran bambu ini

meliputi Jawa, tumbuh meliar juga di Taman Nasional Alas Purwo dan Meru Betiri. Rumpun bambu ini simpodial, rapat dan tegak. Rebung hijau tertutup bulu coklat dan hitam. Tinggi buluh mencapai 22 m dan lurus. Percabangan sekitar 1,5 m dari permukaan tanah, terdiri atas 5-11 cabang, satu cabang latteral lebih besar daripada cabang lainnya, dan ujung bulu melengkung. Buluh muda tertutup bulu coklat tersebar, tetapi luruh ketika sudah tua dan berwarna hijau. Panjang ruas 20-60 cm, dengan diamatter 4-15 cm, dengan tebal dinding mencapai 15 mm.

Gambar 12 (a) Pelepah buluh dan (b) percabangan pada G. apus

Pelepah buluh tidak mudah luruh, tertutup bulu hitam atau coklat, kuping pelepah buluh seperti bingkai, dengan tinggi 1-3 m. Panjang bulu kejur mencapai 7 mm, ligula menggerigi dengan tinggi 2-4 mm, gundul. Daun pelepah buluh terkeluk balik, menyegitiga dengan pangkal sempit. Bagian bawah permukaan daun agak berbulu, kuping pelepah daun kecil dan membulat, tinggi 1-2 mm, gundul; ligula rata dengan tinggi 2-4 mm dan gundul.

D. matmat

D. matmat merupakan salah satu spesies bambu yang merambat. Bambu ini

dikenal dengan nama lokal bambu matmat. Bambu ini merupakan bambu

a b

(39)

sympodial, dengan panjang ruas bambu 15 cm, dengan diameter sekitar 6-20 mm, dengan batang buluh yang padat atau berrongga, umumnya permukaannya agak kasar yang ditutup oleh bulu berwarna putih. Beberapa percabangan pada setiap ruas, tunas cabang primer aktif, tetapi perpanjangan terutama ketika ujung batang bambu rusak.

Gambar 13 (a) percabangan, (b) ruas buluh, dan (c) perawakan D. matmat

Pelepah buluh berukuran 9 - 10 x 3,5 – 4 cm, pada ujung pelepah buluh terjadi penyempitan sekitar 2-3 mm dengan bentuk melancip, dengan rambut pucat, terutama dibagian pangkal pelepah, rambut lebih banyak. Pelepah buluh menyempit pada bagian pangkal bawah, dengan lebar 1-3 mm, berkerut, tertutup oleh rambut putih. Tidak ada cuping pada pelepah, panjang ligula 1 mm. Daun berukuran 9-19 (24) x 2-3 (5.5) cm, halus, sedikit berrambut, tipis dan berbentuk memanjang (lanciolate). Perbungaan spikelets dengan bunga bagian terbawah berkembang terlebih dahulu, dan panjangnya sekitar 60-75 cm. Lemma tipis dan

berrambut, panjang 1 mm, lebar 2 mm. Palea 3 x 3 mm, tipis dan berrambut

(Dransfield dan Widjaja 2000). Bambu matmat ini masih belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Sejauh ini masyarakat menggunakan sebagai tumbuhan hias.

Struktur populasi

Secara teoritis dikenal tiga struktur populasi yang dapat ditemukan dalam pertumbuhan suatu organisme. Pemisahan ini umumnya didasarkan pada tingkatan umur organisme, yaitu struktur populasi menurun, stabil dan muda (Wirakusumah 2003). Struktur populasi ideal digambarkan oleh bentuk kurva berbentuk J terbalik, di mana secara berurut jumlah individu permudaannya lebih banyak dari pada strata dewasanya.

a b

(40)

Bambu merupakan jenis tumbuhan yang tidak memiliki pusat titik tumbuh pertumbuhan sekunder, yang umumnya berlainan dengan tumbuhan lain, di mana sebagian memiliki sebagai pusat pertumbuhan sekunder. Oleh karenanya, pertambahan umur bambu tidak dapat diukur dengan pertambahan diameter batang. Pertumbuhan tanaman dari masa muda ke dewasa menunjukan pola tunas baru tumbuh dengan meningkatkan garis tengah (diameter) rumpun, sehingga pendekatan struktur ukuran populasi bambu, salah satunya ditetapkan dengan

perhitungan diameter lingkar rumpun bambu (Hakim et.al 2002). Struktur

populasi bambu dalam kajian ini diuraikan menurut fase pertumbuhan berdasarkan kriteria pertumbuhan bambu. Fase pertumbuhan yang dimaksud meliputi fase bambu muda, sedang dan dewasa.

