• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Interaksi Simmel dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di Sekolah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Teori Interaksi Simmel dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di Sekolah"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Agnis Afriani NIM. 109013000099

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

i

Agnis Afriani NIM. 109013000099. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Skripsi, “Teori Interaksi Simmel dalam Novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di Sekolah.” Pembimbing: Novi Diah Haryanti, M.Hum.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan teori interaksi dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan implikasinya pada pembelajaran sastra di sekolah. Hasil penelitian mendeskripsikan nilai-nilai sosial melalui interaksi sosial antara individu, keluarga, masyarakat, dan Negara. Nilai-nilai sosial, seperti nilai kepedulian, nilai kerukunan, nilai pengayoman, nilai ketuhanan, nilai keikhlasan, nilai kasih sayang, nilai kesopanan, nilai kebersamaan, nilai keakraban, nilai kebiasaan, dan nilai pengabdian terdapat pada kalimat-kalimat dalam dialog atau cerita para tokoh melalui interaksi sosial antara individu, keluarga, dan masyarakat dalam relasi-relasi yang terbagi menjadi enam kategori, yaitu 1) relasi individu dengan dirinya, 2) relasi individu dengan keluarga, 3) relasi individu dengan lembaga, 4) relasi individu dengan komunitas, 5) relasi individu dengan masyarakat, dan 6) relasi individu dengan nasion.

Pembahasan dan analisis penelitian novel Para Priyayi dapat diimplikasikan pada pembelajaran sastra di sekolah untuk materi menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia agar peserta didik dapat membangun karakter kritis, kreatif, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik, melalui pemahaman tentang tokoh dan penokohan serta latar sosial. Peserta didik juga dapat belajar mengenai bagaimana harus bersikap, memilih jalan hidup, dan semangat mencapai cita-cita. Semuanya terdapat dalam kehidupan melalui interaksi sosial dengan menjalin relasi melalui sosialisasi antara individu dengan individu, keluarga, lembaga, komunitas, masyarakat, dan Negara.

(6)

ii

Agnis Afriani NIM. 109013000099. Department of Language and Literature Education of Indonesia. Faculty of Tarbiyah and Teaching. State Islamic University Syarif Hidayatullah, Jakarta. Thesis title, “Simmel‟s Theory of Interaction in the Novel Para Priyayi by Umar Kayam and Implications on Literature Learning in Schools.” The advisor: Diah Novi Haryanti, M.Hum.

This study aimed to describe the social values in the novel Para Priyayi by Umar Kayam and implications on teaching literature in Schools. The results of the study describes the social values through social interaction between individuals, families, communities, and country. Social values, such asconcern value, the value of harmony, the value of security, the value of the deity, the value of sincerity, the value of compassion, modesty value, the value of togetherness, closeness values, customs value, and the value of devotion found in the sentences in the dialogue or story figures through social interaction between individuals, families, and communities in relationships that are divided into six categories, namely 1) the relation of individual with himself, 2) the relation of individual with family, 3) the relation of individuals with institutions, 4) the relation of individuals with the community, 5) the relation of individuals with the community, and 6) the relation of individuals with the nation.

Discussion and research analysis can be implied novel Para Priyayi literature on learning in school to analyze the material elements of intrinsic and extrinsic Indonesian novel so that learners can build a critical character, creative, whether cognitive, affective, and psychomotor, through an understanding of the character and characterization as well as the background social. Learners can also learn about how to behave, choose a way of life, and the spirit of achieving goals. Everything is there in life through social interaction by building relationships through socialization among individuals with individuals, families, institutions, communities, society, and country.

(7)

iii

Segala puji hanya bagi Allah yang telah memberikan rahmat-Nya kepada penulis

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Teori Interaksi Simmel

dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam dan Implikasinya pada Pembelajaran

Sastra di Sekolah”. Rasa syukur kepada Allah dan Nabi Muhammad yang tak terhingga.

Penulis bersyukur karena akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Sungguh

sebuah kerja keras yang luar biasa ditengah berbagai macam kendala yang penulis

hadapi. Akan tetapi, berkat rahmat Allah dan dukungan dari berbagai pihak akhirnya

karya ilmiah yang merupakan syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan ini dapat

diselesaikan. Maka sudah seharusnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Nurlena Rifa‟i, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia sekaligus Penasihat Akademik Kelas C yang baik hati, bersahaja,

dan selalu ringan tangan terhadap mahasiswa.

3. Novi Diah Haryanti, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang sangat

mengayomi, sabar, dan tulus meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk

memberikan bimbingan serta pengarahan kepada saya dalam menyelesaikan skripsi

ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang tidak

dapat saya sebutkan satu per satu, namun tidak mengurangi rasa hormat saya kepada

Bapak dan Ibu Dosen yang luar biasa baiknya.

5. Keluarga tercinta (Bapak Achmad Yani, Mama Yuyun, Adik-adikku, Ilmiah Hilwani,

Sulton Rizky Muzayyin, dan Abdul Ghani Muhammad) dan seluruh keluarga besar

saya yang selalu mendukung dan mendoakan yang terbaik untuk saya.

6. Ferry Abdullah yang selalu memberi semangat dan doa terbaik untuk penulis.

7. M. Sahrul Munir, S.S., yang baik hati telah meminjamkan beberapa buku referensi

(8)

iv

Semoga selalu kompak, kawan.

11.Lenjee; Reny, Suci, Sasya, dan Dinda yang selalu memberikan semangat dan

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga kita dapat berkumpul

berlima lagi.

12.TKost Annisa (Ibu Arab); Intan, Nia, Anita, Yeyen, Elsa, Dian, Wardah, Nisa, Trisni,

dan Kiky.

13.Yonita, Wahyu, dan adik-adik Bimbel; Rini, Nabila, Opin, Dita, Ilham, Mayla,

Deska, Nasya, Fajar, Sri, Refi, dan Rifqi. Terima kasih, Semestaku atas doa kalian.

14.Teman-teman PBSI angkatan 2009, khususnya kelas C yang memberikan semangat,

suka duka, canda tawa, persahabatan dan kenangan indah selama ini.

15.Teman-teman PPKT SMP Fatahillah, Pondok Pinang.

16.Uda Is, Bang Tyo, Riski, dan Uda Ade yang setia melayani foto kopi dan juga

memberikan motivasi kepada penulis. Maju Jaya!

17.Rekan-rekan kerja di PT Christalenta Pratama dan PT Citra Gemilang Apik yang

selalu memberi dukungan kepada penulis.

Akhirnya penulis hanya dapat mengharapkan semoga Allah membalas kebaikan

semua pihak dengan balasan yang berlipat ganda. Semoga penelitian ini dapat menambah

wawasan dan bermanfaat untuk yang memerlukannya.

Jakarta, 5 Juli 2014

(9)

v LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

LEMBAR PERNYATAAN KARYA ILMIAH

LEMBAR UJIAN MUNAQASAH

ABSTRAK ……….. i

ABSTRACT ………... ii

KATA PENGANTAR ………... iii

DAFTAR ISI ……….. v

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C.Batasan Masalah ... 7

D.Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian... 7

F. Manfaat Penelitian ... 8

G.Metodologi Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN TEORI A.Sosiologi Sastra ... 11

1. Pengertian Sosiologi Sastra ... 11

B. Novel ... 14

1. Pengertian Novel ... . 14

2. Unsur Novel ... 16

(10)

vi

F. Penelitian yang Relevan ... 31

BAB III TINJAUAN NOVEL DAN BIOGRAFI PENGARANG A.Tinjauan Internal ... 33

1. Sinopsis Novel Para Priyayi... 33

2. Gambaran Umum Novel Para Pyiyayi... 36

B. Tinjauan Eksternal ... 38

1. Biografi Umar Kayam ... 38

2. Karya-karya Umar Kayam ... 42

3. Pandangan Hidup Umar Kayam ... 44

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS NILAI SOSIAL A.Unsur-unsur Intrinsik dalam Novel Para Priyayi... 49

B. Analisis Nilai Sosial dalam Novel Para Priyayi... 113

C.Implikasi pada Pembelajaran Sastra di Sekolah ... 129

BAB V PENUTUP A.Simpulan ... 138

B. Saran ... 138

DAFTAR PUSTAKA

LEMBAR UJI REFERENSI

(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Segala sesuatu yang diciptakan di muka bumi ini pasti memiliki nilai.

