• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkawinan di Bawah Umur pada Masyarakat Kp.Wates Desa Kedung Jaya Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkawinan di Bawah Umur pada Masyarakat Kp.Wates Desa Kedung Jaya Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

PERKAWINAN DI BAWAH UMUR PADA MASYARAKAT

KP.WATES DESA KEDUNG JAYA KECAMATAN BABELAN

KABUPATEN BEKASI

Skripsi

Diajukankepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

HUSNUL KHOTIMAH

NIM. 1111044200021

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

( A H W A L S Y A K H S I Y Y A H )

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Skripsi

Diajukankepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

HUSNUL KHOTIMAH NIM. 1111044200021

Di Bawah Bimbingan

Hj.Rosdiana, M.A NIP: 196906102003122001

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

( A H W A L S Y A K H S H I Y Y A H )

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(3)

i

Husnul Khotimah, NIM 1111044200021. PERKAWINAN DI

BAWAH UMUR PADA MASYARAKAT KP. WATES DESA

KEDUNG JAYA KECAMATAN BABELAN KABUPATEN

BEKASI Program Hukum Keluarga Konsentrasi Administrasi

Keperdataan Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/ 2016 M.

Perkawinan di bawah umur tidak hanya berasal dari kalangan masyarakat ekonomi lemah, tetapi juga dari kalangan masyarakat mapan. Adanya pelaku perkawinan di bawah umur khususnya tempat penelitian penulis yaitu, KP. Wates Desa Kedung Jaya Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi. Berhubungan dengan hal ini, maka Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menentukan batas usia minimal perkawinan, dalam pasal 15 ayat 1 menegaskan bahwa: untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya 16 tahun. Akan tetapi perkawinan di bawah umur yang terjadi di Kp. Wates Desa Kedung Jaya praktek perkawinan dibawah umur sering terjadi. Mereka melakukan perkawinan dengan menempuh cara memalsukan identitas KTP (Kartu Tanda Penduduk) dengan menambah umur yang sebenarnya belum mencapai usia yang dibenarkan oleh Undang-undang. Ada juga mereka yang tidak memperdulikan apa yang diatur oleh perundang-undangan. Yang mereka tahu, mereka mensyahkan perkawinannya tidak mesti di KUA (Kantor Urusan Agama) tetapi mereka melakukan itu di Kyai atau Ustad-Ustad yang terpenting mereka menikah.

Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu, faktor apa saja yang mempengaruhi maraknya perkawinan di bawah umur?, bagaimana praktek perkawinan di bawah umur?, bagaimana dampak perkawinan di bawah umur?.

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Adapun sumber data primernya yaitu, data utama atau pokok dalam penelitian ini, yang diperoleh melalui wawan Data primer diperoleh secara langsung dari responden yaitu perkawinan di bawah umur yang ada di Desa Kedung Jaya Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi.

Kata Kunci: Faktor , praktek dan dampak yang menyebabkan maraknya perkawinan di bawah umur.

(4)
(5)

iii

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, Berkat Ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Baginda Besar Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabatnya, yang telah mendidik ummatnya dengan tarbiyah tentang keimanan, kesabaran, keramah-tamahan, ilmu pengetahuan serta akhlaqul karimah, dan kita sebagai ummatnya yang terus istiqomah mengikuti ajaran dan sunnahnya dalam setiap sendi kehidupan.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda H. Rahmat Wahid dan ibu Hj. Mulyanah yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang dan doa tanpa kenal lelah dan bosan. Beliau dengan susah payah mencari nafkah agar anak-anaknya menjadi orang yang berguna untuk orang banyak. Semoga allah senantiasa memberikan umur panjang dan melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka

(6)

iv

1. Bapak Dr. Asep Saepuddin Jahar, M.A, Ph.d, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag dan Bapak Arip Purkon, S.HI., M.A., Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Hj. Rosdiana, M.A,. Dosen Pembimbing yang tidak pernah lelah membimbing dan meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran-saran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Seluruh Dosen Staf dan Karyawan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pemberitahuan, pemahaman dan pelayanan selama melaksanakan studi.

(7)

v

6. Untuk suamiku tersayang Muhamad Ilman yang selalu memberikan semangat dan motivasi disetiap harinya kepada penulis dikala penulis sedang terpuruk dalam penyusunan skripsi, sehingga indah penuh dengan warna.

7. Untuk kakak-kakak dan adik adik tersayang: Ari Zakiyah S,Hi, Neneng Rahayu SS, Nurkomala, Badruttamam, Lulu Aulia Rahma, Muhammad Shohban dan Dinar Syaharani, memberikan semangat dan dukungan kepada penulis. Serta keponakan-keponakanku yang ganteng: Muhammad Fathir, Kamil Ramadhan, Yazid Barkhiyah Khaizan dan Zikra Fayyaz Fizaki, yang selalu memberikan hiburan kepada penulis ketika sedang menghadapi kendala.

8. Kawan-kawan seperjuangan Keluarga Besar Administrasi Keperdataan Islam Angkatan 2011, Peradilan Agama Kelas A dan B, serta kawan-kawan KKN PADI 2014, yang memberikan warna serta pengalaman dalam menjalani perkuliahan selama ini.

9. Sahabat tercinta Kicky Mayantie, Mar’atus Sholeha, Devi

(8)

vi

hanya mampu berdoa semoga Allah SWT menerima sebagian amal kebaikan dan membalas dengan balasan yang lebih baik.

Akhirnya penulis berharap bahwa skripsi ini bermanfaat bagi penulis khusunya dan para pembaca umumnya. Amin.

Jakarta, 2016 M 1437 H

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Batasan Masalah ... 7

D. Rumusan Masalah ... 8

E. Tujuan Penelitian... 9

F. Manfaat Penelitian... 9

G. Metode Penelitian ... 10

1. Jenis Penelitian ... 10

2. Jenis Data Dan Sumber Data ... 10

3. Teknis Pengumpulan Data ... 11

4. Pendekatan Penelitian ... 11

5. Alat Analisis Data ... 12

H. Kerangka Teori ... 12

I. Studi Review Terdahulu ... 13

J. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DI BAWAH UMUR A. Pengertian Prinsip-prinsip dan Tujuan Perkawinan ... 18

1. Pengertian Perkawinan ... 18

2. Prinsip-Prinsip Perkawinan ... 20

3. Tujuan Perkawinan ... 23

B. Landasan Filosofis Batasan Usia Perkawinan ... 25

1. Rukun Perkawinan ... 27

2. Syarat Perkawinan ... 29

C. Ketentuan Batas Usia Perkawinan Dalam Perundang-Undangan ... 33

1. Batas Usia Perkawinan Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ... 33

2. Batas Usia Perkawinan Menurut KHI ... 34

3. Batas Usia Perkawinan Menurut UU Hukum Perdata ... 35

4. Batas Usia Perkawinan Menurut UU Hukum Pidana ... 35

(10)

