• Tidak ada hasil yang ditemukan

13 sitem dagang,

1.5 Rumusan Permasalahan dan Batasan Konsepsional

Sebelum membuat batasan sejumlah konsep sosiologis berkenaan dengan masalah penelitian, terlebih dahulu akan dirumuskan permasalahaan yang mendasari penelitian ini. Berdasarkan pijakan empiris dan teoritis seperti telah dikemukan diatas, penelitian ini akan mencoba merekonstruksi pertumbuhan ekonomi lokal, yang dalam konteks empirisnya dipicu oleh masalah struktur lingkungan – perkembangan historis yang melingkunginya. Karenanya keberhasilan banyak migran Bugis di kawasan Delta Mahakam yang awalnya miskin dan berasal dari golongan lapisan terbawah masyarakat feodal Bugis yang sepertinya kurang tunduk (exposure) pada doktrin-tradisi “Islam Puritan”, tampaknya sukar untuk dijelaskan sepenuhnya menurut pola nilai-nilai atau perilaku mereka, karena mereka sendiri tidak sepenuhnya berbeda dari orang Bugis lainnya yang berhasil di kampung halaman mereka. Yang ada, nilai-nilai yang kemudian ikut menopang keberhasilan mereka sebagai seorang pengusaha lokal, sehingga menumbuhkan semangat kerja keras, hemat, pantang menyerah dan disiplin seperti yang mewujud dalam diri para ponggawa saat ini, merupakan hasil konstruksi dari beroperasinya sistem ekonomi lokal yang terbangun.

Dalam konteks messo-makro, kebangkitan golongan pengusaha perikanan

(ponggawa) di Delta Mahakam, merupakan keberhasilan golongan tersebut memainkan

perannya, “meleburkan diri” dalam dinamika formasi sosial kapitalis yang begitu mendominasi kegiatan perikanan di pantai timur Kalimantan.Memanfaatkan momentum “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai” atas penguasaan tanah-tanah negara, hingga terjadi akumulasi alat produksi dan terkonsentrasinya raw material. Yang diikuti keberhasilan mereka dalam melakukan perekrutan tenaga terampil yang menggerakkan industri perikanan lokal dan terjadinya alih teknologi dan adopsi manajemen profesional. Gejala kebangkitan ekonomi lokal juga tidak terlepas dari beroperasinya keunggulan komparatif dan kompetitif produk yang diproduksi kapitalis lokal. Selain tidak bisa dilepaskan dari gaya konsumsi masyarakat negara maju yang cenderung lebih menyukai produk udang organik yang sebagian besar produksinya disumbang oleh usaha pertambakan tradisional, sehingga menciptakan posisi tawar yang cukup kuat bagi para pengusaha lokal.

Fenomena tersebut mulai berlangsung sejak beroperasinya beberapa perusahaan perikanan skala ekspor di sekitar kawasan Delta Mahakam dipenghujung 1974. Yang kemudian mendorong kemunculan para ponggawa yang sebagian diantaranya mampu memanfaatkan momentum (menggunakan istilah Mackie) “keunggulan pada kesempatan pertama untuk memulai”, ketika negara “mengabaikan” tanah-tanah yang berada di dalam otoritas penguasaannya. Peluang inilah yang kemudian dimanfaatkan secara optimal oleh para ponggawa dengan melakukan

penetrasi kapital secara masif, bahkan cenderung spekulatif untuk membangun basis kekuatan produksi dengan bantuan perusahaan-perusahaan eksportir dan otoritas lokal. Secara historis para pengusaha pertambakan lahir dari sebuah lingkungan yang khas, sebagian terbesar tumbuh dari kegiatan ekonomi di KBK yang “terlarang” bagi kegiatan diluar sektor kehutanan, mengakumulasi kekayaan melalui monopoli produksi raw material. Meskipun pada gilirannya, aktivitas ekonomi tersebut harus dibayar mahal dengan terjadinya degradasi kualitas lingkungan (akibat konversi hutan mangrove yang tidak sustainable) yang dampaknya harus ditanggung semua pihak.

Para pengusaha lokal mampu bertahan dan berhasil mengembangkan usaha bisnisnya, bahkan membangun industri perikanan skala ekspor dengan melakukan eksploitasi melalui penciptaan struktur pasar monopolistis (penjual tunggal) atau monopsonistis (pembeli tunggal), dengan penekanan melalui mekanisme penentuan harga dan penyediaan barang secara sepihak. Meskipun demikian, pola hubungannya masih menyisakan ruang resiprositas yang melekat pada tradisi siri‟ dan passe‟, sehingga mampu mereduksi pola hubungan pertambakan yang cenderung ekploitatif. Pola hubungan patron-klien yang adaptif inilah yang kemudian menopang keberlangsungan operasi ekonomi lokal yang sarat persaingan dan ketidakpastian. Semangat kapitalisme seperti yang dinyatakan Wallerstein (1988) bahwa setiap kapitalis ingin mengubah laba menjadi rente, dan tidak menginginkan persaingan tapi monopoli, dimana mereka bukan ingin menjadi borjuis, tapi bangsawan, tampaknya menemukan relevansinya dalam kultur kewiraswastaan ponggawa Bugis. Meskipun hampir semua keuntungan digunakan kembali untuk kegiatan produksi yang dapat menyerap banyak tenaga kerja.

