• Tidak ada hasil yang ditemukan

13 sitem dagang,

II. TINJAUAN TEORITIS

2.3 Pembentukan Kapital Lokal

2.3.1 Perubahan Struktur Agraria

Orde Baru mendirikan totalitas bangunan ekonomi agrarianya tanpa penghancuran soal-soal agraria warisan kolonial, bahkan menurut Fauzi (1999), bangunan agraria yang baru tersebut berdiri atas dasar warisan kolonial. Seperti yang pernah dikemukakan Arief (1978), “Kebijakan ekonomi Indonesia dan proses ekonomi yang mengikutinya telah berjalan di atas suatu struktur ekonomi warisan kolonial ... dulu dikembangkan dan diperkuat untuk melayani negara-negara asal pihak penjajah dan sektor massa agraris merupakan daerah yang diabaikan dan sumber kuli murahan ... diatas struktur inilah kebijakan ekonomi Indonesia selama ini telah dijalankan, sehingga pada hakekatnya sadar atau tidak sadar, kita telah memperkuat dan mengembangkan struktur warisan kolonial”.

Lebih jauh Fauzi (1999), menggambarkan bangunan ekonomi agraria Orde Baru sebagai berikut; pertama, tetap dipraktekkannya “semacam” Domein Verklaring, bahwa “... semua tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik mutlak (eigendom) adalah milik negara”. Secara de jure, Domein Verklaring memang telah dihapuskan oleh UUPA 1960. Namun masih banyak tanah garapan petani/ petambak – yang sudah turun-temurun – hanya merupakan “tanah negara bebas”, karena hanya bisa dibuktikan dengan girik atau leter C sebagai tanda bukti pembayaran pajak tanah ataupun Surat Ijin Garap dari otoritas lokal. Artinya status hukum tanah-tanah tersebut tetap sebagai tanah negara yang disewa/ dikelola oleh petani/ petambak. Apabila negara membutuhkan, dengan mudah petani/ petambak penggarap dapat diusir dari tanah tersebut.

Kedua, dengan UU No. 1 tahun 1967 dan UU No. 8 tahun 1968 rezim Orde Baru, telah mengundang secara besar-besaran penanaman modal besar, baik modal dalam negeri maupun asing, di pedesaan. Mulai dari bentuk-bentuk penguasaan hutan dan industri pertanian/ perikanan hingga agroindustri, seperti pengolahan hasil-hasil perikanan. Dalam prakteknya, para pemodal asing dibidang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) misalnya, akan mengajak pemodal pribumi untuk membagi beban dengan cara membentuk perusahaan joint venture. Persetujuan PMDN di sektor pertanian saat itu, meliputi tanaman pangan dengan investasi sebesar Rp. 3,63 trilyun, untuk 156 proyek, perkebunan Rp. 17,2 trilyun untuk 455 proyek, peternakan Rp. 1,7 trilyun untuk 76 proyek dan perikanan Rp. 3,2 trilyun untuk 337 proyek. Sehingga dapat dimaklumi jika Fauzi (1999), menyebut jalan bagi pembangunan kapitalisme adalah reformasi hukum, karena bersifat instrumental terhadap ekonomi.

Upaya kerjasama dengan cara seperti ini pun, dilakukan dalam kegiatan pengusahaan perikanan ekspor di sekitar kawasan Delta Mahakam menjelang tahun 1980, sehingga mendorong munculnya beberapa perusahaan cold storege yang melakukan kegiatan ekspor hasil perikanan. Kondisi tersebut, ternyata semakin memarginalkan posisi masyarakat lokal di dalam ikut menikmati perolehan rezeki dari hasil pemanfaatan sumberdaya alam di sekitar mereka. Seirimg terbitnya keputusan Menteri Pertanian bernomor 24/ Kpts /Um /1983, yang secara sepihak menetapkan sebagian besar kawasan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi. Yang berakibat tercerabutnya hubungan penggarap dengan tanahnya. Pada kantong-kantong industri perikanan, masyarakat lokal yang terpinggirkan/ para pendatang, perlahan- lahan menjadi buruh. Sementara keuntungan yang diperoleh dari hasil bumi pedesaan, melalui penanaman modal besar mengalir deras kepada para pemodal besar.

Ketiga, pemerintahan Orde Baru lebih condong pada peningkatan produksi melalui pengembangan bibit unggul, teknologi pertanian/perikanan, pupuk, pestisida dan organisasi kredit, KUD dan seterusnya, tanpa ada keinginan untuk melakukan land reform. Komitmen pada peningkatan produksi berarti mendahulukan kepentingan industri (kota) dibanding pertanian/ perikanan (desa). Hal ini terlihat dari kebijakan pemerintah yang cenderung melakukan “pembiaran” atas terjadinya perluasan area pertambakan secara ilegal, meskipun harus mengorbankan eksistensi hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam. Disatu sisi, mungkin hal tersebut dilakukan untuk mendongkrak program perluasan tambak (ekstensifikasi) oleh pemerintah, yang ingin mengamankan Program Udang Nasional dengan meningkatkan produksi perikanan budidaya. Namun pada sisi lainnya, hal ini juga bisa berarti proses “mengelola hutan”, sebagai antisipasi munculnya gejolak dalam masyarakat.