Nilai merupakan hal yang penting bagi kehidupan, terutama dalam kehidupan

bermasyarakat. Nilai tidak pernah lepas dari kehidupan dan aktivitas manusia,

terutama nilai-nilai kehidupan yang menjadi dasar kita dalam berinteraksi

dengan sesama manusia, baik itu nilai sosial, moral, agama, maupun

pendidikan. Nilai-nilai tersebut penting untuk generasi penerus bangsa dalam

membentuk kepribadian yang cerdas, dan peka terhadap lingkungan

sekitarnya.

Arus modernisasi telah banyak memberi perubahan dalam kehidupan

bermasyarakat. Perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya

mengarah pada krisis moral. Krisis moral tersebut umumnya terjadi karena

masalah pendidikan. Pendidikan seharusnya mampu membentuk generasi

penerus bangsa yang dapat melanjutkan tonggak perjuangan di masa yang

akan datang dan mampu mengubah suatu masyarakat menjadi lebih baik,

sehingga pendidikan menjadi sangat penting dalam membentuk kepribadian

seseorang.

Dunia pendidikan bukan satu-satunya yang patut dihakimi. Namun,

mau tidak mau melalui pendidikanlah peradaban suatu masyarakat dapat

terbentuk, bahkan disebut-sebut sebagai agent of change. Lembaga

pendidikan diharapkan dapat membentuk manusia-manusia yang berjiwa

luhur, berperikemanusiaan, tidak merampas hak orang lain, jujur, dan mandiri.

Lembaga pendidikan diharapkan mampu menumbuhkan jiwa-jiwa kebaikan

(12)

mampu menghasilkan perubahan kepribadian dan peradaban setiap manusia

bahkan bangsa yang lebih baik.

Guru adalah pengajar dan pendidik. Oleh karena itu, peran apa pun

yang diberikan masyarakat kepada guru selalu memiliki kaitan dengan posisi

pengajaran dan pendidikan dalam masyarakat itu. Kurangnya peran guru

dapat menjadi salah satu penyebab perubahan nilai yang mengarah pada krisis

moral. Guru seharusnya memberikan perhatian lebih kepada siswa dalam

menggali nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat melalui pelajaran

yang diajarkan, khususnya pada pembelajaran sastra Indonesia. Selain itu,

guru dapat mengarahkan siswa pada hal-hal positif agar nantinya mereka

menjadi anggota masyarakat dan warga negara yang baik dan berguna bagi

kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Beberapa hal dapat dilakukan untuk mencegah, bahkan mengatasi

perubahan nilai yang mengarah pada krisis moral, yaitu dengan mengenalkan

sastra, pendidikan sastra usia dini, dan memperbanyak porsi pengajaran sastra.

Sastra yang diperkenalkan tentunya yang disesuaikan dengan perkembangan

anak. Mengenalkan sastra kepada anak berarti mendekatkan nilai-nilai yang

berguna untuk memahami kehidupan. Harus diakui tradisi mendongeng orang

tua kepada anak yang sudah turun-temurun dimiliki negeri ini, kini sudah

semakin terkikis. Selain itu, sedikitnya pendidikan usia dini yang berbasis

sastra membuat semakin kurangnya pengetahuan anak mengenai sastra,

bahkan sampai saat ini, porsi pengajaran sastra hanya mendapat bagian kecil

dari pengajaran bahasa. Ketersediaan guru sastra yang kompeten di

sekolah-sekolah juga sangat terbatas. Demikian pula dengan pemanfaatan bahan ajar

sastra yang belum optimal.

Sastra sebagai hasil pekerjaan seni kreasi manusia tidak akan pernah

lepas dari bahasa yang merupakan media utama dalam karya sastra. Sastra dan

manusia erat kaitannya karena pada dasarnya keberadaan sastra sering

(13)

lingkungannya. Kemudian dengan adanya imajinasi yang tinggi seorang

pengarang menuangkan masalah-masalah yang ada disekitarnya menjadi

sebuah karya sastra. Oleh karena itu, sastra merupakan suatu bentuk seni dan

budaya yang hadir di tengah-tengah masyarakat dengan rangkaian bahasa

yang indah serta mengandung nilai-nilai yang penting bagi kehidupan

bermasyarakat.

Karya sastra adalah hasil pemikiran mengenai kehidupan. Karya sastra

adalah sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang pengarang dalam

menceritakan berbagai permasalahan dalam kehidupan manusia. Karya sastra

bersifat imajinatif dan fiktif, yaitu suatu cerita rekaan yang berasal dari daya

khayal seorang pengarang. Pengarang menyampaikan apa yang ia lihat,

dengar, dan rasakan. Kemudian ia kemukan melalui karyanya. Cerita yang

ditampilkan pengarang mengandung permasalahan yang sesuai dengan

permasalahan masyarakat pada masa atau peristiwa tertentu. Maka, pengarang

menyampaikan bagaimana keadaan atau situasi di mana ia berada melalui

cerita pada karyanya.

Salah satu hasil karya sastra adalah novel. Novel merupakan salah satu

karya sastra yang berjenis prosa. Novel juga merupakan bagian dari karya

fiksi yang memuat khayalan dan kenyataan yang dialami oleh seorang

pengarang. Dapat dikatakan bahwa novel adalah suatu gambaran dari

kehidupan dan diwujudkan melalui bahasa yang indah. Sebagai karya fiksi

hasil kreativitas seorang pengarang, novel mempunyai beberapa unsur

pembangun di dalamnya, yaitu tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut

pandang, amanat, dan gaya bahasa.

Novel menjadi cerminan dari persoalan sosial yang terjadi dalam suatu

masyarakat. Dengan kata lain, novel juga dapat berupa rekaman dari peristiwa

sejarah yang telah dialami dan dirasakan oleh seorang pengarang. Melalui

karya sastra, seperti novel, pengarang berusaha mengungkapkan peristiwa

(14)

masyarakat. Pada umumnya, novel menceritakan tentang kehidupan manusia

dan lingkungannya dengan berbagai macam konflik yang ada di dalamnya.

Horatius menyatakan bahwa fungsi sastra hendaknya memuat dulce

(indah) dan utile (berguna). Ungkapan ini menunjukkan fungsi karya sastra

tidak hanya sekedar untuk menghibur, tetapi juga mengajarkan sesuatu atau

hal yang berguna. Karya sastra yang baik adalah karya yang dapat bermanfaat

bagi pembaca, dengan kata lain pembaca mampu mengambil pelajaran dan

mampu memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya.

Fungsi karya sastra (fiksi) merupakan sebuah cerita, dan karenanya

terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca

disamping adanya tujuan estetik. Membaca sebuah karya fiksi berarti

menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Daya

tarik cerita inilah yang pertama-tama akan memotivasi orang-orang yang

membacanya. Hal itu dikarenakan pada dasarnya setiap orang senang cerita,

apalagi yang sensasional, baik yang diperoleh dengan cara melihat maupun

mendengarkan. Melalui cerita itulah pembaca secara tak langsung dapat

belajar, merasakan, dan menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang

sengaja ditawarkan pengarang. Hal itu disebabkan, cerita fiksi tersebut akan

mendorong pembaca untuk ikut merenungkan masalah hidup dan kehidupan.

