• Tidak ada hasil yang ditemukan

YANG TERCERABUT DAN TERAKUMULAS

5.2 Fase Industri Perikanan Budidaya

5.2.1 Reproduksi Kebijakan Penguasaan Sumberdaya Agraria

Sampai dengan tahun 1980-an, sebenarnya aktifitas ekonomi utama masyarakat setempat sebagian besar masih ditopang oleh kegiatan perikanan tangkap (nelayan), sementara aktifitas pertambakan baru diintrodusir oleh sebagian kecil masyarakat di kawasan Delta Mahakam dari para migran Bugis yang datang belakangan. Seperti terungkap dalam penelitian Lenggono (2004), “kegiatan pertambakan di Kawasan Delta Mahakam sebenarnya baru dimulai sekitar tahun 1978, ketika beberapa orang pendatang dari Sulawesi menyampaikan informasi tentang tata cara pembuatan tambak secara tradisional. Diantara warga setempat yang berminat mencoba mempraktekkan informasi tersebut adalah Haji Beddu di Tani Makmur dan Haji Lamat di Muara Pantuan”.

Lebih lanjut, Haji Lamat menuturkan bahwa ia memulai kegiatan usaha pertambakan dengan “membuka” 2½ Ha lahan mangrove yang ada di samping rumahnya, untuk membangun empang sedalam ½ M dengan peralatan seadanya. Karena keterbatasan tenaga ia hanya mampu memperdalam empang itu beberapa meter dari tanggul, sehingga menyisakan tanah timbul di tengah empang. Selanjutnya

empang tersebut diisi dengan air dari laut yang kebetulan berhadapan dengan empang

yang dibangunnya, tanpa proses penaburan benih, ia melakukan perawatan seperlunya. Sekitar 3 bulan setelahnya, ia mencoba mengeringkan empang yang belum jadi tersebut, dari panen pertamanya, Haji Lamat mengaku berhasil memanen udang windu seberat ½ ton dengan harga sekitar Rp. 3.500/Kg. Sejak saat itu kegiatan pertambakan tradisional, mulai menarik minat banyak pemilik kebun kelapa dan nelayan di sekitar kawasan Delta Mahakam untuk mencoba peruntungan dengan membuka tambak- tambak baru.

Kegiatan pertambakan dengan konversi hutan mengrove, semakin marak dilakukan pasca pemberlakukan Kepres No. 39 Thn 1980 dan Inpres No. 11 Thn 1982. Pekembangan kegiatan pertambakan di aras lokal tersebut, tidak terlepas dari “dukungan” Pemerintah Daerah setempat, melalui berbagai kebijakan yang ditujukan untuk “mengamankan” kepentingan Pemerintah Pusat, khususnya dalam Program Udang Nasional. Dimulai dengan penerbitan SK Gubernur Kaltim No. 66 Thn 1987, tentang Rencana dan Ketentuan-Ketentuan Pokok Usaha Intensifikasi Tambak Udang dan Bandeng Tahun 1988/1989; SK Gubernur Kaltim No. 83/590-IX/Um-38/1987, tentang; Pencadangan Areal Tanah Seluas ± 600 Ha di Pulau Letung Daerah Kecamatan Muara Badak Kabupaten Kutai untuk Pengembangan Budidaya Udang dengan Pola Tambak Inti Rakyat (TIR); SK Walikotamadya/ Ketua Satuan Pelaksana Bimas Kotamadya Samarinda No. 84 Thn 1987, tentang Intensifikasi Tambak dalam

147

Kotamadya Samarinda; dst. Secara keseluruhan berbagai kebijakan yang diambil pemerintah saat itu, telah ikut memicu terjadinya konversi hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam menjadi area pertambakan secara massal dan massive pada masa selanjutnya.

