• Tidak ada hasil yang ditemukan

YANG TERCERABUT DAN TERAKUMULAS

5.2 Fase Industri Perikanan Budidaya

5.2.2 Pola Pendudukan Tanah-Tanah Negara

Tanah-tanah negara di kawasan Delta Mahakam dikuasai dengan berbagai cara, seperti pewarisan dari orang tua, proses jual-beli, serta usaha merintis dengan mendapat izin garap dari otoritas setempat, namun tidak sedikit yang melakukannya tanpa izin garap. Umumnya masyarakat setempat mengaku bahwa tanah-tanah yang mereka kuasai pada awalnya diperoleh dari proses pembagian oleh RT/ Kepala Desa. Mekanisme pembagiannya didasarkan pada jumlah KK dalam kelompok-kelompok komunitas petambak, dimana setiap KK akan mendapatkan lokasi seluas dua hektar. Tidak hanya usaha merintis hutan mangrove menjadi area pertambakan yang bisa dilakukan tanpa sepengetahuan otoritas setempat, transaksi jual-beli pun banyak yang dilakukan tanpa sepengetahuan kepala desa dan camat. Transaksi jual-beli yang berusaha menghindari keterlibatan kepala desa ataupun camat tidak hanya didorong motif untuk terbebas dari kewajiban membayar biaya pengurusan yang besarnya mencapai Rp. 350.000/ dua Ha, seperti temuan Hidayati et all (2005) dan Simarmata (2008), namun juga akumulasi faktor psikologis-geografis akibat rendahnya pendidikan mereka yang melakukan transaksi, selain keterisoliran kawasan pertambakan di Delta Mahakam dari pusat pemerintahan. Akibatnya mereka yang bertransaksi cenderung menganggap urusan administrasi pertanahan sebagai sesuatu yang sulit dilakukan, sehingga terkesan menganggap remeh.

Di dalam prakteknya pemilik/ penggarap cenderung baru akan mengurus Surat Pernyataan Penggarapan Tanah (SPPT) setelah terjadi konflik atau bila akan

153

berlangsung jual beli dan pemberian ganti rugi oleh perusahaan migas. Maksimal luasan tanah untuk satu bidang yang bisa mendapatkan Surat Pernyataan Penggarapan Tanah ini adalah dua hektar. Hanya saja tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai batasan maksimal lembar SPPT yang bisa dimiliki oleh seseorang, begitu pun dengan jangka waktu keberlakukan surat tersebut (Simarmata, 2008). Hal ini telah menciptakan peluang terjadinya penyalahgunaan atas penguasaan tanah-tanah negara, akibat ketidakpastian regulasi pertanahan di aras lokal. Pembatasan kepemilikan, kemudian ditafsirkan sedemikian rupa, oleh mereka yang bertransaksi, sebagai jalan tengah yang bisa “menguntungkan” kedua belah pihak, sehingga yang dimaksud dua hektar bukan lagi untuk setiap keluarga melainkan untuk setiap kepala atau setiap orang dalam satu keluarga (Maifiansyah 2005; Simarmata, 2008). Sehingga muncul istilah “banyak anak banyak lokasi”, karena berapapun jumlah kepala dalam keluarga akan bisa dihargai dua hektar.

Ketidakpastian regulasi pertanahan memungkinkan seorang penggarap memiliki belasan bahkan puluhan hektar lahan hutan, hanya dengan meng-SPPT-kan tanah- tanah yang dikuasainya per-dua hektar, menggunakan nama-nama berbeda dalam keluarga, bahkan dengan menggandakan nama mereka sendiri. Kemungkinan tersebut menemukan momentumnya, ketika regulasi pertanahan yang sampai pada aparatur pemerintahan di aras lokal mengalami transformasi subjektif, sehingga ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan dan persepsi mereka yang terbungkus kepentingan pragmatis. Pemahaman seperti itu terus direproduksi secara berulang, sepanjang dianggap “aman dan menguntungkan” mereka yang bertransaksi, sebagai bentuk pensiasatan atas ketidakpastian penyelenggaraan hukum atas tanah- tanah negara yang sangat potensial ini. Meskipun menurut peraturan perundangan, pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin dari instansi yang berwenang dapat dikategorikan sebagai perambah hutan.

