• Tidak ada hasil yang ditemukan

13 sitem dagang,

II. TINJAUAN TEORITIS

2.2 Kebudayaan dan Kekuasaan

2.2.1 Penguasaan Sumberdaya Alam

Negara merupakan organisasi politis yang mengklaim dan memegang monopoli atas penggunaan yang absah dalam teritori fisik-geografis tertentu. Kedaulatan teritorial ini mendefinisikan identitas politik orang sebagai warganegara dan merupakan basis bagi negara untuk mengklaim orang dan sumber daya alam yang di dalam teritorial tersebut ada dalam kedaulatannya (Vandergeest and Peluso 1995). Konseptualisasi negara seperti ini disertai dengan kategori lainnya yang disebut sebagai rezim yang mengacu pada seperangkat pola dalam negara yang menentukan bentuk dan strategi akses pada proses pembuatan keputusan, aktor-aktor yang diizinkan dan yang tidak diizinkan dalam setiap akses, dan peraturan yang menentukan bagaimana keputusan dibuat secara absah. Kemudian pemerintah (government) terdiri dari aktor-aktor (politikus partai, administratur publik, administratur militer) yang menduduki posisi penting/ dominan dalam rezim tersebut pada satu masa tertentu.

Beberapa studi mengenai praktik pengelolaan sumber daya alam memperlihatkan bahwa negara lebih berpihak pada bisnis (private sectors) dari pada terhadap warganegara kebanyakan, dimana negara lebih bertindak sebagai pemungut rente (Brown 1999). Dalam kasus Indonesia, rente yang terkumpul di tangan negara tersebut digunakan untuk menggerakan proses kapitalisasi (pembangunan) dengan mengembangkan sektor lain baik bagi industri ekstraksi sumber daya alam lainnya maupun sektor infrastruktur, pertanian, dan pendidikan (Seda 2001). Dengan cara seperti ini diharapkan terjadi trickle down effect. Namun dalam kenyataannya, orang atau kelompok orang yang memperoleh “kepercayaan” dari negara untuk mengelola modal (rente) dalam kas negara tersebut membangun satu pola relasi kekuasaan dan kelembagaan yang menghalangi orang atau kelompok lain terhadap akses yang sama.

Rezim kekuasaan pada zaman modern mengamankan legitimasinya bukan melalui partisipasi warga negara tapi dengan mengklaim sebagai penyedia kesejahteraan populasi dalam model gagasan analisis biaya dan laba (Chatterjee 2004). Dalam konteks pengelolaan hutan di Indonesia, pendekatan dan penanganan pemanfaatan dan penguasaan hutan oleh masyarakat abai terhadap sisi normatif negara. Seolah hanya warganegara yang memiliki kewajiban menjalankan fungsinya untuk patuh pada peraturan perundang-undangan. Negara, melalui Departemen Kehutanan misalnya, membuat regulasi mengenai Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) dan Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) tanpa memandang keberadaan masyarakat lokal yang telah mendiami dan memanfaatkan kawasan hutan jauh sebelum kebijakan tersebut dibuat.

Rezim penguasaan tersebut terkait dengan adanya kekuasaan atas teritori tertentu sebagai indikasi sebuah negara, namun konsepsi mengenai teritori tersebut

31

dilihat sebagai sesuatu yang taken for granted, seperti sebuah peta yang memang sudah ada tanpa perlu diperbantahkan lagi. Padahal bagi warganegara, teritorial tersebut tidak saja menyangkut areal jelajah, tapi juga menyangkut relasi kuasa yang menentukan akses sumber daya dalam teritori tersebut. Dengan kata lain, peta yang ditetapkan oleh negara bukan soal gambar dan garis areal tertentu yang diberi nama saja, tapi juga menyangkut siapa yang memiliki kuasa untuk menentukan siapa boleh mengakses sumber daya yang ada di areal tertentu. Dalam pengertian inilah peta suatu teritori tertentu memiliki unsur politik kekuasaan atas sumber daya alam di dalamnya.

Teritorialisasi merupakan proses yang dilakukan negara dengan membuat garis batas pada suatu wilayah geografis tertentu dengan mengeluarkan kategori individual terhadap wilayah ini yang kemudian secara spesifik menetapkan dan membuat aturan mengenai aktivitas tertentu yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam areal ini. Bentuk yang paling banyak dikenal dalam persoalan teritorial ini adalah tarikan garis pembagian wilayah dalam peta. Garis yang tergambar dalam peta tersebut merupakan konsep yang abstrak (Vandergeest and Peluso 1995). Garis pada peta ini kemudian membagi negara modern ke dalam teritori yang kompleks dan tumpang-tindih antara zona ekonomi dan politik. Orang dan sumber daya kemudian dirancang ulang ke dalam pembagian ini, dan melalui regulasi diatur dan ditetapkan bagaimana dan oleh siapa wilayah teritori ini digunakan. Tarikan garis di atas kertas peta tersebut kemudian mengakibatkan hilangnya akses orang terhadap sumber daya alam yang secara tradisi sudah mereka lakukan jauh sebelum negara ada (Peluso 2006).