A. Letak Geografis ... 44

B. Kondisi Demografis ... 48

C. Kondisi Sosial Dan Kependudukan... 52

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTIK PERKAWINAN DI BAWAH UMUR PADA MASYARAKAT DESA KP. WATES A. Faktor Yang Mempengaruhi Maraknya Perkawinan Di Bawah umur ... 54

B. Praktek Perkawinan Di Bawah Umur ... 58

1. Tahapan Secara Legal ... 58

2. Tahapan Secara Ilegal ... 60

3. Perkawinan Sirri ... 60

C. Dampak Perkawinan Di Bawah Umur ... 62

1. Dampak Terhadap Perceraian Di Usia Muda ... 63

2. Dampak Terhadap Psikologis... 64

D. Analisis Penulis ... 64

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 68

(11)

Tabel 3.1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan ... 45

Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Tahun 2015-2016 ... 46

Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur ... 46

Tabel 3.4 Jumlah Penduduk Wajib KTP ... 47

Tabel 3.5 Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan 2015-2016 ... 47

Tabel 3.6 Sarana Pendidikan Di Desa Kedung Jaya Tahun 2015-2016 .... 49

Tabel 3.7 Sarana Ibadah Di Desa Kedung Jaya Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi Tahun 2015-2016 ... 51

Tabel 3.8 Jumlah Penduduk Penganut Agama ... 51

Tabel 3.9 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Maraknya Perkawinan Di Bawah Umur... 54

Tabel 3.10 Tingkat Pendidikan Yang Rendah Merupakan Penyebab Di Lakukannya Perkawinan Usia Dini ... 56

(12)

1

Sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT, manusia dibekali dengan keinginan untuk melakukan perkawinan, karena perkawinan itu adalah salah satu faktor untuk menjaga keberlangsungan kehidupan ummat manusia di muka bumi. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan sorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal yang dijalankan berdasarkan tuntutan agama.1

Allah SWT mencipatakan manusia dengan segala fitrah yang beraneka ragam, begitupula perubahan zaman semakin berkembang pesat dalam segala hal dalam kehidupan manusia. Fenomena ini menimbulkan begitu kompleksnya tingkah laku manusia yang bermacam-macam, bahkan diantaranya mencakup aktifitas yang menyentuh nilai-nilai agama akan kebolehannya untuk dilakukan atau harus ditinggalkan. Hal ini berkaitan dengan keadaan Undang-Undang Perkawinan yang harus memiliki asas-asas yang dipandang cukup prinsipil, salah satunya yaitu

1

(13)

menampung segala keyakinan-keyakinan yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia.2

Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikah, yang bermakna al-wath‟I dan al-dammu wa al-jam‟u wa al -tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam‟u atau „ibarat„an al-wath‟ al-„aqd yang bermakna bersetubuh,

berkumpul dan akad.3 Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk

keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.4 Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan dan di gunakan untuk arti bersetubuh (wath‟i).5

Untuk lebih jelasnya, menurut wahbah al-Zuhaily, perkawinan adalah akad yang membolehkan terjadinya persetubuhan antara laki-laki dengan seorang wanita atau

2

Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), h., 10.

3

Wahab al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa adillatuhu, (Damasyiq: Dar al-Fikr, 1989), Juz VII, h. 29. Lihat pula Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, Fath al-Wahhab,

(Singapura: Sulaiman Mar‟iy, t.t), juz 2, h. 30. Kemudian lihat juga Zakiyah Daradjat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), jilid 2, h. 37. Kemudian lihat pula WJS oerwadanminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), cet ke-6, h., 453.

4

DepDikBud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), cet. Ke-3, edisi kedua, h. 456. Lihat pula Imam Abu Husain Ahmad bin Muhammad bin Ja‟far al-Baghdadi al-Qaduri, Al-Fiqh Al-Muqaranah At-Tajrid, (Kairo: Darussalam, 2006 M/1427H), Jilid 9, h. 4239. Kemudian lihat pula Louis Ma‟luf, Al-Munjid, (Beirut: Dar Al-Masyriq, 1986), cet. Ke-26, h., 836.

5

(14)

melakukan “perkumpulan” selama wanita tersebut bukan yang

diharamkan, baik dengan sebab keturunan atau sepersusuan.6

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengertian dan tujuan perkawinan dinyatakan pada Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa perkawinan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholizhan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah kepada Allah SWT. Tujuan perkawinan adalah untuk terciptanya keluarga yang sejahtera selamanya dan buka untuk waktu yang singkat, lebih jelasnya disebutkan dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjelaskan tujuan pernikahan yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang Sakinah, Mawaddah, Warrahmah.7

Adapun prinsip perkawinan dalam al-Quran diantaranya adalah prinsip kebebasan memilih jodoh, prinsip mawaddah wa rahmah, prinsip saling melengkapi, prinsip melindungi dan prinsip

mu‟asarah bi al-ma‟ruf. 8

6

Muhammad bin Ismail Al-Kahlaniy, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan, t.t.), Jilid 3, h. 109. Lihat pula Al-Syarif Ali bin Muhammad Al-Jurjaniy, Kitab Al-Ta‟rifat, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1988), cet. Ke-3, h. 246. Kemudian lihat pula Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah Tafsir Al-Quran, 1973), cet. Ke-1, h. 467. Kemudian lihat pula Jalaluddin Al-Mahally, Minhaj Al-Thalibin, (Al-Qahirah: Ihya Kutub Al-Arabiyah, 1950), Juz III, h. 321. Kemudian lihat pula Abdurrahman Al-Jazini, Kitab Fiqih „ala Mazahib Al

-Arba‟ah, (Mishr: A-Maktabah At-Tijariyatul Kubra), Juz IV, h., 30.

7

Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan), Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam tentang Pengertian Perkawinan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h., 2.

8

(15)

Islam dalam hal ini al-Qur‟an dan Hadits tidak menentukan batas minimal umur untuk kawin.9 Para ulama madzhab umumnya dahulu membolehkan seorang Bapak sebagai “wali mujbir”,

mengawinkan anaknya lelaki atau perempuan yang gadis dan masih dibawah umur tanpa harus meminta persetujuan mereka terlebih dahulu.

Pemerintah Desa Kedung Jaya di pimpin oleh Kepala Desa dan dibantu oleh beberapa staf yang terdiri dari 10 RW dan 17 RT dan 3 Kepala Dusun, jumlah penduduk Desa Kedung Jaya Kecamatan Babelan berjumlah sekitar 4335 jiwa, yang didominasi oleh kaum laki-laki 2155 jiwa dan perempuan 2180 jiwa. Yang sudah menikah berjumlah 2352 dan yang belum menikah berjumlah 1983. Tingkat laju pertumbuhan penduduk mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi, dan mempengaruhi pendapatan perkapita, mata pencaharian penduduk Desa Kedung Jaya rata rata yaitu petani pedagang buruh dan pegawai swasta dll hal.

