• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasca Kemerdekaan : Totalitas ”Hak Menguasai Negara”

Kota Bontang sebagai penghasil LNG terbesar di dunia yang basis ekonominya banyak digerakkan oleh industri pengolahan LNG (mulai berproduksi awal 1980-an),

4.3 Penguasaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Agraria

4.3.2 Pasca Kemerdekaan : Totalitas ”Hak Menguasai Negara”

Setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, daerah-daerah Swapraja warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda dan pemerintah pendudukan Jepang, masih mendapatkan tempat di dalam UUD 1945. Di dalam Bab IV, Pasal 18 disebutkan bahwa; ”Pembagian daerah Indonesia atas dasar besar dan kecil,

dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dan sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Berdasarkan ketentuan tersebut, semua daerah Swapraja yang belum/ tidak dihapuskan oleh pemerintah pendudukan Jepang, dianggap tetap berlangsung berikut peraturannya.

Pemerintah kolonial Belanda dalam usahanya untuk mengembalikan sistem penjajahannya di Indonesia, melakukan berbagai macam upaya, baik dengan aksi-aksi militer maupun politik memecah belah. Van Mook melalui konfrensi Malino (Juli 1946), Pangkal Pinang (Oktober 1946) dan Denpasar (Desember 1946), berhasil membentuk negara-negara boneka, termasuk Negara Federasi Kalimantan Timur (FKT) melalui wadah Dewan Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur (DGKKT). Dewan ini terdiri dari Swapraja Kutai, Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Neo Swapraja Pasir, dengan Aji Muhammad Parikesit (Sultan Kutai Kartanegara) sebagai ketua eksekutifnya. Sedangkan pelaksana pemerintahan harian dibentuk Bestuurcollege yang diketuai Aji Raden Afloes. Negara Federasi Kalimantan Timur ini kemudian diresmikan oleh Letnan Gubernur Jenderal Van Mook pada September 1947.

Sampai dengan pengakuaan kedaulatan bangsa Indonesia oleh Belanda, sebagian besar masyarakat Kalimantan Timur yang berjiwa “Republiken”, tidak pernah

115

mendukung berdirinya Federasi Kalimantan Timur yang dianggap menghianati proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pemerintahan Belanda di Kalimantan Timur sendiri mulai berakhir setelah Hollestelle (residen Kalimantan Timur terakhir) menyerahkan kekuasaannya pada Aji Raden Afloes sebagai wakil Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Meskipun demikian secara de facto Federasi Kalimantan Timur, masih tetap eksis menguasai pemerintahan Kalimantan Timur.

Pada masa-masa transisi tersebut, Kerajaan Kutai Kartanegara kembali turut ambil bagian dalam usaha pembentukan Negara Kalimantan, sebagai usaha untuk memperpanjang usia keswaprajaan mereka (panitia pembentukannya diketuai A.P. Kartanegara, adik Sultan Kutai Kartanegara). Kondisi ini menyulut ”kemarahan” dari sejumlah organisasi kemasyarakatan Kalimantan Timur yang menuntut dihapusnya swapraja dan digabungkannya Federasi Kalimantan Timur menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia. Tuntutan tersebut berhasil memaksa Dewan Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur (DGKKT), untuk menyetujui penggabungan daerah Kalimantan Timur ke dalam NKRI, hingga dikeluarkannya Keppres RIS No. 127 tahun 1950 pada 24 Maret 1950 yang menandai penghapusan Federasi Kalimantan Timur. Meskipun demikian, penguasa tradisional di wilayah ini yang terdiri atas empat kesultanan masih tetap diakui, sesuai Surat Keputusan Mendagri No. 186/ OPB/ 92/ 14 tertanggal 29 Juni 1950, tentang pembentukan Daerah Istimewa/ Swapraja Kutai, Bulungan dan Berau (meliputi Kesultanan Sambaliung dan Gunung Tabur).