Hasil penelitian Lenggono (2004), bahkan mengungkap terjadinya koalisi kepentingan antara aparatur pemerintahan di aras lokal dengan para ponggawa yang memiliki pengaruh sosial-ekonomi kuat dalam penguasaan tanah-tanah negara di Desa Muara Pantuan. Peristiwa pelepasan tanah-tanah negara secara massal oleh kepala desa dalam kurun waktu 1991 – 1999 ini, telah menyebabkan terjadinya akumulasi penguasaan tanah-tanah negara pada pihak-pihak tertentu yang memiliki modal dan pengaruh kuat (khususnya pada para ponggawa). Kebijakan lokal tersebut, muncul seiring dengan semakin besarnya kebutuhan lokasi-lokasi baru bagi perluasan tambak, sehingga memaksa otoritas lokal mensiasatinya dengan membuat “regulasi instan” atas penguasaan area hutan mangrove yang saat itu masih belum memiliki nilai intrinsik. Salah satunya dengan memberikan “konsesi” penguasaan sejumlah pulau dalam

kawasan Delta Mahakam pada pihak-pihak tertentu dengan sejumlah kompensasi. Para pemilik “konsesi”, selanjutnya memiliki hak prerogatif dalam mengatur dan mengendalikan pulau/ kawasan tertentu, bahkan memiliki otoritas dalam pelepasan hak penguasaan lokasi untuk area pertambakan pada orang lain (lihat Tabel 11.).

Tabel 11. Pihak Yang Berkuasa Terhadap Lokasi Pertambakan di Desa Muara Pantuan No Pihak Penentu Latar Belakang Pekerjaan Lokasi Kuasa

1. H. Halim Ponggawa Daerah Timbang Pasir, P. Kala, P. Nobi dan

Kayu Majarang

2. H. Maming Ponggawa Daerah Palong dan Tambolo

3. H. Uton Kepala Desa Daerah Lagenting, Timbang Lumut, Muara

Kembang dan Muara Pantuan

Sumber: Lenggono, 2004 (Wawancara Mendalam dengan Mantan Kades Muara Pantuan)

Pembagian kuasa secara sepihak oleh oknum kepala desa, tidak hanya menyebabkan terjadinya akumulasi penguasaan area hutan mangrove untuk lokasi pertambakan pada pihak-pihak tertentu, namun secara tidak langsung telah ikut mengokohkan posisi para ponggawa sebagai “tuan tanah”. Kemampuan penetrasi kapital mereka, bahkan mampu mengakuisisi lokasi-lokasi baru diluar “konsesinya”, sehingga beberapa diantaranya menguasai hamparan tambak hingga ribuan hektar. Haji Maming dan Haji Halim adalah beberapa ponggawa senior yang paling diuntungkan dengan kebijakan tersebut, Haji Maming dikenal sebagai ponggawa yang menguasasi hamparan tambak paling luas di Muara Pantuan hingga saat ini. Begitu pun Haji Halim yang juga orang tua angkat Haji Mangkana (eksportir terbesar di kawasan Delta Mahakam), tidak hanya memilik hamparan tambak luas di Muara Pantuan namun juga di Sepatin. Berbeda dengan (alm.) Haji Uton yang mendapatkan “konsesi” karena jabatannya sebagai kepala desa, saat ini ia hanya bisa meninggalkan beberapa petakan tambak yang diwariskan pada anak-anaknya.

