• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Efisiensi Usahatani Komoditas Bawang Merah Di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Efisiensi Usahatani Komoditas Bawang Merah Di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EFISIENSI USAHATANI BAWANG MERAH

DI KABUPATEN MAJALENGKA, JAWA BARAT

NURUL RISTI MUTIARASARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Efisiensi Usahatani Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapum kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2017

Nurul Risti Mutiarasari

(4)

RINGKASAN

NURUL RISTI MUTIARASARI. Analisis Efisiensi Usahatani Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI dan NETTI TINAPRILLA

Bawang merah merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai tinggi dan telah diusahakan secara intensif oleh petani serta memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan wilayah di Indonesia. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang memberikan kontribusi keempat terbesar untuk pemenuhan kebutuhan bawang merah, salah satu wilayahnya adalah di Kabupaten Majalengka. Usahatani bawang merah masih menghadapi kendala, diantaranya harga bibit berkualitas yang mahal, belum optimalnya penggunaan input produksi, harga jual yang berfluktuasi, tingkat pengetahuan petani yang masih rendah, serta adanya ancaman iklim yang sulit dikendalikan dan penggunaan faktor-faktor produksi yang belum sesuai.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis karakteristik usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka; (2) menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka; (3) menganalisis efisiensi usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka secara teknis, alokatif, dan ekonomi. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) IPB dengan jumlah responden sebanyak 37 petani bawang merah di Kabupaten Majalengka. Waktu pengumpulan data dilakukan pada bulan September 2015

sampai dengan April 2016. Data di analisis menggunakan Stochastic Frontier

Analysis (SFA) yang digunakan sebagai pendekatan untuk mengukur efisiensi

teknis sekaligus faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selanjutnya penggunaan analisis produk marjinal untuk mengukur efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi diukur dari perkalian antara efisiensi teknis dan alokatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik petani bawang merah di Kabupaten Majalengka yaitu berada pada usia produktif, telah mengenyam pendidikan minimal Sekolah Dasar, berpengalamandalam berusahatani bawang merah,namun keikutsertaan petani terhadap penyuluhan masih sangat kurang. Selanjutnya faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap nilai produksi usahatani bawang merah adalah luas lahan, jumlah bibit, dan pestisida. Nilai efisiensi teknis rata-rata usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka adalah 0.842 yang menunjukkan bahwa rata-rata petani bawang merah di Kabupaten Majalengka sudah efisien secara teknis. Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi adalah pendidikan formal, status kepemilikan lahan, keikutsertaan dalam penyuluhan, dan lama waktu menjadi petani. Selanjutnya, dari hasil penelitian analisis efisiensi alokatif dan ekonomi, nilai efisiensi masing-masing adalah 2.94 dan 2.47 yang menunjukkan bahwa usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka masih belum efisien. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efisiensi bawang merah di Kabupaten Majalengka adalah dengan mengurangi penggunaan tenaga kerja dan mengalokasikan biaya pada faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap efisiensi.

(5)

SUMMARY

NURUL RISTI MUTIARASARI. Farming Efficiency Analysis of Shallot Commodity in Majalengka, West Java. Supervised by ANNA FARIYANTI and NETTI TINAPRILLA.

Shallot is one of strategic commodity which has high value and has been intensively cultivated by farmers, highly contribute to district development in Indonesia. West Java is the fourth-highest province that contributes to shallot needs fulfillment especially in the country. One of shallot center in West Java is located in Majalengka. Shallot farming still faces some obstacles, such as the high price of good quality seeds and ineffective usage of production input so that the output result cannot be maximized. Moreover, other obstacles are fluctuation of selling price, low knowledge level of the farmers, existence of climate threat that hard to control, and inappropriate usage of production factors.

