• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya preventif penghulu dalam mengurangi pelaku perkawinan di bawah umur ( studi di Desa Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Upaya preventif penghulu dalam mengurangi pelaku perkawinan di bawah umur ( studi di Desa Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi)"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memenuhi

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

ADE USWATUL JAMILIYAH NIM : 108044100030

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)
(3)
(4)

i

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini, saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk

memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 23 Agustus 2011 Penulis

(5)

ii

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis. Shalawat dan salam semoga selalu

tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.

Dengan taufik dan hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi ini, yang berjudul “UPAYA PREVENTIF PENGHULU DALAM MENGURANGI PELAKU PERKAWINAN DI BAWAH UMUR (Studi Di Desa

Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi)”.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA, MM. selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan kewenangan

yang dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyusun

skripsi ini.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., MA., selaku Ketua Program Studi Ahwal

Al-Syakhsiyyah, kemudian Hj. Rosdiana, MA., selaku Sekretaris Jurusan Ahwal

Al-Syakhsiyyah yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan

kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Hj. Ummu Hanah Yusuf, Lc, MA., selaku dosen pembimbing skripsi yang

(6)

iii

4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

tidak lupa juga kepada staf perpustakaan, karyawan yang banyak membantu

penulis memfasilitasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

5. Kepala dan Sekretaris Desa serta seluruh warga Desa Ciwalat yang telah

memberikan izin kepada saya untuk melaksanakan penelitian ini dan banyak

membantu dalam memberikan data sehingga saya dimudahkan dalam

penyusunan skripsi.

6. Direktur dan segenap staf Rumah Sakit Syarif Hidayatullah yang telah

memberikan izin kepada saya dan membantu dalam melengkapi data sehingga

saya dimudahkan dalam penyusunan skripsi ini.

7. Teristimewa kepada Ayahanda Kasnan Suharya dan ibunda Fathiyah Sadim,

S.Ag, serta seluruh keluarga yang sangat saya cintai dan sayangi. Terima kasih

banyak atas bantuan kalian terutama dari segi keuangan, dan dukungan kalian

yang tidak terlupakan. Terima kasih juga atas doa dan pengorbanan kalian

yang tidak terhingga serta senantiasa memberi semangat tanpa jemu sehingga

penulis menyelesaikan belajar di sini dengan selamat dan sempurna. Semoga

Allah SWT menempatkan kalian di tempat orang-orang yang sholeh dan

mulia. Tidak ada yang dapat dipersembahkan sebagai balasan, melainkan

sebuah kejayaan.

8. Sahabat-sahabat saya: Yossi Febrina yang selalu menemani dalam proses

penyusunan, Hj. Ati Atiyaturohmah yang selalu memberikan masukan dan

(7)

iv

Kulsum, Wardhatul Jannah, Restya, Siti Goniah dan Aniah Nasution yang ikut

serta dalam memberi semangat. Dan tidak lupa pula kepada teman-teman

angkatan 2007/2008 jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah, teman-teman KKN 57

Rajawali, terima kasih atas kebersamaan kalian dalam menemani penulis

selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan masukan yang

positif kepada para pembaca. Penulis amat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi

ini banyak kekurangan, kekhilafan, dan kesalahan. Maka kritik dan saran yang

bersifat konstruktif sangat diharapkan dalam rangka perbaikan, dan kesempurnaan

tulisan ini.

Kepada Allah SWT, penulis memohon dan mendoakan semoga jasa baik yang

telah kalian sumbangkan menjadi ladang amal sholeh dan mendapat balasan yang

setimpal dari Allah SWT, Amin.

Ciputat, 23 Agustus 2011

(8)

v

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian ... 10

E. Review Studi Terdahulu ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II: LANDASAN TEORI A. Pengertian Perkawinan Di Bawah Umur ... 16

B. Dasar Hukum Perkawinan ... 30

C. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 34

D. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ... 44

E. Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Islam ... 47

BAB III: GAMBARAN UMUM DESA CIWALAT A. Sejarah Singkat Desa Ciwalat... 52

B. Letak Geografis Desa Ciwalat ... 54

(9)

vi

Di Bawah Umur ... 64

B. Upaya Penghulu Desa Ciwalat dalam Mengurangi Pelaku Perkawinan di Bawah Umur ... 67

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 73

B. Saran-Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75

LAMPIRAN 1. Wawancara ... 80

2. Surat Observasi Untuk Kepala Desa Ciwalat ... 88

3. Surat Rekomendasi Izin Penelitian Dari Desa Ciwalat ... 89

4. Surat Mohon Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi ... 90

5. Surat Wawancara Untuk RS. Syarif Hidayatullah (dr. Kandungan) ... 91

6. Surat Persetujuan Wawancara Dari RS. Syarif Hidayatullah ... 92

7. Struktur Organisasi Pemerintah Desa Ciwalat ... 93

(10)

vii

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1 Kepala Desa / Lurah Desa Ciwalat ... 53

2. Tabel 2 Batas Wilayah ... 54

3. Tabel 3 Jumlah Penduduk ... 55

4. Tabel 4 Tingkat Pendidikan ... 57

5. Tabel 5 Sarana Pendidikan ... 58

6. Tabel 6 Agama Penduduk ... 59

(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh manusia sejak zaman

dahulu, sekarang, dan masa yang akan datang bahkan sampai akhir zaman nanti.

Oleh karena itu, perkawinan merupakan masalah yang selalu hangat dibicarakan

oleh masyarakat dan di dalam percaturan hukum. Untuk itu perkawinan begitu

penting guna tercipta suatu rumah tangga yang harmonis, tentu mempunyai

aturan, arti dan hakikat. Semua itu perlu bahkan harus dimengerti dan dipahami

oleh setiap orang yang akan melaksanakan perkawinan tersebut.

Perkawinan itu sendiri menurut Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn

Muhammad Al Husainy adalah ungkapan dari sebuah akad yang mencakup

rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu untuk menghalalkan hubungan suami istri.1 Sedangkan menurut Abi Syuja‟ perkawinan merupakan sebuah akad yang

membolehkan hubungan suami istri dengan lafadz nikah “zawwaja”.2 Dengan

akad nikah, suami istri memiliki hak untuk memiliki. Namun, hak milik itu hanya

bersifat milk al-Intifa‟ (hak milik untuk menggunakan), bukan hak milk

al-Muqarabah (hak milik yang bisa dipindah tangankan seperti kepemilikan benda)

dan bukan pula milk al-Manfa‟ah (kepemilikan manfaat yang bisa dipindah

1

Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad Husainy Husny Damsyiqy

Al-Syafi‟iy, Kifayat Al-Akhyar Fi Halli Ghoyat Al-Ikhtishor, (Beirut: Daar Al-Fikr), juz II, h. 36

2Abi Syuja‟,

(12)