Struktur populasi bambu di kawasan TWA Gunung Baung ditunjukkan oleh Gambar 14. Berdasarkan pengkategorian struktur populasi bambu menunjukkan bahwa bambu di kawasan ini berada pada masa struktur populasi muda.

Gambar 14 Struktur Populasi Bambu di TWA Gunung Baung, Purwodadi. Kelas A = diameter rumpun bambu < 5 m, B = diameter rumpun bambu 5-10 m, C = diameter rumpun bambu > 10 m

(41)

Struktur populasi bambu di Gunung Baung banyak terdapat pada kelas A, lalu menurun pada kelas B dan tidak ada sama sekali pada kelas C. Kecuali pada bambu dominan B. blumeana memiliki kelas B dengan persentasi sebanyak 22%

dari fase anakannya. B. blumeana merupakan bambu yang memiliki struktur

populasi ideal di kawasan ini. Terjadinya struktur populasi yang berlimpah pada fase muda diduga disebabkan oleh faktor lingkungan tempat tumbuh. Tingginya

B. blumeana yang berada pada stadia muda diduga berkaitan dengan lingkungan

tumbuh yang sangat cocok dengan spesies bambu ini. Faktor edafik sangat berpengaruh signifikan terhadap kecepatan pertumbuhan bambu. Bambu merupakan jenis tumbuhan yang menyukai cahaya (Bitariho 2008). Pertumbuhan bambu cenderung lebih banyak berada di areal terbuka dengan intensitas cahaya yang lebih banyak, sehingga memungkinkan untuk membentuk suatu komunitas bambu yang luas. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Sutiyono (1999) yang menyatakan bahwa pertumbuhan bambu sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim terutama faktor cahaya, suhu, curah hujan, dan kelembaban.

Permudaan tanaman bambu juga berkaitan erat dengan penyebarannya di alam. Seperti diketahui bahwa bambu mempunyai ruas dan buku, pada ruasnya tumbuh cabang-cabang yang ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan buluhnya sendiri. Pada ruas-ruas ini pula dapat tumbuh akar sehingga pada bambu dimungkinkan untuk memperbanyak diri dengan potongan-potongan batangnya. Selain dengan potongan batang, bambu memperbanyak diri dengan tunas-tunas akar rimpangnya atau dikenal dengan rebung.

Sistem perkembangan dasar rumpun bambu yang cenderung melebar oleh bertambahnya jumlah batang/rumpun setiap tahunnya menyebabkan bertambahnya lingkar rumpun, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap kerapatan rumpun. Kerapatan rumpun merupakan perbandingan jumlah batang/ rumpun dengan lingkar rumpun (Sutiyono 2007). Jarak antar rumpun berpengaruh terhadap kerapatan bambu. Hal ini berkaitan dengan pengaruh penetrasi cahaya yang masuk ke dalam rumpun bambu. Jarak antara rumpun bambu yang semakin lebar menyebabkan pencahayaan semakin efisien dalam memanfaatkan unsur hara untuk pertumbuhan dan perkembangan sistem perakaran dasar rumpun bambu.

Bambu marga Bambusa, Gigantochloa dan Dendrocalamus memiliki

rumpun yang rapat. Pendekatan pengukuran struktur populasi pada ketiga marga

bambu ini dianggap sama. Sedangkan S. iraten merupakan spesies bambu

berdiameter buluh kecil, sehingga pendekatan pengukuran struktur populasi dibedakan dengan spesies bambu lainnya. Namun demikian, dasar argumentasi dan hasil penelitian mengenai perkembangan vegetasi rumpun bambu ini belum banyak diketahui, sehingga kelas kategori untuk kerapatan bambu ini masih dilakukan dengan pendekatan yang sama.

(42)

Perlindungan yang umumnya didominasi bambu, memiliki nilai indeks keragaman yang lebih rendah dibanding dengan kawasan Blok Rehabilitasi.

Kelimpahan

Kelimpahan bambu dalam uraian ini diletakkan pada kelimpahan menurut spesies bambu yang ditemui di kawasan penelitian. Parameter yang digunakan untuk menjelaskan kelimpahan jenis adalah menurut jumlah rumpun dan Indeks Nilai Penting (INP). Samingan (1978) mengemukakan bahwa populasi merupakan kelompok kolektif organisme-organisme daripada jenis yang sama yang menduduki ruang/tempat tertentu. Besarnya populasi dapat diketahui melalui kerapatan populasi dalam hubungannya dengan bagian satuan ruangan. Umumnya kerapatan populasi dinyatakan dalam jumlah individu atau biomassa populasi, per satuan areal atau volume, banyaknya pohon atau individu per hektar.

