• Tidak ada hasil yang ditemukan

13 sitem dagang,

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.3 Metode Penelitian

Penentuan paradigma penelitian konstruktivis sekaligus teori kritis, mengandung konsekuensi penggunaan metode kualitatif-subyektif. Sesuai asumsi ontologis pendekatan kualitatif bahwa realitas bersifat subyektif dan multiple oleh para partisipan, serta asumsi epistemologis tentang interaksi antara peneliti dan tineliti (Creswell 1994), maka studi ini mengharuskan fieldwork, di mana peneliti hadir secara fisik di antara orang-orang, setting, lokasi dan institusi untuk mengobservasi dan mencatat segalanya secara langsung. Dalam pendekatan kualitatif peneliti merupakan instrumen utama. Validitas metode kualitatif sebagian besar bergantung pada keterampilan, kompetensi dan ketelitian dari orang yang melakukan fieldwork. Menjadi suatu kebenaran jamak, jika pendekatan yang digunakan dalam meneropong kondisi situasional dilapangan, hasil akhirnya akan banyak dipengaruhi perspektif subyektif peneliti.

Di dalam penelitian kualitatif, ada dua hal yang perlu dipahami yaitu peneliti dan penelitian kualitatif itu sendiri. Denzin and Lincoln (2000) dengan mengutip beberapa pendapat memaknai peneliti kualitatif sebagai bricoleur dan penelitian kualitatif sebagai

bricolage. Sebagai bricoleur, ia adalah seorang yang dipandang sanggup melakukan berbagai pekerjaan atau ia adalah seorang professional yang mampu melaksanakan sendiri pekerjaannya. Hasil kerja dari bricoleuradalah bricolage, yaitu sekumpulan hasil kerja terus menerus yang merupakan solusi persoalan dalam situasi kongkrit. Solusi tersebut merupakan kemunculan suatu konstruksi yang mengubah dan membentuk berbagai alat, metode, dan teknik-teknik untuk memecahkan teka-teki persoalan. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini, adalah penggabungan metode etnografi dan metode partisipatif.

Metode Etnografi, merupakan salah satu metode kualitatif yang paling direkomendasikan dalam melakukan sebuah penelitian yang menggunakan paradigma konstruktivisme. Studi etnografi sebagaimana dikenal dalam antropologi dikenal juga dalam batas-batas tertentu sebagai studi kasus. Menurut Yin (1996), studi kasus merupakan strategi yang paling tepat digunakan jika bentuk pertanyaan penelitian adalah “mengapa” (deskriptif) dan “bagaimana” (eksplanasi). Mengingat penguasaan hutan mangrove dan kaitannya terhadap kapitalisasi pertambakan (di kawasan Delta Mahakam), mengadung dimensi-dimensi struktural (sosiologis) dan prosesual (historis) sekaligus, maka agar kedua dimensi itu terungkap – pilihan strategi studi kasus yang akan dilakukan harus memadukan kedua pendekatan yaitu sosiologi sejarah (sejarah struktural) dan sejarah sosiologis (sejarah prosesual). Menurut Kartodirdjo (1992), pendekatan pertama akan menjelaskan “mengapa terjadi sesuatu” (konteks sosial kejadian), sedangkan yang kedua menjelaskan “bagaimana proses terjadinya sesuatu itu” (urutan kejadian).

77

Dengan memadukan kedua pendekatan tersebut, menurut Sitorus (1999) penelitian ini tidak lagi semata-mata sebagai studi sosiologi sejarah (historical sociology) yang bersifat statis, tetapi lebih dari itu telah menjadi studi sosiologi tentang sejarah sosial dengan tema utama dinamika perubahan sosial, termasuk ekonomi politik. Secara implisit pendekatan tersebut mengandaikan suatu kajian yang bersifat multi- disiplin, melibatkan disiplin ilmu sosiologi, sejarah, antropologi dan ekonomi, bahkan ekologi. Syarat utama dalam melakukan studi Etnografi, peneliti harus hidup diantara objek dan subjek yang ditelitinya untuk jangka waktu yang relatif cukup bagi peneliti untuk dapat hidup terintegrasi dengan masyarakat yang ditelitinya. Keberadaan (keterlibatan) peneliti sangat dibutuhkan agar dapat mengembangkan kepekaan dalam berpikir, merasakan dan menginterpretasikan hasil-hasil pengamatannya dengan menggunakan konsep-konsep yang ada dalam pemikiran, perasaan dan nilai-nilai dari yang diteliti (Suparlan, 1997). Menggunakan suatu metode yang disebut Geertz (1975) sebagai deskripsi tebal (thick description) di dalam membuka dan menangkap kompleksitas jaringan-jaringan budaya.

