• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan nadzir dalam pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf pada Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa Kelurahan Panunggangan Kecamatan Pinang Kota Tangerang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan nadzir dalam pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf pada Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa Kelurahan Panunggangan Kecamatan Pinang Kota Tangerang"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN NADZIR DALAM PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN TANAH WAKAF PADA YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AT-TAQWA

KELURAHAN PANUNGGANGAN KECAMATAN PINANG KOTA TANGERANG

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Samsudin

Nim : 207044100146

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A GA M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)

KATA PENGANTAR

ﻢﻴﺣﺮﻟﺍ ﻦﲪﺮﻟﺍ ﷲ ﺍ ﻢﺴﺑ

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin, puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke

hadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya yang

teramat besar, sehingga penulis telah dapat menyelesaikan penelitian ini.

Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad

SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti sunahnya

sampai akhir zaman.

Rasa lelah, jenuh, stres yang dialami penulis selama ini saat ini telah sirna

seiring telah selesainya penyusunan skripsi ini. Kini yang dirasa hanyalah rasa

syukur dan bahagia yang tak terkira. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa

penelitian ini dapat terselesaikan berkat bantuan, bimbingan, arahan bahkan

dorongan dari berbagai pihak yang selama ini banyak membantu. Untuk itu pada

kesempatan ini pula penulis mengucapkan rasa terima kasih yang tiada hingga

kepada yang terhormat :

1. Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, MA, SH, MM selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.

2. DR. Yayan Sofyan, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik.

3. Kamarusdiana, S. Ag, MH selaku Dosen Pembimbing yang tiada bosan

memberikan koreksi dan bimbingan kepada penulis dalam mengerjakan dan

(5)

4. Para Dosen yang telah mencurahkan lautan ilmu, kesabaran, panutan, dan

pengalaman kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

5. H. Arif Rahman, S.Ag selaku Ketua Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa,

para pengurus, segenap dewan Guru dan para karyawan lainnya yang telah

menginspirasi penulis untuk menjadikan “para tokoh” dalam penulisan

skripsi ini.

6. Segenap Pimpinan, staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatulah.

7. Sahabat dan Teman-teman di Peradilan Agama angkatan 2005 yang telah

banyak mewarnai kehidupan penulis dengan berbagai kenangan suka dan

duka.

8. Pendamping hidup tercinta, Ain Sulastri, S.Si dan buah hati tersayang,

Ahmad Miftah Ridho dan Ahmad Fauzil Adil yang telah menjadi “sumber

energi” bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Ibu Wawat Indrayanti, Amri, Indah, Wida dan seluruh rekan sejawat pada

Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang yang tak bosan-bosan

(6)

Penulis menyadari bahwa skripsi yang telah tersusun ini masih jauh dari

sempurna. Inilah hasil maksimal yang dapat penulis persembahkan untuk diri

sendiri, keluarga dan almamater UIN Syarif Hidayatullah yang penulis cintai dan

banggakan.

Jakarta, Juni 2011M

Rajab 1432 H

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ... 9

E. Review Studi Terdahulu ... 14

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II KERANGKA TEORI TENTANG WAKAF A. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf ... 18

B. Rukun dan Syarat Wakaf ... 25

C. Macam-macam Wakaf ... 31

D. Sejarah Wakaf ………... 33

(8)

BAB III GAMBARAN UMUM YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AT-TAQWA

A. Sejarah Berdirinya Yayasan ... 47

B. Struktur Organisasi Yayasan ... 49

C. Visi dan Misi Yayasan ... 51

D. Ruang Lingkup dan Program Kerja Yayasan ... 52

BAB IV PERANAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN WAKAF YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AT-TAQWA A. Upaya Pengelolaan……… ……… 61

B. Upaya Pengembangan ……… 65

C. Pemanfaatan Hasil Pengelolaan dan Pengembangan ……… 68

D. Faktor yang Menghambat dalam Pengelolaan dan Pengembangan..71

E. Analisis Penulis Tentang Pengelolaan dan Pengembangan ……... 73

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 81

B. Saran-saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 85

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Membicarakan persoalan Islam dan ekonomi, sebenarnya tidak hanya

membicarakan persoalan kemajuan atau kemunduran kehidupan yang dialami oleh

salah satu pihak (golongan agama) tertentu, melainkan turut membicarakan persoalan

kemanusiaan yang lebih luas. Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki

penduduk muslim terbesar, juga memiliki sejarah yang begitu panjang yang

menentukan arah maju mundurnya kehidupan kebangsaan. Tercatat mulai jaman

penjajahan kolonial sampai saat ini, menunjukkan bahwa pilihan penjajahan –baik

secara militeristik maupun kolonialisasi pemikiran dan kebudayaan- berarah dan

berujung pada penggalian potensi ekonomi yang dimiliki negeri ini.

Saat ini, Indonesia merupakan bagian dari negara besar di dunia yang struktur

ekonominya sangat timpang (terjadi kesenjangan), karena basis ekonominya yang

strategis dimonopoli oleh segelintir orang (kalangan feodalis-tradisional dan

masyarakat modern kapitalis) yang menerapkan prinsip ekonomi ribawi. Sampai saat

ini, dua kelompok tersebut masih begitu mewarnai tumbuh berkembang dan lalu

lintas perekonomian Indonesia.1

1

(10)

Kemiskinan dan kesenjangan sosial di sebuah Negara yang kaya dengan

sumber daya alam dan mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Indonesia,

merupakan suatu keprihatinan. Jumlah penduduk miskin terus bertambah jumlahnya

sejak krisis ekonomi pada tahun 1997 hingga saat ini. Pengabaian atau ketidak

seriusan penanganan terhadap nasib dan masa depan puluhan juta kaum dhuafa yang

tersebar diseluruh tanah air merupakan sikap yang berlawanan dengan semangat dan

komitmen Islam terhadap persaudaraan dan keadilan sosial.

Jika kita cermati lebih jauh, ditemukan bukti-bukti empiris bahwa

pertambahan jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan bukanlah

karena persoalan kekayaan alam yang tidak sebanding dengan jumlah penduduk (over

population), akan tetapi karena persoalan distribusi yang kurang baik serta rendahnya

rasa kesetiakawanan diantara sesama anggota masyarakat. Lingkaran kemiskinan

yang terbentuk dalam masyarakat kita lebih banyak kemiskinan struktural sehingga

upaya mengatasinya harus dilakukan melalui upaya yang bersifat prinsipil, sistematis

dan komprehensif, bukan hanya bersifat parsial dan sporadis.2

Islam sebagai salah satu agama yang ada di Indonesia dan merupakan agama

yang paling banyak peganutnya, sebenarnya mempunyai beberapa lembaga yang

diharapkan mampu membantu untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, yaitu salah

satunya adalah institusi wakaf. Wakaf merupakan salah satu lembaga sosial Islam

yang erat kaitannya dengan sosial ekonomi masyarakat. Walaupun wakaf merupakan

lembaga Islam yang hukumnya sunnah, namun lembaga ini dapat berkembang

2

(11)

dengan baik di beberapa Negara muslim, seperti Saudi Arabia, Mesir, Turki,

Yordania, Qatar dan lain-lain3. Hal tersebut karena lembaga ini memang sangat

dirasakan manfaatnya bagi kesejahteraan umat.

Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak

agama Islam masuk di Indonesia. Sebagai suatu lembaga Islam, wakaf telah menjadi

salah satu penunjang perkembangan masyarakat Islam. Jumlah tanah wakaf di

Indonesia sangat banyak. Menurut data yang ada di Departemen Agama Republik

Indonesia, sampai dengan tahun 2004 jumlah seluruh tanah wakaf di Indonesia

sebanyak 362.471 lokasi dengan luas 1.538.198.586 m4. Apabila jumlah tanah wakaf

tersebut dihubungkan dengan Negara yang saat ini sedang menghadapi berbagai

krisis, termasuk krisis ekonomi, sebenarnya wakaf merupakan salah satu lembaga

Islam yang sangat potensial untuk lebih dikembangkan guna membantu masyarakat

yang kurang mampu. Sayangnya, wakaf yang jumlahnya begitu banyak, pada

umumnya pemanfaatannya masih bersifat konsumtif dan belum dikelola secara

produktif. Dengan demikian lembaga wakaf di Indonesia belum terasa manfaatnya

bagi kesejahteraan sosial.

Pemanfaatan wakaf untuk kegiatan peribadatan memang sangat baik, namun

dampak secara ekonomisnya kurang atau bahkan tidak berpengaruh positif dalam

kehidupan ekonomi umat/masyarakat. Apabila peruntukan wakaf hanya terbatas pada

3

Direktorat Bimas Islam dan penyelenggaraan Haji, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Tanah Wakaf, 2003, h. 15-18

4

(12)

hal-hal ibadah saja, tanpa diusahakan untuk dikembangkan menjadi wakaf yang

produktif atau berhasil guna secara ekonomi, maka kesejahteraan sosial ekonomi

umat/masyarakat yang diharapkan dari lembaga wakaf itu tidak akan dapat terealisir

secara optimal.

Wakaf merupakan lembaga Islam yang pada satu sisi berfungsi sebagai ibadah

kepada Allah dan disisi lain wakaf juga berfungsi sosial. Wakaf muncul dari suatu

pernyataan iman yang mantap dan solidaritas yang tinggi antara sesama manusia.

Oleh karenanya wakaf merupakan salah satu lembaga Islam yang dapat dipergunakan

seorang muslim untuk mewujudkan dan memelihara hubungan dengan Penciptanya,

dan hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarai kemudian hari bagi yang

mewakafkan, karena wakaf merupakan suatu bentuk amalan yang pahalanya terus

mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan. Sedangkan dalam fungsi sosialnya

wakaf merupakan asset yang amat bernilai dalam pembangunan ummat.

Dalam pengelolaan harta wakaf, peranan Nazhir sangatlah esensial. Sebab

berfungsi atau tidaknya suatu perwakafan sangat tergantung kepada Nazhirnya,

karena Nazhir wakaf adalah pihak yang dipercayakan oleh wakif untuk menerima

harta benda wakaf dan juga untuk mengembangkan harta tersebut sesuai dengan

peruntukannya.5

Mengingat arti penting peranan Nazhir dalam pengelolaan wakaf tersebut,

maka para imam mazhab sepakat tentang pentingnya nazhir memenuhi syarat adil dan

5

(13)

mampu. Adil berarti mengerjakan yang diperintah dan menjauhi yang dilarang.

Sedangkan mampu berarti kekuatan dan kemampuan seseorang mentasharrufkan apa

yang dijaganya. Dalam hal kemampuan ini dituntut sifat Taklif, yakni dewasa dan

berakal. Jika nazhir tidak memenuhi syarat adil dan mampu, hakim boleh menahan

wakaf itu dari nazhir.6

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, pada pasal 9

disebutkan bahwa nazhir wakaf terbagi atas tiga bagian, yaitu nazhir perseorangan ,

nazhir organisasi dan nazhir badan hukum. Pada pasal selanjutnya disebutkan bahwa

untuk menjadi nazhir perseorangan dipersyaratkan :

a. warga Negara Indonesia;

b. beragama Islam;

c. dewasa;

d. amanah;

e. mampu secara jasmani dan rohani;

f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

Selanjutnya pada pasal 11 disebutkan tentang tugas atau kewajiban nazhir

adalah :

a. melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;

b. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan,

fungsi dan peruntukannya;

6

(14)

c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;

d. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.7

Dalam pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf, nazhir baik yang

berbentuk perseorangan, organisasi maupun badan hukum dapat melakukan dan

menerapkan prinsip manajemen kontemporer dalam menjunjung tinggi dan

memegang kaidah al-maslahah (kepentingan umum) sesuai ajaran Islam, sehingga

tanah wakaf dapat dikelola secara profesional. Dengan demikian nazhir tanah wakaf

sebagai manager perlu dilakukan usaha serius dan langkah terarah dalam mengambil

kebijaksanan berdasarkan program kerja yang telah digariskan, sehingga kesan dan

anggapan dalam masyarakat bahwa pengelolaan tanah wakaf sebagai kerja

sampingan dan asal-asalan dapat dihilangkan.8

Namun demikian, peranan penting dan esensial dari nazhir wakaf tersebut

tidaklah selamanya mulus dalam praktek. Karena pada kenyataannya masih banyak

tanah-tanah wakaf yang belum dikelola apalagi dikembangkan dengan baik sehingga

belum dapat memberikan manfaat bagi kemaslahatan umat banyak. Hal ini bisa saja

dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari sumber daya atau kualitas para nazhir,

sosio kultural masyarakat, permodalan dan lain sebagainya.

7

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Undang-Undang Nomor 41 Tentang Wakaf, h. 7-9.

8

(15)

Melihat realitas tersebut, kiranya menarik bagi penulis untuk meneliti lebih

lanjut bagaimana sebenarnya peranan nazhir wakaf sebagai pihak yang paling

menentukan dalam pengembangan wakaf dalam prakteknya. Untuk itulah kemudian

penulis ingin menuangkannya dalam sebuah penelitian mendalam dalam bentuk

skripsi dengan judul : “PERANAN NADZIR DALAM PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN TANAH WAKAF PADA YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AT-TAQWA KELURAHAN PANUNGGANGAN KECAMATAN PINANG KOTA TANGERANG”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini penulis hanya membatasi bahasan masalah pada salah

satu unsur wakaf yaitu Nazhir, yang merupakan pihak yang menerima harta benda

wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya9,

dan tidak membahas mengenai unsur wakaf lainnya.

Sedangkan obyek penelitian juga dibatasi hanya pada lokasi tanah wakaf

Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa Kelurahan Panunggangan Kecamatan Pinang

Kota Tangerang. Hal ini karena lokasi wakaf tersebut cukup berkembang dengan

baik selama dalam pengelolaan nazhir. Dari segi pendidikan, saat ketika didirikan

hanya menyelenggarakan pendidikan non formal saja, yaitu sebuah majlis taklim, saat

ini telah menyelenggarakan berbagai pendidikan formal yaitu Taman Kanak-Kanak,

Madrasah Diniyah dan Madrasah Ibtidaiyah. Dari segi sosial kegamaan, yayasan

9

(16)

tersebut telah berhasil mendirikan sebuah Kelompok Bimbinga Ibadah Haji. Bahkan

saat ini telah mendirikan pula sebuah biro perjalanan wisata sebagai salah satu upaya

dalam rangka produktifitas wakaf yang dikelola oleh nazhir atau pengurus yayasan.

berdasarkan beberapa indikator tersebut, maka penulis bermaksud mengetahui lebih

lanjut mengenai peranan nazhir wakaf Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa dalam

pengelolaan dan pengembangan wakaf tersebut.

Berkenaan dengan batasan diatas, maka penulis memberikan rumusan

masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf menurut hukum

Islam dan hukum positif ?

