• Tidak ada hasil yang ditemukan

13 sitem dagang,

II. TINJAUAN TEORITIS

2.1 Sistem Kapitalisme

Kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang memungkinkan beberapa individu meraih keuntungan maksimal, Marx menyebut individu itu sebagai kaum borjuasi. Kaum borjuasi memperkerjakan sekelompok orang yang disebut Marx sebegai proletar, golongan inilah yang memproduksi barang-barang yang dihasilkan. Dalam keyakinan Marx, kapitalis tidak tumbuh hanya melalui proses penjualan barang semata, tetapi akibat keuntungan yang berasal dari proses yang dilakukan oleh golongan proletar. Penjualan barang hanya merupakan upaya merealisasikan keuntungan tersebut, yang telah ada dalam penciptaan produk oleh buruh (proletar).

Salah satu ciri penting kapitalisme setelah abad XV ialah mulai masuknya fase kapitalisme industri, yang sering diistilahkan dengan kapitalisme monopoli. Di bawah kapitalisme monopoli ciri persaingan kapitalisme menjadi sangat berkurang seiring dengan terjadinya pertumbuhan persekutuan kapitalis dalam ukuran dan pemusatan modal. Persekutuan ini mulai mendominasi pasar dan menggusur para produsen kecil dengan menjatuhkan mereka secara ekonomi. Konsentrasi dan sentralisasi kapital di dalam proses akumulasi, menimbulkan akibat pemisahan antara pemilikan secara ekonomi (kontrol terhadap arus investasi ke dalam produksi) dan penguasaan ekonomi (kontrol terhadap proses produksi). Deferensiasi kepemilikan ekonomi dan penguasaan terjadi karena, pertama; tekanan-tekanan kompetisi selanjutnya akan cenderung mendorong para kapitalis mempekerjakan menejer profesional untuk menangani aspek- aspek khusus dari dan akhirnya membantu mengkordinasi proses produksi secara keseluruhan. Kedua, terdapat kecendrungan kepitalisme monopoli untuk mengkonsentrasikan dan mensentralisasikan pemilikan ekonomi dengan lebih cepat dibandingkan dengan konsentrasi penguasaan.

Weber dalam hal yang sama, nampaknya mempunyai pemikiran yang sama dengan kaum Marxian, terutama ketika melihat faktor ekonomi sebagai salah satu dimensi yang dapat menentukan kedudukan relatif seseorang diantara yang lain. Namun dalam bagian yang lain Weber tidak mengakui determinasi ekonomi Marx, sebab baginya kedudukan relatif seseorang juga dapat ditentukan oleh faktor sosial atau kehormatan dan kelas politik. Selanjutnya Weber membuat perbedaan antara nilai sosial tradisional dengan yang rasional ketika membandingkan ciri-ciri sosialisme dengan kapitalisme. Menurut Weber tradisionalisme dalam tingkah laku perekonomian berarti “penetapan atas standar pilihan yang konkrit” yakni dengan cara-cara yang sudah mapan untuk mencapainya. Sedangkan rasionalitas melibatkan pertimbangan yang terus-menerus atas pilihan-pilihan atau keutamaan dari segi dana yang relatif untuk mencapainya menurut kreteria efisiensi (Long, 1992). Di dalam kajiannya mengenai kapitalisme Eropa “Etika Protestan dan Spirit Kapitalime”, Weber (2006) mencoba menganalisa asal mula rasionalitas ekonomi baru dalam etika keagamaan yang dijalankan oleh golongan tertentu penganut agama Kristen Protestan.

Tesis Weber menekankan nilai religius yang diciptakan oleh reformasi Protestan dalam mendorong perkembangan kapitalisme di Barat dan melihat kekosongan transformasi religius di Timur sebagai penghalang perkembangan kapitalisme. Namun tesis ini dibantah oleh Samuelsson yang berpendapat bahwa Protestanisme dan kapitalisme memang berkembang secara historis, tidak berarti menunjukkan bahwa protestan berdampak pada kapitalisme. Hubungan keduanya, menurut Samuelsson bisa berarti sebaliknya, kapitalisme lah yang memberikan perubahan pada protestanisme, sehingga agama lebih mampu melayani kebutuhan-kebutujan kelompok perekonomiannya dominan.

Namun demikian menurut Collin, negara adalah faktor yang diberikan perhatian besar oleh Weber, merupakan kunci bagi struktur kapitalisme nasional yang melembaga. Hanya Baratlah yang mengembangkan negara birokratis, berdasarkan spesialisasi administrasi profesional dan hukum yang dibuat dan diterapkan oleh juri-juri profesional terhadap masyarakat. Birokrasi negara legal inilah yang menyebabkan keruntuhan feodalisme dan patrimonialisme, serta membebaskan buruh dan tanah bagi pasar kapitalis. Negara yang memberikan ketentraman pada wilayahnya, mengeliminasi hambatan internal pasar, menstandarisasikan pajak dan mata uang. Juga negaralah yang menyediakan dasar bagi sistem perbaikan yang bisa diandalkan, penanaman modal, properti dan kontak-kontak melalui sistem hukum yang berlaku universal dan dapat diperhitungkan secara rasional.

