• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Gejala ISPA Pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Gejala ISPA Pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan

Masyarakat (SKM)

Disusun oleh:

Tri Astuti Lestari

1110101000029

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN (FKIK)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

Skripsi, Juli 2014

Tri Astuti Lestari, NIM:1110101000029

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGANDENGAN GEJALA ISPA

PADA BALITA DI DESA CITEUREUP TAHUN 2014

(xi + 102 halaman, 24 tabel, 3 gambar, 8 lampiran)

ABSTRAK

ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang satu atau lebih dari saluran nafas. ISPA sering menyerang balita karena kekebalan tubuhnya yang masih rendah. ISPA masih menempati urutan teratas dari data 10 besar penyakit di Wilayah Kerja Puskesmas Citeureup. Di Desa Citeureup terdapat pabrik semen yang dalam proses produksi dan transportasinya menghasilkan pencemaran udara. Salah satu zat pencemar tersebut adalah SO2 yang

dapat menyebabkan gejala ISPA.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode deskriptif analitik dengan desain penelitian cross sectional yang dilakukan sejak bulan April sampai dengan Mei tahun 2014 di Desa Citeureup. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik cluster sampling dengan jumlah sampel 92 balita dan menggunakan analisis univariat and bivariat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 71 balita (77,2 %) yang mengalami gejala ISPA dan terdapat hubungan antara konsentrasi SO2 dengan gejala

ISPA (p value 0,032). Variabel lain yang berhubungan dengan gejala ISPA adalah anggota keluarga yang mengalami ISPA, ASI Eksklusif, BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), dan status gizi (p value < 0,05).

Untuk menanggulangi masalah ini diharapkan terdapat kerjasama antara masyarakat dengan pelayanan kesehatan untuk menciptakan lingkungan dan perilaku hidup sehat untuk mengurangi gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup. Penanggulangan ini dapat dilakukan dengan cara penyuluhan terkait dengan penyakit ISPA, mengenai tanda dan gejala ISPA dan cara pencegahannya.

Kata kunci: Gejala ISPA, balita, pencemaran udara luar ruangan, pencemaran udara dalam ruangan, kekebalan balita

(4)

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES

DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH

MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH

Under Graduated Thesis, July 2014 Tri Astuti Lestari, NIM 1110101000029

Factors Associated With Risk Of Ispa For Infants At Citeureup Village 2014

(xi+102 pages, 24 tables, 3 pictures, 8 attachments) ABSTRACT

ARI (Acute Respiratory Infection ) is an acute infectious disease that affects one or more of the respiratory tract. Its often strikes infants because their immune is still low. It is still on top list of 10 major diseases of data in job area of Citeureup Health Center. There is cement factory which in the process of production and transportation, that air pollution resulted. One of these pollutants are SO2 which cause

respiratory infection risk.

This research is a quantitative study using descriptive analytical cross-sectional study design, conducted since April to May 2014 in the Citeureup village. The sampling method used was cluster sampling with a sample of 92 infants and using univariate and bivariate.

The results showed that there were 71 infants (77.2%), which runs the risk of ARI and there is a relationship between the concentration of SO2 with ARI (p value

0,032). The other variables associated with the risk of ARI is a family member who suffered ISPA, exclusive breastfeeding, low birth weight and nutritional status (p value < 0,05 ).

To overcome this problem is expected the cooperation between the community and health services by creating healthy living environments and behaviors to reduce the risk of ISPA for infants in Citeureup Village. Countermeasures can be done by way of extension of ISPA disease, signs and symptoms and its prevention. Key words: symptomps of ARI, infants, outdoor pollution, indoor pollution,

(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Jln. Mufakat, Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur Purworejo, 1 Maret 1992

Perempuan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta SMA Negeri 7 Purworejo SMP Negeri 31 Purworejo SD Negeri 2 Borokulon

PENGALAMAN ORGANISASI

Sekretaris Departemen Pendidikan Penelitian dan Keilmuan Pengurus Daerah PAMI Jakarta Raya

Bendahara Divisi Pengembangan Masyarakat BEM Kesehatan Masyarakat UIN Jakarta

Ketua Departemen Pendidikan Penelitian dan Keilmuan Pengurus Daerah PAMI Jakarta Raya

Menteri Pengelolaan dan Pengembangan Dana Organisasi Pengurus Nasional PAMI

Sekretaris Envihsa (Environmental Health Student Association) UIN Jakarta

PENGALAMAN PRAKTEK KERJA

Orientasi Kerja di HSE PT. Yama Engineering

Pengalaman Belajar Lapangan Wilayah Kerja Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Ciputat, Tangerang Selatan

(6)
(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Ilahi Robbi yang telah memberikan kenikmatan dan kekuatan yang tidak terhitung jumlahnya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Faktor-faktor yang Berhubungan

dengan Gejala ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014”. Sholawat serta salam semoga dilimpah curahkan kepada suri tauladan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan akan iman dan pengetahuan ke zaman terang benderang.

Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan jenjang pendidikan S1 Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penuyusunan skripsi ini penulis mengalami banyak rintangan, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu, antara lain:

1. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes dan Ibu Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D selaku pembimbing I dan pembimbing II atas arahan dan bimbingan dalam penelitian ini, serta menyempatkan waktunya untuk memberikan saran dalam menyempurnakan penulisan skripsi.

2. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM, Ibu Narila Mutia Nasir, SKM, MKM, Ph.D, dan Bapak dr. Gatot Sudiro H, Sp.P, selaku penguji sidang skripsi yang telah banyak mengarahkan untuk perbaikan skripsi ini.

(9)

4. Pihak Puskesmas Citeureup, Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor dan Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Bogor yang telah mengizinkan dan membantu penelitian ini.

5. Kepala Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan izin dalam peminjaman alat dan analisis konsentrasi SO2.

6. Saudara seperjuangan peminatan Kesehatan Lingkungan 2010 atas dukungan dan masukan penelitian: Rizka, Misyka, Fitri, Nida, Annis, Dillah, Alya, Reka, Ifa, Yuni, Elfira, Ilham, Fuad, Angger, Febri dan Akbar.

7. Sahabat-sahabatku Rizka, Sabila, Raafika, Bayti, Nina, Wiwid dan Nita yang telah memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Terakhir dan terpenting untuk kedua orang tua dan kakak-kakakku yang selalu memberikan dukungan, nasehat serta doa yang selalu dipanjatkan demi kelancaran penyusunan skripsi.

Semoga bantuan, bimbingan serta masukan yang telah diberikan berbagai pihak yang diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT.

Ciputat, Juli 2014

(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iv

LEMBAR PENGESAHAN ... v

LEMBAR PERSETUJUAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang ... 1

1.2.RumusanMasalah ... 8

1.3.PertanyaanPenelitian ... 8

1.4.Tujuan ... 9

1.4.1. TujuanUmum ... 9

1.4.2. TujuanKhusus ... 9

1.5.Manfaat ... 10

(11)

1.5.2. BagiMasyarakat... 10

1.5.3. BagiPeneliti ... 10

1.6.RuangLingkup ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.InfeksiSaluranPernapasanAkut (ISPA) ... 12

2.2.Klasifikasi ISPA ... 13

2.2.1. ISPA Ringan ... 14

2.2.2. ISPA Sedang ... 15

2.2.3. ISPA Berat ... 15

2.3.Gejala ISPA ... 16

2.4.Penyebab ISPA ... 17

2.5.Cara Penularan ISPA ... 17

2.6.Diagnosa ISPA ... 18

2.7.Pencegahan ISPA ... 19

2.8.Mekanismeterjadinya ISPA ... 19

2.9.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ISPA ... 20

2.9.1. KarakteristikBalita ... 20

2.9.2. LingkunganFisikRumah ... 26

2.9.3. PencemaranUdara ... 28

2.9.3.1.PencemaranUdaraLuarRuangan ... 29

2.9.3.2.PencemaranUdaraDalamRuangan... 33

2.10. KerangkaTeori... 35

BAB III KERANGKA KONSEP 3.1. KerangkaKonsep ... 38

3.2. DefinisiOperasional ... 41

(12)

