• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bambu merupakan salah satu taksa yang sangat beragam dan mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. Bambu termasuk ke dalam anak suku Bambusoideae

dalam suku Poaceae. Terdapat sekitar 1250 spesies bambu yang ditemukan di dunia, dan Indonesia memiliki 135 spesies yang termasuk ke dalam 21 marga (Widjaja 1997). Distribusi geografi bambu dipengaruhi oleh aktivitas manusia (Holtum 1985), karena bambu merupakan jenis tumbuhan yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia (Dransfield dan Widjaja 1995). Tidak semua spesies bambu dikenal oleh masyarakat dengan baik, dan hanya beberapa jenis saja yang tumbuh dan tersebar tersebar di Jawa (Widjaja 2001). Distribusi bambu di Pulau Jawa sangat unik karena beberapa jenis hanya terbatas pada daerah tertentu di pulau ini (Widjaja 1987). Bambu merupakan salah satu tumbuhan bernilai tinggi di Indonesia, karena memiliki berbagai nilai dan kegunaan serta berperan penting dalam konservasi keanekaragaman hayati.

Konservasi dan pengelolaan populasi bambu liar menjadi salah satu kegiatan penting, terutama pada lokasi dengan keragaman tinggi atau pada lokasi di mana tingkat deforestasi merupakan ancaman signifikan bagi kelestarian plasma nutfah dan keragaman jenis (Nath dan Das 2011). Tekanan besar terhadap habitat alami dapat menimbulkan bencana bagi kelestarian spesies tumbuhan yang hidup di dalamnya. Konservasi bambu di Jawa telah diimplementasikan baik secara in-situ maupun ex-situ. Diperkirakan lebih dari 75% bambu asli Indonesia tumbuh pada area konservasi atau pada habitat liarnya (Widjaja 1998).

Hutan bambu di Indonesia semakin berkurang akibat adanya fragmentasi hutan atau lahan dan alih fungsi lahan menjadi perkebunan atau pertanian, sehingga mengakibatkan hilangnya habitat alami maupun keragaman jenisnya (Hakim et al. 2002). Tingginya laju kehilangan spesies bambu berkaitan dengan tingginya laju kehilangan pengetahuan tradisional, dan ini menyebabkan dampak negatif. Pengintroduksian spesies bambu baru dan peningkatan penggunaan beberapa spesies asli (lokal) tanpa diimbangi dengan kegiatan budidaya menyebabkan tanaman bambu tereksploitasi secara tidak terkendali. Hal ini menjadi penting penyebab hilangnya atau menurunnya keanekaragaman hayati bambu di Indonesia.

Bambu merupakan jenis tumbuhan yang memiliki banyak manfaat. Hampir seluruh bagian bambu dapat dimanfaatkan, mulai dari akar hingga daunnya. Beberapa sumber informasi dan penelitian menyebutkan bahwa spesies bambu tertentu merupakan jenis bambu langka di Indonesia, salah satunya adalah B.

blumeana. Namun demikian, spesies-spesies bambu di Indonesia belum ada yang

terdaftar dalam International Union for The Conservation of Nature and Natural

Resources (IUCN). Untuk itu penting dilakukan suatu kajian ekologis terhadap

spesies bambu di Indonesia, mengingat bahwa bambu merupakan jenis tumbuhan yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat.

Konservasi jenis-jenis tumbuhan penting dilakukan. Beberapa alasan pentingnya mengkonservasi jenis tumbuhan adalah karena jenis tumbuhan dapat

memberikan manfaat bagi manusia (antara lain bahan obat, sumber makanan, bahan bakar dan bahan bangunan). Menurut Widyatmoko (2001), konservasi berbasis spesies akan efektif dengan melakukan identifikasi kebutuhan-kebutuhan habitat dan ekologi, status dan populasi, viabilitas populasi, asosiasi, distribusi, jumlah lokasi dan area minimum di mana spesies dapat dikonservasi, serta aspek- aspek biologis penting lainnya yang dapat menjadi penyebab kelangkaan spesies. Argumentasi konservasi dapat juga dilihat dari aspek etika, di mana justifikasi (argumentasi) konservasi dilakukan lebih berdasarkan pada nilai-nilai filosofi keagamaan, konservasi terhadap keanekaragaman hayati spesies berlaku untuk semua spesies penyusun ekosistem, termasuk spesies yang belum diketahui manfaatnya tanpa melihat nilai ekonominya (Mudiana 2012).

