• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Mutakhir: Pelarangan Trawl, Illegal Fishing, hingga Pertambakan Ilegal

Kota Bontang sebagai penghasil LNG terbesar di dunia yang basis ekonominya banyak digerakkan oleh industri pengolahan LNG (mulai berproduksi awal 1980-an),

4.3 Penguasaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Agraria

4.3.3 Kondisi Mutakhir: Pelarangan Trawl, Illegal Fishing, hingga Pertambakan Ilegal

Penghapusan jaring trawl secara total yang pelaksanaannya mulai dlterapkan secara ketat menjelang tahun 1983, ternyata tidak berimbas pada penurunan produksi perikanan di pantai timur Kalimantan. Hal ini terlihat dari data statistik perikanan laut Propinsi Kalimantan Timur yang tetap menunjukkan kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun dan baru mengalami penurunan dan menunjukkan fluktuasi produksi menjelang tahun 1997 (lihat Gambar 7.). Data tersebut, sekaligus membantah kesimpulan berbagai penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa larangan penggunaan jaring trawl sejak 1983 telah memukul usaha penangkapan ikan di pantai timur Kalimantan. Yang ada, larangan penggunaan jaring trawl hanyalah memukul industri perikanan ekspor, yang sebagian besar produksinya ditopang oleh hasil tangkapan dari kapal-kapal pukat harimau bertonase besar milik mereka sendiri, maupun milik nelayan-nelayan modern yang menjadi klien mereka. Setidaknya sejak tahun 1980 hingga 1986, sebagian industri perikanan ekspor mengalami penurunan produksi dan baru mengalami peningkatan ketika perusahaan-perusahaan industri perikanan ekspor tersebut berhasil mendorong dilakukannya modernisasi armada perikanan tangkap milik nelayan lokal menjelang tahun 1986. Sementara jumlah RTP laut menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.

0 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 1980 1981 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2008 Tahun

Jumlah RTP (KK) Produksi (Ton)

Gambar 7. Perbandingan Jumlah RTP Laut dengan Produksi Perikanan Laut Propinsi Kalimantan Timur

Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kalimantan Timur 1979 – 2009 Keterangan:- Luas area perairan laut Kalimantan Timur mencapai 44.893 Km²

Hanya sebagian nelayan tradisional yang merasa terpukul dengan pelarangan penggunaan jaring trawl, karena banyak diantara mereka yang sebelumnya tidak menggunakan jaring trawl, bahkan sebagian besar masyarakat di sekitar Delta Mahakam, seperti Sepatin dan Muara Pantuan diketahui sebagai nelayan-nelayan yang anti terhadap kapal trawl. Pelarangan trawl hanyalah sebuah momentum bagi masyarakat setempat untuk membangun strategi adaptasi baru dalam “mempertahankan diri”, ketika peningkatan taraf kehidupan tidak berhasil mereka capai. Setidaknya terdapat beberapa pilihan strategi yang mereka kembangkan; pertama, bertahan sebagai nelayan non trawl atau tetap menjadi nelayan trawl yang beroperasi secara “sembunyi-sembunyi” untuk menghindari resiko penangkapan oleh aparat. Menariknya hingga saat ini, setelah 30 tahun PP No. 39/1980 diterapkan, penggunaan jaring trawl yang dapat dikategorikan “illegal fishing” tersebut, masih tetap ramai

dipraktekkan nelayan setempat, tanpa mampu ditertibkan aparat penegak hukum. Pilihan kedua, keluar dari kegiatan usaha perikanan, dengan beralih profesi menjadi petani atau pekebun kelapa, menggeluti kegiatan pelayaran tradisional atau perdagangan antar pulau, bahkan ada yang mengaku menjalani profesi sebagai penyelundup di kawasan perbatasan. Ketiga, beralih profesi sebagai petambak, membuka hutan mangrove menjadi area pertambakan dengan bantuan kucuran dana kredit pengalihan kegiatan ekonomi non trawl, serta pembinaan dan penyuluhan intensif yang berhasil dilakukan pemerintah, selain terpengaruh informasi adanya beberapa orang penduduk setempat yang telah sukses menjadi petambak. Meskipun cukup menarik, beralih profesi sebagai petambak dianggap nelayan setempat membutuhkan modal besar dan rawan kegagalan, sementara harga udang masih belum menjanjikan.