Mereka memiliki semangat kewirausahaan yang tinggi dan adaptif, sehingga dalam keadaan sulit sekalipun berhasil melakukan akumulasi kekayaan, bahkan ketika terjadi krisis ekonomi 1997/ 1998, kegiatan usaha mereka menjadi salah satu pilar yang ikut menopang keterpurukan ekonomi bangsa. Tidak hanya menyumbang dalam penyerapan tenaga kerja, namun juga memberikan sumbangan terhadap pendapatan asli daerah, hingga menciptakan berbagai peluang usaha ikutan dan memperbesar “perputaran uang” di aras lokal. Sebagai “golongan sosial strategis” meminjam istilah Sitorus (1999), para ponggawa merupakan kekuatan sosial potensil dalam rangka transformasi sosial tidak hanya bagi migran Bugis tapi juga masyarakat lainnya di kawasan Delta Mahakam, dari masyarakat perikanan tradisional menuju masyarakat industri (perikanan). Kebangkitan ekonomi lokal di kawasan Delta Mahakam yang ditandai dengan terjadinya proses industrialisasi perikanan dan berkembangnya berbagai kegiatan penopangnya, menunjukkan kecenderungan semakin menguat. Mengapa dan bagaimana pembentukan ekonomi lokal di kawasan Delta Mahakam,

17

menjadi pertanyaan mendasar penelitian ini, karenanya perlu dirumuskan batasan sejumlah konsep sosiologis berkenaan dengan masalah yang akan diteliti.

Sebagai suatu konsepsi sosiologis, “pembentukan golongan pengusaha” menunjuk pada suatu gejala sosial yang bersifat menyeluruh yaitu “keberadaan sosial” suatu golongan pengusaha (ponggawa) di dalam suatu sistem sosial kemasyarakatan. Yang menurut Sitorus (1999), mencakup dua aspek prosesual yang bersifat pokok, yaitu kemunculan dan kelangsungan sosial golongan pengusaha (ponggawa). Sementara proses kemunculan sosial menunjuk pada dua aspek sekaligus, pertama, asal-usul sosial golongan ponggawa dan kedua, kekuatan-kekuatan sosial yang memungkinkan golongan ponggawa mewujudkan/ peran sosialnya sebagai pengusaha lokal. Sedangkan proses kelangsungan sosial menunjuk pada perkembangan status/ peranan sosial golongan ponggawa, berikut keterkaitannya dengan beragam kekuatan sosial.

Konsep ponggawa disini merujuk pada sebutan masyarakat Bugis di pantai timur Kalimantan, pada seorang pemilik modal yang mengumpulkan dan membeli hasil produksi perikanan (hasil tangkapan maupun budidaya tambak), selain memberikan pinjaman saprotam serta modal usaha dalam bentuk fasilitas/ materi bagi klien mereka. Namun demikian, menurut Mappawata (1986), di dalam kegiatan perikanan tangkap (nelayan) di Sulawesi Selatan, sebutan pinggawa/ ponggawa melekat pada mereka yang menjadi pemimpin operasi penangkapan, dimana posisi strukturalnya berada dibawah pappalele sebagai pemilik modal dan peralatan tangkap dan diatas sawi yang dalam operasi penangkapan bertindak sebagai anak buah kapal. Sementara hasil kajian Salman dan Taryoto (1992) pada masyarakat pertambakan di Sulawesi Selatan juga menunjukkan terjadinya gejala pelapisan sosial, yang sama, terdiri dari lapisan atas (petambak pemilik), lapisan menengah (petambak penyewa/ penyakap dan petambak penggarap) serta lapisan bawah (sawi tambak).

Berbeda dengan kegiatan perikanan budidaya/ pertambakan, masyarakat di sekitar di pantai timur Kalimantan memberikan predikat ponggawa pada mereka yang berhasil menjadi pengusaha pengumpul dan pembeli hasil produksi pertambakan, yang biasanya juga seorang pemodal dan pemilik asset produksi (menguasai tambak yang luas dan sarana produksi). Meskipun demikian tidak semua pengusaha pertambakan menyukai disebut sebagai ponggawa, hal ini mungkin karena konotasi ponggawa

dirasakan lebih tepat untuk predikat kelas operator lapangan, bukan kelas pemilik/ penguasa, sehingga memunculkan sebutan lain, seperti ”bos” ataupun ”puang haji”.

Menariknya, predikat sawi tambak yang seharusnya melekat pada mereka yang bertindak sebagai anak buah dalam kegiatan pertambakan tidak muncul, yang ada hanyalah sebutan ”petambak terikat” dan penjaga empang. Kondisi ini terjadi akibat pengembangan pertambakan di masa-masa awal yang hanya mengandalkan tenaga

kerja dari jalur keluarga inti yang juga bertindak sebagai pemilik tambak (”petambak bebas”). Selain karena semua warga setempat memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki tambak sendiri.