Bambu merupakan salah satu jenis tumbuhan tumbuh cepat. Namun kurangnya apresiasi terhadap sumber daya bambu di Indonesia menyebabkan terbatasnya upaya untuk menggali segala aspek pengetahuan yang berkaitan dengan usaha pembudidayaan, pengelolaan, pemanfaatan maupun pelestariannya (Sulthoni 1992). Melalui kegiatan penelitian semacam ini diharapkan dapat diketahui kondisi keragaman, ekologi dan bioprospeksi bambu yang tumbuh secara alami di berbagai hutan, terutama di kawasan-kawasan konservasi yang masih ada. Informasi ilmiah yang diperoleh dari penelitian ini, dapat dijadikan basis pertimbangan dalam pengelolaan dan konservasi bambu, khususnya di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Baung, Jawa Timur.

Salah satu hutan bambu di Jawa Timur yang berada di kawasan konservasi adalah di Taman Wisata Gunung Baung, Jawa Timur (Dephut 1998). Hutan bambu merupakan keunikan TWA Gunung Baung. TWA Gunung Baung juga memiliki air terjun yang diberi nama Coban Baung (dalam bahasa Jawa, coban

berarti air terjun). Keberadaan air terjun tersebut menjadi daya tarik utama kawasan ini. Sebagai suatu komponen ekosistem, air terjun tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor biotik dan abiotik yang ada di sekelilingnya, termasuk flora yang ada di dalamnya. Secara khusus diantaranya adalah bambu, merupakan salah satu tumbuhan penunjang konservasi tanah dan air, yang sering ditemukan di sepanjang aliran sungai (riparian) dan mata air. Inventarisasi yang telah dilakukan Departemen Kehutanan (1998) menyebutkan bahwa terdapat enam spesies bambu yang ada di kawasan ini, diantaranya B. blumeana, B. vulgaris, D. asper, S. iraten, G. atter dan G. apus.

Alasan penting lainnya dalam upaya pelestarian dan konservasi di TWA Gunung Baung adalah, berkaitan dengan keberadaan flora dan fauna, diantaranya kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dan kelelawar besar pemakan buah atau

kalong (Pteropus vampyrus) di kawasan ini kemungkinan berkaitan dengan

kondisi tumbuhan yang mendukung kehidupannya. Selain itu terdapat flora berpotensi diantaranya Amorphophallus variabilis atau dikenal dengan nama lokal Suweg, yang merupakan jenis tumbuhan berpotensi sebagai pangan alternatif dan ekonomi. Kekayaan jenis tumbuhan ini menunjukkan kelimpahan plasma nutfah yang dapat dijadikan objek penelitian untuk pengembangan berbagai ilmu pengetahuan dan pendidikan.

Bambu merupakan tumbuhan dominan di TWA Gunung Baung. Belakangan ini populasi bambu di kawasan ini mengalami penurunan akibat adanya pemanfaatan ilegal. Masyarakat menyebutkan bahwa spesies bambu tertentu, yakni B. blumeana atau dikenal dengan nama lokal bambu gesing, sering dipanen

oleh pihak-pihak yang kurang memperhatikan aspek konservasi. Jika hal ini terus berkelanjutan, bukan hal yang tidak mungkin akan terjadi degradasi keragaman plasma nutfah di TWA Gunung Baung, khususnya bambu. Berdasarkan hal tersebut diperlukan kajian mengenai ekologi bambu di kawasan TWA Gunung Baung, mengingat kawasan ini sangat penting dalam upaya konservasi sumber daya alam. Alasan penting lainnya adalah karena faktor hayatinya berupa kekayaan satwa dan tumbuhan, serta aspek ekologisnya. Informasi mengenai keanekaragaman spesies, kondisi populasi, dan kelimpahan bambu, dan hubungannya dengan faktor abiotik di dalam kawasan TWA Gunung Baung dapat menjadi dasar bagi tindakan pengelolaan kawasan tersebut. Hal ini dikarenakan keberadaannya akan berkaitan dengan proses-proses ekologi di dalam kawasan tersebut.