Oleh karena itu, cerita fiksi atau kesastraan pada umumnya sering dianggap

dapat membuat manusia lebih arif, atau dapat dikatakan sebagai “memanusiakan manusia”.1

Novel merupakan sebuah cerminan dari peristiwa-peristiwa yang

terjadi di dalam suatu masyarakat. Novel Para Priyayi merupakan novel yang

mengandung nilai-nilai sosial yang berhasil menggambarkan keadaan sosial

pada masa itu. Novel ini menceritakan perkembangan tiga generasi (tiga

zaman). Berawal dari seorang petani kecil yang tinggal di Wanagalih bernama

1

(15)

Soedarsono yang pada akhirnya berhasil menjadi seorang priyayi. Kemudian

permasalah-permasalahan sosial muncul pada generasi-generasi penerusnya

(keluarga Soedarsono), yaitu Hardojo dan Harimurti. Peristiwa yang

dikisahkan dalam novel ini adalah masa prakemerdekaan sampai

pascakemerdekaan yang di dalamnya terdapat masalah-masalah sosial dalam

masyarakat.

Novel Para Priyayi yang ditulis oleh Umar Kayam di New Haven

pada tahun 1991. Melalui novel ini Umar Kayam sebagai penulis ingin

menyampaikan idealismenya mengenai kepriyayian, karena selama ini

stereotip priyayi selalu erat dengan orang-orang birokrat yang menggunakan

statusnya untuk menguasai orang lain, berjiwa anti-sosial dan arogan.

Kemampuan Umar Kayam dalam mendeskripsikan kehidupan priyayi di

dalam novel tersebut memang tampaknya tidak lepas dari pengalaman yang

didapatnya semasa kecil sebagai anak priyayi. Dalam novel ini, Umar Kayam

menggambarkan perjuangan seorang petani kecil yang ingin menaikkan status

sosialnya menjadi seorang priyayi melalui pendidikan. Hampir seluruh cerita

dikisahkan menjadi citraan sosial pada masa itu. Oleh karena itu, hampir

setiap bagian dalam novel mengungkapkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan

bermasyarakat.

Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.2 Melalui sastra, terutama

novel kita dapat mengerti lebih banyak mengenai kehidupan manusia. Suatu

karya sastra dapat memperkaya wawasan pembaca dengan berbagai sudut

pandang, seperti psikologi, sejarah, sosial, politik, dan antropologi. Ketika

membaca novel Para Priyayi karya Umar Kayam, pembaca akan merasakan

bahwa novel ini sarat dengan unsur-unsur sosiologi karena latar sosial

masyarakat Jawa yang sangat ditonjolkan. Selain itu, Para Priyayi sangat

mendidik dan bagus untuk dijadikan bahan pembelajaran bagi siswa, karena

2

Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan Terjemahan dari Theory of Literature

(16)

dapat dijadikan sebagai sarana pendukung untuk memperkaya bacaan para

siswa.

Pembelajaran sastra di sekolah dapat memberikan keseimbangan pada

pengembangan kepribadian dan kecerdasan peserta didik. Pembelajaran sastra

akan memberikan keseimbangan antara spiritual, emosional, etika, logika,

estetika, dan kinestetika. Oleh karena itu, pembelajaran sastra tidak hanya

berkaitan dengan estetika dan etika. Pembelajaran sastra sangat strategis

digunakan untuk mengembangkan kompetensi atau kecerdasan spiritual,

emosional; bahasa, atau untuk mengembangkan intelektual, dan kinestetika.

Sehubungan dengan pernyataan di atas, peneliti tertarik mengkaji “Nilai Sosial dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam dan Implikasinya pada Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Suatu hal yang menarik

untuk mampu memahami peranan priyayi dalam kehidupan masyarakat Jawa

yang dijabarkan dalam novel Para Priyayi. Menarik untuk diteliti karena di

dalamnya menceritakan realita kehidupan tokoh-tokohnya mengenai

kehidupan keluarga besar priyayi Jawa dan masalah-masalah yang ada di

dalamnya. Perjuangan hidup untuk membangun satu generasi priyayi yang

berasal dari seorang petani kecil di Wanagalih. Tentunya perjuangan hidup

yang sangat baik untuk diteladani. Hal ini akan dicapai melalui analisis

sosiologi karya sastra. Kemudian dari isi cerita novel akan dicari dan

dianalasis makna nilai sosial yang terkandung di dalamnya yang nantinya

dapat dijadikan materi pembelajaran sastra Indonesia di sekolah.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dapat

diidentifikasi beberapa masalah, yaitu sebagai berikut.

1. Perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya mengarah

pada krisis moral. Krisis moral tersebut umumnya terjadi karena masalah

(17)

2. Kurangnya peran orang tua dan guru sebagai agen perubahan dalam

menggali nilai-nilai kehidupan, terutama guru dalam menggali nilai sosial

dalam pembelajaran sastra di sekolah.

3. Kurangnya porsi pengajaran sastra dan terbatasnya ketersediaan guru-guru

sastra yang memiliki kompetensi, serta pemanfaatan bahan ajar sastra

yang belum optimal di sekolah.

C. Batasan Masalah

Untuk membatasi terlalu luasnya pembahasan, maka permasalahan

pada penelitian ini akan difokuskan pada teori interaksi Simmel untuk

menganalisis nilai-nilai sosial yang terdapat dalam novel Para Priyayi karya

Umar Kayam melalui tinjauan sosiologi sastra dan implikasinya pada

pembelajaran sastra di sekolah.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimana teori interaksi Simmel dalam menganalisis nilai sosial yang

terkandung dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam?

2. Bagaimana implikasi nilai sosial dalam novel Para Priyayi karya Umar

Kayam pada pembelajaran sastra di sekolah?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini

sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan teori interaksi Simmel untuk menganalisis nilai sosial

yang terkandung dalam novel Para Priyayi karya Umar kayam.

2. Mendeskripsikan implikasi nilai sosial dalam novel Para Priyayi pada

(18)

F. Manfaat Penelitian

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan mengenai studi sastra

Indonesia, khususnya dalam pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian ini

juga diharapkan mampu memberi sumbangan dalam kajian sosiologi sastra

dalam mengungkap novel Para Priyayi karya Umar Kayam, sedangkan secara

praktis, penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih

memahami isi cerita dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam, terutama

menguraikan cara pandang pengarang yang direpresentasikan dalam karyanya

dengan pemanfaatan lintas disiplin ilmu yaitu sosiologi dan sastra.

G. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif

memberikan perhatian terhadap data ilmiah. Data berhubungan dengan

konteks keberadaan melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang relevan.3

Lebih tepatnya menggunakan penelitian kualitatif deskriptif dengan metode

content analysis atau analisis isi. Penelitian ini mendeskripsikan teks yang

telah dicari berupa masalah atau temuan, kemudian dianalisis dan ditafsirkan.

Strategi yang digunakan adalah analisis isi, yaitu dengan mengkaji isi

berdasarkan data yang didapatkan. Metode content analysis atau analisis isi

dari suatu novel. Penelitian kualitatif deskriptif merupakan penelitian yang

menyajikan temuannya dalam bentuk deskripsi kalimat yang rinci, lengkap,

dan mendalam mengenai proses mengapa dan bagaimana sesuatu terjadi.

Pengkajian deskriptif menyarankan pada pengkajian yang dilakukan

semata-mata hanya berdasarkan pada fakta atau fenomena yang secara empiris hidup

pada penuturnya (sastrawan). Artinya, yang dicatat dan dianalisis adalah

3

(19)

unsur-unsur dalam karya sastra seperti apa adanya. Maka, jenis penelitian

pada penelitian ini adalah penelitian dasar yang memfokuskan pada deskripsi

mengenai nilai sosial yang terdapat dalam novel. Dengan demikian, penelitian

ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif.

Sesuai dengan tujuan penelitian, yang menjadi objek dalam penelitian

ini adalah teori interaksi Simmel untuk menganalisis nilai sosial yang terdapat

dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan bagaimana implikasinya

pada pembelajaran sastra di sekolah.

