• Tidak ada hasil yang ditemukan

13 sitem dagang,

II. TINJAUAN TEORITIS

2.2 Kebudayaan dan Kekuasaan

2.2.2 Karakter Sosio-Kultural Orang Bugis

2.2.2.5 Jaringan Modal

Hubungan patron-klien merupakan ikatan yang sangat penting di dalam masyarakat Asia Tenggara pada umumnya (Scott dan Kerkvliet, 1977), sebagai unsur kunci dalam masyarakat Bugis dan Makassar pada khususnya (Acciaioli, 1989). Dengan pengertian bahwa ikatan-ikatan tersebut ditujukan “untuk memastikan bahwa mereka yang hidup dibawah akan dipenuhi kebutuhan dasarnya, termasuk akses untuk mendapatkan tanah, sambil menawarkan kepada yang diatas akan ketersediaan pengikut yang diperlukan sebagai modal material (seperti; petambak atau penjaga empang), yang dimanfaatkan untuk ketahanan ekonomi maupun sebagai modal simbolik (sebagai pengikut) yang dipamerkan pada kesempatan khusus atau upacara- upacara perayaan” (Acciaioli, 1989).

Menurut Vayda dan Sahur (1996), masyarakat Bugis menggunakan hubungan pemimpin-pengikut (patron-clients), bertindak tidak sebagai majikan yang berhadapan dengan para pegawai yang digaji seperti dijabarkan dalam sistem kapitalis. Karena mereka lebih bersikap sebagai kepala keluarga tradisional yang terus menolong menutupi kebutuhan para pekerja, seperti membayar biaya keperluan darurat dan beberapa biaya lain untuk memenuhi kewajiban upacara adat. Namun demikian, hubungan patron-clients yang terjadi dalam kegiatan pertambakan di Kawasan Delta Mahakam, secara fungsional telah mengalami pergeseran. Para ponggawa tidak hanya memposisikan dirinya sebagai kepala keluarga tradisional seperti dituturkan Vayda dan Sahur, tapi juga sebagai produsen yang “memaksa” petambak-petambak yang terikat padanya serta para penjaga empang miliknya untuk dapat memberikan kepastian pasokan udang yang dibutuhkan pasar (Lenggono, 2004). Hal ini dilakukan untuk menjaga eksistensi kegiatan usahanya, yang selalu menghadapi persaingan dengan

41

hutang dari pihak perusahaan eksportir atau bank – dengan pinjaman pada para petambak/ penjaga empang yang menjadi kliennya.

Bagi sebagian besar petambak, hampir tidak ada pilihan yang lebih baik, selain meminjam modal pada ponggawa yang telah mereka kenal untuk menutupi besarnya biaya yang harus dikeluarkan serta resiko yang harus ditanggung dalam pembuatan tambak baru. Seorang petambak pemula yang kurang siap secara financial maupun

skill, akan lebih memilih untuk mendapatkan pinjaman modal yang prosesnya tidak rumit dengan pola pengembalian yang tidak membebani dalam menggarap tambak miliknya. Pilihan tersebut juga akan ditentukan oleh banyaknya referensi dan hubungan baik yang dimilikinya dengan sang pemilik modal yaitu ponggawa, yang selanjutnya akan menjadi

patron bagi kehidupan sosio-ekonomi keluarganya.

Dalam sistem pengusahaan tambak seorang ponggawa akan membiayai kegiatan operasional tambak client-nya, berupa modal pembukaan dan perawatan, berikut suplai benur, pupuk dan racun yang diberikan sampai panen berhasil. Sebagai imbalannya, petambak (client) harus menjual hasil panen tambaknya kepada ponggawa

yang telah memberikan modal usaha dalam pembukaan lahan tambak tersebut.

Ponggawa juga akan berperan sebagai “pelindung” bagi keamanan dan permodalan

usaha tambak dari petambak yang menjadi bawahannya. Sementara petambak akan berperan sebagai “pelayan” yang akan menyediakan suplai udang kepada ponggawa

yang memodalinya (PKSPL-IPB, 2002).