Untuk itu diperlukan suatu kajian mengenai keragaman bambu, populasi, struktur dan kelimpahan bambu, serta hubungan bambu dengan faktor abiotiknya di TWA Gunung Baung. Informasi bioprospeksi bambu, dapat menjadi acuan pada rancang tindak prioritas konservasi flora di kawasan TWA Gunung Baung.

Perumusan Masalah

Masih terbatasnya upaya pengembangan dan pelestarian bambu disebabkan karena terbatasnya informasi mengenai potensi dan karakteristik pertumbuhan bambu dan habitat ekologi bambu tersebut. Diharapkan dengan adanya data dan informasi mengenai karakteristik, ekologi dan pemanfaatan bambu ini akan sangat berguna dalam merencanakan pengembangan upaya pelestarian bambu itu, khususya bambu di Jawa Timur.

Pemanfaatan bambu di sekitar kawasan TWA Gunung Baung sendiri cukup besar, mengingat di kawasan ini bambu merupakan salah satu komponen ekologi yang dapat menopang kehidupan di sekitarnya. Bambu yang paling banyak dimanfaatkan masyarakat sekitar adalah B. blumeana (bambu Gesing) dan umumnya digunakan untuk bahan kerajinan dan kayu bakar. Potensi lain masih belum terungkap, misalnya sebagai bahan baku obat. Selain itu bambu di kawasan ini berperan dalam fungsi ekologi lain yakni dalam hal konservasi tanah dan air, sehingga kehadiran bambu di kawasan ini sangat penting. Penelitian mengenai ekologi bambu itu sendiri masih jarang dilakukan. Sebagian penelitian lebih banyak berhubungan dengan peranan bambu pada konservasi tanah dan air tersebut, sedangkan yang berhubungan dengan struktur populasi, kelimpahan dan bioprospeksi (pemanfaatan) masih jarang dilakukan.

Penelitian pendahuluan mengenai keragaman bambu di TWA Gunung Baung pernah dilakukan dalam rangka inventarisasi spesies bambu di kawasan ini. Dari hasil inventarisasi ini terdapat enam spesies bambu yang terdapat di kawasan TWA Gunung Baung, yakni Bambusa blumeana, Bambusa vulgaris,

Dendrocalamus asper, Schizostachyum iraten, Gigantochloa atter, dan

Gigantochloa apus. Terdapat satu spesies bambu yang baru terinventarisir di

kawasan ini, namun sangat sedikit jumlahnya, yakni Dinochloa matmat yang merupakan spesies bambu merambat.

Tujuan penelitian

1. Mempelajari ekologi bambu di TWA Gunung Baung.

2. Mempelajari hubungan ekologis antara bambu dengan faktor-faktor biotik

dan abiotiknya.

3. Mempelajari aspek bioprospeksi bambu beserta konservasinya di kawasan

TWA Gunung Baung.

Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah penting tentang populasi dan preferensi tumbuh spesies bambu dalam upaya konservasi bernilai ekonomi di Taman Wisata Alam Gunung Baung. Informasi ini selanjutnya diharapkan dapat menjadi bahan-bahan rekomendasi dalam pelestarian dan pemanfaatan bambu secara berkelanjutan. Selain itu, dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai keragaman bambu secara lengkap di Taman Wisata Alam Gunung Baung, Jawa Timur.