2

tangankan).3 Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan para ahli fiqh, diantaranya menurut ulama Hanafiyah mengatakan bahwa nikah adalah akad yang

disengaja dengan tujuan mendapatkan kesenangan.4 Sebagaimana Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga mereka dapat menjalin hubungan

satu sama lain, saling mencintai, menghasilkan keturunan serta hidup dalam

kedamaian.5

Ketentraman di sini tidak dimaksudkan dengan ketentraman dorongan

seksual yang membara, justru ketenangan gejolak batin dalam wujud manusia itu

yang dengannya ia merasakan kebahagiaan yang wajib disyukuri, dan juga

merasakan kekurangan yang harus disempurnakan. Inilah yang dimaksud dengan

ketentraman rohani sebagai salah satu syarat terciptanya sebuah kebahagiaan.6 Oleh karena itu, perkawinan merupakan sunnah Nabi saw sebagaimana telah

disebutkan dalam penggalan hadis Nabi saw, yang artinya “dan aku mengawini

wanita-wanita, barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka tidak

termasuk umatku”.7 Dalam penggalan arti hadis di atas dimaksudkan agar tidak

3

Abdul Basit Mutawwaly, Muhadarah Fi Al-Fiqh Al-Muqaran, (Mesir: t.p.,t.t.), h. 120

4

Abd Al-Rahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh Al-Mazahib Al-Arba‟ah, (Beirut: Daar Al-Fikr, 2002), juz IV, h. 3

5 Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), cet. Ke-1, h. 1

6

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), cet. Ke-1, h. 2

7

(13)

berlebihan dalam beribadah (melebihi Nabi) karena dapat menimbulkan

kekafiran.8

Kemudian dari perkawinan muncul pula hubungan orang tua dengan

anak-anaknya. Serta timbul hubungan kekeluargaan sedarah dan semenda. Oleh karena

itu, perkawinan mempunyai pengaruh yang sangat besar, baik dalam hubungan

kekeluargaan pada khususnya, maupun dalam kehidupan bermasyarakat serta

bernegara pada umumnya. Karena bila dilihat dari segi sosial suatu perkawinan,

dalam masyarakat setiap bangsa ditemui suatu penilaian yang umum, bahwa

orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang

lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.9 Maka hendaklah segenap bangsa Indonesia mengetahui seluk-beluk berbagai peraturan hukum perkawinan, agar

mereka dapat memahami dan melangsungkan perkawinan sesuai dengan

peraturan yang berlaku.10

Namun, berbeda halnya dengan sebagian masyarakat Desa Ciwalat

Kecamatan Pabuaran Kabupaten Sukabumi, yang masih banyak melakukan

perkawinan di bawah umur tanpa memperhatikan dampak atau akibat yang akan

muncul serta akan ditimbulkan oleh sebuah perkawinan tersebut. Hal ini

merupakan masalah dalam masyarakat yang perlu dicarikan jalan pemecahannya.

8

Muhammad ibn Ismail Al-San‟any, Subul Al-Salam Syarh Bulug Al-Maram, (Beirut: Daar Al-Fikr, 1991), juz III, h. 213-214

9

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), cet. Ke-5, h. 48

10

(14)

4

Masyarakat kadang-kadang kurang memperhatikan keberadaan batas

umur, padahal untuk melangsungkan suatu perkawinan batas umur adalah hal

yang sangat penting, hal ini dikarenakan perkawinan tidak saja menghendaki

kematangan biologis tetapi juga kematangan psikologis. Hal tersebut berdasarkan

kekhawatiran para psikolog tentang perkawinan di bawah umur akan menemui

kegagalan karena sangat tergantung pada keadaan jiwa seseorang.11

Kenapa demikian? Karena dari perkawinan timbul suami istri yang

kemudian melahirkan sebuah tanggung jawab yang berupa hak dan kewajiban, hal

inilah yang cukup sulit untuk dilaksanakan, apalagi diantara keduanya atau salah

satunya kurang begitu memahami tentang hakikat serta tujuan dan hikmah dari

sebuah perkawinan, yaitu terbentuknya rumah tangga yang harmonis, sejahtera

dan bahagia.12 Melainkan yang akan terjadi hanyalah perselisihan dan kehidupan

dalam berumah tangga tidak bahagia dan tidak harmonis bahkan bisa berakhir

pada perceraian.

Dari hasil pengamatan dan dari data yang dihasilkan, menunjukkan bahwa

banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan di bawah umur

khususnya yang terjadi di Desa Ciwalat, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten

Sukabumi.

11Musifin As‟ad,

Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), cet. Ke-2, h. 30

12

(15)

Bahwa yang melakukan perkawinan di bawah umur itu banyak sekali

mengalami gangguan dalam berumah tangga, diantaranya sebagai berikut:

1. Sering terjadi percekcokan, sehingga dalam mengarungi kehidupan rumah

tangga tidak harmonis.

2. Kebanyakan orang yang melakukan perkawinan di bawah umur menjadi

beban bagi orang tuanya, dikarenakan belum bisa mencari nafkah.

Dan bila dilihat dari sudut kesehatan, bagi orang yang melakukan

perkawinan di bawah umur jika terjadi kehamilan pada seorang perempuan yang

belum dewasa, tubuh dan alat kandungannya belum siap betul untuk

menyelengarakan tugas tersebut. Sehingga beban yang berat oleh yang

bersangkutan dengan kehamilan dan persalinan dapat diperolehnya. Akan tetapi,

dalam keadaan demikian, kemungkinan terjadi gangguan pada kehamilan dan

persalinan tersebut.

Sehubungan dengan masalah perkawinan di bawah umur, maka dalam

penjelasan umum Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menurut

prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah matang jiwa raganya untuk dapat

melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara

baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan

sehat.13

(16)

6

Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 7

ayat (1) menyatakan: ”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah

mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun”.

Selanjutnya dalam ayat (2) menyatakan: “Apabila pihak pria dan wanita belum

mencapai umur tersebut, maka untuk melangsungkan perkawinan diperlukan

dispensasi dari Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua

dari pihak pria maupun pihak wanita”.14

Dalam Kompilasi Hukum Islam

disebutkan pada pasal 15 ayat (1) menyatakan: “Untuk kemaslahatan keluarga

dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang

telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor

1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (1) yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19

tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”.15

Untuk mengurangi permasalahan-permasalahan yang muncul, maka harus

dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur.

Karena batas umur dalam perkawinan mempunyai makna yang sangat penting,

yaitu agar dapat dicegahnya praktek perkawinan di bawah umur, seperti halnya

yang terjadi di Desa-desa, sehingga menimbulkan banyak dampak atau akibat

yang bersifat negatif.

14

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Bandung: Citra Umbara, 2007), cet. Ke-1, h. 5

15

(17)

Berkenaan dengan hal tersebut, untuk mengurangi lebih banyak lagi

terjadinya perkawinan di bawah umur, maka dalam hal ini penghulu yang

mempunyai fungsi sebagai orang yang ditunjuk oleh masyarakat untuk

melangsungkan perkawinan, harus cermat dan tanggap serta teliti terlebih dahulu

terhadap mereka yang akan melangsungkan perkawinan, terutama sekali dengan

persyaratan-persyaratan yang mereka ajukan, dengan demikian besar harapan

kemungkinan terjadinya kekeliruan dapat dihindari.

Begitu pula upaya yang dilakukan oleh penghulu harus benar-benar

memberikan dampak positif, artinya dampak yang dapat memberikan kesadaran

kepada masyarakat bahwa perkawinan membawa resiko yang sangat besar,

lebih-lebih bila perkawinan itu dilakukan pada usia belum matang untuk melakukan

perkawinan.

