• Tidak ada hasil yang ditemukan

13 sitem dagang,

II. TINJAUAN TEORITIS

2.2 Kebudayaan dan Kekuasaan

2.2.2 Karakter Sosio-Kultural Orang Bugis

2.2.2.2 Norma Yang Dianut

Wujud kebudayaan yang selain mencakup pengertian sistem norma dan aturan- aturan adat, serta tata-tertib, juga mengandung unsur-unsur yang meliputi seluruh kegiatan hidup manusia dalam bertingkah-laku dan mengatur prasarana kehidupan (berupa peralatan materiil dan non materill) orang Bugis, disebut panngaderreng

(Mattulada, 1985). Konsep panngaderreng (adat istiadat) merupakan serangkaian norma yang berkaitan satu sama lainnya, yang terdiri dari ade‟ (adat), bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari‟ (norma yang mengatur stratifikasi masyarakat) dan sara‟ (syariat Islam). Panngaderreng selain meliputi aspek-aspek dalam sistem norma dan aturan-aturan adat, sebagai hal-hal ideal yang mengandung nilai-nilai normatif. Juga meliputi berbagai hal dimana seseorang dalam tingkah-lakunya, serta dalam memperlakukan dirinya di dalam kegiatan sosial, bukan saja merasa “harus” melakukannya, bahkan lebih jauh dari itu, karena terdapat semacam “larutan perasaan” bahwa ia adalah bagian integral dari panggaderreng.

Berbagai unsur tersebut selanjutnya melebur ke dalam mentalitas orang Bugis yang dinamis dan didominasi oleh empat sifat utama (sulapa‟ eppa‟) yang harus dimiliki setiap pemimpin. Menurut Pelras (2006), selain berasal dari keturunan yang tepat, orang yang ingin menjadi pemimpin harus memiliki keutamaan dalam hal; keberanian

(warani), kecerdasan (macca), kekayaan (sugi‟) dan kesalehan (panrita). Di dalamnya Islam menyumbangkan warna baru terhadap prototipe orang Bugis modern, dengan memperkuat aspek-aspek etika serta membedakan secara tegas to-panrita dengan gambaran ambigu tentang to-warani, to-acca dan to-sugi yang berlaku dewasa ini.

Prototipe utama to-warani (orang berani) bisa kita lihat pada diri Sawerigading

dan La Galigo sebagai dua sisi dari sekeping mata uang yang mewakili bangsawan Bugis masa lampau. Pada suatu ketika, mereka berperang demi kehormatan diri untuk menegakkan keadilan atau guna melindungi para pengikutnya. Di lain waktu, mereka mengobarkan perang hanya karena mereka memang gemar berperang atau untuk

35

memuaskan ambisi, ketamakan dan pamrih pribadi. Tradisi lisan to-warani versi modern pun mengikuti tradisi yang sama. Kualitas keberanian tidak hanya dilihat dari segi kejiwaan atau tingkah laku, tetapi juga dikaitkan dengan kepemilikan kelebihan khusus. Salah satu diantaranya adalah memiliki ilmu gaib yang disebut pakeang woroane‟ (pakaian laki-laki), yang membuat orang menjadi kebal (kebbeng) dan agresif. Juga memiliki senjata berkekuatan gaib. Tokoh cerita dalam tradisi lisan modern tidak memiliki alasan bertarung selain untuk membuktikan keunggulan atas “juara lain”.

Adapun to-acca(orang pintar) dapat pula diartikan sebagai seorang yang “ahli

atau “cerdik”. Dalam tradisi bercerita orang Bugis, unsur “tokoh penipu” dalam cerita epos tidak begitu menonjol dibandingkan dengan yang terdapat dalam cerita-cerita lisan. Prototipe tokoh penipu dan pendusta dalam sastra semacam itu adalah tokoh

lapong Pulando (si kancil/pelanduk cerdik), yang diadopsi dari cerita tradisional Melayu.

Pulando kemudian diintegrasikan ke dalam tradisi lokal sedemikian rupa sehingga menghasilkan istilah ma‟pulando‟ (berkelakuan seperti kancil) yang suka menipu. Tokoh

to acca lainnya termasuk tokoh fiktif yang dikaitkan dengan kerajaan tertentu, seperti La Pudaka di Wajo, La Mellong di Bone dan La Sallomo di Sidenreng yang terispirasi oleh tokoh-tokoh sejarah Bugis nyata. Cara penggarapan tingkah laku tokoh-tokoh cerita yang mencapai kekuasaan dan kekayaan dengan cara-cara tidak jujur, menipu, berbohong dan curang, dibuat sedemikian rupa sehingga mereka tanpil sangat simpatik (seperti Robinhood dalam cerita lisan Barat). Sama halnya dengan konsep keberanian, konsep kepandaian juga bersisi ganda. Sebagaimana keberanian, kepandaian pun bisa digunakan untuk kebaikan bersama dan dapat pula dijadikan alat pemuas hasrat pribadi, namun dalam kedua kasus tersebut, kepandaian tetap dipandang sebagai alat untuk menegakkan siri‟.