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

4.1. JenisdanRancanganPenelitian... 45

4.2. LokasidanWaktuPenelitian ... 45

4.2.1. LokasiPenelitian ... 45

4.2.2. WaktuPenelitian ... 46

4.3. SampelPenelitian ... 46

4.4. TeknikPengambilanSampel ... 48

4.5. MetodePenelitianPengukuran ... 49

4.6. TeknikPengolahan Data... 53

4.7. Analisis Data ... 55

4.7.1. AnalisisUnivariat ... 55

4.7.2. AnalisisBivariat ... 56

BAB V HASIL 5.1.HasilAnalisisUnivariat ... 57

5.1.1. GambaranInfeksiSaluranPernapasanAkutpadaBalita di DesaCiteureup 57 5.1.2. Gambaran SO2 di DesaCiteureup ... 57

5.1.3. GambaranAnggotaKeluarga yang Mengalami ISPA ... 58

5.1.4. GambaranAnggotaKeluarga yang Merokok ... 59

5.1.5. GambaranTempatuntukMerokokAnggotaKeluargaBalita di DesaCiteureup ... 59

5.1.6. GambaranJumlahRokok yang dikonsumsidalamsehari ... 60

5.1.7. GambaranBahanBakarMemasak di DesaCiteureup ... 60

(13)

5.1.9. GambaranJenisObat Anti Nyamuk yang Dipakai ... 61

5.1.10.Gambaran ASI EksklusifpadaBalita ... 62

5.1.11.AlasanBalita yang TidakMendapatkan ASI Eksklusif ... 63

5.1.12.GambaranJenisImunisasiBalita ... 63

5.1.13.AlasanBalita yang TidakMendapatkanImunisasiLengkap ... 64

5.1.14.GambaranBeratBadanLahirRendahpadaBalita ... 64

5.1.15.Gambaran Status GiziBalita di DesaCiteureup ... 65

5.2.HasilAnalisisBivariat ... 65

5.2.1. HubunganKonsentrasi SO2denganResiko ISPA padaBalita ... 66

5.2.2. HubunganAnggotaKeluarga yang Terkena ISPA denganResiko ISPA padaBalita ... 66

5.2.3. HubunganAnggotaKeluargaMerokokdenganResiko ISPA padaBalita ... 67

5.2.4. HubunganBahanBakarMemasakdenganResiko ISPA padaBalita ... 68

5.2.5. HubunganPenggunaanObat Anti NyamukBakardenganResiko ISPA padaBalita ... 69

5.2.6. Hubungan ASI EksklusifdenganResiko ISPA padaBalita ... 70

5.2.7. HubunganImunisasidenganResiko ISPA padaBalita ... 71

5.2.8. Hubungan BBLR (BeratBadanLahirRendah) denganResiko ISPA padaBalita ... 72

(14)

BAB VI PEMBAHASAN

6.1.KeterbatasanPenelitian ... 75

6.2.Resiko ISPA padaBalita di DesaCiteureup ... 76

6.3.AnalisisBivariat... 77

6.3.1. HubunganKonsentrasi SO2denganResiko ISPA padaBalita ... 77

6.3.2. HubunganAnggotaKeluarga yang Mengalami ISPA padaBalita ... 80

6.3.3. HubunganAnggotaKeluarga yang MerokokdenganResiko ISPA padaBalita ... 82

6.3.4. HubunganBahanBakarMemasakdenganResiko ISPA padaBalita ... 85

6.3.5. HubunganPenggunaanObat Anti NyamukBakardenganResiko ISPA padaBalita ... 87

6.3.6. HubunganPemberian ASI EksklusifdenganResiko ISPA padaBalita . 89 6.3.7. HubunganImunisasidenganResiko ISPA padaBalita ... 91

6.3.8. HubunganBeratBadanLahirRendah (BBLR) denganResiko ISPA padaBalita ... 95

6.3.9. Hubungan Status GizidenganResiko ISPA padaBalita ... 97

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1.Kesimpulan ... 99

(15)

DAFTAR PUSTAKA

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel ... 47

Tabel 5.1 Distribusi ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 57

Tabel 5.2 Distribusi SO2 pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014... 58

Tabel 5.3 Distribusi Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 58

Tabel 5.4 Distribusi Anggota Keluarga yang Merokok pada Balita di Desa

Citeureup Tahun 2014 ... 59

Tabel 5.5 Distribusi Tempat untuk Merokok Anggota Keluarga Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 59

Tabel 5.6 Distribusi Jumlah Rokok yang Dikonsumsi dalam Sehari di Desa

Citeureup Tahun 2014 ... 60

Tabel 5.7 Distribusi Bahan Bakar Memasak di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 61

Tabel 5.8 Distribusi Penggunaan Obat Anti Nyamuk pada Rumah Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 61

Tabel 5.9 Distribusi Jenis Obat Anti Nyamuk yang Dipakai di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 62

Tabel 5.10 Distribusi ASI Eksklusif pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 . 62

Tabel 5.11 Gambaran Alasan Balita yang Tidak Mendapatkan ASI Eksklusif ... 63

(17)

Tabel 5.13 Gambaran Balita yang Tidak Mendapat ASI Eksklusif di Desa

Citeureup Tahun 2014 ... 64

Tabel 5.14 Distribusi Berat Badan Lahir Rendah pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 64

Tabel 5.15 Distribusi Status Gizi pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 65

Tabel 5.16 Analisis Hubungan Konsentrasi SO2 Terhadap Resiko ISPA pada Balita

di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 66

Tabel 5.17 Analisis Hubungan Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 67

Tabel 5.18Analisis Hubungan Anggota Keluarga Merokok Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 68

Tabel 5.19 Analisis Hubungan Bahan Bakar Memasak Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 69

Tabel 5.20 Analisis Hubungan Penggunaan Obat Anti Nyamuk Bakar Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 70

Tabel 5.21 Analisis Hubungan ASI Eksklusif Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 71

Tabel 5.22 Analisis Hubungan Imunisasi Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 72

Tabel 5.23 Analisis Hubungan Berat Badan Lahir Rendah Terhadap Resiko ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014 ... 73

(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Teori...37

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian...40

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Output SPSS

Lampiran 2 Izin Studi Pendahuluan Lampiran 3 Permohonan Izin Penelitian Lampiran 4 Rekomendasi Penelitian

Lampiran 5 Permohonan Peminjaman Alat Penelitian dan Analisis Konsentrasi SO2

Lampiran 6 Balasan Izin Peminjaman Alat Penelitian dan Analisis Konsentrasi SO2

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. ISPA menyebabkan hampir 4 juta orang meninggal setiap tahun (Maramis, 2013). Data WHO 2008 yang di update Juni 2011 menyebutkan bahwa ISPA menempati peringkat ke 3 dari 10 penyebab kematian terpenting dunia dengan jumlah 3,46 juta orang (6,1%) (Aditama,T.Y,2011).

Masyarakat yang rentan terhadap ISPA adalah balita karena kekebalan tubuhnya masih rendah. Balita dapat mengalami serangan ISPA 5-8 kali setiap tahun terutama mereka yang tinggal di daerah urban. Jumlah penderita ISPA pada balita antara 25-40% yang dirawat jalan dan 12-35% yang dirawat di rumah sakit (Lubis,I, 1990). Prevalensi ISPA pada balita yaitu >35% diikuti dengan usia 5-14 tahun sebesar 29% (Balitbangkes Depkes RI, 2008).

(21)

yang meninggal karena ISPA tiap 15 detik dari 9 juta total kematian balita. Bahkan karena besarnya kematian ISPA, maka ISPA atau pneumonia disebut sebagai pandemik yang terlupakan atau The Forgotten Killer of Children (UNICEF, 2006 dalam Pramayu, 2012).

Pada Konferensi Internasional mengenai ISPA di Canberra, Australia, pada Juli 1997 mengatakan bahwa empat juta balita di negara-negara berkembang meninggal tiap tahun akibat ISPA. Di Indonesia, kematian balita akibat ISPA menduduki peringkat terbesar. Pada tahun 2000, diperkirakan kematian akibat pneumonia sebagai penyebab utama ISPA di Indonesia mencapai lima kasus di antara 1.000 bayi atau balita. Pneumonia menyebabkan 150.000 bayi atau balita meninggal tiap tahun, atau 12.500 bayi atau balita tiap bulan, atau 416 kasus sehari, atau 17 bayi atau balita tiap 1 jam, atau seorang bayi atau balita tiap lima menit (Siswono, 2007 dalam Putri, 2012).