Dari latar belakang di atas, penulis mencoba mengungkap

masalah-masalah tersebut dan mudah-mudahan dapat mengatasi permasalah-masalahan perkawinan

di bawah umur. Karena dengan terjadinya perkawinan tersebut dapat

menimbulkan banyak dampak terhadap lingkungan sekitar. Sehingga penulis

merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut dan mencoba mengabadikannya dalam

karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul:

(18)

8

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Setelah mengungkapkan latar belakang masalah sebagaimana yang

telah diuraikan di atas, maka penulis membatasi permasalahan pembahasan

pada aspek-aspek sebagai berikut:

a. Upaya preventif penghulu dalam mengurangi pelaku perkawinan di

bawah umur.

b. Perkawinan di bawah umur di sini adalah perkawinan yang dilaksanakan

sebelum mencapai usia 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis rumuskan

dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya perkawinan di bawah

umur dilaksanakan sebagian masyarakat Desa Ciwalat, Kecamatan

Pabuaran, Kabupaten Sukabumi ?

2. Bagaimana upaya penghulu Desa Ciwalat dalam mengurangi pelaku

perkawinan di bawah umur ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini penulis mempunyai tujuan sebagai

(19)

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

perkawinan di bawah umur dilaksanakan sebagian masyarakat Desa

Ciwalat, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Sukabumi.

2. Untuk mengetahui upaya penghulu Desa Ciwalat dalam mengurangi

pelaku perkawinan di bawah umur.

Selain itu, penulis juga mempunyai tujuan formal yaitu membuat

sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi, yang merupakan salah satu

persyaratan mendapat gelar Sarjana Syariah (S.Sy) yang telah ditentukan oleh

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, bagi mahasiswa

dan mahasiswi yang akan menyelesaikan studinya di Fakultas Syariah dan

Hukum khususnya Konsentrasi Peradilan Agama.

Sedangkan tujuan non formalnya yaitu untuk menambah ilmu

pengetahuan dibidang ilmu agama terutama yang berkaitan dengan masalah

yang sedang dibahas ini, karena dengan membahas masalah ini, penulis

berusaha semaksimal mungkin untuk membaca dan memahami buku-buku

yang berkaitan dengan masalah perkawinan di bawah umur.

Selanjutnya penulis juga mempunyai tujuan untuk memberikan

sumbangsinya terhadap Desa Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten

Sukabumi dalam upaya meminimalisir pelaku perkawinan di bawah umur

dengan cara mensosialisasikan ke masyarakat Desa tersebut dalam bentuk

(20)

10

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu dapat meminimalisir pelaku

perkawinan di bawah umur di Desa Ciwalat Kecamatan Pabuaran Kabupaten

Sukabumi.

D. Metode Penelitian

Untuk memudahkan dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini penulis

menggunakan berbagai metode di antaranya sebagai berikut:

1. Metode Pengumpulan Data

a. Field Research (riset lapangan) yaitu penelitian yang dilakukan dalam

kancah kehidupan yang sebenarnya. Langkah pertama dalam penulisan

atau penelitian ini adalah menentukan populasi, dimana yang dijadikan

obyek penelitian adalah kantor Desa Ciwalat, Kecamatan Pabuaran,

Kabupaten Sukabumi.

b. Library Research (riset perpustakaan) yaitu penelitian yang bertujuan

untuk mengumpulkan data atau informasi dengan bantuan

bermacam-macam materi yang terdapat di ruang perpustakaan.16

Untuk mengambil dan mendapatkan data serta informasi di lapangan

(tempat penelitian) penulis mempergunakan metode-metode pengumpulan data

sebagai berikut:

16

(21)

1. Metode Interview

Interview adalah: ”Cara pengumpulan data yang dilakukan dengan bertanya

dan mendengarkan jawaban langsung dari sumber utama data”.17 Dalam interview ini penulis menggunakan interview terstruktur maksudnya adalah

penulis membawakan kerangka-kerangka pertanyaan untuk disajikan kepada

penghulu, pejabat desa, tokoh masyarakat, tokoh agama dan anggota

masyarakat yang melakukan perkawinan di bawah umur.

2. Metode Observasi

Observasi adalah: ”Pengamatan-pengamatan dan pencatatan-pencatatan

dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki”. Di sini penulis hanya

melakukan pengamatan terhadap obyek yaitu penghulu, pejabat desa, tokoh

masyarakat, tokoh agama dan anggota masyarakat yang melakukan

perkawinan di bawah umur.

3. Metode Penulisan

Dari data-data yang diperoleh di atas, kemudian disusun secara teratur dan

sistematis lalu dianalisis secara kualitatif, dengan demikian jenis penelitian

dalam karya ilmiah ini adalah penelitian kualitatif.18 Adapun teknik penulisan,

penulis menggunakan buku ”Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007”.

17

Ronny Kountur, Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Sekolah Tinggi Managemen), h. 186

18

(22)

12

E. Review Studi Terdahulu

Untuk memudahkan dan meyakinkan pembaca bahwa penulis tidak

melakukan plagiasi atau duplikasi maka penulis menjabarkan review studi

terdahulu dalam bentuk tabel berikut ini:

No. Identitas Substansi Pembeda

1. Riana Maruti,

104044201479, SJAS,

2009, Pengaruh

Perkawinan di Bawah

Umur terhadap Pembentukan Keluarga Sakinah (Studi pada Kecamatan Cakung, Jakarta Timur). Dalam skripsinya

ditulis bahwa tidak

setiap laki-laki dan

perempuan yang

melakukan perkawinan

di bawah umur tidak

dapat membentuk

keluarga sakinah

(Perkawinan di Bawah

Umur tidak

Mempengaruhi

Pembentukan Keluarga

Sakinah di Kecamatan

Cakung, Jakarta

Timur).

Dalam skripsi yang

akan saya tulis tidak

membahas tentang

pengaruh perkawinan

di bawah umur,

melainkan lebih

kepada bagaimana

upaya penghulu dalam

mengurangi pelaku

perkawinan di bawah

umur di Desa Ciwalat,

Kecamatan Pabuaran,

(23)

2. Renny Retno Waty,

205044100578, 2010,

Pengaruh Pernikahan

di Bawah Umur

terhadap

Kesejahteraan Rumah

Tangga (Studi Kasus

pada Masyarakat Desa

Tanjung Sari,

Kecamatan Cijeruk,

Kabupaten Bogor).

Dalam skripsinya

ditulis bahwa

pernikahan di bawah

umur yang terjadi pada

masyarakat Desa

Tanjung Sari,

Kecamatan Cijeruk,

Kabupaten Bogor dapat

mempengaruhi terhadap

kesejahteraan rumah

tangga, Adapun

penyebab banyaknya

pernikahan tersebut

karena faktor ekonomi

yang lemah dan

kebiasaan atau

adat-istiadat masyarakat

setempat.

Dalam skripsi yang

akan saya tulis tidak

membahas tentang

pengaruh pernikahan di

bawah umur,

melainkan lebih

kepada bagaimana

upaya penghulu dalam

mengurangi pelaku

perkawinan di bawah

umur di Desa Ciwalat,

Kecamatan Pabuaran,

(24)

14

3. Sa‟dah,

106044101372, 2010,

Pelaksanaan Nikah di

Bawah Umur dan

Dispensasi Nikah pada Masyarakat Kelurahan Margahayu, Bekasi Timur. Dalam skripsinya

ditulis bahwa di

Kelurahan Margahayu,

Bekasi Timur banyak

masyarakat yang

melakukan nikah di

bawah umur dan tidak

mendapatkan dispensasi

nikah dari Pengadilan

Agama setempat, dikarenakan kurang pengetahuan tentang dispensasi nikah. Adapun penyebab banyaknya pernikahan

tersebut karena faktor

ekonomi, dorongan

keluarga, dan

kecelakaan.