Sejak saat itu, Sultan Kutai menjadi Kepala Daerah Istimewa Kutai (setingkat daerah kabupaten), semantara ibukotanya dipindahkan dari Tenggarong ke Samarinda, sebelum kembali dipindahkan ke Tenggarong melalui sebuah resolusi yang dikeluarkan DPRD Peralihan pada 1957. Di dalam status keswaprajaannya, pada 1 Oktober 1953 pemerintah Daerah Istimewa Kutai masih sempat mengeluarkan peraturan mengenai tata cara pinjam sewa tanah di dalam wilayah Swapraja Kutai. Pada periode ini, juga ditandai dengan maraknya kegiatan penyelundupan oleh kapal-kapal Bugis dari Tawau (Malaysia) ke kota-kota di pantai timur Kalimantan (khususnya ke Tarakan dan Samarinda) dengan menggunakan jalur perairan kawasan Delta Mahakam yang terlindung. Para penyelundup membawa peralatan rumah tangga, pecah-belah, pakaian, barang-barang elektronik, makanan kaleng hingga bawang putih. Sementara dari kawasan ini mereka mengangkut lada, karet, kelapa, produk hutan dan perikanan. Sejak masa perang revolusi, Delta Mahakam juga menjadi salah satu tempat persembunyian para pejuang kemerdekaan (Levang 2002). Kawasan ini pun dilaporkan pernah menjadi basis perompakan kapal-kapal dagang yang keluar-masuk Sungai Mahakam.

Praktis sejak 1950, kawasan Delta Mahakam yang termasuk dalam Daerah Istimewa Kutai seolah-olah kembali ke masa kesultanan, karena diperintah secara

tunggal. Sampai diundangkannya UU No. 27 Tahun 1959, ketika Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi tiga Daerah Swatantra Biasa, yaitu Daerah Tingkat II Kutai, Kotapraja Samarinda dan Balikpapan. UU ini sekaligus menghapus keberadaan tiga Daerah Istimewa/ Kesultanan yang ada di Kalimantan Timur, mengingat tidak disebutnya status Daerah Istimewa Kutai, Bulungan dan Berau di dalamnya. Realisasi penghapusan Daerah Swapraja/ Istimewa Kutai secara formal, dilakukan pada 20 Januari 1960, ketika Kepala Daerah Tingkat II Kutai pertama dilantik di Samarinda oleh Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Timur. Peristiwa tersebut menjadi penutup sejarah pemerintahan Kerajaan Kutai Kartanegara yang telah berusia + 660 tahun. Sekaligus membawa konsekuensi beralihnya kewenangan memungut royalti kegiatan pertambangan dan pajak kegiatan ekonomi ke tangan Pemerintah Pusat.

Sejak saat itu, hukum pertanahan di Kutai Kartanegara mengacu kembali pada rumusan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, bahwa; ”Bumi, air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya

untuk kemakmuran rakyat”. Konsepsi inilah yang kemudian disebut sebagai Hak Menguasai Negara, yang menjadi dasar perumusan UUPA 1960. Di dalam kebijakan pertanahan, “Hak Menguasai Tanah” menjadi hak tertinggi yang dikenakan terhadap tanah melebihi hak apapun, termasuk hak milik. UUPA memberi kewenangan yang kuat dan sangat luas pada Negara melalui ”Hak Menguasai Negara”, seperti dinyatakan UUPA. Meskipun telah menghapuskan asas domein, UUPA masih memberikan kekuasaan yang besar dan wewenang yang sangat luas bagi Negara untuk mengatur alokasi atas sumber-sumber agraria. Akibatnya eksistensi hak-hak rakyat atas sumberdaya agraria dan kebijaksanaan alokasi sumberdaya alam menjadi sangat tergantung pada suasana politik-hukum dan kepentingan Negara (kekuasaan).

Panasnya situasi politik pada dasawarsa 1960-an di Indonesia, ternyata juga mengimbas pada kehidupan politik dan pemerintahan di Kalimantan timur. Panglima Komando Daerah Militer IX/ Mulawarman, sebagai pemilik otoritas tertinggi pada masa darurat perang di Propinsi Kalimantan Timur, melakukan banyak intervensi terhadap kegiatan pemerintahan daerah. Pada masa itu banyak pejabat daerah yang berseberangan dengan kebijakan Penguasa Perang Daerah (Peperda) dijebloskan ke rumah tahanan, diantaranya adalah Bupati Kutai pertama, Aji Raden Padmo beserta keluarganya yang dituduh bekerjasama dengan subversif asing. Sikap Suhardjo sebagai Panglima Komando Daerah Militer IX/ Mulawarman yang anti feodalisme tersebut, dimanfaatkan oleh Front Nasionalis yang berhasil mengorganisir massa untuk melakukan penghancuran terhadap Keraton Kutai di Tenggarong. Akibatnya sebagian besar patung-lambang kesultanan, gambar-gambar sultan beserta pakaian-pakaian kebesarannya dibakar, tiang bendera kerajaan yang tingginya 30 meter ikut dirobohkan

