• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ponggawa and fishpond patronage in mahakam delta: a theory on the formation of local economic

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ponggawa and fishpond patronage in mahakam delta: a theory on the formation of local economic"

Copied!
743
0
0

Teks penuh

(1)

DISERTASI

PONGGAWA DAN PATRONASE

PERTAMBAKAN DI DELTA MAHAKAM:

Teori Pembentukan Ekonomi Lokal

Oleh:

P. SETIA LENGGONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Ponggawa dan Patronase Pertambakan di Delta Mahakam: Teori Pembentukan Ekonomi Lokal” merupakan karya saya sendiri yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir penulisan disertasi ini.

Bogor, 03 Oktober 2011

(4)
(5)

ABSTRACT

P. SETIA LENGGONO. Ponggawa and Fishpond Patronage in Mahakam Delta: A Theory On The Formation Of Local Economic. Under direction of ARYA HADI DHARMAWAN, ENDRIATMO SOETARTO and DIDIN S DAMANHURI.

The failure of forest management systems in the Third World has led to deterioration of forests and creates poverty enclaves in the villages surroiusly the forest. In this regard, the activities of aquaculture in the Mahakam Delta, which converts

“Kawasan Budidaya Kehutanan”, is very interesting to observe because it is likely transform in to aquaculture capitalism. This research aims to reveal historically and contextually, the control of the mangrove forest by Bugis migrants and its effects on the process of a local economic in the Mahakam Delta. This study will use qualitative approach for data collection analysis consist of firstly, an analysis of data from participant observation, in-depth interviews and life history studies. Secondly, analysis of historical data and texts about past event or related to contemporary social phenomena under study.

Description of the results of this study, indicates that the formation of local economic occurred as a result of the operation of the fishing industry exports in 1974, which opened the space for the presence of middlemen trader in remove areas that are not able to be handled directly. Among the succeesful local economic are the ponggawa followers, who managed to make extensive efforts to take advantage of the momentum of "excellence at the first opportunity to start", after the trawling banning in 1983. Although the impact on local ecology landscape changes, due to "omission of the state" on Kawasan Budidaya Kehutanan, which become a means of conversion of private aquaculture area. Next they do the "exploitation" through the creation of a monopolistic market structure or monopsonistic,resulting in a pricing mechanism and the provision of goods unilaterally. However, the pattern of aquaculture relationship still leaves reciprocity space inherent in the tradition of “passe‟ “, so to reduce the pattern of relationships which ekploitatatif trend. The pattern of patron-client relationship is adaptive as is then able to support the sustainability of capitalism ponds that are full of competition and uncertainty.

(6)
(7)

RINGKASAN

P. SETIA LENGGONO. Ponggawa dan Patronase Pertambakan di Delta Mahakam: Teori Pembentukan Ekonomi Lokal. (Dibawah bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN sebagai Ketua, ENDRIATMO SOETARTO dan DIDIN S. DAMANHURI sebagai Anggota).

Terbentuknya ekonomi lokal dalam masyarakat Bugis perantauan di Delta Mahakam ditandai oleh kemunculan golongan sosial pengusaha perikanan lokal (ponggawa) yang keberadaannya dapat dirunut berikut ini. Pertama, berdasarkan asal-usul sosialnya, dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha perikanan dalam masyarakat Bugis perantauan di Delta Mahakam umumnya berasal dari kelompok non elit/ kelas bawah/ masyarakat ekonomi marginal, terutama dari kalangan orang kebanyakan (to-maradeka) dalam struktur feodal Bugis. Kedua, terkait dengan mekanisme kemunculannya, dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha perikanan (ponggawa) dalam masyarakat Bugis migran di Delta Mahakam, merupakan hasil dari beroperasinya kebijakan pembangunan yang membuka “ruang” bagi terciptanya “berkah terselubung”, akibat absennya negara dalam mengelola hutan negara.

Kelangsungan sosial golongan pengusaha lokal mencakup dua dimensi sekaligus. Pertama, berdasarkan dimensi status/ peranan sosial golongan pengusaha lokal di Delta Mahakam, dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha lokal tersebut hadir dan berkembang dalam konteks dan sebagai pendukung ekonomi lokal, dengan ciri-ciri formasi sosial kapitalis yang khas (hybrid). Penelitian ini menunjukkan bahwa para pengusaha lokal mampu bangkit dan berkembang (survive) tanpa campur-tangan negara, mereka bahkan tumbuh secara progresif, melakukan take over atas perusahaan asing (PMA) dan ikut menopang kertepurukan ekonomi bangsa ketika tertimpa krisis ekonomi 1997/ 1998. Mereka tidak hanya menyumbang terhadap perkembangan pembangunan ekonomi lokal, namun juga menjadi penggerak transformasi sosial-ekonomi masyarakat Delta Mahakam dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri.

Berkenaan dengan status perkembangan sosialnya dapat disimpulkan bahwa golongan pengusaha perikanan lokal dalam masyarakat Bugis migran di Delta Mahakam saat ini sedang mengalami kebangkitan. Gejala kebangkitan tersebut merupakan gejala “konsolidasi ekonomi lokal” yang berpangkal pada dua hal. Pertama, terjadinya reproduksi kultural yang berhasil dikonstruksi oleh para ponggawa dengan menggariskan nilai dasar “bekerja adalah ibadah”. Kedua, adalah terbangunnya “medan interaksi” yang menjadi wadah bagi terjadinya transformasi, legitimasi dan habitualisasi, sehingga menghasilkan wacana rasionalitas spiritual baru. Kebangkitan golongan pengusaha perikanan (ponggawa) di Delta Mahakam, sekaligus merupakan bagian dari keberhasilan golongan tersebut memainkan perannya, “meleburkan diri” dalam dinamika formasi sosial kapitalis yang begitu mendominasi. Pertama, keberhasilan para

ponggawa dalam memanfaatkan momentum “keunggulan pada kesempatan pertama

untuk memulai” atas penguasaan tanah-tanah negara, hingga terjadinya akumulasi alat produksi pada sejumlah ponggawa. Kedua, terjadinya konsentrasi raw material hanya pada satu orang ponggawa besar, sementara ponggawa yang lebih kecil hanya menjadi kepanjangan-tangan dan penopang ponggawa yang beradadiatasnya.

(8)

tawar pengusaha lokal atas produk spesifik, seperti udang windu telah menempatkan mereka “tidak tunduk” terhadap tekanan kapitalis pusat.

Hasil penelitian ini mencatat, bahwa proses pembentukan ekonomi lokal, terjadi sebagai akibat dari beroperasinya kegiatan industri perikanan ekspor pada 1974 yang membuka ruang bagi kehadiran pedagang perantara pada area-area yang tidak mampu ditangani langsung oleh eksportir. Berdasarkan kemunculannya, para pengusaha lokal tersebut, dapat dikelompokkan sebagai 1) ponggawa perintis; 2) ponggawa pengikut; dan 3) ponggawa penerus. Para ponggawa yang mampu bertahan dan berhasil mengembangan usahahanya adalah mereka yang tidak hanya berhasil melakukan hegemoni secara ekonomi dan sosio-kultural, namun juga adaptif dan visioner dalam melihat perubahan. Banyak diataranya adalah para ponggawa pengikut yang berhasil melakukan ekstensifikasi usaha, dengan memanfaatkan momentum “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai”, pasca pelarangan trawl pada 1983. Meskipun berdampak pada perubahan lanscape ekologi lokal, akibat “ketidakhadiran negara” di atas Kawasan Budidaya Kehutanan, yang menjadi ajang konversi.

(9)

@ Hak Cipta Milik IPB Tahun 2011

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

… kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah

bumi, keberanian menjadi cakrawala dan perjuangan

adalah pelaksanaan kata-kata (Kantata-Takwa)

“Karya tulis sederhana ini, didedikasikan pada ketulusan mereka yang telah mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan meteri, bahkan jiwanya untuk bahu-membahu

(10)
(11)

PONGGAWA DAN PATRONASE

PERTAMBAKAN DI DELTA MAHAKAM:

Teori Pembentukan Ekonomi Lokal

P. SETIA LENGGONO

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor

Pada

Program Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Disertasi : Ponggawa dan Patronase Pertambakan di Delta Mahakam:

Teori Pembentukan Ekonomi Lokal N a m a : P. Setia Lenggono

N R P : A.162050061

Program Studi : Sosiologi Pedesaan (SPD)

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arya H, Dharmawan, MSc.Agr Ketua

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, SE. MS. DEA Anggota Anggota

Mengetahui,

Kordinator Program Studi Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. Arya H, Dharmawan, MSc.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr

(14)
(15)

PRAKATA

Alhamdulillah Ya Robbil Allamin, puji syukur penulis panjatkan pada Alloh SWT yang Maha Berpengetahuan atas segala nikmat ilmu yang telah dikaruniakanNya dalam penyelesaian penulisan disertasi ini.

Pertama-tama ucapan terima kasih dan penghargaan setulusnya saya sampaikan kepada Komisi Pembimbing yang telah menghantarkan penyelesaian disertasi ini, yaitu Dr. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr (selaku Ketua), Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA dan Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, MS. DEA (Selaku Anggota). Sungguh, saya sangat beruntung bisa dibimbing Dr. Arya yang tidak pernah bosan menyemangati “ditengah kegamangan” dan mengingatkan bahwa penyelesaian studi S3 harus menjadi skala prioritas utama. Demikian Prof. Endriatmo yang selalu bisa menyentak kesadaran kritis saya dalam setiap diskusi terkait perkembangan disertasi ini. Begitupun koreksi detail dan sentuhan heterodox Prof. Didin yang memberikan warna tersendiri bagi disertasi ini. Mereka bukan sekedar pembimbing yang menjadi

ponggawa dibidang keilmuannya, mereka adalah “patron” yang memiliki komitmen untuk berbagi, tidak hanya pengetahuan tapi juga pengalaman hidup. Atas kesempatan emas menikmati indahnya panorama dari “pundak mereka” yang kokoh dan mulia, izinkan sekali lagi saya mengucapkan terima kasih pada para maha guru tersebut.