49

Keempat, komposisi penggunaan tanah belum beranjak seperti yang terjadi di zaman kolonial (Sajogyo, 1981). Dimana kekuasaan atas tanah, yang merupakan basis kekuasaan ekonomi dan politik, bertumpuk pada bentuk pengusahaan hutan yang dimiliki oleh pemerintah dan pihak swasta, termasuk di dalamnya kelompok pemodal asing. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa politik agraria kapitalis Orde Baru telah menguatkan posisi pemilik modal swasta – termasuk swasta milik asing – dan pemerintah sebagai kekuatan ekonomi politik yang dominan. Secara dinamis, dominasi tersebut juga mengkondisikan munculnya konflik agaria yang cukup laten diantara masyarakat lokal. Dan menariknya, dapat dengan mudah menjadi konflik manifes jika melibatkan perusahaan migas yang beroperasi disekitar kawasan Delta Mahakam. 2.3.1.1 Perubahan Pola Penguasaan, Pemilikan dan Pemanfaatan Lahan

Kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam secara besar-besaran sebenarnya baru dimulai sejak awal tahun 1990-an, dan mencapai puncaknya ketika terjadi krisis ekonomi pada 1997-1998, dipicu oleh tingginya nilai tukar dolar terhadap rupiah sehingga terjadi “boom udang”. Yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya “ledakan penduduk” akibat mobilitas etnik Bugis dalam membuka area tambak baru dikawasan tersebut. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari keberadaan beberapa perusahaan perikanan global yang telah beroperasi di sekitar kawasan Delta Mahakam jauh sebelum terjadinya “boomudang”. Tentu saja ini sebagai reaksi para pemilik modal atas

besarnya permintaan pasar global terhadap hasil perikanan (khususnya udang windu). Sebelum tahun 1980, kawasan hutan mangrove di Delta Mahakam nyaris masih belum terjamah oleh kegiatan eksploitasi pengembangan pertambakan. Meskipun pada 1974 telah berdiri cold storage, namun produksi perikanan multinasional tersebut masih mengandalkan hasil tangkapan nelayan-nelayan tradisional di kawasan tersebut. Besarnya permintaan pasar perikanan internasional, setidaknya telah memicu dilakukannya modernisasi dalam kegiatan perikanan tangkap, dengan introduksi penggunaan alat tangkap trawl (pukat harimau). Beriringan dengan kebijakan Orde Baru yang menekankan peningkatan produktifitas di berbagai sektor usaha. Meskipu keadaan tersebut mampu mendorong munculnya kelas entrepreneur lokal dalam sektor perikanan tangkap yaitu; ponggawa, namun keberadaan mereka masih sebatas sebagai suplayer, kepanjangan tangan dari eksportir.

Munculnya Inpres No. 11/ 1982, yang melarang penggunaan pukat harimau di seluruh Indonesia sejak 1Januari 1983, telah memicu diberlakukannya kebijakan lokal yang memberikan kompensasi pembukaan hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan pada para nelayan lokal dan masyarakat di sekitar kawasan Delta Mahakam. Di satu sisi kebijakan tersebut, dimaksudkan untuk mengantisipasi gejolak dalam masyarakat, pasca pelarangan trawl. Sementara disisi lainnya untuk

“mengamankan” kebijakan Pemerintah Pusat, sekaligus mendukung Program Udang Nasional. Kondisi tersebut mendukung pernyataan Mac Andrew (1986), yang menyebut kebijakan pertanahan di Indonesia sejak tahun 1980-an lebih ditujukan untuk memecahkan persoalan pertanahan yang menghambat pelaksanaan pembangunan.

Meskipun kebijakan pelarangan trawl yang diterapkan pemerintah, ternyata juga tidak dapat dilaksanakan secara efektif karena operasi kapal trawl masih tetap berjalan hingga saat ini, bersaing dengan nelayan-nelayan tangkap tradisional (kecil), akibat lemahnya pengawasan dari pihak-pihak terkait. Kondisi ini pada gilirannya akan semakin mempercepat pengurasan sumberdaya perikanan (over fishing) di sekitar kawasan Delta Mahakam, yang selanjutnya akan memaksa nelayan-nelayan lokal yang tidak mampu bersaing dengan nelayan-nelayan yang lebih modern untuk beralih profesi sebagai petambak atau setidaknya berprofesi rangkap sebagai petambak sekaligus nelayan tradisional untuk bisa tetap survive. Sebagian diantara mereka berhasil membudidayakan bibit udang yang diperoleh dari alam di dalam empang yang dibuat dengan sangat sederhana, sehingga menarik minat migran Bugis lainnya untuk ikut mencoba peruntungan. Sementara perusahaan cold storage melalui para ponggawa

yang sangat membutuhkan pasokan hasil perikanan yang berkelanjutan dan lebih banyak, mulai mengucurkan bantuan finansial pada para petambak tersebut untuk menjamin pasokan bahan baku udang segar.