Dalam skripsi yang

akan saya tulis tidak

membahas tentang

pelaksanaan nikah di

bawah umur yang tidak

mendapatkan

dispensasi nikah dari

pengadilan, melainkan

lebih kepada

bagaimana upaya

penghulu dalam

mengurangi pelaku

perkawinan di bawah

umur di Desa Ciwalat,

Kecamatan Pabuaran,

(25)

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan

sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab Pertama yaitu: Pendahuluan, yang di dalamnya meliputi: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan

Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu

dan Sistematika Penulisan.

Bab Kedua yaitu: Landasan Teori, yang di dalamnya membahas: Pengertian Perkawinan di Bawah Umur, Dasar Hukum Perkawinan, Rukun

dan Syarat Perkawinan, Tujuan dan Hikmah Perkawinan dan

Prinsip-prinsip Perkawinan menurut Islam.

Bab Ketiga yaitu: Gambaran Umum Desa Ciwalat, yang di dalamnya membahas: Sejarah Singkat Desa Ciwalat, Letak geografis Desa

Ciwalat dan Pandangan warga Desa Ciwalat tentang Perkawinan

di Bawah Umur

Bab Keempat yaitu: Analisis Data, yang di dalamnya membahas: Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan di Bawah Umur dan

Upaya Penghulu Desa Ciwalat dalam Mengurangi Pelaku

Perkawinan di Bawah Umur.

(26)

16

BAB II

LANDASAN TEORI A. Pengertian Perkawinan di Bawah Umur

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang

menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan

hubungan kelamin atau bersetubuh.1 Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah (nakaha - yankihu - nikaahan) yang menurut bahasa

artinya mengumpulkan (al-Dlammu) atau bersetubuh (al-Wathu).2

Dalam hukum Islam, terdapat beberapa definisi nikah, diantaranya yaitu:

Definisi nikah menurut bahasa

“Nikah menurut bahasa yaitu mengumpulkan dan bersetubuh, atau merupakan ibarat untuk menghalalkan hubungan suami istri dengan akad secara keseluruhan”.

Definisi nikah menurut istilah

1

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. Ke-3, edisi ketiga, h. 518.

2

Syaikh Zakariyya Al-Anshoriy, Haasyiyat Al-„Allamat Al-Syaikh Sulaiman Al-Jamal „Ala Syarh Al-Manhaj, (Beirut: Daar al-Fikr), juz IV, h. 115

3

Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa adillatuh, (Beirut: Daar al-Fikr, 1989), juz VII, h. 29

4

Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad Husainy Husny Damsyiqy

(27)

“Nikah menurut syara‟ yaitu ibarat tentang akad yang masyhur yang terdiri dari rukun-rukun dan syarat-syarat, yang dengan akad tersebut maka dibolehkan bersetubuh”.

Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan kata nikah dengan:

“Nikah menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki”.

Abu Yahya Zakariya al-Anshory mendefinisikan kata nikah dengan:

Nikah menurut istilah yaitu akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya ”.

Di kalangan ulama fikih, berkembang tiga macam pendapat tentang arti

lafaz nikah, yaitu:7

Pertama: Nikah menurut arti aslinya (arti hakikat) adalah bersetubuh, sedangkan

menurut arti majazi (metaforis) adalah akad yang dengan akad ini menjadi halal

hubungan kelamin antara pria dan wanita; demikian menurut golongan Hanafi.

Kedua: Nikah menurut arti aslinya ialah akad yang dengan akad ini menjadi halal

5

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuh, h. 29

6

Abu Yahya Zakariya Al-Anshory, Fath Al-Wahhab, (Singapura: Sulaiman Mar‟iy), juz II, h.

30

7

(28)

18

hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti majazi ialah

bersetubuh; demikian menurut golongan Syafi‟iyah dan Malikiyah. Ketiga:

Nikah, bersyarikat artinya antara akad dan setubuh; demikian menurut Abu

al-Qasim az-Zajjad, Imam Yahya, dan Ibnu Hazm.

Beberapa arti nikah di atas, pada hakikatnya tidak ada perbedaan

kalaupun ada perbedaan hanya pada redaksinya saja. Dalam hal ini, jumhur

ulama sependapat, bahwa nikah merupakan akad yang diatur oleh agama, untuk

memberikan kepada pria hak memiliki penggunaan faraj (kemaluan) wanita dan

seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer.8

Perkawinan adalah perjanjian perikatan antara pihak seorang pria dengan

pihak seorang wanita untuk melaksanakan kehidupan suami istri, hidup berumah

tangga, melanjutkan keturunan sesuai ketentuan agama.9

Pernikahan adalah akad yang menimbulkan akibat hukum yaitu

menghalalkan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong

menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya.10

Dalam Bab 1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara

8

Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), jilid 1, cet. Ke-1, h. 116

9

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987), cet. Ke-2, h. 8

10

(29)

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.11

Pengertian perkawinan yang tercantum dalam Bab 1 Pasal 1

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berbeda dengan pengertian

perkawinan menurut hukum perdata (B.W.), karena di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (B.W.) disebutkan bahwa

perkawinan hanya dalam hubungan-hubungannya dengan keperdataan.12

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengertian perkawinan

menurut hukum perdata adalah suatu ikatan hukum antara seorang pria dan

seorang wanita yang diakui sah oleh Undang-Undang Hukum Perdata (negara)

dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang kekal.13

Suatu ikatan perkawinan akan dianggap sah oleh negara, apabila

perkawinan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terutama dalam hal batas usia

perkawinan yang tercantum dalam pasal 7 ayat (1) yang berbunyi: “Perkawinan

11

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, h. 2

12

Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), (Jakarta: Visimedia, 2008), cet. Ke-2, h. 8

13

(30)

20

hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun

dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.14

Berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan di atas, maka asumsi penulis adalah yang dimaksud dengan

perkawinan di bawah umur dalam konteks Negara merupakan sebuah

pelanggaran terhadap batas minimal usia menikah yang telah ditetapkan oleh

Undang-Undang Perkawinan pasal 7 ayat (1) yaitu pihak laki-laki umur 19

(Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)

tahun.

Kedewasaan seseorang, apabila dilihat dari berbagai ketentuan hukum

yang berlaku sangatlah beragam. Umumnya ketentuan yang berlaku atas

kedewasaan seseorang didasarkan pada status perkawinan yang pernah dilakukan

dan usia. Seseorang dianggap dewasa, selain karena ia sudah menikah juga

didasarkan pada usia yang menurut ketentuan hukum sudah dewasa. Kedewasaan

berdasarkan usia ini merupakan salah satu parameter yang bersangkutan

telah dianggap cakap dan berhak atas apa yang diatur oleh ketentuan hukum.