Karakteristik penduduk Desa Kedung Jaya khususnya dalam sector agama bersifat heterogen, hal ini mencerminkan penganut agama sebagai konsekuensi logis dengan beragam

Ali Asghar Maarid, Silsilatul Yanabi‟il Fiqhiyyah, (Beirut: Dar al-Islam, 1990), jilid 18, h., 97.

9

(16)

penganut agama yang ada di Desa Kedung Jaya menurut upaya dari semua pihak untuk menciptakan kerukunan antar pemeluk agama, sehingga terciptanya lingkungan yang tentram, harmonis dan damai. Warga Desa Kedung Jaya merupakan penduduk yang terdiri dari berbagai agama, namun mayoritas penduduknya beragam Islam sebesar 99, 125 %.

Situasi dan kondisi keamanan di wilayah Desa Kedung Jaya dalam keadaan cukup baik maupun tidak baik, hal tersebut bergantung pada beberapa indicator. Diantaranya masih kurangnya kesadaran masyarakat terhadap upaya pencegahan tindak tindak criminal, disamping itu juga sangat minimnya tenaga keamanan yang terlatih, adapun data atau jumlah tenaga keamanan.

Bahwa batas usia perkawinan yang ada dalam peraturan Perundang-Undangan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 Ayat 1 disebutkan “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah

mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.

(17)

mereka yang tidak memperdulikan apa yang diatur oleh perundang-undangan. Yang mereka tahu, mereka mensyahkan perkawinannya tidak mesti di KUA (Kantor Urusan Agama) tetapi mereka melakukan perkawinan itu di Kyai atau Ustad-Ustad yang terpenting mereka menikah.

Di daerah tersebut perkawinan dibawah umur merupakan suatu hal yang lumrah dikarenakan adanya kekurang pahaman akan Undang-undang tersebut serta kebiasaan masyarakat di sana yang menikahkan anaknya setelah usia baligh. Meskipun ajaran Islam tidak menentukan batasan usia tertentu yang paling ideal untuk melangsungkan perkawinan, namun Islam sangat menekankan arti penting kematangan dan kedewasaan sebelum memasuki kehidupan rumah tangga yang tidak pernah sunyi dari badai dan gelombang kehidupan. Suami isteri yang telah matang baik fisik maupun psikis tentu akan mampu mengatasi berbagai problema yang akan menerpa kehidupan rumah tangga mereka. Pastilah mereka akan sangat mudah goyah dan pada akhirnya rumah tangga mereka akan kandas di tengah perjalanan. Keluarga sakinah yang diidam-idamankan hanyalah sebuah utopia yang tidak mungkin diraih. 10 Maka dari itu penulis tertarik dengan judul ini karena di desa tersebut banyak yang melakukan pernikahan di bawah umur.

10

Ashad Kusuma Djaya. “Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama : Pesan

(18)

Berangkat dari permasalahan di atas, penulis merasa perlu untuk meneliti lebih lanjut mengenai terjadinya pemalsuan identitas dalam KTP untuk legalitas pencatatan perkawinan. Dan penulis akan manuangkan didalam tugas akhir dalam rangka memenuhi standar kelulusan Strata satu (S1) dengan judul:

“PERKAWINAN DI BAWAH UMUR PADA MASYARAKAT

KP. WATES DESA KEDUNG JAYA KECAMATAN

BABELAN KABUPATEN BEKASI “

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan berbagai permasalahan pernikahan dibawah umur, diantara penyebab tersebut adalah sebagai berikut:

1. Faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat melakukan perkawinan dibawah umur.

2. Bagaimana praktek serta dampak perkawinan dibawah umur.

C. Batasan Masalah

(19)

No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Selanjutnya untuk lebih memfokuskan permasalahan dalam latar belakang masalah diatas, akan dibuat rumusan masalah dalam skripsi ini, sebagai berikut

D. Rumusan Masalah

Untuk memperjelas tulisan skripsi ini, penulis merumuskan masalah ini sebagai berikut:

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat (1) “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah

(20)

terpenting mereka menikah. Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi maraknya perkawinan di bawah umur pada masyarakat kp. wates?

2. Bagaimana praktek perkawinan dibawah umur pada masyarakat desa kp. wates?

3. Bagaimana dampak perkawinan dibawah umur pada masyarakat kp. wates?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan suatu penulisan adalah mengungkapkan secara jelas apa yang ingin dicapai dalam penelitian yang akan dilakukan. Dari definisi tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi maraknya perkawinan dibawah umur.

2. Untuk mengetahui bagaimana praktek perkawinan dibawah umur. 3. Untuk mengetahui bagaimana dampak perkawinan dibawah umur.

F. Manfaat Penelitian

(21)

2. Bagi penulis, dapat menerapkan ilmu-ilmu yang didapat dalam perkuliahan sehingga dapat bermanfaat bagi penulis, selain itu penulis dapat menambah wawasan dan pengalaman yang dapat diambil dari penelitian ini.

3. Bagi dunia akademik, semoga bermanfaat untuk memperkaya khasanah kepustakaan khususnya di bidang yang penulis teliti.

G. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka penulis menggunakan metode:

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis mencoba menggabungkan antara jenis penelitian yang bersifat lapangan (field research), studi kepustakaan (library research) dan wawancara sebagai pelengkap. Dilihat dari sudut pandang sifat dan himpunannya, penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Adapun jenis dan sumber data yang digunakan adalah:

a. Data primer diperoleh secara langsung dari responden yaitu perkawinan di bawah umur yang ada di Desa Kedung Jaya Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi.

(22)

dibangku kuliah serta sumber lain yang relevan dengan penelitian ini, seperti jurnal yang terkait dengan penelitian, surat kabar, majalah dan sumber tertulis lainnya. Dan juga di dapatkan dari kantor Kelurahan Desa Kedung Babelan Bekasi.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metode sebagai berikut:

a. Kuesioner, yaitu dengan menyebarkan agket berisi pertanyaan yang di jawab oleh pelaku perkawinan di bawah umur.

b. Studi pustaka (library research), yaitu diperoleh dari buku-buku atau sumber-sumber lainnya.

c. Wawancara, yaitu dengan mewawancarai secara langsung dengan pelaku yang melangsungkan perkawinan di bawah umur.

4. Pendekatan Penelitian

Di samping teknik yang penulis lakukan diatas juga menggunakan metode pendekatan, sebagai berikut:

a. Pendekatan sosiologis, yaitu suatu cara mendekati masalah yang diteliti dengan menggunakan teori-teori social (kemasyarakatan). b. Pendekatan normative, yaitu dengan cara mendekati masalah yang

akan diteliti dengan memperhatikan apakah itu baik atau sebaliknya, benar atau salah dan sebaliknya.

