• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR TABEL

1.3 Signifikansi Stud

Tidaklah mudah bagi peneliti untuk bisa membebaskan diri dari bias-bias Indologi (politik keilmuan kolonial) yang selalu berusaha mengawetkan struktur kekuasaan tradisional dan melembagakan dualisme dalam berbagai sektor, dengan konsepsi-konsepsi yang begitu hegemonik dalam pengetahuan sosiologi kontemporer di Indonesia. Jebakan pendekatan dikotomis tampaknya akan sulit untuk dielakkan, seperti

dual economy, dual society, inner island vs outer island, ekonomi (kapitalisme modern) dan budaya (Islam), pribumi dan non pribumi ataupun yang lokal dan yang global. Padahal menurut Irwan (1999), pendekatan dikotomis selalu bersifat a-historis. Kerancuan berpikir mengenai one-sided embeddedness banyak disebabkan oleh pola pikir dikotomis yang masih sangat umum dianut sampai sekarang, bahwa ada yang lokal dan global dan seterusnya. Padahal secara historis tidak bisa dibedakan lagi mana yang global dan mana yang lokal. Keberadaan Timur (Indonesia) sebagai tanah jajahan merupakan proses kolosal sejarah yang ikut membentuk kapitalisme yang tampak seperti sekarang. Namun sampai sekarang hubungan-hubungan sosial lokal (Timur) tidak dipandang sebagai embedded dalam kapitalisme, kapitalisme tetap dipandang sebagai roh yang karakternya tidak diwarnai dan dibentuk oleh hubungan-hubungan sosial lokal (Timur).

Pada gilirannya ketimpangan historis ini kemudian diadopsi menjadi ketimpangan konseptual dan yang lokal (Timur) didudukkan sebagai “mitra yang lebih muda” dalam konsep pemahaman gejala sosial (Hefner, 1999). Hingga muncul ungkapan “Etika Protestannya” Islam sebagai “second hand”, sementara tokoh-tokoh penting pembaharuan Islam adalah mereka yang terdidik di Eropa ataupun mereka yang setidaknya menerima tradisi analisis Eropa (Turner, 1984). Penekanan Islam pada ikhtiar dan akan sebagian besar penemuan pun dianggap diimpor dan dikembangkan dari konsep-konsep Eropa pada akhir abad 19. Padahal seperti diketahui, konsep

umran-nya Ibn Khaldun secara bertahap telah berubah menjadi konsep “peradaban”- nya Guizot. Konsep maslahah-nya ahli fiqih Maliki dan Ibn Taymiyah berubah menjadi konsep “utility”-nya John Stuart Mill dan ijma‟ fiqihIslam menjadi “pendapat masyarakat” Barat tentang konsep teori demokrasi (Turner, 1984).

Perlakuan Weber terhadap asketisme Barat dan Mistisisme Timur yang dibuat dengan sangat rinci pun tampaknya berkaitan erat dengan kepercayaan khas dan spesifik abad 19, bahwa masyarakat timur bersifat spiritualistik dan sebaliknya Barat bersifat materialistik, sehingga menurut Weber (1978), Islam tidak mengandung etos yang mendorong munculnya kapitalisme rasional. Masyarakat Islam gagal mengembangkan institusi-institusi yang otonom yang dipandang Weber sebagai karakteristik dari masyarakat Eropa, dimana Islam telah gagal mengembangkan hukum