2. Bagaimana peranan nazhir dalam hal pengelolaan dan pengembangan tanah

wakaf pada Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf ditinjau dari

hukum Islam dan hukum positif.

2. Untuk mengetahui upaya/kegiatan yang dilakukan nazhir wakaf Yayasan

Pendidikan Islam At-Taqwa dalam pengelolaan dan pengembangan tanah

(17)

Sedangkan manfaat penelitian dari penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut :

1. Secara teoritis, untuk dapat memberikan wawasan penulis agar lebih

memahami tentang tinjauan hukum Islam terhadap pengelolaan dan

pengembangan tanah wakaf.

2. Secara praktis, untuk dapat dijadikan bahan pelajaran, referensi atau paling

tidak tambahan informasi bagi mereka yang ingin mempelajari lebih dalam

lagi mengenai tinjauan hukum Islam terhadap pengelolaan dan pengembangan

tanah wakaf.

D. Metodologi Penelitian

Untuk mengetahui dan menjelaskan hubungan pokok permasalahan

diperlukan suatu pedoman penelitian yang disebut metodologi penelitian, yaitu cara

melukiskan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai

suatu tujuan.10

Dengan metodologi penelitian sebagai cara yang dipakai untuk mencari,

merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporan guna mencapai suatu tujuan.

Untuk mencapai sasaran yang tepat dalam penelitian ini, penulis menggunakan

metode penelitian sebagai berikut :

10

(18)

1. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis sosiologis,

yaitu suatu pendekatan yang dimaksud untuk menjelaskan masalah yang diteliti

dengan hasil penelitian yang diperoleh dalam kaitannya dengan peraturan hukum

dan melihat kehidupan dan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat atau

dalam kenyataan.11 Dalam penelitian ini adalah peranan nazhir dalam pengelolaan

dan pengembangan wakaf.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kualitatif atau disebut juga

metodologi kualitatif yang berarti prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

dapat diamati.12 Atau dapat disebut juga sebagai penelitian yang dalam

pengumpulan data dan penafsirannya tidak menggunakan rumus-rumus statistik.13

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif, yaitu

untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau

gejala lainnya.14 Metode deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran

yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang obyek yang

11

Hilman Hadikusumo, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, (Bandung, Mandar Maju, 1995, Cet. Pertama), h. 63

12

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2004) h. 3

13

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek), (Jakarta ,PT Rineka Cipta, 2006) Cet ke-XIII (Edisi Revisi VI),h. 12

14

(19)

diteliti. Dalam hal ini untuk mendeskripsikan peran nazhir dalam pengelolaan

dan pengembangan wakaf.

3. Sumber Data

Penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisa data-data

penelitian, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :

a. Data Primer, yaitu berupa hasil wawancara dengan nazhir (pengurus

yayasan) dan pegawai yayasan, peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan wakaf.

b. Data Sekunder, yaitu data yang diambil dari hasil studi pustaka yang

bertujuan untuk memperoleh landasan teori yang bersumber dari buku

literatur dan karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan perwakafan.

c. Data Tersier, yaitu berupa kamus, brosur dan data lainnya yang dapat

dijadikan sumber data pendukung.

4. Metode Pengumpulan Data

a. Penelitian Kepustakaan

Penelitian kepustakaan adalah pengumpulan data denga cara mencari,

menghimpun, mempelajari buku-buku atau sumber tertulis yang ada

(20)

b. Penelitian Lapangan

Yaitu metode pengumpulan data dengan cara terjun langsung ke dalam

objek penelitian. Dalam pengumpulan data lapangan ini penulis

menggunakan cara :

1. Wawancara atau interview, yaitu suatu proses Tanya jawab lisan,

dimana dua orang atau lebih berhadapan secar fisik yang satu dapat

melihat yang lain, serta mendengarkan suaranya dengan telinga

sendiri. Pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini

berdasarkan pelaksanaannnya mengacu pada interview bebas/inguided

interview dan terpimpin/guided interview, pewawancara menanyakan

kepada informan dengan pertanyaan yang telah terstruktur kemudian

satu persatu diperdalam mengorek keterangan lebih lanjut. Keduanya

dipadukan penulis bahwa beliau sedang interview, hal ini sengaja

dilakukan untuk menciptakan suasana interview yang lebih santai

tetapi terarah.15

2. Observasi, yaitu meneliti sesuatu dengan menggunakan pengamatan

meliputi kegiatan penelitian terhadap suatu objek dengan

menggunakan seluruh alat indera.

3. Dokumentasi yaitu mengumpulkan data-data di lapangan yang

dilakukan dengan cara mencatat, merangkum data tertulis yang ada di

15

(21)

lokasi penelitian. Dalam menggunakan teknik ini penulis

menggunakan benda-benda tertulis seperti buku-buku, dokumen,

peraturan-peraturan dan sebagainya.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunaka model analisis isi, yang

dalam penerapannya harus didasarkan pada dua aspek penting, yaitu data

(dokumen, naskah dan literatur) adalah produk dari dialektika sejarah, dan

akibatnya, data tidak dapat dipisahkan dari konteks kesejarahan dimana dan kapan

data tersebut diproduksi.16

Dalam analisis data dilakukan proses pengumpulan data. Setelah terkumpul

kemudian data direduksi artinya diseleksi, disederhanakan, dipilah data untuk

kemudian diambil data yang relevan dengan penelitian. Selanjutnya diadakan

penyajian data secara sistematis yaitu rakitan organisasi informasi atau data

sehingga memungkinkan untuk ditarik kesimpulan berdasar kumpulan data

tersebut.

Adapun dalam teknis penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada “Buku

Pedoman Penulisan Skripsi – Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta” yang disusun tim penulis Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

16

(22)

E. Review Studi Terdahulu

1. Efektivitas Pengelolaan dan Pemanfaatan Harta Wakaf (Studi Kasus di Pondok

Pesantren Al-Hamidiyah-Depok)” oleh Rinawati, Fakultas Syariah dan Hukum,

2005. Dalam skripsi ini membahas tentang bentuk pengelolaan harta wakaf di

Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, sudah sesuaikah dengan yang dicita-citakan

wakif ketika mewakafkan harta wakafnya sebelum wafat, dan apakah manfaat

harta wakaf tersebut dapat dirasakan oleh pengurus, santri, maupun masyarakat

sekitar.

2. “Sistem Pengelolaan Tanah Wakaf di Wilayah KUA Jagakarsa Jakarta

Selatan”.Oleh Sri Utami Nengsih, Fakultas Syariah dan Hukum, 2005. Dalam

skripsi ini membahas permasalahan mengenai pengelolaan tanah wakaf,

prosedur/tata cara perwakafan, dan manfaat tanah wakaf bagi masyarakat

sekitar di Wilayah KUA Jagakarsa.

3. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengelolaan dan Pengawasan Tanah Wakaf

(Studi di KUA Karang Tengah – Ciledug)”. Oleh Imam Saputra, Fakultas

Syariah dan Hukum, 2009. Dalam skripsi ini membahas permasalahan

mengenai pengelolaan tanah wakaf, prosedur/tata cara perwakafan, pengawasan

oleh KUA Kecamatan, dan manfaat tanah wakaf bagi masyarakat sekitar di

Wilayah KUA Kecamatan Karang Tengah – Ciledug.

