PERANAN NADZIR DALAM PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN TANAH WAKAF PADA YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AT-TAQWA
KELURAHAN PANUNGGANGAN KECAMATAN PINANG KOTA TANGERANG
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Samsudin
Nim : 207044100146
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A GA M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
KATA PENGANTAR
ﻢﻴﺣﺮﻟﺍ ﻦﲪﺮﻟﺍ ﷲ ﺍ ﻢﺴﺑ
Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin, puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke
hadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya yang
teramat besar, sehingga penulis telah dapat menyelesaikan penelitian ini.
Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad
SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti sunahnya
sampai akhir zaman.
Rasa lelah, jenuh, stres yang dialami penulis selama ini saat ini telah sirna
seiring telah selesainya penyusunan skripsi ini. Kini yang dirasa hanyalah rasa
syukur dan bahagia yang tak terkira. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa
penelitian ini dapat terselesaikan berkat bantuan, bimbingan, arahan bahkan
dorongan dari berbagai pihak yang selama ini banyak membantu. Untuk itu pada
kesempatan ini pula penulis mengucapkan rasa terima kasih yang tiada hingga
kepada yang terhormat :
1. Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, MA, SH, MM selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.
2. DR. Yayan Sofyan, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik.
3. Kamarusdiana, S. Ag, MH selaku Dosen Pembimbing yang tiada bosan
memberikan koreksi dan bimbingan kepada penulis dalam mengerjakan dan
4. Para Dosen yang telah mencurahkan lautan ilmu, kesabaran, panutan, dan
pengalaman kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
5. H. Arif Rahman, S.Ag selaku Ketua Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa,
para pengurus, segenap dewan Guru dan para karyawan lainnya yang telah
menginspirasi penulis untuk menjadikan “para tokoh” dalam penulisan
skripsi ini.
6. Segenap Pimpinan, staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatulah.
7. Sahabat dan Teman-teman di Peradilan Agama angkatan 2005 yang telah
banyak mewarnai kehidupan penulis dengan berbagai kenangan suka dan
duka.
8. Pendamping hidup tercinta, Ain Sulastri, S.Si dan buah hati tersayang,
Ahmad Miftah Ridho dan Ahmad Fauzil Adil yang telah menjadi “sumber
energi” bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Ibu Wawat Indrayanti, Amri, Indah, Wida dan seluruh rekan sejawat pada
Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang yang tak bosan-bosan
Penulis menyadari bahwa skripsi yang telah tersusun ini masih jauh dari
sempurna. Inilah hasil maksimal yang dapat penulis persembahkan untuk diri
sendiri, keluarga dan almamater UIN Syarif Hidayatullah yang penulis cintai dan
banggakan.
Jakarta, Juni 2011M
Rajab 1432 H
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ... 9
E. Review Studi Terdahulu ... 14
F. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II KERANGKA TEORI TENTANG WAKAF A. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf ... 18
B. Rukun dan Syarat Wakaf ... 25
C. Macam-macam Wakaf ... 31
D. Sejarah Wakaf ………... 33
BAB III GAMBARAN UMUM YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AT-TAQWA
A. Sejarah Berdirinya Yayasan ... 47
B. Struktur Organisasi Yayasan ... 49
C. Visi dan Misi Yayasan ... 51
D. Ruang Lingkup dan Program Kerja Yayasan ... 52
BAB IV PERANAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN WAKAF YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AT-TAQWA A. Upaya Pengelolaan……… ……… 61
B. Upaya Pengembangan ……… 65
C. Pemanfaatan Hasil Pengelolaan dan Pengembangan ……… 68
D. Faktor yang Menghambat dalam Pengelolaan dan Pengembangan..71
E. Analisis Penulis Tentang Pengelolaan dan Pengembangan ……... 73
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 81
B. Saran-saran ... 83
DAFTAR PUSTAKA ... 85
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Membicarakan persoalan Islam dan ekonomi, sebenarnya tidak hanya
membicarakan persoalan kemajuan atau kemunduran kehidupan yang dialami oleh
salah satu pihak (golongan agama) tertentu, melainkan turut membicarakan persoalan
kemanusiaan yang lebih luas. Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki
penduduk muslim terbesar, juga memiliki sejarah yang begitu panjang yang
menentukan arah maju mundurnya kehidupan kebangsaan. Tercatat mulai jaman
penjajahan kolonial sampai saat ini, menunjukkan bahwa pilihan penjajahan –baik
secara militeristik maupun kolonialisasi pemikiran dan kebudayaan- berarah dan
berujung pada penggalian potensi ekonomi yang dimiliki negeri ini.
Saat ini, Indonesia merupakan bagian dari negara besar di dunia yang struktur
ekonominya sangat timpang (terjadi kesenjangan), karena basis ekonominya yang
strategis dimonopoli oleh segelintir orang (kalangan feodalis-tradisional dan
masyarakat modern kapitalis) yang menerapkan prinsip ekonomi ribawi. Sampai saat
ini, dua kelompok tersebut masih begitu mewarnai tumbuh berkembang dan lalu
lintas perekonomian Indonesia.1
1
Kemiskinan dan kesenjangan sosial di sebuah Negara yang kaya dengan
sumber daya alam dan mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Indonesia,
merupakan suatu keprihatinan. Jumlah penduduk miskin terus bertambah jumlahnya
sejak krisis ekonomi pada tahun 1997 hingga saat ini. Pengabaian atau ketidak
seriusan penanganan terhadap nasib dan masa depan puluhan juta kaum dhuafa yang
tersebar diseluruh tanah air merupakan sikap yang berlawanan dengan semangat dan
komitmen Islam terhadap persaudaraan dan keadilan sosial.
Jika kita cermati lebih jauh, ditemukan bukti-bukti empiris bahwa
pertambahan jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan bukanlah
karena persoalan kekayaan alam yang tidak sebanding dengan jumlah penduduk (over
population), akan tetapi karena persoalan distribusi yang kurang baik serta rendahnya
rasa kesetiakawanan diantara sesama anggota masyarakat. Lingkaran kemiskinan
yang terbentuk dalam masyarakat kita lebih banyak kemiskinan struktural sehingga
upaya mengatasinya harus dilakukan melalui upaya yang bersifat prinsipil, sistematis
dan komprehensif, bukan hanya bersifat parsial dan sporadis.2
Islam sebagai salah satu agama yang ada di Indonesia dan merupakan agama
yang paling banyak peganutnya, sebenarnya mempunyai beberapa lembaga yang
diharapkan mampu membantu untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, yaitu salah
satunya adalah institusi wakaf. Wakaf merupakan salah satu lembaga sosial Islam
yang erat kaitannya dengan sosial ekonomi masyarakat. Walaupun wakaf merupakan
lembaga Islam yang hukumnya sunnah, namun lembaga ini dapat berkembang
2
dengan baik di beberapa Negara muslim, seperti Saudi Arabia, Mesir, Turki,
Yordania, Qatar dan lain-lain3. Hal tersebut karena lembaga ini memang sangat
dirasakan manfaatnya bagi kesejahteraan umat.
Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak
agama Islam masuk di Indonesia. Sebagai suatu lembaga Islam, wakaf telah menjadi
salah satu penunjang perkembangan masyarakat Islam. Jumlah tanah wakaf di
Indonesia sangat banyak. Menurut data yang ada di Departemen Agama Republik
Indonesia, sampai dengan tahun 2004 jumlah seluruh tanah wakaf di Indonesia
sebanyak 362.471 lokasi dengan luas 1.538.198.586 m4. Apabila jumlah tanah wakaf
tersebut dihubungkan dengan Negara yang saat ini sedang menghadapi berbagai
krisis, termasuk krisis ekonomi, sebenarnya wakaf merupakan salah satu lembaga
Islam yang sangat potensial untuk lebih dikembangkan guna membantu masyarakat
yang kurang mampu. Sayangnya, wakaf yang jumlahnya begitu banyak, pada
umumnya pemanfaatannya masih bersifat konsumtif dan belum dikelola secara
produktif. Dengan demikian lembaga wakaf di Indonesia belum terasa manfaatnya
bagi kesejahteraan sosial.
Pemanfaatan wakaf untuk kegiatan peribadatan memang sangat baik, namun
dampak secara ekonomisnya kurang atau bahkan tidak berpengaruh positif dalam
kehidupan ekonomi umat/masyarakat. Apabila peruntukan wakaf hanya terbatas pada
3
Direktorat Bimas Islam dan penyelenggaraan Haji, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Tanah Wakaf, 2003, h. 15-18
4
hal-hal ibadah saja, tanpa diusahakan untuk dikembangkan menjadi wakaf yang
produktif atau berhasil guna secara ekonomi, maka kesejahteraan sosial ekonomi
umat/masyarakat yang diharapkan dari lembaga wakaf itu tidak akan dapat terealisir
secara optimal.
Wakaf merupakan lembaga Islam yang pada satu sisi berfungsi sebagai ibadah
kepada Allah dan disisi lain wakaf juga berfungsi sosial. Wakaf muncul dari suatu
pernyataan iman yang mantap dan solidaritas yang tinggi antara sesama manusia.
Oleh karenanya wakaf merupakan salah satu lembaga Islam yang dapat dipergunakan
seorang muslim untuk mewujudkan dan memelihara hubungan dengan Penciptanya,
dan hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarai kemudian hari bagi yang
mewakafkan, karena wakaf merupakan suatu bentuk amalan yang pahalanya terus
mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan. Sedangkan dalam fungsi sosialnya
wakaf merupakan asset yang amat bernilai dalam pembangunan ummat.
Dalam pengelolaan harta wakaf, peranan Nazhir sangatlah esensial. Sebab
berfungsi atau tidaknya suatu perwakafan sangat tergantung kepada Nazhirnya,
karena Nazhir wakaf adalah pihak yang dipercayakan oleh wakif untuk menerima
harta benda wakaf dan juga untuk mengembangkan harta tersebut sesuai dengan
peruntukannya.5
Mengingat arti penting peranan Nazhir dalam pengelolaan wakaf tersebut,
maka para imam mazhab sepakat tentang pentingnya nazhir memenuhi syarat adil dan
5
mampu. Adil berarti mengerjakan yang diperintah dan menjauhi yang dilarang.
Sedangkan mampu berarti kekuatan dan kemampuan seseorang mentasharrufkan apa
yang dijaganya. Dalam hal kemampuan ini dituntut sifat Taklif, yakni dewasa dan
berakal. Jika nazhir tidak memenuhi syarat adil dan mampu, hakim boleh menahan
wakaf itu dari nazhir.6
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, pada pasal 9
disebutkan bahwa nazhir wakaf terbagi atas tiga bagian, yaitu nazhir perseorangan ,
nazhir organisasi dan nazhir badan hukum. Pada pasal selanjutnya disebutkan bahwa
untuk menjadi nazhir perseorangan dipersyaratkan :
a. warga Negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. dewasa;
d. amanah;
e. mampu secara jasmani dan rohani;
f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Selanjutnya pada pasal 11 disebutkan tentang tugas atau kewajiban nazhir
adalah :
a. melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
b. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan,
fungsi dan peruntukannya;
6
c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
d. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.7
Dalam pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf, nazhir baik yang
berbentuk perseorangan, organisasi maupun badan hukum dapat melakukan dan
menerapkan prinsip manajemen kontemporer dalam menjunjung tinggi dan
memegang kaidah al-maslahah (kepentingan umum) sesuai ajaran Islam, sehingga
tanah wakaf dapat dikelola secara profesional. Dengan demikian nazhir tanah wakaf
sebagai manager perlu dilakukan usaha serius dan langkah terarah dalam mengambil
kebijaksanan berdasarkan program kerja yang telah digariskan, sehingga kesan dan
anggapan dalam masyarakat bahwa pengelolaan tanah wakaf sebagai kerja
sampingan dan asal-asalan dapat dihilangkan.8
Namun demikian, peranan penting dan esensial dari nazhir wakaf tersebut
tidaklah selamanya mulus dalam praktek. Karena pada kenyataannya masih banyak
tanah-tanah wakaf yang belum dikelola apalagi dikembangkan dengan baik sehingga
belum dapat memberikan manfaat bagi kemaslahatan umat banyak. Hal ini bisa saja
dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari sumber daya atau kualitas para nazhir,
sosio kultural masyarakat, permodalan dan lain sebagainya.
7
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Undang-Undang Nomor 41 Tentang Wakaf, h. 7-9.
8
Melihat realitas tersebut, kiranya menarik bagi penulis untuk meneliti lebih
lanjut bagaimana sebenarnya peranan nazhir wakaf sebagai pihak yang paling
menentukan dalam pengembangan wakaf dalam prakteknya. Untuk itulah kemudian
penulis ingin menuangkannya dalam sebuah penelitian mendalam dalam bentuk
skripsi dengan judul : “PERANAN NADZIR DALAM PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN TANAH WAKAF PADA YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AT-TAQWA KELURAHAN PANUNGGANGAN KECAMATAN PINANG KOTA TANGERANG”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini penulis hanya membatasi bahasan masalah pada salah
satu unsur wakaf yaitu Nazhir, yang merupakan pihak yang menerima harta benda
wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya9,
dan tidak membahas mengenai unsur wakaf lainnya.
Sedangkan obyek penelitian juga dibatasi hanya pada lokasi tanah wakaf
Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa Kelurahan Panunggangan Kecamatan Pinang
Kota Tangerang. Hal ini karena lokasi wakaf tersebut cukup berkembang dengan
baik selama dalam pengelolaan nazhir. Dari segi pendidikan, saat ketika didirikan
hanya menyelenggarakan pendidikan non formal saja, yaitu sebuah majlis taklim, saat
ini telah menyelenggarakan berbagai pendidikan formal yaitu Taman Kanak-Kanak,
Madrasah Diniyah dan Madrasah Ibtidaiyah. Dari segi sosial kegamaan, yayasan
9
tersebut telah berhasil mendirikan sebuah Kelompok Bimbinga Ibadah Haji. Bahkan
saat ini telah mendirikan pula sebuah biro perjalanan wisata sebagai salah satu upaya
dalam rangka produktifitas wakaf yang dikelola oleh nazhir atau pengurus yayasan.
berdasarkan beberapa indikator tersebut, maka penulis bermaksud mengetahui lebih
lanjut mengenai peranan nazhir wakaf Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa dalam
pengelolaan dan pengembangan wakaf tersebut.
