Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memenuhi
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
ADE USWATUL JAMILIYAH NIM : 108044100030
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini, saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 Agustus 2011 Penulis
ii
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis. Shalawat dan salam semoga selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.
Dengan taufik dan hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini, yang berjudul “UPAYA PREVENTIF PENGHULU DALAM MENGURANGI PELAKU PERKAWINAN DI BAWAH UMUR (Studi Di Desa
Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi)”.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA, MM. selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan kewenangan
yang dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyusun
skripsi ini.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., MA., selaku Ketua Program Studi Ahwal
Al-Syakhsiyyah, kemudian Hj. Rosdiana, MA., selaku Sekretaris Jurusan Ahwal
Al-Syakhsiyyah yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Hj. Ummu Hanah Yusuf, Lc, MA., selaku dosen pembimbing skripsi yang
iii
4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
tidak lupa juga kepada staf perpustakaan, karyawan yang banyak membantu
penulis memfasilitasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
5. Kepala dan Sekretaris Desa serta seluruh warga Desa Ciwalat yang telah
memberikan izin kepada saya untuk melaksanakan penelitian ini dan banyak
membantu dalam memberikan data sehingga saya dimudahkan dalam
penyusunan skripsi.
6. Direktur dan segenap staf Rumah Sakit Syarif Hidayatullah yang telah
memberikan izin kepada saya dan membantu dalam melengkapi data sehingga
saya dimudahkan dalam penyusunan skripsi ini.
7. Teristimewa kepada Ayahanda Kasnan Suharya dan ibunda Fathiyah Sadim,
S.Ag, serta seluruh keluarga yang sangat saya cintai dan sayangi. Terima kasih
banyak atas bantuan kalian terutama dari segi keuangan, dan dukungan kalian
yang tidak terlupakan. Terima kasih juga atas doa dan pengorbanan kalian
yang tidak terhingga serta senantiasa memberi semangat tanpa jemu sehingga
penulis menyelesaikan belajar di sini dengan selamat dan sempurna. Semoga
Allah SWT menempatkan kalian di tempat orang-orang yang sholeh dan
mulia. Tidak ada yang dapat dipersembahkan sebagai balasan, melainkan
sebuah kejayaan.
8. Sahabat-sahabat saya: Yossi Febrina yang selalu menemani dalam proses
penyusunan, Hj. Ati Atiyaturohmah yang selalu memberikan masukan dan
iv
Kulsum, Wardhatul Jannah, Restya, Siti Goniah dan Aniah Nasution yang ikut
serta dalam memberi semangat. Dan tidak lupa pula kepada teman-teman
angkatan 2007/2008 jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah, teman-teman KKN 57
Rajawali, terima kasih atas kebersamaan kalian dalam menemani penulis
selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan masukan yang
positif kepada para pembaca. Penulis amat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi
ini banyak kekurangan, kekhilafan, dan kesalahan. Maka kritik dan saran yang
bersifat konstruktif sangat diharapkan dalam rangka perbaikan, dan kesempurnaan
tulisan ini.
Kepada Allah SWT, penulis memohon dan mendoakan semoga jasa baik yang
telah kalian sumbangkan menjadi ladang amal sholeh dan mendapat balasan yang
setimpal dari Allah SWT, Amin.
Ciputat, 23 Agustus 2011
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
D. Metode Penelitian ... 10
E. Review Studi Terdahulu ... 12
F. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II: LANDASAN TEORI A. Pengertian Perkawinan Di Bawah Umur ... 16
B. Dasar Hukum Perkawinan ... 30
C. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 34
D. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ... 44
E. Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Islam ... 47
BAB III: GAMBARAN UMUM DESA CIWALAT A. Sejarah Singkat Desa Ciwalat... 52
B. Letak Geografis Desa Ciwalat ... 54
vi
Di Bawah Umur ... 64
B. Upaya Penghulu Desa Ciwalat dalam Mengurangi Pelaku Perkawinan di Bawah Umur ... 67
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 73
B. Saran-Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA ... 75
LAMPIRAN 1. Wawancara ... 80
2. Surat Observasi Untuk Kepala Desa Ciwalat ... 88
3. Surat Rekomendasi Izin Penelitian Dari Desa Ciwalat ... 89
4. Surat Mohon Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi ... 90
5. Surat Wawancara Untuk RS. Syarif Hidayatullah (dr. Kandungan) ... 91
6. Surat Persetujuan Wawancara Dari RS. Syarif Hidayatullah ... 92
7. Struktur Organisasi Pemerintah Desa Ciwalat ... 93
vii
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 Kepala Desa / Lurah Desa Ciwalat ... 53
2. Tabel 2 Batas Wilayah ... 54
3. Tabel 3 Jumlah Penduduk ... 55
4. Tabel 4 Tingkat Pendidikan ... 57
5. Tabel 5 Sarana Pendidikan ... 58
6. Tabel 6 Agama Penduduk ... 59
1
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh manusia sejak zaman
dahulu, sekarang, dan masa yang akan datang bahkan sampai akhir zaman nanti.
Oleh karena itu, perkawinan merupakan masalah yang selalu hangat dibicarakan
oleh masyarakat dan di dalam percaturan hukum. Untuk itu perkawinan begitu
penting guna tercipta suatu rumah tangga yang harmonis, tentu mempunyai
aturan, arti dan hakikat. Semua itu perlu bahkan harus dimengerti dan dipahami
oleh setiap orang yang akan melaksanakan perkawinan tersebut.
