• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekstraksi Oleoresin Capsaicin dari Cabai Merah, Cabai Keriting, dan Cabai Rawit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ekstraksi Oleoresin Capsaicin dari Cabai Merah, Cabai Keriting, dan Cabai Rawit"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

EKSTRAKSI OLEORESIN CAPSAICIN DARI CABAI MERAH,

CABAI KERITING, DAN CABAI RAWIT

LARAS WAHYU SETYANINGRUM

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ekstraksi Oleoresin Capsaicin dari Cabai Merah, Cabai Keriting, dan Cabai Rawit adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013

Laras Wahyu S

(4)

ABSTRAK

LARAS WAHYU SETYANINGRUM. Ekstraksi Oleoresin Capsaicin dari Cabai Merah, Cabai Keriting, dan Cabai Rawit. Dibimbing oleh CHILWAN PANDJI.

Cabai memiliki berbagai kandungan yang berguna bagi tubuh. Zat aktif pada cabai disebut capsaicin. Zat ini yang berperan utama dalam memberi rasa pedas pada cabai. Dalam penelitian ini dilakukan pengolahan cabai dalam bentuk oleoresin. Ekstraksi dilakukan pada tiga jenis cabai dan tiga perlakuan. Yaitu cabai merah, cabai keriting, dan cabai rawit dengan perlakuan perulangan ekstraksi sebanyak satu kali, dua kali, dan tiga kali pada masing-masing cabai. Sebanyak 100 gram bahan ditambahkan kedalam pelarut etanol dengan perbandingan 1:5. Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi berpengaduk dengan kecepatan pengadukan 200 rpm, suhu 50oC, selama 4 jam. Analisis yang dilakukan adalah pengujian mutu oleoresin cabai yaitu penghitungan rendemen, kadar capsaicin, kadar sisa pelarut, tingkat kepedasan dan nilai warna. Hasil penelitan menunjukan bahwa interaksi antara jenis cabai dan jumlah perulangan ekstraksi tidak berpengaruh nyata terhadap hasil yang diperoleh. Namun cabai rawit menunjukan tingkat kepedasan, kadar capsaicin, dan rendemen yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh EOA.

Kata kunci: Oleoresin, cabai, capsaicin

ABSTRACT

LARAS WAHYU SETYANINGRUM. Capsaicin Oloerasin Extraction form Red Pepper, Curly Pepper and Cayenne Pepper. Supervised by CHILWAN PANDJI.

The chili has a variety of content that is useful to the body. The active substance in chili peppers called capsaicin. This substance that plays a key role in giving a sense of the spicy. In this research, in the form of oleoresin chili processing. Extraction performed on three types of chili and three treatments. Red chili, curly chili, and cayenne pepper with looping leaching treatment, one-time, two times, and three times on each chili. Material preparation is done before the study began. Chili washed, then dried to achieve moisture content of 8-10%. Peppers that have been dried in the ground, and sieved with a sieve of 50 mesh. The study begins with the proximate test to determine the content of the chili. Extraction is done by using 96% ethanol. A total of 100 grams of material was added into ethanol with a ratio of 1:5. Extraction is done by maceration method stirred with a stirring speed of 200 rpm, temperature 50 ° C, for 4 hours. Results maceration then filtered and the filtrate evaporated by using a rotary evaporation at 70 ° C to form a viscous liquid. Analysis is conducted quality testing of chilli oleoresin is counting yield, capsaicin content, residual solvent levels, the level of spiciness and color values.

(5)
(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Teknologi Industri Pertanian

EKSTRAKSI OLEORESIN CAPSAICIN DARI CABAI MERAH,

CABAI KERITING, DAN CABAI RAWIT

LARAS WAHYU SETYANINGRUM

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(7)
(8)

Judul Skripsi : Ekstraksi Oleoresin Capsaicin dari Cabai Merah, Cabai Keriting, dan Cabai Rawit

Nama : Laras Wahyu S NIM : F34090149

Disetujui oleh

Drs Chilwan Pandji Apt MSc Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan limpahan rahmat-Nya, sehingga penyusunan skripsi berjudul “Ekstraksi Oleoresin Capsaicin dari Cabai Merah, Cabai Keriting, dan Cabai Rawit” berhasil diselesaikan. Tema yang diangkat dalam penelitian yang dilaksanakan selama Mei sampai Agustus 2013 ini adalah proses ekstraksi oleoresin.

Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan teristimewa kepada: 1. Drs Chilwan Pandji Apt MSc selaku Pembimbing Akademik atas perhatian

dan bimbingannya selama penelitian dan penyelesaian skripsi

2. Dr Endang Warsiki STP MSi dan Dr Dwi Setyaningsih STP MSi selaku dosen penguji

3. Ibu Rini Purnawati STP MSi selaku laboran yang telah banyak membantu 4. Seluruh keluarga besar atas doa, semangat, dan kasih sayangnya

5. Keluarga besar TIN 46 atas keceriaan dan kenangan indah tak terlupakan 6. Seluruh sanak dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu-persatu

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2013

(10)

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Oleoresin 2

Capsaicin 4

METODE 4

Waktu dan Tempat 4

Bahan 5

Alat 5

Metode Penelitian 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Uji Proksimat 7

Rendemen Oleoresin 8

Kadar Sisa Pelarut 9

Tingkat Kepedasan 10

Nilai Warna 11

Analisis Kandungan Capsaicin 12

SIMPULAN DAN SARAN 14

Simpulan 14

Saran 14

DAFTAR PUSTAKA 14

(11)

DAFTAR TABEL

1 Hasil Uji Proksimat 7

2 Standar minimum residu pelarut 9

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur Kimia Capsaicin 4

2 Diagram alir proses ekstraksi oleoresin (modifikasi dari: Dewi 2012) 6 3 Hubungan jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap rendemen 8 4 Hubungan jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap kadar sisa 9 pelarut

5 Hubungan jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap tingkat 11 kepedasan

6 Hubungan jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap nilai warna 12

DAFTAR LAMPIRAN

1 Metodologi analisis proksimat serbuk cabai 16

2 Metodologianalisis kualitas mutu oleoresin 18

3 Data hasil penelitian 20

4 Foto Hasil Ekstraksi Oleoresin 21 5 Tabel anova respon rendemen oleoresin (α = 1%) 22 6 Tabel anova respon kadar sisa pelarut (α = 1%) 24

7 Tabel anova respon nilai warna (α = 1%) 26

8 Contoh tabel uji tingkat kepedasan 28

(12)
(13)
(14)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cabai (Capsicum sp.) merupakan salah satu bahan pangan yang mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Cabai berasal dari Peru, namun penyebarannya bermula dari Benua Amerika, kemudian ke Benua Asia, Afrika, dan Eropa. Cabai merah merupakan salah satu jenis tanaman dari suku terung-terungan (Solanaceae atau Nightshade). Tanaman ini merupakan tanaman semusim yang mudah tumbuh di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Kebutuhan akan cabai ini semakin meningkat setiap tahunnya. Pada umumnya masyarakat luas menggunakan cabai sebagai bahan masakan yang dapat memberikan rasa pedas dan pembangkit selera makan. Selain sebagai bahan pangan, cabai dapat pula dijadikan sebagai baahan baku pembuatan herbal. Sejak dahulu cabai telah dimanfaatkan sebagai obat-obatan di seluruh dunia.