Secara khusus dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Lala M. Kolopaking, Ph.D dan Prof. Dr. Sjafri Mangkuprawira atas kesediaan dan komitmennya sebagai Penguji Luar Komisi dalam Ujian Tertutup yang telah saya lalui. Juga kepada Dr. Titik Sumarti, MS dan Francisia SSE. Seda, Ph.D atas kesediaan dan komitmennya sebagai Penguji Luar Komisi dalam Ujian Terbuka yang telah saya lalui.

Saya juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pimpinan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Pimpinan Fakultas Ekologi Manusia, khususnya Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD) dan segenap Staf Pengajar atas kesempatan belajar dan proses belajar yang telah diberikan. Secara pribadi, saya perlu mengucapkan penghargaan yang tinggi pada Dr. MT. Felix Sitorus, MS yang pernah menjadi Ketua Komisi Pembimbing pada masa-masa awal penulisan disertasi ini, atas pencerahan “melampaui positivis”.

(16)

moral dan materil selama menempuh pendidikan S2 hingga S3.

Selanjutnya ucapan terima kasih dan penghargaan setulusnya juga ingin saya sampaikan pada Istri saya, Restu Padmasari SPi yang dengan ikhlas dan tabah menyemangati dan selalu disisi saya menghadapi masa-masa sulit dalam studi yang sangat melelahkan ini. Juga Samudra Fashih Allisan (Andra), anak laki-laki kami yang menjadi inspirasi sekaligus sumber kekuatan bagi saya untuk bisa tegar menghadapi deraan cobaan dan berani mewujudkan mimpi-mimpi kami. Yang tidak kalah pentingnya adalah do‟a dari ibunda saya, W. Iin Mariana yang tidak bosan mengiringi setiap langka ini, karenanya dengan segenap jiwa saya ingin mencium telapak kakinya.

Dalam kesempatan ini, saya juga mengucapkan terima kasih pada kawan-kawan SPD 2005, yang telah melewati masa-masa pendakian bersama yang panjang dan melelahkan, sekaligus menjadi teman diskusi yang tangguh. “Dalam ilmu pengetahuan memang tidak ada jalan raya dan hanya mereka yang tak gentar akan pandakian curam yang melelahkan itu yang mempunyai harapan untuk mencapai puncak-puncak pencerahan (Marx)”. Mereka adalah Dr (Kandidat) Bob Alfiandy, MSi (Unand), Dr (Kandidat) Ivannovic Agusta, MSi (IPB), Dr. Tyas Retno Wulan, MSi

(Unsoed), Dr. Abdul Malik, MSi (IAIN Jambi), Dr. Maihasni, MSi (Unand) dan Dr. Hartoyo, MSi (Unila). Juga rekan-rekan senior, sekaligus seperjuangan saya di SPD,

seperti Dr. Yety Rochwulaningsih, MSi (Undip), Dr. Hidayat, MSi (UN Medan), Dr. Taufik Hidayat, MSi (Unlam), Dr (Kandidat) Zahri Nasution, MSi (KKP) dan Dr (Kandidat) Saifuddin, MSi (UN Makassar), terima kasih telah “berbagi asa”.

(17)
(18)
(19)

RIWAYAT HIDUP

P. Setia Lenggono, “numpang lahir” di Surabaya pada 22 April 1971, dari pasangan orang tua W. Iin Mariana dan (Alm.) D. Soetikno. Dibesarkan dengan kebanggaan mendalam sebagai warga Samarinda dan dibentuk oleh imajinasi kebangsaan sebagai warga Indonesia yang multikultural.

Memperoleh pendidikan dasar di SDN 016 Samarinda, pendidikan menengah pertama di SMPN 2 Samarinda dan pendidikan menengah atas SMAN 2 Samarinda. Selanjutnya menyelesaikan pendidikan S1 di Program Studi Sosiatri, Jurusan Sosiologi – Fisip, Univ. Mulawarman pada 1995. Merampungkan pendidikan S2 di Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanan Bogor diawal 2004 dan melanjutkan Program Doktoral pada 2005 di Program Studi Sosiologi Pedesaan di tempat yang sama.

Sejak 1993 terlibat aktif dalam berbagai kegiatan advokasi dan pendampingan masyarakat lokal bersama sejumlah NGO, hingga “tersesat” menjadi seorang pegawai

swasta rendahan dan partisan di awal reformasi, sebelum memutuskan kembali menjadi aktivis NGO, sekaligus pengajar di Universitas Widya Gama Samarinda menjelang tahun 2000. Di tengah kesibukan menjadi mahasiswa S3, penulis juga sering terlibat dalam berbagai kegiatan penelitian yang dilakukan lembaga intra kampus, selain sebagai praktisi profesional. Sejumlah artikel di berbagai media dan penulisan buku; “Dekonstruksi Kebijakan Hak Ulayat Laut” dalam buku Menggugat Kebijakan Agraria (2005); “Paradigma Penelitian Konstruktivisme” dalam buku Metodologi Penelitian Sosiologi Pedesaan (2005); dan “Kedaulan Lokal: Pengalaman Empiris Melaksanakan Pilkada Langsung Pertama di Indonesia” (2006), berhasil diselesaikan pada masa-masa awal studi.

(20)
(21)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian 1

1.2 “Pintu Lain” Pembentukan Kapital Lokal 4

1.3 Signifikansi Studi 7

1.4 Penelitian Terdahulu 10

1.5 Rumusan Permasalahan dan Batasan Konsepsional 15

1.6 Pertanyaan Penelitian 19

1.7 Tujuan Penelitian 20

1.8 Organisasi Penulisan 21

II. TINJAUAN TEORITIS 23

2.1 Sistem Kapitalisme 23

2.2 Kebudayaan dan Kekuasaan 28

2.1.1 Penguasaan Sumberdaya Alam 30

2.1.2 Karakter Sosio-Kultural Orang Bugis 33

2.2.2.1 Sistem Religi 33

2.2.2.2 Norma Yang Dianut 34

2.2.2.3 Etika-Moral Kemasyarakatan 37 2.2.2.4 Etika-Moral Ekonomi Ponggawa 38

2.2.2.5 Jaringan Modal 40

2.1.3 Hubungan Patron-Clients dalam Jaringan Sosial

Pertambakan 43

2.3 Pembentukan Kapital Lokal 46

2.3.1 Perubahan Struktur Agraria 47

2.2.1.1 Perubahan Pola Penguasaan, Pemilikan dan

Pemanfaatan Lahan 49

2.2.1.2 Fenomena “Tragedy of The Common” 52 2.3.1 Perubahan Sistem Sosial dan Ekologi Lokal 53

2.4 Booms Udang dan Pembentukan Ekonomi Lokal 56

2.4.1 Menelisik Ekonomi Lokal 56

2.4.2 Ekonomi Kolaboratif 65

III. METODOLOGI PENELITIAN 69

3.1 Hipotesa Pengarah 70

3.2 Paradigma Penelitian 73

3.3 Metode Penelitian 76

3.4 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data 78

3.5 Lokasi Penelitian 84

3.6 Jadwal dan Tahapan Penelitian 87

IV. BERADU KUASA DI SELA PADANG NIPAH:

DIMANA BATIS BEPIJAK DISITU PATOK BETAJAK 91

4.1 Delta Mahakam: Tanah Timbul Kaya Sumberdaya Alam 85 4.2 Sejarah Peradaban Kawasan Delta Mahakam 87 4.3 Penguasaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Agraria 107

4.3.1 Pra Kemerdekaan: Kesejahteraan Bagi Kaum Aristokrat

Lokal dan Kolonial 109

4.3.2 Pasca Kemerdekaan: Totalitas ”Hak Menguasai Negara” 114 4.3.3 Kondisi Mutakhir: Pelarangan Trawl, Illegal Fishing,

(22)

5.1.1 Ekspansi Industri Perikanan Jepang 131 5.1.2 Booming Produksi Perikanan Tangkap 136 5.1.3 Penetrasi Lembaga Kapitalis dalam Kebijakan Perikanan 141

5.1.4 Mensiasati Over Fishing 143

5.2 Fase Industri Perikanan Budidaya 146

5.2.1 Reproduksi Kebijakan Penguasaan Sumberdaya Agraria 146 5.2.2 Pola “Pendudukan” Tanah-Tanah Negara 152 5.2.3 Konflik Penguasaan Sumberdaya Agraria 156 5.2.4 Booms Udang dan Krisis Ekologi 162 5.2.5 Pengelolaan “Pertambakan Ilegal” 166

5.3 Fase Konsolidasi Ekonomi Lokal 174

VI. RASIONALITAS PENGUSAHA LOKAL:

(BEKERJA x IBADAH) + JARINGAN SOLIDARITAS = MODAL KUASA 179

6.1 Basis Nilai Moralitas 181

6.2 Budaya Bisnis Bugis 187

6.2.1 Basis Modal Sosial 200

6.2.2 Bentuk Aliansi Strategis Keluar 206 6.2.3 Bentuk Aliansi Strategis dalam Komunitas 209 6.2.3.1 Membangun Identitas “ke-Bugis-an” 209