Data dalam penelitian ini berupa kata-kata, kalimat serta ungkapan

yang ada dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam, sedangkan sumber

data penelitian ini adalah novel Para Priyayi (data primer), dan buku literatur,

serta artikel yang berkaitan dengan penelitian dan karya-karya Umar Kayam

(data sekunder).

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang

membahas tentang hubungan antarindividu, individu dengan keluarga,

masyarakat, komunitas, lembaga, dan negara, karena dalam penelitian ini

peneliti mencoba menguraikan berbagai nilai sosial yang terkandung dalam

novel.

Adapun langkah-langkah pengumpulan data yang dilakukan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Membaca secara cermat novel Para Priyayi karya Umar Kayam;

2. Mencatat kalimat yang berkaitan dengan struktur novel, dan kalimat yang

menggambarkan nilai sosial dalam novel Para Priyayi karya Umar

Kayam;

3. Hasil mencatat kalimat dijadikan sebagai data untuk menganalisis nilai

sosial dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam;

4. Setelah melalui analisis yang mendalam, hasilnya digunakan sebagai data

untuk mengimplikasikan nilai sosial dalam novel Para Priyayi karya

(20)

Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data

adalah:

1. Menganalisis novel Para Priyayi karya Umar Kayam dengan

menggunakan analisis struktural. Analisis struktural dilakukan dengan

membaca dan memahami kembali data yang sudah diperoleh. Selanjutnya,

mengelompokkan kutipan-kutipan yang terdapat dalam novel Para

Priyayi karya Umar Kayam yang mengandung unsur tema, tokoh dan

penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat;

2. Analisis dengan tinjauan sosiologi sastra dilakukan dengan membaca dan

memahami kembali data yang diperoleh. Selanjutnya, mengelompokkan

kutipan-kutipan yang diperoleh sesuai teori interaksi Simmel mengenai

nilai sosial dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam;

3. Mengimplikasikan nilai sosial yang terdapat dalam novel Para Priyayi

pada pembelajaran sastra di sekolah. Hal ini dilakukan dengan cara

(21)

11

A. Sosiologi Sastra

1. Pengertian Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.

Penelitian ini melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Asumsi

dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak lahir dalam

kekosongan sosial. Kehidupan sosial menjadi pemicu lahirnya karya sastra.

Karya sastra yang berhasil atau sukses, yaitu yang mampu merefleksikan

zamannya.

Ilmu sosiologi berkembang menjadi ilmu yang benar-benar otonom,

meninggalkan kesusastraan yang dianggap sebagai bidang rumit dengan

definisi yang sangat tidak pasti, dan yang dilindungi oleh semacam rasa

hormat manusiawi.1

Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature,

Swingewood (1972) dalam Faruk (1994) mendefinisikan sosiologi sebagai

studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi

mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Sosiologi berusaha

menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan,

bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup,2

sedangkan sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tak lepas dari akar

kemasyarakatannya.3

1

Robert Escarpit, Sosiologi Sastra Penerjemah Ida Sundari Husen, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 8-9.

2

Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), h. 1.

3

(22)

Seperti halnya sosiologi, sastra berurusan dengan manusia dan

masyarakat: usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk

mengubah masyarakat itu. Dalam hal isi, sesungguhnya sosiologi dan sastra

berbagi masalah yang sama.4

Perbedaan antara keduanya adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah

yang objektif, sedangkan novel menyusup menembus permukaan kehidupan

sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan

perasaannya.5

Dengan demikian, Objek studi sastra adalah ekspresi kehidupan

manusia yang tidak terlepas dari akar masyarakat di sekitarnya, sedangkan

objek studi sosiologi adalah manusia.

Penelitian sosiologi sastra banyak membahas tentang kaitan pengarang

dengan kehidupan sosialnya. Keduanya dapat saling melengkapi dalam kaitan

cabang ilmu sosiologi sastra. Meskipun sosiologi dan sastra adalah dua

cabang ilmu yang mempunyai perbedaan tertentu dan dianggap rumit, namun

sosiologi dan sastra memperjuangkan masalah yang sama. Keduanya

berurusan dengan masalah manusia dan masyarakat dalam proses-proses

sosialnya dalam kehidupan.

Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra

memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti

dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai berikut.

a. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita,

disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota

masyarakat.

4

Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979), h. 10.

5

(23)

b. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek

kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga

difungsikan oleh masyarakat.

c. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui

kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung

masalah-masalah kemasyarakatan.

d. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat istiadat, dan tradisi

yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga

logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap tiga aspek

tersebut.

e. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat

intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu

karya.6

Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama,

genre prosalah, khususnya novel, yang dianggap paling dominan dalam

menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan di

antaranya: a) novel menampilkan unsur-unsur cerita paling lengkap, memiliki

media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang

juga paling luas, b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari,

bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itu,

dikatakan bahwa novel merupakan genre yang paling sosiologis dan responsif,

karena sangat peka terhadap fluktuasi sosiohistoris.7

Dengan demikian, dipilihlah novel Para Priyayi karya Umar Kayam

sebagai objek penelitian. Novel Para Priyayi dipilih karena mampu mewakili

perjuangan hidup manusia dalam mobilitas sosial sebuah keluarga di

lingkungan masyarakat pada waktu itu. Selain itu, Para Priyayi memiliki

6

Nyoman Kuta Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 332-333.

7Ibid.,

(24)

unsur-unsur cerita yang lengkap, menyajikan masalah-masalah

kemasyarakatan yang luas dengan bahasa sehari-hari yang sederhana dan yang

paling umum digunakan dalam masyarakat Jawa. Gaya penulisannya

sederhana, bernarasi Jawa yang akrab, mudah dicerna dengan kritik-kritik

yang segera mengajak pembaca membuat perenungan yang sebenarnya

memiliki kandungan makna dan filosofi kehidupan. Selain budaya

pewayangan yang banyak diekspos dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam

juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan sosial para tokoh yang sangat

mencerminkan masyarakat sosial pada umumnya.

B. Novel

1. Pengertian Novel

Karya sastra merupakan sarana pendidikan yang memiliki

bermacam-macam bentuk, seperti puisi, cerpen, novel, dan lain-lain. Dalam hal ini,

penulis memfokuskan pada salah satu karya sastra, yaitu novel.

Kata novel berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan pula dari

kata novies yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena bila dibandingkan

dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain.8

Kata “novel” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti karangan prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan

seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak

dan sifat setiap pelaku.9

Novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas

problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh.10

8

Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar sastra, (Bandung: Angkasa, 2001), h. 167.

9

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 969.

10

(25)

Novel merupakan suatu karya fiksi, yaitu karya dalam bentuk kisah

atau cerita yang melukiskan tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa rekaan.

Sebuah novel bisa saja memuat tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa nyata,

tetapi pemuatan tersebut biasanya hanya berfungsi sebagai bumbu belaka dan

mereka dimasukkan dalam rangkaian cerita yang bersifat rekaan atau dengan

detail rekaan. Walaupun peristiwa dan tokoh-tokohnya bersifat rekaan,

mereka memiliki kemiripan dengan kehidupan sebenarnya. Mereka merupakan “cerminan kehidupan nyata”.11

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa novel merupakan karya

fiksi yang berbentuk karangan prosa, tetapi tidak terlalu panjang yang

mengisahkan atau menceritakan para tokoh dengan masing-masing watak dan

masalah atau peristiwa yang merupakan cerminan nyata dalam kehidupan.