Tingginya kebutuhan akan cabai ini menyebabkan harga cabai melambung pada saat-saat tertentu. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan bahan rempah tersebut yang terbatas di luar musim panen. Sedangkan ketika musim panen tiba, kelebihan pasokan menyebabkan harga jual cabai jatuh. Selain itu kerusakan juga banyak terjadi pada cabai-cabai yang tidak terjual. Sejauh ini sudah terdapat beberapa teknologi untuk menambah umur simpan komoditas cabai. Salah satunya adalah dengan mengolah rempah segar menjadi serbuk. Dengan proses pengolahan tersebut, cabai segar dikeringkan hingga kadar air tertentu kemudian dihaluskan menjadi serbuk. Dengan dilakukan pengolahan ini maka penyimpanan cabai tidak akan memakan banyak tempat. Selain itu kadar air yang rendah akan menyebabkan mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan pada cabai tidak tumbuh. Namun kelemahan sistem penyimpanan berupa serbuk adalah stabilitas kelembaban ruang penyimpanan yang dapat menyebabkan perubahan kadar air pada serbuk cabai dan menyebabkan tumbuhya mikroorganisme perusak.

(15)

2

Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaruh jenis cabai, jumlah perulangan ekstraksi, dan interaksinya terhadap respon rendemen, nilai warna, kadar sisa pelarut, tingkat kepedasan, dan kadar capsaicin yang terkandung?

2. Perlakuan manakah yang memberikan mutu oleoresin terbaik dari respon penurunan rendemen, nilai warna, kadar sisa pelarut, tingkat kepedasan, dan kadar capsaicin yang terkandung?

3. Bagaimanakah sifat oleoresin hasil ekstraksi pada kondisi perlakuan terbaik?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis cabai serta metode terbaik untuk menghasilkan rendemen oleoresin tertinggi. Selain itu juga untuk mengetahui kualitas mutu oleoresin yang dihasilkan disesuakan dengan standar mutu yang telah ditentukan oleh EOA.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai proses pengolahan cabai segar menjadi oleoresin cabai secara sederhana.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan untuk mengetahui kandungan oleoresin capsaicin yang terkandung pada bahan. Kegiatan penelitian yang dilakukan meliputi proses persiapann bahan baku, ekstraksi, dan pengujian kualitas mutu oleoresin. Pengujian terdiri atas uji kadar sisa pelarut, nilai warna, kadar kepedasan, dan uji kandungan oleoresin dengan menggunakan metode GCMS.

Faktor yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah jenis cabai yang digunakan sebagai bahan baku, yang terdiri atas cabai merah, cabai keriting, cabai rawit, dan perulangan ekstraksi dengan taraf satu kali pengulangan, dua kali pengulangan, dan tiga kali pengulangan. Respon yang diukur adalah rendemen hasil, jumlah kadar sisa pelarut, nilai warna, tingkat kepedasan, dan kandungan oleoresing dengan meggunakan metode GCMS.

TINJAUAN PUSTAKA

Oleoresin

(16)

3 Oleoresin ini berwujud cairan kental yang mengandung kadar minyak atsiri 15-30% (Abubakar 2005).

Oleoresin rempah-rempah memiliki banyak manfaat. Misalnya saja dalam industri makanan, kosmetik, dan farmasi. Semakin meluasnya penggunaan oleoresin maka dibutuhkan proses produksi yang terus meningkat. Menurut Somaatmadja, kelebihan penggunaan oleoresin adalah:

1. Kualitas makanan yang tercampur oleoresin lebih terkontrol, hal ini terjadi karena kandungan kimia yang ada di oleoresin tidak terlalu banyak dibanding kandungan bahan aslinya.

2. Penggunaan oleoresin lebih ekonomis, karena oleoresin merupakan ekstrak dari rempah-rempah. Sehingga untuk mendapatkan rasa yang diinginkan akan memerlukan lebih sedikit oleoresin dibanding serbuk rempah-rempah aslinya.

Selain itu dibandingkan dengan minyak atsiri, oleoresin memiliki kelebihan yaitu tahan panas. Pada proses ekstraksi, pada umumnya dibutuhkan proses pemanasan. Zat volatil yang banyak terkandung dalam minyak atsiri akan menguap dan hilang pada suhu tinggi. Sedangkan oleoresin mengandung bahan tidak menguap dalam jumlah besar dan akan terus memberikan rasa, walaupun minyak atsirinya sudah menguap (Cripps 1973).

Komposisi bahan yang terlarut dalam oleoresin berbeda tergantung jenis pelarut yang digunakan dalam ekstraksi dan tergantung jenis bahan yang diekstrak (Farrel 1985). Disamping mengandung resin dan minyak sebagai komponen utama, oleoresin terdiri atas campuran kompleks senyawa organik yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Terpen yaitu senyawa hidrokarbon yang dibangun oleh dua atau lebih unit ispropen. Meskipun jumlahnya signifikan, namun terpen hanya memiliki nilai citarasa yang kecil bila dibandingkan dengan oxygenated derivates.

2. Turunan terpen teroksidasi (oxygenated derivates) yaitu alkohol, aldehidehid, keton, dan ester. Senyawa tersebut memberikan kontribusi besar pada perbedaan citarasa.

