• Tidak ada hasil yang ditemukan

YANG TERCERABUT DAN TERAKUMULAS

5.2 Fase Industri Perikanan Budidaya

5.2.4 Booms Udang dan Krisis Ekolog

Udang menempati urutan pertama pada perolehan nilai ekspor perikanan Indonesia tahun 1995, dengan nilai ekspor mencapai US$ 1.137.540 atau dengan volume ekspor sebesar 110.070 ton. Dari total volume dan nilai eskpor tersebut dalam bentuk udang beku volumenya sebanyak 92,28 persen dengan nilai 95,89 persen dari total nilai ekspor udang (Gappindo, 1996). Pasca krisis tahun 1998 – 2001, kontribusi ekspor udang dalam perolehan devisa Indonesia tergolong cukup besar, khususnya dari kelompok sektor non-migas, bahkan terbesar bila dibandingkan dengan kelompok komoditas ekspor sektor pertanian, seperti; kopi, teh, rempah-rempah, tembakau dan biji coklat. Dalam kurun waktu tersebut, ekspor udang memberikan kontribusi sebesar 22,03-48,9 persen dari total ekspor kelompok pertanian (Tajerin dan Muhammad, 2004).

163

Seperti ditunjukkan Gambar 11. volume dan nilai ekspor udang beku dan segar dari Kalimantan Timur pun, terlihat meningkat dari tahun ke tahun. Puncak kenaikan volume dan nilai ekspor udang beku dan segar dari Kalimantan Timur terjadi booms

udang akibat terjadinya krisis moneter pada 1998/ 1999, ketika volume produksinya mencapai 10.080 Ton dengan nilai mencapai US $ 69.369.73. Meskipun mengalami penurunan pada 1999, namun sejak 2001 volume maupun nilainya cenderung mengalami peningkatan, puncaknya terjadi pada 2007, ketika volume produksinya mencapai 16.685 Ton, dengan nilai mencapai US $ 141.715.251. Peningkatan volume produksi udang Kalimantan Timur tersebut, banyak disumbang oleh produksi udang tambak, yang luasannya telah mencapai 138.179 Ha. Akibatnya bisa diduga jika luasan hutan mangrove Kalimantan Timur pun mengalami penyusutan. Setidaknya pada 2006, lebih dari 833.379 Ha luas kawasan mangrove yang ada di provinsi Kalimantan Timur, hanya 511.722 Ha yang masih berupa hutan (BP DAS Mahakam Berau 2006).

0 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 14,000 16,000 18,000 20,000 1980198119831984198519861987198819891990199119921993199419951996199719981999200020012002200320042005200620072008 Tahun

Volume Ekpor Udang (Ton) Nilai (US.0000 $)

Gambar 11. Volume dan Nilai Ekspor Udang Beku dan Segar Kalimantan Timur

Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kalimantan Timur 1980 – 2009

Menurut catatan Dutrieux (2001), kegiatan konversi lahan mangrove untuk budidaya perikanan terus meluas, meskipun pada 1992 luas lahan yang terbuka hanya sekitar 3.700 ha. Namun luasnya meningkat menjadi 15.000 ha pada 1996 dan pada 1999 luasan tersebut telah mencapai 67.000 ha. Bahkan pada 2001 luas areal mangrove yang telah dikonversi telah mencapai sekitar 85.000 ha dari luas Delta Mahakam yang mencapai sekitar 150.000 ha. Rendahnya pemahaman komunitas petambak dalam mengelola tambak yang lestari dan ramah lingkungan, telah menyebabkan orientasi ekonomi lebih mengemuka dalam kegiatan pengelolaan tambak. Menurut Lenggono (2004), tingkat produksi tambak yang relatif rendah,

cenderung memicu prilaku petambak menjadi lebih agresif dalam mengeksploitasi hutan mangrove untuk dikonversi menjadi area tambak baru, dengan harapan dapat lebih meningkatkan hasil produksi. Meskipun pada kenyataanya volume dan nilai ekspor udang beku Kabupaten Kutai Kartanegara, yang sebagian besar berasal dari kegiatan pertambakan udang di kawasan Delta Mahakam telah mengalami penurunan sejak 2007 (lihat Gambar 12.). Akibatnya, gejala tersebut menjurus pada perilaku yang destruktif terhadap lingkungan dan represif dalam kehidupan sosial. Tambak-tambak baru cenderung dibangun dengan hamparan yang sangat luas, dengan asumsi akan mempermudah pengelolaan dan meningkatkan hasil produksi. Mendorong digunakannya peralatan berat (seperti excavator) dalam pembukaan tambak-tambak baru tersebut, hingga terjadi pond encroachment.

0 500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500 4,000 4,500 5,000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Tahun

Volume Ekpor Udang (Ton) Nilai (Rp. 00000000)

Gambar 12. Volume dan Nilai Ekspor Udang Beku dari Kawasan Delta Mahakam

Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Statistik DPK Kutai Kartanegara 2001 – 2008

Selanjutnya, konversi hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan mulai tidak terkendali, bahkan banyak area perkebunan kelapa dan pertanian produktif yang kemudian dikonversi manjadi tambak. Namun demikian, kecendrungan peningkatan luasan area pertambakan secara fantastik di kawasan Delta Mahakam, ternyata tidak sebanding dengan peningkatan volume produksinya yang cenderung mengalami stagnasi (seperti ditunjukkan Tabel 13).