Perkawinan itu sendiri menurut Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn
Muhammad Al Husainy adalah ungkapan dari sebuah akad yang mencakup
rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu untuk menghalalkan hubungan suami istri.1 Sedangkan menurut Abi Syuja‟ perkawinan merupakan sebuah akad yang
membolehkan hubungan suami istri dengan lafadz nikah “zawwaja”.2 Dengan
akad nikah, suami istri memiliki hak untuk memiliki. Namun, hak milik itu hanya
bersifat milk al-Intifa‟ (hak milik untuk menggunakan), bukan hak milk
al-Muqarabah (hak milik yang bisa dipindah tangankan seperti kepemilikan benda)
dan bukan pula milk al-Manfa‟ah (kepemilikan manfaat yang bisa dipindah
1
Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad Husainy Husny Damsyiqy
Al-Syafi‟iy, Kifayat Al-Akhyar Fi Halli Ghoyat Al-Ikhtishor, (Beirut: Daar Al-Fikr), juz II, h. 36
2Abi Syuja‟,
2
tangankan).3 Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan para ahli fiqh, diantaranya menurut ulama Hanafiyah mengatakan bahwa nikah adalah akad yang
disengaja dengan tujuan mendapatkan kesenangan.4 Sebagaimana Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga mereka dapat menjalin hubungan
satu sama lain, saling mencintai, menghasilkan keturunan serta hidup dalam
kedamaian.5
Ketentraman di sini tidak dimaksudkan dengan ketentraman dorongan
seksual yang membara, justru ketenangan gejolak batin dalam wujud manusia itu
yang dengannya ia merasakan kebahagiaan yang wajib disyukuri, dan juga
merasakan kekurangan yang harus disempurnakan. Inilah yang dimaksud dengan
ketentraman rohani sebagai salah satu syarat terciptanya sebuah kebahagiaan.6 Oleh karena itu, perkawinan merupakan sunnah Nabi saw sebagaimana telah
disebutkan dalam penggalan hadis Nabi saw, yang artinya “dan aku mengawini
wanita-wanita, barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka tidak
termasuk umatku”.7 Dalam penggalan arti hadis di atas dimaksudkan agar tidak
3
Abdul Basit Mutawwaly, Muhadarah Fi Al-Fiqh Al-Muqaran, (Mesir: t.p.,t.t.), h. 120
4
Abd Al-Rahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh Al-Mazahib Al-Arba‟ah, (Beirut: Daar Al-Fikr, 2002), juz IV, h. 3
5 Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), cet. Ke-1, h. 1
6
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), cet. Ke-1, h. 2
7
berlebihan dalam beribadah (melebihi Nabi) karena dapat menimbulkan
kekafiran.8
Kemudian dari perkawinan muncul pula hubungan orang tua dengan
anak-anaknya. Serta timbul hubungan kekeluargaan sedarah dan semenda. Oleh karena
itu, perkawinan mempunyai pengaruh yang sangat besar, baik dalam hubungan
kekeluargaan pada khususnya, maupun dalam kehidupan bermasyarakat serta
bernegara pada umumnya. Karena bila dilihat dari segi sosial suatu perkawinan,
dalam masyarakat setiap bangsa ditemui suatu penilaian yang umum, bahwa
orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang
lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.9 Maka hendaklah segenap bangsa Indonesia mengetahui seluk-beluk berbagai peraturan hukum perkawinan, agar
mereka dapat memahami dan melangsungkan perkawinan sesuai dengan
peraturan yang berlaku.10
Namun, berbeda halnya dengan sebagian masyarakat Desa Ciwalat
Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi, yang masih banyak melakukan
perkawinan di bawah umur tanpa memperhatikan dampak atau akibat yang akan
muncul serta akan ditimbulkan oleh sebuah perkawinan tersebut. Hal ini
merupakan masalah dalam masyarakat yang perlu dicarikan jalan pemecahannya.
8
Muhammad ibn Ismail Al-San‟any, Subul Al-Salam Syarh Bulug Al-Maram, (Beirut: Daar Al-Fikr, 1991), juz III, h. 213-214
9
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), cet. Ke-5, h. 48
10
4
Masyarakat kadang-kadang kurang memperhatikan keberadaan batas
umur, padahal untuk melangsungkan suatu perkawinan batas umur adalah hal
yang sangat penting, hal ini dikarenakan perkawinan tidak saja menghendaki
kematangan biologis tetapi juga kematangan psikologis. Hal tersebut berdasarkan
kekhawatiran para psikolog tentang perkawinan di bawah umur akan menemui
kegagalan karena sangat tergantung pada keadaan jiwa seseorang.11
Kenapa demikian? Karena dari perkawinan timbul suami istri yang
kemudian melahirkan sebuah tanggung jawab yang berupa hak dan kewajiban, hal
inilah yang cukup sulit untuk dilaksanakan, apalagi diantara keduanya atau salah
satunya kurang begitu memahami tentang hakikat serta tujuan dan hikmah dari
sebuah perkawinan, yaitu terbentuknya rumah tangga yang harmonis, sejahtera
dan bahagia.12 Melainkan yang akan terjadi hanyalah perselisihan dan kehidupan
dalam berumah tangga tidak bahagia dan tidak harmonis bahkan bisa berakhir
pada perceraian.
Dari hasil pengamatan dan dari data yang dihasilkan, menunjukkan bahwa
banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan di bawah umur
khususnya yang terjadi di Desa Ciwalat, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten
Sukabumi.
11Musifin As‟ad,
Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), cet. Ke-2, h. 30
12
Bahwa yang melakukan perkawinan di bawah umur itu banyak sekali
mengalami gangguan dalam berumah tangga, diantaranya sebagai berikut:
1. Sering terjadi percekcokan, sehingga dalam mengarungi kehidupan rumah
tangga tidak harmonis.
2. Kebanyakan orang yang melakukan perkawinan di bawah umur menjadi
beban bagi orang tuanya, dikarenakan belum bisa mencari nafkah.
Dan bila dilihat dari sudut kesehatan, bagi orang yang melakukan
perkawinan di bawah umur jika terjadi kehamilan pada seorang perempuan yang
belum dewasa, tubuh dan alat kandungannya belum siap betul untuk
menyelengarakan tugas tersebut. Sehingga beban yang berat oleh yang
bersangkutan dengan kehamilan dan persalinan dapat diperolehnya. Akan tetapi,
dalam keadaan demikian, kemungkinan terjadi gangguan pada kehamilan dan
persalinan tersebut.
Sehubungan dengan masalah perkawinan di bawah umur, maka dalam
penjelasan umum Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menurut
prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah matang jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara
baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan
sehat.13
6
Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 7
ayat (1) menyatakan: ”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun”.
Selanjutnya dalam ayat (2) menyatakan: “Apabila pihak pria dan wanita belum
mencapai umur tersebut, maka untuk melangsungkan perkawinan diperlukan
dispensasi dari Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua
dari pihak pria maupun pihak wanita”.14
Dalam Kompilasi Hukum Islam
disebutkan pada pasal 15 ayat (1) menyatakan: “Untuk kemaslahatan keluarga
dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang
telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (1) yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19
tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”.15
Untuk mengurangi permasalahan-permasalahan yang muncul, maka harus
dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur.
Karena batas umur dalam perkawinan mempunyai makna yang sangat penting,
yaitu agar dapat dicegahnya praktek perkawinan di bawah umur, seperti halnya
yang terjadi di Desa-desa, sehingga menimbulkan banyak dampak atau akibat
yang bersifat negatif.
14
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Bandung: Citra Umbara, 2007), cet. Ke-1, h. 5
15
Berkenaan dengan hal tersebut, untuk mengurangi lebih banyak lagi
terjadinya perkawinan di bawah umur, maka dalam hal ini penghulu yang
mempunyai fungsi sebagai orang yang ditunjuk oleh masyarakat untuk
melangsungkan perkawinan, harus cermat dan tanggap serta teliti terlebih dahulu
terhadap mereka yang akan melangsungkan perkawinan, terutama sekali dengan
persyaratan-persyaratan yang mereka ajukan, dengan demikian besar harapan
kemungkinan terjadinya kekeliruan dapat dihindari.
Begitu pula upaya yang dilakukan oleh penghulu harus benar-benar
memberikan dampak positif, artinya dampak yang dapat memberikan kesadaran
kepada masyarakat bahwa perkawinan membawa resiko yang sangat besar,
lebih-lebih bila perkawinan itu dilakukan pada usia belum matang untuk melakukan
perkawinan.