3. Senyawa aromatic dengan gugus fungsi yang bervariasi. 4. Senyawa yang mengandung nitrogen atau sulfur.

Menurut Purseglove et al. (1981), EOA telah mengeluarkan standar perdagangan oleoresin yang meliputi :

Intensitas warna : max 4000 (EOA No. 239) Kepedasan : min 480 000 SHU

Sisa pelarut : sesuai FDA (30 ppm untuk etanol)

(17)

4

Capsaicin

Tumbuhan tidak hanya melakukan metabolisme primer, tetapi juga melakukan metabolisme sekunder menggunakan jalur metabolisme tertentu, yang akan menghasilkan pembentukan senyawa kimia khusus yang disebut metabolit sekunder (Herbert 1995). Produk metabolit sekunder yang terdapat pada buah cabai salah satunya adalah capsaicin. Capsaicin merupakan kelompok senyawa yang bertanggung jawab terhadap rasa pedas dari cabai (Sukrasmo et al. 1997). Zat ini tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak dan mudah rusak oleh proses oksidasi. Capsaisin memiliki rumus molekul C18H27NO3 dengan nama IUPAC 8-methyl-N-vanillyl-6-nonenamide, terdiri dari unit vanillamin dengan asam dekanoat, yang mempunyai ikatan rangkap pada rantai lurus bagian asam. Struktur molekul capsaicin disajikan pada Gambar 1 (Andrew and Ternay 1979 dalam Sigit 2007).

Gambar 1 Struktur kimia capsaicin

Lingga (2012) menyatakan, umumnya cabai segar mengandung 0.1-1.0% capsaisin. Capsaisin terdapat pada biji, kulit, dan daging buah cabai. Zat ini banyak digunakan sebagai biological pesticide dalam melawan serangga dan rodent. Sebagai pestisida, capsaisin digunakan di dalam ruangan (karpet dan furniture) dan juga di luar ruangan (lahan buah dan sayur). Selain itu capsaisin digunakan dalam pembuatan gas air mata.

Derajat kepedasan cabai dinyatakan dalam ppm atau ppb. Di dalam dunia industri, ukuran standar untuk mengukur kekuatan cabai yaitu Scouville Unit. Capsaisin murni memiliki Scouville Unit 16 juta.(pepper 2012)

METODE

Waktu dan Tempat

(18)

5 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu cabai merah, cabai keriting, dan cabai rawit.. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol teknis 96%. Sedangkan bahan yang digunakan untuk pengujian adalah aseron teknis dan sirup gula.

Alat

Alat-alat yang digunakan adalah peralatan gelas, alat pengering (blower), alat pengecil ukuran (hammer mill), saringan 50 mesh, peralatan maserasi,

vacuum evaporator. Alat-alat yang digunakan untuk pengujian adalah oven 50oC, cawan aluminium, peralatan gelas, tabung ulir, spectrofotometri, dan alat GCMS.

Metode Penelitian

Penelitian diawali dengan proses persiapan bahan baku. Cabai segar dipisahkan dari benda asing yang tercampur dan dipisahkanan antara tangkai dan buahnya. Kemudian cabai dicuci hingga bersih dan dikeringkan. Pengeringan dilakukan pada green house selama satu minggu atau hingga mencapai kadar air antara 8-10%. Cabai yang telah kering digiling dengan menggunakan hammer mill, kemudian di ayak hingga diperoleh bubuk cabai berukuran 50 mesh.

Serbuk ketiga jenis cabai yang diperoleh diuji kandungannya dengan menggunakan uji proksimat. Uji proksimat dilakukan dengan stadar SNI 01 – 2891 – 1992. Uji yang dilakukan adalah uji kadar air, uji kadar lemak, uji kadar protein, uji kadar serat kasar, uji kadar abu dan uji kadar karbohidrat. Metode uji yang dilakukan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Ekstraksi dilakukan dengan metode perkolasi. Sebanyak 100 gram bahan dimasukkan kedalam erlenmeyer 2000 ml. Kedalam erlenmeyer dimasukan pelarut etanol sebanyak 500 ml. Pengadukan dilakukan menggunakan magnetic stirer dengan kecepatan pengadukan 200 rpm. Pemanasan dilakukan dengan menggunakan hot plate dengan suhu 50oC. Ekstraksi dilakukan selama 4 jam.

(19)

6

Gambar 2 Diagram alir proses ekstraksi oleoresin (modifikasi dari: Dewi 2012)

Dari hasil ektraksi, tiap sampel oleoresin yang diperoleh diuji kualitas mutunya sesuai dengan standar perdagangan amerika atau EOA. Uji kualitas mutu yang dilakukan adalah uji rendemen, uji kadar sisa pelarut, uji nilai warna, uji tingkat kepedasan, dan uji analisa dengan menggunakan metode GCMS. Metode uji kualitas mutu dilampirkan pada Lampiran 2.

Respon yang diamati pada penelitian ini meliputi hasil rendemen, kadar sisa pelarut, nilai warna, tingkat kepedasan dan analisis kandungan. Hasil rendemen disajikan dalam satuan persen (%). Setelah melalui proses ekstraksi pemisahan, hasil oleoresin ditimbang. Bobot total oleoresin dibagi bobot kering jumlah bahan yang digunakan. Kadar sisa pelarut diukur dengan menimbang sejumlah bahan kemudian memanaskan dalam oven bersuhu 50oC hingga dicapai bobot tetap. Jumlah bobot yang hilang dihitung sebagai jumlah etanol tersisa. Nilai warna dihitung dengan metode spektrofotometri dengan panjang gelombang 640 nm. Tingkat kepedasan diuji dengan uji organoleptik ambang batas rasa sesuai modifikasi yang dilakukan Farrel (1985). Analisis kandungan oleoresin diuji dengan menggunakan metode GCMS dengan pelarut methanol. Metode pengujian secara lengkap terlampir (Lampiran 2).

Rancangan percobaan yang digunakan untuk analisis data hasil ekstraksi oleoresin adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua kali ulangan. Faktor yang diamati terdiri atas dua faktor yang masing-masing faktor terdiri atas

Cabai Segar

Ekstraksi dengan etanol ( 1:5 b/v )

Pengadukan 4 jam, 200 rpm, 50oC

Penyaringan

Filtrat

Penyaringan

Oleoresin

(20)

7 tiga taraf, yaitu (A) jenis cabai (merah, keriting, rawit) dan (B) perulangan ekstraksi (satu kali, dua kali, tiga kali). Model matematika RAL Faktorial dapat dirumuskan sebagai berikut :

Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + εk(ij)

dengan : Yijk nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j

dan ulangan ke k memperoleh kombinasi perlakuan ij.

Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis ragam (anova) dan analisis deskriptif. Apabila hasil analisis ragam berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan

uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Proksimat

Bahan baku berupa serbuk cabai diuji kandungan bahan bakunya dengan uji proksimat sesuai dengan standar SNI tahun 1992 (Lampiran 1). Uji yang dilakukan adalah uji kadar air, uji kadar lemak, uji kadar serat, uji kadar abu, uji kadar protein, dann uji kadar karbohidrat by difference. Hasil uji proksimat disajikan pada tabel 1.