Baru dalam dua dasawarsa terakhir muncul kebutuhan untuk merekrut tenaga dari luar jalur keluarga (penjaga empang dan ”petambak terikat”), akibat semakin meluasnya area pertambakan, yang tidak mampu dikelola sendiri hanya dengan mengandalkan tenaga dari jalur keluarga. Artinya proses sejarah yang telah berlangsung tidak memberikan ruang bagi munculnya istilah sawi tambak dalam struktur sosial pertambakan setempat, meskipun makna penjaga empang dan ”petambak terikat” sepadan dengan sawi tambak. ”Petambak terikat” adalah petambak pemilik yang mengelola ”tambaknya sendiri”, namun terikat dengan seorang ponggawa karena terjadinya transaksi hutang-piutang (sangkutan bisa terjadi karena berbagai hal, seperti; terlibat hutang, gadai tambak dan membeli tambak dengan caramengangsur, dst), pola hubungan yang terjalin seringkali disalah-artikan sebagai bentuk penyakapan. Sedangkan penjaga empang adalah para pekerja tambak yang mengelola tambak milik orang lain (bisa ponggawa ataupun petambak) dengan cara bagi hasil. Keduanya menjadi klien ”terikat” yang harus menyerahkan semua hasil produksinya pada patron yang ”menghidupinya”. Status, fungsi dan peran dari setiap individu inilah yang menurut Purnamasari (2002) menjadi dasar bagi terbentuknya pelapisan sosial pada masyarakat petambak, yang terdiri dari kelompok ponggawa dan kelompok petambak – penjaga empang. Yang selanjutnya menjadi dasar bagi berlakunya ikatan kerjasama yang cukup kuat dan mapan di pantai timur Kalimantan (Sidik Dkk, 2000).

Predikat sebagai ponggawa atau dalam konteks tertentu juga disebut ”bos” ataupun ”puang haji” sepadan dengan predikat ”pengusaha mandiri” yang menurut Sitorus sekurangnya memiliki tiga fungsi pokok yaitu sebagai; manajer (administrasi), pemanfaat peluang (menanggung ataupun menekan resiko) dan pembaharu/ inovator. Dan yang lebih mengagumkan, mereka juga memiliki fungsi sebagai stabilisator- dinamisator sosial, yang ikut ”menghidupi” – membantu kesulitan para klien, sehingga dalam batas-batas tertentu ikut meredam ketegangan dan eksploisifitas hubungan

patronase yang berlangsung.

Sedangkan, dengan menyebut “lokal”, hendak ditekankan bahwa lingkup perhatian penelitan ini adalah gejala sosial yang terbatas pada suatu wilayah geografis tertentu dan berlangsung terbatas dilingkungan masyarakat migran Bugis di kawasan Delta Mahakam. Lokal mengacu pada penggunaan ruang untuk menyediakan latar-latar interaksi, yang pada gilirannya sangat penting untuk menentukan kontekstualnya (Gidden, 2003). Biasanya ada kemungkinan untuk menetapkan lokal berdasarkan ciri fisiknya, baik sebagai sifat dunia material atau yang lazim sebagai kombinasi ciri-ciri itu

19

dengan artefak-artefaknya. Lokal lanjut Gidden bisa berkisar dari ruangan di dalam rumah, pojok jalanan, lantai toko di suatu pabrik, kota kecil, kota besar, sampai pada demarkasi teritorial yang dihuni negara-bangsa. Namun lokal secara khas diregionalisasikan secara internal dan bagian-bagian di dalamnya sangat penting untuk menyusun konteks-konteks interaksi. Bagi Gidden (2003) “locale” adalah untuk memberikan batasan bila kita ingin mengembangkan sosiologi spasial, disini wilayah fisik akan melibatkan seperangkat interaksi antar manusia (dimension spatial structuring) satu dengan lainnya. Individu berinteraksi menggunakan aturan dan sumberdaya untuk memberi tanda batasan geografis dari interaksi, hubungannya dengan penggunaan ruang untuk memperluas pola institusional, partisi ruang dimana interaksi tersebut terjadi dan diputuskan berdasarkan periode waktu antar ruang yang akan dipergunakan.

Namun demikian, tidak berarti keterkaitan antara gejala sosial di aras mikro (lokal) dengan gejala sosial diaras messo (nasional) dan makro (internasional), hendak diabaikan. Hanya saja merujuk Sitorus (1999) yang mengutip Dirlik (1998), arti penting satuan ”tempat” hendak ditekankan disini karena suatu gejala sosial selalu berlangsung di suatu ”tempat” tertentu yaitu suatu ajang kehidupan tertentu. Selain secara teortis, untuk membedakannya dengan penelitian-penelitian terdahulu, khususnya mainstream

a-historis yang cenderung menganggap pembentukan dan pertumbuhan ekonomi lokal sebagai sesuatu yang sama (linier) seperti yang menggejala di Barat.