Pendistribusian penguasaan hutan mangrove juga telah menjadikan para

ponggawa sebagai “agen regulasi” pertanahan di aras lokal, selain para kepala desa. Para ponggawa dan sejumlah tokoh kunci dalam masyarakat inilah yang selanjutnya berperan mendistribusikan tanah-tanah yang berada dibawah konsesinya pada para petambak yang menjadi kliennya dengan sejumlah ketentuan yang mengikat. Tanah- tanah negara yang dikuasai secara tidak prosedural inilah yang kelak menjadi aset produksi kunci yang dimanfaatkan dan didistribusikan para ponggawa sebagai alat untuk meraih kekuasaaan, kekayaan dan status sosial. Namun demikian, penguasaan hutan yang tidak prosedural ini kelak juga menjadi cikal-bakal terjadinya banyak kasus tumpang tindih penguasaan lokasi pertambakan. Seperti, kasus perebutan hak

155

penguasaan atas lokasi pertambakan yang melibatkan dua ponggawa besar di Muara Pantuan antara Haji Maming dengan Haji Onggeng pada pertengahan tahun 2003.

Penyerahan “konsesi” penguasaan lokasi hutan bisa pula dilberikan pada kelompok-kelompok komunitas melalui tokoh masyarakat setempat, seperti terungkap dalam wawancara dengan Haji Baharuddin, seorang petambak Bugis dari Handil Terusan. Ia menuturkan bahwa izin merintis lokasi untuk membuka tambak pada 1999 (hanyalah berupa tulisan tangan di secarik kertas), didapatnya dari Kepala Desa Tani Baru. Ia mengaku, mendapatkan izin garap hingga 1000 Hektar di Sungai Banjar (Tanjung Pimping) tanpa biaya satu sen pun, setelah mengajukan permohonan izin merintis lokasi hutan untuk kegiatan pertambakan pada sang kades yang secara pribadi ia kenal. Tanah-tanah itu, kemudian dibagikannya secara cuma-cuma pada sekitar 300 orang warga lokal dan pendatang Bugis, seluas 2 – 20 Hektar/ KK, dengan harapan kawasan disekitar tambaknya menjadi semakin ramai. Ia tidak merasa menyesal telah membagi-bagikan “konsesinya” pada sejumlah orang, meskipun saat ini ia hanya bisa menguasai 20 Hektar tambak yang telah di SPPT-kannya dengan biaya Rp 250.000/ 2 Hektar pada 2002.

Sementara di Kelurahan Muara Kembang penyerahan “konsesi” penguasaan lokasi hutan, dilakukan otoritas lokal bersama LKMD yang mendistribusikan hutan nipah

ex. konsesi PT. Nira Kertabuana pada masyarakat. Berdasarkan pengakuan Haji Yusuf yang juga merupakan pelaku sejarah dituturkan, bahwa pada 1990/ 1991 terjadi kesepakatan antara Perusahaan Gula Indonesia dan Pemda Propinsi Kalimantan Timur untuk mendirikan pabrik gula PT. Nira Kertabuana. Perusahaan ini diharapkan dapat mengeksloitasi hutan nipah di kawasan Delta Mahakam menjadi gula nira dengan memanfaatkan tenaga transmigran (penyadap) yang akan didatangkan dari Jawa dan lokal. Setidaknya saat itu ororitas berwenang telah mengalokasikan lahan hutan nipah di pulau-pulau dalam kawasan Delta Mahakam seluas 25 Ribu Hektar, sebagai area operasi perusahaan. Namun sayangnya, karena berbagai alasan program pemerintah tersebut akhirnya harus terhenti ditengah jalan dan menyisakan masalah “lahan tidur”. Atas inisiatif sejumlah tokoh masyarakat dan pemerintahan desa, tanah seluas 25 Ribu Hektar yang seharusnya kembali menjadi hutan negara tersebut, akhirnya dibagi- bagikan pada warga Muara Kembang dan sekitarnya. Pemerintah Desa dan LKMD, memberikan ijin garap pada setiap keluarga seluas 5 Hektar, bahkan tidak sedikit yang mendapatkan ijin garap lebih dari 5 Hektar. Menariknya, menurut Haji Yusuf kesempatan untuk menadapatkan ijin garap lahan ex. konsesi PT. Nira Kertabuana tersebut, malah lebih banyak dimanfaatkan “orang luar” Muara Kembang.