Berkenaan dengan batasan diatas, maka penulis memberikan rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf menurut hukum
Islam dan hukum positif ?
2. Bagaimana peranan nazhir dalam hal pengelolaan dan pengembangan tanah
wakaf pada Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf ditinjau dari
hukum Islam dan hukum positif.
2. Untuk mengetahui upaya/kegiatan yang dilakukan nazhir wakaf Yayasan
Pendidikan Islam At-Taqwa dalam pengelolaan dan pengembangan tanah
Sedangkan manfaat penelitian dari penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Secara teoritis, untuk dapat memberikan wawasan penulis agar lebih
memahami tentang tinjauan hukum Islam terhadap pengelolaan dan
pengembangan tanah wakaf.
2. Secara praktis, untuk dapat dijadikan bahan pelajaran, referensi atau paling
tidak tambahan informasi bagi mereka yang ingin mempelajari lebih dalam
lagi mengenai tinjauan hukum Islam terhadap pengelolaan dan pengembangan
tanah wakaf.
D. Metodologi Penelitian
Untuk mengetahui dan menjelaskan hubungan pokok permasalahan
diperlukan suatu pedoman penelitian yang disebut metodologi penelitian, yaitu cara
melukiskan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai
suatu tujuan.10
Dengan metodologi penelitian sebagai cara yang dipakai untuk mencari,
merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporan guna mencapai suatu tujuan.
Untuk mencapai sasaran yang tepat dalam penelitian ini, penulis menggunakan
metode penelitian sebagai berikut :
10
1. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis sosiologis,
yaitu suatu pendekatan yang dimaksud untuk menjelaskan masalah yang diteliti
dengan hasil penelitian yang diperoleh dalam kaitannya dengan peraturan hukum
dan melihat kehidupan dan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat atau
dalam kenyataan.11 Dalam penelitian ini adalah peranan nazhir dalam pengelolaan
dan pengembangan wakaf.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kualitatif atau disebut juga
metodologi kualitatif yang berarti prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati.12 Atau dapat disebut juga sebagai penelitian yang dalam
pengumpulan data dan penafsirannya tidak menggunakan rumus-rumus statistik.13
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif, yaitu
untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau
gejala lainnya.14 Metode deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran
yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang obyek yang
11
Hilman Hadikusumo, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, (Bandung, Mandar Maju, 1995, Cet. Pertama), h. 63
12
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2004) h. 3
13
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek), (Jakarta ,PT Rineka Cipta, 2006) Cet ke-XIII (Edisi Revisi VI),h. 12
14
diteliti. Dalam hal ini untuk mendeskripsikan peran nazhir dalam pengelolaan
dan pengembangan wakaf.
3. Sumber Data
Penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisa data-data
penelitian, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :
a. Data Primer, yaitu berupa hasil wawancara dengan nazhir (pengurus
yayasan) dan pegawai yayasan, peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan wakaf.
b. Data Sekunder, yaitu data yang diambil dari hasil studi pustaka yang
bertujuan untuk memperoleh landasan teori yang bersumber dari buku
literatur dan karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan perwakafan.
c. Data Tersier, yaitu berupa kamus, brosur dan data lainnya yang dapat
dijadikan sumber data pendukung.
4. Metode Pengumpulan Data
a. Penelitian Kepustakaan
Penelitian kepustakaan adalah pengumpulan data denga cara mencari,
menghimpun, mempelajari buku-buku atau sumber tertulis yang ada
b. Penelitian Lapangan
Yaitu metode pengumpulan data dengan cara terjun langsung ke dalam
objek penelitian. Dalam pengumpulan data lapangan ini penulis
menggunakan cara :
1. Wawancara atau interview, yaitu suatu proses Tanya jawab lisan,
dimana dua orang atau lebih berhadapan secar fisik yang satu dapat
melihat yang lain, serta mendengarkan suaranya dengan telinga
sendiri. Pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini
berdasarkan pelaksanaannnya mengacu pada interview bebas/inguided
interview dan terpimpin/guided interview, pewawancara menanyakan
kepada informan dengan pertanyaan yang telah terstruktur kemudian
satu persatu diperdalam mengorek keterangan lebih lanjut. Keduanya
dipadukan penulis bahwa beliau sedang interview, hal ini sengaja
dilakukan untuk menciptakan suasana interview yang lebih santai
tetapi terarah.15
2. Observasi, yaitu meneliti sesuatu dengan menggunakan pengamatan
meliputi kegiatan penelitian terhadap suatu objek dengan
menggunakan seluruh alat indera.
3. Dokumentasi yaitu mengumpulkan data-data di lapangan yang
dilakukan dengan cara mencatat, merangkum data tertulis yang ada di
15
lokasi penelitian. Dalam menggunakan teknik ini penulis
menggunakan benda-benda tertulis seperti buku-buku, dokumen,
peraturan-peraturan dan sebagainya.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunaka model analisis isi, yang
dalam penerapannya harus didasarkan pada dua aspek penting, yaitu data
(dokumen, naskah dan literatur) adalah produk dari dialektika sejarah, dan
akibatnya, data tidak dapat dipisahkan dari konteks kesejarahan dimana dan kapan
data tersebut diproduksi.16
Dalam analisis data dilakukan proses pengumpulan data. Setelah terkumpul
kemudian data direduksi artinya diseleksi, disederhanakan, dipilah data untuk
kemudian diambil data yang relevan dengan penelitian. Selanjutnya diadakan
penyajian data secara sistematis yaitu rakitan organisasi informasi atau data
sehingga memungkinkan untuk ditarik kesimpulan berdasar kumpulan data
tersebut.
Adapun dalam teknis penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada “Buku
Pedoman Penulisan Skripsi – Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta” yang disusun tim penulis Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
16
E. Review Studi Terdahulu
1. Efektivitas Pengelolaan dan Pemanfaatan Harta Wakaf (Studi Kasus di Pondok
Pesantren Al-Hamidiyah-Depok)” oleh Rinawati, Fakultas Syariah dan Hukum,
2005. Dalam skripsi ini membahas tentang bentuk pengelolaan harta wakaf di
Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, sudah sesuaikah dengan yang dicita-citakan
wakif ketika mewakafkan harta wakafnya sebelum wafat, dan apakah manfaat
harta wakaf tersebut dapat dirasakan oleh pengurus, santri, maupun masyarakat
sekitar.
2. “Sistem Pengelolaan Tanah Wakaf di Wilayah KUA Jagakarsa Jakarta
Selatan”.Oleh Sri Utami Nengsih, Fakultas Syariah dan Hukum, 2005. Dalam
skripsi ini membahas permasalahan mengenai pengelolaan tanah wakaf,
prosedur/tata cara perwakafan, dan manfaat tanah wakaf bagi masyarakat
sekitar di Wilayah KUA Jagakarsa.
3. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pengelolaan dan Pengawasan Tanah Wakaf
(Studi di KUA Karang Tengah – Ciledug)”. Oleh Imam Saputra, Fakultas
Syariah dan Hukum, 2009. Dalam skripsi ini membahas permasalahan
mengenai pengelolaan tanah wakaf, prosedur/tata cara perwakafan, pengawasan
oleh KUA Kecamatan, dan manfaat tanah wakaf bagi masyarakat sekitar di
Wilayah KUA Kecamatan Karang Tengah – Ciledug.
Dari ketiga penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dapat
peruntukan harta benda wakaf, manfaat dari harta wakaf bagi masyarakat,
pengelolaan harta wakaf, prosedur/tata cara perwakafan, dan pengawasan oleh KUA
Kecamatan. Sementara hal yang membedakan penelitian yang penulis lakukan kali ini
adalah menekankan pada peranan nazhir, tidak hanya dalam hal pengelolaan harta
wakaf, namun juga bagaimana upaya pengembangan tanah wakaf yang dilakukan
menuju kearah produktifitas wakaf. Selain itu juga membahas bagaimana
pemanfaatan hasil dari pengelolaan dan pengembangan tersebut, dan juga hal-hal
yang menjadi kendala/permasalahan yang dihadapi nazhir dalam hal pengelolaan dan
pengembangan wakaf tersebut.
Jadi penelitian ini tidak lagi membahas peruntukan harta wakaf,
prosedur/tata cara perwakafan dan pengawasan yang dilakukan KUA
Kecamatan sebagaimana pada penelitian terdahulu diatas.
F. Sistematika Penulisan.
Agar penulisan karya ilmiah ini lebih fokus dan sistematis, maka penulis
mengklasifikasikannya dengan membagi kedalam beberapa bab pembahasan.
BAB I : Berisi pendahuluan yang memberikan gambaran umum menyeluruh diawali dengan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika
BAB II : Gambaran umum tentang wakaf menurut hukum Islam dan hukum positif. Dalam bab ini berisi : Pengertian wakaf dan dasar hukumnya, Rukun
wakaf dan Syarat-syaratnya, Macam-macam wakaf, Sejarah Wakaf,
pengelolaan dan pengembangan wakaf.
BAB III : Gambaran umum Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa Kelurahan Panunggangan Kecamatan Pinang Kota Tangerang. Pada bab ini akan
dibahas tentang gambaran umum Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa
yang meliputi sejarah berdirinya Yayasan, struktur organisasi, Visi dan
Misi, ruang lingkup dan program kerja Yayasan wakaf At-Taqwa
Kelurahan Panunggangan Kecamatan Pinang Kota Tangerang.
BAB IV : Bab ini merupakan pokok bahasan yang menjelaskan dan menganalisa data mengenai: upaya-upaya yang dilakukan nazhir wakaf Yayasan
Pendidikan Islam At-Taqwa dalam hal pengelolaan dan pengembangan
tanah wakaf, upaya-upaya yang dilakukan nazhir wakaf Yayasan
Pendidikan Islam At-Taqwa dalam pemanfaatan hasil pengelolaan dan
pengembangan tanah wakaf Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa,
faktor-faktor yang menghambat dalam hal pengelolaan dan pengembangan tanah
wakaf Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa serta analisis penulis tentang
peranan nazhir wakaf Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa dalam hal
pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf Yayasan Pendidikan Islam
BAB II
KERANGKA TEORI TENTANG WAKAF A. Pengertian Wakaf dan Dasar Hukum Wakaf
1. Pengertian Wakaf
Kata “Wakaf” atau “Wacf” berasal dari bahasa Arab. Asal kata “Waqofa”
yang berarti “Menahan” atau “diam di tempat” atau “Tetap berdiri”. Kata “WAQOFA
– YAQIFU – WAQFAN “ ( ﺎﻔﻗو- ﻒﻘﯾ – ﻒﻗو ) sama artinya dengan “HABASA – YAHBISU – HABSAN” ( ﺎﺴﺒﺣ – ﺲﺒﺤﯾ – ﺲﺒﺣ ) .17 Oleh karena itu, tempat parkir
disebut mauqif, karena disitulah berhentinya kendaraan, demikian juga padang
Arafah disebut juga Mauqif dimana para jamaah berdiam untuk wukuf .18
Sedang wakaf dan habas adalah kata benda dan jamaknya adalah awqaf,
ahbas dan mahbus. Dalam kamus Al-Wasith dinyatakan bahwa alhabsu artinya
al-man’u (mencegah atau melarang) dan al-imsak (menahan) seperti dalam kalimat
habsu as-syai’ (menahan sesuatu). Waqfuhu la yuba’ wala yurats (wakafnya tidak
dijual dan tidak diwariskan). Dalam wakaf rumah dinyatakan : Habasaha fi sabilillah
( mewakafkannya dijalan Allah SWT).
Kesimpulannya, baik al-habsu maupun al-waqf sama-sama mengandung
makna al-imsak (menahan), al-man’u (mencegah atau melarang) dan at-tamakkust
(diam). Disebut menahan karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan dan semua
17
Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta, Darul Ulum Press, 1999) h. 23
18
tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. Dikatakan menahan, juga karena
manfaat dan hasilnya ditahan dan dilarang bagi siapapun selain dari orang-orang yang
termasuk berhak atas wakaf tersebut .19 Demikian pula dalam kamus Arab-Melayu
disebutkan bahwa kata “al-habsu” yang berasal dari “habasa-yahbisu-habsan”
berkembang menjadi “habbasa”, yang berarti “menahan” dan “mencegah”.20
Pengertian wakaf menurut istilah antara lain dapat dikemukakan beberapa
pengertian sebagai berikut:21
َو
ِ
َﻟﺎﻓ
ْﺸ
ِﺮ
ع
:
ﷲا ﻞﯿﺒﺳ ﻲﻓ ﺎﮭﻌﻓﺎﻨﻣ فﺮﺻو لﺎﻤﻟا ﺲﺒﺣ يا ةﺮﻤﺜﻟا ﻞﯿﺒﺴﺗو ﻞﺻﻻا ﺲﺒﺣ
“Wakaf menurut Syara’: yaitu menahan dzat (asal) benda dan
mempergunakan hasilnya, yakni menahan benda dan mempergunakan
manfaatnya dijalan Allah (sabilillah).”
Menurut Ali bin Muhammad Al-Jurjani (1883 : 253) sebagai berikut :
ﺮﺸﻟا ﻲﻓو
ﺪﺼﺘﻟاو ﻒﻗاﻮﻟا ﻚﻠﻣ ﻰﻠﻋ ﻦﯿﻌﻟا ﺲﺒﺣ ع
ﺔﻌﻔﻨﻤﻟﺎﺑ ق
“
Menurut istilah syara’, wakaf adalah menahan dzat suatu benda dalam pemilikansi wakif dan memanfaatkan (mempergunakan) manfaatnya”.
Menurut Imam Taqiyudin :
ﺑ عﺎﻔﺘﻧﻹا ﻦﻜﻤﯾ لﺎﻣ ﺲﺒﺣ
ﮫﻌﻓ ﺎﻨﻣ فﺮﺼﺗ ﮫﻨﯿﻋ ﻰﻓ فﺮﺼﺘﻟا ﻦﻣ عﻮﻨﻤﻣ ﮫﻨﯿﻋ ءﺎﻘﯾ ﻊﻣ ﮫ
ﺎﺑﺮﻘﺗ ﺮﺒﻟا ﻲﻓ
ﻟا
ﻰﻟﺎﻌﺗ ﷲا ﻰ
19Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta, Khalifa,2007) h.44-45
20
Muhammad Fadhillah dan B. Th. Brondgeest, Kamus Arab-Melayu, jilid.I, (Weltevreden: Balai Pustaka, 1925), h.116-117.