Sementara, peningkatan permintaan pasar internasional akan produk perikanan (khususnya udang windu), secara tidak langsung juga telah “memaksa” para pemilik modal, khususnya perusahaan-perusahaan eksportir, semakin banyak mengucurkan modal usahanya untuk mendorong pembukaan tambak-tambak baru di sekitar kawasan Delta Mahakam. Seiring dengan semakin menurunnya hasil tangkapan udang nelayan setempat, pasca pelarangan alat tangkap trawl. Besarnya luasan hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambakan, namun tidak memiliki nilai intrinsik, menjadikan “transaksi penguasaan” atas kawasan Delta Mahakam semakin leluasa dilakukan. Seketika kawasan common property, dirubah peruntukannya menjadi area- area pertambakan pribadi. Di dalam Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) yang diperkirakan mencapai 90 persen dari luasan kawasan Delta Mahakam yang mencapai 108.251,31 Hektar inilah, kegiatan pertambakan “ilegal” berlangsung.

Klaim “Ilegal” mengacu pada perpektif Departeman Kehutanan yang mengkategorikan KBK sebagai kawasan “terlarang” bagi aktivitas apapun diluar kegiatan budidaya kehutanan, pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin dari instansi yang berwenang bahkan dapat dikategorikan sebagai “perambah hutan”. Istilah-istilah “mengelola hutan” seperti ini, tampaknya selalu disesuaikan dengan kebutuhan kekuasaan dan ironisnya tidak pernah memperhitungkan kebutuhan masyarakat lokal. Secara legal formal keberadaan pemukiman di dalam KBK sekalipun, akan dikategorikan illegal oleh pemerintah, meskipun secara historis kawasan pemukiman tersebut telah berdiri jauh sebelum kebijakan tersebut ditetapkan. Sebagai konsekuensi logis atas penerbitan keputusan Menteri Pertanian bernomor 24/ Kpts /Um /1983, yang secara sepihak menetapkan sebagian besar kawasan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi. Reproduksi pengetahuan yang berimplikasi pada reproduksi penguasaan atas sumberdaya alam menurut Bryant (1998), tercipta karena adanya konflik politik ekologi antara dua lapisan sosial masyarakat. Pertama, elit politik dan ekonomi yang memiliki kekuasaan untuk menjustifikasi kebijakan yang “dianggap jauh lebih baik” dan kedua, adalah kelompok subordinat (masyarakat lokal dan kelompok marjinal) yang berusaha melawan kelompok elit melalui “budaya resisten”. Proses produksi pengetahuan tersebut seringkali memperkuat ketidakadilan ekonomi dan sosial terhadap masyarakat tersubordinat.

Sebagai akibatnya, rumah-rumah penduduk yang didirikan diatas tanah berstatus KBK tidak mungkin disertifikatkan, seperti yang terjadi pada sebagian besar

kawasan pemukiman di Desa Muara Pantuan, Sepatin dan Tani Baru. Demikian halnya dengan keberadaan tambak-tambak yang dibangun dengan memanfaatkan KBK di sekitar kawasan Delta Mahakam pun “dicap” ilegal oleh otoritas kehutanan. Namun anehnya, pemerintah (otoritas kehutanan) sebagai penguasa kawasan, ternyata tidak mampu berbuat apa-apa untuk mengatasi kegiatan “ilegal” yang terus berlangsung di atas tanah-tanah negara tersebut. Begitu pula dengan keberadaan pemukiman di dalam KBK, tidak pernah sekalipun ditertibkan secara tegas oleh otoritas yang berwenang. Absennya negara sebagai pihak yang berkompeten dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul atas penetapan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi, telah menjadi preseden buruk bagi terciptanya kesadaran kolektif dalam tubuh masyarakat yang patuh hukum. Akibatnya bisa diduga, tidak hanya kawasan pemukiman yang bertambah meluas, namun juga pembangunan tambak-tambak baru pun semakin tak terkendali, seiring dengan lemahnya penerapan low enforcement. Pada gilirannya permasalahan agraria di kawasan Delta Mahakam menjadi semakin kompleks dan sulit diurai.