Kerapatan populasi atau kerapatan tanaman memberikan gambaran ketersediaan dan potensi tanaman di areal tersebut. Nilai kerapatan tanaman umumnya dinyatakan dalam banyaknya individu per hektar. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1998), dominasi suatu jenis terhadap jenis lain di dalam suatu tegakan dapat dinyatakan melalui berbagai besaran salah satunya adalah Indeks Nilai Penting (INP), yang merupakan hasil penjumlahan 2 atau lebih nilai-nilai nisbi (KR, FR dan DR) dengan nilai maksimum 300 %, sehingga akan didapatkan nilai yang lebih representatif dan akurat. Untuk menetapkan nilai penting /dominasi suatu jenis terhadap jenis lain dalam tegakan diperlukan nilai kerapatan relatif (KR), yaitu persen jumlah individu jenis terhadap jumlah individu semua jenis. Salah satu fisiognomi bambu pada sisi wilayah TWA Gunung Baung, adalah pada Gambar 15.

Gambar 15 Fisiognomi bambu pada bagian Utara-Selatan TWA Gunung Baung

Kelimpahan spesies bambu di setiap blok yang ada dikawasan TWA Gunung Baung berlainan satu dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan setiap blok yang ada sudah memiliki fungsi masing-masing. Dari tujuh spesies bambu

yang ditemukan di Gunung Baung, spesies D. matmat tidak diuraikan secara

(43)

terbatas yakni tidak sampai 1%. Indeks Nilai Penting bambu di setiap blok di kawasan TWA Gunung Baung, ditunjukkan pada Gambar 16.

Gambar 16 Indeks Nilai Penting (INP) bambu pada blok kawasan di TWA Gunung Baung

B. blumeana merupakan spesies bambu dengan INP paling tinggi mencapai

127,97%. Adanya INP tertinggi menggambarkan struktur bambu di kawasan ini termasuk ke dalam habitat alaminya, tanpa ada aspek pemanfaatan atau gangguan

dari manusia. Menurut Muller dan Ellenberg (1974 dalam Setiadi 2005)

dikemukakan bahwa komposisi bervegetasi hutan alami yang telah terbentuk dalam jangka panjang akan memperlihatkan fisiognomi, fenologi dan daya regenerasi yang lambat dan cenderung mantap, sehingga dinamika floristik komunitas hutan tidak terlalu nyata dengan dan menyolok. Dalam konteks ini pergantian generasi atau regenerasi spesies seakan-akan tidak tampak, akibatnya jarang dijumpai spesies tertentu yang kemudian muncul dominan, karena semua spesies telah beradaptasi dalam jangka waktu yang lama.

Hasil perhitungan jumlah populasi rumpun bambu dan indeks nilai penting enam spesies bambu menunjukkan bahwa B. blumeana memiliki jumlah individu paling banyak INP paling tinggi diantara semua spesies bambu, bahkan diantara

semua spesies tumbuhan dalam komunitas bambu di Gunung Baung. B. blumeana

(44)

Tabel 4 Parameter kemelimpahan bambu dominan B. blumeana Kerapatan relatif (%) 72,4806 21,5385 3,1250 0,6667 Frekuensi relatif (%) 53,7994 27,2727 3,1746 1,5873 Dominansi relatif (%) 1,6881 0,3647 0,1100 0,0061 Indeks Nilai Penting (%) 127,9681 49,1759 6,4096 2,2601 Indeks Keragaman Shannon (H') 0,3366 0,4771 0,1563 0,0482

Parameter kemelimpahan B. blumeana yang diamati di TWA Gunung

Baung diperlihatkan Tabel 4. Paremeter kemelimpahan pada Blok Perlindungan menunjukkan nilai tertinggi dibandingkan pada blok lainnya. Fenomena ini mengarah pada adanya preferensi habitat dari B. blumeana, yang diduga berada di daerah terbuka, menyukai cahaya, berada pada kelerengan dan kemiringan tertentu yang ditemui di kawasan ini.

Parameter ekologi tumbuhan secara kuantitatif dapat diketahui melalui jumlah individu jenis tumbuhan yang ditemui pada plot pengamatan. Jumlah inidividu spesies akan menentukan kerapatan dan kepadatan spesies tersebut pada suatu area. Tabulasi jumlah rumpun bambu pada setiap blok di TWA Gunung Baung, ditunjukkan pada Gambar 17.

Gambar 17 Jumlah rumpun bambu pada setiap blok di kawasan TWA Gunung Baung

B. blumeana merupakan spesies bambu yang memiliki jumlah rumpun

Gambar

Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3 adalah kategori etnobotani untuk penilaian skor.
Tabel 2  Kategori yang menggambarkan tentang intensitas penggunaan (intensity of use) jenis tumbuhan berguna
Gambar 6  Diagram alir penelitian
Gambar 7  Rumpun B. blumeana
+7

Referensi

Dokumen terkait