Dari latar belakang di atas, penulis mencoba mengungkap
masalah-masalah tersebut dan mudah-mudahan dapat mengatasi permasalah-masalahan perkawinan
di bawah umur. Karena dengan terjadinya perkawinan tersebut dapat
menimbulkan banyak dampak terhadap lingkungan sekitar. Sehingga penulis
merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut dan mencoba mengabadikannya dalam
karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul:
8
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Setelah mengungkapkan latar belakang masalah sebagaimana yang
telah diuraikan di atas, maka penulis membatasi permasalahan pembahasan
pada aspek-aspek sebagai berikut:
a. Upaya preventif penghulu dalam mengurangi pelaku perkawinan di
bawah umur.
b. Perkawinan di bawah umur di sini adalah perkawinan yang dilaksanakan
sebelum mencapai usia 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis rumuskan
dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya perkawinan di bawah
umur dilaksanakan sebagian masyarakat Desa Ciwalat, Kecamatan
Pabuaran, Kabupaten Sukabumi ?
2. Bagaimana upaya penghulu Desa Ciwalat dalam mengurangi pelaku
perkawinan di bawah umur ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini penulis mempunyai tujuan sebagai
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
perkawinan di bawah umur dilaksanakan sebagian masyarakat Desa
Ciwalat, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Sukabumi.
2. Untuk mengetahui upaya penghulu Desa Ciwalat dalam mengurangi
pelaku perkawinan di bawah umur.
Selain itu, penulis juga mempunyai tujuan formal yaitu membuat
sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi, yang merupakan salah satu
persyaratan mendapat gelar Sarjana Syariah (S.Sy) yang telah ditentukan oleh
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, bagi mahasiswa
dan mahasiswi yang akan menyelesaikan studinya di Fakultas Syariah dan
Hukum khususnya Konsentrasi Peradilan Agama.
Sedangkan tujuan non formalnya yaitu untuk menambah ilmu
pengetahuan dibidang ilmu agama terutama yang berkaitan dengan masalah
yang sedang dibahas ini, karena dengan membahas masalah ini, penulis
berusaha semaksimal mungkin untuk membaca dan memahami buku-buku
yang berkaitan dengan masalah perkawinan di bawah umur.
Selanjutnya penulis juga mempunyai tujuan untuk memberikan
sumbangsinya terhadap Desa Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten
Sukabumi dalam upaya meminimalisir pelaku perkawinan di bawah umur
dengan cara mensosialisasikan ke masyarakat Desa tersebut dalam bentuk
10
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu dapat meminimalisir pelaku
perkawinan di bawah umur di Desa Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten
Sukabumi.
D. Metode Penelitian
Untuk memudahkan dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini penulis
menggunakan berbagai metode di antaranya sebagai berikut:
1. Metode Pengumpulan Data
a. Field Research (riset lapangan) yaitu penelitian yang dilakukan dalam
kancah kehidupan yang sebenarnya. Langkah pertama dalam penulisan
atau penelitian ini adalah menentukan populasi, dimana yang dijadikan
obyek penelitian adalah kantor Desa Ciwalat, Kecamatan Pabuaran,
Kabupaten Sukabumi.
b. Library Research (riset perpustakaan) yaitu penelitian yang bertujuan
untuk mengumpulkan data atau informasi dengan bantuan
bermacam-macam materi yang terdapat di ruang perpustakaan.16
Untuk mengambil dan mendapatkan data serta informasi di lapangan
(tempat penelitian) penulis mempergunakan metode-metode pengumpulan data
sebagai berikut:
16
1. Metode Interview
Interview adalah: ”Cara pengumpulan data yang dilakukan dengan bertanya
dan mendengarkan jawaban langsung dari sumber utama data”.17 Dalam interview ini penulis menggunakan interview terstruktur maksudnya adalah
penulis membawakan kerangka-kerangka pertanyaan untuk disajikan kepada
penghulu, pejabat desa, tokoh masyarakat, tokoh agama dan anggota
masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah umur.
2. Metode Observasi
Observasi adalah: ”Pengamatan-pengamatan dan pencatatan-pencatatan
dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki”. Di sini penulis hanya
melakukan pengamatan terhadap obyek yaitu penghulu, pejabat desa, tokoh
masyarakat, tokoh agama dan anggota masyarakat yang melakukan
perkawinan di bawah umur.
3. Metode Penulisan
Dari data-data yang diperoleh di atas, kemudian disusun secara teratur dan
sistematis lalu dianalisis secara kualitatif, dengan demikian jenis penelitian
dalam karya ilmiah ini adalah penelitian kualitatif.18 Adapun teknik penulisan,
penulis menggunakan buku ”Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007”.
17
Ronny Kountur, Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Sekolah Tinggi Managemen), h. 186
18
12
E. Review Studi Terdahulu
Untuk memudahkan dan meyakinkan pembaca bahwa penulis tidak
melakukan plagiasi atau duplikasi maka penulis menjabarkan review studi
terdahulu dalam bentuk tabel berikut ini:
No. Identitas Substansi Pembeda
1. Riana Maruti,
104044201479, SJAS,
2009, Pengaruh
Perkawinan di Bawah
Umur terhadap Pembentukan Keluarga Sakinah (Studi pada Kecamatan Cakung, Jakarta Timur). Dalam skripsinya
ditulis bahwa tidak
setiap laki-laki dan
perempuan yang
melakukan perkawinan
di bawah umur tidak
dapat membentuk
keluarga sakinah
(Perkawinan di Bawah
Umur tidak
Mempengaruhi
Pembentukan Keluarga
Sakinah di Kecamatan
Cakung, Jakarta
Timur).
Dalam skripsi yang
akan saya tulis tidak
membahas tentang
pengaruh perkawinan
di bawah umur,
melainkan lebih
kepada bagaimana
upaya penghulu dalam
mengurangi pelaku
perkawinan di bawah
umur di Desa Ciwalat,
Kecamatan Pabuaran,
2. Renny Retno Waty,
205044100578, 2010,
Pengaruh Pernikahan
di Bawah Umur
terhadap
Kesejahteraan Rumah
Tangga (Studi Kasus
pada Masyarakat Desa
Tanjung Sari,
Kecamatan Cijeruk,
Kabupaten Bogor).
Dalam skripsinya
ditulis bahwa
pernikahan di bawah
umur yang terjadi pada
masyarakat Desa
Tanjung Sari,
Kecamatan Cijeruk,
Kabupaten Bogor dapat
mempengaruhi terhadap
kesejahteraan rumah
tangga, Adapun
penyebab banyaknya
pernikahan tersebut
karena faktor ekonomi
yang lemah dan
kebiasaan atau
adat-istiadat masyarakat
setempat.