Tabel 1 Hasil uji proksimat

Cabai Merah Cabai Keriting Cabai Rawit

Kadar Air (%) 8,31 9,06 8,37

(21)

8

kondisi tanah, cuaca, umur pemanenan, dan varietas akan menghasilkan kandungan yang berbeda pada masing-masing jenis cabai.

Rendemen Oleoresin

Rendemen oleoresin merupakan oleoresin yang diperoleh setelah melalui proses ekstraksi dan pemisahan pelarut. Bobot oleoresin yang diperoleh dibagi bobot kering sampel dikalli 100%. Rendemen oleoresin yang diperoleh terdiri atas berbagai komponen seperti minyak atsiri, resin, komponen bumbu, pigmen, vitamin, karbohidrat, dan sterol. Jenis dan jumlah komponen oleoresin yang terekstraksi bergantung pada jenis pelarut yang digunakan. Selain jenis pelarut, ukuran partikel, lama ekstraksi, suhu, dan kecepatan pengadukan. Hasil ekstraksi oleoresin terlampir pada Lampiran 4.

Hasil analisis ragam (anova) menunjukan bahwa F hitung lebih kecil dari F tabel (Lampiran 5). Yang artinya tidak ada perbedaan yang signifikan dalam setiap perlakuan yang diberikan. Uji Duncan untuk pembuktian lanjutan tidak perlu dilakukan. Hasil rendemen oleoresin disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Hubungan jenis cabai dan pengulangan pencucian terhadap rendemen Jumlah rendemen oleoresin meningkat seiring jumlah perulangan pencucian. Semakin lama ekstraksi dilakukan maka waktu kontak antara bahan dengan pelarut akan semakin panjang, sehingga konsentrasi larutan akan semakin tinggi hingga pelarut akan mencapai titik jenuh. Setelah titik jenuh pelarut tercapai, maka penambahan waktu tidak akan memberikan penambahan yang nyata terhadap jumlah oleoresin yang terlarut (Wirakartakusumah 1990).

Setelah mencapai titik jenuh, maka oleoresin yang masih terkandung dalam bahan tidak dapat larut dan terjebak diantara ampas sehingga tidak dapat melalui screen penyaringan. Salah satu solusi untuk meminimalisir kehilangan maka dilakukan perulangan pencucian untuk melarutkan oleoresin yang masih terikat pada bahan yang belum terambil ketika pencucian sebelumnya dilakukan.

(22)

9

Kadar Sisa Pelarut

Kadar sisa pelarut merupakan salah satu karakteristik mutu dalam perdagangan oleoresin. FDA (Food and Drug Administration) telah menetapkan aturan yang ketat mengenai jumlah maksimum pelarut yang tertinggal dalam bahan. Adanya sisa pelarut dalam jumlah tinggi akan berpengaruh pada flavor serta aroma oleoresin yang dihasilkan serta menurunkan mutu oleoresin tersebut.

Moestafa (1981) menyatakan ekstraksi oleoresin sebaiknya menggunakan pelarut organik yang mudah menguap. European Medicines Agency (2009) menyebutkan, capsaicin larut bebas dalam aseton, asetonitril, diklorometana, etanol, etil asetat, methanol, 2-propanol dan metal atil. Faktor penting yang harus diperhatikan dalam ekstraksi oleoresin adalah pemilihan pelarut. Pelarut yang dapat digunakan adalah yang tidak berbahaya dan bersifat racun. Jenis pelarut yang biasa digunakan, disajikan pada tabel dibawah ini sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh FDA (Komara 1991).

Tabel 2. Standar Minimum Residu Pelarut

Jenis Pelarut Titik Didih (oC) Residu (ppm)

Aseton 56,5 30

Metanol 64,7 50

Heksana 69,0 25

Isopropil alkohol 82,3 50

Etilen diklorida 83,5 30

Etil alkohol 78,3 30

Berdasarkan analisis ragam (anova), baik jenis cabai maupun perulangan ekstraksi dan interaksinya tidak memberikan pengaruh yang sangat signifikan pada α = 1%. Sehingga uji lanjut Duncan tidak perlu dilakukan. Analisis uji ragam terlampir pada Lampiran 5. Hasil pengujian kadar sisa pelarut dapat dilihat pada Gambar 6.

(23)

10

Pemisahan pelarut dari oleoresin dilakukan berdasar perbedaan titik didih antara antara dua bahan tersebut. Titik didih suatu larutan akan turun apabila kedalam sistem tersebut tekanan diperkecil. Menurut Chang (1987) penurunan titik didih akibat penurunan tekanan dijelaskan pada persamaan berikut :

Δτ = 0,0010 (760 –ρ) (τ+273)

Δτ = perubahan titik didih ρ = tekanan yang digunakan τ = titik didih pada tekanan 1 atm

Oleoresin mudah mengalami kerusakan pada suhu 90o sedangkan titik didih etanol pada tekanan 1 atm mencapai 80oC. Untuk menghindari kerusakan oleoresin, pemisahan pelarut dilakukan dalam kondisi vakum dimana dalam tekanan dalam sistem menjadi lebih rendah dibanding tekanan pada atmosfer, sehingga pelarut etanol dapat tertarik keluar pada suhu 70 oC.

Nilai kadar pelarut terkecil dimiliki oleh sampel cabai keriting dengan ekstraksi satu kali yaitu 6,4%. Kadar sisa pelarut yang diperoleh masih jauh melampaui batas yang ditetapkan oleh FDA yaitu sebesar 30 ppm yang setara dengan 0,03%. Tingginya kadar sisa pelarut ini disebabkan oleh adanya kandungan triterpenoid yang merupakan saponin dalam tumbuhan dikotil (Hardiansyah, 2010). Menurut Szabo (1970), oleoresin cabai mengandung komponen yang dapat tersabunkan. Yaitu lemak, lilin, dan phospatides. Keberadaan komponen tersebut menyebabkan terjadinya saponifikasi yang menghasilkan gelembung yang stabil sehingga titik pemberhentian proses evaporasi sangat sulit dilakukan karena tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan secara visual ketika oleoresin mulai berbentuk pasta.

Salah satu solusi yang dapat digunakan untuk menurunkan kandungan sisa pelarut oleoresin adalah dengan melewatkan gas nitrogen yang akan mengikat etanol yang tersisa dalam sampel oleoresin (Dewi 2012)

Tingkat Kepedasan

Tingkat kepedasan oleoresin termasuk dalam salah satu syarat perdagangan oleoresin. Tingkat kepedasan ditentukan dengan uji organoleptik berdasar ambang batas pengenalan rasa pedas (recognition threshold) yang dinyatakan dalam satuan Scoville Heat Unit (SHU). Nilai SHU merupakan kebalikan nilai pengenceran yang memberikan pengenalan rasa pedas. Pengujian ambang batas dikatakan valid ketika lebih dari 75% panelis menyatakan merasakan rasa pedas pada sampel. Contoh tabel uji organoleptik terlampir pada Lampiran 8.