Kerangka pemikiran

Berdasarkan pada latar belakang kondisi permasalahan yang berkaitan dengan bambu di TWA Gunung Baung ini, disusunlah suatu kerangka pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya kegiatan penelitin ini (Gambar 1).

TINJAUAN PUSTAKA

Ekologi

Dalam perkembangan ilmu ekologi dikenal dengan istilah sinekologi dan autekologi. Sinekologi lebih banyak mengkaji tentang golongan atau kumpulan organisme yang berasosiasi membentuk satu kesatuan di alam, sedangkan autekologi merupakan bagian dari bidang ilmu ekologi yang lebih fokus mempelajari individu organisme atau spesies yang berinteraksi dengan lingkungannya. Autekologi merupakan cabang ilmu ekologi yang membahas pengkajian individu organisme atau spesies, yang berkaitan dengan sejarah hidup dan perilaku sebagai cara-cara penyesuaian diri terhadap lingkungan di mana spesies atau individu itu hidup (Odum 1994). Penekanan autekologi terkait dengan siklus hidup, distribusi individu spesies pada kondisi alaminya, adaptasi, serta status dan perbedaan populasi.

Uraian lebih lanjut tentang autekologi dikemukakan oleh Barbour et. al

(1987) dikemukakan bahwa autekologi merupakan bagian yang besar dari ekologi tumbuhan dalam kaitannya dengan adaptasi dan kelakuan individu setiap spesies atau populasi yang terkait dengan tempat hidup. Mempelajari suatu komunitas merupakan aspek penting dalam ekologi dengan cara mengumpulkan data kualitatif, kuantitatif dan mensintesis data struktur tegakan, komposisi, dan tingkat organisasi dari komunitas. Suatu vegetasi merupakan hasil interaksi faktor-faktor lingkungan seperti bahan induk, topografi, tanah iklim, organisme-organisme hidup dan waktu. Pola interaksi dengan faktor-faktor lingkungan tersebut dapat digunakan sebagai indikator dari lingkungan atau komponen-komponen penduga sifat yang bersangkutan.

Morfologi dan Sistematika Bambu

Bambu merupakan salah satu jenis tumbuhan dengan daya tumbuh yang pesat. Rebung yang muncul sebagai calon buluh, akan menyelesaikan pertumbuhan vertikalnya dalam waktu setahun, sedangkan tahun-tahun berikutnya merupakan proses penuaan dan pada akhir tahun ketiga, bambu sudah dapat ditebang. Bambu sering disebut rumput raksasa yang tumbuh besar dan tinggi, berkembang biak dengan cukup luas dan pada umumnya tidak akan ada tumbuhan lain yang akan hidup di bawahnya jika tumbuhan ini berkembang besar (Heyne 1987). Bambu termasuk ke dalam family Poaceae dan sub family Bambusoideae.

Rimpang bambu terdapat di bawah tanah dan membentuk sistem percabangan yang dapat dipakai untuk membedakan kelompok bambu. Ada dua jenis sistem percabangan rimpang, yaitu pakimorf (dicirikan oleh rimpang yang simpodial) dan leptomorf (dicirikan oleh rimpangnya yang monopodial). Pada tipe simpodial (clumped type), pertumbuhan tunas baru terjadi di ujung rimpang dan percabangan rhizomnya berkelompok membentuk rumpun yang jelas. Pada tipe monopodial (running type), tunas baru dapat muncul pada setiap buku rimpang

dan tidak membentuk rumpun. Pertumbuhannya seperti individu-individu yang terpisah pada jarak yang berjauhan.

Bambu yang tumbuh di kawasan tropis seperti Malaysia dan Indonesia umumnya memiliki tipe pertumbuhan yang simpodial, sedangkan di daerah subtropik, seperti Jepang, Cina dan Korea umumnya bertipe monopodial (Berlin dan Estu 1995). Tipe monopodial dan simpodial bambu ditunjukkan pada Gambar 2. Rimpang yang terdapat di bawah tanah membentuk sistem percabangan, di mana dari ciri percabangan tersebut nantinya akan dapat membedakan asal dari kelompok bambu tersebut. Bagian pangkal akar rimpangnya lebih sempit dari pada bagian ujungnya dan setiap ruas mempunyai kuncup dan akar. Kuncup pada akar rimpang ini akan berkembang menjadi rebung yang kemudian memanjat dan akhirnya menghasilkan buluh (Widjaja 2001).