Data Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi ISPA di Indonesia adalah 25,5% dengan 16 provinsi diantaranya mempunyai prevalensi di atas angka nasional. Jawa Barat hampir mendekati angka prevalensi nasional dengan prevalensi sebesar 24,73%. Oleh sebab itu perlu adanya tindakan preventif atau perbaikan agar angka kejadian ISPA menjadi menurun.

(22)

terbanyak pada kelompok balita. Studi pendahuluan juga menunjukkan bahwa banyak balita yang mengalami batuk, pilek, dan sakit tenggorokan yang merupakan gejala dari ISPA.

Berbagai faktor yang menyebabkan ISPA adalah lingkungan dan host. Menurut berbagai penelitian sebelumnya faktor lingkungan yang dapat menyebabkan ISPA adalah kualitas udara (Layuk, 2012). Kualitas udara dipengaruhi oleh seberapa besar pencemaran udara. Pencemaran udara adalah terkontaminasinya udara, baik dalam ruangan (indoor) maupun luar ruangan (Outdoor), dengan agen kimia, fisik, atau biologi yang telah mengubah karakteristik alami dari atmosfer. Setiap tahun diperkirakan terdapat 200 ribu kematian akibat outdoor pollution yang menimpa daerah perkotaan dimana 93% kasus terjadi di negara-negara berkembang (WHO, 2003 dalam Gertrudis, 2010). Contoh dari pencemaran udara luar (Outdoor) adalah pencemaran yang ditimbulkan dari proses industri. Salah satu industri yang terletak di Desa Citeureup, Bogor, Jawa Barat adalah industri semen. Industri semen adalah industri yang sebagian besar proses produksinya berupa pengecilan ukuran material dan pembakaran sehingga mempunyai resiko terhadap pencemaran lingkungan jika tidak ada pengelolaan lingkungan (Gertrudis, 2010).

Industri menghasilkan berbagai pencemar seperti TSP, NOx dan SOx. Zat

pencemar TSP menyumbang 15-28%, NOx 16-43%, dan SOx 63-88% dalam

(23)

(Ali, 2007). Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa terdapat hubungan antara kejadian ISPA dengan SO2, (Sakti, 2012).

Zat pencemar SOx menimbulkan dampak terhadap manusia sebesar 0,5

ppm. Pengaruh utama polutan SOx terhadap manusia adalah iritasi sistem

pernafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih bahkan pada beberapa individu yang

sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm (Depkes, 1999).

Pada kondisi temperatur ataupun tekanan tertentu pencemar bahan padat atau cair dapat berubah menjadi gas. Baik partikel maupun gas membawa akibat terutama bagi kesehatan manusia seperti debu batubara, asbes, semen, belerang, asap pembakaran, uap air, gas sulfida, uap amoniak, dan lain-lain. Arah angin mempengaruhi daerah pencemaran karena sifat gas dan partikel yang ringan dan mudah terbawa (Arief, L.M, 2010).

Selain pencemaran udara luar ruangan (Outdoor), pencemaran udara dalam ruangan (Indoor) juga mempunyai peran terhadap terjadinya ISPA pada balita. Beberapa pencemaran udara dalam ruangan adalah anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, penggunaan obat anti nyamuk bakar, dan penggunaan kayu bakar untuk bahan bakar memasak (Layuk, 2012).

(24)

batuk atau bersin dan tidak ditutup menggunakan tangan atau sapu tangan maka akan menyebabkan virus menyebar di dalam ruangan (Gertrudis, 2010).

Kebiasaan merokok anggota keluarga menyebabkan balita sebagai perokok pasif menjadi terpajan asap rokok. Terdapatnya seorang perokok atau lebih akan meningkatkan resiko anggota keluarga untuk mengalami gangguan pernapasan. Jumlah perokok di Indonesia semakin banyak sehingga akan menambah jumlah penderita gangguan kesehatan akibat merokok atau menghirup asap rokok. Dari hasil penelitian yang dilakukan sebagian besar penderita ISPA berasal dari lingkungan yang didalamnya terdapat anggota keluarga merokok (Agussalim, 2012).

Penggunaan obat anti nyamuk juga merupakan salah satu dari penyebab pencemaran di dalam rumah. Obat anti nyamuk terdiri atas bermacam-macam jenis, diantaranya adalah obat anti nyamuk bakar, semprot, oles, Obat anti nyamuk yang dapat menimbulkan resiko terbesar pada saluran pernapasan adalah obat anti nyamuk bakar. Berdasarkan penelitian, penggunaan obat anti nyamuk bakar memiliki resiko 5,89 kali untuk mengalami ISPA dibandingkan dengan responden yang tidak menggunakan obat anti nyamuk bakar (Halim, 2012).

(25)

memenuhi syarat dibandingkan dengan pencemaran udara oleh asap bahan bakar untuk memasak didalam rumah yang memenuhi syarat (Citra, 2012).

Faktor resiko lainnya yang dapat menyebabkan ISPA selain pencemaran udara adalah faktor kekebalan balita itu sendiri. Kekebalan balita dipengaruhi oleh ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), dan status gizi.

Balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif merupakan salah satu faktor terjadinya ISPA. Efek protektif dari ASI cenderung menurunkan angka kesakitan pada balita yang diberi ASI khususnya pada bulan-bulan awal kelahiran. Berdasarkan penelitian, kejadian ISPA 4 kali lebih besar pada balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI Eksklusif (Widarini, 2009).

Imunisasi merupakan upaya untuk menurunkan mortalitas akibat ISPA pada balita. Sebagian besar kematian akibat ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak. Pemberian imunisasi campak yang efektif sekitar 11% pneumonia pada balita dapat dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) dapat mencegah kematian akibat pneumonia sekitar 6% (Agussalim, 2012).

(26)

terdahulu mengatakan bahwa terdapat hubungan antara BBLR dengan kejadian ISPA (Layuk, 2012).

Faktor kekebalan balita lainnya adalah status gizi. Balita yang mempunyai gizi kurang akan mudah terkena ISPA daripada balita yang mempunyai gizi baik. Penelitian terdahulu mengatakan bahwa kejadian ISPA berulang lebih banyak pada balita dengan status gizi kurang (Sukmawati, 2010).

Berdasarkan uraian diatas, ISPA disebabkan oleh pencemaran udara. Outdoor pollution merupakan faktor penyebab ISPA di negara berkembang. Salah

satu penyebab adanya pencemaran udara luar ruangan adalah dari aktivitas industri. Zat pencemar udara yang terbesar akibat industri adalah SO2. Penyebab

terjadinya ISPA bukan hanya berasal dari lingkungan luar rumah dengan melihat konsentrasi SO2 di masing-masing zona lokasi penelitian yang dinginkan. Namun

juga diperhatikan penyebab dari lingkungan dalam rumah (anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga merokok, penggunaan obat anti nyamuk bakar, dan bahan bakar memasak) dan faktor kekebalan balita (ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi) yang berpotensi menyebabkan balita terkena ISPA.

Oleh karena itu, dalam studi ini peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara konsentrasi SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA,

(27)

1.2.Rumusan Masalah

Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa banyak balita yang mempunyai resiko terhadap ISPA. Faktor penyebab ISPA diantaranya disebabkan oleh pencemaran udara baik itu pencemaran udara luar (Outdoor) maupun pencemaran udara dalam (Indoor). Penelitian mengenai pencemaran udara luar yang dilakukan oleh Gertrudis (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara PM10 dengan kejadian ISPA. Pencemaran udara luar tidak hanya

disebabkan PM10, namun juga disebabkan oleh konsentrasi SO2. Zat pencemar

SO2 diduga berasal dari hasil kegiatan industri dan transportasi yang berada di

Desa Citeureup. Selama ini belum pernah ada penelitian mengenai hubungan antara konsentrasi SO2 dengan kejadian ISPA di wilayah tersebut. Selain itu

faktor lain penyebab ISPA adalah pencemaran udara dalam ruangan. Pencemaran udara dalam rumah yang dapat menyebabkan ISPA meliputi anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, penggunaan obat anti nyamuk bakar, penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak. Faktor kekebalan balita juga mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita. Faktor kekebalan balita dapat ditentukan oleh ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini untuk membuktikan apakah terdapat hubungan antara konsentrasi SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA,

(28)

1.3.Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimanakah prevalensi balita yang mengalami gejala ISPA?