Menurut Sumarjo, novel adalah produk masyarakat. Novel berada di

masyarakat karena novel dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan

desakan-desakan emosional dan rasional dalam masyarakat. Menurut Faruk,

novel adalah cerita tentang suatu pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai

yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero problematik dalam suatu dunia

yang juga terdegradasi. Jadi, jelas bahwa kesusastraan dapat dipelajari dari

disiplin ilmu sosial juga.12

Menurut Selden, novel menurut pandangannya adalah cerminan

realitas, tidak hanya melukiskan wajah wajah yang tampak pada permukaan, tetapi memberikan kepada kita “sebuah pencerminan realitas yang lebih benar, lebih lengkap, lebih hidup, lebih dinamik”. Sebuah novel mungkin membawa pembaca “ke arah suatu pandangan yang lebih konkret kepada

realitas.13

11

Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), Cet. I, h. 2.

12

Wijaya Heru Santosa dan Sri Wahyuningtyas, Pengantar Apresiasi prosa, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), h. 47.

13

(26)

Maka dapat disimpulkan pula bahwa novel adalah cerita rekaan yang

menyajikan aspek kehidupan itu sendiri yang sebagian besar merupakan

kenyataan sosial dan ada yang meniru atau subjektivitas manusia.

2. Unsur Novel

Pada umumnya, para ahli membagi unsur novel menjadi unsur

ekstrinsik dan unsur intrinsik. Pembagian tersebut dimaksudkan untuk

mengkaji novel atau karya sastra pada umumnya.

a. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik yaitu unsur pembangun di luar karya sastra.

Unsur ini mempengaruhi cara penyusunan cerita dalam sebuah karya

satra. Selain itu, juga membantu dalam penafsiran suatu karya,

sehingga mendapatkan hasil yang akurat.

Unsur ekstrinsik terdiri dari unsur-unsur di luar karya. Unsur

yang dimaksud antara lain biografi pengarang, buah pemikiran

pengarang, serta latar sosial-budaya yang menunjang kehadiran teks

sastra. Pemahaman unsur-unsur tersebut menunjukkan bahwa karya

sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Misalnya, faktor

sosio-ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosio-politik, keagamaan, dan tata

nilai yang dianut masyarakat.

Unsur ekstrinsik tidak dibahas dalam penelitian ini. Akan

tetapi, dapat dilihat pada BAB III.

b. Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya

sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra

hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan

dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah

(27)

membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang

membuat sebuah novel terwujud.14

Unsur pembangun dari dalam karya ini terdiri dari beberapa

unsur. Unsur yang dimaksud adalah tema, tokoh dan penokohan, alur,

sudut pandang, latar, gaya bahasa, dan amanat. Unsur ini akan

dianalisis dalam novel saat kita membacanya.

Berikut adalah unsur-unsur intrinsik yang akan dianalisis lebih

mendalam dalam novel Para Priyayi. Pembahasan dan analisis

tersebut terdapat pada BAB IV.

1) Tema

Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita.15 Tema sebuah

cerita bersifat individual sekaligus universal. Tema memberi kekuatan

dan menegaskan kebersatuan kejadian-kejadian yang sedang

diceritakan sekaligus mengisahkan kehidupan dalam konteksnya yang

paling umum. Apa pun nilai yang terkandung di dalamnya, keberadaan

tema menjadi salah satu bagian penting yang tidak terpisahkan dengan

kenyataan cerita.16 Menurut Hartoko dan Rahmanto dalam

Nurgiyantoro, tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang

sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai

struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau

perbedaan-perbedaan.17 Dengan demikian, tema merupakan elemen

yang relevan dengan setiap peristiwa dan detail sebuah cerita. Dalam

menentukan sebuah tema harus membaca secara mendalam dan menelusuri seluruh isi cerita, sehingga menghasilkan “benang merah” yang menjadi gagasan terbangunnya sebuah cerita.

14

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajan Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), h. 23.

15

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 161.

16

Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. I, h. 7.

17

(28)

2) Tokoh dan Penokohan

Menurut Sukada dan Aminuddin dalam Siswanto, tokoh adalah

pelaku yang mengemban peristiwa dalam prosa rekaan, sehingga

peristiwa tersebut menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan

menampilkan tokoh disebut penokohan.18 Tokoh dan penokohan

merupakan dua hal yang paling berkaitan dalam unsur intrinsik pada

sebuah prosa rekaan. Keduanya menjadi saling terikat dan tidak dapat

dipisahkan dalam sebuah pembahasan.

Ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh

dapat dibedakan atas tokoh primer (utama), tokoh sekunder (tokoh

bawahan), dan tokoh komplementer (tambahan).19 Dari tiga jenis

tokoh tersebut menunjukkan bahwa dalam sebuah cerita tidak hanya

ada satu jenis tokoh. Ada berbagai macam tokoh yang sastrawan

tampilkan dalam sebuah novel.

3) Alur

Alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam

sebuah cerita.20 Menurut Abrams dalam Siswanto, alur adalah

rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa,

sehingga menjalin sebuah cerita yang yang dihadirkan oleh pelaku

dalam suatu cerita.21 Tahap-tahap tersebut mengandung unsur urutan

waktu, baik secara tersirat maupun tersurat. Tahap awal cerita pun

tidak hanya dimulai dari waktu yang paling awal, sehingga dalam

sebuah cerita urutan waktu bisa diatur sesuai keinginan sastrawan.

Dengan demikian, alur merupakan elemen yang penting karena sebuah

cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti tanpa adanya

18

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 142.

19Ibid.,

h. 143.

20

Robert Stanton, Teori Fiksi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. I, h. 26.

21

(29)

pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang memiliki pengaruh

terhadap jalan cerita.

4) Latar

The overall setting of a narrative or dramatic work is general locale, historical time, and social circumstance in which its action

occurs; the setting of a single episode or scene within such a work is

the particular physical location in which it takes place.”22

Abrams

mengemukakan bahwa latar cerita adalah tempat umum, waktu

kesejarahan, dan kebiasaan masyaratkat dalam setiap episode atau

bagian-bagian tempat. Menurutnya, latar atau setting disebut juga

sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan

waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa

yang diceritakan.23 Akan tetapi, tidak semua novel menonjolkan ketiga

latar tempat, waktu, maupun sosial. Mungkin dalam sebuah cerita

yang paling menonjol adalah latar waktu maupun tempat dan ada

kalanya yang menonjol adalah latar sosial.

5) Sudut Pandang

Sudut pandang merupakan strategi, teknik, atau siasat yang

secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan

ceritanya.24 Dari sinilah pengarang menampilkan tokoh dalam cerita

yang dipaparkannya. Dengan demikian, segala sesuatu yang

dikemukakan oleh pengarang disalurkan melalui sudut pandang tokoh.

Ada banyak jenis sudut pandang, tetapi semuanya tergantung

dari mana sudut pandang tersebut dilakukan. Jenis sudut pandang yang

peneliti gunakan berdasarkan pemaparan Nurgiyantoro. Berikut ini

adalah jenis-jenis sudut pandang.

22

M. H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, (Boston: Heinle & Heinle, 1999), h. 284.

23

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajan Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), h. 216.

24Ibid

(30)

a) Sudut pandang persona ketiga: “Dia”

Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini

terletak pada seorang narator yang berada di luar cerita yang

menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata ganti orang. Dalam sudut pandang persona ketiga “Dia” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Dia” mahatahu (narator mengetahui segalanya dan serba tahu) dan “Dia” terbatas atau hanya sebagai pengamat (narator mengetahui

segalanya, namun terbatas hanya pada seorang tokoh).

b) Sudut pandang persona pertama: “Aku”

Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini

terletak pada seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita. Dalam sudut pandang persona pertama “Aku” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Aku” (tokoh utama) dan “Aku” (tokoh tambahan).

c) Sudut pandang campuran

Penggunaan sudut pandang ini lebih dari satu teknik.

Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik

yang lain. Semua itu tergantung pada kemauan pengarang

untuk menciptakan sebuah kreativitas dalam karyanya.