Dari ketiga penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dapat

(23)

peruntukan harta benda wakaf, manfaat dari harta wakaf bagi masyarakat,

pengelolaan harta wakaf, prosedur/tata cara perwakafan, dan pengawasan oleh KUA

Kecamatan. Sementara hal yang membedakan penelitian yang penulis lakukan kali ini

adalah menekankan pada peranan nazhir, tidak hanya dalam hal pengelolaan harta

wakaf, namun juga bagaimana upaya pengembangan tanah wakaf yang dilakukan

menuju kearah produktifitas wakaf. Selain itu juga membahas bagaimana

pemanfaatan hasil dari pengelolaan dan pengembangan tersebut, dan juga hal-hal

yang menjadi kendala/permasalahan yang dihadapi nazhir dalam hal pengelolaan dan

pengembangan wakaf tersebut.

Jadi penelitian ini tidak lagi membahas peruntukan harta wakaf,

prosedur/tata cara perwakafan dan pengawasan yang dilakukan KUA

Kecamatan sebagaimana pada penelitian terdahulu diatas.

F. Sistematika Penulisan.

Agar penulisan karya ilmiah ini lebih fokus dan sistematis, maka penulis

mengklasifikasikannya dengan membagi kedalam beberapa bab pembahasan.

BAB I : Berisi pendahuluan yang memberikan gambaran umum menyeluruh diawali dengan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika

(24)

BAB II : Gambaran umum tentang wakaf menurut hukum Islam dan hukum positif. Dalam bab ini berisi : Pengertian wakaf dan dasar hukumnya, Rukun

wakaf dan Syarat-syaratnya, Macam-macam wakaf, Sejarah Wakaf,

pengelolaan dan pengembangan wakaf.

BAB III : Gambaran umum Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa Kelurahan Panunggangan Kecamatan Pinang Kota Tangerang. Pada bab ini akan

dibahas tentang gambaran umum Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa

yang meliputi sejarah berdirinya Yayasan, struktur organisasi, Visi dan

Misi, ruang lingkup dan program kerja Yayasan wakaf At-Taqwa

Kelurahan Panunggangan Kecamatan Pinang Kota Tangerang.

BAB IV : Bab ini merupakan pokok bahasan yang menjelaskan dan menganalisa data mengenai: upaya-upaya yang dilakukan nazhir wakaf Yayasan

Pendidikan Islam At-Taqwa dalam hal pengelolaan dan pengembangan

tanah wakaf, upaya-upaya yang dilakukan nazhir wakaf Yayasan

Pendidikan Islam At-Taqwa dalam pemanfaatan hasil pengelolaan dan

pengembangan tanah wakaf Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa,

faktor-faktor yang menghambat dalam hal pengelolaan dan pengembangan tanah

wakaf Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa serta analisis penulis tentang

peranan nazhir wakaf Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa dalam hal

pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf Yayasan Pendidikan Islam

(25)
(26)

BAB II

KERANGKA TEORI TENTANG WAKAF A. Pengertian Wakaf dan Dasar Hukum Wakaf

1. Pengertian Wakaf

Kata “Wakaf” atau “Wacf” berasal dari bahasa Arab. Asal kata “Waqofa”

yang berarti “Menahan” atau “diam di tempat” atau “Tetap berdiri”. Kata “WAQOFA

– YAQIFU – WAQFAN “ ( ﺎﻔﻗو- ﻒﻘﯾ – ﻒﻗو ) sama artinya dengan “HABASA – YAHBISU – HABSAN” ( ﺎﺴﺒﺣ – ﺲﺒﺤﯾ – ﺲﺒﺣ ) .17 Oleh karena itu, tempat parkir

disebut mauqif, karena disitulah berhentinya kendaraan, demikian juga padang

Arafah disebut juga Mauqif dimana para jamaah berdiam untuk wukuf .18

Sedang wakaf dan habas adalah kata benda dan jamaknya adalah awqaf,

ahbas dan mahbus. Dalam kamus Al-Wasith dinyatakan bahwa alhabsu artinya

al-man’u (mencegah atau melarang) dan al-imsak (menahan) seperti dalam kalimat

habsu as-syai’ (menahan sesuatu). Waqfuhu la yuba’ wala yurats (wakafnya tidak

dijual dan tidak diwariskan). Dalam wakaf rumah dinyatakan : Habasaha fi sabilillah

( mewakafkannya dijalan Allah SWT).

Kesimpulannya, baik al-habsu maupun al-waqf sama-sama mengandung

makna al-imsak (menahan), al-man’u (mencegah atau melarang) dan at-tamakkust

(diam). Disebut menahan karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan dan semua

17

Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta, Darul Ulum Press, 1999) h. 23

18

(27)

tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. Dikatakan menahan, juga karena

manfaat dan hasilnya ditahan dan dilarang bagi siapapun selain dari orang-orang yang

termasuk berhak atas wakaf tersebut .19 Demikian pula dalam kamus Arab-Melayu

disebutkan bahwa kata “al-habsu” yang berasal dari “habasa-yahbisu-habsan”

berkembang menjadi “habbasa”, yang berarti “menahan” dan “mencegah”.20

Pengertian wakaf menurut istilah antara lain dapat dikemukakan beberapa

pengertian sebagai berikut:21

َو

ِ

َﻟﺎﻓ

ْﺸ

ِﺮ

ع

:

ﷲا ﻞﯿﺒﺳ ﻲﻓ ﺎﮭﻌﻓﺎﻨﻣ فﺮﺻو لﺎﻤﻟا ﺲﺒﺣ يا ةﺮﻤﺜﻟا ﻞﯿﺒﺴﺗو ﻞﺻﻻا ﺲﺒﺣ

Wakaf menurut Syara’: yaitu menahan dzat (asal) benda dan

mempergunakan hasilnya, yakni menahan benda dan mempergunakan

manfaatnya dijalan Allah (sabilillah).”

Menurut Ali bin Muhammad Al-Jurjani (1883 : 253) sebagai berikut :

ﺮﺸﻟا ﻲﻓو

ﺪﺼﺘﻟاو ﻒﻗاﻮﻟا ﻚﻠﻣ ﻰﻠﻋ ﻦﯿﻌﻟا ﺲﺒﺣ ع

ﺔﻌﻔﻨﻤﻟﺎﺑ ق

Menurut istilah syara’, wakaf adalah menahan dzat suatu benda dalam pemilikan

si wakif dan memanfaatkan (mempergunakan) manfaatnya”.

Menurut Imam Taqiyudin :

ﺑ عﺎﻔﺘﻧﻹا ﻦﻜﻤﯾ لﺎﻣ ﺲﺒﺣ

ﮫﻌﻓ ﺎﻨﻣ فﺮﺼﺗ ﮫﻨﯿﻋ ﻰﻓ فﺮﺼﺘﻟا ﻦﻣ عﻮﻨﻤﻣ ﮫﻨﯿﻋ ءﺎﻘﯾ ﻊﻣ ﮫ

ﺎﺑﺮﻘﺗ ﺮﺒﻟا ﻲﻓ

ﻟا

ﻰﻟﺎﻌﺗ ﷲا ﻰ

19

Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta, Khalifa,2007) h.44-45

20

Muhammad Fadhillah dan B. Th. Brondgeest, Kamus Arab-Melayu, jilid.I, (Weltevreden: Balai Pustaka, 1925), h.116-117.