(23)

5. Alat Analisis Data

Seluruh data yang penulis peroleh dari survey dengan instrument angket, wawancara dan kepustakaan yang diseleksi dan disusun, setelah itu penulis melakukan klasifikasi data, yaitu usaha menggolong-golongkan data berdasarkan kategori tertentu. Setelah data-data yang ada diklasifikasikan lalu diadakan analisis data, dalam hal ini data yang dikumpulkan penulis adalah kuantitatif. Maka teknik yang digunakan adalah metode analisis data yang akan disajikan dalam bentuk uraian. Data-data yang terkumpul diperiksa kembali mengenai kelengkapan jawaban yang diterima, kejelasannya, konsentrasi jawaban atau informasi yang biasa disebut editing.

H. Kerangka Teori

Perkawinan dini atau sering disebut dengan perkawinan di bawah umur adalah perkawinan dilakukan antara pria dan wanita yang masih belum mencukupi umur yang sudah ditetapkan oleh Undang-undang. Pada dasarnya istilah kata “dibawah” lahir karena adanya pembatasan usia

minimal seseorang diizinkan untuk melakukan perkawinan.

(24)

dewasa lazimnya disimpulkan atau dikaitkan dengan pasal 47 dan pasal 50 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan11.

Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental. Dari sudut pandang kedokteran, perkawinan dini mempunyai negative baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan.

Jadi harus benar-benar diperhatikan tentang masalah perkawinan di bawah umur ini, akan menjadi masalah serius apabila tidak ada tindakan, bisa jadi seseorang melanggar dari Undang-undang yang telah ditetapkan atau kesalahan dari orang tua karena telah membiarkan perkawinan di bawah umur dan tidak meminta untuk dispensasi nikah atau menjadi pelanggaran hukum.

I. Studi Review Terdahulu

NO IDENTITAS SUBSTANSI PERBEDAAN

1 Riyani (Administrasi Keperdataan islam) (104044201484) Judul: Kemampuan Bertanggung Jawab Dalam Perkawinan

Dalam skripsi Riyani membahas tentang lebih memfokuskan diri menelaah tentang kemampuan bertanggung jawab ditinjau dari usia

Sedangkan dalam penelitian skripsi saya lebih konsen terhadap

ketentuan batas usia perkawinan yang tercakup

11Wahyono Darmabrata. Tinjauan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta

(25)

Atas Dasar Batas Usia Perkawinan

perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974

dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat 1, Kompilasi

Hukum Islam, UU perlindungan anak, UU hukum Perdata dan UU hukum pidana

2 Nurmilah Sari

(Peradilan Agama 2011)

(207044100474) Judul: Dispensasi Nikah Di Bawah Umur

Dalam skripsi Nurmilah Sari membahas tentang aspek aturan hukum, baik itu positif maupun beberapa hukum lainnya yang terkait dengan dispensasi nikah di bawah umur serta menganalisa putusan atau penetapan dari pengadilan agama tangerang.

(26)

3 Muhawwaroh (Konsentrasi Administrasi

Keperdataan Islam 2016)

(107044202362) Judul: Pernikahan di Bawah Umur Akibat Hamil di Luar Nikah (Studi kasus di Desa Pulo Timaha Babelan Bekasi).

Dalam skripsi muhawwaroh ini menjelaskan

perkawinan di bawah umur yang dibolehkan

bersumber karena dasar psikolog anak yang ingin menikah di bawah umur, sehingga jika dibatasi atau dicegah akan mengganggu psikolog anak.

Sedangkan dalam penelitian saya lebih konsentrasi terhadap faktor serta dampak apa saja yang mengakibatkan seseorang melakukan pernikahan dibawah umur.

J. Sistematika Penulisan

Penulis membagi penulisan skripsi ini menjadi ke dalam V (lima) bab dan terdiri dari beberapa sub bab, susunan bab tersebut secara sistematis adalah sebagai berikut:

(27)

BAB II dalam bab ini menjelaskan tentang tinjauan umum tentang perkawinan dibawah umur, yang mencakup pengertian prinsip-prinsip dan tujuan perkawinan, landasan filosofis batasan usia perkawinan didalamnya membahas rukun dan syarat perkawinan, ketentuan batas usia perkawinan dalam perundang-undangan didalamnya mencakup UU No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, UU Hukum Perdata, UU Hukum Pidana dan UU Perlindungan Anak. dan batas usia perkawinan menurut fiqih.

BAB III dalam bab ini penulis menjelaskan Gambaran Umum Masyarakat Kp. Wates Desa Kedung Jaya Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi, yang mencakup letak geografis, kondisi demografis dan kondisi sosial serta kependudukannya.

(28)
(29)

18

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DI BAWAH UMUR

A. Pengertian Prinsip-prinsip dan Tujuan Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan salah satu jalan atau sasaran hidup yang dialami oleh hampir semua manusia dimuka bumi ini walaupun ada beberapa diantaranya yang tidak terikat dengan perkawinan sampai ajal menjemput. Semua agama resmi di Indonesia memandang perkawinan sebagai sesuatu yang sacral, harus dihormati, dan harus dijaga kelanggengannya. Oleh karena itu, setiap orang tua telah selesai tanggung jawabnya apabila anaknya telah memasuki jenjang perkawinan.

Berikut ini adalah pengertian dan definisi Perkawinan: a. Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 197412

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

12

(30)

b. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2

Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

c. Prof. Subekti, SH

Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.

d. Prof. Mr. Paul Scholten

Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh Negara.

Pendapat Ahli Ushul,mengartikan arti nikah (kawin) sebagai berikut:

 Ulama Syafi‟iyah, berpendapat:

Kata nikah, menurut arti sebenarnya (hakiki) berarti “bersetubuh” dengan lawan jenis.

 Ulama Hanafiyah, berpendapat:

Kata nikah, menurut arti sebenarnya (hakiki) berarti “bersetubuh”, dan dalam arti tidak sebenarnya (majazi)

(31)

 Ulama Hanabilah, Abu Qasim al-Zajjad, Imam yahya,

Ibnu Hazm, berpendapat: bahwa kata nikah untuk dua kemungkinan tersebut yang disebutkan dalam arti sebenarnya sebagaimana terdapat dalam kedua pendapat di atas yang disebutkan sebelumnya,13 mengandung dua unsur sekaligus yaitu kata nikah untuk sebagai “Akad” dan “Bersetubuh”.14

Dari beberapa pengertian perkawinan di atas penulis menyimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang perempuan, juga perkawinan tidak dapat dilakukan apabila laki-laki belum mencapai umur 19 tahun dan perempuan belum mencapai umur 16 tahun.

2. Prinsip-prinsip Perkawinan

Dalam ajaran Islam ada beberapa Prinsip-prinsip15 dalam Perkawinan. Yaitu:

1 Harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Caranya adalah diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah

13

Amir Syarifuddin, Hukum Perwakafan Di Indonesia, cet. II, (Jakarta: Prenada Mulia, 2007), h., 36-37.

14

Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer Buku Pertama (Jakarta: LSIK, 1994), h., 53.

15

(32)

kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.

2 Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria, sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.

3 Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.