Dalam skripsi yang
akan saya tulis tidak
membahas tentang
pengaruh pernikahan di
bawah umur,
melainkan lebih
kepada bagaimana
upaya penghulu dalam
mengurangi pelaku
perkawinan di bawah
umur di Desa Ciwalat,
Kecamatan Pabuaran,
14
3. Sa‟dah,
106044101372, 2010,
Pelaksanaan Nikah di
Bawah Umur dan
Dispensasi Nikah pada Masyarakat Kelurahan Margahayu, Bekasi Timur. Dalam skripsinya
ditulis bahwa di
Kelurahan Margahayu,
Bekasi Timur banyak
masyarakat yang
melakukan nikah di
bawah umur dan tidak
mendapatkan dispensasi
nikah dari Pengadilan
Agama setempat, dikarenakan kurang pengetahuan tentang dispensasi nikah. Adapun penyebab banyaknya pernikahan
tersebut karena faktor
ekonomi, dorongan
keluarga, dan
kecelakaan.
Dalam skripsi yang
akan saya tulis tidak
membahas tentang
pelaksanaan nikah di
bawah umur yang tidak
mendapatkan
dispensasi nikah dari
pengadilan, melainkan
lebih kepada
bagaimana upaya
penghulu dalam
mengurangi pelaku
perkawinan di bawah
umur di Desa Ciwalat,
Kecamatan Pabuaran,
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan
sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab Pertama yaitu: Pendahuluan, yang di dalamnya meliputi: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu
dan Sistematika Penulisan.
Bab Kedua yaitu: Landasan Teori, yang di dalamnya membahas: Pengertian Perkawinan di Bawah Umur, Dasar Hukum Perkawinan, Rukun
dan Syarat Perkawinan, Tujuan dan Hikmah Perkawinan dan
Prinsip-prinsip Perkawinan menurut Islam.
Bab Ketiga yaitu: Gambaran Umum Desa Ciwalat, yang di dalamnya membahas: Sejarah Singkat Desa Ciwalat, Letak geografis Desa
Ciwalat dan Pandangan warga Desa Ciwalat tentang Perkawinan
di Bawah Umur
Bab Keempat yaitu: Analisis Data, yang di dalamnya membahas: Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan di Bawah Umur dan
Upaya Penghulu Desa Ciwalat dalam Mengurangi Pelaku
Perkawinan di Bawah Umur.
16
BAB II
LANDASAN TEORI A. Pengertian Perkawinan di Bawah Umur
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang
menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh.1 Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah (nakaha - yankihu - nikaahan) yang menurut bahasa
artinya mengumpulkan (al-Dlammu) atau bersetubuh (al-Wathu).2
Dalam hukum Islam, terdapat beberapa definisi nikah, diantaranya yaitu:
Definisi nikah menurut bahasa
“Nikah menurut bahasa yaitu mengumpulkan dan bersetubuh, atau merupakan ibarat untuk menghalalkan hubungan suami istri dengan akad secara keseluruhan”.
Definisi nikah menurut istilah
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. Ke-3, edisi ketiga, h. 518.
2
Syaikh Zakariyya Al-Anshoriy, Haasyiyat Al-„Allamat Al-Syaikh Sulaiman Al-Jamal „Ala Syarh Al-Manhaj, (Beirut: Daar al-Fikr), juz IV, h. 115
3
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa adillatuh, (Beirut: Daar al-Fikr, 1989), juz VII, h. 29
4
Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad Husainy Husny Damsyiqy
“Nikah menurut syara‟ yaitu ibarat tentang akad yang masyhur yang terdiri dari rukun-rukun dan syarat-syarat, yang dengan akad tersebut maka dibolehkan bersetubuh”.
Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan kata nikah dengan:
“Nikah menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki”.
Abu Yahya Zakariya al-Anshory mendefinisikan kata nikah dengan:
“Nikah menurut istilah yaitu akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya ”.
Di kalangan ulama fikih, berkembang tiga macam pendapat tentang arti
lafaz nikah, yaitu:7
Pertama: Nikah menurut arti aslinya (arti hakikat) adalah bersetubuh, sedangkan
menurut arti majazi (metaforis) adalah akad yang dengan akad ini menjadi halal
hubungan kelamin antara pria dan wanita; demikian menurut golongan Hanafi.
Kedua: Nikah menurut arti aslinya ialah akad yang dengan akad ini menjadi halal
5
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuh, h. 29
6
Abu Yahya Zakariya Al-Anshory, Fath Al-Wahhab, (Singapura: Sulaiman Mar‟iy), juz II, h.
30
7
18
hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti majazi ialah
bersetubuh; demikian menurut golongan Syafi‟iyah dan Malikiyah. Ketiga:
Nikah, bersyarikat artinya antara akad dan setubuh; demikian menurut Abu
al-Qasim az-Zajjad, Imam Yahya, dan Ibnu Hazm.
Beberapa arti nikah di atas, pada hakikatnya tidak ada perbedaan
kalaupun ada perbedaan hanya pada redaksinya saja. Dalam hal ini, jumhur
ulama sependapat, bahwa nikah merupakan akad yang diatur oleh agama, untuk
memberikan kepada pria hak memiliki penggunaan faraj (kemaluan) wanita dan
seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer.8
Perkawinan adalah perjanjian perikatan antara pihak seorang pria dengan
pihak seorang wanita untuk melaksanakan kehidupan suami istri, hidup berumah
tangga, melanjutkan keturunan sesuai ketentuan agama.9
Pernikahan adalah akad yang menimbulkan akibat hukum yaitu
menghalalkan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong
menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya.10
Dalam Bab 1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara
8
Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), jilid 1, cet. Ke-1, h. 116
9
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987), cet. Ke-2, h. 8
10
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.11
Pengertian perkawinan yang tercantum dalam Bab 1 Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berbeda dengan pengertian
perkawinan menurut hukum perdata (B.W.), karena di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (B.W.) disebutkan bahwa
perkawinan hanya dalam hubungan-hubungannya dengan keperdataan.12
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengertian perkawinan
menurut hukum perdata adalah suatu ikatan hukum antara seorang pria dan
seorang wanita yang diakui sah oleh Undang-Undang Hukum Perdata (negara)
dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang kekal.13
Suatu ikatan perkawinan akan dianggap sah oleh negara, apabila
perkawinan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terutama dalam hal batas usia
perkawinan yang tercantum dalam pasal 7 ayat (1) yang berbunyi: “Perkawinan
11
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, h. 2
12
Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), (Jakarta: Visimedia, 2008), cet. Ke-2, h. 8
13
20
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.14
Berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan di atas, maka asumsi penulis adalah yang dimaksud dengan
perkawinan di bawah umur dalam konteks Negara merupakan sebuah
pelanggaran terhadap batas minimal usia menikah yang telah ditetapkan oleh
Undang-Undang Perkawinan pasal 7 ayat (1) yaitu pihak laki-laki umur 19
(Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun.