Pola relasi antara tanah dan kehidupan petambak tersebut sepertinya sesuai dengan gambaran Redfield (1985) “sebagai suatu dunia yang dipenuhi sikap hidup tipikal”. Artinya tanah (lokasi hutan mengrove untuk area pertambakan) merupakan sumber penghidupan utama bagi para petambak, walaupun bukan berarti kepemilikan tanah kemudian menjadi sesuatu yang secara khusus menjadi tuntutan. Mereka merasa bisa hidup tanpa memiliki tanah, karena bagi petambak di Delta Mahakam yang lebih penting adalah penguasaan tanah dimana mereka bisa tetap berproduksi (dengan menjalankan aktivitas pertambakan), sehingga mampu melanjutkan kehidupannya. Realitas tersebut sekaligus menjawab logika berpikir para petambak di kawasan Delta Mahakam yang sebagian besar tidak terlalu ambil pusing dengan status legal formal atas keberadaan tanah-tanah yang mereka kuasai.

Perlu dicatat disini, sebenarnya melalui Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) yang dimulai sejak 1981/ 1982, sejumlah tanah perkebunan kelapa milik penduduk di sekitar Delta Mahakam ada yang berhasil disertifikatkan. Menariknya kegiatan pensertifikatan secara massal, mudah, murah dan cepat tersebut terus berlangsung pasca penetapan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi. Menurut catatan Pemerintah Kotamadya Samarinda yang pada saat itu wilayah administratifnya meliputi sebagian kawasan Delta Mahakam, setidaknya pada tahun anggaran 1981/ 1982 s/d 1985/ 1986 sebanyak 15.353 sertifikat berhasil diselesaikan melalui program Prona. Sejumlah warga Sungai Perangat, Desa Sepatin dilaporkan juga berhasil mensertifikatkan lahan perkebunan kelapa mereka melalui program Prona di tahun yang sama. Menurut Haji Alimuddin, sertifikat tersebut diterbitkan dalam luasan

149

maksimal dua hektar, sehingga bagi mereka yang memiliki kebun kelapa lebih dari dua hektar, terpaksa harus “memecah tanahnya” dalam beberapa sertifikat. Meskipun kawasan Delta Mahakam hingga saat ini masih berstatatus hutan produksi, menariknya sejumlah ponggawa dan petambak setempat juga mengaku berhasil mensertifikatkan tambak-tambak mereka pada kurun 1990-an. Salah seorang kepala desa di kawasan Delta Mahakam, bahkan mengaku mendapatkan uang yang cukup besar setelah mengagunkan sertifat tambaknya pada sebuah bank negara.

Fakta bahwa kegiatan pertambakan sudah sedemikian meluas dan melibatkan ribuan penduduk, telah pula mempengaruhi cara pandang aparatur pemerintah daerah. Menurut Simarmata (2008), umumnya aparat pemerintahan setempat menyadari bahwa secara hukum, tambak-tambak di kawasan hutan adalah illegal, namun secara faktual jumlah mereka yang sedemikian banyak dan sangat menggantungkan hidupnya pada usaha pertambakan, menjadikan pengusiran mereka dari kawasan Delta Mahakam muskil dilakukan. Tidak berlebihan jika sikap pragmatis yang kerap mendasari penyelesaian berbagai permasalahan secara instan pun menjadi pilihan yang dianggap paling realistis. Pemerintah daerah dengan fungsi mediatornya, cenderung bersikap ambigu ketika dihadapkan pada penyelesaian sengketa agraria antara masyarakat setempat (petambak/ ponggawa) dengan pihak perusahaan migas. Prinsipnya berbagai kepentingan masyarakat yang bersinggungan langsung dengan kepentingan perusahaan migas akan diakomodasi, sebagai upaya meredam munculnya gejolak yang lebih besar dalam masyarakat. Entah melalui kesepakatan ganti-rugi atau pemberian kompensasi dalam bentuk materil atas dampak negatif aktivitas perusahaan migas.