Sebagian besar komunitas petambak di Kawasan Delta Mahakam memiliki pola yang hampir seragam dalam memasarkan hasil perikanannya, yaitu langsung dijual pada ponggawa yang menjadi patron-nya masing-masing. Namun ada juga petambak atau nelayan yang memasarkan hasil tambaknya langsung pada perusahaan eksportir karena tidak terikat hutang dengan ponggawa ataupun di jual ke pasar lokal melalui penyambang, meskipun prosentasi mereka relatif sedikit. Perusahaan eksportir sering memberikan komisi berupa pemberian es batu untuk penyegar produk perikanan secara cuma-cuma, bahkan kemudahan bantuan modal pada ponggawa dan petambak yang telah menjual langsung dalam jumlah besar hasil tambaknya pada mereka.

Meskipun tidak ada sanksi tertulis namun ada sanksi moral yang telah menjadi kesepakatan bersama, yakni; bagi petambak atau nelayan yang terikat hutang pada seorang ponggawa tapi menjual hasil tambaknya langsung pada perusahaan eksportir atau ponggawa lainnya akan dikenakan sanksi pemutusan hubungan kerja sama dengan kewajiban melunasi hutangnya sekaligus dan tidak akan pernah mendapatkan bantuan lagi, bahkan dikucilkan dari kelompok ponggawa bersangkutan. Dalam konteks tersebut sering siri‟ dan passe‟ yang melekat dalam budaya Bugis berlaku mengikat

para anggota kelompok sosial (patron-client), sebagai bentuk solidaritas sosial yang mampu menjadi motif penggerak kehidupan sosial dan ketahanan ekonomi.

Seorang petambak atau penjaga empang juga dapat meminjam uang kepada

ponggawa-nya bila mereka mempunyai kebutuhan lain yang mendesak, pinjaman

tersebut akan diberikan tanpa agunan dan bunga maupun prosedur formal lainnya. Berbagai kemudahan yang diperoleh semakin melanggengkan kekuasaan ponggawa

atas petambak-petambak di Delta Mahakam, yang semakin tergantung pada mekanisme kredit sangat lunak tapi mengikat tersebut. Meskipun terdapat beberapa pilihan untuk mendapatkan pinjaman modal dalam pembuatan dan pengelolaan tambak yang dimilikinya, seorang petambak akan bersikap lebih realistis bahkan ekstra hati-hati dalam memanfaatkan beragam pilihan yang ada. Kalupun ada petambak yang berhasil mendapatkan pinjaman dari bank atau perusahanan eksportir untuk memenuhi kebutuhan modal dalam mengelola tambak, sangatlah sedikit jumlahnya. Mereka biasanya petambak yang telah lepas dari cengkraman hutang para ponggawa atau petambak yang memiliki relationships, skill dan barang agunan yang memadai, karena rumitnya prosedur birokrasi peminjaman modal usaha di bank serta sulitnya mengakses fasilitas yang disediakan oleh perusahaan eksportir. Kondisi ini menyebabkan kemudahan yang ditawarkan oleh bank ataupun perusahaan eksportir lebih sering di manfaatkan oleh para ponggawa besar.

Hubungan kerja pada komunitas petambak biasanya berlaku sistem bagi hasil 3:1, artinya tiga bagian hasil panen untuk pemilik tambak dan 1 (satu) bagian untuk penjaga empang setelah dikurangi biaya produksi. Namun ada pula yang menggunakan sistem bagi hasil 75% untuk pemilik tambak dan 25% untuk penjaga empang yang memenuhi sendiri kebutuhan hidupnya, itupun setelah dipotong biaya produksi atau 80% untuk pemilik tambak dan 20% untuk penjaga empang yang kebutuhan hidupnya dipenuhi oleh pemilik tambak, setelah dipotong biaya produksi. Pemenuhan kebutuhan hidup penjaga empang biasanya dicukupi oleh pemilik tambak, sedangkan kebutuhan modal operasional akan dipenuhi oleh ponggawa yang menjadi patronnya, selanjutnya untuk sebuah kebutuhan yang tidak sanggup dipenuhinya; seorang ponggawa akan meminta bantuan pada ponggawa yang lebih besar atau pada perusahaan eksportir dengan sebuah kesepakatan yang berujung pada penyerahan sepenuhnya hasil tambak kepada pemberi pinjaman modal (Lenggono, 2004). Dalam banyak kasus; seorang petambak yang memiliki hubungan baik dengan perusahaan eksportir, dapat langsung memperoleh bantuan modal bagi kegiatan usahanya dan mendapat selisih keuntungan yang lebih baik karena menjual hasil produksi tambaknya langsung pada perusahaan tersebut dibandingkan melalui perantaraan ponggawa.

43