Kedewasaan seseorang, apabila dilihat dari berbagai ketentuan hukum
yang berlaku sangatlah beragam. Umumnya ketentuan yang berlaku atas
kedewasaan seseorang didasarkan pada status perkawinan yang pernah dilakukan
dan usia. Seseorang dianggap dewasa, selain karena ia sudah menikah juga
didasarkan pada usia yang menurut ketentuan hukum sudah dewasa. Kedewasaan
berdasarkan usia ini merupakan salah satu parameter yang bersangkutan
telah dianggap cakap dan berhak atas apa yang diatur oleh ketentuan hukum.
Dalam hukum, kedewasaan berdasarkan usia merupakan salah satu unsur
terpenting bagi seorang subyek hukum. Meskipun terdapat upaya dispensasi atau
toleransi atas besaran usia yang disahkan oleh pengadilan, namun subyek hukum
dapat dikatakan belum cakap hukum apabila yang bersangkutan belum memiliki
14
kecukupan usia. Misalnya dalam hukum perdata kita, salah satu syarat sahnya
perjanjian menurut Pasal 1320 BW adalah adanya pihak-pihaknya yang cakap
(berkemampuan) untuk melakukan perbuatan hukum yang salah satu
parameternya adalah kecukupan usia. Dengan usia yang belum mencukupi
seseorang tidak dapat melakukan perbuatan hukum perdata dengan sendirinya
(kecuali sudah menikah atau disahkan pengadilan).15
Adapun besaran usia dewasa menurut berbagai ketentuan hukum yang
berlaku di Indonesia, yaitu:
1. Menurut konsep Hukum Perdata
Pendewasaan ada 2 macam, yaitu pendewasaan penuh dan
pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas). Keduanya
harus memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang. Untuk pendewasaan
penuh syaratnya telah berumur 20 tahun penuh. Sedangkan untuk
pendewasaan terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh (pasal
421 dan 426 KUHPerdata).16
Untuk pendewasaan penuh, prosedurnya ialah yang bersangkutan
mengajukan permohonan kepada Presiden RI dilampiri dengan akta kelahiran
atau surat bukti lainnya. Presiden setelah mendengar pertimbangan
Mahkamah Agung, memberikan keputusannya. Akibat hukum adanya
15
Tim Bedah Hukum, Kedewasaan Seseorang Berdasarkan Besaran Usia Menurut Berbagai Ketentuan Hukum, (Diakses dari http://bedahukum.blogspot.com/2009/12/kedewasaan-seseorang-berdasarkan.html), pada tanggal 22 September 2011 pukul 08.40 WIB
16
22
pernyataan pendewasaan penuh ialah status hukum yang bersangkutan sama
dengan status hukum orang dewasa. Tetapi bila ingin melangsungkan
perkawinan izin orang tua tetap diperlukan.
Untuk pendewasaan terbatas, prosedurnya ialah yang bersangkutan
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang
dilampiri akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Pengadilan setelah
mendengar keterangan orang tua atau wali yang bersangkutan, memberikan
ketetapan pernyataan dewasa dalam perbuatan-perbuatan hukum tertentu saja
sesuai dengan yang dimohonkan, misalnya perbuatan mengurus dan
menjalankan perusahaan, membuat surat wasiat. Akibat hukum pernyataan
dewasa terbatas ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status
hukum orang dewasa untuk perbuatan-perbuatan hukum tertentu. 17
2. Menurut konsep Hukum Pidana
Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Yang
disebut umur dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21
tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak
dan acaranya berlaku hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun,
yang menurut hukum perdata belum dewasa. Yang berumur 17 tahun dan
telah kawin tidak lagi termasuk hukum pidana anak, sedangkan belum cukup
17
umur menurut pasal 294 dan 295 KUHP adalah ia yang belum mencapai umur
21 tahun dan belum kawin sebelumnya. 18
3. Menurut konsep Peraturan Lalu Lintas
Dalam peraturan Undang-Undang Lalu Lintas (UU No. 22 Tahun
2009) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan usia dewasa adalah usia yang
sudah mencapai 17 tahun. Sebagaimana bunyi Pasal 81 ayat 2: "Syarat usia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai
berikut:
a. Usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin
Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D;
b. Usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I, dan
c. Usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II.
Sedangkan menurut penganut aliran psikoanalisis, pada hakikatnya alam
perkembangan usia remaja adalah usaha penyesuaian diri (coping), yaitu untuk
secara aktif mengatasi stress dan mencari jalan keluar baru dari berbagai
masalah. Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada tiga tahap
perkembangan remaja, yaitu: 19
18
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), (Surabaya: Kesindo, 2008), cet. Ke-2, h. 97-98
19
24
1. Tahap remaja awal (12-15 tahun)
Pada tahap ini, seorang remaja masih terheran-heran akan
perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang
menyertai perubahan-perubahan itu. Kepekaan yang berlebih-lebihan
ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego”. Hal ini menyebabkan
para remaja sulit untuk mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa.
2. Tahap remaja pertengahan (15-18 tahun)
Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau
banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan “narcistic”, yaitu
mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang mempunyai
sifat-sifat yang sama dengannya.
3. Tahap remaja akhir (19-22 tahun)
Pada tahap ini, merupakan masa konsolidasi menuju periode dewasa dan
ditandai dengan pencapaian lima hal di bawah ini:
a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek;
b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan dalam
pengalaman-pengalaman baru;
c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi;
d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti
dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain;
e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan
Selain itu, perkawinan di bawah umur pun masuk dalam kategori
ekploitasi anak, sepanjang hal itu tidak mengikuti ketentuan dan hukum yang
berlaku. Seorang anak yang masih berada dalam asuhan orang tuanya seharusnya
mendapatkan kesempatan untuk belajar dan kehidupan yang layak. Sedangkan
perkawinan di bawah umur jelas akan merampas semua hak anak di atas.
Seorang anak yang seharusnya mendapatkan kesempatan belajar yang layak
justru harus dipaksa menjalani sebuah perkawinan yang masih belum saatnya dia
pikul. Usia anak-anak adalah usia mendapatkan pendidikan seluas-luasnya,
bukan membawa beban kehidupan.20
Kebijakan pemerintah tersebut, dalam menetapkan batas minimal usia
pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini
dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik,
psikis dan mental. Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan di bawah umur
mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan.
Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan di bawah umur
dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang
masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat
pernikahan di bawah umur dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak
20
26
dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan di atas
umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.21
Akan tetapi, dalam konteks agama Islam yang dimaksud dengan
perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan oleh salah satu
atau kedua calon mempelai (laki-laki dan perempuan) yang belum mencapai usia
baligh. Dalam menyikapi hal tersebut, terdapat sekelompok ulama (Ibnu
Syubrumah dan Abu Bakr al Ashom) yang melarang perkawinan anak-anak
sebelum mereka sampai pada usia kawin (baligh).22 Mereka beralasan dengan firman Allah:
۴
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin”. (Q.S. An-Nisa:4 : 6)
Apabila dilihat dari kandungan ayat di atas, dapat dipahami bahwa tidak
ada ketentuan mengenai batas minimal usia menikah baik untuk laki-laki maupun
perempuan, hanya saja yang menjadi ukuran dibolehkannya seseorang menikah
adalah sudah mencapai usia baligh.
21
Yusuf Fatawie, Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama dan Negara, diakses dari (http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1240:pernikahan -dini-dalam-perspektif-agama-dan-negara&catid=2:islam-kontemporer&Itemid=57), tanggal 29 Juni 2011 pukul 09.06 WIB
22
Adapun bagi laki-laki ditandai dengan mendapat mimpi basah ketika tidur
dan wanita ditandai dengan keluarnya darah haid (menstruasi). Tidak
mengherankan, wacana perkawinan di bawah umur (nikah al-shaghirah) justru
berkonotasi positif, jika hal itu dilakukan atas pertimbangan kemaslahatan moral
dan agama. Hanya saja fuqaha menggarisbawahi, gadis-gadis yang dikawinkan di
usia kanak-kanak itu baru boleh “digauli”, jika mereka telah mengalami
menstruasi (haid).23
Dasarnya adalah hadis perkawinan Nabi Muhammad saw dengan „Aisyah
r.a. yang dinikahi di usia 6 tahun, dan baru “dikumpuli” ketika telah berusia 9
tahun (usia haid), sebagai berikut:
23
28
“Diriwatkan dari „Aisyah r.a. dia telah berkata: “Rasulullah saw telah mengawini aku ketika aku berumur enam tahun dan tinggal bersamaku pada waktu aku berumur sembilan tahun”. Aisyah menyambung lagi: “kami telah berhijrah ke Madinah dan aku demam panas selama sebulan sehingga rambutku memanjang sampai bahu. Ketika itu ibu kandungku, Ummu Ruman, datang menemuiku yang sedang berada di atas buaian bermain bersama teman-temanku, lalu dia memanggilku dan aku segera menemuinya sedangkan aku tidak mengetahui apa yang hendak dia lakukan terhadapku. Ibuku memegang tanganku dan membawaku masuk ke dalam rumah sehingga dia memberhentikanku di pintu dan aku melepaskan lelahku sehingga keadaanku menjadi tenang. Selepas itu ibuku membawa aku masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba seorang wanita Anshor menyambut kami dengan mesra serta mendoakan untuk pengantin supaya diberi kesenangan dan keberkatan. Ibuku menyerahkan aku kepada mereka lalu mereka membelai kepalaku dan menghiasi diriku secantik mungkin. Rasulullah saw tidak menghampiriku secara tiba-tiba tetapi perempuan-perempuan Anshor menyerahkan diriku kepada beliau ketika waktu dhuha”. (H.R. Bukhori dan Muslim)
Meskipun hadis di atas menyebutkan bahwa dahulu diantara anak
perempuan usia 9 (sembilan) tahun identik sudah baligh atau dewasa, karena
sudah mendapat haid (menstruasi). Akan tetapi tidak semua perempuan, namun
pada saat ini batas usia dewasa bagi mayoritas anak perempuan lebih cepat
dibandingkan dengan anak perempuan zaman dahulu, bahkan di usia SD kelas 5
atau 6 sudah ada tanda dewasa.
Cepatnya masa puber anak perempuan saat ini diduga karena terkait
obesitas yang memang berhubungan erat dengan perkembangan seksual yang
lebih dini. Menurut Dr. Marcia E. Herman-Giddens, seorang peneliti di
24
University of North Carolina, Chapel Hill menduga bahwa bahan kimia
lingkungan seperti makanan cepat saji (instan) yang menyerupai efek estrogen
dapat mempercepat masa pubertas.25
Di Indonesia, rata-rata usia dewasa anak perempuan dimulai saat berumur
8 (delapan) hingga 10 (sepuluh) tahun. Pada masa ini memang pertumbuhan dan
perkembangan berlangsung dengan cepat. Selain itu, seorang anak akan
menunjukkan tanda-tanda awal dari pubertas, seperti suara yang mulai berubah,
tumbuhnya rambut-rambut pada daerah tertentu dan payudara membesar untuk
seorang gadis. Untuk seorang anak perempuan, tanda-tanda itu biasanya muncul
pada usia 10 tahun ke atas dan pada anak laki-laki, biasanya lebih lambat, yaitu
pada usia 11 tahun ke atas.26
Dari sudut pandang yang berbeda, pakar hukum Islam kontemporer
menghendaki terobosan hukum terkait dengan legalitas perkawinan anak di
bawah umur. Mereka melihat bahwa agama pada dasarnya tidak melarang secara
tegas perkawinan di bawah umur, namun juga tidak pernah menganjurkannya,
terlebih jika dilaksanakan tanpa mengindahkan dimensi-dimensi fisik, mental,
dan hak-hak anak. Adapun perkawinan historis Nabi saw dengan „Aisyah r.a. itu
25
Cincinnati, Anak Perempuan Sekarang Sudah Puber di Usia 7-8 Tahun, diakses dari (http://faktabukanopini.blogspot.com/2011/01/anak-perempuan-sekarang-sudah-puber-di.html), tanggal 20 Juli 2011 pukul 06.26 WIB.
26
Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pubertas, tanggal 22 Agustus 2011 pukul 08.06
30
diposisikan sebagai suatu eksepsi (pengecualian) dan kekhususan yang
mengusung tujuan dan hikmah tertentu dalam agama.27
B. Dasar Hukum Perkawinan
Al-Qur‟an dan hadits merupakan dua sumber hukum yang menjadi
pedoman agama Islam, termasuk dalam perkawinan kedua sumber hukum ini pun
turut dijadikan sebagai pedoman. Sebagaimana dalam firman-Nya telah
disebutkan, yaitu:
)
28
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami telah memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan”. (Q.S. ar-Ra‟d : 13 :38)
Dalam hadits Tirmidzi dari Abu Ayyub, Rasulullah saw pernah bersabda:
29
“Empat perkara yang merupakan sunnah para Nabi: Celak, wangi-wangian, siwak dan kawin”.
27
Yusuf Hanafi,Perkawinan Anak di Bawah Umur (Nikah al-Shaghirah) dalam Islam: Studi tentang Kontroversi Hadis Perkawinan „Aisyah, diakses dari (http://eprints.sunan-ampel.ac.id/83/1/Yusuf_Hanafi.pdf), tanggal 29 Juni 2011 pukul 09.13 WIB
28
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surabaya: al-Hidayah, 1998), h. 376
29
Dalam fakta kehidupan, terkadang ditemukan orang yang ragu-ragu untuk
melakukan kawin, dengan alasan sangat takut memikul beban berat dan
menghindarkan diri dari kesulitan-kesulitan. Islam memperingatkan bahwa
dengan kawin, Allah akan memberikan kepadanya penghidupan yang
berkecukupan, menghilangkan kesulitan-kesulitan dan memberikan kekuatan
yang mampu mengatasi kemiskinan. Sebagaimana Allah telah berfirman dalam
surat al-Nur ayat 32:
۴
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Nur : 24: 32)
Dalam hadits Bukhori, Rasulullah saw pernah bersabda:
31
30
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 549
31
32
“Dari „Abdullah r.a. berkata: “Pada zaman Rasulullah saw, kami adalah pemuda-pemuda yang tidak memiliki apa-apa. Rasulullah saw berkata kepada kami: “Wahai para pemuda! Siapa yang mampu berumah tangga, kawinlah! Perkawinan itu melindungi pandangan mata dan memelihara kehormatan. Tetapi siapa yang tidak sanggup kawin, berpuasalah, karena puasa itu merupakan penawar hawa nafsu”. (H.R. Bukhori)
Hadits di atas menjelaskan bahwa perkawinan itu dianjurkan karena
memiliki manfaat yang tidak hanya untuk sendiri melainkan juga untuk keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Bahwa dengan perkawinan tersebut, seseorang
akan terhindar dari hal-hal negatif yang akan menjerumuskan dirinya. Dan jika
seseorang itu tidak sanggup untuk melakukan perkawinan maka diwajibkan
untuk berpuasa, karena dengan berpuasa akan terhindar berbuat zina.32
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
disebutkan bahwa yang menjadi dasar hukum dibolehkannya suatu perkawinan
tercantum dalam Bab 1 Pasal 2 yang berbunyi: 33 Pasal 2
1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
32
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, Khitbah, Nikah dan Talak, (Jakarta: Amzah, 2009), cet. Ke-1, h. 45
33
Dalam pasal 2 ayat 1 yang dimaksud dengan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya yaitu ketentuan perundang-undangan yang
berlaku bagi agamanya dan kepercayaannya itu, sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang ini.
Di kalangan para ulama, mengenai hukum asal perkawinan terdapat
perbedaan pendapat, yaitu sebagai berikut:
1. Pendapat pertama, memandang bahwa menikah hukumnya adalah wajib.
Pendapat ini dipelopori oleh Daud az-Zahiri dan Ibnu Hazm. Alasan mereka
yaitu bahwa fi‟il amar yang terdapat di dalam al-Qur‟an dan hadits, terutama
pada surat an-Nisa ayat 3 dan surat an-Nur ayat 32 menunjukkan perintah
wajib. 34
2. Pendapat kedua, memandang bahwa menikah hukumnya adalah sunnah
(dianjurkan). Dalilnya adalah bahwa amar dalam ayat (fankihuu) pada surat
an-Nisa ayat 3 dan hadits Bukhori (falyatazawwaj) adalah bentuk amar yang
disebut amar irsyad, yaitu suatu perintah untuk kemaslahatan umat manusia
demi terciptanya suatu ketenangan dan kedamaian di lingkungan sekitarnya.
Demikian menurut jumhur ulama termasuk Imam Syafi‟i. 35
34
Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Masalah Pernikahan, h. 133
35
34
Hukum menikah apabila ditinjau dari kondisi seseorang, ada lima macam
yaitu:36
a. Hukum nikah menjadi wajib, bagi orang yang takut akan terjerumus ke dalam
lembah perzinaan jika ia tidak menikah. Karena dalam kondisi seperti ini,
nikah dapat membantunya menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan.
b. Hukum nikah menjadi sunnah, bagi orang yang telah mempunyai kemauan
dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin
tidak dikhawatirkan akan berbuat zina.
c. Hukum nikah bisa menjadi haram, bagi seorang muslim yang belum mampu
memenuhi nafkah batin dan lahir kepada istrinya serta nafsunya pun tidak
mendesak, maka haramlah ia kawin.
d. Hukum nikah menjadi makruh, bagi orang yang mempunyai kemampuan
untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk
menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina
sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang
kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.
e. Hukum nikah menjadi mubah atau dibolehkan, bagi orang yang mempunyai
kemampuan untuk melakukan perkawinan, tetapi apabila tidak melakukannya
tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan
menelantarkan istri.
36
C. Rukun dan Syarat Perkawinan
Dalam upacara pernikahan terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi.
Keduanya terdapat perbedaan. Rukun nikah adalah merupakan bagian dari
hakikat akan kelangsungan perkawinan seperti laki-laki, perempuan, wali dan
sebagainya. Sedangkan syarat nikah adalah sesuatu yang pasti atau harus ada
ketika pernikahan berlangsung, tetapi tidak termasuk pada salah satu bagian dari
hakikat pernikahan, misalnya kedua calon mempelai, dewasa (baligh), berakal
dan sebagainya. 37 1. Rukun Perkawinan
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas: 38 a. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
c. Adanya dua orang saksi.
d. Sighat akad nikah, yaitu ijab Kabul yang diucapkan oleh wali atau
wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
2. Syarat Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.
Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan
menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
37
Imam „Alau al-Din Abi Bakr Ibnu Mas‟ud al-Haasaani al-Hanafi, Badaai‟u al-Shonaai‟I Fi Tartib al-Syarai‟i, (Beirut: Daar al-Fikr), Juz 2, h. 348
38
36
Adapun syarat-syarat sahnya dapat diperinci, sebagai berikut: 39 a. Syarat-syarat calon pengantin pria.
1) Calon suami beragama Islam.
Ketentuan ini ditetapkan, karena dalam hukum Islam laki-laki
merupakan pemimpin dalam rumah tangga dan setiap pemimpin harus
ditaati. Oleh karena itu, karena berlaku hukum kebiasaan istri harus
taat kepada suami. Maka dalam memilih calon suami pun hendaknya
menganut agama yang sama, yaitu Islam. Sebagaimana tercantum
dalam surat Al-Mumtahanah: 10, sebagai berikut:
:
:
“…. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu…”( Q.S.Al-Baqarah: 2: 221)
2) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki.
3) Orangnya diketahui dan tertentu.
Calon mempelai laki-laki yang akan dinikahi sudah jelas
orangnya, dan merupakan laki-laki pilihan baik untuk calon mempelai
wanita maupun orang tua calon mempelai wanita.
39
4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.
5) Calon mempelai laki-laki tahu / kenal dengan calon istri, serta tahu
betul calon istri tersebut halal baginya.
6) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.
7) Tidak sedang melakukan ihram.
8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
Calon mempelai laki-laki tidak mempunyai istri yang mempunyai
hubungan kerabat atau persusuan dengan calon mempelai wanita, yang jika
calon mempelai laki-laki itu hendak berpoligami dengan calon mempelai
wanita. Maka hal tersebut diharamkan, sebagaimana dalam firman Allah
disebutkan:
۴
:
“Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara…” (Q.S.An-Nisa: 4: 23)
Dalam kandungan ayat di atas, dapat dipahami bahwa diharamkan kepada
laki-laki yang mengumpulkan dua orang wanita mahram secara bersamaan,
seperti antara wanita dan saudara perempuan bapaknya, atau antara wanita
dan saudara perempuan ibunya. 40
40
38
Adapun wanita-wanita yang haram untuk dinikahi karena nasab, yaitu
sebagai berikut: 41
a) Ibu;
b) Anak perempuan;
c) Saudara perempuan;
d) Bibi dari pihak ibu;
e) Bibi dari pihak ayah;
f) Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan);
g) Anak perempuan saudara perempuan (keponakan).
9) Tidak sedang mempunyai istri empat.
b. Syarat-syarat calon pengantin wanita.
1) Beragama Islam.
Calon mempelai laki-laki muslim hanya dibolehkan menikah dengan wanita
muslimah. Sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah, sebagai berikut:
:
:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Q.S.Al-Baqarah: 2: 221)
41
2) Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci).
3) Wanita itu tentu orangnya.
Calon mempelai wanita yang akan dinikahi sudah jelas orangnya, dan
merupakan wanita pilihan baik untuk calon mempelai laki-laki maupun orang
tua calon mempelai laki-laki.
4) Halal bagi calon suami.
5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak dalam masa iddah.
6) Tidak dipaksa / ikhtiyar.
7) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umroh.
c. Syarat-syarat ijab qobul.
Mengenai lafaz yang digunakan untuk akad nikah, terdapat perbedaan
pendapat. Pendapat pertama, mengatakan bahwa lafaz nikah menggunakan nikah
atau tazwij, karena dua lafaz tersebut terdapat di dalam Kitabullah dan Sunnah.
Demikian pendapat Imam Syafi‟i dan Hambali. 42
Adapun dalilnya, sebagai
berikut:
Firman Allah swt dalam surat An-Nisa ayat 22 dan Al-Ahzab ayat 37
:
۴
:
42
40
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu…” (Q.S. An-Nisa : 4: 22)
:
:“….Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia, supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya…”.(Q.S.Al-Ahzab : 33 : 37)
Hadis Nabi Muhammad saw
“Telah diriwayatkan oleh Ahmad Ibnu Abi „Amr kepada Abi Ibrahim, Yunus, Hasan, Ma‟qil Ibnu Yasar bahwasannya telah tiba saatnya aku menikahkan saudara perempuanku kepada seorang laki-laki kemudian ia mentalaknya, sehingga apabila telah habis masa iddahnya maka ia boleh melamarnya (mengkhitbah) kembali, maka aku berkata kepadanya aku nikahkan kamu, aku berikan tempat tinggal untukmu, dan aku muliakan kamu…” (H.R. Bukhori)
43
Pendapat kedua, mengatakan bahwa akad nikah itu dianggap telah
terlaksana dengan menggunakan lafaz hibah, sedekah, jual beli dan kepemilikan
(malaka).44 Dengan alasan kata-kata ini adalah majaz (kiasan) yang biasa juga
digunakan dalam bahasa sastra atau bahasa yang artinya perkawinan. Demikian
pendapat Imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Abu Ubaid, Abu Dawud dan Abu
Tsaur.45 Adapun dalilnya, sebagai berikut:
Firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 50
:
:
“…Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi, apabila Nabi ingin menikahinya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin...” (Q.S.Al-Ahzab : 33: 50)
44
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat), h. 114
45
42
Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa yang menjadi kekhususan bukan
pada penggunaan kata hibah pada akad nikah, melainkan pada akad nikah
tanpa mahar, sebagaimana ayat lanjutannya. 46
:
:(
“… Sesungguhnya kami Telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu…” (Q.S. Al-Ahzab: 33: 50)
Pendapat ketiga, mengatakan bahwa secara khusus, shighat akad nikah
mempunyai tiga bentuk, yaitu lafaz nikah (pernikahan), zawaj (perkawinan)
dan hibah (pemberian). Tetapi shighat lafaz hibah wajib dibarengi penyebutan
mahar (maskawin) tertentu. Misalnya, “aku berikan kepada engkau putriku
dengan mahar 1.000 dinar” atau dibarengi dengan penyerahan diri (tafwidh),
misalnya “aku berikan kepada engkau putriku ini dengan penuh penyerahan”.
Tidak sah akad nikah yang menggunakan lafaz hibah tidak dibarengi dengan
penyebutan mahar tertentu atau penyerahan diri. 47 Demikian pendapat Imam Maliki, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis Nabi saw, sebagai berikut:
46
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat (Khitbah, Nikah dan Talak), h. 65
47
“Nabi saw pernah menikahkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan, dan beliau berkata: Sesungguhnya telah kujadikan ia milikmu dengan (mahar) hafalan Al-Qur‟an yang ada padamu”. (H.R. Bukhori)
Dari ketiga pendapat di atas, yang rojih (tepat) dan biasa digunakan dalam
akad nikah adalah pendapat pertama, yang menggunakan lafaz nikah atau
tazwij. Karena dalam pelaksanaan akad nikah harus dengan ungkapan yang
shahih dan jelas seperti lafaz: zawwajtukaha (aku nikahkan kamu dengannya)
atau ankahtukaha (aku nikahkan kamu dengannya). Dengan demikian, tujuan
melaksanakan akad nikah pun dapat dipahami jelas oleh para saksi yang hadir.
Sementara dalam pendapat kedua dan ketiga, mereka lebih condong kepada
lafaz hibah dalam melaksanakan akad nikah. Dalam hal ini, penggunaan lafaz
hibah hanya diperuntukkan bagi Rasulullah saw secara khusus.49 Karena lafaz
tersebut sah jika dipergunakan untuk akad selain nikah. Selain itu, karena
lafaz tersebut tidak secara jelas mengungkapkan pernikahan, sehingga tidak
sah digunakan dalam akad nikah. Hal itu karena kesaksian merupakan syarat
dalam nikah dan kinayah itu hanya diketahui melalui niat saja, sedangkan para
48
Muhammad Ibnu Ismail Abu Abdillah Al-Bukhori Al-Ja‟fi, Shahih Bukhori, h. 31
49Imam „Alau al
44
saksi tidak mengetahui niat kecuali jika diberitahukan kepada mereka secara
jelas. 50
d. Syarat-syarat Wali.
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau
wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Wali hendaklah seorang
laki-laki, muslim, baligh, berakal dan adil (tidak fasik).
e. Syarat-syarat Saksi.
1) Beragama Islam.
2) Berakal, bukan orang gila.
3) Baligh, bukan anak-anak.
4) Merdeka, bukan budak.
5) Kedua orang saksi itu mendengar. 51
D. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
1. Tujuan Perkawinan
50
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat), h. 115
51
Pada dasarnya tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi tuntutan
hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih
sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan
mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Syari‟ah. 52 2. Hikmah Perkawinan
Dalam sebuah perkawinan, terdapat hikmah dan pengaruh yang sangat
baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia yang
diantaranya sebagai berikut:
a. Dengan adanya pernikahan maka banyaklah keturunan.
b. Keadaan hi