yang formal dan rasional, karena hukum suci yang ideal (syari‟ah) telah tunduk pada negara dan kelicikan politik. Disini Weber tampaknya memaksakan pengertiannya sendiri tentang alasan-alasan kesetiaan kaum Muslim dengan mengabaikan pengertian ataupun alasan dari kaum Muslim sendiri. Weber memperlakukan etika asli sebagai bersifat mantap dan terus ada tanpa tergantung pada modifikasi-modifikasi yang mungkin terjadi dalam kondisi-kondisi sosial yang berbeda. Sementara Marx tidak menganggap penting agama, dengan menyebut agama sebagai sesuatu yang sejati tetapi nihil, karena ia mencerminkan sebuah dunia kepalsuan. Karenanya bagi Marx tugas yang sesungguhnya difokuskan pada perbaikan kaidah-kaidah materialisme dari tatanan sosial yang dapat mendorong kesadaran palsu. Dengan pendekatan bias pengetahuan Barat seperti itu, menjadi tidak mengherankan jika Weber maupun Marx tidak menemukan adanya proses sosial apapun dari feodalisme ke kapitalisme di Asia, sehingga mereka merasa yakin masyarakat Asia hanya dapat ditransformasikan oleh kekuatan-kekuatan luar yakni kapitalisme Eropa.

Di dalam konteks tersebut, peneliti menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini dirasakan cukup problematik, karena mencoba mengusung suatu “ikhtiar akademik transisi” dengan mencoba mereduksi konsepsi-konsepsi yang begitu hegemonik dan bias pengetahuan Barat, namun studi ini pun memaksa peneliti untuk “berdiri di atas pundak-pundak raksasa” intektual Barat yang konsepsinya belum tergantikan tersebut. Namun demikian, dengan semangat ingin membebaskan diri dari bias-bias Indologi, penelitian ini ingin mengajukan suatu wacana pendekatan yang disebut Bryant (1998) dan Escobar (1999) sebagai hibriditas atau yang disebut Sajogyo (2006) sebagai “hibrida” (“lintas batas”). Yang dalam penelitian ini peneliti sebut sebagai pengetahuan kolaboratif dalam perspektif struktur-kultural, yaitu upaya untuk menggabungkan hal terbaik dari pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah dari dunia Barat. Dimana hubungan-hubungan sosial lokal/ Timur dipandang sebagai embedded dalam kapitalisme/ Barat, begitupun sebaliknya, sehingga menolak konsepsi Boeke yang menyebut prinsip-prinsip dasar ekonomi Barat tidak cocok dengan masyarakat Timur yang sistem sosial budayanya berbeda.

Selanjutnya dengan melakukan penolakan untuk hanya mengamati nilai-nilai budaya dalam hubungannya dengan kewirausahaan, penelitian ini setidaknya telah menghindari diri dari jebakan esensi dan dikotomi. Membuka kesempatan untuk menjelaskan bagaimana secara historis nilai-nilai sosial tersebut berkembang dan kepentingan-kepentingan apa yang ada dibelakangnya, memungkinkan pamahaman tradisi budaya Bugis betul-betul dalam kepluralannya. Pendekatan ini diharapkan mampu memberikan ruang bagi masuknya kekayaan campuran pluralitas nilai dan hubungan sosial, meskipun konsekuensinya jatuh pada ketidakjelasan. Seperti

9

dinyatakan Irwan (1999), salah satu indikator pendekatan bersifat historis adalah semakin tingginnya tingkat ketidakpastian dan semakin terungkapnya kepentingan- kepentingan yang ada dibalik berbagai simbol-simbol budaya dan nilai sosial. Melalui pendekatan seperti itu, menjadi relavan kemudian untuk mempertanyakan kembali mengapa ekonomi lokal berbasis perikanan budidaya di kawasan Delta Mahakam yang sebagian besar pendukungnya adalah migran Bugis dari lapisan to-maradeka, bisa begitu kuat menghadapi krisis ekonomi.

Studi ini pada akhirnya akan memberikan kemungkinan pilihan-pilihan untuk penerapan sistem ekonomi alternatif. Bagaimana teori pembentukan ekonomi lokal yang digagas dalam tesis ini dapat ditransformasikan menjadi suatu pilihan praxis baru yang mampu memberi sumbangan pemecahan atas berbagai permasalahan. Bahwa di luar sistem kapitalisme terdapat model-model lain yang kompatibel dengan sistem sosial budaya setempat, yang mendasarkan pembangunan ekonomi pada nilai budaya sambil mengintegrasikannya dengan teknologi modern. Seperti The New Traditional Economy