117

(Soetoen, 1975). Peristiwa pengganyangan terhadap feodalisme ini, berlangsung berbarengan dengan aksi konfrontasi dengan Malaysia.

Masyarakat melalui penguasa-penguasa setempat seperti camat dan petinggi/ kepala kampung pun diwajibkan mengerahkan funds and forces-nya, untuk mensukseskan jalannya revolusi. Seperti menyediakan alat-alat pengangkutan, tenaga, serta kesediaan untuk selalu menghadiri rapat-rapat raksasa/ akbar, ceramah- ceramah/indoktrinisasi dan seterusnya. Di bidang administrasi kedaerahan banyak ditunjuk pemimpin-pemimpin yang lebih banyak menonjolkan kekerasan dan kekuasaan daripada kebijakan yang berdasarkan hukum, kebijakan pertanahan pun mengalami couptasi. Menurut Soetoen (1975), “pada masa itu seorang bupati dapat diperintah oleh seorang sersan, demikian juga seorang camat yang tidak mampu melaksanakan tugas revolusi dapat diganti begitu saja”.

Baru pada 1967 ketika rezim Orde Baru berkuasa, kondisi pemerintahan di Kabupaten Kutai mulai berjalan lebih kondusif. Pada masa tersebut muncul gagasan pemekaran wilayah, untuk mengantasipasi sulitnya pelaksanaan pembangunan, serta pengawasan dan pembinaan daerah, akibat luasnya wilayah Kebupaten Kutai. Berdasarkan resolusi DPRGR bernomor 5/ Res/ DPRGR/ KK/ 1967, Kabupaten Kutai pernah diwacanakan dibagi menjadi tiga, Kabupaten Kutai (induk) dengan ibukota Tenggarong, Kabupaten Ulu Mahakam dengan ibukota Barong Tongkok dan Kabupaten Pantai yang wilayahnya meliputi kawasan Delta Mahakam dengan ibukota Samboja. Meskipun gagasan tersebut dimentahkan Gubernur Kalimantan Timur yang waktu itu baru dijabat A. Wahab Syahranie, yang lebih memilih mengoptimalkan peranan daerah Kotamadya Samarinda dan Balikpapan, sehingga dapat melaksanakan otonomi seluas- luasnya sesuai Tap MPRS No. XXI/ MPRS/ 1966. Namun ide tersebut hingga saat ini masih terus ”berkobar”, mewujud dalam tuntutan pemekaran Kabupaten Kutai Pantai yang wilayahnya juga meliputi sebagian besar kawasan Delta Mahakam.

Atas dasar pengoptimalan peranan daerah Kotamadya Samarinda dan Balikpapan, dikeluarkanlah SK Gubernur Kalimantan Timur No. 55/ TH-Pem/ SK/ 1969, tentang Penyempurnaan dan Penegasan SK Gubernur Kalimantan Timur No. 18/ TH- Pem/ SK/ 1969, mengenai penetapan batas dan luas daerah Kotamadya Samarinda dan Balikpapan. Sejak saat itu wilayah Kabupaten Kutai seluas 2.947 Km², yang meliputi; Kecamatan Palaran, Kecamatan Sanga-Sanga dan sebagian Kecamatan Samboja, serta Kecamatan Muara Jawa yang wilayahnya melingkupi sebagian kawasan Delta Mahakam, diserahkan pada Pemerintah Kotamadya Samarinda. Artinya, kawasan Delta Mahakam secara administratif pernah berada di bawah dua otoritas pemerintahan, yaitu Kabupaten Kutai dan Kotamadya Samarinda, sebelum dikembalikan lagi ke Kabupaten Kutai pada 1987, sesuai PP No. 21 tahun 1987.