21
“Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya serta tetap zat harta
tersebut, dan tidak boleh mentasarrufkannya. Manfaat benda tersebut, harus
dipergunakan untuk kebaikan dalam rangka mendekatkan kepada Allah
SWT”
Batasan mengenai wakaf banyak sekali dijumpai dalam kitab-kitab fikih
klasik. Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menyatakan : menurut istilah syara’ wakaf
berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya dijalan Allah SWT .22
Muhammad Jawad Mughniyah dalam bukunya aql-Ahwalus-Syakhsiyah
menyebutkan bahwa wakaf ialah :
“Suatu bentuk pemberian yang menghendaki penahanan asal harta dan
mendermakan hasilnya pada jalan yang manfaat”.23
Menurut Abu Hanifah, wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut
hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk
kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si
wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan boleh menjualnya atau
mewariskannya. Jadi yang timbul dari wakaf adalah “menyumbangkan manfaat” saja.
Menurut mazhab Maliki, bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang
diwakafkan dari kepemilikan wakif. Pemilik harta menahan benda itu dari
penggunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk
tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap
22
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), Juz IV, h.148.
23
menjadi milik si wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan
karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).24
Menurut mazhab Syafii dan Hambal, wakaf adalah melepaskan harta yang
diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif
tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, teremasuk
mewariskannya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada
mauquf alaih sebagai sedekah yang mengikat. Atau dengan kata lain, tidak
melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT,
dengan menyedekahkan manfatnya kepada suatu kebajikan.25
Sementara dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf dalam
pasal 1 dijelaskan bahwa pengertian wakaf adalah “perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syari’ah.26
Dari paparan mengenai pengertian wakaf, secara menyeluruh dapat
disimpulkan mengenai ruang lingkup wakaf yaitu :
24
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Fiqih Wakaf, (Jakarta, Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), h. 3
25
Ibid,. hal. 3
26
Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimas Islam dan penyelenggaraan Haji,
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tentang Wakaf, (Jakarta, Dirjen Bimas Islam dan
a). Menahan harta untuk dikonsumsi atau dipergunakan secara pribadi;
b). Definisi wakaf ini mencakup harta, baik berupa benda bergerak, tidak
bergerak, maupun uang;
c). mengandung pengertian melestarikan harta dan menjaga keutuhannya,
sehingga memungkinkan untuk dimanfaatkan secara langsung atau
diambil manfaat hasilnya secara berulang-ulang;
d). berulang-ulangnya manfaat dan kelanjutannya baik yang berlangsung
lama, sebentar maupun selamanya;
e). menghasilkan manfaat langsung dari harta atau benda yang diwakafkan,
mencakup juga wakaf produktif yang memberi manfaat dari hasil
produksinya;
f). mencakup jalan kebaikan umum keagamaan, social dan sebagainya, juga
mencakup kebaikan khusus yang dimanfaatkan untuk kebaikan keluarga
wakif;
g). mencakup pengertian wakaf menurut fikih dan perundang-undangan,
bahwa wakaf tidak terjadi kecuali dengan keinginan wakif;
h). mencakup pentingnya penjagaan harta wakaf.27
2. Dasar Hukum Wakaf Menurut Syari’at Islam
Secara khusus tidak ditemukan nash al-Qur’an maupun hadits yang secara
tegas menyebutkan dasar hukum yang melegitimasi dianjurkannya wakaf. Tetapi
27
secara umum banyak ditemukan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang menganjurkan
agar orang yang beriman mau menyisihkan sebagian dari kelebihan hartanya
digunakan untuk proyek produktif bagi masyarakat.28
Dasar disyariatkannya ibadah wakaf dapat kita lihat dari beberapa ayat
Al-Quran dan hadits Nabi SAW, antara lain :
.
)
ناﺮﻤﻋ لا
/٣
:٩٢
(Artinya : “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna,
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.
Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran/3 : 92)
Selain itu firman Allah SWT mengenai wakaf dalam surat Al-Baqarah: 267,
.
)
ةﺮﻘﺒﻟا
/
٢
:٢٦٧
(Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa
yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya,
28
padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha
Kaya Lagi Maha Terpuji”. (QS. Al-Baqarah/2: 267)
Adapun dalil-dalil hadits khusus tentang disyariatkannya wakaf, diantaranya
adalah hadist riwayat Imam Muslim dari Ibnu Umar r.a :
َلﺎَﻗ ﺎَﻤُﮭْﻨَﻋ ﷲا َﻲِﺿَرَﺮَﻤُﻋ ِﻦْﺑا ْﻦَﻋ
:
ﮫﱡﻠﻟا ﻰَﻠَﺻ ﱢﻲﺒِﱢﻨﻟا ﻰَﺗ ﺄَﻓ ،ﺎًﺿْرَا َﺮَﺒْﯿَﺨِﺑ ُﺮَﻤُﻋ َبﺎَﺻَأ
َلﺎَﻘَﻓ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﮫﯿَْﻠَﻋ
:
َلﺎَﻗ ؟ِﮫِﺑ ﻲِﻧُﺮُﻣْﺄَﺗ َﻒْﯿَﻜَﻓ ،ُﮫْﻨِﻣ َﺲَﻔْﻧَأ ﱡﻂَﻗ ًﻻﺎَﻣ ْﺐِﺻُأ ْﻢﻟًﺎﺿْرَأ ُﺖْﺒَﺻََأ
:
َﺖْﺌِﺷ ْنِِإ
َﺖْﺴﱠﺒَﺣ
ﺎَﮭِﺑ َﺖْﻗﱠﺪَﺼَﺗ َو ﺎَﮭَََﻠْﺻَا
.
ِءآَﺮَﻘُﻔﻟْا ﻰِﻓ ُثَرْﻮُﯾَﻻَو ُﺐَھْﻮُﯾَﻻو ﺎَﮭُﻠْﺻَأ ُع ﺎَﺒُﯾَﻻ ُﮫﱠﻧَأ ُﺮَﻤُﻋ َقﱠﺪَﺼَﺘَﻓ
ُﻛﺄَﯾ نَا ﺎَﮭَﯿِﻟَو ْﻦَﻣ ﻰَﻠَﻋ َحﺎَﻨُﺟ َﻻ ،ِﻞْﯿِﺒﱠﺴﻟا ِﻦْﺑاَو ِﻒْﯿﱠﻀﻟاَو ِﷲا ِﻞْﯿِﺒَﺳ ﻲِﻓ َو ِبﺎََﻗﱠﺮﻟا َو ﻰَﺑْﺮُﻘْﻟاَو
ِﻣ َﻞ
ﺎَﮭْﻨ
ﱠﻮَﻤَﺘُﻣ َﺮْﯿَﻏ ﺎًﻘْﯾِﺪَﺻ َﻢِﻌْﻄُﯾ ْوََأ ِفْوُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ
ِﮫْﯿِﻓ ٍل
) .