2. Apakah ada hubungan antara variabel independen (konsentrasi SO2, anggota

keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga yang merokok, bahan bakar memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi) dengan variabel dependen (gejala ISPA) pada balita di Desa Citeureup tahun 2014?

1.4. Tujuan

1.4.1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala ISPA di Desa Citeureup Tahun 2014.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui prevalensi balita yang mengalami gejala ISPA. 2. Mengetahui hubungan antara variabel independen (konsentrasi

SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga

(29)

1.5.Manfaat

1.5.1. Bagi Instansi Pemerintah

Dapat menjadi pertimbangan untuk menentukan kebijakan perencanaan dan pembangunan daerah sehingga tidak terjadi dampak negatif yang merugikan masyarakat.

1.5.2. Bagi Masyarakat

Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai faktor penyebab ISPA pada balita.

1.5.3. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat memberikan pengalaman dan wawasan kepada peneliti mengenai faktor gejala ISPA pada balita. Penelitian ini juga dapat dijadikan acuan bagi yang ingin melakukan penelitian serupa ditempat lain, ataupun sebagai dasar untuk melakukan penelitian yang lebih rinci mengenai masalah yang sama di wilayah yang sama atau di wilayah lain.

1.6. Ruang Lingkup

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen (konsentrasi SO2, anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota

(30)

dependen (gejala ISPA) pada masyarakat yang tinggal di Desa Citeureup. Penelitian ini dilaksanakan Maret-April 2014. Sasaran penelitian ini adalah balita.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan cross

sectional. Pengukuran SO2 dalam pengumpulan data primer menggunakan alat

midget impinger. Data-data riwayat ISPA dan karakteristik individu

(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung hingga kantong paru (alveoli) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus/rongga di sekitar hidung (sinus para nasal), rongga telinga tengah dan pleura (Kementerian Kesehatan, 2009).

Pengertian lain dari ISPA adalah infeksi saluran pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih 14 hari. ISPA meliputi struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara simultan atau berurutan (Muttaqin, 2008).

(32)

penyakit yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat ditolong dengan cepat agar tidak mengalami kegagalan pernafasan (Depkes, 2009).

2.2. Klasifikasi ISPA

Klasifikasi ISPA dibedakan untuk golongan umur di bawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun (Muttaqin, 2008):

a. Golongan umur kurang 2 bulan: 1) Pneumonia berat

Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah atau nafas cepat. Napas cepat untuk golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu 60 kali per menit atau lebih.

2) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa)

Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan, yaitu:

a) Kemampuan minum menurun sampai kurang dari ½ volume yang biasa diminum.

b) Kejang.

c) Kesadaran menurun. d) Stridor.

e) Wheezing.

(33)

b. Golongan umur 2 bulan-5 tahun 1) Pneumonia Berat

Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik napas.

2) Pneumonia Sedang

Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:

a) Untuk usia 2 bulan -12 bulan= 50 kali per menit atau lebih. b) Untuk usia 1-4 tahun= 40 kali per menit atau lebih.

3) Bukan Pneumonia

Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun yaitu:

a) Tidak bisa minum. b) Kejang.

c) Kesadaran menurun. d) Stridor.

e) Gizi buruk.

Depkes (2002) mengklasifikasikan ISPA dalam 3 kategori, yaitu:

2.2.1. ISPA ringan

(34)

gejala-gejala: batuk, serak (bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara), pilek (mengeluarkan lendir dari hidung), panas atau demam (suhu badan lebih dari 30oC). Penderita ISPA ringan cukup dibawa ke puskesmas atau diberi obat penurun panas di rumah.

2.2.2. ISPA sedang

Tanda dan gejala ISPA sedang yaitu sesak nafas, suhu lebih dari 39oC, bila bernafas mengeluarkan suara seperti mendengkur. Seseorang dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA ringan disertai gejala: suhu lebih dari 39oC, tenggorokan berwarna merah, timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak, telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari telinga, pernafasan berbunyi seperti mendengkur.

2.2.3. ISPA berat

(35)

2.3. Gejala ISPA

a. Anak umur 2 bulan sampai umur kurang dari 5 tahun ditandai dengan:  Batuk atau juga disetai dengan kesulitan bernapas.

 Napas sesak atau penarikan dinding dada sebelah bawah ke

dalam (severe chest indrawing).

 Dahak berwarna kehijauan atau seperti karet.

Pada kelompok ini dikenal dengan Pneumonia atau ISPA sangat berat dengan gejala batuk dan kesulitan bernapas karena tidak ada ruang tersisa untuk oksigen di paru-paru.

b. Anak dibawah 2 bulan, ditandai dengan:

 Frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih  Penarikan kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam

Jika bayi bernapas dengan bantuan ventilator maka akan tampak bahwa jumlah lendir meningkat, kadang-kadang disertai dengan naik dan turunnya suhu tubuh.

Tanda dan gejala lainnya antara lain:  Batuk

 Ingus

 Suara napas lemah

(36)

 Sesak napas

 Menggigil (Misnadiarly, 2008)

2.4. Penyebab ISPA

Patogen yang paling sering menyebabkan ISPA adalah virus. Menurut Dirjen P2PL (2009) dan Depkes (2004), dalam Sinaga (2012), penyebab ISPA terdiri dari 300 jenis bakteri dan virus. Bakteri penyebab ISPA misalnya dari genus Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococus, Haemophylus, Bordetella, dan Corynobacterium. Sedangkan virus penyebab ISPA seperti pada golongan Mycovirus, Adenovirus, Coronavirus, Pikornavirus, Mycoplasma, dan Herpesvirus dan lain-lain.

Salah satu penyebab ISPA adalah asap pembakaran bahan bakar kayu yang biasanya digunakan untuk memasak. Timbulnya asap dari bahan bakar kayu ini menyebabkan batuk, sesak napas dan sulit untuk bernapas. Polusi dari bahan bakar kayu tersebut mengandung zat-zat seperti Dry basis, Ash, Carbon, Hidrogen, Sulfur, Nitrogen, dan Oxigen yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2002).

2.5.Cara Penularan ISPA

(37)

penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara dapat juga menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah karena menghirup udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab ISPA. Saluran pernafasan selalu terpapar dengan dunia luar sehingga untuk mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efisien (Alsagaff dan Mukty, 2010).

2.6.Diagnosa ISPA

Infeksi Saluran Pernapasan atas dapat didiagnosis melalui gejala seperti batuk yang disertai atau tanpa demam, hidung yang mampet atau berlendir, sakit tenggorokan, dan/atau gangguan telinga. Sedangkan gejala klinis dari infeksi saluran pernapasan bawah sama seperti gejala pada saluran pernapasan atas tetapi ditambah dengan gejala bernapas cepat dan berat (Ambrose, 2005 dalam Sakti, 2010).

Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang dilakukan adalah biakan virus, serologis, diagnostik virus secara langsung. Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena bakteri dilakukan dengan pemeriksaan sputum, biakan darah, biakan cairan pleura (Halim, 2000).

(38)

penderita pneumonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernafas yang disertai dengan gejala tidak sadar atau tidak dapat minum. Pada klasifikasi pneumonia maka diagnosisnya batuk pilek biasa (common cold) pharyngitis, tonsillitis, otitis, atau penyakit non pneumonia lainnya (Halim, 2000).

2.7.Pencegahan ISPA

Upaya pencegahan ISPA tidak mudah namun tetap harus dilakukan. Beberapa upaya pencegahannya adalah:

 Meningkatkan daya tahan tubuh

 Segera diobati jika terkena ISPA

 Tempat tinggal harus mempunyai ventilasi yang baik (Aditama, 2005

dalam Sukandarrumidi, 2010). 2.8.Mekanisme terjadinya ISPA

Penyebab ISPA terkait dengan tidak berfungsinya silia (rambut-rambut halus) yang terdapat dalam sistem pernapasan. Jika silia rusak maka kotoran akan masuk ke dalam sistem pernapasan bersama dengan udara. Kejadian ini menunjukkan bahwa tidak ada proses penyaringan sehingga berujung pada infeksi (Media Informasi Kesehatan Indonesia,2013).