Dalam hukum, kedewasaan berdasarkan usia merupakan salah satu unsur

terpenting bagi seorang subyek hukum. Meskipun terdapat upaya dispensasi atau

toleransi atas besaran usia yang disahkan oleh pengadilan, namun subyek hukum

dapat dikatakan belum cakap hukum apabila yang bersangkutan belum memiliki

14

(31)

kecukupan usia. Misalnya dalam hukum perdata kita, salah satu syarat sahnya

perjanjian menurut Pasal 1320 BW adalah adanya pihak-pihaknya yang cakap

(berkemampuan) untuk melakukan perbuatan hukum yang salah satu

parameternya adalah kecukupan usia. Dengan usia yang belum mencukupi

seseorang tidak dapat melakukan perbuatan hukum perdata dengan sendirinya

(kecuali sudah menikah atau disahkan pengadilan).15

Adapun besaran usia dewasa menurut berbagai ketentuan hukum yang

berlaku di Indonesia, yaitu:

1. Menurut konsep Hukum Perdata

Pendewasaan ada 2 macam, yaitu pendewasaan penuh dan

pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas). Keduanya

harus memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang. Untuk pendewasaan

penuh syaratnya telah berumur 20 tahun penuh. Sedangkan untuk

pendewasaan terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh (pasal

421 dan 426 KUHPerdata).16

Untuk pendewasaan penuh, prosedurnya ialah yang bersangkutan

mengajukan permohonan kepada Presiden RI dilampiri dengan akta kelahiran

atau surat bukti lainnya. Presiden setelah mendengar pertimbangan

Mahkamah Agung, memberikan keputusannya. Akibat hukum adanya

15

Tim Bedah Hukum, Kedewasaan Seseorang Berdasarkan Besaran Usia Menurut Berbagai Ketentuan Hukum, (Diakses dari http://bedahukum.blogspot.com/2009/12/kedewasaan-seseorang-berdasarkan.html), pada tanggal 22 September 2011 pukul 08.40 WIB

16

(32)

22

pernyataan pendewasaan penuh ialah status hukum yang bersangkutan sama

dengan status hukum orang dewasa. Tetapi bila ingin melangsungkan

perkawinan izin orang tua tetap diperlukan.

Untuk pendewasaan terbatas, prosedurnya ialah yang bersangkutan

mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang

dilampiri akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Pengadilan setelah

mendengar keterangan orang tua atau wali yang bersangkutan, memberikan

ketetapan pernyataan dewasa dalam perbuatan-perbuatan hukum tertentu saja

sesuai dengan yang dimohonkan, misalnya perbuatan mengurus dan

menjalankan perusahaan, membuat surat wasiat. Akibat hukum pernyataan

dewasa terbatas ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status

hukum orang dewasa untuk perbuatan-perbuatan hukum tertentu. 17

2. Menurut konsep Hukum Pidana

Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Yang

disebut umur dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21

tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak

dan acaranya berlaku hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun,

yang menurut hukum perdata belum dewasa. Yang berumur 17 tahun dan

telah kawin tidak lagi termasuk hukum pidana anak, sedangkan belum cukup

17

(33)

umur menurut pasal 294 dan 295 KUHP adalah ia yang belum mencapai umur

21 tahun dan belum kawin sebelumnya. 18

3. Menurut konsep Peraturan Lalu Lintas

Dalam peraturan Undang-Undang Lalu Lintas (UU No. 22 Tahun

2009) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan usia dewasa adalah usia yang

sudah mencapai 17 tahun. Sebagaimana bunyi Pasal 81 ayat 2: "Syarat usia

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai

berikut:

a. Usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin

Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D;

b. Usia 20 (dua puluh) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B I, dan

c. Usia 21 (dua puluh satu) tahun untuk Surat Izin Mengemudi B II.

Sedangkan menurut penganut aliran psikoanalisis, pada hakikatnya alam

perkembangan usia remaja adalah usaha penyesuaian diri (coping), yaitu untuk

secara aktif mengatasi stress dan mencari jalan keluar baru dari berbagai

masalah. Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada tiga tahap

perkembangan remaja, yaitu: 19

18

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), (Surabaya: Kesindo, 2008), cet. Ke-2, h. 97-98

19

(34)

24

1. Tahap remaja awal (12-15 tahun)

Pada tahap ini, seorang remaja masih terheran-heran akan

perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang

menyertai perubahan-perubahan itu. Kepekaan yang berlebih-lebihan

ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego”. Hal ini menyebabkan

para remaja sulit untuk mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa.

2. Tahap remaja pertengahan (15-18 tahun)

Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau

banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan “narcistic”, yaitu

mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang mempunyai

sifat-sifat yang sama dengannya.

3. Tahap remaja akhir (19-22 tahun)

Pada tahap ini, merupakan masa konsolidasi menuju periode dewasa dan

ditandai dengan pencapaian lima hal di bawah ini:

a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek;

b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan dalam

pengalaman-pengalaman baru;

c. Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi;

d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti

dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain;

e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan

(35)

Selain itu, perkawinan di bawah umur pun masuk dalam kategori

ekploitasi anak, sepanjang hal itu tidak mengikuti ketentuan dan hukum yang

berlaku. Seorang anak yang masih berada dalam asuhan orang tuanya seharusnya

mendapatkan kesempatan untuk belajar dan kehidupan yang layak. Sedangkan

perkawinan di bawah umur jelas akan merampas semua hak anak di atas.

Seorang anak yang seharusnya mendapatkan kesempatan belajar yang layak

justru harus dipaksa menjalani sebuah perkawinan yang masih belum saatnya dia

pikul. Usia anak-anak adalah usia mendapatkan pendidikan seluas-luasnya,

bukan membawa beban kehidupan.20

Kebijakan pemerintah tersebut, dalam menetapkan batas minimal usia

pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini

dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik,

psikis dan mental. Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan di bawah umur

mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan.

Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan di bawah umur

dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang

masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat

pernikahan di bawah umur dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak

20

(36)

26

dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan di atas

umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.21

Akan tetapi, dalam konteks agama Islam yang dimaksud dengan

perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan oleh salah satu

atau kedua calon mempelai (laki-laki dan perempuan) yang belum mencapai usia

baligh. Dalam menyikapi hal tersebut, terdapat sekelompok ulama (Ibnu

Syubrumah dan Abu Bakr al Ashom) yang melarang perkawinan anak-anak

sebelum mereka sampai pada usia kawin (baligh).22 Mereka beralasan dengan firman Allah:













۴

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin”. (Q.S. An-Nisa:4 : 6)

Apabila dilihat dari kandungan ayat di atas, dapat dipahami bahwa tidak

ada ketentuan mengenai batas minimal usia menikah baik untuk laki-laki maupun

perempuan, hanya saja yang menjadi ukuran dibolehkannya seseorang menikah

adalah sudah mencapai usia baligh.