ﻢﻠﺴﻣ هاور
٥
/
٧٤
(
Artinya : “Umar mempunyai tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada
Rasulullah SAW meminta untuk mengolahnya, sambil berkata:“Ya
Rasulullah, aku memiliki sebidang tanah di Khaibar. Tetapi aku
belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat?.
Rasululluah bersabda : “Jika engkau menginginkannya tahanlah
tanah itu dan shadaqahkan hasilnya. Tanah tersebut tidak boleh
dijual atau diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan. Maka ia
(Umar) menshadaqahkan kepada fakir miskin, karib kerabat,
budak belian, dan Ibnu Sabil. Tidak berdosa bagi orang yang
mengurus harta tersebut untuk menggunakan sekedar
keperluannya tanpa maksud memiliki harta itu.” (HR. Muslim:
5/74) 29
29
B. Rukun dan Syarat Wakaf
Kendati para Imam Mujtahid berbeda pendapat dalam memberikan
pandangan terhadap institusi wakaf, namun semuanya sependapat bahwa untuk
membentuk lembaga wakaf diperlukan rukun dan syarat-syarat, walaupun mereka
juga berselisih pendapat mengenai jumlah rukun dan syarat tersebut.
Menurut ulama mazhab Hanafi, rukun wakaf itu hanya satu, yakni akad yang
berupa ijab (pernyataan dari wakif). Sedangkan Qobul (pernyataan menerima wakaf)
tidak termasuk rukun, disebabkan akad tidak bersifat mengikat. Sedangkan menurut
jumhur ulama dari mazhab Syafi’i , Maliki dan Hambali bahwa rukun wakaf ada
empat : 1) wakif (yang mewakafkan), 2) mauquf ‘alaih (orang yang menerima
wakaf), 3). Mauquf ( benda yang diwakafkan) dan 4). Sighat 30
Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dibahas pula
mengenai rukun dan syarat wakaf. Pada pasal 6 disebutkan bahwa wakaf
dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut: Wakif, Nazhir, Harta
Benda Wakaf, Ikrar Wakaf, Peruntukkan Harta Benda Wakaf, Jangka Waktu
Wakaf.31
Sedangkan pembahasan seputar syarat-syarat wakaf diatur pada bagian-bagian
berikutnya.
30
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, h. 16-17
31
Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimas Islam dan penyelenggaraan Haji,
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tentang Wakaf, ( Jakarta, Dirjen Bimas Islam dan
1. Wakif
Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. (pasal 1
BAB I Ketentuan Umum). Wakif meliputi; Perseorangan, Organisasi, Badan
Hukum. (Pasal 7)
Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf (a)
hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan: Dewasa,
Berakal sehat, Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan Pemilik sah
harta benda wakaf. (Pasal 8 ayat 1)
Wakif organisasi sebagaiman dimaksud dalam pasal 7 huruf (b) hanya
dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk
mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar
organisasi yang bersangkutan. (pasal 8 ayat 2)32
2. Nazhir
Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif
untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. (pasal 1
BAB I Ketentuan Umum).
Nazhir mempunyai tugas yaitu: Melakukan pengadministrasian harta
benda wakaf, Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai
dengan tujuan fungsi dan peruntukannya, Mengawasi dan melindungi harta
benda wakaf, Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia
32
(pasal 11 Bagian Kelima tentang Nazhir, BAB II Dasar- dasar wakaf). Nazhir
meliputi: Perorangan, Organisasi, dan Badan Hukum (Pasal 9 ayat 5)
Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf (a) hanya
dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan: Warga Negara
Indonesia, Beragama Islam, Dewasa, Amanah, Mampu secara jasmani dan
rohani, dan Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. (pasal 10 ayat 1)33
Organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf (b) hanya dapat
menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan : Pengurus organisasi yang
bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1); dan Organisasi yang bergerak di bidang sosial,
pendidikan, kemasyarakatan dan atau keagamaan Islam. (pasal 10 ayat 2)
Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf (c) hanya
dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan :
a) Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan
nazhir perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
b) Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan
perundang- undangan yang berlaku; dan
c) Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial,
pendidikan, kemasyarakatan, dan atau keagamaan Islam. (pasal 10
ayat 3).
33
3. Harta Benda Wakaf
Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama
dan atau jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syari’ah
yang diwakafkan oleh wakif. (pasal 1 BAB I Ketentuan Umum)34
Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan
dikuasai oleh wakif secara sah, (pasal 15 Bagian Keempat)
Harta benda wakaf terdiri dari : Benda tidak bergerak, Benda bergerak
(Pasal 16 ayat 1) . Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi :
a). Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan
yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
b). Bangunan atau bagian bangunan yang terdiri di atas tanah sebagaimana
dimaksud pada huruf (a)
c). Tanaman dan benda satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan yang berlaku;
d). Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan
peraturan perundang- undangan yang berlaku. (pasal 16 ayat 2)
Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah
harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: Uang,
Logam mulia, Surat berharga, Kendaraan, Hak atas kekayaan intelektual,
34
Hak sewa, dan Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan
peraturan perundang- undangan yang berlaku. (pasal 16 ayat 3)35
4. Ikrar Wakaf
Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara
lisan dan/ atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda
miliknya. (pasal 1 BAB I Ketentuan Umum).
Ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nazhir dihadapan PPAIW
dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi. (pasal 17 ayat 1 Bagian
Ketujuh tentang Ikrar Wakaf).
Ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara
lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.
(pasal 17 ayat 2).
Dalam hal wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau
tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang
dibenarkan oleh hukum, wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat
kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi. (pasal 18)
Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya
menyerahkan surat dan/ atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf
kepada PPAIW. (pasal 19)
Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan : (pasal 20)
Dewasa, Beragama Islam, Berakal sehat, Tidak terhalang melakukan
35
perbuatan hukum. Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf. (pasal
21 ayat 1)36
Akta Ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat 1 paling sedikit
memuat: (pasal 21 ayat 2) Nama dan Identitas wakif, Nama dan Identitas
nazhir, Data dan Keterangan harta benda wakaf, Peruntukan harta benda
wakaf, Jangka waktu wakaf.
5. Peruntukan Harta Benda Wakaf
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf (sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 4 dan 5, BAB II Dasar-dasar Wakaf Bagian Kedua
Tentang Tujuan dan Fungsi Wakaf), harta benda wakaf hanya dapat
diperuntukan bagi: sarana dan kegiatan ibadah, sarana dan kegiatan
pendidikan serta kesehatan, bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar,
yatim piatu, bea siswa, kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, dan/atau
kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan
syariah dan peraturan perundang-undangan. (Pasal 22 Bagian Kedelapan
Peruntukan Harta Benda Wakaf)37
Penetapan peruntukan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud
dalam pasal 22 dilakukan oleh wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf. (pasal
23 ayat 1)
36
Ibid. h.13
37
Dalam hal wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf,
nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda yang dilakukan sesuai
dengan tujuan dan fungsi wakaf. (pasal 23 ayat 2)
6. Jangka Waktu Wakaf
Mengenai jangka waktu wakaf tidak ditemukan pembahasan yang
lebih mendetail baik dalam UU Wakaf No. 41 tahun 2004 atau dalam
Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU Wakaf.