6) Gaya Bahasa

Figurative language is a conspicuous departure from what the users of a language apprehend as the standard meaning of words,

or else the standard order of words, in order to achive some special

meaning or effect.”25

Abrams mengemukakan bahwa gaya bahasa

adalah cara pengarang menggunakan bahasa agar kata-kata yang

standar dapat mencapai makna khusus. Gaya bahasa pada suatu karya

25

(31)

sastra biasanya menggunakan pilihan kata yang mengandung makna

padat, relektif, asosiatif, bersifat konotatif, dan dipadu dengan kiasan

dan majas, sehingga terwujudlah kalimat yang menunjukkan adanya

variasi dan harmoni.

7) Amanat

Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan

yang ingin disampaikan kepada pembaca atau pendengar.26 Amanat

merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan

pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu.27 Amanat

merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya dan tertuang

secara tersirat dalam cerita. Melalui amanat dalam cerita, biasanya

pengarang menuangkan pandangan hidupnya.

C. Nilai Sosial

1. Pengertian Nilai Sosial

Kehidupan bersama manusia baik sebagai makhluk pribadi maupun

makhluk sosial selalu dilandasi aturan-aturan tertentu. Oleh karena itu,

manusia tidak bisa berbuat dan bertindak semaunya. Aturan-aturan ini

diciptakan dan disepakati bersama untuk mencapai ketentraman dan

kenyamanan hidup bersama dengan orang lain. Aturan-aturan itu dipakai

sebagai ukuran, patokan, anggapan, serta keyakinan tentang sesuatu itu baik,

buruk, pantas, janggal, asing, dan seterusnya. Aturan-aturan ini yang biasa

kita sebut dengan istilah nilai.

Nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita

cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan,

singkatnya, sesuatu yang baik. Menurut perkataan bagus filsuf

Jerman-Amerika, Hans Jonas, nilai adalah the address of a yes, “sesuatu yang

26

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 162.

27

(32)

ditujukan dengan „ya‟ „kita”. Memang, nilai adalah sesuatu yang kita iyakan atau aminkan. Nilai selalu mempunyai konotasi positif. Sebaliknya, sesuatu

yang kita jauhi, sesuatu yang membuat kita melarikan diri—seperti

penderitaan, penyakit, atau kematian—adalah lawan dari nilai, adalah “non -nilai” atau disvalue, sebagaimana dikatakan orang Inggris. Ada juga beberapa filsuf yang menggunakan di sini istilah “nilai negatif”, sedangkan nilai dalam arti tadi mereka sebut “nilai positif”.28

Kluckhohn, seorang antropolog yang banyak membahas mengenai

nilai-nilai, menyatakan bahwa suatu nilai merupakan (C. Kluckhohn 1951:

395) “A conception, explicit or implicit, distinctive of individual or

characteristic of a group, of the desirable, which influences the section from

available modes, means and ens action.”29

Kata “nilai” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Nilai adalah

sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya; berhubungan erat dengan etika. Kata “nilai” diartikan sebagai harga, kadar, mutu atau kualitas.30 Maka, sesuatu harus memiliki sifat-sifat yang penting

dan bermutu atau berguna bagi kemanusiaan dan menyempurnakan manusia

sesuai dengan hakikatnya.

Kata “sosial” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti berkenaan dengan masyarakat.31 Maka, segala hal yang berhubungan dengan

masyarakat, seperti suka memperhatikan kepentingan umum, suka menolong,

dan menderma dapat disebut sebagai sosial.

28

K. Bertens, ETIKA, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama: 1993), h. 149.

29

Soerjono Soekanto, Pribadi dan Masyarakat (Suatu Tinjauan Sosiologis), (Bandung: Alumni, 1983), h. 160.

30

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 963.

31Ibid

(33)

Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai

apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Untuk

menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas

harus melalui proses menimbang. Dengan ukuran itu, suatu masyarakat akan

tahu mana yang baik atau buruk, benar atau salah, dan boleh atau dilarang.

Nilai sosial yang terbukti langgeng dan tahan zaman akan membaku menjadi

sistem nilai budaya. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang

dianut masyarakat. Oleh karena itu, terdapat perbedaan tata nilai antara

masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai sosial merupakan

hal-hal yang bersifat penting dan berguna bagi kemanusiaan yang berkaitan

dengan kehidupan masyarakat. Setiap masyarakat sebagai sebuah kehidupan

bersama tentulah memiliki berbagai aturan atau kesepakatan yang luhur untuk

mengatur berlangsungnya kehidupan bersama. Kehidupan bersama tentu juga

memiliki sesuatu yang dijunjung tinggi, dihormati, serta ditaati oleh seluruh

anggota masyarakatnya. Di sisi lain ada juga sesuatu yang dilarang untuk

dilakukan dan harus dijauhi oleh anggota masyarakat. Sesuatu tersebut secara

umum disebut sebagai nilai sosial.

D. Teori Interaksi Simmel

Manusia tercipta sebagai makhluk pribadi sekaligus juga makhluk sosial.

Sebagai makhluk pribadi, manusia berjuang untuk memenuhi kebutuhannya agar

dapat bertahan hidup. Dalam memenuhi kebutuhannya tersebut manusia tidak dapat

hidup sendiri. Manusia memerlukan orang lain untuk mencapai tujuannya. Itulah

sebabnya manusia berinteraksi dengan manusia lainnya sebagai makhluk sosial.

Para ahli, seperti Maclver, J.L. Gillin, dan J.P.Gillin sepakat bahwa adanya

saling bergaul dan interaksi karena mempunyai nilai, norma, cara-cara, dan prosedur

(34)

manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat

kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.32

Teori Interaksi Simmel adalah teori yang mengkaji masalah hubungan

antarpribadi (interpersonal). Penjelasan Simmel tentang interaksi adalah sebagai

berikut: (1) Masyarakat terbentuk dari jaringan relasi-relasi antarorang, sehingga

mereka merupakan satu kesatuan. Dalam jaringan relasi tersebut terjadi aksi dan

reaksi yang tak terbilang banyaknya, sehingga masyarakat merupakan proses dinamis

yang ditentukan oleh perilaku anggotanya, (2) Jaringan relasi-relasi itu tidak sama

sifatnya. Artinya dari jaringan relasi tersebut, dapat terbentuk komunitas asosiasi,

bahkan ada tendensi, ada pergeseran dari pola relasi afektif dan personal menjadi

fungsional dan rasional, (3) Dalam jaringan relasi tidak selamanya terbentuk integrasi

dan harmonis, tetapi dapat pula terjadi kritik, oposisi, konflik, dan lain-lain. Bagi

strukturasi sosial yang sehat, maka kritik, oposisi, persaingan sama-sama diperlukan,

sebagaimana halnya kesesuaian paham, persahabatan, dan partisipasi. Keduanya, baik

hal negatif maupun positif menurut pandangan sepintas sebenarnya mempunyai efek

positif dalam proses interaksi. Tindakan yang dianggap negatif menurut

individu-individu, sebenarnya mempunyai akibat positif bagi keseluruhan relasi yang ada

dalam masyarakat atau organisasi, (4) Frekuensi interaksi dan kadar interaksi

bervariasi ada yang tinggi dan ada yang rendah. Semakin penting hal yang

mempertemukan orang dalam relasi timbal balik, semakin cepat relasi-relasi itu

dilembagakan.