6.2.3.2 Tradisi Islam Lokal 212

6.2.4 Strategi Bisnis Yang Terbangun 220

6.3 Pola Pencaplokan Kapital 222

6.3.1 Pola Ekspansi Kapital 225

6.3.2 Pola Jejaring Bisnis Kapital 226

6.3.3 Pola Transaksi Bisnis 231

6.3.4 Ideologi Kapitalisasi Sumberdaya Alam 232 6.4 Habitualisasi: Tambak Yang Mendisiplinkan 236

6.5 Ikhtisar 242

VII. TEORITISASI PEMBENTUKAN EKONOMI DAN PENGUSAHA LOKAL 245 7.1 Pembentukan Lapisan Atas Masyarakat Bugis di Delta Mahakam 245

7.1.1 Asal Usul Sosial Pengusaha Pertambakan 245 7.1.1 Implikasi Ekologis: Perubahan Evolusioner Land Use

di Delta Mahakam 258

7.1.1.1 Fenomane “Absennya Negara” 258

7.1.1.2 Ketidakpastian Regulasi 259

7.1.1.3 Oportunisme dan Pragmatisme Orang Bugis 261 7.1.1.4 Akresi Kapital:Korban Penimbunan Kapital 266 7.2 Pembentukan Masyarakat Ekonomi Lokal 269 7.2.1 Wujud Kapitalisasi Pertambakan 269 7.2.2 Reproduksi Ekonomi Pengusaha Lokal 275 7.2.3 Keberlanjutan Ekonomi Lokal: Mensiasati Kelangkaan

Sumberdaya, Memperkuat Jaringan Patronase 284

(23)

VIII.KESIMPULAN: KEBANGKITAN KAPITAL LOKAL 299

8.1 Ikhtisar Hasil Penelitian 299

8.1.1 Pembentukan Ekonomi Lokal 299

8.1.2 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Lokal

Terhadap Perubahan Landscape Ekologi 303 8.1.3 Proses Reproduksi Ekonomi Lokal 304 8.1.4 Pertumbuhan Ekonomi Lokal dalam Kelangkaan SDA 306 8.1.5 Sistem Sosial Ekonomi Lokal 307 8.2 Epilog: Ekonomi Lokal Konstitusional 308

8.2.1 Implikasi Teoritis 316

8.2.2 Implikasi Kebijakan 317

8.2.3 Catatan Kritis 318

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

KEMUNCULAN PENGUSAHA LOKAL: Studi Riwayat Hidup Tiga

(24)
(25)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Kajian Sosial Tentan Pembentukan Pengusaha di Indonesia 12 2. Nilai Ekonomi Pemanfaatan Mangrove di Delta Mahakam 52 3. Jumlah Desa/Kelurahan di Zona I Kawasan Delta Mahakam 84 4. Sejarah Migrasi dan Penguasaan Kawasan Delta Mahakam 100 5. Kronologis Kebijakan Penghapusan Jaring Trawl 123 6. Jumlah Cold Storage di Kalimantan Timur sampai dengan

Tahun 1990 133

7. Periode Kepemimpinan PT. Misaja Mitra di Sungai Meriam,

Kutai Kartanegara 134

8. Nama-Nama Perusahaan Eksportir di Kalimantan Timur yang

Telah Kolaps 139

9. Daerah Sebaran dan Potensi Sumberdaya Udang Tahun 1991 140 10. Praktek Kegiatan Pengelolaan Migas 150 11. Pihak yang Berkuasa Terhadap Lokasi Pertambakan

di Desa Muara Pantuan 154

12. Perbandingan Tambak Tradisional dengan Tambak Semi Intensif

dan Intensif 171

13. Konsolidasi Kerjasama Internasional dalam Pembinaan Mutu Produk 177 14. Pengelompokan Pengusaha Lokal Berdasarkan Volume

Produksi Pertambakan 179

15. Perbandingan Kelompok Etnik Terbesar Berdasarkan Sensus

Penduduk Tahun 1930 dan 2000 188

16. Nama-Nama Perusahaan Eksportir Aktif, Lokasi dan Status

Kepemilikannya 188

17. Peradaban Yang Berhasil Dibangun Migran Bugis di Indonesia 191 18. Komposisi Sebaran Etnik Bugis di Nusantara 194

19. Pengkategorian Islam di Indonesia 213

20. Perusahaan Eksportir yang Dipasok Produk Udang dari Kawasan

Delta Mahakam 2003 – 2009 229

21. Orientasi Ekonomi dalam Penguasaan Tanah Berdasarkan

Penggolongan Penduduk 249

22. Pengelompokan dan Asal-Usul Keberadan Pengusaha Lokal 256 23. Ekonomi Lokal Diantara Tiga Sistem Ekonomi

24. Posisi Relatif Etika Moral Kapitalis 283 25. Struktur Sosial Masyarakat Bugis di Kawasan Delta Mahakam

(26)

Nomor Teks Halaman 1. Sejarah Pertambakan di Delta Mahakam 51 2. Peta Tutupan Hutan Mangrove di Delta Mahakam dari

Sebelum Dikonversi, 1992, 1996, 1999, hingga 2001 54

3. Peta Lokasi Penelitian 86

4. Peta Pemanfaatan Lahan Kawasan Delta Mahakam 93 5. Pembagian Konsesi Minyak Bumi pada 1971 menurut

The Time 1971 120

6. Peta Sebaran Konsesi Migas di Kawasan Delta Mahakam dan

Sekitarnya 121

7. Perbandingan Jumlah RTP Laut dengan Produksi Perikanan Laut

Propinsi Kalimantan Timur 125

8. Nilai Produksi Perikanan Laut Propinsi Kalimantan Timur 136 9. Perbandingan Jumlah RTP Laut dengan Produksi Perikanan Laut

Kabupaten Kutai Kartanegara 137

10. Skema Konflik dalam Kegiatan Pertambakan 159 11. Volume dan Nilai Ekspor Udang Beku dan Segar Kalimantan Timur 163 12. Volume dan Nilai Ekspor Udang Beku dari Kawasan Delta Mahakam 164 13. Perbandingan RTP dan Luas Tambak dengan Produksi Perikanan

Budidaya Delta Mahakam 165

14. Lay-Out Pertambakan Tradisional Satu Pintu Air di Delta Mahakam 173 15. Volume dan Nilai Produksi Perusahaan Eksportir Kalimantan

Timur 2009 175

16. Etika Moral Ponggawa Bugis di Kawasan Delta Mahakam 183 17. Peta Negara-Negara Utama di Nusantara pada Abad-17 190 18. Hubungan Para Aktor Yang Terlibat dalam Perdagangan Udang 202

19. Empat Kuadran Tipe Norma 205

20. Jejaring Usaha Pertambakan 228

21. Perbandingan RTP dan Luas Area Tambak dengan Produksi dan

Nilai Perikanan Budidaya Kaltim 234

22. Siklus Reproduksi Habitus 238

23. Proses Sejarah Pembentukan Ekonomi Lokal 222 24. Pelapisan Sosial Masyarakat Bugis Bone dan Wajo‟ Feodal 245 25. Pelapisan Masyarakat Bugis Kontemporer dalam Kegiatan

Pertambakan di Delta Mahakam 257

(27)

GLOSSARY

Buruh Tambak: Sebutan bagi mereka yang menjual tenaganya untuk

membangun atau merehabilitasi tambak-tambak secara manual. Sebagian besar diantaranya berasal dari pantai utara Jawa Timur, khususnya Lamongan. Banyak diantara mereka bekerja secara berkelompok dikordinir oleh seorang mandor.

Ekonomi Lokal: Berbeda dengan rumusan pemerintah yang mendefinisikan

Ekonomi Lokal sebagai “Usaha mengoptimalkan sumberdaya

lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal dan organisasi masyarakat madani untuk mengembangkan ekonomi pada suatu wilayah”. Ekonomi lokal yang ditemukan dalam penelitian ini ialah “Suatu bangunan ekonomi hybrid yang mampu menopang keberlangsungan perekonomian sebuah masyarakat pada suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem sosio-kultural yang berkarakteristik khas, berikut semua komponen sumberdaya lokal secara efesien”.

Empang: Sebutan tambak bagi orang Bugis, merupakan kolam buatan yang dibangun diatas rawa payau, berisi campuran air laut dan air tawar untuk membudidayakan ikan atau udang. Empang dibagi menjadi petak-petak yang dibatasi pematang dan parit – mirip sawah, di kawasan Delta Mahakam luasan empang bisa mencapai 2 – 100 Ha/ petak dengan hanya menggunakan satu pintu air.

Gila-Gila: Sebutan masyarakat setempat untuk menandai masa dimana posisi air yang akan masuk ke dalam tambak tidak stabil atau cepat berubah.

Kapital Lokal: Atau local capital merupakan sebuah terminology baru yang dengan sengaja ditawarkan dalam penelitian ini untuk menghindari peran negara maupun privatisasi di dalam konsepsinya, sehingga tidak terjebak dengan konsepsi social capital yang begitu mendominasi berbagai kajian dan wacana pembangunan pedesaan di negara Dunia Ketiga dewasa ini. Yang diasumsikan memiliki kemungkinan untuk mendorong bangkitnya etno-sentrisme.

KBK: Kependekan dari Kawasan Budidaya Kehutanan, yang dalam

wacana otoritas kehutanan dianggap sebagai kawasan terlarang untuk kegiatan apapun di luar aktivitas kehutanan. Aktivitas di dalam kawasan tersebut hanya boleh dilakukan jika telah mengantongi izin dari Menteri Kehutanan, jika tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan illegal/ perambah hutan.