C. Macam-macam Wakaf dan Fungsinya
Wakaf yang dikenal dalam syari’at Islam, dilihat dari penggunaan/yang
memanfaatkan harta benda wakaf terbagi dua :
1). Wakaf Ahli/Dzurry
Wakaf ahli yang terkadang juga disebut dengan wakaf ‘alal aulad yaitu
wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam
lingkungan keluarga/family, lingkungan kerabat sendiri.38 Atau wakaf yang
ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau
bukan.39 Atau dalam pengertian lain adalah wakaf yang diperuntukkan bagi
38
Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia h. 35.
39
jaminan sosial dalam lingkungan keluarga sendiri dengan syarat dipakai
semata-mata untuk kebaikan dan berlaku selama-lamanya.40
Wakaf ahli adalah wakaf yang dikhususkan oleh yang berwakaf untuk
kerabatnya, seperti anak, cucu, saudara dan ibu bapaknya. Wakaf ini bertujuan
untuk membela nasib mereka. Dalam konsepsi Islam, seseorang yang hendak
mewakafkan sebagian hartanya sebaiknya lebih dahulu melihat kepada sanak
family, bila ada diantara mereka yang sedang membutuhkan pertolongannya.
Maka wakaf lebih afdhal (lebih baik) diberikan kepada mereka yang
membutuhkan. Demikian yang Rosul nasehatkan kepada Abu Thalhah dalam
hadits diatas.
Di beberapa Negara tertentu, seperti Mesir, Turki, Maroko dan ljazair
tanah wakaf untuk keluarga telah dihapuskan, karena pertimbangan berbagai
segi, tanah-tanah wakaf bentuk ini tidak produktif.41
Demikian pula dalam konteks hukum positif di Indonesia, wakaf ahli
inipun tidak diakomodir dalam berbagai aturan perundang-undangan tentang
wakaf, termasuk pula dalam Kompilasi Hukum Islam dan yang terakhir
Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf. Rupanya para pakar hukum dan
pembuat undang-undang di Indonesiapun telah bersepakat untuk menghapuskan
40
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Ciputat Press, 2005) h. 24.
41
wakaf ahli/dzurry di Indonesia, karena tidak ada satu pasalpun dalam
Undang-undang wakaf tersebut yang mengatur masalah wakaf ahli/dzurry ini.
b). Wakaf Khairi
Wakaf khairi artinya wakaf yang secara tegas diperuntukkan untuk
kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum).
Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolah,
jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain sebagainya.42
Jenis wakaf ini seperti yang diterangkan dalam hadits Nabi Muhammad
SAW yang menceritakan tentang wakaf sahabat Umar bin Khattab. Beliau
memberikan hasil kebunnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu
dan hamba sahaya yang sedang berusaha menebus dirinya.
Wakaf ini ditujukan untuk umum, dengan tidak terbatas
penggunaannya, yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan
kesejahteraan umat manusia manusia pada umumnya. Kepentingan umum
tersebut bisa untuk jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, pertahanan, keamanan
dan lain-lain.43
42
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat islam dan Penyelenggaraan Haji, Fiqih Wakaf, h. 16.
43
D. Sejarah Wakaf
1. Wakaf pada masa Rosulullah saw
Dalam sejarah Islam wakaf dikenal sejak masa Rosulullah saw. Karena
wakaf disyariatkan setelah Nabi saw hijrah ke Madinah, pada tahu kedua
hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan fuqaha tentang siapa
yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. sebagian pendapat menyatakan
bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rosulullah saw, yaitu
wakaf tanah milik Nabi untuk dibangun masjid. Rosulullah saw juga pada tahun
ketiga hijrah pernah mewakafkan tujuh kebon kurma di Madinah.44
Pendapat kedua menyatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan
syariat wakafadalah sahabat Umar bin al Khathab,yaitu wakaf berupa sebidang
tanah di Khaibar, dimana Umar mensedekahkan hasil pengelolaan tanah tersebut
kepada fakir miskin dan orang lain yang membutuhkan. Selanjutnya syariat
wakaf dipraktekkan oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya,
kemudian juga Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib yang mewakafkan tanahnya,
Muadz bin Jabal mewakafkan runahnya dan oleh sahabat-sahabat lainnya.45
2. Wakaf Pada Masa Dinasti Islam
Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan
Abbasiyah. Banyak orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf. dan
44
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf (Jakarta, 2003) h. 8-9
45
wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir miskin saja, tetapi juga dijadikan
modal untuk membangun lembaga pendidikan. Antusiasme masyarakat
tersebut telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf.
Pembentukan lembaga pengelola wakaf pertama kali dilakukan oleh
hakim Mesir, Taubah bin Ghar al Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin
Abd. Malik pada masa dinasti bani Umayah. Beliau mendirikan lembaga
wakaf di Basrah dibawah Departemen Kehakiman. Dengan demikian
pengelolaan wakaf menjadi lebih baik dan hasilnya disalurkan kepada yang
membutuhkan. Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang
disebut dengan “Shadr al Wuquf” yang mengurus administrasi dan memilih
staf pengelola lembaga wakaf.46
Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup
menggembirakan, dimana hamper semua tanah pertanian menjadi tanah
wakaf dan dikelola oleh negara lewat baitul mal. Ketika Shalahuddin al
Ayyubi memerintah di Mesir, ia banyak mewakafkan lahan milik Negara
untuk kegiatan pendidikan. Ia juga menetapkan kebijakan bahwa orang
Kristen yang datang dari Iskandaria untuk berdagang wajib membayar bea
cukai, dan hasil dikumpulkan kemudian diwakafkan kepada para fuqaha dan
para keturunannya. Saat itu wakaf telah dijadikan sarana bagi dinasti
46
Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya, yaitu mazhab
sunni dan mempertahankan kekuasannya.47
Pada masa dinasti Mamluk perkembangan wakaf sangat pesat dan
beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya dapat
diwakafkan. Tetapi yang paling banyak diwakafkan kala itu adalah tanah
pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat
belajar. Pada masa ini terdapat wakaf hamba sahaya yang diwakafkan untuk
merawat lembaga-lembaga agama, seperti untuk memelihara masjid dan
madrasah. Pada masa ini pula mulai disahkannya undang-undang wakaf pada
masa raja Al Dzahir Biber Al Bandaqdari (1260-1277 M/658-676 H).48
Perkembangan lebih lanjut pada masa dinasti Turki Utsmani dimana
kekuasaannya saat itu telah mencapai sebagian besar wilayah Negara Arab.
Pada masa itu disahkan undang-undang yang mengatur tentang pencatatan
wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, serta upaya mencapai
tujuan wakaf. kemudian pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan
undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki
Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari imlementasi
47
Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, h. 45
48
undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang
berstatus wakaf dan dipraktekkan sampai sat ini.49
E. Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif
1. Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Menurut Hukum Islam
Salah satu aspek penting dalam hal pengelolaan harta benda wakaf
adalah mengenai pencatatan harta benda wakaf, sementara dalam fiqih Islam
tidak banyak dibicarakan mengenai prosedur dan tata cara perwakafan secara
rinci.50 Berbeda halnya denga hukum positif yang mengatur masalah
perwakafan dalam berbagai aturan perundang-undangan yang telah ada.