Pembukaan hutan mangrove secara besar-besaran untuk kegiatan pertambakan mencapai puncaknya ketika terjadi krisis ekonomi pada 1997-1998, dipicu

165

oleh tingginya nilai tukar US Dolar terhadap Rupiah sehingga terjadi “boom udang”.

Kondisi ini selanjutnya memicu terjadinya “ledakan penduduk” di kawasan Delta Mahakam oleh para migran pendatang yang ingin mencoba peruntungan di sektor perikanan budidaya, dengan membuka hutan mangrove yang tersisa. Para migran tersebut tidak hanya berasal dari etnik Bugis dan Makassar dari Sulawesi, tapi juga etnik lain dari Sulawesi, serta berbagai etnik di pesisir pantai timur Kalimantan dan Pantura Jatim. Jika migran Bugis banyak dipekerjakan oleh para petambak ataupun

ponggawa untuk menjaga empang-empang yang tidak lagi bisa mereka kelola sendiri karena luasnya tambak yang mereka miliki. Maka pendatang dari pesisir utara Jawa Timur sebagian besar menyediakan tenaga sebagai buruh tambak untuk membangun tambak-tambak baru ataupun memperbaiki konstruksi tambak secara tradisional. Para migran dari Jawa ini pada awalnya didatangkan oleh para ponggawa, karena upahnya lebih murah dan berpengalaman dibidang rekonstruksi tambak.

0 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000 40,000 45,000 50,000 55,000 2001 2002 2003 2004 2005 2007 2008 Tahun

Jumlah RTP (KK) Luas Area Tambak (Ha) Produksi (Ton)

Gambar 13. Perbandingan RTP dan Luas Tambak dengan Produksi Perikanan Budidaya Delta Mahakam

Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Statistik DPK Kutai Kartanegara 2001 – 2008

Menariknya, meskipun banyak tambak di Delta Mahakam berstatus ilegal karena dibangun diatas area Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK), namun ironisnya pemerintah (Dephut) sebagai pemilik otoritas tidak mampu berbuat apa-apa. Ketidakpastian hukum, tidak hanya menyebabkan petambak/ ponggawa tidak memiliki legalitas penguasaan atas lahan-lahan tambak yang mereka garap. Tarikan garis di atas kertas peta oleh negara tersebut, bahkan telah mengakibatkan hilangnya akses

masyarakat lokal terhadap sumberdaya alam yang telah mereka tradisikan, bahkan jauh sebelum negara ada. Dalam kesimpulan studinya, Peluso (2006) mengingatkan, bahwa berbagai kebijakan penguasaan dan pengendalian negara semakin menjauhkan penduduk desa di sekitar hutan dari negara dan menjuruskan mereka pada alternatif- alternatif “ilegal” menurut definisi negara dalam pemanfaatan tanah hutan. Masa depan dibayangi dengan naiknya biaya ekonomis, sosial dan politis di pihak perhutani (Dephut), sulitnya upaya-upaya lain untuk “membangun” perekonomian desa hutan dan berlanjutnya perusakan serta kemerosotan hutan. Hal serupa dapat diduga akan muncul pula di kawasan-kawasan lain di dunia, ketika kuasa dan kendali negara atas hutan atau tanah hutan gagal membenahi kemerosotan hutan dan memperparah kemiskinan rakyat yang menggantungkan hidup pada hutan.

Kerusakan lingkungan hidup akibat aktifitas manusia ataupun kegiatan berbagai industri disekitar kawasan Delta Mahakam menjadi semakin riskan, jika pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang beragam tersebut dilakukan secara eksploitatif tanpa memperhitungkan ambang batas daya dukung (carrying capacity). Seperti disinyalir Peluso (1990) dalam “Networking in the Commons: A Tragedy for

Rattans?”, bahwa eksploitasi sumberdaya hasil hutan alam non kayu (rotan) telah berdampak terhadap “ledakan penduduk” yang terlibat dalam jaringan perdagangan rotan di desa-desa sepanjang hulu sungai Mahakam, sehingga berpotensi menimbulkan

“tragedy of the common”. Berdasarkan perhitungan PKSPL-IPB, dampak konversi hutan mangrove (land clearing) seluas 85.000 Ha untuk pembangunan tambak di Delta Mahakam, dengan asumsi luas vegetasi nipah yang telah ditebang diperkirakan mencapai 47.000 Ha dan vegetasi non nipah (api-api, bakau dan tancang/ tumu) seluas 38.000 Ha, maka kerugian langsung yang ditimbulkan adalah sebesar Rp. 922.920.000.000,-. Angka tersebut belum termasuk manfaat langsung lainnya dari keberadaan tegakan mengrove, seperti nilai satwa liar (burung dan mamalia) dan nilai- nilai tak langsung dari keberadaan ekosistem hutan mangrove, seperti jasa-jasa lingkungan dari ekosistem mengrove di Delta Mahakam.