KBNK: Kependekan dari Kawasan Budidaya Non Kehutanan.

(28)

bulan Hijriyah, biasanya berlangsung setiap dua minggu sekali. Berbeda dengan pola pengelolaan tambak di daerah lain, hampir semua tambak di kawasan Delta Mahakam, selalu dipanen dua kali dalam satu bulan (setiap kali nyorong), untuk mengambil udang bintik yang masuk ke tambak ketika pintunya dibuka pada saat air pasang tertinggi. Sedangkan udang windu akan dipanen ketika usianya telah mencapai empat bulan (panen raya), meskipun ada pula yang dipanen sebelum memasuki bulan keempat.

Padang Nipah: Sebutan awal masyarakat setempat atas pulau-pulau yang terbentuk dari hasil sedimentasi Sungai Mahakam dan banyak ditumbuhi pohon nipah ini. Istilah Delta Mahakam tampaknya baru mulai dikenal masyarakat setempat pada tiga dasawarsa terakhir.

Panngaderreng: Merupakan aturan adat-istiadat yang terdiri atas serangkaian norma yang berkaitan satu sama lainnya, yang terdiri dari ade’ (adat), bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari’ (norma yang mengatur stratifikasi masyarakat) dan sara’ (syariat Islam).

Pappalele: Sebutan bagi pemilik modal dan peralatan tangkap dalam kegiatan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan dan sebagian kawasan timur Indonesia. Dalam kegiatan pertambakan di pantai timur Kalimantan istilah pappalele tidak diadopsi oleh migran Bugis, peran dan posisi mereka diperankan oleh ponggawa yang di dalam kegiatan perikanan tangkap berlaku sebagai pemimpin dalam operasi penangkapan.

Pappanngaja: Sesuatu yang dinasehatkan orang tua pada anak-cucu atau orang yang lebih mudah, guru pada muridnya ataupun ajjoareng pada joa’-nya, kadang-kadang merupakan ungkapan berupa kata-kata hikmah dan adakalanya melalui sebuah cerita yang dibumbui kalimat-kalimat khiasan.

Passe’: Berarti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri, mengindikasikan perasaan haru (empati) yang mendalam terhadap kerabat, tetangga atau sesama anggota kelompok sosial. Melambangkan solidaritas, tidak hanya pada seseorang yang telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam kelompok sosial yang sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah atau menderita sakit. Paseng: Wasiat yang dipertaruhkan, menekankan adanya keharusan dan

pantangan yang harus dipegang teguh oleh penerima wasiat. Pembiaran Negara: Setara dengan absennya Negara atas kekuasaan dan

(29)

Penjaga Empang: Sebutan bagi anak buah tambak dalam kegiatan pertambakan di pantai timur Kalimantan. Pada awalnya sebagian besar diantara mereka adalah famili atau karabat dekat dari pemilik tambak, namun seiring dengan semakin luasnya hamparan tambak yang terbangun dan semakin sulitnya mendapatkan tenaga operasional untuk menjaga empang dari jalur keluarga, telah membuka peluang bagi migran non-Bugis untuk bekerja sebagai

”penjaga empang”. Penghasilan mereka tergantung pada

kesepakatan dengan pemilik tambak, biasanya berdasarkan prosentase bagi hasil produksi tambak (panen) yang telah dikurangi biaya produksi.

Petambak Bebas: Petambak pemilik yang mampu melakukan operasi pengelolaan tambak secara mandiri tanpa bantuan dari pihak manapun dan dapat menjual hasil produksinya pada pihak manapun untuk memperoleh harga tertinggi. Banyak diantara mereka yang memiliki hamparan tambak luas, harus mempekerjakan ”penjaga-penjaga empang”.

Petambak Terikat: Petambak pemlik atau petambak penggarap yang terikat hutang pada seorang ponggawa yang telah memberikan bantuan materil atau fasilitas usaha pertambakan dengan kompensasi menyerahkan hasil produksinya pada ponggawa yang telah menjadi patron mereka. Istilah petambak penyakap atau penyewa sepertinya tidak dijumpai dalam kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam.

Patronase: Hubungan produksi yang diikat oleh semangat resiprositas dan sukarela untuk mendapatkan sumberdaya dari keseimbangan proses pertukaran yang dianggap kedua belah pihak bisa diterima. Dimana seorang patron bertindak tidak hanya sebagai orang tua yang selalu membantu dan mencukupi kebutuhan hidup anaknya, namun juga bisa bertindak sebagai pemodal yang memaksa klien untuk menyerahkan seluruh produksi dan kesetiaan padanya, sehingga menjamin kepastian pasokan material raw dan keberlanjutan jaringan usahanya.

Ponggawa: Sebutan masyarakat Bugis di pantai timur Kalimantan, bagi seorang pemilik modal yang mengumpulkan dan membeli hasil produksi perikanan (hasil tangkapan maupun budidaya tambak), selain memberikan pinjaman saprotam serta modal usaha dalam bentuk fasilitas atau materil bagi klien mereka. Menurut Pelras (2006), istilah ponggawa berasal dari bahasa Sansekerta yang banyak digunakan pada abad-19, berarti komandan militer atau kapten kapal, sedangkan klien disebut sawi yang berarti awak kapal.

Sawi: Sebutan bagi anak buah kapal dalam operasi penangkapan. Dalam kegiatan pertambakan di pantai timur Kalimantan istilah sawi tidak diadopsi oleh migran Bugis, peran dan posisi mereka diperankan oleh ”penjaga empang”.

Siri’ Pandangan hidup untuk mempertahankan harkat, martabat dan harga diri pribadi, kelompok/ orang lain.

(30)

(Penaeus Merguensis), dst, yang tidak dibudidayakan dengan sengaja.

Udang Windu: Biasanya juga disebut udang tiger (Penaeus Monodon), merupakan komoditas utama yang dibudidayakan para petambak di kawasan Delta Mahakam.

(31)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Diantara ekosistem pesisir yang mengalami tekanan hebat akibat pertumbuhan penduduk dan beragam kegiatan eksploitasi terhadap sumberdaya alamnya adalah ekosistem delta. Salah satu ekosistem delta yang memiliki vegetasi mangrove yang unik, dengan tutupan nipah sangat luas adalah Delta Mahakam. Ekosistem mangrove yang memiliki sebaran zona nypa fruticans ini, membentuk formasi murni dengan luasan 50 persen dari seluruh tutupan Delta Mahakam, yang menurut MacKinnon (2000) merupakan formasi nipah terluas di dunia. Ironisnya luasannya diduga hanya tersisa 11.000 Ha. Konversi hutan mangrove yang semakin intensif terjadi seiring dengan berdirinya beberapa perusahaan eksportir perikanan di sekitar kawasan Delta Mahakam sejak 1974. Besarnya permintaan pasar global terhadap hasil perikanan (khususnya udang windu), telah memicu terjadinya pengalihfungsian common property menjadi area pertambakan pribadi, sehingga terjadi degradasi kualitas lingkungan secara signifikan dalam waktu singkat dan mencapai puncaknya ketika terjadi booms udang pada 2008.

Peluso (2006) menilai bahwa krisis hutan tropis sekarang ini bersumber pada kelembagaan yang tidak pas, khususnya lembaga-lembaga yang membawahi sistem akses dan penguasaan sumberdaya. Tidak ada satu sumber tunggal pun yang dapat dipersalahkan dalam hal musnah dan merosotnya hutan; kerusakan aneka sumberdaya berbasis tanah adalah puncak interaksi rumit dan meluas antara berbagai kepentingan yang selalu bergeser. Mustahil ada solusi lingkungan terhadap kemerosotan, jika itu dipisahkan dari orang-orang dan masyarakat yang memanfaatkan lingkungan itu secara legal maupun ilegal; kemerosotan itu sendiri – degradation – adalah istilah yang sarat nilai dan kepentingan (Dove,1984; Blaikie, 1985; dan Peluso, 2006). Karena itu seharusnya analisis kelestarian harus mencakup kelestarian lingkungan secara sosial dan politis.

(32)

ekonomi nasional masih belum berhasil mengangkat ekonomi mikro, terutama ekonomi rakyat, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di sekitar hutan dan kemampuan ekonomi daerah, serta kemampuan pelestarian hutan untuk terus mendorong perekonomian nasional.

Namun demikian, menurut Hall, et all (2011) berbagai kebijakan dalam sistem pengelolaan hutan tersebut, ternyata setiap harinya tidak hanya menyebabkan tercerabutnya hak masyarakat (dispossession) atas klaim terhadap kawasan hutan yang telah mereka tradisikan, namun juga mendorong terjadinya akumulasi alat produksi dan kapital pada sejumlah pihak yang diuntungkan dengan beroperasinya kebijakan tersebut. Setidaknya menurut catatan World Bank, berbagai dilema kebijakan kehutanan di Indonesia mulai terjadi sejak rezim Orde Baru berkuasa. Ketika penguasa saat itu melakukan klaim atas kawasan hutan yang mencakup sekitar tiga perempat luas negara, mengambil alih hak-hak masyarakat tradisional atas hutan-hutan mereka. Dengan melakukan perencanaan penetapan wilayah berskala besar untuk menjelaskan daerah-daerah perlindungan, pengelolaan hutan dan alih fungsi, yang seringkali diabaikan atau bahkan dimanipulasi (Chomitz, 2007). Hak-hak masyarakat atas hutan-pertanian yang ditradisikan diabaikan dan berbagai perencanaan yang telah menjadi kebijakan tidak mampu mencegah berlangsungnya penggundulan hutan di daerah-daerah yang dilindungi. Akibatnya menurut Chomitz, 40 juta orang Indonesia hidup di daerah yang ditetapkan sebagai wilayah hutan tetapi kekurangan pohon (hutan tanpa pohon), di daerah dengan larangan pertanian (termasuk perikanan), tanpa adanya jaminan hak penguasaan lahan.