21

Yusuf Fatawie, Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama dan Negara, diakses dari (http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1240:pernikahan -dini-dalam-perspektif-agama-dan-negara&catid=2:islam-kontemporer&Itemid=57), tanggal 29 Juni 2011 pukul 09.06 WIB

22

(37)

Adapun bagi laki-laki ditandai dengan mendapat mimpi basah ketika tidur

dan wanita ditandai dengan keluarnya darah haid (menstruasi). Tidak

mengherankan, wacana perkawinan di bawah umur (nikah al-shaghirah) justru

berkonotasi positif, jika hal itu dilakukan atas pertimbangan kemaslahatan moral

dan agama. Hanya saja fuqaha menggarisbawahi, gadis-gadis yang dikawinkan di

usia kanak-kanak itu baru boleh “digauli”, jika mereka telah mengalami

menstruasi (haid).23

Dasarnya adalah hadis perkawinan Nabi Muhammad saw dengan „Aisyah

r.a. yang dinikahi di usia 6 tahun, dan baru “dikumpuli” ketika telah berusia 9

tahun (usia haid), sebagai berikut:

23

(38)

28

“Diriwatkan dari „Aisyah r.a. dia telah berkata: “Rasulullah saw telah mengawini aku ketika aku berumur enam tahun dan tinggal bersamaku pada waktu aku berumur sembilan tahun”. Aisyah menyambung lagi: “kami telah berhijrah ke Madinah dan aku demam panas selama sebulan sehingga rambutku memanjang sampai bahu. Ketika itu ibu kandungku, Ummu Ruman, datang menemuiku yang sedang berada di atas buaian bermain bersama teman-temanku, lalu dia memanggilku dan aku segera menemuinya sedangkan aku tidak mengetahui apa yang hendak dia lakukan terhadapku. Ibuku memegang tanganku dan membawaku masuk ke dalam rumah sehingga dia memberhentikanku di pintu dan aku melepaskan lelahku sehingga keadaanku menjadi tenang. Selepas itu ibuku membawa aku masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba seorang wanita Anshor menyambut kami dengan mesra serta mendoakan untuk pengantin supaya diberi kesenangan dan keberkatan. Ibuku menyerahkan aku kepada mereka lalu mereka membelai kepalaku dan menghiasi diriku secantik mungkin. Rasulullah saw tidak menghampiriku secara tiba-tiba tetapi perempuan-perempuan Anshor menyerahkan diriku kepada beliau ketika waktu dhuha”. (H.R. Bukhori dan Muslim)

Meskipun hadis di atas menyebutkan bahwa dahulu diantara anak

perempuan usia 9 (sembilan) tahun identik sudah baligh atau dewasa, karena

sudah mendapat haid (menstruasi). Akan tetapi tidak semua perempuan, namun

pada saat ini batas usia dewasa bagi mayoritas anak perempuan lebih cepat

dibandingkan dengan anak perempuan zaman dahulu, bahkan di usia SD kelas 5

atau 6 sudah ada tanda dewasa.

Cepatnya masa puber anak perempuan saat ini diduga karena terkait

obesitas yang memang berhubungan erat dengan perkembangan seksual yang

lebih dini. Menurut Dr. Marcia E. Herman-Giddens, seorang peneliti di

24

(39)

University of North Carolina, Chapel Hill menduga bahwa bahan kimia

lingkungan seperti makanan cepat saji (instan) yang menyerupai efek estrogen

dapat mempercepat masa pubertas.25

Di Indonesia, rata-rata usia dewasa anak perempuan dimulai saat berumur

8 (delapan) hingga 10 (sepuluh) tahun. Pada masa ini memang pertumbuhan dan

perkembangan berlangsung dengan cepat. Selain itu, seorang anak akan

menunjukkan tanda-tanda awal dari pubertas, seperti suara yang mulai berubah,

tumbuhnya rambut-rambut pada daerah tertentu dan payudara membesar untuk

seorang gadis. Untuk seorang anak perempuan, tanda-tanda itu biasanya muncul

pada usia 10 tahun ke atas dan pada anak laki-laki, biasanya lebih lambat, yaitu

pada usia 11 tahun ke atas.26

Dari sudut pandang yang berbeda, pakar hukum Islam kontemporer

menghendaki terobosan hukum terkait dengan legalitas perkawinan anak di

bawah umur. Mereka melihat bahwa agama pada dasarnya tidak melarang secara

tegas perkawinan di bawah umur, namun juga tidak pernah menganjurkannya,

terlebih jika dilaksanakan tanpa mengindahkan dimensi-dimensi fisik, mental,

dan hak-hak anak. Adapun perkawinan historis Nabi saw dengan „Aisyah r.a. itu

25

Cincinnati, Anak Perempuan Sekarang Sudah Puber di Usia 7-8 Tahun, diakses dari (http://faktabukanopini.blogspot.com/2011/01/anak-perempuan-sekarang-sudah-puber-di.html), tanggal 20 Juli 2011 pukul 06.26 WIB.

26

Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pubertas, tanggal 22 Agustus 2011 pukul 08.06

(40)

30

diposisikan sebagai suatu eksepsi (pengecualian) dan kekhususan yang

mengusung tujuan dan hikmah tertentu dalam agama.27

B. Dasar Hukum Perkawinan

Al-Qur‟an dan hadits merupakan dua sumber hukum yang menjadi

pedoman agama Islam, termasuk dalam perkawinan kedua sumber hukum ini pun

turut dijadikan sebagai pedoman. Sebagaimana dalam firman-Nya telah

disebutkan, yaitu:

)

28

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami telah memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan”. (Q.S. ar-Ra‟d : 13 :38)

Dalam hadits Tirmidzi dari Abu Ayyub, Rasulullah saw pernah bersabda:

29

“Empat perkara yang merupakan sunnah para Nabi: Celak, wangi-wangian, siwak dan kawin”.

27

Yusuf Hanafi,Perkawinan Anak di Bawah Umur (Nikah al-Shaghirah) dalam Islam: Studi tentang Kontroversi Hadis Perkawinan „Aisyah, diakses dari (http://eprints.sunan-ampel.ac.id/83/1/Yusuf_Hanafi.pdf), tanggal 29 Juni 2011 pukul 09.13 WIB

28

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surabaya: al-Hidayah, 1998), h. 376

29

(41)

Dalam fakta kehidupan, terkadang ditemukan orang yang ragu-ragu untuk

melakukan kawin, dengan alasan sangat takut memikul beban berat dan

menghindarkan diri dari kesulitan-kesulitan. Islam memperingatkan bahwa

dengan kawin, Allah akan memberikan kepadanya penghidupan yang

berkecukupan, menghilangkan kesulitan-kesulitan dan memberikan kekuatan

yang mampu mengatasi kemiskinan. Sebagaimana Allah telah berfirman dalam

surat al-Nur ayat 32:

۴

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Nur : 24: 32)

Dalam hadits Bukhori, Rasulullah saw pernah bersabda:

31

30

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 549

31

(42)

32

“Dari „Abdullah r.a. berkata: “Pada zaman Rasulullah saw, kami adalah pemuda-pemuda yang tidak memiliki apa-apa. Rasulullah saw berkata kepada kami: “Wahai para pemuda! Siapa yang mampu berumah tangga, kawinlah! Perkawinan itu melindungi pandangan mata dan memelihara kehormatan. Tetapi siapa yang tidak sanggup kawin, berpuasalah, karena puasa itu merupakan penawar hawa nafsu”. (H.R. Bukhori)

Hadits di atas menjelaskan bahwa perkawinan itu dianjurkan karena

memiliki manfaat yang tidak hanya untuk sendiri melainkan juga untuk keluarga,

masyarakat, bangsa dan negara. Bahwa dengan perkawinan tersebut, seseorang

akan terhindar dari hal-hal negatif yang akan menjerumuskan dirinya. Dan jika

seseorang itu tidak sanggup untuk melakukan perkawinan maka diwajibkan

untuk berpuasa, karena dengan berpuasa akan terhindar berbuat zina.32

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

disebutkan bahwa yang menjadi dasar hukum dibolehkannya suatu perkawinan

tercantum dalam Bab 1 Pasal 2 yang berbunyi: 33 Pasal 2

1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

32

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, Khitbah, Nikah dan Talak, (Jakarta: Amzah, 2009), cet. Ke-1, h. 45

33

(43)

Dalam pasal 2 ayat 1 yang dimaksud dengan hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya yaitu ketentuan perundang-undangan yang

berlaku bagi agamanya dan kepercayaannya itu, sepanjang tidak bertentangan

dengan undang-undang ini.

