• Tidak ada hasil yang ditemukan

13 sitem dagang,

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Hipotesa Pengarah

Meskipun penelitian ini tidak dimaksudkan untuk melakukan verifikasi atas suatu teori maupun hipotesa pengarah yang dapat berfungsi sebagai guide kemungkinan arah penelitian dan sama sekali tidak mengikat. Hipotesa pengarah yang dirumuskan bersifat fleksibel, longgar dan terbuka untuk dilakukan perubahan-perubahan bahkan penggantian sesuai dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan. Karena hipotesa pengarah tidak terlepas dari pertanyaan-pertanyaan penelitian, maka hipotesa pengarah dalam penelitian ini merupakan penjabaran dari pertanyaan penelitian.

1. Terbentuknya Ekonomi Lokal pada Masyarakat Bugis di Delta Mahakam

Secara laten, diduga masyarakat di kawasan Delta Mahakam meskipun didominasi etnis Bugis, namun diantara mereka membedakan penduduk lokal (asli) sebagai keturunan Bugis ataupun Kutai, Tidung, Bajo, Banjar dan Jawa yang lahir di kawasan tersebut dengan penduduk pendatang yang berasal dari luar kawasan Delta Mahakam. Berbeda dengan kawasan mainland Kalimantan yang cenderung heterogen, penduduk di pulau-pulau dalam kawasan Delta Mahakam cenderung lebih homogen dengan mayoritas beretnis Bugis. Struktur sosial masyarakat Bugis di Delta Mahakam secara keseluruhan, diduga pada awalnya hanya mencakup dua golongan sosial yang dapat diidentifikasi sebagai elit dan non-elit sosial tradisional. Elit sosial tradisional lokal (asli) yang menetap di kawasan Delta Mahakam, diduga selain memiliki akses yang lebih kuat dalam bidang politik, juga memiliki akses yang luas terhadap sumberdaya agraria. Sedangkan non elit cenderung hanya memiliki akses terbatas terhadap sumberdaya agraria untuk kegiatan perkebunan dan perladangan berpindah.

71

Hal ini diduga berbeda dengan non elit dari penduduk lokal (asli) maupun pendatang yang berdomisili di pulau-pulau dalam kawasan Delta Mahakam, mereka memiliki akses yang sama dengan elit sosial tradisional lokal (asli) dalam penguasaan sumberdaya agraria, dikarenakan minimnya jumlah penduduk, keterisoliran dan kurang suburnya lahan garapan untuk kegiatan pertanian. Peluang inilah yang diduga dimanfaatkan pendatang Bugis dari golongan non elit untuk menguasai hamparan hutan mangrove yang akan dikonversi menjadi area pertambakan pasca pelarangan trawl pada 1983. Besar dugaan, para petambak inilah yang kelak berhasil melakukan mobilitas vertikal menjadi ponggawa-ponggawa pertambakan yang sukses (elit ekonomi lokal), sehingga terbentuk kelas menengah baru. Diduga dengan kemampuan penetrasi kapital, hegemoni dalam jaringan patronase dan didukung kedekatan emosional dengan otoritas lokal, mereka bahkan mampu menguasai hamparan tambak yang luas untuk menggerakkan kegiatan ekonomi lokal. Beriringan dengan beroperasinya industri perikanan skala ekspor yang mereka bangun. 2. Pengaruh Ekonomi Lokal terhadap Perubahan Landscape Ekologi Lokal

Konversi hutan mangrove secara besar-besaran untuk kegiatan pertambakan diduga dipicu oleh tingginya nilai tukar dolar terhadap rupiah pasca krisis ekonomi 1997/ 1998, sehingga mendorong terjadinya “boom udang”. Kondisi

tersebut, diduga kuat tidak hanya memicu terjadinya “ledakan penduduk” di kawasan Delta Mahakam oleh para pendatang yang ingin mencoba peruntungan di sektor perikanan budidaya. Namun juga mendorong berlangsungnya kapitalisasi di sektor pertambakan, akibat terjadinya akumulasi penguasaan alat produksi dan kapital oleh para ponggawa. Sementara konversi hutan mangrove yang semakin tidak terkendali diduga keras telah merubah

landscape ekologi lokal, seiring dengan “ketidakhadiran negara” atas pendistribusian dan penguasaan hutan mangrove pada pihak-pihak tertentu oleh otoritas lokal.