(33)

3

massive, namun juga akan dipahami sebagai ekspektasi dari tindakan ekonomi di dalam kebudayaan Bugis yang sarat nilai dan kepentingan. Khususnya pada diri para

ponggawa yang menduduki hierarki puncak dalam kegiatan pertambakan.

Orang Bugis memiliki sistem hirarkis yang sangat rumit dan kaku, namun pada sisi lain prestise dan hasrat berkompetisi untuk mencapai kedudukan sosial tinggi, baik melalui jabatan maupun kekayaan, tampaknya tetap menjadi faktor pendorong utama yang menggerakkan roda kehidupan sosio-kemasyarakatan mereka (Pelras, 2006). Kemampuan mereka untuk berubah dan menyesuaikan diri merupakan modal terbesar yang memungkinkan mereka dapat bertahan dimanapun selama berabad-abad. Orang Bugis tidak hanya sekedar mengadaptasikan diri terhadap lingkungan, mereka bahkan mampu memberi warna tersendiri terhadap lingkungan yang baru. Lebih lanjut Pelras menyebut, “kecendrungan mereka yang tampaknya saling berlawanan (berpandangan hierarkis sekaligus egalitarian, dorongan untuk berkompetisi sekaligus berkompromi, menjunjung tinggi kehormatan diri tetapi juga solider terhadap sesama orang Bugis) dipadukan dengan nilai-nilai yang diutamakan seperti keberanian, ketaatan terhadap ajaran agama dan kelihaian berbisnis merupakan unsur-unsur penggerak utama dalam perkembangan kehidupan sosio-ekonomi dan politik mereka selama ini”.

Karakteristik orang Bugis seperti itulah yang telah menjadi motor penggerak pertumbuhan kapitalisasi di Delta Mahakam dewasa ini. Dimana sistem budaya ketergantungan yang umumnya disebut patron-klien (ponggawa-petambak/ penjaga empang) menjadi inti dari berfungsinya proses kapitalisme pertambakan. Dimana hutan mangrove sebagai lokasi kegiatan pertambakan yang berlimpah, namun tidak memiliki nilai intrinsik dalam aturan perundangan saat itu, menjadi „aset kunci‟ yang dikuasai dan didistribusikan para ponggawa dalam jaringan patronase-nya. Yang pada gilirannya menjadi sarana strategis dalam mengakumulasi kekayaan, serta meraih kekuasaaan ataupun meningkatkan status sosial. Di dalam Kawasan Budidaya Kehutanan (baca: KBK) yang luasnya lebih dari 90 persen dari total luasan Delta Mahakam inilah, proses kapitalisasi pertambakan yang dikategorikan otoritas kehutanan sebagai “kegiatan usaha ilegal” tersebut berlangsung. Menurut perhitungan Dutrieux (2001) yang diacu otoritas kehutanan, luasan kawasan Delta Mahakam diperkirakan mencapai 150.000 Ha, sementara menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kukar (2008), luasnya ditaksir sekitar 108.251,31 Ha.

Menariknya kegiatan “pertambakan ilegal” tersebut, berlangsung hingga saat ini tanpa pernah ada penertiban dari pihak berwenang. “Pertambakan ilegal” tersebut, bahkan telah memicu kemunculan pengusaha lokal. Mereka adalah para ponggawa

(34)

mendorong dilakukannya diversifikasi usaha yang ikut menopang kegiatan pertambakan yang semakin meluas dengan skala produksi yang juga terus meningkat, seperti pendirian pabrik es, hatchery, cold storage, hingga pembangunan industri pengolahan hasil perikanan skala ekspor dan seterusnya.

Puncaknya terjadi pada 2007, ketika seorang ponggawa besar di Delta Mahakam, berhasil melakukan take over atas perusahaan industri perikanan international dari Jepang yang merupakan pioneer industri perikanan ekspor di Indonesia, sekaligus perusahaan eksportir perikanan terbesar di pantai timur Kalimantan. Tidak hanya sampai disitu, para ponggawa juga berhasil melakukan ekspansi kegiatan bisnis di sektor lain, seperti toko-toko klontongan – swalayan yang menyediakan kebutuhan pokok para klien dan masyarakat sekitar. Bahkan, mengembangkan kegiatan usaha diluar sektor perikanan, seperti distributor produk pertanian, jasa transportasi, kontraktor proyek pembangunan, pengembang property, stasiun pengisian BBM, eksploitasi pertambangan, perkebunan kelapa sawit, hingga berkecimpung dalam organisasi sosial-politik.

1.2 “Pintu Lain” Pembentukan Kapital Lokal

Fenomena yang tergambar diatas, tentu sangat menarik untuk dicermati, ketika bangsa ini tidak bisa terlalu berharap banyak atas kehadiran kaum borjuasi sejati, yang seperti disinyalir Kunio (1990) tidak terbentuk di Asia Tenggara. Yang ada hanyalah kapitalisme ersatz (pengganti yang lebih inferior) sebagai akibat dari campur tangan pemerintah yang terlalu berlebihan sehingga mengganggu prinsip-prinsip persaingan bebas yang membuat kapitalisme tidak berjalan dinamis. Selain kemunculan para pengusaha yang tidak didasarkan pada perkembangan teknologi yang memadai, sehingga industrialisasi yang mandiri tidak mewujud. Kondisi inilah yang menurut Kunio berakibat pada tidak terjadinya kemajuan ekonomi dan teknologi yang luar biasa seperti yang menggejala di Barat.

(35)

5

tersebut seakan mengukuhkan temuan Weber yang dikonsepsikan dalam The Sosiology of Relegion, maupun konsepsi Marx dalam Asiatic Mode of Production yang tidak berhasil menemukan etos yang mampu mendorong munculnya kapitalisme rasional pada masyarakat Islam/ Asia lebih dari 100 tahun yang lalu. Sebagai manifestasi kuatnya bentuk-bentuk kelembagaan patrimonial yang berkombinasi dengan monopoli kekuatan militer/ politik kekuasaan (Weber) ataupun monopoli kekuatan ekonomi oleh birokrasi negara (Marx).

Jika mendasarkan pada diagnosa tersebut, layak-kah jika kapitalisme yang menggejala di Indonesia dikategorikan sebagai kapitalisme ersatz? Mungkin-kah dalam masyarakat Indonesia yang patrimonial seperti diklaim Liddle (1993) dan Mackie (1993) akan dapat mewujud kapitalisme rasional? Selanjutnya pertanyaan Arief Budiman (1990) menjadi relavan untuk dikemukakan; layak-kah para pengusaha lokal, disebut sebagai mitra dagang yang tidak mandiri dan lebih inferior, jika struktur ekonomi global „memaksa‟ mereka untuk mengekspor bahan-bahan mentah yang tidak dihasilkan negara-negara industri maju? Dapatkah pengusaha lokal dikatakan menjadi ersatz atau kapitalis pengganti yang lebih inferior dari kapitalis tulen (Barat), hanya karena mereka tidak melakukan inovasi usaha dengan mengembangkan industri berteknologi tinggi, akibat „keterlambatan‟ dalam melakukan industrialisasi, sehingga tidak mampu bersaing dengan para industrialis di negara-negara maju?

Bagaimanapun stereo type sebagai masyarakat dengan sistem sosial asli (pra-kapitalis) yang harus berhadapan dengan masyarakat dengan sistem sosial impor (kapitalisme tinggi) seperti dinyatakan Boeke dalam “teori ekonomi ganda”-nya, tampaknya masih begitu mendalam pengaruhnya dalam berbagai kajian tentang pertumbuhan golongan pengusaha/ kelas menengah di Indonesia. Akibatnya menurut Haryanto (1990), timbul aliran pemikiran yang menganggap proses sejarah di negara-negara Asia Tenggara telah gagal menumbuhkan kelas menengah “dalam arti sesungguhnya”. Meskipun umum diketahui, kapitalisme berkembang secara berbeda-beda disepanjang sejarahnya, karena persoalan yang dihadapinya berberbeda-beda-berbeda-beda. Yang sama hanyalah bentuk dasarnya, yaitu pemilikan pribadi alat-alat produksi, sistem pasar sebagai sistem dasar pertukaran barang dan jasa, serta tenaga kerja menjadi komoditi yang diperjualbelikan.

(36)

tersebut. Pada tingkat formal sepertinya sulit untuk mendamaikan pemikiaran dialektik Marx dengan sosiologi verstehend-nya Weber, dimana sosiologi Weber bersifat agnostic (personal Weber) dan menghakimi sementara sosiologi Marx bersifat ateis (impersonal Marx) dan kritis terhadap agama (lihat Turner, 1984). Namun demikian, Turner (1984) berhasil mempertautkan konsepsi Weber yang lebih menekankan pada monopoli kekuasaan politik patrimonial bangsa Asia, ketika memperlakukan peranan nilai sebagai sesuatu yang sekunder dan bergantung pada kondisi sosial setempat/ Islam. Dengan konsepsi Marx yang memandang hapusnya kepemilikan hak milik perorangan atas tanah di Asia, akibat monopoli kekuasaan ekonomi oleh birokrasi negara, sebagai penghambat munculnya prakondisi kapitalisme. Tampaknya terdapat “pintu lain” untuk mensiasati pertentangan paradigmatik dalam menelusuri fenomena ekonomi lokal di Indonesia.