(24)

11 rawit dan cabai keriting memenuhi mutu yang ditetapkan oleh EOA. Interaksi jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap tingkat kepedasan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Hubungan jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap tingkat kepedasan

Tingkat kepedasan pada cabai dipengaruhi oleh berbagai faktor. Antara lain, tingkat kematangan saat pemanenan, cuaca, penanganan pasca panen, serta kultivar cabai tersebut (purseglove et al. 1985). Komponen yang mempengaruhi kepedasan pada cabai adalah kandungan capsinoid yang terdiri atas 12 analogi. Komponen capsinoid yang umum adalah capsaicin, dihidrocapsaicin, nordihidrocapsaicin, homodihidrocapsaicin, homocapsaicin, dan decanoic. Kandungan kapsinoid pada bahan meningkat seiring kematangan cabai.

Nilai Warna

(25)

12

Gambar 6. Hubungan jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap nilai warna Standar yang ditentukan oleh EOA adalah sebesar 4000 ASTA. Hasil analisa uji ragam (anova) pada α=0,1 menunjukan nilai F hitung yang lebih kecil daripada F tabel (Lampiran 7). Yang artinya tidak ada pengaruh terhadap perlakuan dan interaksi yang diberikan. Karena tidak adanya perbedaan nyata dari interaksi perlakuan, makan uji Duncan tidak dilanjutkan.

Pada sampel oleoresin cabai merah dengan tiga kali pencucian, nilai warna yang diperoleh adalah sebesar 3379,22 ASTA. Dimana nilai tersebut telah sesuai dengan ketentuan perdagangan FDA yaitu dibawah 4000 ASTA. Sedang kan untuk cabai keriting, nilai yang diperoleh masih cukup jauh. Namun hasil yang sangat berbeda ditunjukan oleh nilai warna dari cabai rawit. Pada sampel oleoresin cabai rawit pencucian satu kali, nilai warna diperoleh sebesar 776,48 ASTA. Rendahnya nilai warna ini diduga akibat kematangan yang tidak menyeluruh. Beberapa bahan cabai rawit yag digunakan masih berwarna hijau, sehingga adanya pingmen warna lain dapat mempengaruhi nilai warna oleoresin yang dihasilkan.

Pigmen warna yang berpengaruh pada buah cabai adalah klorofil dan karotenoid. Pada buah cabai yang masih muda, pigmen klorofil lebih mendominasi sehingga warna cabai akan hijau. Sedangkan ketika buah cabai sudah mulai menua, perlahan klorofil akan berkurang dan digantikan oleh karotenoid.

Selain itu, jenis pelarut juga berpengaruh pada warna oleoresin yang dihasilkan. Menurut Purseglove (1981), etanol merupakan pelarut yang tidak efisien dalam melarutkan warna. Sehingga penggunaan etanol dalam ekstraksi tidak dapat melarutkan semua pigmen wana yang terkandung dalam bahan.

Analisis Kandungan Capsaicin

(26)

13 larut bebas dalam methanol, asetonitril, diklorometana, etanol, etil asetat, methanol, 2-propanol dan metal atil keton.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat kromatografi gas type Unican series 204 dengan recorder type PN-8250. Kondisi yang digunakan adalah sebagai berikut : kolom gelas dengan panjang 2 meter dan diameter dalam 4 mm; isi kolom Porapak Q; suhu 150oC isothermal; suhu injektor 200oC, suhu detektor 200oC; detektor jenis FID; gas pembawa N2 dengan kecepatan alir 40ml/menit; kecepatan alir gas H250 ml/menit; kecepatan alir udara tekan 500 ml/menit; dan ukuran contoh 2,5 ml.

Capsaicin merupakan komponen senyawa nonvolatil yang memberikan karakteristik rasa pedas pada cabai. Capsaicin juga merupakan komponen penyusun utama dari oleoresin cabai. Untuk mengetahui kadar capsaicin pada oleoresin digunakan uji dengan metode GCMS.

Pengujian GCMS dilakukan pada masing-masing jenis cabai dengan perulangan pencucian tiga kali. Dimana pada perulangan pencucian tiga kali diperoleh nilai rendemen, warna, dan rasa teringgi dari masing-masing perlakuan pengulangan pencucian.

Hasil analisis GCMS terhadap ketiga sampel sampel oleoresin dengan perulangan pencucian tiga kali dapat dilihat pada Lampiran 9. Pada pelaksanaan analisa dengan menggunakan GCMS, oleoresin memiliki konsistensi yang sangat kental sehingga harus dilakukan pengenceran sebelum analisis dilaksanakan. Pengenceran dilakukan sebanyak 10 kali dengan menggunakan pelarut metanol. Pada hasil analisis GCMS untuk sampel oleoresin cabai merah diperoleh kandungan capsaicin pada menit ke-17,893. Pada sampel cabai keriting dengan pencucian tiga kali, capsaicin terdeteksi pada menit ke-17,884. Uji analisa juga dilakukan pada sampel cabai rawit. Hasil analisa menunjukan adanya kandungan capsaicin yang terdeteksi pada menit ke-17,95.

Capsaicin yang terkandung dalam capsinoid akan diproduksi pada hari ke-20 setelah pembungaan. Produksi capsinoid ini akan terus meningkat hingga 30-40 hari setelah pembungaan. Setelah periode tersebut, kandungan capsinoid dalam cabai akan menurun.

Selain kandungan capsaicin, dalam hasil uji analisa kandungan oleoresin dengan menggunakan metode GCMS juga menganalisis beberapa kandungan lain yang terdapat dalam oleoresin. Hasil analisa terhadap ketiga sampel menunjukan hasil yang sama untuk kandungan tertingginya yaitu metil ester. Pada sampel oleoresin cabai merah, metil ester muncul pada menit ke-13,764 dengan presentase sebesar. Sedangkan untuk sampel oleoresin cabai keriting, metil ester terdeteksi pada menit ke-13,755 dengan presentase sebesar. Demikian pula pada sampel oleoresin cabai rawit, dimana metil ester muncul pada menit ke-13,781 dengan presentase sebesar. Metil ester yang terdapat pada oleoresin dalam jumlah tinggi merupakan hasil esterifikasi methanol yang digunakan sebagai pengencer.

Disamping metil ester, pada ketiga bahan juga terdeteksi kandungan vitamin E yang tinggi. Walaupun tidak termasuk dalam sumber vitamin E unggul, namun cabai memiliki kandungan vitamin E yang patut diperhitungkan. Vitamin E larut dalam lemak dengan nama generic tokoverol ini dibutuhkan tubuh dalam berbagai macam aktivitas fisiologi dan metabolisme tubuh.