Karenanya pilihan strategi yang dianggap adaptif adalah beralih profesi menjadi petambak, namun tetap tidak meninggalkan profesi sebelumnya sebagai nelayan atau petani kelapa, seperti yang dilakukan Haji Alimuddin yang kini telah berhasil menjadi seorang ponggawa yang sukses. Menurut pengakuannya, “kebun kelapa yang selama ini menopang hidupnya tetap dipertahankan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari, baru setelah tambak-tambak yang dibangun mulai mendapatkan hasil panen memadai, kebun kelapa yang masih tersisa dibukanya menjadi area tambak baru”. Hal ini dilakukan mereka untuk bisa tetap survive sampai tambak-tambak tersebut berhasil panen dan mampu menjamin kehidupan keluarga mereka. Karenanya pada masa-masa awal tambak di bangun oleh masyarakat setempat, banyak diantara mereka yang berprofesi ganda sebagai petambak sekaligus nelayan.

Pengembangan kegiatan pertambakan dengan mengkonversi hutan mengrove di kawasan Delta Mahakam, dalam prakteknya nyaris tidak mengalami hambatan hukum-birokrasi yang berarti, karena dilakukan dengan dukungan dari Pemerintah

127

Pusat hingga Pemerintah Daerah. Melalui berbagai kebijakan yang pada hakekatnya ditujukan untuk “mengamankan” Program Udang Nasional. Pemerintah bahkan, menyiapkan kucuran dana kredit untuk pengalihan kegiatan ekonomi non-trawl

(khususnya dalam kegiatan pertambakan), selain menyiapkan bantuan kredit Intam, serta RCP, yang diikuti dengan pembinaan dan penyuluhan kegiatan pertambakan secara intensif. Pemerintah juga mulai mengembangkan infrastruktur yang diperlukan, baik melalui anggaran nasional ataupun bantuan asing. Sementara besarnya luasan hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambakan, namun tidak memiliki nilai intrinsik, menjadikan “transaksi penguasaan” atas kawasan Delta Mahakam semakin leluasa dilakukan. Meskipun area-area pertambakan tersebut dibangun diatas Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) yang mencapai lebih dari 90 persen dari luasan kawasan Delta Mahakam.

Pasca pelarangan jaring trawl secara total pada tanggal 1 Januari 1983, terjadilah “kontraksi kebijakan”, ketika pada 15 Januari 1983, Menteri Pertanian mengeluarkan sebuah keputusan bernomor 24/ Kpts /Um /1983. Surat ini menentukan pembagian wilayah Kalimantan Timur berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) seluas 21.144.000 Ha, dimana kawasan Delta Mahakam hampir seluruhnya ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi. Status ini terus dipertahankan sampai tahun 1992, saat Departemen Kehutanan merampungkan peta TGHK kawasan hutan untuk Kalimantan Timur (Simarmata, 2008). Hal itu tidak terlepas dari pandangan penguasa yang menganggap kawasan hutan mangrove Delta Mahakam memiliki potensi sumberdaya alam yang menyimpan deposit migas, budidaya tambak, potensi kayu komersil dan perikanan pesisir. Karenanya kawasan hutan mangrove Delta Mahakam yang sebagian besar telah tereksploitasi, perlu dipertahankan kelestariannya sebagai kawasan hutan produksi terbatas, sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Di dalam UU No. 24 Tahun 1992, tentang Penataan Ruang, selanjutnya penamaan dan klasifikasi status hutan ditetapkan menjadi tiga ketegori besar, yaitu; 1) Kawasan Lindung; 2) Kawasan Budidaya Kehutanan; dan 3) Kawasan Budidaya Non Kehutanan.

Anehnya sekalipun secara faktual pada tahun 2001 hampir 85.000 Ha dari 150.000 Ha luasan hutan mangrove di delta Mahakam telah berubah fungsi menjadi tambak. Namun melalui SK Menhut No. 79/ Kpts-II/ 2001, Departemen Kehutanan justru menetapkan kawasan hutan dan perairan wilayah Provinsi Kaltim, dengan peta lampiran yang tetap mempertahankan status hutan mangrove di Delta Mahakam sebagai hutan produksi. Artinya status kawasan hutan produksi (KBK) Delta Mahakam juga melingkupi area pemukiman dan area aktivitas ekonomi penduduk (perkebunan kelapa dan pertambakan tradisional), yang telah dikelola masyarakat secara turun-temurun. Di