Sekalipun Marx menekankan pentingnya monopoli kekuasaan ekonomi dan Weber menekankan monopoli kekuasaan politik, namun menurut Turner pada dasarnya asumsi-asumsi dan implikasi-implikasi pandangan mereka tentang perbedaan Asia-Eropa sangatlah mirip. Hal ini sampai derajat tertentu sejalan dengan pernyataan Castles (1982), yang mengingatkan untuk tidak tergiring ke lorong buta teoritis, dalam menjelaskan fenomena keunggulan kelompok masyarakat tertentu dalam kegiatan usaha ekonomi dengan sepenuhnya melalui jalur Gertzian atau Weberian, karena sangat problematik. Akan sangat berbahaya mengikuti godaan untuk melihat analogi Etika Protestan dalam agama-agama bangsa Asia, karena motif-motif asketik tidak memiliki kaitan penting dengan kapitalisme dan asketisme secara pasti bukan merupakan aspek motivasi global (Turner, 1984).

(37)

7

1.3 Signifikansi Studi

Tidaklah mudah bagi peneliti untuk bisa membebaskan diri dari bias-bias Indologi (politik keilmuan kolonial) yang selalu berusaha mengawetkan struktur kekuasaan tradisional dan melembagakan dualisme dalam berbagai sektor, dengan konsepsi-konsepsi yang begitu hegemonik dalam pengetahuan sosiologi kontemporer di Indonesia. Jebakan pendekatan dikotomis tampaknya akan sulit untuk dielakkan, seperti

dual economy, dual society, inner island vs outer island, ekonomi (kapitalisme modern) dan budaya (Islam), pribumi dan non pribumi ataupun yang lokal dan yang global. Padahal menurut Irwan (1999), pendekatan dikotomis selalu bersifat a-historis. Kerancuan berpikir mengenai one-sided embeddedness banyak disebabkan oleh pola pikir dikotomis yang masih sangat umum dianut sampai sekarang, bahwa ada yang lokal dan global dan seterusnya. Padahal secara historis tidak bisa dibedakan lagi mana yang global dan mana yang lokal. Keberadaan Timur (Indonesia) sebagai tanah jajahan merupakan proses kolosal sejarah yang ikut membentuk kapitalisme yang tampak seperti sekarang. Namun sampai sekarang hubungan-hubungan sosial lokal (Timur) tidak dipandang sebagai embedded dalam kapitalisme, kapitalisme tetap dipandang sebagai roh yang karakternya tidak diwarnai dan dibentuk oleh hubungan-hubungan sosial lokal (Timur).

Pada gilirannya ketimpangan historis ini kemudian diadopsi menjadi ketimpangan konseptual dan yang lokal (Timur) didudukkan sebagai “mitra yang lebih muda” dalam konsep pemahaman gejala sosial (Hefner, 1999). Hingga muncul ungkapan “Etika Protestannya” Islam sebagai “second hand”, sementara tokoh-tokoh penting pembaharuan Islam adalah mereka yang terdidik di Eropa ataupun mereka yang setidaknya menerima tradisi analisis Eropa (Turner, 1984). Penekanan Islam pada ikhtiar dan akan sebagian besar penemuan pun dianggap diimpor dan dikembangkan dari konsep-konsep Eropa pada akhir abad 19. Padahal seperti diketahui, konsep

umran-nya Ibn Khaldun secara bertahap telah berubah menjadi konsep “peradaban” -nya Guizot. Konsep maslahah--nya ahli fiqih Maliki dan Ibn Taymiyah berubah menjadi konsep “utility”-nya John Stuart Mill dan ijma‟ fiqihIslam menjadi “pendapat masyarakat” Barat tentang konsep teori demokrasi (Turner, 1984).

(38)

yang formal dan rasional, karena hukum suci yang ideal (syari‟ah) telah tunduk pada negara dan kelicikan politik. Disini Weber tampaknya memaksakan pengertiannya sendiri tentang alasan-alasan kesetiaan kaum Muslim dengan mengabaikan pengertian ataupun alasan dari kaum Muslim sendiri. Weber memperlakukan etika asli sebagai bersifat mantap dan terus ada tanpa tergantung pada modifikasi-modifikasi yang mungkin terjadi dalam kondisi-kondisi sosial yang berbeda. Sementara Marx tidak menganggap penting agama, dengan menyebut agama sebagai sesuatu yang sejati tetapi nihil, karena ia mencerminkan sebuah dunia kepalsuan. Karenanya bagi Marx tugas yang sesungguhnya difokuskan pada perbaikan kaidah-kaidah materialisme dari tatanan sosial yang dapat mendorong kesadaran palsu. Dengan pendekatan bias pengetahuan Barat seperti itu, menjadi tidak mengherankan jika Weber maupun Marx tidak menemukan adanya proses sosial apapun dari feodalisme ke kapitalisme di Asia, sehingga mereka merasa yakin masyarakat Asia hanya dapat ditransformasikan oleh kekuatan-kekuatan luar yakni kapitalisme Eropa.

Di dalam konteks tersebut, peneliti menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini dirasakan cukup problematik, karena mencoba mengusung suatu “ikhtiar akademik transisi” dengan mencoba mereduksi konsepsi-konsepsi yang begitu hegemonik dan bias pengetahuan Barat, namun studi ini pun memaksa peneliti untuk “berdiri di atas pundak-pundak raksasa” intektual Barat yang konsepsinya belum tergantikan tersebut. Namun demikian, dengan semangat ingin membebaskan diri dari bias-bias Indologi, penelitian ini ingin mengajukan suatu wacana pendekatan yang disebut Bryant (1998) dan Escobar (1999) sebagai hibriditas atau yang disebut Sajogyo (2006) sebagai “hibrida” (“lintas batas”). Yang dalam penelitian ini peneliti sebut sebagai pengetahuan kolaboratif dalam perspektif struktur-kultural, yaitu upaya untuk menggabungkan hal terbaik dari pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah dari dunia Barat. Dimana hubungan-hubungan sosial lokal/ Timur dipandang sebagai embedded dalam kapitalisme/ Barat, begitupun sebaliknya, sehingga menolak konsepsi Boeke yang menyebut prinsip-prinsip dasar ekonomi Barat tidak cocok dengan masyarakat Timur yang sistem sosial budayanya berbeda.

(39)

9

dinyatakan Irwan (1999), salah satu indikator pendekatan bersifat historis adalah semakin tingginnya tingkat ketidakpastian dan semakin terungkapnya kepentingan-kepentingan yang ada dibalik berbagai simbol-simbol budaya dan nilai sosial. Melalui pendekatan seperti itu, menjadi relavan kemudian untuk mempertanyakan kembali mengapa ekonomi lokal berbasis perikanan budidaya di kawasan Delta Mahakam yang sebagian besar pendukungnya adalah migran Bugis dari lapisan to-maradeka, bisa begitu kuat menghadapi krisis ekonomi.

Studi ini pada akhirnya akan memberikan kemungkinan pilihan-pilihan untuk penerapan sistem ekonomi alternatif. Bagaimana teori pembentukan ekonomi lokal yang digagas dalam tesis ini dapat ditransformasikan menjadi suatu pilihan praxis baru yang mampu memberi sumbangan pemecahan atas berbagai permasalahan. Bahwa di luar sistem kapitalisme terdapat model-model lain yang kompatibel dengan sistem sosial budaya setempat, yang mendasarkan pembangunan ekonomi pada nilai budaya sambil mengintegrasikannya dengan teknologi modern. Seperti The New Traditional Economy

(NTE) ataupun Community Currency System (CSS) yang digagas Blikololong (2010), ketika menemukan fenomena Du-Hupe yang mampu bertahan di tengah gempuran ekonomi uang di Lamalera, NTT. Fakta barter yang tak dapat digusur oleh uang menunjukkan adanya sistem ekonomi alternatif, meskipun berskala lokal. Fenomena ekonomi lokal tersebut seharusnya dapat diintegrasikan ke dalam pembangunan berkelanjutan yang membutuhkan nilai-nilai intrinsik (yakni nilai non-ekonomi, yang dijunjung tanpa memperhitungkan manfaat atau biayanya, misalnya kehormatan ataupun patriotisme), bukan sekedar nilai-nilai instrumental (yakni nilai yang secara langsung bermanfaat bagi seseorang). Justru karena bersifat non-ekonomi, nilai-nilai itu tidak akan tergerus kesuksesan ekonomi dan karena sifatnya yang pro-ekonomi, nilai-nilai itu tidak akan berhenti mendorong proses akumulasi.

(40)

setidaknya sampai sejauh ini konsepsi-konsepsi yang diadopsi dari World Bank (2001) dan Blakely (1994) secara kontekstual tidaklah khas lokal, sehingga operasionalisasinya masih dipertanyakan. Penetrasi cara-berpikir (yang serba pertumbuhan, serba investasi asing, serba akumulasi ekonomi dan serba ekspansi-kapital) itulah yang kemudian menurut Dharmawan (2007) menghasilkan dominasi-dominasi budaya dalam cara berpikir yang melanggengkan dominasi kekuasaan-kekuasan politik lokal ala

kelembagaan kapitalistik Barat (pada tatanan pengaturan lokal). Hal ini menandakan pentingnya kita menata kembali kehidupan di pedesaan dalam konteks keadilan spasial. Secara konsepsional melalui studi ini tersedia peluang yang bisa membuka celah-celah untuk menggeser struktur kekuasaan tradisional pro status-quo yang sudah berurat-berakar dan mengendap dalam kebudayaan lokal dengan suatu perspektif baru, sehingga ikut mereduksi permasalahan kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan sosial. Signifikansi studi ini, setidaknya berhasil menunjukkan bahwa kebangkitan ekonomi lokal mampu digerakkan oleh masyarakat migran Bugis dari golongan

to-maradeka (masyarakat kebanyakan) secara mandiri (nyaris tanpa sokongan

pemerintah) dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia disekitar mereka. Para pengusaha lokal tidak hanya mampu survive ditengah gempuran pasar global, mereka bahkan berhasil memainkan peran penting dalam menopang pondasi ekonomi bangsa, ketika hampir semua suprastruktur ekonomi mengalami “kebangkrutan” pasca krisis 2007/ 2008. Kebangkitan ekonomi lokal tampaknya akan dapat diharapkan menjadi tulang punggung ekonomi bangsa, jika bisa dikawal oleh sistem kepemimpinan nasional yang tangguh dan berpihak pada keberdayaan-ketahanan ekonomi lokal.