Jauh sebelum negara-bangsa berdiri orang telah melakukan teritorialisasi sebagai individu maupun sebagai kelompok melalu sistem dan penandanya sendiri seperti areal perkebunan dan perladangan, kuburan, tanaman tertentu, atau pancang sebagai penanda areal kelola dan kekuasaannya yang memberi tanda pada orang lain untuk tidak mengakses sumber daya atau melakukan aktivitas di dalam teritori tersebut. Teritorialisasi baik oleh negara maupun oleh orang/ kelompok orang, melahirkan konflik dan negosiasi antara negara dengan warganegara, antara warganegara/ kelompok dengan warganegara/ kelompok yang lainnya. Yang menarik adalah ketika ada konflik dan negosiasi antara warganegara dengan negara, regulasi teritorial yang dibuat oleh negara tersebut tidak secara telak mengeksklusi orang yang ada di dalamnya. Regulasi tersebut ditafsir, ditawar dan dimanfaatkan untuk mempertahankan kepentingan aksesnya terhadap lahan dan sumber daya alam di dalamnya (Wadley 2003).

Di dalam kegiatan illegal logging, Tsing (2005) dengan sangat menarik menggambarkannya sebagai frontiers; jalan logging yang menghubungkan antara legal dan illegal dari pekerja lokal dan pendatang dengan kebutuhan kayu dunia. Di jalan itu korporasi besar melegalkan kayu-kayu yang illegal. Frontiers merupakan pemudaran

peraturan (deregulated) yang dilakukan oleh mitra yang absah bersama dengan yang tidak absah. Pada gilirannya akan menyebabkan perubahan pada peraturan-peraturan yang memungkinkan mereka memperoleh laba ekonomi yang baru secara berlebihan. Semua ini berlangsung dalam ruang antara (interstitial space) dua kutub biner seperti legal dan tidak legal, privat dan publik, hukum dan pelanggaran. Di dalam ruang antara dua kutub inilah kemudian kebudayaan (culture) menjadi maju dan berkembang, diproduksi dan direproduksi, gagasan mengenai kapitalisme, globalisasi dan imperialisme berkembang dan ditanamkan – termasuk perlawanan (encountering) atasnya. Pilihan arahnya ditentukan melalui proses tawar-menawar, negosiasi dan renegosiasi antar dua kutub biner tersebut. Negara – pengusaha, warganegara – negara, pengusaha – warganegara, yang berlangsung dalam proses-proses yang sangat kreatif.

Kapitalisme dalam artian frontiers seperti ini menurut Adri (2007), selalu berusaha mencari ruang kosong diantara dua ruang yang saling berlawanan ini, sehingga legalitas atau illegalitas bukan persoalan utama sepanjang dia mendatangkan laba dan akumulasi modal. Seperti yang terjadi di kawasan Delta Mahakam, kegiatan “pertambakan ilegal” pun berlangsung di dalam ruang antara yang memungkinkan terjadinya proses kapitalisme oleh para Punggawa. Menggerakkan proses diversifikasi usaha pertambakan yang semakin meluas, serta munculnya cold storage, hatchery, pabrik es, mini market, industri pengolahan/ekspor udang dan seterusnya. Dimana tanah (hutan mangrove) sebagai lokasi kegiatan pertambakan yang berlimpah dan tidak memiliki nilai intrinsik dalam aturan perundangan saat itu, menjadi aset produksi kunci yang dikuasai dan disistribusikan para elit lokal (khususnya ponggawa), sebagai alat untuk meraih kekuasaaan, kekayaan dan status.

Di dalam struktur sosio-ekonomi masyarakat agraris seperti itu, secara tipikal terjadi pemberlakukan pola penguasaan yang terkonsentrasi pada orang-orang tertentu dan cenderung tidak adil. Tanah dimiliki dan dikuasai oleh sekelompok tuan tanah, atau aparat pemerintah yang kuat yang berfungsi untuk kepentingan tuan tanah. Aristokrat tuan tanah memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap kaum buruh (klien) yang memanfaatkan tanah dan memberi beban berat kepada mereka dalam mengelola tanah-tanah tersebut. Pola distribusinya memperlihatkan hubungan yang sangat tidak seimbang dan eksploitatif antara tuan tanah dengan kaum buruh (klien). Aristokrat tuan tanah mengeruk keuntungan melalui rente, pajak, pelayanan berupa tenaga tanpa upah dan berbagai mekanisme yang lain.

33