21

(28)

“Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya serta tetap zat harta

tersebut, dan tidak boleh mentasarrufkannya. Manfaat benda tersebut, harus

dipergunakan untuk kebaikan dalam rangka mendekatkan kepada Allah

SWT”

Batasan mengenai wakaf banyak sekali dijumpai dalam kitab-kitab fikih

klasik. Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menyatakan : menurut istilah syara’ wakaf

berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya dijalan Allah SWT .22

Muhammad Jawad Mughniyah dalam bukunya aql-Ahwalus-Syakhsiyah

menyebutkan bahwa wakaf ialah :

“Suatu bentuk pemberian yang menghendaki penahanan asal harta dan

mendermakan hasilnya pada jalan yang manfaat”.23

Menurut Abu Hanifah, wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut

hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk

kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si

wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan boleh menjualnya atau

mewariskannya. Jadi yang timbul dari wakaf adalah “menyumbangkan manfaat” saja.

Menurut mazhab Maliki, bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang

diwakafkan dari kepemilikan wakif. Pemilik harta menahan benda itu dari

penggunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk

tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap

22

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), Juz IV, h.148.

23

(29)

menjadi milik si wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan

karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).24

Menurut mazhab Syafii dan Hambal, wakaf adalah melepaskan harta yang

diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif

tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, teremasuk

mewariskannya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada

mauquf alaih sebagai sedekah yang mengikat. Atau dengan kata lain, tidak

melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT,

dengan menyedekahkan manfatnya kepada suatu kebajikan.25

Sementara dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf dalam

pasal 1 dijelaskan bahwa pengertian wakaf adalah “perbuatan hukum wakif untuk

memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk

dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan

kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut

syari’ah.26

Dari paparan mengenai pengertian wakaf, secara menyeluruh dapat

disimpulkan mengenai ruang lingkup wakaf yaitu :

24

Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Fiqih Wakaf, (Jakarta, Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), h. 3

25

Ibid,. hal. 3

26

Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimas Islam dan penyelenggaraan Haji,

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tentang Wakaf, (Jakarta, Dirjen Bimas Islam dan

(30)

a). Menahan harta untuk dikonsumsi atau dipergunakan secara pribadi;

b). Definisi wakaf ini mencakup harta, baik berupa benda bergerak, tidak

bergerak, maupun uang;

c). mengandung pengertian melestarikan harta dan menjaga keutuhannya,

sehingga memungkinkan untuk dimanfaatkan secara langsung atau

diambil manfaat hasilnya secara berulang-ulang;

d). berulang-ulangnya manfaat dan kelanjutannya baik yang berlangsung

lama, sebentar maupun selamanya;

e). menghasilkan manfaat langsung dari harta atau benda yang diwakafkan,

mencakup juga wakaf produktif yang memberi manfaat dari hasil

produksinya;

f). mencakup jalan kebaikan umum keagamaan, social dan sebagainya, juga

mencakup kebaikan khusus yang dimanfaatkan untuk kebaikan keluarga

wakif;

g). mencakup pengertian wakaf menurut fikih dan perundang-undangan,

bahwa wakaf tidak terjadi kecuali dengan keinginan wakif;

h). mencakup pentingnya penjagaan harta wakaf.27

2. Dasar Hukum Wakaf Menurut Syari’at Islam

Secara khusus tidak ditemukan nash al-Qur’an maupun hadits yang secara

tegas menyebutkan dasar hukum yang melegitimasi dianjurkannya wakaf. Tetapi

27

(31)

secara umum banyak ditemukan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang menganjurkan

agar orang yang beriman mau menyisihkan sebagian dari kelebihan hartanya

digunakan untuk proyek produktif bagi masyarakat.28

Dasar disyariatkannya ibadah wakaf dapat kita lihat dari beberapa ayat

Al-Quran dan hadits Nabi SAW, antara lain :































.





)

ناﺮﻤﻋ لا

/

٣

:

٩٢

(

Artinya : “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna,

sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.

Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah

Maha Mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran/3 : 92)

Selain itu firman Allah SWT mengenai wakaf dalam surat Al-Baqarah: 267,



























































































.





)

ةﺮﻘﺒﻟا

/

٢

:

٢٦٧

(

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)

sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa

yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu

memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya,

28

(32)

padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan

memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha

Kaya Lagi Maha Terpuji”. (QS. Al-Baqarah/2: 267)

Adapun dalil-dalil hadits khusus tentang disyariatkannya wakaf, diantaranya

adalah hadist riwayat Imam Muslim dari Ibnu Umar r.a :

َلﺎَﻗ ﺎَﻤُﮭْﻨَﻋ ﷲا َﻲِﺿَرَﺮَﻤُﻋ ِﻦْﺑا ْﻦَﻋ

:

ﮫﱡﻠﻟا ﻰَﻠَﺻ ﱢﻲﺒِﱢﻨﻟا ﻰَﺗ ﺄَﻓ ،ﺎًﺿْرَا َﺮَﺒْﯿَﺨِﺑ ُﺮَﻤُﻋ َبﺎَﺻَأ

َلﺎَﻘَﻓ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﮫﯿَْﻠَﻋ

:

َلﺎَﻗ ؟ِﮫِﺑ ﻲِﻧُﺮُﻣْﺄَﺗ َﻒْﯿَﻜَﻓ ،ُﮫْﻨِﻣ َﺲَﻔْﻧَأ ﱡﻂَﻗ ًﻻﺎَﻣ ْﺐِﺻُأ ْﻢﻟًﺎﺿْرَأ ُﺖْﺒَﺻََأ

:

َﺖْﺌِﺷ ْنِِإ

َﺖْﺴﱠﺒَﺣ

ﺎَﮭِﺑ َﺖْﻗﱠﺪَﺼَﺗ َو ﺎَﮭَََﻠْﺻَا

.

ِءآَﺮَﻘُﻔﻟْا ﻰِﻓ ُثَرْﻮُﯾَﻻَو ُﺐَھْﻮُﯾَﻻو ﺎَﮭُﻠْﺻَأ ُع ﺎَﺒُﯾَﻻ ُﮫﱠﻧَأ ُﺮَﻤُﻋ َقﱠﺪَﺼَﺘَﻓ

ُﻛﺄَﯾ نَا ﺎَﮭَﯿِﻟَو ْﻦَﻣ ﻰَﻠَﻋ َحﺎَﻨُﺟ َﻻ ،ِﻞْﯿِﺒﱠﺴﻟا ِﻦْﺑاَو ِﻒْﯿﱠﻀﻟاَو ِﷲا ِﻞْﯿِﺒَﺳ ﻲِﻓ َو ِبﺎََﻗﱠﺮﻟا َو ﻰَﺑْﺮُﻘْﻟاَو

ِﻣ َﻞ

ﺎَﮭْﻨ

ﱠﻮَﻤَﺘُﻣ َﺮْﯿَﻏ ﺎًﻘْﯾِﺪَﺻ َﻢِﻌْﻄُﯾ ْوََأ ِفْوُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ

ِﮫْﯿِﻓ ٍل

) .

ﻢﻠﺴﻣ هاور

٥

/

٧٤

(

Artinya : “Umar mempunyai tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada

Rasulullah SAW meminta untuk mengolahnya, sambil berkata:“Ya

Rasulullah, aku memiliki sebidang tanah di Khaibar. Tetapi aku

belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat?.

Rasululluah bersabda : “Jika engkau menginginkannya tahanlah

tanah itu dan shadaqahkan hasilnya. Tanah tersebut tidak boleh

dijual atau diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan. Maka ia

(Umar) menshadaqahkan kepada fakir miskin, karib kerabat,

budak belian, dan Ibnu Sabil. Tidak berdosa bagi orang yang

mengurus harta tersebut untuk menggunakan sekedar

keperluannya tanpa maksud memiliki harta itu.” (HR. Muslim:

5/74) 29

29

(33)

B. Rukun dan Syarat Wakaf

Kendati para Imam Mujtahid berbeda pendapat dalam memberikan

pandangan terhadap institusi wakaf, namun semuanya sependapat bahwa untuk

membentuk lembaga wakaf diperlukan rukun dan syarat-syarat, walaupun mereka

juga berselisih pendapat mengenai jumlah rukun dan syarat tersebut.