(27)

14

tingkat kematangan sempurna, maka kandungan vitamin dalam biji akan ikut mencapai jumlah optimum.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ekstraksi dengan menggunakan metode pencucian berulang dapat meningkatkan rendemen oleoresin. Rendemen oleoresin tertinggi diperoleh oleh oleoresin yang mengalami perlakukan pencucian tiga kali. Meningkatnya rendemen berkaitan jengan meningkatnya niai warna, tingkat kepedasan, dan kandungan capsaicin. Hasil rendemen oleoresin tertinggi diperoleh sampel cabai rawit dengan tiga kali pencucian. Hasil rendemen oleoresin yang diperoleh adalah sebesar 29,74%. Cabai rawit dengan tiga kali pencucian memiliki tingkat kepedasan tertinggi yaitu sebesar 720.000 SHU dengan kandungan capsaicin yang juga tinggi sebesar 28,80%. Namun nilai warna dari cabai rawit justru sangat rendah yaitu sebesar akibat masih tingginya jumlah pigmen klorofil dalam kandungan warna cabai rawit.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan terutama dalam proses penguapan untuk menghasilkan oleoresin dengan kadar etanol sesuai dengan standar perdagangan oleoresin yang ditentukan oleh EOA. Selain itu perlu juga dilakukankannya penelitian mengenai aplikasi dari oleoresin tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1962. Farmakope Indonesia. Depkes RI, Jakarta

Abubakar, Edy Mulyono, Yulianingsih. 2005. Prospek Oleoresin dan Penggunaannya di Indonesia. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor

Afifah, Evi dan Tim Lentera. 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak; Rimpang Penyembuh Aneka Penyakit. Agro Media,, Jakarta

AOAC. 1980. Official Methods of Analysis of the Association of Official

(28)

15 Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian. 2009. Standar Prosedur Operasional (SPO)

Pengolahan Cabe. Jakarta

European Medicines Agency. 2009. CHMP Asswssment Report For Qutenza Capsaicin. www.ema.europa.eu. Diakses pada tanggal 25 mei 2012

Ferrel, Kenneth T. 1985. Spices, Condiments, and Seasoning. Van Nostrand Reinhold, New York

Guenther, Ernest. 1952. Essential Oil Vol.IV. Robert, E. Kringer Publishing Co., Connecticut

Harborne, JB. 1996. Metode Fitokimia. Ed Ke-2. Terjemahan Kosasih Padmawinata. ITB, Bandung

Hardiansyah, Agung Dwi. 2010. Analysis of Capsicum Level of Various Capsicum Fruit from Bandung Indonesia. Skripsi. Universitas Padjadjaran, Bandung. Hasbullah, 2005. Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil Sumatra Barat.

Dewan Ilmu Pengetahuan, Padang

Ketaren, S. 1988. Penentuan Komponen Utama Minyak Atsiri Temulawak (Curcuma xanthoriza Roxb). [Tesis]. Bandung (ID) : ITB

Komara, Ahmad. 1991.Mempelajari Ekstraksi Oleoresin dan Karakteristik Mutu Oleoresin dari Bagian Cabai Rawit. [Skripsi]. Bogor (ID) : IPB

Moestafa. 1981. Aspek Teknis Pengolahan Rempah-Rempah Menjadi Oleoresin dan Minyak Rempah-Rempah. Balai Besar Hasil Pertanian, Bogor

Purseglove, J. W., E.G. Brown, C.L. Green dan S.R J. Robins. 1981. Spices. Vol I. Longman Inc., New York

Ravindran, P. N, Babu, K. Nirmal, dam Sivarman, K. 2007. Turmeric: The Genus Curcuma. CRC Press, New York

Rismunandar. 1988. Rempah-rempah Komoditi Ekspor Indonesia. Sinar Baru, Bandung

Somaatmadja, D. 1981. Prospek Pengembangan Industri Oleoresin di Indonesia.

Makalah di dalam Hasil Perumusan dan kumpulan kertas Kerja Pekan Pengembangan Ekspor Rempah-Rempah Olahan. Tanjung Karang, Lampung

(29)

16

Lampiran 1. Metodologi analisis proksimat serbuk cabai (SNI 01 – 2891 – 1992) 1. Kadar Air

Sebanyak 5 g bahan dimasukkan ke dalam labu asah 250 ml kemudian ditambahkan 200 ml toluen. Labu suling dipanaskan perlahan-lahan sampai toluen mendidih. Jika jumlah air tidak bertambah lagi, penyulingan dilanjutkan selama 15 menit. Selanjutnya penyulingan dihentikan dan alat dibiarkan dingin. Jika air dan toluen telah terpisah secara sempurna, volume dan persentase air dalam bahan dihitung.

2. Kadar Abu

Bahan sebanyak 2 g atau 3 g yang telah digerus dan ditimbang, dimasukkan dalam cawan porselin yang telah dipijarkan dan ditera kemudian diratakan. Zat kemudian dipijarkan perlahan-lahan sampai arang habis kemudian didinginkan dan ditimbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, maka ditambahkan air panas dan disaring melalui kertas saring bebas abu. Sisa zat dan kertas saring dipijarkan kembali dalam cawan yang sama. Filtrat dimasukkan dalam cawan dan diuapkan kemudian dipijarkan hingga bobot tetap dan ditimbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. 3. Kadar Lemak

Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 105-110oC, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung ditimbang sebanyak ± 5 g dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi yang telah berisi pelarut (heksana). Reflux dilakukan selama 5 jam dan pelarut yang ada dalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC sampai beratnya konstan, didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

4. Kadar Protein

(30)

17 (campuran 2 bagian merah methil 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue 0.2% dalam alkohol) dan ditambahkan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8-10 ml. Isi erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan warna. Penetapan untuk blanko juga dilakukan.

5. Kadar Serat Kasar

Sebanyak 2-4 g sampel yang telah dihilangkan kadar lemak dan kadar airnya ditimbang. Sebanyak 50 ml larutan H2SO4 1,25% ditambahkan kemudian didihkan selama tiga puluh menit. Sampel ditambahkan 50 mL NaOH 3,25 % dan didihkan lagi selama 30 menit. Dalam keadaan panas saring dengan corong Buchner yang berisi kertas saring tak berabu Whatman 54, 41, atau 541 yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan yang terdapat pada kertas saring dicuci berturut-turut dengan H2SO4 1,25 % panas, air panas dan etanol 96 %. Angkat kertas saring beserta isinya, masukkan kedalam kotak timbang yang telah diketahui bobotnya, keringkan pada suhu 105°C dinginkan dan timbang sampai bobot tetap.