(39)

menyebabkan iritasi. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran pernapasan. Akibatnya, akan menyebabkan kesulitan bernapas sehingga benda asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat keluar dari saluran pernafasan. Hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan (Media Informasi Kesehatan Indonesia, 2013).

2.9.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ISPA

2.9.1. Karakteristik Balita

1. Umur

ISPA dapat ditemukan pada 50 persen anak berusia di bawah 5 tahun dan 30 persen anak berusia 5 sampai 12 tahun (Rahajoe dkk, 2008). Untuk keperluan perbandingan maka WHO menganjurkan pembagian umur menurut tingkat kedewasaan, interval lima tahun dan untuk mempelajari penyakit anak (Notoatmodjo, 2003).

2. Jenis kelamin

(40)

3. Pendidikan orang tua

Tingkat pendidikan menunjukkan adanya hubungan dengan kejadian dan kematian ISPA. Kurangnya pengetahuan menyebabkan sebagian kasus ISPA tidak diketahui oleh orang tua dan tidak diobati (Pramayu, 2012).

4. Status gizi

(41)

balita cenderung mengalami ISPA berat dan serangannya lebih lama (Depkes RI, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (2012) dan Gertrudis (2010) memberikan hasil bahwa status gizi mempunyai hubungan dengan resiko ISPA.

5. Berat Badan Lahir Rendah

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir <2.500 gram. Rosdy dkk (2005) dalam Pramayu (2012) menyatakan bahwa di negara berkembang, kematian akibat pneumonia berhubungan dengan BBLR. Sebanyak 22 persen kematian pada pneumonia diperkirakan terjadi pada BBLR.

6. Status ASI Eksklusif

(42)

ASI mengandung Immunoglobulin yang dapat mencegah bayi dari penyakit infeksi, ASI mengandung rangkaian asam lemak tak jenuh yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Selain praktis, ASI juga mudah dicerna, bersih dan aman bagi bayi. Pada penelitian Rahayu, (2011) terdapat hubungan antara bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil studi yang menunjukkan bahwa ASI merupakan faktor protektif terhadap kejadian ISPA yaitu pada penelitian Sinaga (2012) bahwa ASI memiliki daya protektif terhadap kejadian ISPA pada bayi umur 0-4 bulan.

7. Status Imunisasi

(43)

a) Vaksinasi BCG

Vaksinasi BCG diberikan pada bayi umur 0-12 bulan secara suntikan intrakutan dengan dosis 0,05 ml. Vaksinasi BCG dinyatakan berhasil apabila terjadi tuberkulin konversi pada tempat suntikan. Ada tidaknya tuberkulin konversi tergantung pada potensi vaksin dan dosis yang tepat serta cara penyuntikan yang benar. Kelebihan dosis dan suntikan yang terlalu dalam akan menyebabkan terjadinya abses ditempat suntikan. Untuk menjaga potensinya, vaksin BCG harus disimpan pada suhu 20 C (Depkes RI, 2005).

b) Vaksinasi DPT

Kekebalan terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus adalah dengan pemberian vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan toksoid tetanus yang telah dimurnikan ditambah dengan bakteri bortella pertusis yang telah dimatikan. Dosis penyuntikan 0,5 ml

(44)

terlalu tinggi, kejang, kesadaran menurun, menangis yang berkepanjangan lebih dari 3 jam, hendaknya pemberian vaksin DPT diganti dengan DT. (Depkes RI, 2005).

c) Vaksinasi Polio

Untuk kekebalan terhadap polio diberikan 2 tetes vaksin polio oral yang mengandung virus polio yang mengandung virus polio tipe 1, 2 dan 3 dari Sabin. Vaksin yang diberikan melalui mulut pada bayi umur 2-12 bulan sebanyak 4 kali dengan jarak waktu pemberian 4 minggu (Depkes RI, 2005).

d) Vaksinasi Campak

(45)

yang berasal dari ibu (maternal antibodi), ternyata dapat menghambat terbentuknya zat kebal campak dalam tubuh anak, sehingga imunisasi ulangan masih diberikan 4-6 bulan kemudian. Maka untuk Indonesia vaksin campak diberikan mulai anak berumur 9 bulan (Depkes RI, 2005).

1.9.2. Lingkungan Fisik Rumah

1.Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti O2 yang diperlukan oleh penghuni tersebut tetap terjaga.

Menurut Slamet (2002) dalam Chahaya (2004) ruangan dengan ventilasi tidak baik jika dihuni seseorang akan mengalami kenaikan kelembaban yang disebabkan penguapan cairan tubuh dari kulit karena uap pernapasan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Marvin (2002) dalam Chahaya (2004) yang menyatakan ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA.

2. Lantai rumah

(46)

keramik, ubin, atau semen yang kedap atau kuat. Lantai tanah atau semen yang rusak dapat menimbulkan debu (Kusnoputranto, 2000).

Lantai rumah yang tidak kedap air dan sulit dibersihkan akan menjadi wahana untuk tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme di dalam rumah dan juga dapat mengeluarkan debu. Untuk melindungi penghuni rumah terutama balita yang mempunyai daya tahan tubuh rendah dari penyakit berbasis lingkungan maka diperlukan jenis lantai yang kedap air dan mudah dibersihkan (Depkes RI, 2002)

3. Dinding rumah

Dinding juga harus dibangun sedemikian rupa sehingga tidak mudah menimbulkan debu. Dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu, anyaman daun rumbia, atau kayu masih dapat ditembus udara, sehingga dapat memperbaiki ventilasi, namun sulit untuk menjaga kebersihannya dari debu yang menempel dan tumbuh berkembangnya mikroorganisme yang dapat menimbulkan gangguan pada sistem pernapasan. Dinding yang paling aman dan mudah dibersihkan adalah yang terbuat dari tembok plesteran (bersifat kedap air) (Sanropie dkk, 1991 dalam Irianto 2006).

4. Kepadatan hunian

(47)

resiko ISPA. Penelitian yang mendukung lainnya adalah berdasarkan hasil penelitian Chahaya (2004), kepadatan hunian rumah dapat memberikan resiko terjadinya ISPA sebesar 9 kali.

5. Suhu Ruangan

Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan (2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa suhu ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita.

6. Kelembaban

Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan (2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita.

1.9.3. Pencemaran Udara

Definisi pencemaran udara menurut beberapa sumber yaitu:

(48)

b. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan atau mempengaruhi kesehatan manusia (Kepmenkes No.1407/MENKES/SK/XI/ 2002 Tentang Pedoman Pengendalian Dampak Pencemaran Udara).

c. Pencemaran udara adalah kontaminasi pada lingkungan dalam ruangan (indoor) atau luar ruangan (outdoor) oleh bahan-bahan kimia, fisik, ataupun biologi yang dapat mengubah karakteristik alamiah dari atmosfer (WHO, 2012 dalam Halim, 2012).

1.9.3.1. Pencemaran Udara Luar Ruangan

1. Zat Pencemar SO2

Karakteristik SO2

Sulfur dioksida (SO2) termasuk dalam kelompok

sulfur oksida atau sering ditulis SOx bersama dengan sulfur

trioksida (SO3). SO2 berpotensi besar untuk berpindah ke

tempat yang lebih jauh (lebih dari 500-1000 km karena waktu tinggalnya di atmosfer hanya beberapa hari (Wardhana, 2004).

Pencemar SO2 memberikan efek negatif pada sistem

(49)

disebabkan SO2 akan mengakibatkan batuk, sekresi lendir

yang berlebihan, peningkatan gejala asma dan bronkitis kronis serta membuat manusia lebih mudah mendapatkan infeksi pada saluran pernapasan (WHO, 2005).

Rute pajanan SO2 ke tubuh manusia yang utama

adalah melalui inhalasi. Pencemar SO2 mudah larut dalam air

sehingga dapat terabsorbsi di dalam hidung dan sebagian besar juga ke saluran pernapasan (Satriyo, 2008).