Sementara di level pusat, pemerintahan Orde Baru “dipusingkan” oleh tingkat inflasi yang sangat tinggi dan hutang luar negeri yang amat besar. Keadaan ini sangat menghambat pelaksaanaan Tap MPRS No. XXIII/ MPRS/ 1966, yang mengamanatkan pembaharuan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan, akibat keterbatasan dana, pengalaman dan penguasaan teknologi untuk menggali dan mengolah sumber- sumber ekonomi potensial yang dimiliki negara. Salah satu tindakan pertama pemerintahan Orde Baru adalah membuka lebar-lebar semua pintu ke dunia Barat, tidak hanya ke negara-negara Eropa tetapi juga ke Amerika dan Jepang. Pemerintah menempuh cara pemanfaatan modal, teknologi dan pengalaman luar negeri, dengan menetapkan UU No. 1 tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing. Untuk lebih menarik penanam modal asing undang-undang ini juga memuat ketentuan tentang pembebasan lahan, serta kelonggaran perpajakan dan fasilitas lainnya, yang diharapkan mampu mengundang secara besar-besaran penanaman modal besar, baik modal asing maupun dalam negeri. Selanjutnya melalui instrumen UU No. 5 Tahun 1967, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, penguasaan dan prosedur pengelolaan hutan pun diatur secara tegas oleh negara. Unifikasi hukum nasional ini memliki arti strategis dalam mengamankan kepentingan negara dan para pemodal besar, seperti diamanatkan UU No. 1 tahun 1967, karena akan menggantikan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, yang sebagian besar berasal dari zaman kolonialisme Belanda dan feodalisme lokal yang beranekaragam coraknya.

Hasilnya seperti yang diharapkan pemerintah, sebuah konsorsium internasional (baca: IGGI) menyetujui penangguhan pembayaran hutang dan nilai rupiah dapat distabilkan dengan mengaitkannya dengan dollar AS. Sebagai gantinya, sebagian besar milik asing yang disita pada 1957 sedikit demi sedikit dikembalikan kepada pemiliknya dan konsesi-konsesi baru diberikan, khususnya konsesi minyak bumi dan kehutanan (Lombard, 2005). Yang datang mengalir tidak hanya modal, tetapi juga para ahli yang kini bersifat “internasional”. Sementara konfrontasi dengan Malaysia segera dihentikan dan Indonesia menjadi anggota ASEAN, pengelompokan negara-negara pro-Barat.

Berbagai prakondisi „pembangunanisme‟ ekonomi politik Orde Baru tersebut menurut Damanhuri (2009), dilatarbelakangi oleh beberapa tesis berikut; pertama, memberikan prioritas utama untuk pencapaian target pertumbuhan ekonomi tinggi, yang dalam penafsiran dan implementasinya diserahkan pada beberapa tim khusus ekonomi (Tim Widjojo, Tim CSIS, Tim Sumarlin dan Tim Habibie), yang secara teknokratis menempatkan aliran modal Barat dan Jepang dalam rangka industrialisasi subtitusi import (ISI) maupun promosi ekspor (IPE). Kedua, membangun setting politik yang menempatkan presiden, ABRI, birokrasi dan Golkar, sebagai pencipta stabilitas politik yang monolitik untuk mendukung at-all-cost suksesnya program-program ekonomi.

119

Ketiga, menempatkan target spesifik swasembada beras dengan memanfaatkan

gelombang “revolusi hijau”, sebagai penyangga dasar terciptanya stabilitas ekonomi politik. Keempat, memberikan fasilitas dan perlindungan tarif maupun non tarif kepada kelompok big-businnes (konglomerasi) yang diasumsikan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi. Dan kelima, memilih langka represi politik dan militer dalam menghadapi setiap halangan, gangguan dan ancaman terhadap semua instrumen ekonomi dan politik yang tercipta.