Pada intinya Simmel memandang masyarakat sebagai produk dari proses

interaksi individu-individu. Terjadinya interaksi akibat dorongan-dorongan dan

tujuan-tujuan tertentu. Sehingga akibatnya ada kesatuan sosial yang sifatnya dapat

lama atau sementara. Tujuan dan dorongan itu sendiri bukan sosial tetapi sebagai isi

32

(35)

sosialisasi. Proses sosialisasi itu sendiri terdapat dalam bentuk-bentuk yang berupa

interaksi.33

Individu barulah individu apabila pola perilakunya yang khas di dirinya itu

diproyeksikan pada suatu lingkungan sosial yang disebut masyarakat. Kekhasan atau

penyimpangan dari pola perilaku kolektif menjadikannya individu, menurut relasi

dengan lingkungan sosialnya yang bersifat majemuk serta simultan. Dari individu

dituntut kemampuan untuk membawa dirinya secara konsisten, tanpa kehilangan

identitas nilai etisnya. Relevan dengan relasi-relasi sesaat antara dirinya dengan

berbagai perubahan lingkungan sosialnya. Satuan-satuan lingkungan sosial yang

melingkari individu terdiri dari keluarga, lembaga, komunitas, masyarakat, dan nasion. Individu mempunyai “karakteristik” yang setiap kali berbeda fungsinya, struktur, peranan, dan proses-proses yang berlangsung di dalam dirinya. Posisi,

peranan, dan tingkah lakunya diharapkan sesuai dengan tuntutan setiap satuan

lingkungan sosial dalam situasi tertentu. Relasinya bersifat kompleks dan menjadi

sasaran berbagai disiplin ilmu, tetapi diperoleh gambaran mengenai relasi individu

dengan lingkungan sosialnya sebagai berikut.

1. Relasi Individu dengan Dirinya

Merupakan masalah khas psikologi. Di sini muncul istilah-istilah Ego,

Id, dan Superego serta dipersonalisasikan (apabila relasi individu dengan

dirinya adalah seperti dengan orang asing saja), dan sebagainya. Dalam diri

seseorang terdapat tiga sistem kepribadian yang disebut Id atau “es” (jiwa

ibarat gunung es di tengah laut), Egoatau “aku”, dan Superego atau uber ich.

Id adalah wadah dalam jiwa seseorang, berisi dorongan primitif dengan sifat

temporer yang selalu menghendaki agar segera dipenuhi atau dilaksanakan

demi kepuasan. Contohnya, seksual dan libido. Ego bertugas melaksanakan

dorongan-dorongan Id, tidak bertentangan dengan kenyataan dan tuntutan dari

Superego. Ego dalam tugasnya berprinsip pada kenyataan relative principle.

33Ibid.,

(36)

Superego berisi kata hati atau conscience, berhubungan dengan

lingkungan sosial, dan punya nilai-nilai moral sehingga merupakan control

terhadap dorongan yang datang dari Id. Karena itu ada semacam pertentangan

antara Id dan Superego. Bila Ego gagal menjaga keseimbangan antara

dorongan dari Id dan larangan dari Superego, maka individu akan mengalami

konflik batin yang terus menerus. Untuk itu perlu kanalisasi melalui

mekanisme pertahanan. Demikian psikoanalisa sebagai teori kepribadian yang

dikemukakan oleh Sigmund Freud (1856-1939), sarjana berkebangsaan

Jerman.

2. Relasi Individu dengan Keluarga

Individu memiliki relasi mutlak dengan keluarga. Ia dilahirkan dari

keluarga tumbuh, dan berkembang untuk kemudian membentuk sendiri

keluarga batinnya. Terjadi hubungan dengan ibu, ayah, dan kakak-adik.

Dengan orang tua, dengan saudara-saudara sekandung, terjalin relasi biologis

yang disusul oleh relasi psikologis dan sosial pada umumnya.

Peranan-peranan dari setiap anggota keluarga merupakan resultan dari

relasi biologis, psikologis, dan sosial. Relasi khusus oleh kebudayaan

lingkungan keluarga dinyatakan melalui bahasa (adat-istiadat, kebiasaan,

norma-norma, bahkan nilai-nilai agama sekalipun).

3. Relasi Individu dengan Lembaga

Lembaga diartikan sebagai norma-norma yang berintegrasi di sekitar

suatu fungsi masyarakat yang penting. Oleh karena itu, ada segi kultural

berupa norma-norma dan nilai-nilai, dan ada segi strukturalnya berupa

berbagai peranan sosial. Berfungsi dalam integrasi dan stabilitas karena

lembaga sosial merupakan keutuhan tatanan perilaku manusia dalam

kebersamaan hidup.

Tumbuhnya individu ke dalam lembaga-lembaga sosial berlangsung

melalui proses sosialisasi karena lembaga disadari dan mempunyai arti

(37)

sosial sudah dibakukan berdasarkan moral, adat, atau hokum yang berlaku.

Individualitasnya ditanggung didalam struktur, yaitu hubungan kelembagaan.

Individu bertingkah laku spesifik, berbeda dengan yang lainnya.

Individu merupakan ketua, direktur, pemimpin, tokoh, dan

lain-lainnya. Terjadi kompleksitas interaksi sosial, merupakan struktur baku dalam

pola relasi yang terungkap dalam pranata sosial.

4. Relasi Individu dengan Komunitas

Dalam sosiologi, komunitas diartikan sebagai satuan kebersamanaan

hidup sejumlah orang banyak yang memiliki ciri-ciri: (1) teritorialitas yang

terbatas, (2) keorganisasian tata kehidupan bersama, dan (3) berlakunya

nilai-nilai dan orientasi nilai-nilai yang kolektif (Poplin, 1960). Ketentuan batas wilayah

bersifat objektif dan subjektif, sehingga batas-batas administratif dan batas

kultural tidak tumpang tindih dalam kehidupan komunitas. Komunitas

mencakup individu-individu, keluarga-keluarga, dan juga lembaga yang saling

berhubungan secara interdependen. Bersifat kompleks, dari makna

kehidupannya ditentukan oleh orientasi nilai yang berlaku, artinya oleh

kebudayaannya, yang menumbuhkan pranata-pranata sosial struktur

kekerabatan keluarga dan perilaku individu maupun kolektif. Posisi dan

peranan individu didalam komunitas tidak lagi bersifat langsung, sebab

perilakunya sudah tertampung atau direndam oleh keluarga dan kebudayaan

yang mencakup dirinya. Sebaliknya pengaruh komunitas terhadap individu

tersalur melalui keluarganya dengan melalui lembaga yang ada.

5. Relasi Individu dengan Masyarakat

Masyarakat merupakan suatu lingkungan sosial yang bersifat makro.

Aspek teritorium kurang ditekankan, namun aspek keteraturan sosial dan

wawasan hidup kolektif memperoleh bobot yang lebih besar. Kedua aspek itu

menunjuk kepada derajat integrasi masyarakat karena keteraturan esensial dan

hidup kolektif ditentukan oleh kemantapan unsur-unsur masyarakat yang

(38)

dipakai dalam mengkaji dan menjelaskan fenomena masyarakat menurut

persepsi makro.

Sifat makro diperoleh dari kenyataan, bahwa masyarakat pada

hakikatnya terdiri dari sekian banyak komunikasi yang berbeda, sekaligus

mencakup berbagai macam keluarga, lembaga, dan individu-individu.

6. Relasi Individu dengan Nasion

Menurut Ernest Renan (1823-1892), nasion adalah suatu jiwa, suatu

asas spiritual, suatu solidaritas yang besar yang terbentuk oleh perasaan yang

timbul sebagai akibat pengorbanan-pengorbanan yang telah dibuat dan yang

dalam masa depan bersedia dibuat lagi. Persetujuan keinginan dinyatakan

dengan jelas untuk melanjutkan kehidupan bersama.

Relasi individu dengan nasionnya dinyatakan pula dengan posisi serta

peranan-peranan yang ada pada dirinya. Semuanya tertampung oleh atau

tersalurkan melalui unit-unit lingkungan sosial yang lebih makro. Hubungan

langsung individu dengan nasion diekspresikan melalui posisinya sebagai

warga Negara.34

E. Pembelajaran Sastra

Istilah pengajaran yang mempunyai makna proses, cara, perbuatan mengajar

atau mengajarkan; perihal mengajar; sedangkan pembelajaran biasa diucapkan

sejalan dengan semangat dan perubahan yang terjadi. Pembelajaran lebih dipilih dan

dipergunakan secara formal, karena didalam kata ini aktivitas yang terjadi adalah

seimbang antara pihak guru dan anak didiknya; mereka sama-sama aktif dan

diharapkan juga sama-sama kreatif.35

Istilah sastra berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tulisan atau

karangan. Sastra biasanya diartikan sebagai karangan dengan bahasa yang indah dan

34Ibid

., h. 123-127.