Menurut ulama mazhab Hanafi, rukun wakaf itu hanya satu, yakni akad yang

berupa ijab (pernyataan dari wakif). Sedangkan Qobul (pernyataan menerima wakaf)

tidak termasuk rukun, disebabkan akad tidak bersifat mengikat. Sedangkan menurut

jumhur ulama dari mazhab Syafi’i , Maliki dan Hambali bahwa rukun wakaf ada

empat : 1) wakif (yang mewakafkan), 2) mauquf ‘alaih (orang yang menerima

wakaf), 3). Mauquf ( benda yang diwakafkan) dan 4). Sighat 30

Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dibahas pula

mengenai rukun dan syarat wakaf. Pada pasal 6 disebutkan bahwa wakaf

dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut: Wakif, Nazhir, Harta

Benda Wakaf, Ikrar Wakaf, Peruntukkan Harta Benda Wakaf, Jangka Waktu

Wakaf.31

Sedangkan pembahasan seputar syarat-syarat wakaf diatur pada bagian-bagian

berikutnya.

30

Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, h. 16-17

31

Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimas Islam dan penyelenggaraan Haji,

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tentang Wakaf, ( Jakarta, Dirjen Bimas Islam dan

(34)

1. Wakif

Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. (pasal 1

BAB I Ketentuan Umum). Wakif meliputi; Perseorangan, Organisasi, Badan

Hukum. (Pasal 7)

Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf (a)

hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan: Dewasa,

Berakal sehat, Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan Pemilik sah

harta benda wakaf. (Pasal 8 ayat 1)

Wakif organisasi sebagaiman dimaksud dalam pasal 7 huruf (b) hanya

dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk

mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar

organisasi yang bersangkutan. (pasal 8 ayat 2)32

2. Nazhir

Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif

untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. (pasal 1

BAB I Ketentuan Umum).

Nazhir mempunyai tugas yaitu: Melakukan pengadministrasian harta

benda wakaf, Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai

dengan tujuan fungsi dan peruntukannya, Mengawasi dan melindungi harta

benda wakaf, Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia

32

(35)

(pasal 11 Bagian Kelima tentang Nazhir, BAB II Dasar- dasar wakaf). Nazhir

meliputi: Perorangan, Organisasi, dan Badan Hukum (Pasal 9 ayat 5)

Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf (a) hanya

dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan: Warga Negara

Indonesia, Beragama Islam, Dewasa, Amanah, Mampu secara jasmani dan

rohani, dan Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. (pasal 10 ayat 1)33

Organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf (b) hanya dapat

menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan : Pengurus organisasi yang

bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1); dan Organisasi yang bergerak di bidang sosial,

pendidikan, kemasyarakatan dan atau keagamaan Islam. (pasal 10 ayat 2)

Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf (c) hanya

dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan :

a) Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan

nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

b) Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan

perundang- undangan yang berlaku; dan

c) Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial,

pendidikan, kemasyarakatan, dan atau keagamaan Islam. (pasal 10

ayat 3).

33

(36)

3. Harta Benda Wakaf

Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama

dan atau jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syari’ah

yang diwakafkan oleh wakif. (pasal 1 BAB I Ketentuan Umum)34

Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan

dikuasai oleh wakif secara sah, (pasal 15 Bagian Keempat)

Harta benda wakaf terdiri dari : Benda tidak bergerak, Benda bergerak

(Pasal 16 ayat 1) . Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a meliputi :

a). Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan

yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;

b). Bangunan atau bagian bangunan yang terdiri di atas tanah sebagaimana

dimaksud pada huruf (a)

c). Tanaman dan benda satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang- undangan yang berlaku;

d). Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan

peraturan perundang- undangan yang berlaku. (pasal 16 ayat 2)

Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah

harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: Uang,

Logam mulia, Surat berharga, Kendaraan, Hak atas kekayaan intelektual,

34

(37)

Hak sewa, dan Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan

peraturan perundang- undangan yang berlaku. (pasal 16 ayat 3)35

4. Ikrar Wakaf

Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara

lisan dan/ atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda

miliknya. (pasal 1 BAB I Ketentuan Umum).

Ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nazhir dihadapan PPAIW

dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi. (pasal 17 ayat 1 Bagian

Ketujuh tentang Ikrar Wakaf).

Ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara

lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.

(pasal 17 ayat 2).

Dalam hal wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau

tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang

dibenarkan oleh hukum, wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat

kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi. (pasal 18)

Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya

menyerahkan surat dan/ atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf

kepada PPAIW. (pasal 19)

Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan : (pasal 20)

Dewasa, Beragama Islam, Berakal sehat, Tidak terhalang melakukan

35

(38)

perbuatan hukum. Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf. (pasal

21 ayat 1)36

Akta Ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling sedikit

memuat: (pasal 21 ayat 2) Nama dan Identitas wakif, Nama dan Identitas

nazhir, Data dan Keterangan harta benda wakaf, Peruntukan harta benda

wakaf, Jangka waktu wakaf.

5. Peruntukan Harta Benda Wakaf

Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf (sebagaimana yang

tercantum dalam pasal 4 dan 5, BAB II Dasar-dasar Wakaf Bagian Kedua

Tentang Tujuan dan Fungsi Wakaf), harta benda wakaf hanya dapat

diperuntukan bagi: sarana dan kegiatan ibadah, sarana dan kegiatan

pendidikan serta kesehatan, bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar,

yatim piatu, bea siswa, kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, dan/atau

kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan

syariah dan peraturan perundang-undangan. (Pasal 22 Bagian Kedelapan

Peruntukan Harta Benda Wakaf)37

Penetapan peruntukan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud

dalam pasal 22 dilakukan oleh wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf. (pasal

23 ayat 1)

36

Ibid. h.13

37

(39)

Dalam hal wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf,

nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda yang dilakukan sesuai

dengan tujuan dan fungsi wakaf. (pasal 23 ayat 2)

6. Jangka Waktu Wakaf

Mengenai jangka waktu wakaf tidak ditemukan pembahasan yang

lebih mendetail baik dalam UU Wakaf No. 41 tahun 2004 atau dalam

Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU Wakaf.

C. Macam-macam Wakaf dan Fungsinya

Wakaf yang dikenal dalam syari’at Islam, dilihat dari penggunaan/yang

memanfaatkan harta benda wakaf terbagi dua :

1). Wakaf Ahli/Dzurry

Wakaf ahli yang terkadang juga disebut dengan wakaf ‘alal aulad yaitu

wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam

lingkungan keluarga/family, lingkungan kerabat sendiri.38 Atau wakaf yang

ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau

bukan.39 Atau dalam pengertian lain adalah wakaf yang diperuntukkan bagi

38

Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia h. 35.

39

(40)

jaminan sosial dalam lingkungan keluarga sendiri dengan syarat dipakai

semata-mata untuk kebaikan dan berlaku selama-lamanya.40

Wakaf ahli adalah wakaf yang dikhususkan oleh yang berwakaf untuk

kerabatnya, seperti anak, cucu, saudara dan ibu bapaknya. Wakaf ini bertujuan

untuk membela nasib mereka. Dalam konsepsi Islam, seseorang yang hendak

mewakafkan sebagian hartanya sebaiknya lebih dahulu melihat kepada sanak

family, bila ada diantara mereka yang sedang membutuhkan pertolongannya.