Di dalam prakteknya keberadaan UU No. 5 Tahun 1967, telah menyebabkan pemerintah daerah di Kalimantan Timur menikmati desentralisasi kewenangan pengelolaan hutan. Kala itu peraturan perundangan membolehkan Gubernur dan Bupati menerbitkan konsesi kayu dengan luas tidak melebihi 5.000 Ha. Sementara pemerintah pusat berwenang menerbitkan konsesi dengan luas 5.000 Ha s/d 10.000 Ha. Karena prosedur untuk mendapatkan konsesi hutan dari pemerintah pusat lebih sulit daripada yang diberikan oleh Gubernur atau Bupati, dalam prakteknya kegiatan penebangan kayu lebih banyak yang menggunakan izin dari pemerintah daerah (Simarmata, 2008). Besarnya skala penebangan kayu melalui skema ini tidak lepas dari banyaknya penyimpangan dalam prakteknya. Konsesi lebih banyak diberikan kepada keluarga dekat para Gubernur dan Bupati. Namun demikian, sejumlah penduduk lokal yang tinggal di sekitar dan dalam hutan, walau hanya mendapatkan izin dari Camat, sudah berani menebang kayu di hutan (Magenda 1991).

Kebijakan Dirjen kehutanan yang didasarkan atas pertimbangan, “pengusaha besar maupun kecil harus diberikan kesempatan yang sama, sesuai dengan kekuatannya masing-masing”, setidaknya ikut memperparah terjadinya penyimpangan yang terjadi. Ketika luasan area hutan yang dieksploitasi di setiap propinsi, 70 – 80 persen diberikan kepada pengusaha besar sebagai konsesi dan 20 – 30 persen diberikan pada pengusaha kecil, dengan izin tebang dan persil tebangan (Dephut, 1986). Setidaknya menjelang tahun 1970 di Kabupaten Kutai telah beroperasi 272 unit perusahaan (kappersil) dengan luas area penguasahaan mencapai 368.650 Ha, belum termasuk izin pengusahaan hutan seluas 497.600 Ha yang dikeluarkan Gubernur Kalimantan Timur (Soetoen, 1975).

Kondisi inilah yang kemudian memicu munculnya fenomena penebangan kayu secara massal dan dapat dilakukan oleh siapapun dengan moda produksi tradisional, yang oleh masyarakat Kalimantan Timur dikenang sebagai masa banjirkap. Dimana penduduk menebangi kayu di dalam hutan, lalu menumpuknya di tepi sungai pada musim kemarau dan menghanyutkan kayu-kayu bundar tersebut ke log pond yang berada di sepanjang Sungai Mahakam ketika musim penghujan datang, sebelum dikapalkan ke Jawa/ luar negeri. Peristiwa pembabatan hutan secara kolosal tersebut,

terjadi menjelang tahun 1970 hingga awal 1980-an. Menariknya seluruh konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang diberikan baik semasa banjirkap maupun setelah pemberlakuan PP No. 21/ 1970, tidak satupun yang berlokasi di delta Mahakam (Simarmata, 2008). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh minimnya potensi tegakan kayu di kawasan Delta Mahakam yang dianggap ekonomis untuk diperdagangkan, selain faktor pemberian izin pemanfaatan hasil hutan yang dikuatirkan bertumpang- tindih dengan kegiatan pertambangan yang dianggap lebih menguntungkan.

Keberadaan konsesi pertambangan di kawasan Delta Mahakam juga tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan UU No.11 tahun 1967, tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. UU ini dimaksudkan untuk menjaring “para pemain asing” disektor pertambangan yang padat modal. Salah satu kawasan yang ditawarkan adalah pemberian konsesi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di Blok Mahakam, yang pada 1970 dimenangkan oleh Total E&P Indonesie bersama Japex atau Inpex

Coorporation. Setelah melakukan eksplorasi selama 2 tahun, pada tahun 1972, Total yang berkantor pusat di Paris dan mulai membuka kantornya di Jakarta pada 1968 ini, akhirnya menemukan ladang minyak Bekapai pada 1972 dan Handil pada 1974, di lepas pantai Delta Mahakam. Kedua lapangan minyak ini berproduksi pada 1974 dan 1975, puncak produksinya terjadi pada 1977 yang mencapai 230.000 barel minyak per hari. Setidaknya pada 1971, di pantai timur Kalimantan telah beroperasi 8 buah perusahaan internasional, diantaranya Total (Prancis), British Petroleum (Inggris), Shell (Inggris-Belanda), Roy Huffington (USA), Union Oil (USA), Kyusu (Jepang), Continental (USA) dan perusahaan minyak negara Pertamina (lihat Gambar 5.)