Kalau dibandingkan prinsip-prinsip dalam Perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.

Dalam Undang-undang Perkawinan terdapat Asas-asas yang mengharuskan setiap pasangan yang akan melangsungkan perkawinan harus adanya kematangan dari calon mempelai, sesuai dengan Asas-asas dalam Undang-undang Perkawinan yaitu:

1 Asas sukarela

2 Asas partisipasi keluarga 3 Asas partisipasi di persulit

(33)

7 Asas legalitas

8 Asas (prinsip) selektivitas16

Dan apabila di sederhanakan, asas perkawinan itu mengandung pengertian bahwa:

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

b. Sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

c. Asas monogamy.

d. Calon suami dan istri harus dewasa jiwa raganya. e. Mempersulit perceraian.

f. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.17

Dalam hal ini, masalah usia perkawinan berkaitan erat dengan asas pada point yang keempat yakni “calon suami istri

harus matang jiwa dan raganya”. Penjelasannya adalah bahwa

calon suami istri harus matang jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan yang mewujudkan tujuan perkawinan secara baik berupa berakhir dengan perceraian.18

16

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Pradana Media Group), cet ke-2, h., 6.

17

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), h., 173.

18

(34)

Kematangan yang dimaksud adalah matang umur perkawinan, kematangan berfikir dan bertindak.

3. Tujuan Perkawinan

Dasar dan tujuan tersebut dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tercantum dalam Pasal 1 dan 2.19

Pasal 1

Perkawinan ialah ikatan lahir-batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasal 2

1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-udangan yang berlaku.

Adapun Dasar dan tujuan perkawinan dalam Islam:













19
(35)













.

. /مورلا(

٣

:

١٢

)

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya

ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu

sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram

kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Arrum:

21)

Melaksanakan sunnah Rasul sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi SAW:20

ِْ َ ننن َع نننَلَق َ نننَس َِ نننَس نننَلَع عَق نننَََ ِ َعنننْاَع ت َ َنننَرٍَ ْعنننََ ِْ ْبنننََِع َعنننَع

ْ نننَ َ َع ِ عه نننَص

َ ه َ ََُ َق نننَ َ َ نننََِقا ي اَلنننٍْ َب َاَُنننَ ا ْعنننٍَ ْس َِنننهَقا ََنننٍَََََ َم َيه نننَ َ

نننَق نننهنْإَ ْ َ نننهَق َْ ْ نننَ َ َََ َ ْاَُنننَرَم َينننَق َعنننٍََ ْ ََنننََْ ْق َعنننَفَلَاَ َْنننََََِ ْق بْنننََُا نننهنْإَ

َجْ

Artinya: “Dari Abdullah bin Mas‟ud ra ia berkata: telah berkata kepada kami Rosulullah saw: “Hai sekalian pemuda, abrang siapa di antara kamu yang telah sanggup melaksanakan kehidupan suami istri, maka hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (mata) dan ememlihara faraj. Dan barang siapa di antara yang tidak sanggup, hendaklah berpuasa. Maka puasa itu adalah perisai baginya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)21

ض َ َ نننننننننر ض ه ض نننننننننََْ َهضر نننننننننَ ض َه نننننننننَْضاضُه ضَهرقننننننننن :َهضَقَ ضِهض َنننننننننَََ ضر نننننننننَع

ضُ ر ننننننننَ ض ننننننننَ َعض ننننننننََ َعَ ضرَننننننننَََناض دََُ ننننننننَص

ضُ ر ننننننننَ ض ُ ضَه ضُرننننننننَ َهر َناضَُ ننننننننُنريُد

ُْ َب ر

د ن:ا ضحهحصضمك َ ضه ْضوض.مك َ ضوضط:وا ض ضى ر ض.

Artinya: Dari Anas RA, bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda, “ Barang siapa yang Allah telah memberi rezeki kepadanya berupa istrei yang shalihah, berarti Allah telah menolongnya pada separo agamanya. Maka bertaqwalah kepada Allah untuk separo

20

Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h., 23-24.

21

(36)

sisanya”.(HR. Thabrani di dalam Al-Ausath, dan Hakim. Hakim berkata, “Shahih Sanadnya)22

،ىق ِقا ةما ع ى

َفََْن َلَفَاََُ ا ْبَقَ بَََِقَا َ ه َ َ اَذْا ِص ِْ َ َع َ َس

.ىْس َِقَا ْفََّلقا ىْ َِ ْقهَُ َ َ ،ْعَمّبقا

Artinya: “Dan dalam riwayat Baihaqi disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang hamba telah menikah, berarti dia telah menyempurnakan separo agamanya, maka hendaklah dia bertaqwa kepada Allah pada separo sisanya”. (HR. Baihaqi)23

B. Landasan Filosofis Batasan Usia Perkawinan

Adapun ketentuan Landasan Filosofis Batasan Usia Perkawinan terdapat dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat (1) “Perkawinan hanya diizinkan jika

pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Dan dalam BAB II syarat-syarat perkawinan pada Pasal 6 ayat (2) “Untuk dapat melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”.24

Batasan usia perkawinan yang di jelaskan diatas mempunyai alasan kenapa adanya Undang-Undang Perkawinan 1974 Pasal 7 ayat (1) yang beralasan bahwa untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan perlu ditetapkan batas-batas

22

H.A. Razak dan H. Rais Lathief, Terjemah Hadis Shahih Muslim, (Jakarta: Al-Husna, 1980), h., 109.

23

H.A. Razak dan H. Rais Lathief, Terjemah Hadis Shahih Muslim, (Jakarta: Al-Husna, 1980), h., 109.

24

(37)

umur untuk perkawinan. Dan Undang-Undang Perkawinan Pasal 6 ayat (2) beralasan bahwa oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan Perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang ini.25

Dari penjelasan batasan umur Perkawinan diatas bukan peraturan dari Undang-Undang saja yang dijelaskan, alangkah baiknya penulis memaparkan rukun dan syarat perkawinan, karena seseorang harus mengetahui apa dan bagaimana rukun syarat perkawinan.

1. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun dan Syarat perkawinan dalam Islam merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Karena kebanyakan aktifitas ibadah yang ada dalam Agama Islam senantiasa ada yang namanya rukun dan syarat, sehingga sedikit bisa dibedakan dari pengertian keduanya

25

(38)

yakni syarat merupakan suatu hal yang harus atau dipenuhi sebelum perbuatan dilaksanakan. Sedangkan rukun adalah hal yang harus ada dalam suatu akad atau perbuatan. Lebih jelasnya, akan dipaparkan sebagai berikut:

a. Rukun Perkawinan

Dalam Islam perkawinan tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi mepunyai nilai ibadah dan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2 ditegaskan bahwa perkawinan merupakan akad yang sangat kuat, hal tersebut dilakukan untuk mentaati perintah Allah SWT, dan dengan melaksanakannya merupakan suatu nilai ibadah kepada Allah SWT.26

Karena perkawinan yang syara akan ibadah dan tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu agar tujuan disyaratkannya perkawiann tercapai. Dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI) untuk melaksanakan perkawinan dalam rukun nikah harus ada:

 Calon Suami,

 Calon Isteri,

26

(39)

 Wali Nikah,

 Dua Orang Saksi dan;

 Ijab dan Kabul.27

Sedangkan menurut jumhur ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing itu memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pembahasan maka uraian rukun perkawinan akan disamakan dengan uraian syarat-syarat dari rukun sendiri.28

Adapun rukun nikah dengan syaratnya masing-masing adalah sebagai berikut:

1) Calon suami, syarat-syaratnya; beragama Islam, laki-laki, jelas orangnya, baligh/ dapat memberikan persetujuan dan tidak terdapat halangan perkawinan.