Maka wakaf lebih afdhal (lebih baik) diberikan kepada mereka yang

membutuhkan. Demikian yang Rosul nasehatkan kepada Abu Thalhah dalam

hadits diatas.

Di beberapa Negara tertentu, seperti Mesir, Turki, Maroko dan ljazair

tanah wakaf untuk keluarga telah dihapuskan, karena pertimbangan berbagai

segi, tanah-tanah wakaf bentuk ini tidak produktif.41

Demikian pula dalam konteks hukum positif di Indonesia, wakaf ahli

inipun tidak diakomodir dalam berbagai aturan perundang-undangan tentang

wakaf, termasuk pula dalam Kompilasi Hukum Islam dan yang terakhir

Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf. Rupanya para pakar hukum dan

pembuat undang-undang di Indonesiapun telah bersepakat untuk menghapuskan

40

Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Ciputat Press, 2005) h. 24.

41

(41)

wakaf ahli/dzurry di Indonesia, karena tidak ada satu pasalpun dalam

Undang-undang wakaf tersebut yang mengatur masalah wakaf ahli/dzurry ini.

b). Wakaf Khairi

Wakaf khairi artinya wakaf yang secara tegas diperuntukkan untuk

kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum).

Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolah,

jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain sebagainya.42

Jenis wakaf ini seperti yang diterangkan dalam hadits Nabi Muhammad

SAW yang menceritakan tentang wakaf sahabat Umar bin Khattab. Beliau

memberikan hasil kebunnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu

dan hamba sahaya yang sedang berusaha menebus dirinya.

Wakaf ini ditujukan untuk umum, dengan tidak terbatas

penggunaannya, yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan

kesejahteraan umat manusia manusia pada umumnya. Kepentingan umum

tersebut bisa untuk jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, pertahanan, keamanan

dan lain-lain.43

42

Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat islam dan Penyelenggaraan Haji, Fiqih Wakaf, h. 16.

43

(42)

D. Sejarah Wakaf

1. Wakaf pada masa Rosulullah saw

Dalam sejarah Islam wakaf dikenal sejak masa Rosulullah saw. Karena

wakaf disyariatkan setelah Nabi saw hijrah ke Madinah, pada tahu kedua

hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan fuqaha tentang siapa

yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. sebagian pendapat menyatakan

bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rosulullah saw, yaitu

wakaf tanah milik Nabi untuk dibangun masjid. Rosulullah saw juga pada tahun

ketiga hijrah pernah mewakafkan tujuh kebon kurma di Madinah.44

Pendapat kedua menyatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan

syariat wakafadalah sahabat Umar bin al Khathab,yaitu wakaf berupa sebidang

tanah di Khaibar, dimana Umar mensedekahkan hasil pengelolaan tanah tersebut

kepada fakir miskin dan orang lain yang membutuhkan. Selanjutnya syariat

wakaf dipraktekkan oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya,

kemudian juga Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib yang mewakafkan tanahnya,

Muadz bin Jabal mewakafkan runahnya dan oleh sahabat-sahabat lainnya.45

2. Wakaf Pada Masa Dinasti Islam

Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan

Abbasiyah. Banyak orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf. dan

44

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf (Jakarta, 2003) h. 8-9

45

(43)

wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir miskin saja, tetapi juga dijadikan

modal untuk membangun lembaga pendidikan. Antusiasme masyarakat

tersebut telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf.

Pembentukan lembaga pengelola wakaf pertama kali dilakukan oleh

hakim Mesir, Taubah bin Ghar al Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin

Abd. Malik pada masa dinasti bani Umayah. Beliau mendirikan lembaga

wakaf di Basrah dibawah Departemen Kehakiman. Dengan demikian

pengelolaan wakaf menjadi lebih baik dan hasilnya disalurkan kepada yang

membutuhkan. Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang

disebut dengan “Shadr al Wuquf” yang mengurus administrasi dan memilih

staf pengelola lembaga wakaf.46

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup

menggembirakan, dimana hamper semua tanah pertanian menjadi tanah

wakaf dan dikelola oleh negara lewat baitul mal. Ketika Shalahuddin al

Ayyubi memerintah di Mesir, ia banyak mewakafkan lahan milik Negara

untuk kegiatan pendidikan. Ia juga menetapkan kebijakan bahwa orang

Kristen yang datang dari Iskandaria untuk berdagang wajib membayar bea

cukai, dan hasil dikumpulkan kemudian diwakafkan kepada para fuqaha dan

para keturunannya. Saat itu wakaf telah dijadikan sarana bagi dinasti

46

(44)

Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya, yaitu mazhab

sunni dan mempertahankan kekuasannya.47

Pada masa dinasti Mamluk perkembangan wakaf sangat pesat dan

beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya dapat

diwakafkan. Tetapi yang paling banyak diwakafkan kala itu adalah tanah

pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat

belajar. Pada masa ini terdapat wakaf hamba sahaya yang diwakafkan untuk

merawat lembaga-lembaga agama, seperti untuk memelihara masjid dan

madrasah. Pada masa ini pula mulai disahkannya undang-undang wakaf pada

masa raja Al Dzahir Biber Al Bandaqdari (1260-1277 M/658-676 H).48

Perkembangan lebih lanjut pada masa dinasti Turki Utsmani dimana

kekuasaannya saat itu telah mencapai sebagian besar wilayah Negara Arab.

Pada masa itu disahkan undang-undang yang mengatur tentang pencatatan

wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, serta upaya mencapai

tujuan wakaf. kemudian pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan

undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki

Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari imlementasi

47

Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, h. 45

48

(45)

undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang

berstatus wakaf dan dipraktekkan sampai sat ini.49

E. Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

1. Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Menurut Hukum Islam

Salah satu aspek penting dalam hal pengelolaan harta benda wakaf

adalah mengenai pencatatan harta benda wakaf, sementara dalam fiqih Islam

tidak banyak dibicarakan mengenai prosedur dan tata cara perwakafan secara

rinci.50 Berbeda halnya denga hukum positif yang mengatur masalah

perwakafan dalam berbagai aturan perundang-undangan yang telah ada.

Dalam hukum Islam sendiri tidak ada ketentuan khusus yang

mengharuskan pendaftaran tanah wakaf, karena memang dalam Islam sendiri

praktek wakaf dianggap sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Para

ulama imam empat mazhabpun tidak mencantumkan keharusan

pengadministrasian dalam praktek wakaf. Namun seiring berjalannya waktu

sering kali terjadi perselisihan atau sengketa mengenai tanah wakaf. Maka

dalam hal ini selayaknya kita lihat firman Allah dalam surat Al-Baqoroh : 282

yang berbunyi :

49

Ibid,. h. 14

50

(46)

                                                                      

Artinya : “Hai orang- orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah

tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah

kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara

kamu menuliskannya dengan benar, dan janganlah penulis

enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,

maka hendaklan ia menulis, dan hendaklah orang yang

berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan

hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan jangan

mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang

berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah

(keadaannya) dan dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,

maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur, dan

persaksikanlah dengan dua orang saksi dari dua orang

laki-laki (diantara kamu). Jika tak ada dua orang lelaki-laki, maka

(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari

saksi-saksi yang kamu ridhoi, jika seorang lupa maka seorang akan

(47)

Ayat ini menegaskan keharusan mencatat kegiatan transaksi muamalah

seperti jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan sebagainya. Selanjutnya

Adijani al-Alabij menyatakan bahwa berwakaf adalah suatu kegiatan

penyerahan hak yang tak kalah pentingnya dengan kegiatan muamalah lainnya

seperti jual beli da sebagainya. Jika untuk untuk muamalah lainnya Allah

memerintahkan dicatat, maka analogi untuk wakafpun demikian, yakni

seyogyanya dicatat pula, karena jiwa yang terkandung dalam ayat tersebut

adalah agar dibelakang hari tidak terjadi sengketa/gugat menggugat diantara

pihak yang bersangkutan.51

Selain itu ada beberapa kaidah fiqih yang senada dengan pendapat

diatas, yaitu kaidah : (adh dharuuru yuzaalu), artinya : kemudharatan harus

dihilangkan. Dan kaidah (dar ul mafaasid wa jalbul mashaalih), artinya :

menolak kemudharatan dan menarik maslahah. Dimana dalam konteks ini

penyelewengan dan persengketaan akibat tidak ada pengadministrasian adalah

mudharat yang harus dihilangkan.