Gambar 5. Pembagian Konsesi Minyak Bumi pada 1971 menurut The Time 1971

121

Pada tahap selanjutnya Total E&P Indonesie yang pada 1999 berganti nama menjadi Total Finaelf Indonesie ini (hasil merger Compagnie Francaise de Petroles yang didirikan pada 1924 dengan PetroFina yang berdiri pada 1920), menemukan potensi Hidrokrabon yang sangat besar di lapangan gas alam Tambora, Tunu, Sisi, Nubi dan Peciko. Produksi hidrokarbon dari Blok Mahakam yang dikelola Total Finalelf Indonesie, puncak produksinya terjadi pada Maret 2004, mencapai 566.500 boepd termasuk 2.725 MMscfd gas. Sampai dengan tahun 2009, telah 1000 sumur yang di bor di blok Mahakam oleh Total FinaElf Indonesie, dengan total produksi 13 CTF gas dan lebih dari 1 juta barel minyak dengan investasi senilai US $ 13 Milyar. Setidaknya mempekerjakan 4.000 karyawan dan secara tidak langsung menghasilkan pekerjaan bagi 20.000 orang. Pada 2009, Total FinaElf Indonesie menargetkan produksinya sebesar 92.400 barel minyak dan 2.600 MMSCFD gas perhari (Kaltim Post, 2009). Setelah beroperasi selama 20 tahun, pada 1991 Total Finaelf Indonesie kembali mendapatkan perpanjangan kontrak keduanya sampai dengan 2017 dari pemerintah pusat.

Gambar 6. Peta Sebaran Konsesi Migas di Kawasan Delta Mahakam dan sekitarnya

Sementara itu besaran potensi perikanan di kawasan Delta Mahakam dan sekitarnya, ternyata juga menarik sejumlah PMA dan PMDN yang bergerak di sektor industri perikanan ekspor untuk menanamkan modalnya di wilayah ini. Di dalam prakteknya para pemodal asing biasanya mengajak pemodal nasional untuk “berbagi beban” dengan cara membentuk perusahaan joint venture. Setidaknya pada 1974 telah berdiri sebuah perusahaan industri perikanan ekspor (PMA) dari Jepang, Misaya Mitra di Sungai Meriam dan Samarinda Cendana Cold Storage (PMDN) yang mulai beroperasi empat tahun setelahnya. Perusahaan-perusahaan eksportir perikanan tersebut melakukan hubungan simbiosis mutualisme, bekerjasama dengan para nelayan lokal yang membutuhkan sokongan dana besar dalam kegiatan perikanan tangkap, mengeksploitasi hasil perikanan disekitar Kawasan Delta Mahakam dan Selat Makassar yang sangat melimpah.

Upaya kerjasama dalam kegiatan pengusahaan perikanan ekspor dilakukan dalam bentuk yang khas. Perusahaan industri perikanan ekspor memberikan berbagai bantuan modal (sarana dan prasarana produksi) pada para nelayan setempat, sebagai imbalan pihak perusahaan akan menerima keseluruhan hasil produksi perikanan dari para nelayan tersebut, berikut pengembalian modal produksi secara bertahap hingga lunas. Meskipun para nelayan lokal mendapatkan berbagai kemudahan dan keuntungan dalam pola hubungan produksi seperti itu, namun keuntungan yang diperoleh melalui penanaman modal besar tersebut, tetaplah mengalir deras kepada para pemodal besar (perusahaan eksportir). Artinya para nelayan kecil atau buruh nelayan dan para buruh pabrik, selalu saja menjadi “alas struktur sosial” bagi kemakmuran lapisan sosial lainnya, yakni para pemodal besar (perusahaan eksportir). Akibatnya peningkatan produksi di sektor perikanan berjalan seiring dengan terjadinya ketimpangan kaya-miskin yang cenderung melebar, sementara keuntungan terdistribusi secara tidak adil, keluar dari kawasan Delta Mahakam.