Monopodial Sympodial Gambar 2 Tipe Perakaran pada Bambu

Di Indonesia, spesies bambu asli umumnya mempunyai perakaran yang pakimorf, yang dicirikan oleh ruasnya yang pendek dengan lehernya yang pendek

juga. Percabangan bambu umumnya terdapat atas buku-buku (Dransfield 1995).

Cabang juga dapat digunakan sebagai ciri penting untuk membedakan marga bambu (Widjaja 2001). Menurut Dahlan (1994) , bambu dengan tunas monopodial akan tumbuh lebih serempak dan cepat. Tanaman bambu yang tumbuh subur di Indonesia merupakan tanaman bambu yang simpodial, yaitu batang-batangnya cenderung mengumpul di dalam rumpun karena percabangan rhizomnya di dalam tanah cenderung mengumpul (Sindusuwarno 1963). Rimpang bambu di Indonesia umumnya bersifat simpodial diduga berkaitan dengan iklim di Indonesia yang termasuk ke dalam iklim wilayah tropis, di mana sinar matahari bersinar sepanjang tahun, dan hanya memilik dua musim, yakni musim penghujan dan musim kemarau. Posisi geografis Indonesia ini menguntungkan pertumbuhan bambu, di mana siklus hara tanah berjalan seimbang, sehingga pertumbuhan tunas rumpun bambu bersifat memusat (tunas bambu tidak perlu tumbuh jauh dari induknya dalam mencari sumber makanan).

Buluh bambu berbentuk silindris, berbuku-buku, beruas-ruas berongga, berdinding keras, pada setiap buku terdapat mata tunas atau cabang. Tinggi tanaman bambu sekitar 0,3-3 m, dengan diameter batangnya antara 0,25-25 cm. Sedangkan tunas atau batang-batang bambu muda yang baru muncul dari permukaan dasar rumpun dan rhizome disebut dengan rebung. Rebung tumbuh dari kuncup rimpang di dalam tanah atau dari pangkal buluh yang tua. Rebung dapat digunakan untuk membedakan jenis dari bambu karena menunjukkan ciri

khas warna pada ujungnya dan bulu-bulu yang terdapat pada pelepahnya. Bulu pelepah rebung umumnya hitam, tetapi ada pula yang coklat atau putih. Pelepah buluh merupakan hasil modifikasi daun yang menempel pada setiap ruas, yang terdiri atas daun pelepah buluh, keping pelepah buluh dan ligulanya terdapat antara sambungan antara pelepah daun dan pelepah buluh, sedangkan helai daun bambu memiliki tipe pertulangan yang sejajar seperti rumput. Helai daun dihubungkan dengan pelepah oleh tangkai daun yang mungkin panjang atau pendek. Pelepah dilengkapi dengan kuping pelepah daun dan juga ligula.

Bioprospeksi

Bioprospeksi pada dasarnya adalah pemanfaatan keanekaragaman hayati dan pengetahuan tradisional untuk mendapatkan sumber genetik dan senyawa

biokimia yang bernilai ekonomi tinggi (Reid et al. 1993: Posey 1997).

Bioprospecting (bioprospeksi) merupakan kependekan dari biodiversity

prospecting. Di dalam bioprospeksi terdapat serangkaian kegiatan yang bertujuan

untuk mencari dan menemukan senyawa bioaktif baru melalui pemanfataan keanekaragaman hayati.