Menurut Wright, tidak semua posisi ekonomi dalam masyarakat kapitalistik modern merupakan pola produksi kapitalisme murni. Beberapa diantaranya merupakan

25

pola produksi komoditi sederhana, di dalamnya keuntungan berasal dari usaha produksi yang dilakukan individu sendiri. Keuntungan-keuntungan tersebut terlalu kecil sehingga tidak bisa terakumulasi. Di dalam pola produksi komoditi sederhana ini terdapat sebuah kelas selain kelas borjuasi dan proletar, yaitu kelas borjuasi kecil. Kelas borjuasi kecil beranggotakan para pengusaha kecil dan pengrajin yang tidak mempunyai karyawan, tidak mengeksploitasi tenaga kerja dan tidak mendominasi apapun dalam hierarki kewenangan. Sementara menurut Poulantzas, beberapa cara produksi terdapat bersama-sama dalam formasi kapitalis, kerena artikulasi tingkat- tingkat perkembangan historis setiap tingkat mempunyai urutan-urutan waktunya sendiri, maka dominasi suatu cara produksi kapitalis tertentu dan formasi kapitalis terhadap cara produksi kapitalis yang lain tidak diwujudkan dalam suatu perkembangan sederhana. Dalam suatu formasi sosial, kita mungkin menekankan suatu tingkat yang di dominasi oleh kapitalisme monopoli dan campur tangan negara sebelum di dominasi oleh kapitalisme peseorangan dan negara liberal. Artinya kelas dominan dalam masyarakat kapitalis bisa berubah sesuai dengan tata produksi dominan.

Asumsi yang sering mendasari pembahasan tentang transformasi kelas baru di negara berkembang adalah runtuhnya tata produksi feodal agraris sebagai akibat tata produksi dominan. Tentunya hal tersebut akan menyebabkan kelas aristokrat feodal kehilangan legitimasinya yang tergantikan oleh kelas borjuasi sebagai kelas dominan dalam tata produksi kapitalis. Atau terbentuk formasi kelas baru dimana kaum tuan tanah merupakan wakil feodalisme di pedesaan, sedangkan kaum borjuasi industri merupakan hasil hubungan produksi kapitalis di perkotaan. Namun menurut Roxborough, bukti-bukti empiris meragukan pendapat adanya dua kelas yang berbeda, sering kelompok-kelompok keluarga industrialis dan produsen bahan pertanian benar- benar saling tumpang tindih, sehingga anggotanya memiliki kepentingan baik dibidang industri maupun pertanian. Ini memperlihatkan adanya transformasi kelas, dari kelas aristokrasi feodal ke kelas borjuasi industri. Hal ini tidak terlepas dari kepentingan yang sama untuk tetap mendominasi dalam struktur sosio-ekonomi yang baru, sehingga terjadi proses “aristokratisasi borjuasi”, dimana kaum aristokrat feodal akan mendapatkan legitimasi baru.

Bertolak dari pandangan Weber, beberapa kajian yang telah dilakukan di negara-negara non Barat untuk membandingkan dan mengetahui ada tidaknya wujud pertalian yang diangkat dari kepercayaan-kepercayaan agama dirangkum Long (1992). Dalam analisanya mengenai doktrin agama orang Sikh di India, Pieris (1969) mengatakan bahwa Sikhisme (seperti juga purutanisme), mempunyai pengaruh langsung atas kehidupan sehari-hari orang Sikh. Ia menekankan pada nilai usaha gigih, yang disertai dorongan terhadap kehidupan berhemat. Kehidupan orang Sikh

memperlihatkan titik-titik pertemuan antara “dunia yang satu dengan dunia lain” yang diperlihatkan dengan jelas sekali melalui sikap positif mereka terhadap kewirausahaan, serta kesediaan mereka untuk menjalankan jenis-jenis pekerjaan baru. Kelompok- kelompok lain yang terisolasi memperlihatkan rasionalitas aktivitas ekonomi yang sama dengan orang-orang Sikh, terdapat pada orang Parsi (Kennedy, 1962).

Nevaskar (1971), menunjukkan adanya persamaan penting dalam etika agama yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari pada orang Jain dan Quaker. Persamaan itu ialah, cinta perdamaian, pertapaan, kejujuran dan keadilan. Mereka lebih memilih pekerjaan-pekerjaan di kota pada bidang industri, khususnya yang berkaitan dengan perdagangan eceran yang nampaknya sesuai benar dengan sikap keagamaan mereka. Terdapat larangan-larangan keagamaan yang tegas berkaitan dengan pengeluaran uang untuk menunjukkan kemewahan atau bentuk-bentuk lain untuk menonjolkan diri. Kekayaan seharusnya digunakan untuk menginvestasikan kembali dalam bisnis dan untuk bersedekah bukan untuk ditonjolkan. Berbagai contoh dari India ini menunjukkan bahwa walaupun India secara umum digambarkan sebagai konservatif dari segi kepercayaan, disertai sistem kasta yang tidak membenarkan mobilitas sosial, namun terdapat juga kelompok-kelompok pengusaha yang dirangsang oleh agama yang menjalankan etik yang hampir menyerupai etik kelompok Protestan.