dalam kebijakan tersebut nampak sekali peran pemerintah yang dominan dalam mendefinisikan suatu wilayah/ kawasan hutan. Tarikan garis di atas kertas peta oleh negara, secara mutlak telah mengakibatkan hilangnya akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya alam yang secara tradisi sudah mereka lakukan jauh sebelum negara ada. Meskipun sejak 1983 pemanfaatan di atas hutan mangrove Delta Mahakam harus melalui hak pengusahaan atau pemungutan hasil hutan, yang dimohonkan kepada Menteri Kehutanan secara perorangan, menggunakan badan hukum atau koperasi. Bahkan, SK Bersama Mentan dan Menhut Nomor KB. 550 /246 /Kpts /4 /1984, telah melarang kegiatan budidaya perikanan di kawasan hutan pantai (mangrove) yang terletak di pulau yang luasnya kurang dari 10 Km². Selain memuat ketentuan lain yang menyatakan bahwa budidaya perikanan hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Namun, pembukaan hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan tetap saja belangsung tanpa ada penertiban dari otoritas yang berwenang. Bukan hanya melanggar peraturan formal, yang melarang budidaya perikanan di kawasan hutan mangrove, sebagian petambak juga tidak memiliki izin garap, izin pembukaan lahan atau izin usaha perikanan.

Kebijakan tersebut tentu akan terasa janggal, jika dipandang secara sektoral hanya sebagai buah kepentingan Departemen Kehutanan semata, tanpa menyentuh aspek historis menyangkut esensi kemanfaatan (maksimasi keuntungan materil) dan

utility bagi negara. Karenanya untuk mengurainya, kebijakan yang ada perlu ditelisik kebelakang, ketika Total E&P Indonesie pada 1970, mendapatkan konsesi pertambangan atas Blok Mahakam yang melingkupi sebagian besar kawasan Delta Mahakam oleh negara. Yang kemudian diikuti oleh kehadiran beberapa investor padat modal lainnya di kawasan Delta Mahakam yang kaya migas. Dari sini akan diperoleh kejelasan mengenai siapa sebenarnya subyek yang berhak mengeksploitasi kawasan Delta Mahakam menurut pandangan pemerintah. Sehingga dapat dipahami jika kemudian pemerintah melalui Departemen Kehutanan sebagai pemilik otoritas, menetapkan status hutan mangrove di Delta Mahakam sebagai hutan produksi hingga saat ini, meskipun sebagian besar kawasan hutannya telah beralih fungsi menjadi area pertambakan. Hal itu jelas terkait dengan keberlanjutan konsesi yang telah ada, sekaligus pengamanan kepentingan investor migas bermodal besar yang telah memberikan pemasukan dana bagi hasil yang luar biasa besarnya bagi devisa negara. Tentunya jika dibandingkan dengan memberikan konsesi HPH pada perusahaan kehutanan atau memberikan hak legalitas atas penguasaan “tanah-tanah negara” yang telah dikelola masyarakat setempat secara turun-temurun.

Penetapan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi terbatas, merupakan bentuk “kamuflase kebijakan” oleh pemerintah untuk mengurangi efek sosio-

129

politis atas beroperasinya kegiatan pertambangan migas di kawasan Delta Mahakam. Sekalipun ditunjuk sebagai kawasan lindung pun, “kamuflase kebijakan” untuk mengamankan operasi pertambangan migas di negara ini akan tetap berjalan, karena pemerintah telah menyiapkan PP No 51/ 1993 sebagai antisipasinya. Kebijakan tersebut kembali menegaskan bahwa, “dalam hal terdapat deposit mineral/ kekayaan alam lainnya yang bila diusahakan dinilai amat berharga bagi negara, maka kegiatan budidaya di kawasan lindung dapat diijinkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku”. Namun, karena penetapan status sebagai hutan produksi terbatas efeknya jauh “lebih aman” dibandingkan menetapkan kawasan hutan mangrove yang terletak di pulau-pulau dengan luasan kurang dari 10 Km² tersebut, sebagai kawasan konservasi atau kawasan budidaya non kehutanan. Maka kebijakan tersebut dirasakan belum perlu dijadikan tameng atas berlakunya konsesi Blok Mahakam. Selain karena menguatnya kampanye di aras lokal maupun internasional yang menolak aktivitas pertambangan, apalagi di dalam kawasan konservasi.

Ironisnya, meskipun telah menetapkan kawasan Delta Mahakam sebagai KBK yang terlarang bagi kegiatan lain diluar sektor kehutanan, namun pemerintah tidak pernah berniat menertibkan kegiatan pertambakan yang dalam perspektif kehutanan dikategorikan sebagai ilegal. Pembangunan tambak-tambak baru yang terus berlangsung dan ketidak-pedulian masyarakat atas berlakunya hukum formal, semakin menguatkan indikasi absennya negara sebagai pemilik otoritas tertinggi atas tanah- tanah negara, sehingga terjadinya praktek-praktek penguasaan sumberdaya agraria secara ilegal. Absennya negara atas permasalahan agraria yang terjadi di kawasan Delta Mahakam bisa disejajarkan dengan absennya negara dalam perbagai permasalahan konflik yang terjadi di seantero negeri dewasa ini.