Wo : berat kertas saring

Wi : berat kertas saring + residu setelah dikeringkan Ws : berat contoh

8. Kadar Karbohidrat by difference

(31)

18

Lampiran 2. Metodologi Analisa kualitas mutu oleoresin 1. Rendemen Oleoresin

berat oleoresin yang dapat diperoleh dari setiap satuan berat bahan bubuk rimpang temulawak yang diekstrak.

Perhitungan :

Keterangan : BK : Berat kering Ka : Kadar air

2. Nilai Warna Oleoresin (Farrel, 1985)

Nilai warna oleoresin diukur dengan spektrofotometer pada 460 nm. Caranya adalah 70-100 mg sampel diencerkan menjadi 100 ml dengan aseton, lalu dibiarkan selama 5 menit. Kemudian 10 ml larutan diencerkan lagi menjadi 100 ml dengan aseton. Larutan yang diperoleh diuji absorbansinya pada 460 nm dengan blanco aseton. Nilai warna dapat diukur dengan satuan ASTA (American Spice Trade Association) dengan rumus berikut :

Keterangan = A = Absorbansi larutan pada panjang gelombang 460 nm 3. Uji Kepedasan (Farrel, 1985)

Prinsip :

Capsaicin dalam oleoresin cabe akan menimbulkan rasa pedas. Panelis diminta secara organoleptik menentukan ambang pengenalan (recognition threshold) rasa pedas dalam oleoresin.

Prosedur :

Oleoresin ditimbang sebanyak 0,2 gram, dimasukan kedalam labu ukur 50 ml, ditambah etanol 95% sampai tanda tera. Larutan dikocok, bagian yang tidak larut dibiarkan mengendap.

(32)

19 standar ditambah 20 ml larutan pengencer, begitu hinggan penambahan 100 ml larutan pengencer.

Larutan standar yang telah diencerkan dengan tingkat pengenceran tertentu tersebut diuji secara organoleptik oleh lima penelis, pengujuian dilakukan dari tingkat pengenceran terendah. Apabila tiga dari lima panelis belum merasa pedas, uji organoleptik diteruskan pada tingkat pengenceran yang lebih rendah, sampai threshold rasa pedas dapat dirasakan oleh minimal tiga panelis

Tingkat pengenceran dan nilai scoville Heat Unit pada uji kepedasan oleoresin cabai

Oleoresin sebanyak 1 gram ditempatkan pada cawan aluminium yang sudah diketahui bobotnya, kemudian dimasukan kedalam oven vakum. Oven dioperasikan pada suhu 40oC dan tekanan 0,75 ATM selama 3 jam. Setelah penguapan, bahan dalam cawan detmpatkan dalam desikator selama 15 menit. Bobot akhir ditimbang dengan menggunakan neraca analitik.

Perhitungan :

Keterangan :

(33)

20

Lampiran 3. Data ha sil penelitian

Rendemen Oleoresin (%)

Pencucian satu kali Pencucian dua kali Pencucuian tiga kali

Cabai Merah 20 23,44 25,20

Cabai Keriting 16,02 21,88 24,78

Cabai Rawit 14,10 24,69 29,74

Nilai warna (ASTA)

Pencucian satu kali Pencucian dua kali Pencucian tiga kali

Cabai Keriting 1355,27 2156,12 2197,62

Cabai Merah 2844,78 3328,61 3379,22

Cabai Rawit 776,48 817,80 2060,89

Tingkat kepedasan (SHU)

Pencucian satu kali Pencucian dua kali Pencucuian tiga kali

Cabai Merah 360.000 240.000 360.000

Cabai Keriting 360.000 480.000 600.000

Cabai Rawit 720.000 720.000 720.000

Kadar sisa pelarut (%)

Pencucian satu kali Pencucian dua kali Pencucian tiga kali

Cabai Keriting 8,05 6,40 6,50

Cabai Merah 7,21 8,03 7,00

(34)

21

Lampiran 4. Foto Hasil Ekstraksi Oleoresin

(a) Hasil ekstraksi oleoresin cabai keriting pencucian satu kali, dua kali dan tiga kali

(b) Hasil ekstraksi oleoresin cabai merah pencucian satu kali, dua kali dan tiga kali

(35)

22

Lampiran 5. Tabel anova respon rendemen oleoresin (α = 1%) Analisis Ragam

Cabai Merah Cabai Keriting Cabai Rawit Total

Pencucian satu kali

Count 2,0000 2,0000 2,0000 6,0000

Sum 40,0000 32,0500 28,2100 100,2600

Average 20,0000 16,0250 14,1050 16,7100

Variance 0,0098 0,7081 0,0113 7,3776

Pencucian dua kali

Count 2,0000 2,0000 2,0000 6,0000

Sum 46,8800 43,7600 49,3900 140,0300

Average 23,4400 21,8800 24,6950 23,3383

Variance 24,0818 0,5408 2,1425 6,9441

Pencucian tiga kali

Count 2,0000 2,0000 2,0000 6,0000

Sum 50,4100 49,5700 59,4900 159,4700

Average 25,2050 24,7850 29,7450 26,5783

Variance 25,4185 2,3981 35,3640 18,6881

Total

Count 6,0000 6,0000 6,0000

Sum 137,2900 125,3800 137,0900

Average 22,8817 20,8967 22,8483

(36)

23 ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Sample 303,6328 2,0000 151,8164 15,0687 0,0013 3,0065

Columns 15,5007 2,0000 7,7503 0,7693 0,4916 3,0065

Interaction 58,8730 4,0000 14,7182 1,4609 0,2917 2,6927

Within 90,6747 9,0000 10,0750

(37)

24

Lampiran 6. Tabel anova respon kadar sisa pelarut (α = 1%) Analisis Ragam

Rancangan Acak Lengkap Faktorial

Vj Ei Tj

(38)

25

ANOVA

Source of

Variation SS df MS F

P-value

F crit

Sample 5.49 2.00 2.75 0.59 0.57 3.01

Columns 0.59 2.00 0.29 0.06 0.94 3.01

Interaction 5.04 4.00 1.26 0.27 0.89 2.69

Within 41.88 9.00 4.65

(39)

26

Lampiran 7. Tabel anova respon nilai warna (α = 1%) Analisis Ragam

ANOVA

Vj Ei Tj

Cabai Keriting Cabai Merah Cabai Rawit Pencucian Satu

(40)

27

ANOVA

Source of

Variation SS df MS F

P-value

F crit

Sample 40129.37 2.00 20064.68 125.97 2.63 3.01

Columns 136968.74 2.00 68484.37 429.95 1.17 3.01 Interaction 150415.53 4.00 37603.88 236.08 4.21 2.69

Within 1433.56 9.00 159.28

(41)

28

Lampiran 8. Contoh tabel uji tingkat kepedasan

Nama :

No Hp :

Petunjuk : Setiap panelis mencicipi sampel sebanyak 5 ml secara berurutan dari kode A dan seterusnya hingga threshold rasa pedas dapat dikenali oleh panelis.