Dalam hukum Islam sendiri tidak ada ketentuan khusus yang
mengharuskan pendaftaran tanah wakaf, karena memang dalam Islam sendiri
praktek wakaf dianggap sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Para
ulama imam empat mazhabpun tidak mencantumkan keharusan
pengadministrasian dalam praktek wakaf. Namun seiring berjalannya waktu
sering kali terjadi perselisihan atau sengketa mengenai tanah wakaf. Maka
dalam hal ini selayaknya kita lihat firman Allah dalam surat Al-Baqoroh : 282
yang berbunyi :
49
Ibid,. h. 14
50
Artinya : “Hai orang- orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara
kamu menuliskannya dengan benar, dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya,
maka hendaklan ia menulis, dan hendaklah orang yang
berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan jangan
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) dan dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,
maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur, dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari dua orang
laki-laki (diantara kamu). Jika tak ada dua orang lelaki-laki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhoi, jika seorang lupa maka seorang akan
Ayat ini menegaskan keharusan mencatat kegiatan transaksi muamalah
seperti jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan sebagainya. Selanjutnya
Adijani al-Alabij menyatakan bahwa berwakaf adalah suatu kegiatan
penyerahan hak yang tak kalah pentingnya dengan kegiatan muamalah lainnya
seperti jual beli da sebagainya. Jika untuk untuk muamalah lainnya Allah
memerintahkan dicatat, maka analogi untuk wakafpun demikian, yakni
seyogyanya dicatat pula, karena jiwa yang terkandung dalam ayat tersebut
adalah agar dibelakang hari tidak terjadi sengketa/gugat menggugat diantara
pihak yang bersangkutan.51
Selain itu ada beberapa kaidah fiqih yang senada dengan pendapat
diatas, yaitu kaidah : (adh dharuuru yuzaalu), artinya : kemudharatan harus
dihilangkan. Dan kaidah (dar ul mafaasid wa jalbul mashaalih), artinya :
menolak kemudharatan dan menarik maslahah. Dimana dalam konteks ini
penyelewengan dan persengketaan akibat tidak ada pengadministrasian adalah
mudharat yang harus dihilangkan.
Melakukan pengembangan dan pembaruan hukum Islam yang
beranjak dari fiqih mazhab dengan mengutamakan prinsip maslahah mursalah
(kemaslahatan) dan siyasah syar’iyah (intervensi negara).52 Maka dengan
51
Al-Alabij, h.100
52
dasar kemaslahatan tersebut para ulama akhirnya banyak mengemukakan
berbagai pendapat dan ide dalam hal pengelolaan dan pengembangan wakaf.
Dr. Musthafa Asy-Syiba’i menjelaskan tentang penggunaan wakaf
khairi (wakaf untuk umum) yang pernah dan masih dilaksanakan di berbagai
negara Islam yaitu : masjid-masjid, sekolah-sekolah, perpustakaan umum,
rumah sakit, penginapan orang musafir, rumah-rumah miskin, air minum
untuk umum, persiapan senjata, kendaraan buat perang, persiapan
perlengkapan pejuang-pejuang, asrama-asrama buat mujahidin, perbaikan
jembatan/jalan umum, kolam-kolam di tengah padang, makam/kuburan,
perawatan yatim piatu, pemeliharaan anak-anak gelandangan, penyantunan
orang-orang lumpuh, penyantunan orang-orang buta, pemeliharaan orang tua,
penyantunan orang yang baru keluar dari penjara dan lain sebagainya.53
Suparman Usman menjelaskan langkah-langkah yang dapat
diupayakan para nazhir dalam pengembangan wakaf antara lain :
1. Memperbanyak dan menggalakkan wakaf produktif.54
Upaya ini bertujuan agar harta benda wakaf mampu menghasilkan dana
yang banyak bagi peningkatan kesejahteraan umat. Langkah ini bisa
ditempuh melalui kerjasama (kemitraan) denga pihak-pihak lain sepanjang
53
Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia,. h. 36-37
54
tidak bertentangan dengan syariat dan perundang-undangan. Contohnya
adalah mengoptimalkan potensi tanah wakaf yang letaknya strategis
dengan membangun pusat perkantoran atau pusat pertokoan yang dapat
menghasilkan uang sewa bangunan di atas tanah wakaf itu. Uang sewa
tersebut bisa dimanfaatkan bagi kesejahteraan umat.
2. Memperbanyak dan menggalakkan wakaf tunai.55
Di kalangan umat Islam, wakaf yang sangat popular adalah masih
terbatas pada persoalan tanah dan bangunan yang diperuntukkan untuk
tempat ibadah dan pendidikan, serta baru belakangan baru ada wakaf
yang berbentuk tunai, yaitu sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor
41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Sebagai sebuah upaya mensosialisasikan wakaf tunai untuk
kesejahteraan sosial, maka harus disosialisasikan secara intensif agar
wakaf tunai dapat diterima lebih cepat oleh masuarakat banyak dan segera
memberikan jawaban konkrit atas permasalahan ekonomi umat. Mengacu
pada keberhasilan negara-negara muslim lainnya, seperti Mesir, Maroko,
Kuwait, Turki, Qatar dan lainnya yang telah memberdayakan wakaf tunai
secara maksimal, saatnya kita melangkah menuju kearah tersebut.56
55
Ibid.,h. 7
56
3. Mengoptimalkan potensi harta benda wakaf sesuai kondisi dan
fungsinya.57
Contoh dari model pengembangan ini adalah jika ada tanah yang kurang
strategis letaknya untuk dibangun perkantoran atau pertokoan, maka bisa
dipertimbangkan untuk ditanami tanaman tertentu yang laku di pasar atau
sangat baik prospeknya dalam dunia ekonomi, seperti ditanami pohon
jarak yang saat ini sedang digalakkan, atau tanaman tertentu yang secara
ekonomis menguntungkan, bekerjasama dengan pihak-pihak terkait.
Selanjutnya jika ditinjau dari pengembangan hasil harta wakaf, maka
dapat dilakukan dua pola pengembangan wakaf :
1. Pengembangan wakaf untuk kegiatan sosial.58
Contoh pengembangan ini adalah pengembangan pendidikan dan
sarana kesehatan. Survei menunjukkan bahwa bentuk pengembangan
wakaf yang pertama yaitu sarana pendidikan (65%) dan sarana kesehatan
(11%) lebih diprioritaskan oleh pengelola wakaf. Namun karena sarana
pendidikan dan kesehatan sering membutuhkan biaya yang besar diluar
kesanggupan lembaga wakaf, maka para pengeloala wakaf tersebut
biasanya membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ) (59%) untuk
menunjang pembiayaannya. Dengan kata lain, pembentukan LAZ menjadi
57
Suparman Usman, Pengamanan dan Pengembangan Wakaf Bagi Kesejahteraan Umat,h. 7
58
andalan utama para nazhir guna membiayai kebutuhan operasional dan
pelayanan wakaf. cara ini sering ditempuh oleh pengelola wakaf
mengingat pembiayaan operasional lembaga dan kegiatan pelayanannya
dapat dipenuhi dengan sumbangan dari masyarakat, baik berupa zakat,
sedekah d