Hal ini juga bisa berarti proses “mengelola hutan”, sekedar sebagai antisipasi munculnya gejolak dalam masyarakat. Kondisi tersebut mengingatkan pernyataan Barber (1989) yang melihat hutan di Jawa hanya memberikan “bagian yang sangat kecil dari pendapatan nasional yang berasal dari hutan”, makanya kemudian tujuan utama dari kegiatan pemerintah dalam mengelola hutan adalah mengontrol penduduk yang tinggal di daerah pedalaman/ disekitar hutan dan bukan untuk mencari pemasukan uang atau keuntungan (Li, 2002). Alasan ini sangat relevan untuk menjelaskan keberadaan mega proyek industri migas yang perlu mendapatkan proteksi dan pengamanan optimal dari berbagai kepentingan yang ada disekitarnya, dengan menetapkan kawasan hutan Delta Mahakam yang telah kolaps sebagai kawasan hutan produksi.

Ironisnya, konstruksi sosial tentang problem dan krisis lingkungan yang diwujudkan dalam produk kebijakan yang tidak mungkin dilepaskan dengan kepentingan dan kontrol aktor yang berkuasa dalam pemerintahan tersebut, tidak dibarengi dengan

kehadiran otoritas negara dalam pelaksanaannya, baik yang mewujud dalam kewenangan pemprov, maupun pemkab. Akibatnya bentuk pengaturan tenurial yang faktual menurut Simarmata (2008), menjadi ditentutan oleh otoritas yang lebih rendah, dalam hal ini camat dan kepala desa beserta perangkat-perangkatnya. Dengan segala keterbatasan pengetahuan, informasi, sarana pendukung serta balutan kepentingan, camat dan aparat desa mengembangkan tafsir yang karakternya membenarkan tindakan pembukaan tambak dan memberi kemudahan untuk mendapatkan legalitasnya. Bagi aparatur di aras lokal keberadaan kegiatan usaha pertambakan akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, dengan asumsi pemberian izin garap oleh otoritas lokal bukan sebagai bentuk pelanggaran hukum karena tidak memberikan hak kepemilikan pada penggarap. Selain alasan pragmatis, melanjutkan kebijakan yang telah ada sebelumnya. Dalam konteks tersebut pernyataan Dharmawan (2005) menjadi sangat relevan untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di kawasan Delta Mahakam sebagai “ketimpangan pertukaran energi, materi dan informasi dalam suatu ekosistem yang tidak berkeadilan”, akibat tidak memadainya semangat pemihakan pada lingkungan yang terkandung dalam setiap keputusan politik tentang pengelolaan sumberdaya alam yang dihasilkan dan dijalankan oleh otoritas kebijakan lokal.

Sementara persepsi masyarakat setempat yang menganggap tanah-tanah yang mereka garap secara turun temurun sebagai tanah milik, akibat minimnya pengetahuan atas status lahan yang mereka kuasai dan manfaatkan, menjadikan pembukaan tambak-tambak baru di dalam kawasan hutan produksi tanpa izin terus berlangsung. Pembukaan hutan mangrove secara besar-besaran untuk kegiatan pertambakan tersebut, mencapai puncaknya pasca terjadinya krisis ekonomi regional pada 1997- 1998, dipicu oleh tingginya nilai tukar dolar terhadap rupiah sehingga terjadi “booms

harga udang”. Berdasarkan data statistik perikanan Kalimantan Timur, peningkatan luasan tambak mencapai puncaknya pada 2001 seluas 36.634 Ha dan kembali mengalami peningkatan secara fantastik hingga mencapai 120.763 Ha pada 2006. Kondisi ini secara tidak langsung telah memicu terjadinya “ledakan penduduk” di kawasan Delta Mahakam oleh para pendatang yang ingin mencoba peruntungan di sektor perikanan budidaya, membuka hutan mangrove yang tersisa dengan cara merintis lahan tanpa melapor atau dengan meminta izin garap dari otoritas lokal atas “lokasi” hutan mangrove yang bisa dirintis menjadi area pertambakan baru. Kisah sukses petambak yang mampu meraup keuntungan besar, sehingga sebagian diantaranya mampu menjadi ponggawa beromset milyaran rupiah perbulan, juga memberikan pengaruh yang tidak kalah pentingnya dalam memotivasi perkembangan usaha pertambakan.