Pentingnya nilai ekonomis hutan mangrove bagi peningkatan produksi perikanan perusahaan-perusahaan cold storage, telah menempatkan para ponggawa

memiliki nilai strategis dalam hubungan kerjasama yang terjalin, karena memiliki akses langsung dalam penguasaan sumberdaya agraria. Kepentingan yang sama, telah menjadikan para ponggawa yang memiliki kedekatan dengan penguasa lokal, sekaligus dengan perusahaan eksportir, mampu mendapatkan dana segar untuk melakukan kegiatan ekspansi bagi perluasan tambak-tambak mereka. Sebagian ponggawa

tersebut bahkan dengan mudah mendapatkan konsensi atas sejumlah area hutan mangrove yang sangat luas, yang pada saatnya akan didistribusikan pada para klien mereka untuk menjamin pasokan produksi. Dengan menggunakan hegemoni budaya dan sumberdaya yang dimilikinya para ponggawa semakin memperkokoh posisinya sebagai patron yang mampu mengontrol hasil produksi tambak yang sangat luas. Kelak akumulasi penguasaan alat produksi (lahan tambak) ini akan menjadi penjelas, mengapa perusahaan eksportir tidak mampu bersaing dengan para punggawa lokal.

Sejak 1990-an, para ponggawa bahkan mulai menggunakan excavator, menggantikan tenaga manual dalam pembukaan tambak. Pembukaan hutan mangrove secara besar-besaran untuk kegiatan pertambakan mencapai puncaknya ketika terjadi krisis ekonomi regional pada 1997-1998, dipicu oleh tingginya nilai tukar dolar terhadap

51

rupiah sehingga terjadi “boom udang”. Kondisi ini memicu terjadinya “ledakan

penduduk” di kawasan Delta Mahakam oleh para pendatang yang ingin mencoba peruntungan di sektor perikanan budidaya. Akibatnya konversi hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan mulai tidak terkendali, sementara semakin minimnya hutan mangrove yang dapat dikonversi menjadi tambak-tambak baru telah menyebabkan banyak area perkebunan kelapa dan pertanian produktif yang kemudian dialih-fungsikan manjadi area pertambakan.

Gambar 2. Sejarah Pertambakan di Delta Mahakam

Sumber: Bourgeois et al, 2002

Gambar 1. Sejarah Pertambakan di Kawasan Delta Mahakam

Sumber: Bourgeois et al, 2002

Dari Gambar 1. diatas, dapat dilihat bahwa sejarah kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam ternyata mengalami pertumbuhan yang berfluktuasi, namun secara aktual dapat dipastikan bahwa pertumbuhan kegiatan pertambakan akan selalu mengalami lonjakan ketika terjadi momentum penting terkait dengan faktor eksternal. Momentum penting pertama adalah terjadinya pelarangan trawl pada 1981, yang membuka peluang bagi terjadinya pembukaan area pertambakan oleh para nelayan di sekitar kawasan Delta Mahakam. Momentum kedua adalah mulai dilakukannya mekanisasi dalam pembuatan hamparan tambak-tambak baru menjelang tahun 1990, dengan memanfaatkan excavator. Dan ketiga, merupakan momentum terpenting atas terjadinya degradasi hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam, ketika masyarakat pendatang dari berbagai kalangan membuka tambak-tambak baru secara massal dan

massive, akibat “terprovokasi” harga udang yang melesat naik saat terjadi krisis

moneter pada 1997/ 1998. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa tempo pembukaan hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan pun, cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

2.3.1.2 Fenomena “Tragedy of The Common

Sumberdaya yang ada di Delta Mahakam sangat beragam. Sumberdaya tersebut berupa sumberdaya alam yang dapat diperbaharui maupun yang tak dapat diperbaharui. Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui meliputi sumberdaya non migas seperti, perikanan tangkap, perikanan budidaya, penangkapan benur, hingga beragam industri pengolahan perikanan tradisional, serta pembuatan atap nipah, pertanian, perkebunan kelapa dan kelapa sawit, sedangkan yang tidak dapat diperbaharui yakni migas dan batu bara. Tidak hanya itu, Delta Mahakam juga telah menjadi kawasan pemukiman yang cukup padat dan manjadi “urat nadi‟ transportasi sungai di Kalimantan Timur. Besarnya potensi sumberdaya alam yang dimiliki dan begitu beragamnya stakeholder yang memanfaatkan sumberdaya Delta Mahakam, telah menjadikan kawasan ini rentan terhadap perusakan dan konflik kepentingan.

Hasil penelitian Rachmawati Dkk (2003) mengungkapkan, bahwa pemanfaatan nipah, penangkapan benur dan perikanan tangkap di Kecamatan Anggana dan Muara Jawa saja, setidaknya memiliki nilai ekonomi sebesar 37.111.526.045 (US$ 4,123,503). Tingginya nilai ekonomi mangrove di kawasan Delta Mahakam inilah yang kemudian memicu terjadinya “pengurasan sumberdaya”, akibat pemanfaatan sumberdaya yang tidak berkelanjutan.

Tabel 2. Nilai Ekonomi Pemanfaatan Mangrove di Kawasan Delta Mahakam

Pemanfaatan Mangrove Pendapatan Biaya (Rp) Net Benefit (Rp) Net Benefit (US$)

Atap Nipah (1) 7.114.021.953 6.118.058.880 995.963.073 110,663 Penangkapan benur (2) 6.759.235.000 1.641.524.118 5.117.710.882 568,635 Perikanan Tangkap (3) 80.464.643.372 49.466.791.282 30.997.852.090 3,444,206 Tambak (4) 95.647.103.353 75.032.387.823 20.614.715.530 2,290,524 Total (1+2+3) 37.111.526.045 4,123,503 Total (1+2+3+4) 16.496.810.515 1,832,979 Sumber: Rachmawati Dkk, 2003

Catatan: Lokasi Kecamatan Anggana dan Muara Jawa

Kerusakan lingkungan hidup akibat aktifitas manusia ataupun perusahaan disekitar kawasan Delta Mahakam terjadi sepanjang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang beragam tersebut dilakukan secara eksploitatif tanpa memperhitungkan ambang batas daya dukung (carrying capacity). Tekanan ekologis yang begitu hebat telah menyebabkan kawasan yang dulunya memiliki tegakan hutan mangrove yang sangat lebat dan luas ini, menjadi terdegradasi dengan cepat. Tingginya angka deforestasi mangrove berimplikasi pada permasalahan fisik, ekologi dan lingkungan, seperti kerusakan tekstur, dan struktur tanah, erosi, abrasi, sedimentasi, dan pencemaran air serta penurunan keanekaragaman hayati. Perlakuan eksploitatif tersebut, menariknya cenderung terjadi dalam pengelolaan atau pemanfaatan sumberdaya alam yang termasuk kategori “milik bersama” (common property

53

resources), seperti laut lepas, danau, rawa-rawa, sungai, padang pengembalaan, hutan belantara, bahkan hutan mangrove disekitar kawasan pesisir; seperti yang terjadi di kawasan Delta Mahakam. Tindakan eksploitatif tersebut menurut Hardin (1968), akan melahirkan suatu situasi yang disebutnya tragedy of the commons.

Menurut Korten (1987; 1993), tindakan eksploitasi terhadap sumberdaya sesungguhnya berpangkal dari paradigma yang sangat materialistik, dimana prinsip maksimasi (maximization) dijadikan patokan dasar dalam memandang dan menentukan mode pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang semata-mata direduksi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah terjadinya degradasi ekologi, marjinalisasi peran komunitas lokal bahkan pengingkaran terhadap kompetensi mereka dalam mengelola sumberdaya secara lestari.

Degradasi ekosistem mangrove yang terjadi di kawasan Delta Mahakam, selanjutnya membawa dampak atas terjadinya penurunan produktifitas tambak, munculnya berbagai wabah penyakit yang menyerang udang, semakin sulitnya bibit udang alam diperoleh, terjadinya abrasi pantai dan sedimentasi yang semakin meluas, serta hilangnya sumber-sumber mata air bersih. Akumulasi keadaan di atas disatu sisi telah menyebabkan perusahaan-perusahaan eksportir kesulitan memperoleh pasokan bahan baku (udang segar), sehingga terjadi pelumpuhan produksi, hingga memaksa mereka untuk “meninggalkan” kawasan Delta Mahakam karena kolaps, sehingga membuka peluang terjadinya take over atas perusahaan-perusahaan tersebut oleh

ponggawa yang sebelumnya menjadi klien mereka. Sementera di sisi yang lain, keadaan tersebut juga berimbas pada kualitas dan kuantitas produksi udang yang cenderung menurun, sehingga menyebabkan banyak area pertambakan terlantar, karena tidak dikelola secara baik, bahkan ditinggalkan oleh pemiliknya.