Bioprospeksi pada prinsipnya adalah upaya pencarian, penelitian, pengumpulan, ekstraksi dan pemilihan sumberdaya hayati dan pengetahuan tradisional untuk mendapatkan materi genetik dan sumber biokimia yang bernilai ekonomi tinggi. Kegiatan bioprospeksi penting untuk mendokumentasikan sumberdaya genetik dan sekaligus mengembangkan manfaat ekonominya sebelum sumberdaya ini habis tereksploitasi. Oleh karena itu, keanekaragaman, struktur dan komposisi vegetasi sebagai sumber genetik dan komponen utama habitat perlu dikaji dan dianalisis. Bioprospeksi dapat digunakan sebagai alternatif strategis pemanfaatan sumberdaya hutan pengganti kayu. Bioprospeksi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu melalui cara tradisional dan ilmiah.

Bambu merupakan tumbuhan bernilai ekonomi, pemanfaatannya sangat luas, baik untuk keperluan sehari-hari maupun untuk hasil-hasil lain. Meskipun secara umum telah diketahui fungsi ini, namun upaya bioprospeksi dapat terus dilakukan, terutama bila dikaitkan dengan upaya konservasi jenisnya pada suatu kawasan konservasi tertentu, misalnya TWA Gunung Baung. Semua bagian tumbuhan bambu dapat dimanfaatkan mulai dari akar hingga daun. Akar umumnya dimanfaatkan untuk dibuat ukiran bambu, sedangkan buluh biasa dimanfaatkan untuk bahan bangunan, bahan jembatan, kerajinan tangan, keranjang, dan lain sebagainya. Selain itu buluh juga dapat digunakan untuk alat musik tradisional maupun alat musik modern. Banyak pakar bambu mengkategorikan bambu di Jawa sebagai bambu kampung yang telah umum dibudidayakan dan bambu liar yang berasal dari hutan (Widjaya 2001). Selain itu bambu berperan penting dalam mengamankan fungsi hidrologi daerah aliran sungai (DAS). Hal ini dikarenakan sistem rimpang luas bambu terletak terutama di lapisan atas tanah, yang berfungsi menstabilkan tanah di lereng dan tepi sungai, mencegah erosi dan longsor tanah. Tipe perakaran bambu yaitu perakaran

serabut (fibrous root), sehingga menjadikan bambu memiliki kemampuan

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2011 - Mei 2012 di TWA Gunung Baung. Studi herbarium dilakukan di Herbarium Kebun Raya Purwodadi dan Herbarium Bogoriense Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)- Cibinong, Bogor. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Balai Besar Penelitian Sumberdaya Lahan, Bogor.

Letak dan Luas Kawasan

Kawasan hutan Gunung Baung seluas 195,5 Ha ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam (TWA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 657/Kps/Um/9/1980, tanggal 11 September 1980. Secara geografis kawasan ini terletak antara 7°49’9” - 7°47’23” LS dan 112°16’23” - 112°17’17” BT. Lokasi TWA ini berbatasan langsung dengan Kebun Raya Purwodadi (LIPI), tepatnya berada di Desa Cowek, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Pasuruan. Secara administratif pengelolaan kawasan ini termasuk wilayah kerja Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur II, Sub Seksi Konservasi Sumber Daya Alam Pasuruan Resort Konservasi Sumber Daya Alam Gunung Baung. Di sebelah utara kawasan TWA Gunung Baung berbatasan dengan Desa Kertasari, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cowek, sebelah timur dengan Desa Lebakrejo, dan sebelah barat dengan Desa Purwodadi, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan.

Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Baung memiliki empat (4) kawasan berdasarkan pembagian fungsinya. Keempat kawasan itu meliputi (1) Blok Perlindungan, (2) Blok Pemanfaatan Intensif, (3) Blok Pemanfaatan Terbatas dan (4) Blok Rehabilitasi. Penataan Blok di kawasan TWA Gunung Baung ditunjukkan pada Gambar 3. Blok Perlindungan merupakan kawasan konservasi bambu, dengan luas 138,5 ha. Kawasan ini merupakan kawasan terjaga dan utuh, dan merupakan habitat alami dari bambu. Blok Pemanfaatan Intensif merupakan kawasan yang secara khusus digunakan untuk kepentingan wisata dan perkemahan, yang di dalamnya terdapat wisata air terjun Gunung Baung. Luas Blok Pemanfaatan ini adalah 10 ha. Blok Pemanfaatan Terbatas merupakan kawasan yang juga dimanfaatkan oleh masyarakat, namun secara terbatas, sehingga pada kawasan ini jarang dikunjungi oleh masyarakat. Blok Rehabilitasi merupakan kawasan pemanfaatan sekaligus sebagai kawasan konservasi jenis- jenis tumbuhan berpotensi, terutama yang bernilai ekonomi.