2) Calon isteri, syart-syaratnya; beragama, meskipun Yahudi maupun Nasrani, perempuan, jelas orangnya, baligh/ dapat diminta persetujuannya dan tidak halangan perkawinan.

3) Wali nikah, syarat-syaratnya; laki-laki, dewasa, mempunyai hak perwalian dan tidak terdapat halangan perwaliannya.

27

Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: Hukum perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan, cet. II, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2008), h., 5.

28

(40)

4) Saksi nikah, syarat-syaratnya; minimal dua orang laki-laki, hadir dalam ijab qabul, dapat mengerti maksud akad, Islam dan dewasa.

5) Ijab qabul, syarat-syaratnya; adanya pernyataan mengawinkan dari wali, adanya penerimaan dari calon mempelai, memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut, antara ijab dan qabul berkesinambungan, antara ijab dan qabul jelas maksudnya, orang yang terkait dengan ijab qabul tidak sedang ihram atau haji dan majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu, calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.

Kaitannya pada bidang perkawinan adalah bahwa rukun perkawinan merupakan sebagian dari hakikat perkawinan, seperti keharusan atau kewajiban ada kedua calon mempelai baik laki-laki dan perempuan, wali, ijab-qabul serta dua orang saksi.29

b. Syarat Perkawinan

Sedangkan dalam memenuhi persyaratan perkawinan, karena banyak info yang dapat mempermudah masyarakat melangsungkan pernikahan dan mengurus

29

(41)

prosedur perkawinan berdasarkan hukum Islam dan aturan-aturan hukum di Indonesia.

Di masyarakat masih banyak permasalahan yang ada timbul karena persoalan-persoalan yang berkaitan dengan persyaratan perkawinan atau hal-hal yang berkaitan dengan administrasinya.

Adapun syarat merupakan suatu hal yang mesti dijalani dalam perkawinan. Apabila syarat tidak dipenuhi maka bisa menimbulkan pencegahan terhadap perkawinan, yakni keterangan terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 60 ayat (1) yaitu: Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan. Dan pada ayat (2) yaitu: Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.30

Dan ada beberapa pendapat diantara para mazhab fiqh mengenai syarat sah suatu perkawinan. Pada garis

30

(42)

besarnya pendapat tentang syarat-syarat sahnya perkawinan ada dua:

1) Calon mempelai perempuannya halal dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadikan isterinya;

2) Aqad harus disaksikan oleh saksi.31

Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah, mengatakan bahwa sebagian syarat-syarat perkawinan yakni berkaitan atau berhubungan dengan:

1) Aqad, serta sebagian lainnya berkaitan dengan saksi.32 2) Shigot, yaitu suatu ijab qobul, dengan syarat sebagai

berikut:

 Menggunakan lafaz tertentu, baik dalam lafaz

“Sharih”. Misalnya: Tazwij atau Nikah. Maupun

Lafaz “Kinayah”. Seperti: “Saya sedekahkan anak saya kepada kamu” dan sebagainya.

 Ijab-qabul dilakukan di dalam satu majelis;

 Sighat didengar oleh orang-orang yang

menyaksikan;

 Ijab-qabul tidak berbeda maksud dan tujuan;

 Lafaz sighat tidak disebutkan untuk waktu

tertentu.

31

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Cet.3, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012), h., 78.

32

(43)

3) Akad, dapat diaksanakan dengan syarat apabila kedua calon pengantin berakal, baligh, dan merdeka.

4) Saksi, harus terdiri atas dua orang. Maka tidak sah apabila akad nikah hanya disaksikan oelh satu orang saksi. Dan syarat-syaratnya adalah Berakal, Baligh, Merdeka, Islam, Kedua orang saksi mendengar.33

5) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Syarat-syarat perkawinan disebutkan dalam Pasal 6:

a) Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai;

b) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin orang tua;

c) Dalam hal orang tua yang telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka ijin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya;

d) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau

33

(44)

salah seorang atau diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dalam memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat dan pasal ini.

e) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.34

C. Ketentuan Batas Usia Perkawinan Dalam

Perundang-undangan

1. Batas Usia Perkawinan menurut Undang-undang N0. 1 Tahun 1974.

Batas Usia Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat dalam BAB II Syarat-syarat Perkawinan Pasal 7 ayat (1) “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Sedangkan Pada Pasal 6 ayat (2)

34

(45)

Undang-undang Perkawinan yaitu: “Untuk melangsungkan perkawinan seorang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus dapat izin kedua orang tua”.35

2. Batas Usia Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Batas usia perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 15 ayat (1), yaitu: “Untuk

kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yakni calon suami berumur sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Dan pada ayat (2), “bagi calon mempelai yang belum

mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin yang sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.36 Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat 1 menyebutkan batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah

35

Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: Hukum perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Hukum Perwakafan, Cet. II, (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia), h., 82-83.

36

(46)

21 tahun sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.37

3. Batas Usia Perkawinan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Batasan usia perkawinan menurut Kitab Undang-undang Hukum Adat (KUHPer), BAB IV Perihal Perkawinan Pasal 29, yakni: “Laki-laki yang belum mencapai umur 18

(delapan belas) tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur 15 (lima belas) tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, pemerintah berkuasa menghapuskan larangan ini dengan memberikan “Dispensasi”.38

4. Batas Usia Perkawinan menurut Undang-undang Hukum Pidana.

Hukum positif atau ius contitutum, adalah hukum yang berlaku saat ini di persoalan perdata diatur dalam KUH Perdata, persoalan pidana diatur melalui KUH Pidana. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 45 menentukan bahwa yang dikatakan belum dewasa yaitu belum mencapai umur enam belas tahun.

37

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Edisi Pertama.

Akademika Presindo (Jakarta: 1992). h., 137.