Baku Mutu SO2

Nilai baku mutu SO2 dalam udara ambien berdasarkan

WHO adalah rata-rata per 24 jam 20 µg /m3 atau 0,008 ppm dan rata-rata per 10 menit 500 µg /m3 atau 0,2 ppm. Baku mutu SO2 dalam udara ambien di Indonesia mengacu pada

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yaitu 900 µg /m3.

2. Zat Pencemar NO2

Karakteristik NO2

Nitrogen dioksida (NO2) adalah salah satu dari

kelompok polutan NOx. Nitrogen dioksida adalah gas toksik,

(50)

alkali, karbon disulfide dan kloroform. Gas ini berwarna coklat kemerahan dan pada suhu dibawah 21,2oC akan berubah menjadi cairan berwarna kuning. Baunya khas dan mengganggu bahkan dapat mengiritasi saluran napas pada konsentrasi 1-3 ppm (Handayani dkk, 2003).

Pajanan nitrogen dioksida dapat berpengaruh pada saluran pernapasan. Bukti ilmiah bahwa pajanan NOx selama

30 menit hingga 24 jam akan memberikan dampak yang merugikan bagi pernapasan yaitu inflamasi atau peradangan saluran napas pada orang sehat dan peningkatan gejala pada penderita asma. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan konsentrasi NO2

dengan peningkatan kunjungan rumah sakit dan UGD yang berkaitan dengan penyakit pernapasan terutama asma (U.S. Environmental Protection Agency, 2010).

Inhalasi NO2 dapat menyebabkan gangguan paru dan

saluran pernapasan kemudian dapat masuk ke peredaran darah dan menimbulkan akibat di organ tubuh lain. Kelarutan NO2

(51)

asam nitrat (HNO3) yang bersifat korosif terhadap mukosa

permukaan saluran napas (Handayani dkk, 2003).

Baku Mutu NO2

Baku mutu NO2 dalam udara ambient berdasarkan WHO

adalah rata-rata tahunan 40 µg/m3 atau 0,016 ppm dan rata-rata per jam 200 µg/m3 atau 0,08 ppm (WHO,2005). Di Indonesia baku mutu NO2 dalam udara ambient mengacu

pada peraturan pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pencemaran Udara yaitu 400 µg/m3.

3. Zat Pencemar PM10

Karakteristik PM10

PM10 adalah partikulat padat atau cair yang melayang

di udara dengan nilai median ukuran diameter serodinamik kurang dari 10 mikron. Partikulat ukuran kurang dari 10 mikron mempunyai beberapa nama lain yaitu PM10 sebagai

inhalable particles, respirable particulate, respirable dust dan

inhalable dust. PM10 merupakan kelompok partikulat yang

(52)

Baku Mutu PM10

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara, baku mutu udara ambient nasional selama 24 jam untuk PM10 adalah

sebesar 150 µg/m3.

1.9.3.2.Pencemaran Udara Dalam Ruangan

1. Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA

Salah satu penularan ISPA adalah melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan. Adanya bibit penyakit di udara umumnya berbentuk aerosol yaitu suspensi yang melayang di udara (Gertrudis, 2010).

Menurut Roe (1994) dalam Gertrudis (2010), keberadaan penderita ISPA serumah menyebutkan bahwa adanya anggota keluarga lain yang terkena infeksi pernafasan merupakan faktor resiko batuk pilek pada balita.

2. Anggota Keluarga yang Merokok

(53)

terdapat perokok lebih rentan terkena penyakit gangguang pernafasan dibanding dengan anak-anak yang bukan keluarga perokok.

3. Bahan Bakar Memasak

Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat menyebabkan kualitas udara menjadi rusak. Menurut Chahaya (2004) bahan bakar memasak dapat menyebabkan resiko ISPA.

Bahan bakar yang biasa dipakai masyarakat untuk kegiatan memasak sehari-hari adalah minyak tanah, kayu, gas, dan listrik. Pada daerah pedesaan masih sering dijumpai rumah tangga yang menggunakan kayu bakar sebagai sumber energi utama karena mudah didapat. Namun, kayu bakar dan minyak tanah dapat mencemari udara dan mengganggu kesehatan manusia, karena hasil pembakarannya mengandung partikulat (PM10 , PM2,5), sulfur oksida, nitrogen oksida,

karbon monoksida, fluorida, aldehida, dan senyawa

(54)

4. Penggunaan Obat Anti Nyamuk Bakar

Penggunaan anti nyamuk bakar sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan (Chahaya, 2004).

Menurut penelitian Wattimena (2004), menyatakan bahwa rumah yang menggunakan obat anti nyamuk bakar berpeluang meningkatkan kejadian ISPA pada balita 7,1 kali dibandingkan dengan rumah balita yang tidak menggunakan obat anti nyamuk bakar.

2.10. Kerangka Teori

(55)

Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA yang menyerang saluran pernapasan dimulai dari hidung sampai alveoli tidak hanya disebabkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri tapi juga disebabkan oleh pencemaran udara.. ISPA akibat polusi udara adalah ISPA yang disebabkan oleh faktor resiko polusi udara, seperti asap rokok, asap bahan bakar memasak di rumah tangga, asap transportasi, industri, dan lain-lain (Depkes, 2009).

Pencemaran udara dibagi menjadi 2 yaitu pencemaran udara luar ruangan dan pencemaran udara dalam ruangan. Faktor penyebab ISPA yang berasal dari pencemaran udara luar ruangan misalnya pencemaran yang disebabkan oleh adanya suatu industri. Salah satu industri yang menghasilkan pencematan udara adalah industri semen. Industri semen dalam proses produksinya menghasilkan SO2, NO2 dan PM10.

Selain pencemaran udara luar ruangan, pencemaran dalam ruangan juga mempunyai pengaruh terhadap terjadinya ISPA. Pencemaran udara dalam ruangan misalnya adalah anggota keluarga yang mengalami ISPA, anggota keluarga merokok, bahan bakar merokok, penggunaan anti nyamuk bakar.

(56)

Gambar 2.1. Kerangka Teori Indoor Air Pollution

 Anggota keluarga yang mengalami ISPA

 Anggota keluarga merokok  Bahan bakar memasak  Penggunaan anti nyamuk

bakar

 Pendidikan orang tua  Status gizi

 BBLR

(57)

BAB IIII

KERANGKA KONSEP

Pengukuran SO2 dilakukan 1 kali sampling udara pada posyandu di

masing-masing RW Desa Citeureup. Desa Citeureup mempunyai 8 RW yang terdapat posyandu sehingga pengambilan sampel udara dilakukan sebanyak 8 kali.

3.1. Kerangka Konsep

Pencemaran udara yang terus menerus dan terbawa angin ke permukiman masyarakat dapat mengakibatkan ISPA. Pencemaran udara dibagi menjadi 2 yaitu pencemaran udara dalam ruangan dan pencemaran udara luar ruangan.

Sistem Pemantauan Lingkungan Global yang disponsori PBB memperkirakan bahwa 70% penduduk kota di dunia hidup dengan partikel yang mengambang di udara melebihi ambang batas yang ditetapkan WHO. Sebagian benda partikulat keluar dari cerobong asap pabrik yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan. Partikel-partikel halus ini dapat menembus bagian terdalam paru-paru yang dapat mengganggu sistem pernafasan. Sebagian besar partikel halus ini terbentuk dengan polutan lain, terutama sulfur dioksida dan nitrogen dioksida (Moore, 2007 dalam Gertrudis, 2010).

(58)

adalah SO2. Dalam penelitian Sakti (2010) menyebutkan bahwa terdapat

hubungan antara ISPA dengan udara ambien (SO2, NO2, dan TSP).

Selain pencemaran udara luar, pencemaran udara dalam rumah juga mempunyai resiko untuk mengakibatkan ISPA. Faktor penyebab pencemaran udara di dalam rumah yaitu anggota keluarga yang mengalami ISPA, asap rokok, penggunaan kayu bakar untuk memasak, dan penggunaan obat anti nyamuk bakar.

Efek dari pencemar udara terhadap saluran pernapasan dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernapasan yang menyebabkan iritasi. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran pernapasan. Akibatnya, akan menyebabkan kesulitan bernapas sehingga benda asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat keluar dari saluran pernafasan. Hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan.

Infeksi saluran pernafasan terjadi tidak hanya karena faktor pencemaran udara, namun faktor kekebalan balita juga mempunyai peran penting dalam mencegah ISPA. Faktor yang mempengaruhi kekebalan balita diantaranya adalah ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR, dan status gizi.

Oleh karena itu variabel yang ingin diteliti adalah SO2, anggota keluarga

(59)

Eksklusif, BBLR, imunisasi dan status gizi dengan gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup tahun 2014.

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian  SO2

 Anggota keluarga yang mengalami ISPA

 Anggota keluarga merokok  Bahan Bakar Memasak  Penggunaan obat anti nyamuk

bakar

 ASI Eksklusif  Imunisasi  BBLR  Status Gizi

(60)

3.2. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Kategori

Variabel Dependen

1. Gejala ISPA

Gejala ISPA yang dilihat dari gejala-gejala ispa pada balita yaitu batuk (lebih dari 5 kali sehari), pilek, sakit

tenggorokan, tidak bisa (tidak mau) minum/menelan, batuk dahak/lendir, sakit telinga (berair/nanah), demam, sesak nafas/nafas cepat/nafas terputus

Kuesioner mengenai

Hasil pengukuran konsentrasi SO2 di

Desa Citeureup bulan April tahun 2014

Pengukuran

Anggota keluarga balita yang tinggal serumah dengan balita dan menderita gejala ISPA seperti batuk (lebih dari 5 kali sehari), pilek, sakit tenggorokan, batuk dahak/lendir, sakit

telinga,demam, sesak nafas

(61)

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Kategori

4. Anggota keluarga merokok

Terdapatnya anggota keluarga, baik ayah, kakak ataupun yang lainnya yang merokok.

Jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak di rumah

Kuesioner mengenai penggunaan kayu bakar dengan wawancara

Kuesioner 1.Menyebabkan pencemaran

Menggunakan obat anti nyamuk yang dibakar untuk mencegah nyamuk

Kuesioner mengenai

Memberikan ASI saja tanpa makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan

(62)

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Ukur Kategori

8. Imunisasi Memberikan imunisasi (vaksinasi BCG, vaksinasi DPT, vaksinasi polio dan vaksinasi campak) secara lengkap

Kuesioner mengenai

Berat badan bayi saat lahir kurang dari 2500 gram

10. Status Gizi Keadaan gizi anak balita saat dilakukan penelitian diukur berdasarkan BB/U.

Gizi Lebih: Zscore > 2

(63)

3.3. Hipotesis

1. Ada hubungan antara variabel dependen (konsentrasi SO2, anggota keluarga

(64)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi dengan rancangan cross sectional study. Desain ini dianggap sesuai karena tujuan penelitian ini

salah satunya untuk melihat prevalensi (Murti, 2013). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan konsentrasi SO2, anggota keluarga yang merokok,

penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi dengan gejala ISPA pada balita di Desa Citeureup. Variabel konsentrasi SO2 diukur pada tiap

cluster yang diwakili oleh posyandu di masing-masing RW di Desa Citeureup, sedangkan variabel lainnya diamati pada setiap balita dengan bantuan kuesioner,

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di Desa Citeureup. Desa Citeureup termasuk dalam wilayah kerja Puskesmas Citeureup. Luas wilayah kerja Puskesmas Citeureup adalah 9,35 km2 dengan jumlah penduduk 204.028 jiwa. Desa Citeureup sendiri memiliki batas wilayah geografis sebagai berikut:

(65)

Sebelah Selatan : Desa Karangasem Timur dan Desa Tarikolot

Sebelah Barat : Desa Karangasem Barat dan Desa Puspanegara

Sebelah Timur : Desa Gunung Sari dan Desa Tarikolot

4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan bulan Maret-April 2014. 4.3. Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah balita yang tinggal di Desa Citeureup. Balita dipilih sebagai sampel karena balita sangat rentan untuk terkena gangguan pernapasan atau ISPA.

Dalam penelitian ini, jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus estimasi beda dua proporsi menurut Lemeshow (1997) adalah sebagai berikut:

Keterangan:

n = Besar sampel minimal untuk masing-masing kelompok

α = probabilitas menolak Ho, padahal Ho benar (Dalam penelitian ini α = 5 %; Z 1-α/2 = 1,96)

(66)

P1 dan P2 = Proporsi penelitian sebelumnya P = Rata-rata proporsi ((P1+P2)/2))

Pada penelitian ini menggunakan derajat kemaknaan 5% dan kekuatan uji 80%. Perhitungan sampel dilakukan berdasarkan variabel yang akan diteliti yang telah dilakukan oleh penelitian-penelitian sebelumnya.

Tabel 4.1. Hasil Perhitungan Sampel

Variabel P1 P2 N

Anggota Keluarga yang Mengalami ISPA

88,6%=0,886 48,1%=0,481 19 x 2 = 38

Anggota Keluarga Merokok 76,2%= 0,762 23,8%= 0,238 13 x 2 = 26 Penggunaan Bahan Bakar

Memasak

82,6%= 0,826 17,4%= 0,174 8 x 2 = 16

Penggunaan Anti Nyamuk Bakar 85,7% = 0,857 14,3%= 0,143 6 x 2 = 12 Imunisasi 64,9% = 0, 649 35,1% = 0,351 42 x 2 = 84 Status Gizi 74,5% = 0, 745 25,5% = 0, 255 15 x 2 = 30

(67)

4.4. Teknik Pengambilan Sampel

Sampel ditentukan berdasarkan metode cluster 2 tahap. Cluster sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana pemilihannya mengacu

pada kelompok bukan pada individu. Cara seperti ini baik sekali untuk dilakukan apabila tidak terdapat atau sulit menemukan kerangka sampel, meski dapat juga dilakukan pada populasi yang kerangka sampelnya sudah ada (Notoadmojo, 2010).

Tahap pertama adalah menentukan cluster dari Desa Citeureup. Dari data sekunder yang diperoleh, terdapat 8 RW di Desa Citeureup yang mempunyai posyandu. Posyandu ini yang akan dijadikan cluster dalam penelitian. Sehingga dalam sampel penelitian ini terdapat 8 cluster, yaitu posyandu Belimbing, posyandu Karya Mulya, posyandu Anggur, posyandu Delima, posyandu Durian, posyandu Lengkeng, posyandu Karya Sari 2, dan posyandu Karya Sari 1.

 posyandu Belimbing = 150 balita

 posyandu Karya Mulya = 300 balita

 posyandu Anggur = 160 balita  posyandu Delima = 150 balita

 posyandu Durian = 90 balita

 posyandu Lengkeng = 111 balita

(68)

 posyandu Karya Sari 1 = 280 balita

Tahap kedua adalah menentukan balita di masing-masing posyandu yang akan dijadikan sampel dipilih secara random dengan proporsi balita di masing-masing posyandu sebagai berikut.

 posyandu Belimbing = 150/1401 x 92 = 10 balita  posyandu Karya Mulya = 300/1401 x 92= 20 balita

 posyandu Anggur = 160/1401 x 92= 10 balita

 posyandu Delima = 150/1401 x 92= 10 balita  posyandu Durian = 90/1401 x 92= 6 balita

 posyandu Lengkeng = 111/1401 x 92= 7 balita

 posyandu Karya Sari 2 = 160/1401 x 92= 18 balita  posyandu Karya Sari 1 = 280/1401 x 92= 11 balita

4.5. Metode Penelitian Pengukuran

Penelitian ini menggunakan teknik wawancara dengan kuesioner dan melakukan pengukuran konsentrasi SO2, dengan menggunakan midget

impinger.

Cara Pengukuran menggunakan midgetimpinger

Alat yang diperlukan untuk sampling udara ambien adalah:

Midget Impinger/tabung penyerap

Low Volume Air Sampler (LVAS)

(69)

Bahan yang diperlukan untuk sampling udara ambien adalah:

 Absorber SO2

 Aquadest

 Filter Hidrofobik pori 0,5 µm diameter 110 cm  Botol/wadah sample+penutupnya

 Plastik polietilen/PE

Prosedur:

1. Persiapan

Pembuatan larutan penyerap (Absorber) SO2

 Larutan penyerap tetrakloromerkurat (TCM) 0,04 M

 Larutkan 10,86 gram merkuri (II) klorida (HgCl2) dengan 800 mL

air suling ke dalam gelas piala 1000 Ml.

 Tambahkan berturut-turut 5,96 gram kalium klorida (kCl) dan 0,066

gram EDTA (HOCOCH2)N(CH2COONa)2. 2H2O lalu aduk sampai

homogen. Pindahkan ke dalam labu ukur, encerkan dengan air suling sampai batas tera.

(70)

c.Filter kosong pada 1.a ditimbang sampai diperoleh berat konstan, minimal 3 kali penimbangan sehingga diketahui berat filter sebelum pengambilan sampel, catat berat filter blanko (B1) dan filter sampel (W1). Masing-masing filter tersebut ditaruh dalam plastic PE setelah diberi kode sebelum dibawa ke lapangan.

d.Pompa penghisap udara dikalibrasi dengan kecepatan laju aliran udara 1L/menit dengan menggunakan flow meter. (Flow meter harus dikalibrasi oleh laboratorium pengkalibrasi)

e.Masing-masing absorber ditempatkan pada botol sample sebanyak 10 mL dan diberi kode.

2. Pengambilan sampel

1)Bawa seluruh peralatan dan bahan ke lokasi sampling yang sudah ditentukan.

2)Hubungkan midget impinger dan LVAS ke pompa hisap udara dengan menggunakan selang silicon atau Teflon. Pasang flowmeter pada selang. Pastikan tidak ada kebocoran pada setiap sambungan selang baik yang berhubungan dengan LVAS dan midget impinger maupun ke pompa penghisap udara.

3)LVAS diletakkan pada titik pengukuran.

4)Bilas tabung midget impinger dengan aquades lalu masukkan larutan absorber (SO2) masing-masing 10 mL ke tabung midget impinger sesuai

(71)

5)Filter sampel dimasukkan ke dalam LVAS holder dengan menggunakan pinset dan tutup bagian atas holder.

6)Pompa penghisap udara dihidupkan (Power On) dan lakukan pengambilan sampel dengan kecepatan laju aliran udara (flow rate 1L/menit)

7)Atur timer selama 1 jam. Lama pengambilan sampel dapat dilakukan selama beberapa menit hingga satu jam (tergantung pada kebutuhan, tujuan, dan kondisi di lokasi pengukuran).

8)Setelah 1 jam pompa penghisap udara dimatikan (Power off).

9)Pindahkan masing-masing absorber pada midget impinger ke botol sampel sesuai dengan kode gas yang diuji. Tutup rapat botol sampel dan masing-masing diberi label (kode sampel, titik sampling, lokasi sampling, hari, tanggal). Bilas kembali dengan aquades masing-masing tabung pada midget impinger.

10)Pindahkan filter sampel yang ada di LVAS ke plastic PE. Beri label pada wadah tersebut (kode sampel, titik sampling, lokasi sampling, hari, tanggal, dan tenaga sampler).

11)Setelah selesai pengambilan sampel, debu pada bagian luar holder dibersihkan untuk menghindari kontaminasi.

(72)

Gambar 4.1. Peta Wilayah Desa Citeureup (Sumber: Profil Desa Citeureup Tahun 2014)

4.6. Teknik Pengolahan Data

(73)

1. Data Editing

Menyunting data dilakukan sebelum proses memasukkan data. Proses editing dilakukan setelah data terkumpul untuk mengecek jika ada data yang salah atau meragukan sehingga masih dapat ditelusuri kembali kepada responden/informan yang bersangkutan.

2. Data Coding

Coding dilakukan untuk mengklasifikasikan data dan memberikan kode

berupa angka sesuai dengan tujuan dikumpulkannya data. Angka yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1 dan 2, angka 1 untuk jawaban yang sesuai dengan ketentuan (ya) dan angka 2 untuk jawaban yang tidak memenuhi ketentuan (tidak).

Dalam penelitian ini dinyatakan ISPA positif bila dalam 2 minggu terakhir balita mengalami salah satu gejala:

1) Batuk, tanpa/disertai demam 2) Pilek, tanpa/disertai demam

3) Sesak napas, tanpa/disertai demam 4) Batuk, pilek, tanpa/disertai demam

5) Batuk, pilek, sesak napas, tanpa/ disertai demam 6) Batuk, sesak napas, tanpa/disertai demam 7) Pilek, sesak napas, tanpa/disertai demam

(74)

3. Data Structure

Data structure dikembangkan sesuai dengan analisis yang akan

dilakukan dan jenis perangkat lunak yang dipergunakan. Pada saat mengembangkan data structure, bagi masing-masing variabel perlu ditetapkan ; nama, skala ukur variabel, jumlah digit.

4. Data Entry

Memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam program atau fasilitas analisis data. Program untuk analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah SPSS.

5. Data Cleaning

Proses pembersihan data setelah data dientri. Cara yang dilakukan yaitu dengan melihat distribusi frekuensi dari variabel-variabel dan menilai kelogisannya.

4.7. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif analitik. Pengolahan data menggunakan SPSS. Analisis dilakukan dengan analisis univariat dan bivariat. 4.7.1. Analisis Univariat

(75)

Analisis univariat dalam penelitian ini untuk semua variabel, meliputi hasil secara deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi, mean, nilai maksimun dan nilai minimun.

4.7.2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Tujuan analisis bivariat dalam penelitian ini adalah untuk melihat hubungan konsentrasi SO2, anggota

keluarga yang merokok, penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak, penggunaan obat anti nyamuk bakar, ASI Eksklusif, imunisasi, BBLR dan status gizi dengan gejala ISPA. Penelitian ini menggunakan uji non parametrik Mann Whitney karena data numerik dalam penelitian ini berdistribusi tidak normal. Data numerik dalam penelitian ini adalah konsentrasi SO2 dan data kategoriknya adalah

gejala ISPA.

(76)

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1.Hasil Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui gambaran frekuensi dari setiap variabel dependen dan independen pada 92 balita di Desa Citeureup Tahun 2014.

5.1.1. Gambaran Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita di Desa

Citeureup

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan persentasi ISPA pada balita di Desa Citeureup sebagai berikut:

Tabel 5.1. Distribusi ISPA pada Balita di Desa Citeureup Tahun 2014

ISPA Balita Frekuensi Persentasi (%)

Mengalami ISPA 71 77,2

Tidak mengalami ISPA 21 22,8

Total 92 100

Pada tabel 5.1 didapat presentase balita yang mengalami ISPA sebesar 71 balita (77,2 %) dan 21 balita (22,8 %) tidak mengalami ISPA.

5.1.2. Gambaran SO2 di Desa Citeureup

Hasil perhitungan yang dilakukan pada variabel SO2 di Desa

Gambar

Gambar 2.1    Kerangka Teori..................................................................................37
Gambar 2.1. Kerangka Teori
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 4.1. Hasil Perhitungan Sampel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga, dari kasus diatas memberikan perhatian khusus kepada penulis untuk membuat sebuah system yang mampu membentuk kelompok berdasarkan nilai dan personality traits

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh work life balance terhadap kinerja pada guru SMA Di Kota Semarang Pada Saat Pandemic Covid-19 serta pengaruh

#3erflo inkontinensia terjadi karena keluarnya urin yang tidak dapat dikontrol dari kandung kemih yang sangat penuh dengan tekanan intra3esikal lebih besar dari

Penelitian yang digawangi oleh sebuah institusi mengemudi mengungkapkan bahwa anak- anak muda yang sering bermain game balapan ternyata lebih mahir dalam

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemberian asupan glikosida flavonoid terong belanda ( Solanum betaceum Cav.) dari fraksi n-butanol

 Penelitian  tersebut  dilakukan  di  Barat.   Namun  begitu,  dalam  penelitian  tersebut  tidak  dibahas  mengenai  strategi  fonologisnya..  Penelitian  itu

Gambar 10 merupakan bobot yang sesuai dengan proses di Penerbit Andi, Gambar 11 memprioritaskan bobot tertinggi pada nilai terendah dan Gambar 12 memprioritaskan

Pertumbuhan industry Perbankan syariah didunia termasuk di Indonesia saat ini sedang tumbuh pesat dan isu praktik dan pengungkapan CSR yang makin marak, sehingga penting