Gambar 3 Peta Penataan Blok Pengelolaan TWA Gunung Baung

Kondisi Sosial Ekonomi Sekitar Kawasan

Kondisi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan TWA Gunung Baung sedikit banyak berpengaruh terhadap kelestarian dan keberlangsungan proses di dalam kawasan. Terdapat empat wilayah desa yang bersinggungan secara langsung dengan kawasan, yaitu Desa Kertosari (sebelah Utara), Desa Cowek (sebelah Selatan), Desa Purwodadi (sebelah Barat), dan Desa Lebakrejo (sebelah Timur). Sebagian besar masyarakat di keempat desa tersebut bekerja di sektor pertanian. Sektor pekerjaan lainnya yang cukup banyak dilakukan oleh masyarakat adalah konstruksi bangunan dan industri olahan rumah tangga.

Topografi dan Tanah

Topografi kawasan TWA Gunung Baung secara umum bergelombang sampai berbukit, sebagian lainnya landai dan curam. Ketinggian di kawasan ini berkisar antara 200-501 m dpl. Peta topografi TWA Gunung Baung ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Peta kontur kawasan TWA Gunung Baung

Jenis tanah di TWA Gunung Baung adalah mediteran merah kuning dan latosol. Tanah berasal dari batuan kuarter tua dengan bahan induk berupa batu endapan metamorf (Dephut 1998).

Iklim

Menurut klasfikasi tipe curah hujan Schmidt dan Ferguson (1951), kawasan ini memiliki iklim type curah hujan D dengan nilai Q = 81,82%, jumlah rata-rata tahunan sebesar 2.654,10 mm dengan jumlah rata-rata hari hujan sebanyak 141,05 hari. Musim hujan (curah hujan > 100 mm/ bulan) umumnya terjadi pada bulan November-April, sedangkan musim kemarau (curah hujan < 60 mm/bulan) terjadi pada bulan Mei-Oktober (Dephut 1998).

Kondisi Biologi Kawasan

Jenis flora yang ada di TWA Gunung Baung diantaranya Beringin (Ficus

benjamina), kepuh (Sterculia foetida), bendo (Artocarpus elastica), gondang

(Ficus variegata) dan bambu. Sedangkan jenis fauna diantaranya kijang

(Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus sp.), kera abu-abu (Macaca fascicularis),

Salah satu spesies tumbuhan obat langka yang tumbuh di kawasan ini adalah

kayu rapet (Parameria laevigata). Spesies tumbuhan bawah yang tumbuh di

sekitarnya antara lain: Piper betle, Hypoestes polythyrsa, Sericocalyx crispus,

Oplismenus compositus, dan Bidens pilosa (Pa’i dan Yulistiarini 2006).

Setidaknya tercatat sebanyak 30 spesies satwa yang terdapat di kawasan ini, yang terdiri atas 8 spesies mamalia, 13 spesies aves, 8 spesies reptil dan 1 spesies amphibia. Beberapa satwa liar yang hidup di dalam kawasan antara lain kera ekor panjang (Macaca fascicularis), kelelawar besar (Pteropus vampyrus) kijang (Muntiacus muntjak), ayam hutan (Gallus sp), lutung (Trachypithecus

auratus), kucing hutan (Felis bengalensis), bajing terbang, landak (Hystrix

brachyura), dan trenggiling (Manis javanica). Beberapa spesies burung yang

Dokumen terkait