1.4 Penelitian Terdahulu

Meskipun sampai sejauh ini, kajian sosial tentang pembentukan golongan pengusaha/ kelas menengah di Indonesia telah menunjukkan keseimbangan diantara studi-studi politik-ekonomi aras makro dan mikro (Lihat Gambar. 1). Namun studi-studi yang dilakukan masih banyak disumbang oleh para sarjana Barat (dari luar Indonesia). Studi aras makro dengan menggunakan pendekatan kultural setidaknya mulai dirintis Boeke (1953); yang kemudian diteruskan Sievers (1974); dan Peacock (1978). Sedangan Sutter (1959); Emmerson (1983); Muhaimin (1990); Hil (1990); dan Kunio (1990) melakukan studi makro dengan pendekatan struktural, sementara studi makro dengan pendekatan ketergantungan dilakukan Mortimer (1973); Palmer (1978); dan Robinson (1982).

(41)

11

(2004); Ahmadin (2008); Malik (2010) dan Wianti (2011). Sedangkan Alexander (1987); Husken (1988) dan Wasino (2008); melakukan studi mikro dengan menggunakan pendekatan struktural, sementara Kahn (1974); dan Sitorus (1999) melakukan studi mikro dengan pendekatan ketergantungan, hanya Castles (1982) yang telah mencoba melakukan kajian mikro dengan pendekatan eklektik. Meskipun Sitorus (1999) tidak secara eksplisit menyatakan menggunakan pendekatan eklektik, namun dalam analisisnya ia sebenarnya telah mencoba menggabungkan pendekatan struktural dan kultural. Secara keseluruhan, kajian yang lebih memusatkan perhatian pada aspek ”pengusaha migran lokal” khususnya dalam sektor perikanan dengan menggunakan pendekatan eklektik masih belum pernah dilakukan.

Demikian pula, penelitian sosiologis mengenai keberadaan industri perikanan di pantai timur Kalimantan, khususnya di kawasan Delta Mahakam, masih jarang dilakukan. Penelitian tentang kegiatan perikanan di kawasan Delta Mahakam, sampai dengan tahun 2000 masih terbatas pada kajian dengan topik-topik isu pengelolaan suberdaya-lingkungan, kebijakan-perencanaan pembangunan, ekosistem perairan dan mangrove, teknologi penangkapan-pengolahan dan budidaya perairan, serta GIS dan pemodelan. Sementara tulisan tentang aspek sosio-kultural, ekonomi kelembagaan dan legal-politik masih sangat terbatas.

(42)
[image:42.595.66.524.100.782.2]

Gambar 1. Kajian Sosial Tentang Pembentukan Pengusaha di Indonesia

Thn Peneliti

Judul Penelitian Pendekatan Penelitian

Kajian Aras Makro

Kajian Aras

Mikro Kultural/ Nilai Struktural Ketergantungan Eklektik

1953 Boeke

Economics and Economics Policy in Dual Society Terjadinya pertarungan antara sistem sosial impor dengan sistem sosial asli

1959 Sutter

Indonesianisasi: A Historical Survey of The Role of Politics in The Institution of A Changing Economi (1940-1955)

Kemerdekaan politik mengubah lingkungan bisnis modal Barat yang sebagian besar di nasionalisasi dan berlakuknya program Benteng mengurangi arti relatif penting perusahaan-2 asing

1963 Geertz

Peddlers and Princes: Social

Development and Economic Change in Two Indonesian Towns Munculnya kaum pedagang Muslim modernis dan pengusaha bangsawan yang potensial bagi keberadaan sebuah kelas pengusahapribumi

1967 Castles

Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di

Jawa: Industri Rokok Kudus (Terjemahan, 1982) Kemunculan dan kegagalan pengusaha rokok kretek muslim, pertumbuhan ekonomi meningkatkan kelas menengah Islam, namun sebagian besar muslim tetaplah miskin

1973 Mortimer

Indonesia: Growth or Development

Tumbuhnya kelas kapitalis birokratik dengan ciri peranan kaum komprador

sebagai “junior patner”

bagi modal asing

1974 Sievers

The Mistical World of Indonesia: Culture and Ecomonic Mistisisme sebagai hambatan krusial bagi pembangunan ekonomi

1974 Kahn

Economic Integration and The Peasant Economy: The Minangkabau Terjadinya gejala atomisasi usaha pandai besi di pedesaan

1978 Palmer

The Indonesia Economic Since 1965 Kerusakan industri domistik disebabkan banjirnya barang-barang impor dari luar dan modal asing

1978 Peacock

Purifying The Faith: The Mohammadijah Movement in Indonesian Islam Kegagalan gerakan Islam Modern menumbuhkan etos ekonomi produktif

1983 Emmerson

Understanding the New Order: Bureaucratic Pluralism in Indonesia Gagalnya kemunculan kelas menengah mandiri akibat patrimonialisme dan kepolitikan birokratik

1986 Robinson Indonesia: The Rise of Capital

Mundurnya borjuasi pedagang Islam akibat berlakunya suatu tipe kapitalisme yang didasarkan modal asing

1987 Alexander

Trade, Trader and Trading in Rural Java

(43)

13

sitem dagang, pedagang dan perdagangan

1988 Husken

Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah

Diferensiasi Sosial di Jawa

1830-1980 (Terjemahan,

1998)

Komersialisasi dan diferensiasi sosial telah berjalan sejak 1850, dimana masyarakat terbagi dalam 3 kelas; 1) Segolongan besar tuna-kisma; 2) Golongan petani kelas

menengah atau “orang kuat desa”; dan 3) Kelas atas yang terdiri atas aparat desa

1990 Muhaimin

Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 Pengusaha yang muncul tergantung pada penguasa untuk dapat melakukan kegiatan bisnis atau peran ekonominya.

1990 Hill

Investasi Asing dan Industrialisasi di Indonesia Indonesia lamban mengambil peluang dari keuntungan manufaktur padat karya, keputusan dirancang untuk mendorong produksi manufaktur berorientasi ekspor & memperbaiki kemerosotan pendapatan dr minyak

1990 Kunio

Kapitalisme Semu Asia Tenggara

Tidak terbentukanya kapitalisme sejati yg perkembangannya semata-mata bergantung pada perekonomian pasar dan pemerintah

1990 Hefner

The Political Ekonomi of Mountain Java: An Interpretative History (Terjemahan 1999) Tidak terjadinya peneguhan keyakinan dari berbagai kalangan bahwa cara merubah ekonomi yang efektif adalah melalui campur tangan atas-bawah yang bersifat patronal

1991 Dobbin

The importance of Minority Characteristics in The Formation Of Business Elite in Java: The Baweanese Kepedulian menabung dengan maksud menunaikan haji dan sikap hemat sehari-hari adalah faktor penyumbang penting pada keberhasilan usaha dagang

1992 Wolf

Factory Daughter: Gender, Household Dynamic and Rural Industrialization in Java Tangggung-jawab rumah tangga tidak menghalangi karier dagang wanita Jawa , berbagai pekerjaan pertanian dilakukan jalin-menjalin dengan waktu yang dibutuhkan utk berdagang

1994 Abdullah

(44)

Javaness Town

1999 Sitorus

Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di Indonesia: Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba Kemunculan golongan pengusaha industri tenun merupakan hasil rekayasa pemerintah terhadap elit sosial-ekonomi lokal, yang ditopang prakondisi produksi kapitalis

2004 Dwipayana

Bangsawan dan Kuasa: Kembalinya Para Ningrat di Dua Kota

Kelas menengah baru meminjam atribut yang biasa digunakan bangsawan, mengubah orientasi akumulatif dari memperoleh keuntungan dalam kompetisi pasar dengan meraih rente sebesar-besarnya dari monopoli

2008 Wasino

Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran

Industri gula di Mangkunegara mendorong munculnya

kapitalisme “priayi”,

ditandai keuntungan tidak hanya untuk pengembangan modal tapi juga untuk semua kebutuhan trah & rakyat

2008 Ahmadin

Kapitalisme Bugis: Aspek Sosio-Kultural dalam Etika Bisnis Orang Wajo Pengembangan semangat kapitalisme memanfaatkan jaringan kerjasama yang terjalin melalui ikatan se-etnis

2010 Malik M.L

Etos Kerja, Pasar dan Masjid: Studi Sosiologi Mobilitas Perdagangan Orang Gu-Lakudo di Sulawesi Tenggara Perubahan orientasi keagamaan orang Gu-Lakudo, sinkretis-mistik Islam dengan agama tradisi leluhur pada konsepsi Islam modern-rasional menumbuhkan etos ekonomi kompetitif bersumber pd nilai ajaran Islam dlm perdagangan