Lazimnya kegiatan industri migas, selalu dimulai dari kegiatan sektor hulu

berupa tahapan kegiatan eksplorasi dengan melakukan penyelidikan dan pencarian, yang dilanjutkan dengan kegiatan eksploitasi dan pengembangan lapangan-lapangan migas (diantaranya berupa kegiatan survey dan pengeboran), hingga kegiatan sektor menengah sampai hilir, yang umumnya berupa pengolahan dan pendistribusian minyak ke kilang-kilang minyak dan gas dengan menggunakan pipa. Namun demikian, kegiatan usaha hulu industri migas tetap harus tunduk pada Pasal 33, UU No. 22/ 2001 yang menyatakan bahwa “hak atas Wilayah Kerja tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi dan tidak pada tempat-tempat tertentu”. Di atas tanah permukaan inilah benturan kepentingan antara kegiatan usaha hulu migas dengan kegiatan usaha perikanan budidaya/ tangkap sering terjadi. Hal ini dikarenakan zona potensial penghasil migas meskipun berbeda “ruang” namun berada pada “area permukaan” yang sama dengan kegiatan perikanan, dimana kandungan migas berada di “ruang” bawah (dalam perut bumi), sedangkan potensi sumberdaya perikanan tangkap/ budidaya berada di ruang atas dari permukaan tanah. Demikian panjang dan kompleksnya praktek kegiatan

pengelolaan migas (lihat Tabel 10.), telah menempatkan sektor strategis ini beresiko berbenturan dengan kepentingan berbagai stakeholder (khususnya kegiatan pertambakan).

Tabel 10. Praktek Kegiatan Pengelolaan Migas Tahapan Kegiatan Target Operasi

Desk Studi Mengetahui potensi, prospek serta kandungan dan keberadaan

sumberdaya migas di suatu kawasan

Survey Eksplorasi 1. Pembebasan lahan dan land clearing;

2. Seismic;

3. Pemboran eksplorasi;

4. Penentuan cadangan, luasan struktur kawasan, lokasi sumur bor, logistik, sarana dan prasarana;

5. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan (UKL-UPL);

6. Decommissioning termasuk rehabilitasi dan reklamasi

Delineasi 1. Pemboran sumur delineasi;

2. Pembuatan burn pit;

3. Pengerukan lahan, pengangkutan pasir + tanah dari ke lokasi pemboran, serta pengerukan dan pemampatan tanah dasar pondasi pemboran;

4. Seismic detail;

5. Penghitungan cadangan terukur, terindikasi dan tereka;

6. Pembebasan lahan;

7. Land clearing;

8. Pengangkutan dan pengoperasian alat berat; 9. Pengangkutan bahan;

10.Uji coba produksi;

11.Pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan; 12.Penyuluhan pada masyarakat

Pengembangan 1. Pemboran sumur;

2. Pembangunan fasilitas produksi; 3. Penyambungan jaringan pipa; 4. Pembangunan sarana pengelolaan air;

5. Pembangunan sarana dan sarana penunjang produksi; 6. Pemboran air tawar;

7. Transportasi dan mobilisasi;

8. Pembangunan sarana mengatasi keadaan darurat

Produksi 1. Pembangunan sarana fisik;

2. Pembangunan jaringan pipa;

3. Mengalirkan minyak mentah dan gas dari sumur produksi; 4. Pengolahan air dan limbah (B3);

5. Pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan (AMDAL); 6. Studi geologi, reservoir dan production engineering, serta disiplin

ilmu terkait kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas

Hubungan masyarakat Sebagai upaya terjalinnya kerjasama yang saling menguntungkan antara

kegiatan industri migas dan masyarakat, sehingga berbagai aktivitas dapat berjalan secara berdampingan (melalui program community

development)

Keselamatan dan keamanan

instalasi sarana dan prasarana produksi

Melakukan upaya pengamanan yang ketat dan terintegrasi pada tempat- tempat strategis, bagi terjaminnya keselamatan kegiatan operasi migas