(NTE) ataupun Community Currency System (CSS) yang digagas Blikololong (2010), ketika menemukan fenomena Du-Hupe yang mampu bertahan di tengah gempuran ekonomi uang di Lamalera, NTT. Fakta barter yang tak dapat digusur oleh uang menunjukkan adanya sistem ekonomi alternatif, meskipun berskala lokal. Fenomena ekonomi lokal tersebut seharusnya dapat diintegrasikan ke dalam pembangunan berkelanjutan yang membutuhkan nilai-nilai intrinsik (yakni nilai non-ekonomi, yang dijunjung tanpa memperhitungkan manfaat atau biayanya, misalnya kehormatan ataupun patriotisme), bukan sekedar nilai-nilai instrumental (yakni nilai yang secara langsung bermanfaat bagi seseorang). Justru karena bersifat non-ekonomi, nilai-nilai itu tidak akan tergerus kesuksesan ekonomi dan karena sifatnya yang pro-ekonomi, nilai- nilai itu tidak akan berhenti mendorong proses akumulasi.

Konkretnya, fenomena kebangkitan ekonomi lokal, seperti yang dijumpai dalam penelitian ini, seharusnya dapat disinegikan ke dalam program prestisius Pengembangan Ekonomi Lokal (Baca: PEL) yang saat ini tengah digagas pemerintah melalui Bappenas. PEL didefinisikan secara resmi oleh pemerintah sebagai usaha mengoptimalkan sumberdaya lokal dengan melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal dan organisasi masyarakat madani untuk mengembangkan ekonomi pada suatu wilayah (Hariyoga, 2007). Meskipun, pengembangan ekonomi lokal merupakan upaya pemberdayaan masyarakat ekonomi dalam suatu wilayah dengan bertumpukan kepada kekuatan lokal, baik itu kekuatan nilai lokasi, sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi, kemampuan manajemen kelembagaan (capacity of institutions) maupun asset pengalaman (Haeruman, 2001). Namun ironisnya, gagasan PEL yang telah diterapkan tampaknya masih sangat bias pengetahuan Barat,

setidaknya sampai sejauh ini konsepsi-konsepsi yang diadopsi dari World Bank (2001) dan Blakely (1994) secara kontekstual tidaklah khas lokal, sehingga operasionalisasinya masih dipertanyakan. Penetrasi cara-berpikir (yang serba pertumbuhan, serba investasi asing, serba akumulasi ekonomi dan serba ekspansi-kapital) itulah yang kemudian menurut Dharmawan (2007) menghasilkan dominasi-dominasi budaya dalam cara berpikir yang melanggengkan dominasi kekuasaan-kekuasan politik lokal ala

kelembagaan kapitalistik Barat (pada tatanan pengaturan lokal). Hal ini menandakan pentingnya kita menata kembali kehidupan di pedesaan dalam konteks keadilan spasial. Secara konsepsional melalui studi ini tersedia peluang yang bisa membuka celah-celah untuk menggeser struktur kekuasaan tradisional pro status-quo yang sudah berurat-berakar dan mengendap dalam kebudayaan lokal dengan suatu perspektif baru, sehingga ikut mereduksi permasalahan kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan sosial. Signifikansi studi ini, setidaknya berhasil menunjukkan bahwa kebangkitan ekonomi lokal mampu digerakkan oleh masyarakat migran Bugis dari golongan to-

maradeka (masyarakat kebanyakan) secara mandiri (nyaris tanpa sokongan

pemerintah) dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia disekitar mereka. Para pengusaha lokal tidak hanya mampu survive ditengah gempuran pasar global, mereka bahkan berhasil memainkan peran penting dalam menopang pondasi ekonomi bangsa, ketika hampir semua suprastruktur ekonomi mengalami “kebangkrutan” pasca krisis 2007/ 2008. Kebangkitan ekonomi lokal tampaknya akan dapat diharapkan menjadi tulang punggung ekonomi bangsa, jika bisa dikawal oleh sistem kepemimpinan nasional yang tangguh dan berpihak pada keberdayaan-ketahanan ekonomi lokal.