35

(39)

isi yang baik. Bahasa yang indah artinya dapat menimbulkan kesan dan menghibur

pemabacanya. Isi yang baik artinya berguna dan mengandung nilai pendidikan. Indah

dan baik yang ini menjadi fungsi sastra yang terkenal dengan istilah dulce et utile.

Bentuk fisik dari sastra disebut karya sastra. Penulis karya sastra disebut sastrawan.36

Pembelajaran sastra penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan

kepribadian. Sastra dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap cara

berpikir orang mengenai hidup, baik dan buruk, benar dan salah serta cara hidup.

Oleh karena itu, selain memberikan kenikmatan dan keindahan, pembelajaran sastra

juga mampu memberikan nilai-nilai sosial yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan

berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara.

Pembelajaran sastra di sekolah merupakan sesuatu yang penting dan patut

diajarkan sesuai dengan tingkatannya. Dari usia dini, yaitu tingkat Sekolah Dasar

hingga Perguruan Tinggi. Jika sastra diajarkan dengan cara yang tepat, maka

pengajaran sastra dapat membantu bidang pendidikan.

Ketepatan dalam pengajaran sastra tersebut dapat membantu pendidikan

secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu: membantu

keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta

dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.37 Manfaat tersebut juga berguna untuk

menafsirkan dan memahami masalah-masalah dunia nyata, walaupun sastra sendiri

merupakan karya fiktif. Oleh karena itu, pengajaran sastra dapat dijadikan sebagai

pembelajaran yang penting dan patut menempati tempat yang selayaknya.

Mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah Kelompok Mata Pelajaran Wajib.

Kelompok Mata Pelajaran Wajib merupakan bagian dari kurikulum pendidikan

menengah dalam kurikulum 2013 yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan

tentang bangsa, bahasa, sikap sebagai bangsa, dan kemampuan penting untuk

mengembangkan logika dan kehidupan pribadi peserta didik, masyarakat dan bangsa,

pengenalan lingkungan fisik dan alam, kebugaran jasmani serta seni budaya daerah

36Ibid

., h. 17.

37

(40)

dan nasional, sedangkan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia termasuk dalam

Kelompok Mata Pelajaran Peminatan. Kelompok Mata Pelajaran Peminatan bertujuan

(1) untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan minatnya

dalam sekelompok mata pelajaran sesuai dengan minat keilmuannya di perguruan

tinggi, dan (2) untuk mengembangkan minat terhadap suatu disiplin ilmu atau

keterampilan tertentu.

Dalam struktur kurikulum SMA/MA terdapat penambahan jam belajar per

minggu sebanyak 4-6 jam sehingga untuk kelas X bertambah dari 38 jam menjadi 42

jam belajar dan untuk kelas XI dan XII bertambah dari 38 jam menjadi 44 jam

belajar, sedangkan lama belajar untuk setiap jam belajar adalah 45 menit. Dengan

adanya tambahan jam belajar ini dan pengurangan jumlah Kompetensi Dasar, guru

memiliki keleluasaan waktu untuk mengembangkan proses pembelajaran yang

berorientasi siswa aktif belajar. Proses pembelajaran siswa aktif memerlukan waktu

yang lebih panjang dari proses pembelajaran penyampaian informasi karena peserta

didik perlu latihan untuk mengamati, bertanya, mengasosiasi, dan berkomunikasi.

Proses pembelajaran yang dikembangkan guru menghendaki kesabaran dan

menunggu respons peserta didik karena mereka belum terbiasa. Selain itu,

bertambahnya jam belajar memungkinkan guru melakukan penilaian proses dan hasil

belajar.

Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu

siswa berlatih keterampilan membaca, keterampilan menyimak, keterampilan

berbicara, dan keterampilan menulis yang masing-masing erat kaitannya. Dalam

pengajaran sastra, siswa dapat melatih keterampilan menyimak dengan

mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru, teman atau lewat pita rekaman.

Siswa dapat melatih keterampilan berbicara dengan ikut berperan dalam suatu drama.

Siswa dapat pula meningkatkan keterampilan membaca dengan membacakan puisi

atau prosa cerita. Mengapresiasi sastra itu menarik, siswa dapat mendiskusikannya

(41)

Pembelajaran sastra dapat ditingkatkan lagi dengan pendidikan melalui sastra.

Melalui sastra, kita dapat mengembangkan peserta didik dalam hal keseimbangan

antara spiritual, emosional, etika, logika, estetika, dan kinestetika; pengembangan

kecakapan hidup; belajar sepanjang hayat; serta pendidikan keseluruhan dan

kemitraan. Selain itu, dengan pendidikan sastra, peserta didik tidak hanya diajak

untuk memahami dan menganalisis berdasarkan bukti nyata yang ada dalam karya

sastra dan kenyataan yang ada di luar karya sastra, tetapi juga diajak untuk

megembangkan sikap positif terhadap karya sastra. Pendidikan semacam ini akan

mengembangkan kemampuan berpikir, sikap, dan kemampuan peserta didik.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sastra bertujuan

untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, menyeimbangkan pengembangan

kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, dan kinestetika peserta didik.

F. Penelitian yang Relevan

Pada penelitian ini penulis menggunakan novel Para Priyayi sebagai objek

penelitian. Peneliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra dalam mengkaji objek

penelitian. Sebelumnya ada beberapa penelitian lain yang dapat dijadikan

perbandingan dan penelitian yang relevan. Penelitian yang relevan dengan penelitian

ini adalah sebagai berikut.

Skripsi Atik Hendriyati (2009) dengan judul penelitian “Kajian Intertekstual

dan Nilai Pendidikan dalam Novel Canting Karya Arswendo Atwomiloto dengan

Para Priyayi Karya Umar Kayam”. Berdasarkan analisis Atik Hendriyati, hubungan

intertekstual antara Canting dan Para Priyayi merupakan karya hipogram, yaitu karya

yang melatarbelakangi penciptaan karya selanjutnya, sedangkan Para Priyayi disebut

karya transformasi karena mentransformasikan teks-teks yang menjadi hipogramnya.

Persamaan kedua novel ini terdapat dalam beberapa aspek, yaitu tema, alur,

penokohan dan perwatakan, dan latar, baik tempat, waktu maupun sosial.

Perbedaannya terdapat pada nilai yang dianalisis. Penelitian ini meneliti mengenai

Referensi

Dokumen terkait

According to Knowles (1999), mentioned that in franchise businesses, there must be a contract regarding all the terms and conditions agreed between the franchisor and the

Dengan ini diberitahukan kepada sudara, apabila dikuasakan harus disertai dengan surat kuasa atau surat tugas dari direktur kepada penerima kuasa atau penerima tugas dan

Untuk itu kami meminta kepada saudara untuk menunjukan asli dokumen yang sah dan masih berlaku ( beserta copynya ), sebagaimana yang terlampir dalam daftar isian

LAPORAN SEMESTER I REKAP PERSEDIAAN BARANG PAKAI HABIS DINAS KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL KABUPATEN LOMBOK BARAT SAMPAI DENGAN 31 JUNI TAHUN 2016.. NO Tgl/bln/Thn

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini tepat pada waktunya, dalam usaha memenuhi

Dari wawancara yang dilakukan oleh peneliti dapat disimpulkan salah satu faktor yang mempengaruhi keaktifan siswa adalah metode yang digunakan guru kurang

Bagi Formulir Penjualan Kembali yang telah lengkap sesuai dengan syarat dan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak Investasi Kolektif MANDIRI INVESTA

Dengan arah tersebut pendidikan (baca pengajaran) bahasa Indonesia dirumuskan menjadi enam butir tujuan, yaitu (1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai