• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENELITIAN DINAMIKA PERKEMBANGAN pesantren

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LAPORAN PENELITIAN DINAMIKA PERKEMBANGAN pesantren"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN

DINAMIKA PERKEMBANGAN PABRIK GULA CEPIRING PADA TAHUN 1870-1957 DAN PENGARUHNYA BAGI KONDISI SOSIAL EKONOMI

MASYARAKAT

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah metodologi penelitian sejarah Oleh:

Siti Qomariah (3101414044)

PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah politik dan ekonomi di Indonesia pada abad 19 banyak diwarnai oleh perkembangan dan perubahan dalam kebijakan pemerintah kolonial yang berkaitan dengan perkebunan. Pulihnya perekonomian Belanda pada abad ke 19 menandai percepatan pertumbuhan ekonomi Belanda, Setelah memperoleh kemapanan, kemudian bangsa Belanda berpikir untuk meluaskan investasinya. Pemerintah kolonial mengincar perkebunan, oleh karena itu pada waktu yang cukup singkat jumlah perkebunan semakin bertambah terutama di Jawa dan Sumatra. Perkebunan yang berkembang di Jawa dan Sumatra yaitu perkebunan kopi, tembakau, tebu dan lain-lain.

Jawa merupakan pulau yang banyak memberikan keuntungan bagi penduduknya, terutama keuntungan yang berasal dari perkebunan-perkebunan yang ada di Jawa. Keuntungan dari Jawa adalah esensial. Keuntungan ini tidak hanya harus bisa menutup biaya-biaya administrasi di Jawa, tetapi juga diperlukan untuk mendukung posisi keuangan di Negeri Belanda yang sedang memburuk. Sebagai akibat perang-perang Napoleon hutang dalam negeri Belanda dan pembayaran bunga atas hutangnya itu membumbung tinggi.

Pada tahun 1830 Pemerintah Hindia-Belanda mengangkat Gubernur Jenderal yang baru untuk Indonesia yaitu Johannes Van den Bosch, yang diserahi tugas utama untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah berlangsung .Van den Bosch diserahi tugas yang tidak mudah, maka Van den Bosch mempunyai gagasan yaitu sistem tanam paksa (Cultuurstelsel).

(3)

menguras habis kekayaan negeri dan memeras tuntas tenaga rakyat Indonesia mengarahkan komando lewat kepala rakyat. Seandainya pemerintah memperoleh tenaga kerja yang diperlukan, maka pemerintah memperoleh tenaga kerja yang diperlukan dengan cara membeli jasa-jasa tenaga kerja yang ada di pasaran tenaga kerja bebas.

Pada masa Tanam paksa (Cultuurstelsel) tanaman yang ditentukan oleh pemerintah kolonial Belanda adalah tanaman yang berorientasi pada produk ekspor untuk memenuhi pesanan dari Negara-negara di Eropa yang mempunyai harga tinggi di pasaran dunia di antaranya adalah tanaman tebu. Tanaman tebu merupakan salah satu tanaman ekspor yang banyak mendatangkan keuntungan bagi Pemerintah kolonial Belanda, sehingga Pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk mendapatkan barang-barang tersebut dan pemerintah menerapkan sistem tanam paksa dalam usaha untuk mendapatkan barang-barang tersebut.

Pada sistem Tanam paksa pemerintah Belanda memaksakan penduduk untuk bekerja dan melepaskan tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor yang menguntungkan bagi pemerintah kolonial Belanda dan merugikan masyarakat, dijalankannya tanam paksa terpaksa merugikan kepastian hukum dan kebebasan orang. Pada sistem Tanam paksa, tanaman tebu secara berangsur-angsur menempati posisi yang sangat penting dalam kehidupan perekonomian bangsa Indonesia. Kemudian pada tahun 1870 dikeluarkannya Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang melarang bangsa asing membeli tanah negara untuk jangka waktu paling lama 75 tahun. Hal ini membuka peluang berkembangnya perkebunan swasta di Indonesia.(Notosusanto: 2007: 371).

(4)

petani dengan sebuah dasar yang menyaksikan gula berotasi dengan beras dan tanaman-tanaman petani yang lain.

Periode 1830-an dan 1840-an merupakan tahap awal perkembangan penanaman tebu ketika sejumlah percobaan lapangan dilakukan untuk menemukan daerah-daerah yang cocok untuk ditanami tebu. Tebu dapat ditanam di lahan-lahan yang mempunyai faktor-faktor tertentu untuk penanam tebu. Dengan adanya faktor-faktor tertentu, daerah yang dipilih untuk penanam tebu adalah bertempat di pantai utara pulau Jawa dari Cirebon di Jawa Barat hingga Besuki di Jawa Timur dan beberapa daerah lain. Selama puluhan tahun, gula di pulau Jawa diibaratkan sebagai “gabus tempat pulau Jawa mengapung” yang artinya perekonomian kolonial Belanda perpusat di pulau Jawa, karena ekspor gula dari pulau Jawa sebelun tahun 1930-an merupakan seperempat dari penghasilan Pemerintah Belanda.

Pengenalan budidaya gula dengan paksa di Comal mengandung arti bahwa kebutuhan hidup buruh yang banyak itu harus disediakan penduduk lokal. Pada 1835 sekitar 3.500 rumah tangga atau hampir 90% dari semua rumah tangga di lingkaran (kring) Pabrik Gula Comal, terlibat dalam pekerjaan tersebut. Pada tahun berikutnya jumlah ini dikurangi sampai kira-kira 2.700 rumah tangga lain pun dilibatkan. Ternyata menurut perhitungan, jumlah penduduk disana terlalu sedikit untuk mengerjakan perkebunan seluas itu sekaligus dengan mesin penggilingnya. Akibatnya, pada musim puncak kesibukan pabrik sulit mendapatkan tenaga kerja.

(5)

Pada masa awal kemerdekaan, sistem perekonomian di Indonesia belum stabil yang ditandai dengan adanya resesi ekonomi dan inflasi perekonomian. Mulai tahun 1957 pemerintah republic Indonesia melalui menteri pertahanan RI saat itu melakukan pengambilalihan semua perusahaan milik Belanda, selanjutnya berdasarkan UU No 86 tahun 1958 semua peruasahaan perkebunan milik Belanda dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan produksi gula dibagi dalam tiga kategori besar, yaitu:

1. Pada tahun 1930-1940 menggambarkan keadaan sebelum dan setelah perang. 2. Tahun 1950-1958 menggambarkan keadaan setelah perang sampai diambilalih (nasionalisasi perusahaan pada akhir 1957).

3. Tahun 1966-1970 menggambarkan permulaan Orde Baru. Dalam kurun waktu ini terjadi reorganisasi, pembubaran BPU dan pembentukan PNP yaitu pada tahun 1968. Tahun 1971-1975 meggambarkan keadaan reorganisasi sampai dimulainya program TRI. (Diniyah, Mufiddatut. 2011. Sejarah perkembangan Pabrik Gula Cepiring dan pengaruhnya terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Kendal tahun 1975-1997. Semarang: Unnes)

(6)

1. Bagaimana sejarah berdirinya Pabrik Gula Cepiring?

2. Bagaimanakah perkembangan Pabrik Gula Cepiring sebelum tahun 1957 3. Bagaimana proses nasionalisasi Pabrik Gula Cepiring?

4. Apa pengaruh Pabrik Gula cepiring terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum dinasionalisi?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui sejarah berdirinya Pabrik Gula Cepiring.

2. Untuk mengetahui perkembangan Pabrik Gula Cepiring sebelum dinasionalisasi.

3. Untuk mengetahui proses nasionalisasi Pabrik Gula cepiring

4. Untuk mengetahui pengaruh Pabrik Gula cepiring terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar sebelum dinasionalisasi

D. Manfaat Penelitian

Diharapkan dengan penelitian ini dapat diambil manfaat untuk kemajuan bersama antara lain:

1. Manfaat teoretis

a. Menambah pengetahuan bagi pembaca untuk mengetahui sejarah perkembangan Pabrik Gula Cepiring dari tahun 1870-1957.

b. Menambah khasanah penulisan sejarah ekonomi pada khususnya dan sejarah nasional pada umumnya.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: a. Untuk menambah pengetahuan mengenai Pabrik Gula Cepiring

b. Sebagai kajian sejarah untuk penelitian selanjutnya mengenai Pabrik Gula Cepiring.

E. Ruang Lingkup Penelitian

(7)

sejarah. Ruang lingkup spasial dalam penulisan laporan penelitian ini adalah Pabrik Gula Cepiring. Ruang lingkup temporal adalah batasan mengenai waktu yang dijadikan penulisan sejarah. Ruang lingkup temporal dalam penulisan ini adalah mengambil tahun tahun sebelum dilakukaknnya nasionalisasi Pabrik Gula Cepiring yakni sebelum tahun 1957.

F. Tinjauan Pustaka

Buku yang digunakan adalah buku “Dibawah Asap Pabrik Gula: Masyarakat Desa di Pesisir Jawa Sepanjang Abad ke-20. Karya Hiroyosi Kano yang mempunyai tebal buku 313 halaman yang diterbitkan oleh Gadjah Mada Univervsiti Press. Buku ini merupakan suatu hasil penelitian yang dilakukan di daerah bekas Distrik atau Kawedanan Comal yang berada di Pantai Utara Jawa Tengah. Dalam buku ini dikatakan bahwa Desa Comal muncul pada tahun 1833. Pabrik Gula Comal merupakan milik R. Addison yang didirikan pada tahun 1833, berdirinya Pabrik Gula ini didukung dengan adanya lahan tebu seluas 600 bau dan 1800 pekerja yang sebagian besar tinggal didaerah Comal.

Comal merupakan Pabrik Gula kedua yang berada di Karisidenan Tegal setelah Pabrik Gula Pangka. Penemuan pembudidayaan gula merupakan hal yang paling menarik karena dari sini diketahui asal mula gula di Comal. Pada tahun 1764 Gubernur Pesisir Utara Jawa mengadakan suatu perjalanan darat yang dimulai dari Semarang sampai ke Tegal, setelah mengunjungi Kaliwungu, Kendal, Weleri kemudian tiba di Batang. Dalam perjalanan dari Ulujami ke Pemalang, Gubernur mengunjungi Pabrik Gula Babakulang. Pada tahun 1719 dan 1755 Pabrik Gula di Pesisir Jawa jumlahnya berkurang sehingga mencapai jumlah terendah yaitu 7 pabrik, salah satu diantaranya berlokasi di Batang. Sehingga pada tahun 1750 penguasa pusat mengeluarkan dekrit bahwa pabrik-pabrik di Batang harus terus berjalan , karena areal tersebut menghasilkan gula tebu yang sangat baik.

(8)

Gula Cepiring yang mengalami penutupan yang kemudian Pabrik Gula Cepiring diaktifkan kembali setalah sekian lama tutup.

Buku selanjutnya yang digunakan adalah Industri Pabrik Gula di Kabupaten Kendal karya Rachmat susatyo yang diterbitkan oleh Kipas. Buku ini secara lengkap membahas mengenai keadaan alam kabupaten Kendal pada masa kolonial, kebijaka-kebijakan pemerintah kolonial terkait dengan industry gula dan pengaruh industry gula terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Buku ini menjelaskan bahwa sistem Tanam paksa menyebabkan bertambahnya perjanjian-perjanjian antara orang-orang “Indonesia” mengenai penyerahan tanah untuk sementara waktu. Karena pemilik Pabrik Gula tidak diperkenankan memiliki tanah sendiri, maka mereka menyewa dari penduduk setempat, terutama yang berdekatan dengan lokasi pabrik. Mengenai sewa tanah, suatu hal yang tidak asing lagi bagi penduduk desa. Sejak dahulu penduduk mengenal persewaan tanah pertanian antara mereka, walaupun persewaan itu biasanya jarang terjadi. Penyewaan tanah komunal tidak diperbolehkan adat, demikian juga penjualannya. Namun keadaan ini tidak berlangsung lama, di bawah stelsel Tanam paksa timbul perubahan besar dalam pemakaian tanah.

Terutama akibat dari penyewaan tanah dengan paksa untuk ditanami tebu dan nila. Selain itu, di daerah-daerah tempat penanaman tebu dipusatkan, terjadi pergeseran pemakaian tanah antara desa sendiri. Pergeseran ini mengenai pertukaran tanah, yang timbul karena paksaan. Pergeseran penggunaan tanah semacam ini juga terjadi di daerah tebu di Kabupaten Kendal.

(9)

dipikirkan untuk mengakhiri dominasi perusahaan perusahaan Belanda ialah dengan jalan melakukan nasionalisasi.

Pemerintah melakukan langkah langkah dalam nasionalisasi sejak tahun 1951 dengan membentuk Pusat Penjualan Gula Indonesia (PPGI), Langkah selanjutnya adalah aksi mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja pabrik. Aksi mogok kerja ini dilakukan pada tanggal 1 Desember 1957 selama 24 jam yang menyebabkan perusahaan-perusahan Belanda mengalami kerugian Rp 100.000.000. kemudian pada tanggal 5 Desember 1957 pemerintah Indonesia juga melakukan pembekuan seluruh transfer keuntungan perusahaan Belanda.

G. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah, karena penelitian ini berhubungan dengan kenyataan yang terjadi pada masa lampau. Pengertian metode penelitian sejarah adalah suatu proses sejarah yang mengacu dan mengalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau atau sumber sejarah Sedangkan menurut Garragan dalam Wasino 2007:8 metode sejarah atau penelitian sejarah adalah suatu kumpulan yang sistematis dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang dimaksudkan untuk membantu dengan secara efektif dalam pengumpulan bahan-bahan sumber sejarah dalam menilai atau menguji sumber-sumber itu secara kritis, dan menyajikan suatu hasil sinthese (pada umumnya dalam bentuk tertulis) hasil-hasil yang dicapai.

Adapun tahap-tahap yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Heuristik

Heuristik merupakan tahap dimana peneliti mengumpulkan berbagai jejak-jejak masa lalu. Jejak sejarah sebagai peristiwa masa lalu merupakan sumber-sumber sejarah sebagai kisah (Wasino,2007: 18).

(10)

a. Sumber Primer

Sumber primer merupakan sumber sejarah yang di peroleh dari kesaksian langsung dari para pelaku, saksi yang terlibat langsung dalam peristiwa sejarah tersebut. Sumber primer yang diperoleh yaitu dengan menggunakan:

1) Studi dokumen yang berupa arsip untuk memperoleh data berupa dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diangkat seperti tentang kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Cepiring secara keseluruhan.

b. Sumber sekunder

Sumber sekunder adalah sumber sejarah yang diperoleh dari hasil keterangan dari orang lain yang tidak terlibat secara langsung dalam peristiwa tersebut. Sumber sekunder diperoleh dari orang yang dekat dengan pelaku sejarah dan orang yang tidak terlibat langsung dengan jalannya suatu peristiwa sejarah seperti keluarga para pelaku dan saksi sejarah.

2. Kritik sumber

Kritik sumber adalah penerapan dari sejumlah aturan dan prinsip-prinsip untuk menguji keaslian (otentitas) dan kebenaran (kredibilitas) sumber-sumber sejarah dan mengembalikan sejauh mungkin pada bentuk aslinya dan nilai pembuktian yang sebenarnya. Kritik sumber dilakukan ketika sejarawan telah mendapatkan sumber-sumber penulisan untuk penelitian, sebelum sumber itu digunakan. Maka, peneliti atau sejarawan harus mengatahui keaslian dan kebenaran sumber.

Kritik sumber dibagi menjadi dua tahap yaitu kritik ekstern dan kritik intern. a. Kritik ekstern

(11)

Merupakan penilaian sumber dari segi isi yang bertujuan untuk mengetahui kebenaran sumber. Mengetahui kebenaran sumber harus memperhatikan bagaimana nilai pembuktian yang sebenarnya dari isi dan menetapkan keakuratan dan dapat dipercaya dari sumber itu.

3. Interpretasi

Tahap ini merupakan tahap untuk menghubungkan dan mengaitkan antara satu fakta dengan fakta lain sehingga menghasilkan satu kesatuan yang bermakna. Dalam proses ini tidak semua fakta dapat dimasukan tetapi harus dipilih yang relevan yang sesuai dengan gambaran dalam cerita yang disusun. Dalam menginterpretasikan penelitian dalam bentuk karangan sejarah ilmiah, sejarah kritis perlu diperhatikan susunan karangan yang logis menurut urutan kronolgis yang sesuai dengan tema yang jelas dan sudah dimengerti.

4. Historiografi

Hisroriografi merupakan tahap akhir dalam penulisan sejarah. Penulisan sejarah dari hasil penelitian dan interpretasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip realisasi atau cara membuat urutan peristiwa, kronologi atau urutan waktu, kausalitas atau hubungan sebab akibat dan kemampuan imajinasi yaitu kemampuan untuk menghubungkan peristiwa yang terpisah-pisah menjadi suatu rangkaian

H. Sistematika Penulisan

Sistematika dari penulisan laporan penelitian yang berjudul “Dinamika Perkembangan Pabrik Gula Cepiring Tahun 1835-1957 Dan Pengaruhnya Bagi Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat” adalah sebagai berikut:

BAB I, merupakan bab pendahuluan dalam penulisan laporan penelitian ini. Bab pendahuluan ini mencakup tentang, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Ruang Lingkup Penelitian, Metode dan Sumber Penelitian, dan yang terakhir adalah Sistematika Penulisan.

BAB II, menjelasakan mengenai gambaran umum Kabupaten Kendal dan awal mula industry gula di pulau Jawa.

(12)

BAB IV, menjelasakan mengenai Pabrik Gula Cepiring sebelum tahun 1957. BAB V, bab ini menjelasakan mengenai proses nasionalisasi Pabrik Gula Cepiring.

BAB VI, bab ini memaparkan penjelasan mengenai pengaruh Pabrik Gula Cepiring bagi kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar.

BAB VII, merupakan bab terakhi. Bab ini berisi kesimpulan dan saran.

BAB II

GAMBARAN UMUM KABUPATEN KENDAL

A. Letak Geografi dan Keadaan Alam

Kendal merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah, terletak sekitar 29 km arah barat dari Kota Semarang. Letak wilayah antara titik koordinat 1090 40 – 1100 – 18’ Bujur Timur dan 60 32 28 ’ – 70 24’ Bujur Barat, dengan batas-batas wilayah utara Laut Jawa, timur Kotamadya Dati II Semarang, selatan Kabupaten Dati II Semarang dan Kabupaten Dati II Temanggung, barat Kabupaten Dati II.

(13)

Tabel Perubahan Jumlah Desa dalam Distrik-Distrik di Kabupaten Kendal (1837 dan 1845)

Sumber : Djoko Suryo, Sosial and Economic Life in Rural Semarang Under Kolonial Rule in The Later 19 thCentury ( Industri Gula di Kabupaten Kendal,

Desember 2007). hlm.2

Topografi Kabupaten Kendal terdiri dari dua dataran, dataran rendah di sebelah utara dan pegunungan di sebelah selatan. Daerah dataran rendah ditanami tanaman pangan, terutama padi; sedangkan daerah pegunungan dengan jenis tanaman keras, terutama kopi. Pegunungan ini merupakan rangkaian perbukitan yang memanjang dari daerah Pekalongan. Di daerah yang memiliki ketinggian antara 300 sampai 400 meter ini, terdapat hutan jati dan juga tanah yang belum diolah. Ada bagian pegunungan yang merupakan perbukitan yang sampai ke laut, dan mempunyai kecuraman yang besar. Pantai yang curam ini masih berhutan, dahulu hutannya lebih besar dan disebut hutan Weleri sesuai dengan nama desa di dekatnya.

Pada masa Sistem Tanam paksa diterapkan di Jawa Kabupaten Kendal merupakan satu-satunya daerah di Karesidenan Semarang yang ditanami tebu perkebunan pemerintah. Selain tebu tanaman perkebunan lainnya adalah kopi dan nila. Sesudah Sistem Tanam paksa dihapuskan, di daerah Kendal Selatan, banyak perkebunan swasta untuk ekspor, seperti karet, kopi, teh, kina, cacao, lada, pala dan panili. Tenaga kerja dari perkebunan ini cukup banyak yang berasal dari daerah sekitarnya.

(14)

Dari beberapa sumber dapat dipastikan bahwa pembuatan gula tebu di Jawa sudah tua, tetapi usaha itu bukanlah merupakan suatu perusahaan. Pembuatan gula pada waktu itu masih merupakan usaha rakyat yang masih bersifat merupakan kerumahtanggaan (home insutry) dan dikerjakan Dengan alat-alat tradisional yang sederhana. Hal ini sesuai dengan struktur kehidupan ekonomi Jawa, yang sampai kurang lebih pertengahan abad ke-19 masih merupakan kehidupan innatura dengan sistem kerumahtanggaan yang tertutup.Meskipun di daerah pantai utara sejak lama sudah ada perdagangan yang bersifat internasional, akan tetapi hal itu tidak begitu berpengaruh terhadap sistem kehidupan ekonomi petani sebagai keseluruh-an. (Suharjo Hatmosuprobo dalam Susatyo: 6)

Tebu ditanam di Jawa sejak zaman dahulu, dan mungkin dibawa oleh orang-orang Hindu (India-pen) atau Arab. Kedatangan orang-orang Belanda ke Jawa masih belum membicarakan usaha gula. Akan tetapi, ketika perdagangan gula dari Cina, Siam, Formosa, dan Benggalen (India) menghasilkan keuntungan besar, sedangkan produksi gulanya tidak dapat memenuhi permintaan pasar. Maka Kumpeni memutuskannya membawa dari luar negeri mesin-mesin penggilingan tebunya di daerah-daerah sekitar Batavia. Pemilik pabrik biasanya orang Cina, dan Kumpeni membeli seluruh produksi dengan harga yang ditetapkannya. Akan tetapi Kumpeni berkali-kali mengubah perjanjian mengenai banyaknya produksi yang harus diserahkan, serta harganya. Hal ini mengakibatkan keadaan industry gula tidak menentu. Baik jumlah pabriknya, maupun produksinya berubah setiap tahun.

(15)

Sebelum dikenalnya pembuatan gula dari tebu sebenarnya masyarakat di Jawa sudah mengenal pembuatan gula dari bahan lain. Pembuatan gula dengan menguapkan cairan yang disadap dari tangkai bunga pohon kelapa, adalah proses yang sudah dikenal sejak lama. Cairan yang diuapkan itu didinginkan dalam cetakan, dibiarkan membeku dan gulapun siap dipakai. Akan tetapi, cara ini tidak pernah berkembang sampai dapat membuat gula kristal murni. Gula yang dibuat di lingkungan rumahtangga ini biasa dikenal sebagai “gula mangkok”, atau dinamakan menurut jenis bahan yang dipergunakannya. Gula mangkok, sampai sekarang merupakan jenis gula yang tetap digemari orang. Sesudah gula tebu dikenal, gula mangkok lebih banyak dibuat dari sari tebu.

Menjelang abad ke-18 perusahaan-perusahaan gula diperluas di daerah Cirebon ke Timur (Java’snoord-Ooskust), karena di daerah ini keadaan tanahnya maupun iklimnya lebih memenuhi syaratuntuk penanaman tebu daripada daerah di sekitar Batavia, sehingga akan dapat diperbesar sesuai dengan kebutuhan Kumpeni yang semakin meningkat. Di daerah Cirebon ke Timur ini, sistem produksinya berlainan dengan yang dikerjakan di Batavia. Perusahaan-perusahaan di sini didirikan atas dasar struktur ekonomi tradisional.Statusnya adalah perusahaan pemerintah, sekalipun alat penggiling dan manajemennya diserahkan kepada orang-orang Cina atau orang Belanda swasta. Tebu, kayu bakar dan bahan lainnya, pengangkutan, tenaga kerja di perusahaan, semuanya diperoleh dari para bupati sebagai kontigenten ataupun penyerahan wajib dan rodi. Hasil produksi seluruhnya dijual kepada Kumpeni dengan harga yang sudah ditetapkan sebelumnya. Sistem produksi perusahaan gula ini terus dikembangkan sampai zaman cultuurstelsel.

(16)

Tabel Jumlah Pabrik Gula di Pulau Jawa Per karesidenan tahun 1836-1890

Karesidenan 1870 1875 1880 1885 1890

Cirebon 10 10 10 9 9

Tegal 8 8 8 8 8

Pekalongan 3 3 3 3 3

Semarang 4 4 4 4 4

Jepara 9 9 9 9 9

Rembang 1 1 1 1 1

Surabaya 19 19 19 19 19

Pasuruan 17 17 17 16 11

Probolinggo 10 10 10 10 9

Besuki 5 5 5 5 5

Banyumas 1 1 1 1 1

Madiun 2 2 2 2 2

Kediri 6 4 6 6 6

Jumlah 95 93 95 93 87

(17)

BAB III

SEJARAH PABRIK GULA CEPIRING

Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Pabrik Gula Cepiring pada tahun 1835 dengan nama “Kendalsche SuikerOnderneming” sebagai suatu perusahaan dalam bentuk NV atau perseroan di atas tanah seluas kira-kira 1.298.594 m2 dan secara langsung dibawah pimpinan Belanda atau pengawasan Belanda. Letak administrasi Pabrik Gula Cepiring adalah berada di desa Cepiring, Kecamatan Cepiring, kabupaten Kendal. Kendal pada masa penjajahan Belanda merupakan sebuah regentschap atau wilayah administrasi setingkat kabupaten, termasuk karesidenan Semarang bagian barat. Regentsahap Kendal terdiri atas beberapa distrik atau kawedanan.

Pabrik Gula Cepiring bukanlah satu-satunya Pabrik Gula di Kendal, tetapi ada lagi Pabrik Gula yang lain yaitu Pabrik Gula Gemuh, Pabrik Gula Puguh, dan Pabrik Gula Kaliwungu. Di antara keempat pabrik ini, saat ini yang masih tersisa adalah Pabrik Gula Cepiring. Pabrik Gula gemuh dan puguh, merupakan satu kelompok dengan Pabrik Gula Cepiring, milik perusahaan perkebunan N.V tot Exploitatie der Kendalsche Suikerfabrieken. Perusahaan tersebut memperluas usahanya, setelah mendirikan Pabrik Gula Cepiring, mendirikan Pabrik Gula Gemuh dan Puguh. Pendirian dua buah pabrik tersebut, menggambarkan bahwa untuk menangani usaha industry gula di Kendal ketika itu, tidak cukup hanya dilakukan oleh sebuah Pabrik Gula. (Dalam: Diniyah, Mufiddatut. 2011. Sejarh perkembangan Pabrik Gula Cepiring dan pengaruhnya terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Kendal tahun 1975-1997. Semarang: Unnes)

(18)

Cepiring sebagai pabrik pembuatan senjata dan mesiu, kemudian pada tahun 1945 diambil alih oleh Pemerintah Belanda kembali dan peralatan yang rusak diganti, selain itu juga mengadakan kontrak dengan pamong praja untuk menyewa tanah rakyat untuk percobaan penanaman tebu kembali.

Pabrik Gula Cepiring setelah adanya perang kemerdekaan tahun 1948-1954 mengalami rehabilitasi ke III dan beroperasi lagi dengan nama Perseroan Perkebunan Cepiring N.V dibawah pengawasan Bank Industri Negara dan mengalami kemajuan, kemudian Pada tahun 1957 diambil alih oleh Pemerintah Indonesia melalui Menteri Pertahanan RI berdasarkan UU no 86 tahun 1958 semua perusahaan perkebunanan milik Belanda dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia, untuk pengelolaan selanjutnya dibentuklah Badan Nasionalisasi Perusahaan milik Belanda atau disingkat BANAS. (Profil perusahaan P.T. Industri Gula Nusantara)

Krisis ekonomi sekitar tahun 1930-an menyebabkan pabrik ini berhenti berproduksi. Produksi Pabrik Gula Cepiring mulai ditingkatkan pada tahun 1940, cara yang diterapkan antara lain dengan penanaman tebu secara intensifikasi, dengan memilih bibit tebu unggul. Akan tetapi beberapa tahun kemudian, telah timbul perang Asia Timur Raya termasuk di Indonesia. Jawa dikuasai oleh tentara Jepang, asset-aset Belanda dikuasai Jepang temasuk Pabrik Gula Cepiring1. Pengeboman kota Nagasaki dan Hiroshima di Jepang oleh tentara sekutu tahun 1945, menyebabkan Jepang kalah dan menyerah pada sekutu. Kekalahan Jepang menyebabkan belanda ingin kembali menguasai asset-asetnya di Indonesia termasuk Pabrik Gula Cepiring.

Di masa revolusi fisik tahun 1947 dan 1949, merupakan masa-masa yang tidak menentu. Sesudah proklamasi kemerdekaan 17 agustus 1945 pabrik-Pabrik Gula banyak yang tidak terurus. Tanggal 8 desember 1957, peusahaan-perusahaan peninggalan belanda dinasionalisasi, Pabrik Gula Cepiring di ubah statusnya menjadi perusahaan perkebunan Negara Pabrik Gula Cepiring. Nasionalsisasi tersebut menjadikan kepengurusan pabrik-Pabrik Gula diserahkan kepada pusat perkebunan Negara, dan setiap propinsi diberi perwakila. Perwakilan Jawa tengah berada di Semarang.

(19)

BAB IV

Perkembangan Pabrik Gula Cepiring tahun 1870-1957

Industri gula di Indonesia mulai berkembang sejak masa Penjajahan Belanda dengan didirikannya beberapa Pabrik Gula di Jawa sebagai contoh adalah Pabrik Gula Cepiring yang dibangun pada tahun 1835 oleh Belanda. Pada tahun 1930 tercatat ada 185 Pabrik Gula yang berproduksi dari areal tanaman tebu. Pada tahun 1935 terjadi resesi atau krisis dunia, krisis ini sangat memukul dan membawa dampak yang mendalam. Menurut Lembaga Pendidikan Perkebunan (1992), malaise yang terjadi tahun 1930 sampai tahun 1935 menyebabkan industri gula di Indonesia terpukul. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya produksi gula di beberapa negara yang biasanya mengimpor gula, seperti India, menurunnya impor gula oleh Inggris, Cina dan Jepang, yang memasang tarif bea impor gula yang tinggi dan masuknya gula dari tempat lain, yaitu Formosa (Taiwan) (dalam

https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/5825/MTY0OTg=/Pengaruh-krisis-

malaise-terhadap-pabrik-gula-di-Kabupaten-Klaten-sampai-tahun-1942-abstrak.pdf.)

Sistem perkebunan berkembang pesat setelah berakhirnya sistem tanam paksa pada tahun 1870. Pada tahun ini adalah kurun waktu yang amat penting bagi perkembangan perkebunan di Indonesia karena dikeluarkannya Agrarische Wet (1870) dan Koninklijk Besluit (1872). Melalui undang-undang ini para investor dari Belanda dan bangsa Eropa lainya dapat menyewa tanah yang luas untuk membuka perkebunan selama 75 tahun untuk tanah-tanah pemerintah dan 5-20 tahun untuk tanah-tanah rakyat. Isi Undang-Undang Agraria pada tahun 1870 menetapkan peraturan-peraturan tata guna tanah sebagai berikut:

(20)

2. Selain itu tanah domain pemerintah sampai seluas 10 bau dapat di beli oleh non pribumi untuk keperluan bangunan perusahaan.

3. Untuk tanah domain lebih luas ada kesempatan bagi non pribumi hak guna ialah:

a. Sebagai tanah dan hak membangun (recht van postal, disingkat RVO).

b. Tanah sebagai erfpacht (hak sewa serta hak mewariskan dalam jangka waktu 75 tahun.

Di Jawa, dibawah UU Agrari tahun 1870, para pengusaha Belanda dapat menyewa tanah penduduk atau dari pemerintah Hindia Belanda untuk perkebunan-perkebunan besar. Yang menaglami perkembangan pesat adalah gula, yang termasuk barang dagangan ekspor yang penting pada waktu itu. Dengan tersedianya modal swasta dalam jumlah yang besar, perkebunan-perkebunan dapat mengimpor mesain dan perlengkapan lainnya yang dapat meningkatlkan prodiktivitas perkebunan-perkebunan ini.

Tabel jumlah area lahan perkebunan di Jawa Tahun Jumlah

Perluasan lahan dan hasil panen tebu yang makin besar, serta perbaikan dalam pengelolaannya, melipatgandakan produksi gula dari Jawa selama empat kali lipat selama tiga decade pertama abad ke-20. Nilai ekspornya lebih dari 300 juta gulden dimasa keemasan tahun 1920. Pada masa itu, Jawa merupakan salah satu eksportir gula dunia yang utama. (Kano: 1996 :49)

(21)

Selama tahun 1885 perkembangan dagang mulai agak seret karena jatuhnya harga-harga kopi dan gula di pasaran internasional. Jatuhnya harga gula dipasaran dunia terutama disebabkan oleh penanaman gula bet sugar yang mulai ditanam di berbagai Negara di Eropa selama masa ini, sehingga Negara-negara eropa tidak memerlukan lagi gula dari Indonesia.

Pada tahun 1931 para produsen gula masuk ke dalam persetujuan Chadbourne Plan, yang menetapkan kuota ekspor masing-masing, tetapi karena tidak memberikan keuntungan akhirnya mereka menarik diri. Akibatnya stok gula yang tak dapat dijual menumpuk sampai 6,3 juta ton, sehingga harga gula jatuh. (Lembaga Pendidikan Perkebunan, 1992). Adanya kelesuan di pasar dunia terutama kepentingan bahan mentah menyebabkan perekonomian Hindia Belanda dalam posisi sulit, karena Hindia Belanda mengandalkan devisa negara dari ekpsor bahan mentah (pertanian). Karena kedudukan komoditi gula menduduki tempat teratas di antara komoditi perkebunan yang lain, maka pukulan yang paling terasa juga ada dalam industry gula. Di bawah ini akan diberikan gambaran angka-angka mengenai produksi serta harga gula selama 1913-1934.

Table Produksi Dan Nilai Ekspor Gula Tahun 1913-1934 Tahun Jumlah

1930 179 193.692 2.915.866 - - 9,60

1931 178 195.869 2.772.443 1.864.865 129.340 8,06 1932 165 162.231 2.560.182 1.888.004 99.254 6,28 1933 116 82.679 1.372.585 1.389.008 62.127 5,66

1934 54 3.402 636.104 1.388.460 45.462 5,61

Sumber: Rutgers, J & A. Huber, 1937, Indonesia, vol.2, Amsterdam ( https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/5825/MTY0OTg=/Pengaruh-krisis-

(22)

Dari tabel di atas jelas bahwa sejak 1930 semuanya mengalami penurunan, mulai dari jumlah Pabrik Gula, areal kebun tebu, volume produksi dan nilai penghasilannya. Krisis malaise juga berimbas pada Pabrik Gula Cepiring yang berakibat pada terhentinya produksi gula mulai tahun 1930 hingga tahun 1934. Produksi kembali dilanjutkan pada tahun 1935 hingga 1941.

Kemerosotan ekonomi pada 1930merupakan pukulan berat bagi industri gula. Dalam waktu empat tahun, jumlah pabrik yang dioperasikan diseluruh jawa turun menjadi dari 179 menjadi 54. Luas tanah dan produksi dikurangi. Di kendal, tiga dari empat pabrik yang ada ditutup. ( Kano: 1996: 49) Yang meneruskan operasinya hanyalah pabrik gula Cepiring.

Pada tahun 1942, masa penguasaan Jepang persediaan gula di Jawa telah dianggap cukup dan diperkenankan menghasilkan surplus ekspor hanya negeri Jepang dan taiwan, produksi gula setiap tahunnya dikurangi. Persediaan itu termasuk untuk kepentingan perang dan penduduk. Sampai tahun 1945 produksi gula di Jawa hanyan 84.000 ton saja. Oleh karena itu, gunseikan mengeluarkan osamu seirei no. 31/1944 yang menyatakan bahwa rakyat dilarang menanam tebu dan membuat gula. Alasan melarang ini untuk mengurangi jumlah gula yang beredar dalam masyarakat, juga untuk menekan produksi. Cara lainnya untuk menekan produksi gula adalah mengubah pabrik-Pabrik Gula menjadi pabrik senjata atau memindahkannya ke tempat lain untuk kepentingan perang. Demikian pula yang terjadi dengan Pabrik Gula Cepiring yang dijadikan sebagai markas tentara Jepang

(23)

untuk tebu hanya selama satu musim saja dan nilai sewa ditetapkan selama

setahun secara pasti oleh Menteri Pertanian.

(http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/FAE27-2e.pdf 2016)

Dengan ketentuan sewa tersebut, upaya untuk menyewa tanah untuk menanam tunas tebu pada Negara dilakukan satu tahun sebelum masa tanam. Hal ini karena masa panen tebu yang cukup lama dan persewaan untuk menanam tebu biasa akan terganggu, apabila ini terjadi maka produksi pabrik akan menurun.2

Pabrik Gula Cepiring setelah adanya perang kemerdekaan tahun 1948-1954 mengalami rehabilitasi ke III dan beroperasi lagi dengan nama Perseroan Perkebunan Cepiring N.V dibawah pengawasan Bank Industri Negara dan mengalami kemajuan Tahun 1954 dilakukan perbaikan dan berproduksi kembali dengan mengorbankan Pabrik Gula lainnya yang ada di Jawa, Pabrik Gula di Jawa yang tadinya 179 buah tinggal 57 buah.

(24)

BAB V

PROSES NASIONALISASI PABRIK GULA CEPIRING

Secara harfiah, istilah nasionalisasi merupakan suatu proses, cara atau perbuatan (hal) menjadikan sesuatu milik bangsa atau negara (terutama milik asing), yang biasanya diikuti dengan penggantian yang merupakan kompensasi: pemerintah melakukan terhadap perusahaan asing (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Kebijakan nasionalisasi ini muncul sebagai akibat dari buntunya perjuangan pengembalian Irian Barat dari tangan Belanda ke Indonesia melalui jalur diplomasi pasca perjanjian KMB tahun 1949.

Nasionalisasi terhadap perusahaan asing ini juga sebagai salah satu upaya pemerintah untuk meredam amarah rakyat, dan bertujuan untuk meminimalisir terjadinya kesenjangan ekonomi rakyat. Kebijakan ini diambil dengan maksud agar negara-negara tujuan investasi dapat membangun kembali struktur perekonomiannya akibat dominasi modal asing. Salah satu jalan keluar yang dipikirkan untuk mengakhiri dominasi perusahaan perusahaan Belanda ialah dengan jalan melakukan nasionalisasi (Kanumoyoso dalam Lina Farida. 2014. “Pabrik Gula Cepiring Kendal Pasca Nasionalisasi Tahun 1957-2008” dalam Journal of Indonesian History, Vol. 3 (1) tahun 2014 Hlm. 34-41).

(25)

Aksi-aksi massa menuntut pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya juga dipelopori oleh Gerakan-gerakan politik progresif yang disokong oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta organ-organ yang terkait dengan partai tersebut, seperti Sentral Organisasi Buruh Sel uruh Indonesi a ( SOBSI) dan Kesatuan Buruh Marhaenis (KBM). Tindakan nasionalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah membawa Indonesia ke kancah litigasi internasional.

Salah satu kasus yang terkenal adalah pemboikotan terhadap komoditas ekspor Indonesia yaitu Bremen Tobacco Case, dimana produk tembakau Indonesia diboikot di pasar komoditas tembakau internasioanal di Bremen Jerman. Aksi tersebut berlanjut pada tuntutan hukum yang diajukan oleh mantan pemilik NV Verenigde Deli Maatschappijen dan NV Senembah Maatschappij , yang dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia berdasarkan Peraturan Pemeintah No 4 Tahun 1959 tanggal 23 Februari 1959. Pihak Belanda/para penggugat tidak mengakui keabsahan adannya nasionalisasi berdasarkan Undang-undang No 86 Tahun 1958 dengan alasan bahwa nasionalisasi tersebut melanggar ketertiban umum yang dikenal dalam hukum perdata internasional dan bertentangan dengan azas-azas hokum internasional. Perkara tersebut dimenangkan oleh Republik Indonesia dan telah menjadi tonggak dalam hukum internasional bahwa nasionalisasi dalam rangka dekolonisasi dapat dibenarkan, akan tetapi Pemerintah Indonesia kemudian diwajibakan membayar ganti rugi yang layak kepada pemilik perusahaan Belanda yang dinasionalisasi.

(26)

wilayah Republik Indonesia dan merupakan perusahaan perseroan milik Belanda, oleh karena itu Pabrik Gula Cepiring dinasionalisasikan.

(27)

BAB VI

PENGARUH PABRIK GULA CEPIRING BAGI KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR

Di Jawa, industri gula sudah dikenal sejak lama, namun usahanya masib bersifat rumah tangga (homeindustry) yang masih dikelola secara sederhana. Guna memutar penggilingan biasanya digunakan tenaga manusia atau tenaga hewan. Baru setelah Sistem Tanam paksa diterapkan di pulau Jawa, tumbuhlah perusahaan-perusahaan besar yang mempergunakan mesin-mesin produksi yang lebih maju, yang digerakkan oleh tenaga air ataupun tenaga uap. Harga pasar yang mantap serta tenaga kerja yang murah, menyebabkan perusahaan-perusahaan ini memperoleh keuntungan yang besar sehingga dapat berkembang dengan pesat.

Pada masa Sistem Tanam paksa pemerintah kolonial Belanda mulai mendirikan pabrik-Pabrik Gula baru yang relatif memiliki teknologi yang lebih maju, daripada pabrik-Pabrik Gula kecil yang dimiliki oleh orang-orang swasta. Tumbuhnya industri gula yang berskala besar, telah menimbulkan berbagai perubahan dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat setempat. Di antara perubahan-perubahan yang terjadi di desa-desa karena berinteraksi dengan Pabrik Gula itu. Bagi penduduk desa, yang dalam pertaniannya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan jiwa masyarkatnya, dalam pabrik-Pabrik Gula membawa kesulitan-kesulitan khusus, karena pekerjaan ini dilakukan dengan teratur. Kesulitan ini tidak begitu terasa dalam hal penanaman dan pemotongan tebu, karena pekerjaan ini lebih mendekati pertanian yang memang sudah menjadi kebiasaannya.

(28)

setelah Sistem Tanam paksa. Sistem Tanam paksa masih membawa perubahan-perubahan lain yang tidak diinginkan. Di kotakota pelabuhan dan pabrik-Pabrik Gula, mulai timbul kerja upahan yang sebelumnya hampir tidak dikenal.

Karena kewajiban untuk menyerahkan tanah pertanian guna kepentingan Tanam paksa, maka sewa menyewa tanah antara penduduk “Indonesia” bertambah banyak. Dengan demikian, telah dipersiapkan masuknya kerja dan tanah ke dalam lalu lintas perekonomian, dan telah diletakkan salah satu dasar perkebunan swasta di masa sekarang.

Di perkebunan-perkebunan tebu, dapat dikatakan bahwa penanaman tetap bersendikan kerja wajib. Dalam pemotongan tebu, pengangkutan dan di pabrik-pabrik, kerja wajib berangsur-angsur diganti dengan kerja bebas. Demikian pula dalam pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan pemerintah, lambat laun dipergunakan lebih banyak lagi kerja bebas. Dalam tahun 1849, untuk pertama kalinya dipergunakan dalam pembuatan pelabuhan-pelabuhan dan pekerjaan-pekerjaan pertahanan di Surabaya, dan terutama setelah tahun 1860 kerja bebas itu juga banyak dipergunakan. Di bawah Sistem Tanam paksa, kerja upah bebas itu untuk pertama kalinya dipergunakan secara besar-besaran.

Salah satu keuntungan dari indutsri gula, menurut Huender ialah, bahwa dengan kemajuan dalam bidang ini telah membuka lapangan kerja kepada penduduk di daerah gula yang semakin padat, yang jika tidak ada industri gula mereka akan sulit memperoleh penghasilan. Pada umunya, penduduk hanya memiliki tanah yang tidak luas, bahkan banyak yang tidak memiliki tanah sama sekali, sehingga tanpa industry gula mereka akan sulit bertahan. Dengan adanya kesempatan kerja, sekalipun dengan upah yang rendah, mereka sedikit tertolong.

(29)

milik bersama (komunal), diperkuat oleh adanya hak menguasai dari desa yang sejak dahulu terdapat di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan juga bertambah lemahnya hak milik perseorangan petani akibat pengaruh-pengaruh feodal. Hal ini Ditambah pula dengan banyaknya tanah yang tidak terurus pada permulaan abad ke-19, sebagai akibat dari perpindahan untuk menghindarkan diri dari rodi.

Karena pemilik Pabrik Gula tidak diperkenankan memiliki tanah sendiri, maka mereka menyewa dari penduduk setempat, terutama yang berdekatan dengan lokasi pabrik. Mengenai sewa tanah, menurut Burger, adalah suatu hal yang tidak asing lagi bagi penduduk desa. Sejak dahulu penduduk mengenal persewaan tanah pertanian antara mereka, walaupun persewaan itu biasanya jarang terjadi. Penyewaan tanah komunal tidak diperbolehkan adat, demikian juga penjualannya. Namun keadaan ini tidak berlangsung lama, di bawah stelsel Tanam paksa timbul perubahan besar dalam pemakaian tanah. Terutama akibat dari penyewaan tanah dengan paksa untuk ditanami tebu dan nila. Selain itu, di daerah-daerah tempat penanaman tebu dipusatkan, terjadi pergeseran pemakaian tanah antara desa sendiri. Pergeseran ini mengenai pertukaran tanah, yang timbul karena paksaan. Pergeseran penggunaan tanah semacam ini juga terjadi di daerah tebu di Kabupaten Kendal.

Karena luas tanah milik perseorangan tidak terlalu luas, hal ini dianggap tidak sesuai dengan kepentingan pabrik yang bermaksud mengadakan perkebunan secara besar-besaran. Untuk itu, pemilik Pabrik Gula berusaha semaksimal mungkin untuk dapat memperoleh sewa tanah yang dapat merupakan satu kesatuan, yang terdiri dari tanah-tanah milik yang tidak luas tadi. Kalau ada tanah milik penduduk yang tidak disewakan, dan tanah tersebut terletak di antara tanah yang telah disewa pabrik, maka tanah penduduk yang demikian ini digeser dan diganti dengan tanah lain, yang letaknya tidak berada dalam komplek tanah sewa pabrik. Hal ini disamping mempermudah pengawasan dan pemeliharaan, juga mempermudah pemotongan dan pengangkutan ke pabrik-pabrik penggilingan. Sudah barang tentu akibat lebih jauh lagi, adalah penghematan biaya. Dengan penghematan ini, keuntungan pabrik akan semakin besar. (Susatyo:2007:.68)

(30)

penyempitan-penyempitan operasi perkebunan-perkebunan ini termasuk Cepiring berarti penyempitan penghasilan bagi penduduk sekitar, yaitu berupa upah bagi para karyawan. Jika penduduk jawa secara rata-rat memperoleh pembayaran untuk tanma paksa sebesar f42,48 untuk satu bahu selama system tanam paksa, pada tahun 1900 angka ini telah menurun sampai f25 untuk satu bahu. ( Notosusanto: 2007: 380)

Selain pendapatan yang berkurang dari pekerjaan di perkebunan dan penyewaan tanah untuk perkebunan, penduduk mengalami penciutan dalam penghasilan yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan tradisional, seperti kerajinan tangan, sebagi akibat impor barang-barang dari luar negeri yang lebih unggul daripada hasil-hasil tangan. Kemiskinan yang diderita sebagian besar penduduk disebabkan oleh pengangguran dan kekurangn kerja alternatif.

Selain itu mengenai permasalahan transportasi untuk pengangkutan gula, pemerintah mengadakaan perbaikan sarana dan prasrana transportasi. Jaringan jalan diperluas dan diperbaiki, termasuk juga pembuatan jembatan-jembatan penghubungnya. Pengusaha-pengusaha pabrik dianjurkan untuk mengurus sendiri pengangkutan tebunya, dengan memberikan tunjangan uang. Dengan adanya pembangunan sarana dan prasarana transportasi ini, maka Sistem Tanam paksa telah menumbuhkan alat alat transportasi, berupa jalan-jalan dan alat-alat transportasi; yang semuanya menjadi dasar bagi pengembangan lalu-lintas umum sekarang ini. Dampak dari perbaikan sarana dan prasarana transportasi yang dilakukan pemerintah menyebabkan penciutan dalam penghasilan yang diperoleh penduduk dari pengangkutan barang-barang melalui gerobak.

Pabrik Gula Cepiring sebelum melaksanakan giling tebu selalu melaksanakan selamatan. Perayaan selamatan dilakukan secara besar-besaran dengan pengamanan ketat dari militer. Adapun acara yang diselenggarakan meliputi pembukaan giling, selamatan, pemberian tanda jas, barongan, berbagai macam perlombaan dan hiburan wayang kulit dan gambar hidup. Dengan adanya acara selmatan ini, maka akan mngundang para pedagang dari daerah lain, sehingga akan meningkatkan perekonomian keluarga. 3

(31)

Selain mengadakan acara selamatan Pabrik Gula Cepiring juga mengadakan bakti sosial berupa pembagian barang-barang seperti beras, gula, dan minyak tanah untuk karyawan pabrik dan masyarakat sekitar. Dengan adanya pembagian ini selain membantu keluarga karyawan juga menguntungkan Pabrik Gula Cepiring sendiri, karena secara tidak langsung masyarakt sekitar akan ikut menjaga ketertiban dan keamanan Pabrik Gula Cepiring. 4 apalagi beberapa kali Pabrik Gula Cepiring Pernah mengalami kasus pencurian tebu yang meningakat dari tahun ke tahun.

(32)

BAB V PENUTUP

1. Pabrik Gula Cepiring terletak di Kecamatan Cepiring Kabupaten Kendal, didirikan pada tahun 1835 oleh Belanda dengan nama KENDALSHCESUIKER ONDERNEMING sebagai suatu perseroan dalam bentuk N.V (Naamlooze Vennot chaap) dan secara langsung dibawah pimpinan Belanda atau pengawasan Belanda. Kendal tidak hanya mempunyai Pabrik Gula Cepiring, tetapi ada lagi yaitu Pabrik Gula Gemuh dan Kaliwungu. Pabrik Gula Cepiring dan Gemuh, pemiliknya adalah N.V. tot Exploitatie der Kendalsche Suikerfabrieken. Pabrik Gula Kaliwungu pemiliknya N.V. Cultuuronderneming “Kaliwungu-Plantaran” yang penjualan produksinya dilakukan oleh Cultuurmatschaappij der Vorstenlanden.

2. Krisis malaise berimbas pada Pabrik Gula Cepiring yang berakibat pada terhentinya produksi gula mulai tahun 1930 hingga tahun 1934. Produksi kembali dilanjutkan pada tahun 1935 hingga 1941. pada tahun 1942-1945 Pabrik Gula Cepiring diambil alih oleh Jepang dan dijadikan sebagi masrkas tentara. Tahun 1945 hingga 1953 kembali dikuasai oleh Belanda namun tidak beroperasi. Pada tahun 1954 Pabrik Cepiring mengalami kemajuan, dan tahun 1957 di nasionasasi oleh pemerintah Indonesia.

(33)

berhasil dilakukan pada tahun 1957, namun nasionalisasi Pabrik Gula Cepiring baru diberlakukan secara nasional pada tahun 1958 sesuai dengan undang-undang nasionalisasi perusahaan Belanda pada tahun 1958 Yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.

4. Sejak tahun 1837, mulai tampak adanya pekerja-pekerja upahan di kebun-kebun tebu, meskipun pada umumnya mereka itu sebenarnya masih setengah dipaksa. Pekerja upahan yang secara sukarela semakin berkembang, khususnya setelah Sistem Tanam paksa. Dengan adanya sistem tanam paksa jaringan jalan diperluas dan diperbaiki.

B. Saran

(34)

Daftar Pustaka

Hiroyosi, Kano. 1996. Di Bawah Asap Pabrik Gula: Masyarakat Desa di Pesisir Jawa Sepanjang Abad ke-20. Yogyakarta: Akatiga & UGM Press.

Leirissa. 2012. Sejarah perekonomian Indonesia. Yogyakarta: Ombak

Poesponegoro, Marwati Djoened. 2007. Sejarah nasional Jilid IV. Jakarta; Balai Pustaka.

__________________________ . Sejarah nasional Jilid VI. Jakarta; Balai Pustaka.

Susatyo, Rachmat. 2007. Industri Pabrik Gula di Kendal Masa Kolonial. Kipas Wasino. 2007. Dari riset hingga tulisan sejarah. Semarang: Universitas Negeri

Semarang Press

INTERNET

http://esterrenatasilalahi.blogspot.co.id/2011/11/cerita-sukses-pabrik-gula-dari-Cepiring.html

http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/FAE27-2e.pdf

http://adln.lib.unair.ac.id/files/disk1/555/gdlhub-gdl-s1-2013-damayantir-27729-13.perke--.pdf

https://digilib.uns.ac.id/dokumen/download/5825/MTY0OTg=/Pengaruh-krisis-

malaise-terhadap-pabrik-gula-di-Kabupaten-Klaten-sampai-tahun-1942-abstrak.pdf

ARSIP

(35)

Archief suikerfabriek tjepiring tromolpos 101, surat No. 381 untuk pelaksana militer Kendal: tanggal 4 mei 1957, Semarang

Archief suikerfabriek tjepiring tromolpos 101: turunan pengumuman: tanggal 22 juli 1957, Semarang

Archief suikerfabriek tjepiring tromolpos 101: surat no.1140 perihal pencurian tebu: tanggal 10 Desember 1957

JURNAL

Lina Farida. 2014. “Pabrik Gula Cepiring Kendal Pasca Nasionalisasi Tahun 1957-2008” dalam Journal of Indonesian History, Vol. 3 (1) tahun 2014 Hlm. 34-41.

SKRIPSI

Diniyah, Mufiddatut. 2011. Sejarh perkembangan Pabrik Gula Cepiring dan pengaruhnya terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Kendal tahun 1975-1997. Semarang: Unnes

(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)

Gambar

Tabel Perubahan Jumlah Desa dalam Distrik-Distrik   di Kabupaten Kendal (1837
Tabel Jumlah Pabrik Gula di Pulau Jawa
Tabel jumlah area lahan perkebunan di Jawa
Table Produksi Dan Nilai Ekspor Gula Tahun 1913-1934

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis pengaruh antara Stres Kerja terhadap Produktivitas Kerja Karyawan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang kuat (-0,719) dan

Sehubungan dengan hal tersebut, berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Penanaman Modal serta fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah memberikan kemudahan

5.2 Karakter Tokoh Ditinjau dengan Metode Tidak Langsung (Showing) Metode tidak langsung atau metode dramatik (showing) mencakup karater melalui dialog, lokasi dan situasi

Dalam Integrated Service Marketing Communications (ISMC), komunikasi tidak saja melalui integrasi saluran eksternal, namun melibatkan pula komunikasi pemasaran melalui

pertama alumni, masukan pengguna lulusan sesuai yang disyaratkan pada Akreditasi BAN-PT) V PM Wasantan as Rapat awal semester: Penetapan dan implementasi terkait

Perbedaan terletak pada variabel independen dan luasnya sampel.Variabel independen dari penelitian terdahulu adalah ukuran perusahaan dan proftabilitas sedangkan untuk

untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, daya saing, ekspor, dan kesejahteraan petani”. Target utama visi pembangunan pertanian ditujukan untuk mewujudkan