Di kalangan para ulama, mengenai hukum asal perkawinan terdapat

perbedaan pendapat, yaitu sebagai berikut:

1. Pendapat pertama, memandang bahwa menikah hukumnya adalah wajib.

Pendapat ini dipelopori oleh Daud az-Zahiri dan Ibnu Hazm. Alasan mereka

yaitu bahwa fi‟il amar yang terdapat di dalam al-Qur‟an dan hadits, terutama

pada surat an-Nisa ayat 3 dan surat an-Nur ayat 32 menunjukkan perintah

wajib. 34

2. Pendapat kedua, memandang bahwa menikah hukumnya adalah sunnah

(dianjurkan). Dalilnya adalah bahwa amar dalam ayat (fankihuu) pada surat

an-Nisa ayat 3 dan hadits Bukhori (falyatazawwaj) adalah bentuk amar yang

disebut amar irsyad, yaitu suatu perintah untuk kemaslahatan umat manusia

demi terciptanya suatu ketenangan dan kedamaian di lingkungan sekitarnya.

Demikian menurut jumhur ulama termasuk Imam Syafi‟i. 35

34

Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan Masalah Pernikahan, h. 133

35

(44)

34

Hukum menikah apabila ditinjau dari kondisi seseorang, ada lima macam

yaitu:36

a. Hukum nikah menjadi wajib, bagi orang yang takut akan terjerumus ke dalam

lembah perzinaan jika ia tidak menikah. Karena dalam kondisi seperti ini,

nikah dapat membantunya menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan.

b. Hukum nikah menjadi sunnah, bagi orang yang telah mempunyai kemauan

dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin

tidak dikhawatirkan akan berbuat zina.

c. Hukum nikah bisa menjadi haram, bagi seorang muslim yang belum mampu

memenuhi nafkah batin dan lahir kepada istrinya serta nafsunya pun tidak

mendesak, maka haramlah ia kawin.

d. Hukum nikah menjadi makruh, bagi orang yang mempunyai kemampuan

untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk

menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina

sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang

kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.

e. Hukum nikah menjadi mubah atau dibolehkan, bagi orang yang mempunyai

kemampuan untuk melakukan perkawinan, tetapi apabila tidak melakukannya

tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan

menelantarkan istri.

36

(45)

C. Rukun dan Syarat Perkawinan

Dalam upacara pernikahan terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi.

Keduanya terdapat perbedaan. Rukun nikah adalah merupakan bagian dari

hakikat akan kelangsungan perkawinan seperti laki-laki, perempuan, wali dan

sebagainya. Sedangkan syarat nikah adalah sesuatu yang pasti atau harus ada

ketika pernikahan berlangsung, tetapi tidak termasuk pada salah satu bagian dari

hakikat pernikahan, misalnya kedua calon mempelai, dewasa (baligh), berakal

dan sebagainya. 37 1. Rukun Perkawinan

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas: 38 a. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.

b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.

c. Adanya dua orang saksi.

d. Sighat akad nikah, yaitu ijab Kabul yang diucapkan oleh wali atau

wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.

2. Syarat Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.

Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan

menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.

37

Imam „Alau al-Din Abi Bakr Ibnu Mas‟ud al-Haasaani al-Hanafi, Badaai‟u al-Shonaai‟I Fi Tartib al-Syarai‟i, (Beirut: Daar al-Fikr), Juz 2, h. 348

38

(46)

36

Adapun syarat-syarat sahnya dapat diperinci, sebagai berikut: 39 a. Syarat-syarat calon pengantin pria.

1) Calon suami beragama Islam.

Ketentuan ini ditetapkan, karena dalam hukum Islam laki-laki

merupakan pemimpin dalam rumah tangga dan setiap pemimpin harus

ditaati. Oleh karena itu, karena berlaku hukum kebiasaan istri harus

taat kepada suami. Maka dalam memilih calon suami pun hendaknya

menganut agama yang sama, yaitu Islam. Sebagaimana tercantum

dalam surat Al-Mumtahanah: 10, sebagai berikut:

























:

:

“…. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu…”( Q.S.Al-Baqarah: 2: 221)

2) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki.

3) Orangnya diketahui dan tertentu.

Calon mempelai laki-laki yang akan dinikahi sudah jelas

orangnya, dan merupakan laki-laki pilihan baik untuk calon mempelai

wanita maupun orang tua calon mempelai wanita.

39

(47)

4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.

5) Calon mempelai laki-laki tahu / kenal dengan calon istri, serta tahu

betul calon istri tersebut halal baginya.

6) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.

7) Tidak sedang melakukan ihram.

8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.

Calon mempelai laki-laki tidak mempunyai istri yang mempunyai

hubungan kerabat atau persusuan dengan calon mempelai wanita, yang jika

calon mempelai laki-laki itu hendak berpoligami dengan calon mempelai

wanita. Maka hal tersebut diharamkan, sebagaimana dalam firman Allah

disebutkan:











۴

:

“Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara…” (Q.S.An-Nisa: 4: 23)

Dalam kandungan ayat di atas, dapat dipahami bahwa diharamkan kepada

laki-laki yang mengumpulkan dua orang wanita mahram secara bersamaan,

seperti antara wanita dan saudara perempuan bapaknya, atau antara wanita

dan saudara perempuan ibunya. 40

40

(48)

38

Adapun wanita-wanita yang haram untuk dinikahi karena nasab, yaitu

sebagai berikut: 41

a) Ibu;

b) Anak perempuan;

c) Saudara perempuan;

d) Bibi dari pihak ibu;

e) Bibi dari pihak ayah;

f) Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan);

g) Anak perempuan saudara perempuan (keponakan).

9) Tidak sedang mempunyai istri empat.

b. Syarat-syarat calon pengantin wanita.

1) Beragama Islam.

Calon mempelai laki-laki muslim hanya dibolehkan menikah dengan wanita

muslimah. Sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah, sebagai berikut:

























:

:

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Q.S.Al-Baqarah: 2: 221)

41

(49)

2) Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci).

3) Wanita itu tentu orangnya.

Calon mempelai wanita yang akan dinikahi sudah jelas orangnya, dan

merupakan wanita pilihan baik untuk calon mempelai laki-laki maupun orang

tua calon mempelai laki-laki.

4) Halal bagi calon suami.

5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak dalam masa iddah.

6) Tidak dipaksa / ikhtiyar.

7) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umroh.

c. Syarat-syarat ijab qobul.

Mengenai lafaz yang digunakan untuk akad nikah, terdapat perbedaan

pendapat. Pendapat pertama, mengatakan bahwa lafaz nikah menggunakan nikah

atau tazwij, karena dua lafaz tersebut terdapat di dalam Kitabullah dan Sunnah.