38

(47)

5. Batas Usia Perkawinan menurut Undang-undang Perlindungan Anak.

Batas usia perkawinan menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1), “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Artinya

batas usia dewasa menurut aturan ini adalah 18 tahun ke atas. 6. Batas Usia Perkawinan menurut BKKBN

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional bekerja sama dengan Badan Penasehat Perkawinan dan Perceraian Kementerian Agama mengeluarkan modul yang mendorong usia minimal perkawinan untuk perempuan adalah 21 tahun dan laki-laki adalah 25 tahun.39

Apa yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam adalah sejalan bahwa batas usia calon mempelai laki-laki adalah 19 Tahun dan calon mempelai perempuan 16 tahun, dan usia kawin yang di bawah 21 tahun harus ada izin dari orang tua.

Kemudian apa yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Hukum Pidana tentu berbeda dalam menentukan batasan umur perkawinan. Undang-Undang Hukum Perdata BAB IV Perihal Perkawinan Pasal 29 bahwa

39

(48)

Laki-laki yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur 15 (lima belas) tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, pemerintah berkuasa menghapuskan larangan ini dengan memberikan “Dispensasi”. Sedangkan menurut Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP), Pasal 45 menentukan bahwa yang dikatakan belum dewasa yaitu belum mencapai umur enam belas tahun.

Dalam Undang-undang Perlindungan Anak dan BKKBN berbeda dalam menentukan batas usia perkawinan yakni Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan bahwa dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak Pasal 1 ayat (1), “anak adalah seseorang

yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” artinya batas usia dewasa menurut aturan ini

adalah 18 tahun ke atas. Dan menurut pernyataan BKKBN menyatakan Kementrian Agama mengeluarkan modul yang mendorong usia minimal perkawinan untuk perempuan adalah 21 tahun dan laki-laki adalah 25 tahun.

(49)

di bawah umur sangat terkait erat dengan kesejahteraan perempuan muda yang mengalaminya. Kebijakan baru ini dimaksudkan agar pasangan yang kawin benar-benar telah matang lahir dan batin.

D. Batasan Usia Perkawinan menurut Fiqh

Batas usia perkawinan memang tidak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqih. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih memperbolehkan kawin antara laki-laki dan perempuan yang masih kecil. Kebolehan tersebut karena tidak ada ayat al-Qur‟an yang secara jelas dan terarah menyebutkan batas usia perkawinan dan tidak pula ada hadits yang secara langsung menyebutkan batas usia, bahkan Nabi sendiri mengawini Siti Aisyah pada saat umurnya 9 tahun dan menggaulinya setelah umur 12 tahun.40

Akan tetapi menurut mayoritas ahli fiqih sepakat jika batasan baligh itu ditentukan dengan hitungan tahun maka batasan usia minimal dalam perkawinan adalah 15 tahun, sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat batas usia tersebut adalah 17/18 tahun.41

Meskipun secara terang-terangan tidak ada petunjuk al-Qur‟an atau hadits nabi tentang batas usia perkawinan, namun ada

ayat al-Qur‟an dan begitu pula ada hadits Nabi secara tidak

40

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlusunnah dan Negara-negara Islam, h., 66.

41

(50)

langsung mengisyaratkan batas usia tertentu. Adapun al-Qur‟an adalah firman Allah dalam surat An-Nisa‟ ayat 6:





































































….

Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (QS. An-Nisaa’: 4 ayat 6)

Dari ayat ini dipahami bahwa kawin itu mempunyai batas umur dan batas umur itu, maksudnya sudah baligh.

Agama Islam tidak menetapkan dengan tegas batas umur dari seseorang yang telah sanggup kawin. Al-Quran dan hadits hanyalah menetapkan dengan isyarat-isyarat dan tanda-tanda saja. Terserah kepada kaum muslim untuk menetapkan batas umur yang sebaiknya untuk kawin sesuai dengan isyarat atau tanda yang telah ditentukan itu, dan disesuaikan pula dengan keadaan setempat dimana hukum itu akan di Undang-undangkan.42

Para ulama menentukan batas umur itu dengan dalil “maslahah

mursalah”, artinya dengan ditetapkan umur minimal bagi calon mempelai

agar telah matang jiwa dan raganya. Dengan kematangan jiwa dan raga, diharapkan mendapatkan kebaikan/maslahat.43

42

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h., 12.

43

(51)

عه نننَص ِْ َ ننن َع نننَلَق َ نننَس َِ نننَس نننَلَع عَق نننَََ ِ َعنننْاَع ت َ َنننَرٍَ ْعنننََ ِْ ْبنننََِع َعنننَع

َب َاَُنننَ ا ْعنننٍَ ْس َِنننهَقا ََنننٍَََََ َم َيه نننَ َ ْ نننَ َ َع ِ

بْنننََُا نننهنْإَ َ ه َ ََُ َق نننَ َ َ نننََِقا ي اَلنننٍْ

َجْ َق هنْإَ ْ َ هَق َْ ْ َ َ َََ َ ْاََُرَم َيَق َعٍََ ْ ََََْ ْق َعَفَلَاَ َََََِْ ْق

Artinya: “Dari Abdullah bin Mas‟ud ra ia berkata: telah berkata kepada kami Rosulullah saw: “Hai sekalian pemuda, barang siapa di antara kamu yang telah sanggup melaksanakan kehidupan suami istri, maka hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (mata) dan ememlihara faraj. Dan barang siapa di antara yang tidak sanggup, hendaklah berpuasa. Maka puasa itu adalah perisai baginya”. (HR. B. Al-Bukhari dan Muslim)44

Selanjutnya mengenai perkawinan Rosulullah SAW dengan Aisyah, Ibnu Syubramah berpendapat bahwa itu merupakan hal yang tidak bisa dijadikan hujjah (alasan), karena perkawinan tersebut merupakan pengecualian atau suatu kekhususan bagi Nabi sendiri yang tidak diberlakukan bagi ummatnya.

Perkawinan orang-orang yang belum dewasa tidak akan menghasilkan keturunan yang baik. Apabila perkawinan dilaksanakan oleh orang-orang yang belum dewasa, maka perkawinan itu tidak akan mencapai tujuannya, yakni keturunan yang baik. Berbeda pendapat Imam Syafi‟I yang dimaksud dengan wanita “wanita dewasa” ialah wanita yang

pernah kawin, sedangkan menurut Imam Hanafi ialah wanita yang telah baligh.45

Menurut Abdul Rahim Umran, batasan usia nikah dapat dilihat dalam beberapa arti sebagai berikut:46

44

Syekh H. Abd. Syukur Rahimy, Terjemah Hadis Shahih Muslim, (Jakarta: PT Bumirestu, 1984), h., 45.

45

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlusunnah dan Negara-negara Islam, h., 133.

46

(52)

1 Biologis, secara biologis hubungan kelamin dengan isteri yang terlalu muda (yang belum dewasa secara fisik) dapat mengakibatkan penderitaan gabi isteri dalam hubungan biologis. Lebih-lebih ketika hamil dan melahirkan.

2 Sosio-Kultural, secara sosio-kultural pasangan suami isteri harus mampu memenuhi tuntutan sosial, yakni mengurus rumah tangga dan mengurus anak-anak.