Melakukan pengembangan dan pembaruan hukum Islam yang

beranjak dari fiqih mazhab dengan mengutamakan prinsip maslahah mursalah

(kemaslahatan) dan siyasah syar’iyah (intervensi negara).52 Maka dengan

51

Al-Alabij, h.100

52

(48)

dasar kemaslahatan tersebut para ulama akhirnya banyak mengemukakan

berbagai pendapat dan ide dalam hal pengelolaan dan pengembangan wakaf.

Dr. Musthafa Asy-Syiba’i menjelaskan tentang penggunaan wakaf

khairi (wakaf untuk umum) yang pernah dan masih dilaksanakan di berbagai

negara Islam yaitu : masjid-masjid, sekolah-sekolah, perpustakaan umum,

rumah sakit, penginapan orang musafir, rumah-rumah miskin, air minum

untuk umum, persiapan senjata, kendaraan buat perang, persiapan

perlengkapan pejuang-pejuang, asrama-asrama buat mujahidin, perbaikan

jembatan/jalan umum, kolam-kolam di tengah padang, makam/kuburan,

perawatan yatim piatu, pemeliharaan anak-anak gelandangan, penyantunan

orang-orang lumpuh, penyantunan orang-orang buta, pemeliharaan orang tua,

penyantunan orang yang baru keluar dari penjara dan lain sebagainya.53

Suparman Usman menjelaskan langkah-langkah yang dapat

diupayakan para nazhir dalam pengembangan wakaf antara lain :

1. Memperbanyak dan menggalakkan wakaf produktif.54

Upaya ini bertujuan agar harta benda wakaf mampu menghasilkan dana

yang banyak bagi peningkatan kesejahteraan umat. Langkah ini bisa

ditempuh melalui kerjasama (kemitraan) denga pihak-pihak lain sepanjang

53

Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia,. h. 36-37

54

(49)

tidak bertentangan dengan syariat dan perundang-undangan. Contohnya

adalah mengoptimalkan potensi tanah wakaf yang letaknya strategis

dengan membangun pusat perkantoran atau pusat pertokoan yang dapat

menghasilkan uang sewa bangunan di atas tanah wakaf itu. Uang sewa

tersebut bisa dimanfaatkan bagi kesejahteraan umat.

2. Memperbanyak dan menggalakkan wakaf tunai.55

Di kalangan umat Islam, wakaf yang sangat popular adalah masih

terbatas pada persoalan tanah dan bangunan yang diperuntukkan untuk

tempat ibadah dan pendidikan, serta baru belakangan baru ada wakaf

yang berbentuk tunai, yaitu sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor

41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

Sebagai sebuah upaya mensosialisasikan wakaf tunai untuk

kesejahteraan sosial, maka harus disosialisasikan secara intensif agar

wakaf tunai dapat diterima lebih cepat oleh masuarakat banyak dan segera

memberikan jawaban konkrit atas permasalahan ekonomi umat. Mengacu

pada keberhasilan negara-negara muslim lainnya, seperti Mesir, Maroko,

Kuwait, Turki, Qatar dan lainnya yang telah memberdayakan wakaf tunai

secara maksimal, saatnya kita melangkah menuju kearah tersebut.56

55

Ibid.,h. 7

56

(50)

3. Mengoptimalkan potensi harta benda wakaf sesuai kondisi dan

fungsinya.57

Contoh dari model pengembangan ini adalah jika ada tanah yang kurang

strategis letaknya untuk dibangun perkantoran atau pertokoan, maka bisa

dipertimbangkan untuk ditanami tanaman tertentu yang laku di pasar atau

sangat baik prospeknya dalam dunia ekonomi, seperti ditanami pohon

jarak yang saat ini sedang digalakkan, atau tanaman tertentu yang secara

ekonomis menguntungkan, bekerjasama dengan pihak-pihak terkait.

Selanjutnya jika ditinjau dari pengembangan hasil harta wakaf, maka

dapat dilakukan dua pola pengembangan wakaf :

1. Pengembangan wakaf untuk kegiatan sosial.58

Contoh pengembangan ini adalah pengembangan pendidikan dan

sarana kesehatan. Survei menunjukkan bahwa bentuk pengembangan

wakaf yang pertama yaitu sarana pendidikan (65%) dan sarana kesehatan

(11%) lebih diprioritaskan oleh pengelola wakaf. Namun karena sarana

pendidikan dan kesehatan sering membutuhkan biaya yang besar diluar

kesanggupan lembaga wakaf, maka para pengeloala wakaf tersebut

biasanya membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ) (59%) untuk

menunjang pembiayaannya. Dengan kata lain, pembentukan LAZ menjadi

57

Suparman Usman, Pengamanan dan Pengembangan Wakaf Bagi Kesejahteraan Umat,h. 7

58

(51)

andalan utama para nazhir guna membiayai kebutuhan operasional dan

pelayanan wakaf. cara ini sering ditempuh oleh pengelola wakaf

mengingat pembiayaan operasional lembaga dan kegiatan pelayanannya

dapat dipenuhi dengan sumbangan dari masyarakat, baik berupa zakat,

sedekah d

Gambar

GAMBARAN UMUM YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AT-TAQWA

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis data menggunakan Minitab 18.0 menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh pemberian pupuk organik kotoran sapi terhadap produktivitas Cajanus cajan (L.) Millsp..

Selain itu, hasil pengujian hipotesis juga menginformasikan bahwa motivasi kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja guru di SMK Negeri 1 Kota Jambi, yang

1. Panitia mengajukan surat permohonan dan proposal penyelenggaraan kegiatan kepada Waket III yang ditandatangani oleh Ketua Panitia setelah diperiksa dan disetujui oleh

Salah satu upaya dalam peningkatan produksi kedelai selain dengan menggunakan varietas unggul dengan produktivitas tinggi adalah perluasan area tanam dengan memanfaatkan

Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya1. (Depkes

Untuk menentukan parameter-parameter yang berpengaruh dalam sel surya digunakan persamaan Shockley untuk model dioda tunggal melalui persamaan 2 didapatkan

Aunque desde muy joven Rama escribe sobre Martí, los acercamientos montevideanos son retomados recién en Puerto Rico, donde Rama se reencuentra con la obra del

Analisis regresi linier berganda digunakan untuk menguji pengaruh suku bunga kredit, dana pihak ketiga dan giro wajib minimum terhadap penyaluran kredit pada Bank Central