1 2 3 4 5 6 7 8 9

(42)

29 Lampiran 9. Hasil uji Kandungan Capsaicin dengan metode GCMS

Hasil analisis GCMS sampel Cabai Merah

Peak # R.T min Kandungan Terdeteksi % of total Area

1 11,182 Tetradecanoic acid 0,483

2 12,473 Heptadecadiene 0,175

3 12,584 Hexadecanoate Methyl ester 6,601

4 13,012 Ethyl Hexadecanoate 0,627

5 13,764 Methyl ester 25,289

6 13,815 9,12,15-Octadecatrienoic acid 2,287

7 13,909 Methyl stearate 1,662

8 14,208 Ethyl 9,12-Octadecadienoate 15,214

9 14,268 9,12-Octadecadienoic acid 3,707

10 14,362 9,12-Octadecadienoic acid 19,184

11 14,815 Cyclopropaneoctanal 3,609

12 15,183 Cyclohexanamine 1,464

13 16,260 2,3-dihydroxpropyl ester 3,088

14 16,542 Normethadone 0,525

15 16,730 Hydroxymethyl Ethyl ester 6,158

16 16,816 Oktadecanoid acid 0,693

17 17,893 Capsaicin 0,627

18 18,671 Tetradecanamide 1,419

(43)

30

Hasil analisis GCMS sampel Cabai Keriting

Peak # R.T min Kandungan Terdeteksi % of total Area

1 5,249 Glycerin 1,523

2 12,182 Tetradecanoic acid 0,929

3 12,576 Hexadecanoate Methyl ester 0,557

4 13,012 Hexadecanoate Ethyl ester 0,568

5 13,755 Methyl ester 22,757

6 13,807 9,12,15-Octadecatrienoic acid 4,014

7 13,909 Methyl stearate 1,751

8 14,123 9,12-Octadecadienoic acid 2,416

9 14,200 Diisopropyl ethylamine 10,253

10 14,260 9,12-Octadecadienoic acid 2,961

11 14,396 9,12-Octadecadienoic acid 10,347

12 14,465 9,12-Octadecadienoic acid 7,860

13 15,174 2,3-dihydroxpropyl ester 3,697

14 16,251 Normethadone 2,884

15 16,722 Octadecadienoate 10,758

16 17,884 Capsaicin 1,645

(44)

31 Peak # R.T min Kandungan Terdeteksi % of total Area

1 9,661 Undecanoic acid 0,10

2 11,182 Methyl tetradecanoate 0,38

3 11,550 Xanthorrizol 0,38

4 11,644 Pentadecanoic acid 0,17

5 12,473 Hexadecanoic Methyl ester 0,34

6 12,584 Hexadecanoic acid 7,29

7 13,781 Methyl ester Octadecadionic acid 32,47

8 13,918 9,12-Octadecadienoic acid 2,13

9 14,149 9,12-Octadecadienoic acid 4,39

10 14,209 9,12-Octadecadienoic acid 8,34

11 14,371 9,12-Octadecadienoic acid 4,15

12 15,072 Methylamine-propyl carboxamide 1,03

13 15,192 9-Octadecenal Oleadehyde 2,55

14 16,816 Pentadecyne 9,12-Octadecadienoic acid 2,01

15 17,457 Linoleic Acid 0,91

16 17,953 Capsaicin 2,88

17 18,218 Dihidrocapsaicin 1,45

(45)

32

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Surabaya pada tanggal 3 September 1990 dari ayah Agus Setyabudi dan ibu Rina Juliwahjuti dengan kakak Ratih Wahyu Setyaningtyas dan Gagas Setyawahyuaji. Penulis berdarah Jawa ini menempuh studi di SMPN 1 Surabaya 2003 – 2006, SMAN 2 Surabaya 2006 – 2009, dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Pertanian melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada tahun 2009.

Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Analisis Bahan Agroindustri 2012 dan asisten mata kuliah Teknologi Minyak Atsiri dan Fitofarmaka pada tahun 2012-1013. Selain itu, penulis juga aktif dalam kegiatan himpunan profesi di Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) sebagai anggota pengurus departemen HRD 2011 – 2012. Penulis juga pernah mengikuti lomba Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang kewirausahaan tingkat nasional di Universitas Muhamadiyah Jogjakarta pada tahun 2012 dengan produknya yang bernama Mr.Mushroom, Jamur Tiram Krispy dengan tambahan tepung wortel.

Gambar

Gambar 2  Diagram alir proses ekstraksi oleoresin (modifikasi dari: Dewi
tabel (Lampiran  5). Yang artinya tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
Gambar 6.
Gambar 6. Hubungan jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap nilai warna

Referensi

Dokumen terkait

Pada hasil belajar ranah psikomotor siswa kelas XI Bahasa dalam pembelajaran Antropologi dengan penerapan model pembelajaran Snowball Drilling diketahui bahwa

Instrumen KIDSCREEN-27 versi Bahasa Indonesia sudah melalui prosedur yang sesuai dalam proses adaptasi dan validasi lintas budaya dengan hasil validitas dan reliabilitas yang

selaku Ketua Program Studi Sistem Komputer dan Dosen pembimbing I yang telah berkenan meluangkan waktu, perhatian, juga kesabarannya dalam membimbing

et vivent dans des régions où la tuberculose est fortement endémique. Le suivi à long terme de ces enfants après vaccination est souhaitable. Les nourrissons VIH positifs

Brughstaler dan Dichev (997) menggunakan variabel perubahan MV, BV, dan E serta variabel kontrol middle range (DM) dan high range (DH) yang diperoleh dari cutoff E/BV

Nilai kegigihan K.H. Berdasarkan hasil temuan penelitian bahwa terdapat nilai kegigihan yang tercermin dari K.H. Sjam’un sebagai basis karakter yang baik. Secara kodrati,

Diberitahukan dengan hormat, setelah kami melakukan verifikasi berkas calon oeserta Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) Tahun 2017,kami menemukan..

1) Sebagian besar sumber tsunami berada pada zona-zona tektonik aktif seperti zona subduksi, tumbukan, pensesaran, dimana 83% tsunami terjadi pada daerah