Demikian pendapat Imam Syafi‟i dan Hambali. 42

Adapun dalilnya, sebagai

berikut:

Firman Allah swt dalam surat An-Nisa ayat 22 dan Al-Ahzab ayat 37















:

۴

:

42

(50)

40

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu…” (Q.S. An-Nisa : 4: 22)







































:

:

“….Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia, supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya…”.(Q.S.Al-Ahzab : 33 : 37)

Hadis Nabi Muhammad saw

“Telah diriwayatkan oleh Ahmad Ibnu Abi „Amr kepada Abi Ibrahim, Yunus, Hasan, Ma‟qil Ibnu Yasar bahwasannya telah tiba saatnya aku menikahkan saudara perempuanku kepada seorang laki-laki kemudian ia mentalaknya, sehingga apabila telah habis masa iddahnya maka ia boleh melamarnya (mengkhitbah) kembali, maka aku berkata kepadanya aku nikahkan kamu, aku berikan tempat tinggal untukmu, dan aku muliakan kamu…” (H.R. Bukhori)

43

(51)

Pendapat kedua, mengatakan bahwa akad nikah itu dianggap telah

terlaksana dengan menggunakan lafaz hibah, sedekah, jual beli dan kepemilikan

(malaka).44 Dengan alasan kata-kata ini adalah majaz (kiasan) yang biasa juga

digunakan dalam bahasa sastra atau bahasa yang artinya perkawinan. Demikian

pendapat Imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Abu Ubaid, Abu Dawud dan Abu

Tsaur.45 Adapun dalilnya, sebagai berikut:

Firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 50

































:

:

“…Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi, apabila Nabi ingin menikahinya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin...” (Q.S.Al-Ahzab : 33: 50)

44

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat), h. 114

45

(52)

42

Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa yang menjadi kekhususan bukan

pada penggunaan kata hibah pada akad nikah, melainkan pada akad nikah

tanpa mahar, sebagaimana ayat lanjutannya. 46





























:

:

(

“… Sesungguhnya kami Telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu…” (Q.S. Al-Ahzab: 33: 50)

Pendapat ketiga, mengatakan bahwa secara khusus, shighat akad nikah

mempunyai tiga bentuk, yaitu lafaz nikah (pernikahan), zawaj (perkawinan)

dan hibah (pemberian). Tetapi shighat lafaz hibah wajib dibarengi penyebutan

mahar (maskawin) tertentu. Misalnya, “aku berikan kepada engkau putriku

dengan mahar 1.000 dinar” atau dibarengi dengan penyerahan diri (tafwidh),

misalnya “aku berikan kepada engkau putriku ini dengan penuh penyerahan”.

Tidak sah akad nikah yang menggunakan lafaz hibah tidak dibarengi dengan

penyebutan mahar tertentu atau penyerahan diri. 47 Demikian pendapat Imam Maliki, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis Nabi saw, sebagai berikut:

46

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat (Khitbah, Nikah dan Talak), h. 65

47

(53)

“Nabi saw pernah menikahkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan, dan beliau berkata: Sesungguhnya telah kujadikan ia milikmu dengan (mahar) hafalan Al-Qur‟an yang ada padamu”. (H.R. Bukhori)

Dari ketiga pendapat di atas, yang rojih (tepat) dan biasa digunakan dalam

akad nikah adalah pendapat pertama, yang menggunakan lafaz nikah atau

tazwij. Karena dalam pelaksanaan akad nikah harus dengan ungkapan yang

shahih dan jelas seperti lafaz: zawwajtukaha (aku nikahkan kamu dengannya)

atau ankahtukaha (aku nikahkan kamu dengannya). Dengan demikian, tujuan

melaksanakan akad nikah pun dapat dipahami jelas oleh para saksi yang hadir.

Sementara dalam pendapat kedua dan ketiga, mereka lebih condong kepada

lafaz hibah dalam melaksanakan akad nikah. Dalam hal ini, penggunaan lafaz

hibah hanya diperuntukkan bagi Rasulullah saw secara khusus.49 Karena lafaz

tersebut sah jika dipergunakan untuk akad selain nikah. Selain itu, karena

lafaz tersebut tidak secara jelas mengungkapkan pernikahan, sehingga tidak

sah digunakan dalam akad nikah. Hal itu karena kesaksian merupakan syarat

dalam nikah dan kinayah itu hanya diketahui melalui niat saja, sedangkan para

48

Muhammad Ibnu Ismail Abu Abdillah Al-Bukhori Al-Ja‟fi, Shahih Bukhori, h. 31

49Imam „Alau al

(54)

44

saksi tidak mengetahui niat kecuali jika diberitahukan kepada mereka secara

jelas. 50

d. Syarat-syarat Wali.

Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau

wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Wali hendaklah seorang

laki-laki, muslim, baligh, berakal dan adil (tidak fasik).

e. Syarat-syarat Saksi.

1) Beragama Islam.

2) Berakal, bukan orang gila.

3) Baligh, bukan anak-anak.

4) Merdeka, bukan budak.

5) Kedua orang saksi itu mendengar. 51

D. Tujuan dan Hikmah Perkawinan

1. Tujuan Perkawinan

50

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Panduan Membangun Keluarga Sakinah Sesuai Syariat), h. 115

51

(55)

Pada dasarnya tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi tuntutan

hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam

rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih

sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan

mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Syari‟ah. 52 2. Hikmah Perkawinan

Dalam sebuah perkawinan, terdapat hikmah dan pengaruh yang sangat

baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat manusia yang

diantaranya sebagai berikut:

a. Dengan adanya pernikahan maka banyaklah keturunan.

b. Keadaan hi

Gambar

GAMBARAN UMUM DESA CIWALAT
Tabel 1 Kepala Desa / Lurah Desa Ciwalat
Tabel 2
Tabel 3 Jumlah Penduduk
+4

Referensi

Dokumen terkait

Sumber : Data Primer diolah, 2019 Pada tabel di atas menunjukkan bahwa pemilihan faktor yang lebih urgen dari matriks SWOT analisis lingkungan internal faktor kekuatan

Adanya permukaan dan pori yang terbuka pada senyawa polimer dibuktikan oleh jumlah kapasitas adsorpsi hidrogen yang diperoleh dari metode gravimetri yaitu sebesar 2,048%

Secara keseluruhan, PHBS responden sudah baik.Hal ini dilihat dari frekuensi responden dengan PHBS yang baik pada kelompok penderita DBD lebih tinggi dibanding

Menurut Sugiyono (2010:7) menjelaskan bahwa penelitian dengan pendekatan eksperimen adalah suatu penelitian yang berusaha mencari pengaruh variabel tertentu terhadap

Malik Sulaiman Syah adalah raja yang adil dan disegani oleh raja-raja negeri lain. Dalam menjalankan pemerintahannya ia didampingi oleh seorang wazir yang sangat

Tidak bervariasinya metode yang digunakan oleh guru pembimbing dalam pemberian layanan informasi akan mengakibatkan peserta didik tidak termotivasi, bahkan merasa

Zahara Idris mengemukakan Pendidikan Nasional sebagai suatu sistem adalah karya manusia yang terdiri dari komponen-komponen yang mempunyai hubungan fungsional dalam rangka