Hubungan antara esketisme dengan pengusaha di luar tradisi agama Kristen, juga dianalisis oleh Geertz (1992), terhadap para pedagang Muslim di Mojokuto. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa peranan penting dalam perubahan “ekonomi pasar” yang dicirikan oleh perdagangan kecil-kecilan dan bersifat perseorangan menjadi “ekonomi tetap” dimainkan oleh segolongan orang Islam yang terlibat dengan gerak pembaharuan yang mengamalkan etik keagamaan yang asketik (hampir sama dengan etika protestan). Analisisnya mengenai pembangunan ekonomi di Tabanan juga menunjukkan hal tersebut. Berbeda dengan Mojokuto, kelompok pengusaha Tabanan terdiri atas para aristokrat setempat yang tidak menitikberatkan pada penataan kembali perekonomian pasar tetapi berusaha untuk menyesuaikan kembali dengan perekonomia pertanian. Para pengusaha yang terdiri dari golongan aristokrat Hindu, mengambil fungsi dari ikatan-ikatan politik mereka dengan kaum petani serta penguasaan mereka atas sumber-sumber kolektif di wilayah itu. Kondisi ini kemudian memungkinkan mereka memobilisasi buruh dan sumberdaya lain untuk mewujudkan usaha ekonomi modern.

Sementara kesimpulan dari kajian Long (1968; 1992), atas hubungan antara pembaharuan sosio-ekonomi dengan penghayatan keagamaan di kalangan kaum tani dan pedagang-pedagang kecil di kawasan pedesaan Zambia menunjukkan pentingnya afiliasi keagamaan dilihat dari segi organisasi serta sumber non personal yang terlibat, tidak semata dari segi dimensi ideologinya saja. Bagaimana suatu etika keagamaan

27

digunakan untuk mengikuti situasi, apakah disesuaikan untuk mengesahkan pola tingkah laku sosio-ekonomi baru atau untuk meningkatkan pola-pola tradisional.

Karenanya Gerschenkron (1962) dalam Long (1992), menyatakan bahwa kita seharusnya berhati-hati agar tidak memberi status prasyarat secara logika kepada fakta-fakta sejarah (misalnya peran Calvinisme), karena hal ini akan melahirkan pandangan sebagai keharusan suatu sejarah, meskipun sebenarnya tidak dapat dipertahankan. Banyak sistem nilai yang berbeda dalam masyarakat berkembang menjadi lebih modern dan tidak terdapat suatu alasan untuk mengatakan bahwa hanya satu jenis sistem nilai yang paling berkesan (utama) dari berbagai jenis lainnya. Sebagaimana dikemukakan Weiner (1966), bahwa agama Katholik yang biasanya bersifat konservatif, ternyata tidak menghambat kadar pertumbuhan ekonomi yang pesat di beberapa negara Amerika Latin (Meksiko, Brasil dan Peru) pada tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an.

Bellah (1957), menunjukkan bahwa industrialisasi di Barat merupakan hasil proses penimbunan secara bertahap, sedangkan industrialisasi di Timur di kontrol dan disponsori oleh pemerintah, sebab hanya pemerintah yang dapat menyediakan modal yang dibutuhkan dan karenanya ia mendapati bahwa nilai-nilai agama di Jepang tidak berkorelasi secara positif dengan pertumbuhan kapitalisme. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa “Agama Tokugawa” mengandung berbagai unsur yang sesuai untuk suatu ideologi di zaman Meiji, mampu mengukuhkan usaha-usaha pemerintah untuk memulai perubahan ekonomi yang terencana. Meskipun yang mendahului ekonomi baru ini ialah kelas Samurai yang bersifat aristokratis, bukan para pedagang, sehingga terdapat korelasi antara agama dengan birokrasi di dalam sejarah Jepang.

Mengapa para anggota kelompok seperti itu berada dalam posisi yang lebih baik dari yang lainnya dalam usaha memobilisasi sumberdaya dan berhasil dalam menciptakan peluang-peluang ekonomi baru. Hal ini tidak dapat diuraikan hanya dengan menganalisa ajaran-ajaran moral dan agama, karena ini menimbulkan masalah- masalah yang berkaitan dengan organisasi sosial dan pengorganisasian sumberdaya (Long, 1992). Masalah ini membutuhkan penelitian yang akurat, karena bukti menunjukkan bahwa bentuk-bentuk agama yang asketik seringkali terlibat dengan masalah pelik dalam kehidupan sehari-hari dan bersifat doctrinaire di dalam pendekatannya. Kesulitan yang sama juga akan timbul ketika kita mempertimbangkan faktor-faktor pendorong lainnya (misalnya, sistem penguasaan, kepemilikan dan pengarapan tanah, struktur keluarga dan pola-pola stratifikasi).