Keutamaan ketiga yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang baik adalah harta kekayaan. Dalam siklus La Galigo, kekayaan yang hanya satu tingkat di bawah kekayaan dewata merupakan ciri khas semua tokoh utama, sesuai dengan status mereka sebagai pemimpin keturunan dewa. Kekayaan tersebut berwujud emas yang melimpah, serta aneka ragam barang impor berharga seperti kain patola sutra, parfum, porselen dan cermin yang dibawa oleh pedagang “Marangkabo” dari wilayah barat yang tidak dikenal yang mereka sebut Jawa dan Kelling. Orang Bugis agaknya tidak pernah melupakan kenangan akan zaman “keemasan” itu secara harfiah. Hal tersebut terwujud dalam keinginan untuk memperkaya diri yang menjadi motivasi paling kuat dan menjadi pendorong utama usaha perdagangan dan pelayaran, hingga ekspansi ke seberang lautan untuk mengeksploitasi sumberdaya yang bernilai ekonomis oleh sebagian besar dari mereka. Bahkan, banyak ulama yang menganggap usaha memperkaya diri sebagai

suatu kewajiban, sepanjang dilakukan secara jujur dan halal (sappa‟ dalle‟ hallala‟), karena memungkinkan seseorang membantu sesama yang kurang beruntung.

Di Wajo misalnya, sejak lama seorang laki-laki kaya dapat mengawini perempuan yang lebih tinggi derajat kebangsawanannya (walaupun melanggar norma yang melarang hubungan semacam itu). Namun dengan syarat harus membayar “uang darah” (pang‟elli dara), yang harganya sangat mahal dan ditetapkan sepihak oleh keluarga mempelai wanita, seorang laki-laki biasa namun kaya dapat mengawini perempuan “berdarah biru”. Sistem hierarki orang Bugis, meskipun membedakan orang berdasarkan asal-usul keturunannya, pada saat yang sama, juga memberi peluang yang sama kepada orang-orang dari status yang sederajat. Walaupun garis batas antara orang-orang dari status berbeda terus dipertahankan, tetapi persaingan dikalangan orang-orang berstatus sederajat untuk memperoleh jabatan, pengaruh, maupun kekayaan tetap terbuka lebar. Jadi, persamaan hak dalam suatu sistem hierarki pada orang Bugis sekaligus merupakan bibit instabilitas, bahkan kadang-kadang merupakan benih konflik. Tidak mengherankan jika upaya mencari peruntungan untuk mengubah nasib, mendorong banyak orang Bugis berspekulasi dengan cara merantau keseberang lautan. Seorang perantau akan merasa malu bila dia tidak bisa pulang untuk memperlihatkan bukti keberhasilannya di rantau, kadangkala sampai bertahun- tahun tidak mudik hanya untuk “mengejar” kekayaan. Di dalam konteks mencari kekayaan ini pun siri‟ juga dipertaruhkan.

Berbeda dengan ketiga unsur sebelumnya yang bersifat ambigu, unsur to- panrita sebaliknya hanya dapat dipandang dari satu sisi saja. To-panrita merupakan orang yang menguasai seluk beluk agama, bijaksana, saleh dan jujur. Prototipe to- panrita pra-Islam adalah We Tenriabeng, saudara kembar (perempuan) Sawerigading

yang merupakan seorang bissu, menikah dengan mahluk halus dan naik ke langit untuk tinggal bersama suaminya. Menarik disimak bahwa dalam tradisi lisan to-panrita

sebagian besar adalah perempuan, hanya sedikit laki-laki. Bila to-panrita tersebut laki- laki, biasanya mereka digambarkan sebagai seorang yang lanjut usai, orang yang telah meninggalkan semua perbuatan buruk yang mungkin mereka lakukan di masa muda. Kronik Wajo menggambarkan bagaimana La Taddampare‟, yang kelak dikenal sebagai Puang ri Ma‟galatung, Arung Matoa Wajo yang harus meninggalkan tanah Bone akibat perilaku buruknya. Dalam konteks Islam dewasa ini, perubahan tau llao sala (orang lontang-lantung tanpa tujuan) menjadi to-panrita mungkin ditandai dengan keputusan menunaikan ibadah haji ke Mekkah sambil memperdalam pengetahuan agama. Dengan demikian, Islam telah menyumbangkan warna baru terhadap prototipe yang ada dengan memperkuat aspek-aspek etika serta membedakan secara tegas to-panrita dengan gambaran ambigu tentang to-warani, to-acca dan to-sugi.

37