3. Wujud Kapitalisasi Pertambakan yang Mampu Mendorong Pembentukan Ekonomi Lokal dan Bagaimana Proses Ini Mengalami Reproduksi Berulang Kemunculan golongan pengusaha lokal dalam kegiatan pertambakan yang mampu mendorong terbentuknya ekonomi lokal di kawasan Delta Mahakam, diduga bukan merupakan hasil rekayasa sosial pemerintahan yang berkuasa. Diduga kuat pemerintah tidak memiliki kebijakan yang stretegis dan konkret dalam mengembangkan kegiatan pertambakan yang mampu menopang beroperasinya industri perikanan di kawasan Delta Mahakam, seperti memberikan insentif dengan melakukan perbaikan infrastruktur dan

mengembangkan research development terkait peningkatan daya saing produksi, berikut nilai tambahnya. Kondisi ini diduga tidak hanya terkait dengan tidak normalnya fungsi regulasi pertanahan di gray area (KBK-KBNK), ketika regulasi pertanahan yang sampai pada aparatur pemerintahan di aras lokal mengalami transformasi subjektif, sehingga ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan dan persepsi parapihak yang terbungkus kepentingan pragmatis. Namun juga dikarenakan tidak adanya political will, keberpihakan pemerintah atas pertumbuhan pengusaha lokal. Kuat dugaan, “absennya negara” memberikan keleluasaan bagi para ponggawa untuk lebih ekspansif dalam mengembangkan usaha pertambakannya. Dan pada akhirnya pemahaman seperti itu diduga terus direproduksi secara berulang, sepanjang dianggap “aman dan menguntungkan” mereka yang bertransaksi, sebagai bentuk pensiasatan ketidakpastian penyelenggaraan hukum atas tanah-tanah negara yang sangat potensial ini.

4. Keberlanjutan Proses Kapitalisasi Pertambakan dalam Kelangkaan Sumberdaya Kelangkaan sumberdaya alam dan resiko dari kegiatan pertambakan yang dibangun diatas tanah-tanah negara diduga telah memaksa para ponggawa

untuk bersikap protektif terhadap segala kemungkinan yang dapat “mengganggu” kepentingan usahnya. Pilihan yang dianggap strategis diduga adalah dengan melakukan koalisi dengan “kekuasaan” yang dianggap mampu memberikan jaminan bagi keberlanjutan kegiatan usahanya atau dengan membangun citra sebagai pengusaha “merakyat” dengan banyak pengikut, sehingga diperoleh “proteksi” dari sistem keamanan sosial yang terbangun. Jika tidak, diduga mereka harus menyiapkan diri untuk melakukan ekstensifikasi usaha diluar kegiatan pertambakan, selain melakukan ekspansi kegiatan usaha diluar sektor perikanan, mengembangkan usaha pertambakan di luar kawasan Delta Mahakam atau terlibat dalam dunia politik praktis.

5. Sistem Sosial Yang Terbentuk, Seiring Berkembangnya Ekonomi Lokal

Formasi sosial di kawasan Delta Mahakam yang berlangsung sejak berkembangnya industri perikanan diduga adalah formasi sosial kapitalis, meskipun juga memiliki kesesuaian dengan formasi komersialis/ ekonomi pasar, sehingga formasi sosial yang mewujud, menunjukkan ciri-ciri sistem ekonomi hibrid yaitu sistem ekonomi khas lokal. Para pengusaha perikanan lokal (ponggawa) diduga melanggengkan hubungan patron-klien sebagai salah satu strategi “social security” atas keberlangsungan moda produksi dalam kegiatan

pertambakan yang menggerakan pertumbuhan ekonomi lokal. Diduga dengan penguasaan alat produksi dan kapital yang kuat, pengusaha lokal (ponggawa)

73

memiliki posisi tawar yang lebih tinggi terhadap kekuasaan, sehingga golongan ini tidak hanya tampil sebagai kelas menengah tersendiri di antara kelas penguasa dan kelas kapitalis lokal lainnya, mereka bahkan ada yang mampu tampil setara dengan penguasa dan kelas kapitalis utama di aras regional. Meskipun pemerintah diduga memainkan peranan yang kurang menentukan dalam proses kemunculan sosial golongan pengusaha perikanan (ponggawa), namun dalam kelangsungannya sebagai kelas yang mandiri, eksistensi usaha mereka turut ditentukan dukungan pemerintah.