3 Demografis (kependudukan), secara demografis perkawinan dibawah umur merupakan salah satu faktor timbulnya pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi.

Menurut para Ulama, dalam Islam menentukan batasan usia perkawinan bisa dikembalikan kepada tiga landasan, yaitu:

1 Usia kawin yang dihubungkan dengan usia dewasa (baligh);

2 Usia kawin yang didasarkan kepada keumuman arti ayat al-Qur‟an yang menyebutkan batas kemampuan untuk kawin.

3 Hadist yang menjelaskan tentang usia Aisyah waktu nikah dengan Rasulullah SAW.

(53)









































































































































































Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah

kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka

dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi

mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas

persaksian itu).” ”. (QS. An-Nisa (4) ayat: 6)

Dalam hal ini untuk menentukan kedewasaan dengan umur terdapat beberapa pendapat diantaranya:47

1 Menurut Abu Hanifah, kedewasaan itu datangnya mulai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam Malik menetapkan 18 tahun, baik untuk pihak laki-laki maupun untuk perempuan.

2 Menurut Syafi‟i dan Hanabillah menentukan bahwa masa untuk menerima kedewasaan dengan tanda-tanda diatas, tetapi karena tanda-tanda itu datangnya tidak sama untuk semua

47

(54)

orang, maka kedewasaan ditentukan dengan umur. Disamakannya masa kedewasaan untuk pria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal, dengan akal lah dan taklif, dan karena akal pula adanya hukum.

3 Sarlito Wirawan Sarwono melihat bahwa usia kedewasaan untuk siapnya seseorang memasuki hidup berumah tangga harus diperpanjang menjadi 20 tahun untuk wanita dan 25 tahun untuk pria. Hal ini karena diperlukan karena zaman modern menuntut untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kemaslahatan dan menghindari kerusakan, baik dari segi kesehatan maupun tanggung jawab sosial.

(55)

44

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA KEDUNG JAYA KEC.

BABELAN KABUPATEN BEKASI

A. Letak Geografis

Kelurahan Kedung Jaya sebagai salah satu bagian unit kerja organisasi yang merupakan perangkat Kecamatan Babelan, memiliki ciri dan karakteristik sebagai Desa menjadi Kelurahan baik dilihat dari perspektif territorial, kehidupan, ekonomi, sosial dan lingkungan. Dimana Kelurahan Kedung Jaya merupakan salah satu Desa dibawah pemerintahan Kebupaten Bekasi.

Luas wilayah yang bersertifikat 2500 M2, dan jumlah tanah desa 2500 M2 Desa Kedung Jaya Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi seluas 223, 775 ha.

Dan secara administrative batas-batas wilayah Desa Kedung Jaya adalah sebagai berikut:

1 Sebelah utara berbatasan dengan kelurahan buni bakti

2 Sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan desa kedung pengawas

3 Sebelah timur berbatasan dengan desa muara bakti 4 Sebelah barat berbatasan dengan desa bahagia

(56)
[image:56.595.135.514.126.453.2]

1. Jarak dari Pusat Pemerintahan Kecamatan: 1 km 2. Jarak dari Pusat Pemerintahan Kota : 25 KM 3. Jarak dari Kota/ Ibukota Kabupaten : 25 KM 4. Jarak dari Ibukota Provinsi : 97 KM

Tabel 3.1

Luas Wilayah Menurut Penggunaan

NO Wilayah Penggunaan Luasnya

1 Luas Pemukiman 104,65 ha

2 Luas Persawahan 134,55 ha

3 Luas Perkebunan 22,95 ha

4 Luas Kuburan 2,99 ha

5 Luas Pekarangan 11,99 ha

6 Perkantoran 5,98 ha

7 Luas Prasarana Umum Lainnya 5,98 ha

Total Luas 299,07 ha

Sumber data Desa Kedung Jaya Tahun 2015-201648

Iklim dan Curah Hujan di Desa Kedung Jaya sebesar 1000-2000 Mm, jumlah bulan hujan yakni 5 bulan dan suhu rata rata harian 30-34 c, bulan hujan yaitu pada bulan November sampai dengan bulan maret sedangkan musim kemarau jatuh pada bulan oktober dengan peralihan musim terjadi pada setiap awal musim hujan dan musim kemarau serta tinggi tempat dari permukaan laut 20 mdpl.

48

(57)
[image:57.595.123.513.108.708.2]

Penduduk keseluruhan menurut hasil pendataan berjumlah 4335 jiwa terdiri dari laki-laki 2155 jiwa dan perempuan 2080 jiwa.49 Desa kelurahan kedung jaya terdiri dari 10 RW (Rukun warga), 30 RT (Rukun Tetangga) dan 3 Dusun.

Tabel 3.2

Jumlah Penduduk Tahun 2015-2016

NO Penduduk Jumlah

1 Laki-laki 2155

2 Perempuan 2180

Jumlah 4335

Sumber data Desa Kedung Jaya Tahun 2015-201650

Tabel 3.3

Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur

NO Penduduk Menurut Kelompok Umur Jumlah

1 00-04 392

2 05-09 345

3 10-14 317

4 15-19 366

5 20-24 290

6 25-29 376

7 30-34 395

8 35-39 314

9 40-49 305

49

Desa Kedung Jaya Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi Tahun 2015-2016

50

(58)

Gambar

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA KEDUNG JAYA
Tabel 3.1  Luas Wilayah Menurut Penggunaan  ........................................ 45
Tabel 3.1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Tahun 2015-2016
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui upaya yang dilakukam oleh aparat pemerintahan setempat dalam meminimalisir perkawinan di bawah umur yang terjadi di Kelurahan Purwoharjo

Penulis sangat bersyukur karena telah menyelesaikan skripsi dengan baik, yang berjudul: “Kemandirian Berkeluarga Perkawinan Di Bawah Umur, Studi Kasus Di Desa

Adanya faktor ekonomi dalam pelaksanaan perkawinan di bawah umur dimasyarakat di Desa Tanah Towa Kecamatan Kajang menurut penulis, lebih merupakan pelengkap dan

Keunikan yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu meskipun masyarakat telah memiliki pemahaman, yang baik terhadap dampak negatif akibat perkawinan di bawah umur

Kami melakukan sosialisasi, hutbah jum,at pada masyarakat Desa di Kecamatan Bolo ini supaya bisah mengantisipasi terjadinya perkawinan di bawah umur. - Apa sebab terjadinya

Mereka melangsungkan perkawinan di bawah umur disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor keluarga/orang tua yang menyebabkan kebanyakan masyarakat Desa

Imam Gampong berpendapat tentang perkawinan di bawah umur di Desa Kute Lot Kecamatan Kebayakan Kabupaten Aceh Tengah lebih baiknya tidak dilakukan karena

Untuk dapat menanggulangi perkawinan di bawah umur tersebut Peran Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sangat di butuhkan karena dalam menanggulangi perkawinan dibawah umur bisa