123

Tabel 5. Kronologis Kebijakan Penghapusan Jaring Trawl

Keputusan Pemerintah Dasar Kebijakan Aspek Pengaturan

SK. Mentan No. 01/ Kpts/ UM/ 1/ 1975

Pembinaan kelestarian kekayaan laut yang terdapat dalam sumber perikanan Indonesia

Penutupan daerah/ musim penangkapan diperairan tertentu bagi salah satu, beberapa atau semua jenis kegiatan penangkapan, serta pengendalian kegiatan penangkapan yang meliputi penentuan jenis, ukuran dan jumlah kapal yang akan dioperasikan, penentuan lebar mata jaring dan jenis peralatan penangkapan lainnya dan penentuan kuota hasil penangkapan.

SK. Mentan No. 02/ Kpts/ Um/ 1/ 1975

Pembinaan kelestarian kekayaan yang terdapat dalam sumber perikanan di perairan laut Irian Jaya

Mengatur daerah perairan lajur pantai dihadapan daratan Irian Jaya dan disekitar pulau yang berada di lingkungan perairan Irian Jaya yang dibatasi oleh isobat 10 meter, dinyatakan tertutup bagi semua kegiatan penangkapan dengan jaring trawl; serta melarang penggunaan kapal jenis pair trawl dengan lebar mata jaring kurang dari tiga cm dibagian kantongnya bagi semua kegiatan penangkapan udang/ ikan diperiaran Irian Jaya.

SK. Mentan No. 03/ Kpts/ Um/ 1/ 1975

Ketentuan lebar mata jaring

purse seine untuk penengkapan ikan kembung, selar, lemuru dan ikan pelagis sejenisnya

Melarang semua kegiatan penangkapan jenis ikan dimaksud dengan menggunakan purse seine bermata jaring kurang dari dua inci di bagian sayapnya dan kurang dari satu inci di bagian kantongnya.

SK Mentan No. 317/ Kpts/ Um/ 7/ 1975

Pengendalian daerah penangkapan di Laut Jawa dan Selat Madura

Mengatur operasi kapal motor berukuran 35 PK atau lebih hanya diizinkan beroperasi di luar jarak 10 Mil dari garis pantai. SK Mentan No. 607/

Kpts/ Um/ 9/ 1976

Jalur-jalur penangkapan ikan Membagi beberapa beberapa perairan pantai di Indonesia menjadi empat jalur penangkapan dan mengatur ukuran mata jaring yang boleh dipakai. SK. Mentan No. 608/

Kpts/ Um/ 9/ 1976

Penetapan jalur penangkapan bagi kapal-kapal milik perusahaan perikanan negara

Pentunjuk operasi di jalur penangkapan II yang termaksud dalam SK Mentan No. 607/ Kpts/ UM/ 9/ 1976.

SK. Mentan No. 609/ Kpts/ Um/ 9/ 1976

Daerah penangkapan kapal trawl

dasar

Membagi wilayah perikana demersal di lingkungan perairan wilayah Indonesia menjadi empat;

Daerah penangkapan A, meliputi perairan samudra Hindia dari Sumatera hingga Timor

Daerah penangkapan B, meliputi sebagian Samudera Hindia, Selat Malaka dan bagian selatan Laut Cina Selatan

Daerah penangkapan C, meliputi Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Makassar

Daerah penengkapan D, meliputi perairan wilayah timur Indonseia Keppres No. 39 Tahun

1980

Penghapusan Jaring Trawl Penghapusan dilakukan secara bertahap, dimulai dari daerah perairan laut yang padat nelayan di Pulau Jawa dan Bali.

SK. Mentan. No. 503/ Kpts/ Um/ 7/ 1980

Langkah-langkah pelaksanaan penghapusan jaring Trawl

- SKB Mentan, Mendagri dan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 596/ Kpts/ Um/ 8/ 1980, No. 183/ 1980 dan No. 345/ Kab/ VIII/ 1980 Tgl 28-08-1980

Petunjuk pelaksanaan pengalihan kapal perikanan bekas trawl

-

SK. Mentan No. 633/ Kpts/ Um/ 9/ 1980

Petunjuk pelaksanaan Keppres No. 39/ 1980

- SK. Mentan No. 694/

Kpts/ Um/ 9/ 1980

Pembatasan daerah penangkapan ikan bagi usaha- usaha perikanan yang