Tenaga kerja Terbukanya peluang kerja dengan keahlian tertentu

151

Pada tahap eksploitasi, kegiatan pertambangan migas yang terkonsentrasi pada usaha-usaha produksi migas, pengolahan lapangan, distribusi melalui pipa di lapangan, membutuhkan alokasi ruang permukaan yang besar. Di dalam ketentuannya, lokasi- lokasi yang akan digunakan untuk kegiatan tersebut haruslah mengantongi hak pakai sesuai dengan persyaratan keamanan instalasi migas dan harus bebas dari kepentingan atau pemakaian/ pengunaan pihak lain pada jarak-jarak tertentu dari masing-masing jenis instalasi. Hal tersebut juga diatur dalam UU No. 22/ 2001 Pasal 36 ayat (1), “Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap telah diberikan Wilayah Kerja, maka terhadap bidang-bidang tanah yang dipergunakan langsung untuk kegiatan usaha minyak dan gas bumi dan area pengamanannya, diberikan hak pakai sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan wajib memelihara serta menjaga bidang tanah tersebut”. Dimana pihak perusahaan migas diwajibkan mendapatkan pelepasan hak pakai atas kawasan hutan produksi yang akan mereka manfaatkan dari pemilik otoritas yaitu Departemen Kehutanan.

Jika mendasarkan pada ketentuan normatif, perusahaan migas yang telah mengantongi izin hak pakai dari otoritas yang berwenang, sebenarnya tidak diwajibkan mengganti dalam bentuk apapun dan pada siapapun, atas aktivitas yang dilakukan dalam wilayah konsesi mereka, karena kawasan tersebut secara hukum formal berada di atas tanah negara. Namun menurut Simarmata (2008), perusahaan migas dan BP Migas lebih memilih menggunakan logika common sense, karena petambak dan nelayan dianggap telah mengeluarkan sejumlah uang untuk membuka tambak atau membuat dan memasang alat tangkap. Pihak perusahaan migas dan BP Migas bisa menerima tuntutan ganti rugi selama penggugat mampu menunjukkan surat legalitas kepemilikan lahan, seperti SPPT (Surat Pernyataan Penggarapan Tanah/ Surat Pernyataan Penguasaan Tanah) yang ditandatangani ketua RT, kepala desa dan camat, tanpa keharusan menunjukan izin yang dikeluarkan oleh instansi kehutanan sebagai pemilik otoritas. Hal ini kemungkinan merupakan “jalan tengah” yang dianggap paling mudah dan murah dalam membebaskan lahan-lahan yang telah dikelola dan dimanfaatkan masyarakat, dibandingkan harus menggunakan “kekuatan negara” yang belum tentu mampu menghalau “pendudukan” atas tanah-tanah negara tersebut. Sekaligus menjadi penjelas bahwa penerapan mekanisme ganti rugi/ kompensasi, telah ikut membenarkan tindakan “pendudukan” yang selama ini berlangsung.

Perusahaan migas cenderung berlaku permisif, karena tidak berkepentingan mengendalikan pembukaan kawasan hutan sepanjang tidak mengganggu jalur pipa dan kompleks platform produksi migas. Karenanya sistem pengamanan tingkat tinggi yang diberlakukan mereka pun, tidak ditujukan untuk ikut mendukung pengamanan kawasan hutan produksi dimana area konsesi mereka berada, namun hanya diperuntukkan bagi

pengamanan area-area produksi migas berikut instalasi penunjangnya. Tidak peduli dengan apapun yang terjadi diluar wilayah operasi mereka. Apabila suatu saat tidak mampu mengamankan sendiri wilayah konsesinya, barulah mereka meminta bantuan pada aparat keamanan negara atau jika memerlukan lahan-lahan baru untuk kegiatan produksi, cukup dengan meminta bantuan BP Migas berunding dengan masyarakat pemilik lahan/ tambak melalui pemkab/ pemprop sebagai mediator.

Pragmatisme yang ditunjukkan perusahaan migas juga terlihat dari mekanisme kompensasi/ ganti-rugi materil yang lebih mereka sukai dalam berhubungan dengan masyarakat setempat, prinsipnya “lebih baik membagi sedikit untuk mendapatkan bagian yang lebih besar, dibandingkan menegakkan aturan yang membutuhkan bagian yang tidak kecil”. Sementara pemerintah daerah yang sejak awal tidak mampu memberikan kepastian hukum atas tanah-tanah negara tersebut, cenderung bersepakat dengan model kebijakan ganti-rugi/ kompensasi yang diterapkan perusahaan migas dan BP Migas, sekalipun tanah-tanah negara yang akan diganti-rugi tersebut, secara formil tidak memiliki keabsahan.