Metode ini berupaya “menarik kesimpulan yang luas dari hal yang kecil, tapi yang tersusun dari fakta-fakta yang padat“. Penekanan metode ini adalah suatu interpretasi dengan fokus etnografis dalam peristiwa-peristiwa kecil dan waktu riil daripada terobsesi untuk menemukan lautan makna dan merencanakan landscape yang abstrak. Dengan menggunakan thick description, seorang peneliti dituntut untuk berusaha menangkap irama dan cara berpikir pola kerja sistem budaya. Ia ditarik untuk mengkaji banyak detail dan menempatkan dirinya dalam pengertian “hadir disana”

(being there), baik secara intelektual maupun emosional. Selain itu juga dibutuhkan “imaginasi sosiologis” untuk bisa melihat patronase pertambakan sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang lebih luas, yang berfungsi sangat mendasar bagi pertumbuhan kegiatan industri perikanan berbasis perikanan budidaya. Karenanya peneliti tidak sekedar dituntut memahami relung-relung kehidupan rohani dan realitas kehidupan tineliti, melibatkan diri ke dalam segala aktivitas sehari-hari terkait ritual keagamaan dan aktivitas pertambakan yang menjadi konteks sosial budaya dari fenomena kebertahanan patronase. Namun juga harus mampu membayangkan irasionalitas dari kehidupan rohani yang mempengaruhi realitas kehidupan, bahkan mempengaruhi ekspektasi tindakan ekonomi rasional orang Bugis.

Penelitian ini juga menggunakan Metode Partisipatif, yang meletakkan masyarakat bukan sebagai obyek, melainkan aktif mempengaruhi proses perolehan dan penjelasan pengetahuan. Metode partisipatif menggunakan analisis komperehesif, kontekstual dan multi level analisis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai aktivis/ partisipan dalam proses tranformasi sosial. Satu hal mendasar dari metodologi

partisipatif adalah upaya kritisnya untuk tidak menempatkan pihak yang diteliti sebagai obyek (seperti yang terjadi dalam metodologi positivistik), namun memposiskan mereka sebagai subyek yang secara bersama-sama dengan peneliti menciptakan pengetahuan melalui proses refleksi diri. Masyarakat harus mampu melihat masalah mereka sendiri sebagai orang yang terlibat sehingga dari segi ontologis dan historis menjadi lebih manusiawi (Fernandes dan Tando, 1993).

Dimana menumbuhkan kesadaran diri sendiri (self reflection) dan aksi (action) merupakan hal penting, karena dengan begitu masyarakat tidak keliru ketika berupaya memisahkan antara nilai-nilai kemanusiaan dan bentuk sejarah. Oleh karena itu, pusat perhatian kritik sosial adalah mengembangkan pengertian hubungan antara pengetahuan (knowledge) dan aksi (action). Pokok pikirannya berangkat dari satu kerangka pemikiran emansipatoris (pembebasan manusia). Bertumpu pada konsep refleksi diri, kritik sosial berusaha menghindarkan diri dan tidak berkutat dengan prinsip umum (teori), tapi lebih memberikan perhatian pada kesadaran untuk membebaskan manusia dan masyarakat dari belenggu pemikiran irrasional.Berupaya untuk senantiasa mengkritisi terus-menerus sistem pengaturan masyarakat dan perbagai sistem pengetahuan yang dianggap mapan. Dalam realisasi kerjanya, kritik diabdikan sebagai sarana untuk menghadirkan analisis yang akurat tentang sifat masyarakat demi terjaminnya kebebasan dari ketertindasan.