2011 Wianti

Kapitalisme Lokal Suku Bajo (Studi Kasus Nelayan Bajo Mola dan Mantigola, Kabupaten Wakatobi) Perubahan masyarakat Bajo kea rah kapitalisme disebabkan intensitas pertukaran ekonomi dan penetrasi nilai-nilai

„orang luar’ yang

memberikan pengaruh berbeda atas etika yang terbentuk

(45)

15

1.5 Rumusan Permasalahan dan Batasan Konsepsional

Sebelum membuat batasan sejumlah konsep sosiologis berkenaan dengan masalah penelitian, terlebih dahulu akan dirumuskan permasalahaan yang mendasari penelitian ini. Berdasarkan pijakan empiris dan teoritis seperti telah dikemukan diatas, penelitian ini akan mencoba merekonstruksi pertumbuhan ekonomi lokal, yang dalam konteks empirisnya dipicu oleh masalah struktur lingkungan – perkembangan historis yang melingkunginya. Karenanya keberhasilan banyak migran Bugis di kawasan Delta Mahakam yang awalnya miskin dan berasal dari golongan lapisan terbawah masyarakat feodal Bugis yang sepertinya kurang tunduk (exposure) pada doktrin-tradisi “Islam Puritan”, tampaknya sukar untuk dijelaskan sepenuhnya menurut pola nilai-nilai atau perilaku mereka, karena mereka sendiri tidak sepenuhnya berbeda dari orang Bugis lainnya yang berhasil di kampung halaman mereka. Yang ada, nilai-nilai yang kemudian ikut menopang keberhasilan mereka sebagai seorang pengusaha lokal, sehingga menumbuhkan semangat kerja keras, hemat, pantang menyerah dan disiplin seperti yang mewujud dalam diri para ponggawa saat ini, merupakan hasil konstruksi dari beroperasinya sistem ekonomi lokal yang terbangun.

Dalam konteks messo-makro, kebangkitan golongan pengusaha perikanan

(ponggawa) di Delta Mahakam, merupakan keberhasilan golongan tersebut memainkan

perannya, “meleburkan diri” dalam dinamika formasi sosial kapitalis yang begitu mendominasi kegiatan perikanan di pantai timur Kalimantan.Memanfaatkan momentum “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai” atas penguasaan tanah-tanah negara, hingga terjadi akumulasi alat produksi dan terkonsentrasinya raw material. Yang diikuti keberhasilan mereka dalam melakukan perekrutan tenaga terampil yang menggerakkan industri perikanan lokal dan terjadinya alih teknologi dan adopsi manajemen profesional. Gejala kebangkitan ekonomi lokal juga tidak terlepas dari beroperasinya keunggulan komparatif dan kompetitif produk yang diproduksi kapitalis lokal. Selain tidak bisa dilepaskan dari gaya konsumsi masyarakat negara maju yang cenderung lebih menyukai produk udang organik yang sebagian besar produksinya disumbang oleh usaha pertambakan tradisional, sehingga menciptakan posisi tawar yang cukup kuat bagi para pengusaha lokal.

(46)

penetrasi kapital secara masif, bahkan cenderung spekulatif untuk membangun basis kekuatan produksi dengan bantuan perusahaan-perusahaan eksportir dan otoritas lokal. Secara historis para pengusaha pertambakan lahir dari sebuah lingkungan yang khas, sebagian terbesar tumbuh dari kegiatan ekonomi di KBK yang “terlarang” bagi kegiatan diluar sektor kehutanan, mengakumulasi kekayaan melalui monopoli produksi raw material. Meskipun pada gilirannya, aktivitas ekonomi tersebut harus dibayar mahal dengan terjadinya degradasi kualitas lingkungan (akibat konversi hutan mangrove yang tidak sustainable) yang dampaknya harus ditanggung semua pihak.

Para pengusaha lokal mampu bertahan dan berhasil mengembangkan usaha bisnisnya, bahkan membangun industri perikanan skala ekspor dengan melakukan eksploitasi melalui penciptaan struktur pasar monopolistis (penjual tunggal) atau monopsonistis (pembeli tunggal), dengan penekanan melalui mekanisme penentuan harga dan penyediaan barang secara sepihak. Meskipun demikian, pola hubungannya masih menyisakan ruang resiprositas yang melekat pada tradisi siri‟ dan passe‟, sehingga mampu mereduksi pola hubungan pertambakan yang cenderung ekploitatif. Pola hubungan patron-klien yang adaptif inilah yang kemudian menopang keberlangsungan operasi ekonomi lokal yang sarat persaingan dan ketidakpastian. Semangat kapitalisme seperti yang dinyatakan Wallerstein (1988) bahwa setiap kapitalis ingin mengubah laba menjadi rente, dan tidak menginginkan persaingan tapi monopoli, dimana mereka bukan ingin menjadi borjuis, tapi bangsawan, tampaknya menemukan relevansinya dalam kultur kewiraswastaan ponggawa Bugis. Meskipun hampir semua keuntungan digunakan kembali untuk kegiatan produksi yang dapat menyerap banyak tenaga kerja.

(47)

17

menjadi pertanyaan mendasar penelitian ini, karenanya perlu dirumuskan batasan sejumlah konsep sosiologis berkenaan dengan masalah yang akan diteliti.

Sebagai suatu konsepsi sosiologis, “pembentukan golongan pengusaha” menunjuk pada suatu gejala sosial yang bersifat menyeluruh yaitu “keberadaan sosial” suatu golongan pengusaha (ponggawa) di dalam suatu sistem sosial kemasyarakatan. Yang menurut Sitorus (1999), mencakup dua aspek prosesual yang bersifat pokok, yaitu kemunculan dan kelangsungan sosial golongan pengusaha (ponggawa). Sementara proses kemunculan sosial menunjuk pada dua aspek sekaligus, pertama, asal-usul sosial golongan ponggawa dan kedua, kekuatan-kekuatan sosial yang memungkinkan golongan ponggawa mewujudkan/ peran sosialnya sebagai pengusaha lokal. Sedangkan proses kelangsungan sosial menunjuk pada perkembangan status/ peranan sosial golongan ponggawa, berikut keterkaitannya dengan beragam kekuatan sosial.

Konsep ponggawa disini merujuk pada sebutan masyarakat Bugis di pantai timur Kalimantan, pada seorang pemilik modal yang mengumpulkan dan membeli hasil produksi perikanan (hasil tangkapan maupun budidaya tambak), selain memberikan pinjaman saprotam serta modal usaha dalam bentuk fasilitas/ materi bagi klien mereka. Namun demikian, menurut Mappawata (1986), di dalam kegiatan perikanan tangkap (nelayan) di Sulawesi Selatan, sebutan pinggawa/ ponggawa melekat pada mereka yang menjadi pemimpin operasi penangkapan, dimana posisi strukturalnya berada dibawah pappalele sebagai pemilik modal dan peralatan tangkap dan diatas sawi yang dalam operasi penangkapan bertindak sebagai anak buah kapal. Sementara hasil kajian Salman dan Taryoto (1992) pada masyarakat pertambakan di Sulawesi Selatan juga menunjukkan terjadinya gejala pelapisan sosial, yang sama, terdiri dari lapisan atas (petambak pemilik), lapisan menengah (petambak penyewa/ penyakap dan petambak penggarap) serta lapisan bawah (sawi tambak).

Berbeda dengan kegiatan perikanan budidaya/ pertambakan, masyarakat di sekitar di pantai timur Kalimantan memberikan predikat ponggawa pada mereka yang berhasil menjadi pengusaha pengumpul dan pembeli hasil produksi pertambakan, yang biasanya juga seorang pemodal dan pemilik asset produksi (menguasai tambak yang luas dan sarana produksi). Meskipun demikian tidak semua pengusaha pertambakan menyukai disebut sebagai ponggawa, hal ini mungkin karena konotasi ponggawa

dirasakan lebih tepat untuk predikat kelas operator lapangan, bukan kelas pemilik/ penguasa, sehingga memunculkan sebutan lain, seperti ”bos” ataupun ”puang haji”.

(48)

kerja dari jalur keluarga inti y

Gambar

Gambar 1. Kajian Sosial Tentang Pembentukan Pengusaha di Indonesia
Gambar 2. Sejarah Pertambakan di Delta Mahakam Sumber: Bourgeois et al, 2002
Gambar 2. Peta Tutupan Hutan Mangrove dari Sebelum Dikonversi, 1992, 1996, 1999, hingga 2001
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penurunan derajat insomnia ini dikarenakan karena adanya efek dari perlakuan senam yang bisa memberikan perasaan rileks dan kenyamanan saat tidur sehingga

7 triliun berasal dari pemerintah (Data Badan Penanaman M odal Daerah Provinsi Jawa Tengah dipublikasi 13 M aret 2014). 7 triliun investasi pemerintah tersebut adalah

Satu-satunya konklusi yang benar adalah faham bahwa semua benda yang diketahui itu diketahui; dan konklusi seperti ini adalah truism, yakni tidak membawa hal baru atau bahwa

Yang sesungguhnya adalah sangat berbeda dengan apa yang kita pikirkan, apabila perangkat keras terletak di sebuah lokasi yang tidak aman maka terdapat resiko untuk

pembangunan gedung Rumah Sakit Universitas Brawijaya Malang yang dilakukan. dengan metode wawancara

We adopt CP-ABE scheme [3], the symmetric encryption and message authentication [2] in our proposed secure information exchange in mobile ad-hoc network... 3.1

[r]

- Mengidentifikasi (Pengetahuan) - Menjelaskan (Pemahaman) - Mengklasifikasikan (Pemahaman) - Menghitung (Aplikasi, Analisis) - Menganilisis (Analisis) - Menentukan (Analisis)