Objectives of this research are: (1) to analyze characteristic of shallot farming in Majalengka; (2) to determine factors that affect shallot farming efficiency in Majalengka; (3) to analyze technically, allocatively, and economically shallot farming efficiency in Majalengka. Main data in this research is secondary data from previous research executed by Center of Tropical Horticulture Study (PKHT) Institut Pertanian Bogor. Shallot farmers respondent were determined with purposive approach. Number of respondent in this research is 37 shallot farmers in Majalengka. Data in this research include qualitative and quantitative data of shallot farming in Majalengka were collected between 2015 September until 2016 April. Stochastic Frontier Analysis (SFA) was used as approach to measure technical efficiency and factors affecting. Furthermore, analysis of Value Marginal Product (VMP) and Marginal Cost (MC) ratio was used to measure allocative efficiency, while the combination of technical and allocative efficiency was used to measure economic efficiency.

Research result shows that shallot farmer characteristic are in productive age , most of their minimum education is elementary school, long term experience in farming can motivate farmers to intensively upgrade their business, however, involvement of farmers in counseling is still very low. Factors that positively and significantly affect shallot farming production value are land area, amount of seeds, and pesticide. Shallot farming in Majalengka has average value of technical efficiency of 0.842 which shows that in average shallot farmer in Majalengka are technically efficient. Factors that affect efficiency are formal education, land ownership status, level of access to counselor, and time period as a farmer. Furthermore, in allocative efficiency analysis using VMP and MC ratio, if the ratio is equal to one, it shows that the business is allocatively efficient, if the ratio is more than one it shows that the business is not efficient yet. Meanwhile, economic efficiency is determined from combination of technical and allocative efficiency. The research result finds allocative and economic efficiency value are 2.94 and 2.47 respectively, which shows shallot farming in Majalengka is still allocatively and economically inefficient. Therefore, the shallot efficiency in Majalengka needs to be improved with minimize labor cost and allocated the cost to other production factors that affect shallot farming.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

ANALISIS EFISIENSI USAHATANI BAWANG MERAH

DI KABUPATEN MAJALENGKA, JAWA BARAT

NURUL RISTI MUTIARASARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada

Program Studi Magister Sains Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Harianto, MS

(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Analisis Efisiensi Usahatani Komoditas Bawang Merah di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Shalawat serta salam senantiasa disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri taudalan dan pemimpin terbaik umat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si dan Dr. Ir. Netti Tinaprila, MM selaku dosen pembimbing, Dr. Ir. Harianto, MS selaku penguji luar komisi dan Prof. Dr. Rita Nurmalina, Ir. MS selaku penguji Program Studi Agribisnis yang memberikan saran membangun dalam penyusunan dan perbaikan tesis ini. Terima kasih pula kepada Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) Institut Pertanian Bogor dengan Dr. Ir. Anna Fariyanti, M. Si selaku ketua peneliti sub tematik yang telah memfasilitasi penulis dalam pengumpulan data di lokasi penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibunda Hj. Tuti Karyani, ayahanda H. Ery Supriyadi Rustidja, kakak tercinta Hj. Nisa Risti Mustikasari dan H. Burhannudin serta Abizar Thaariq Cendekia, adik tercinta Nur Ryan Muhamad, dan seluruh keluarga atas segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada rekan-rekan yang memberikan motivasi, sekretariat Magister Sains Agribisnis yang telah membantu dalam proses administrasi, dan akademik Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah membantu pengurusan akademik dalam penyelesaian tesis.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Maret 2017

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xvi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 8

Tujuan Penelitian 10

Manfaat Penelitian 10

Ruang Lingkup Penelitian 11

TINJAUAN PUSTAKA 11

Karakteristik Usahatani Bawang Merah 12

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Efisiensi Usahatani 13

Faktor Internal 13

Faktor Penunjang Kegiatan Usahatani 15

Efisiensi Usahatani 16

Pengukuran Efisiensi Usahatani 19

KERANGKA PEMIKIRAN 21

Fungsi Produksi 21

Efisiensi Teknis, Alokatif, dan Ekonomis 24

Efisiensi Berorientasi Input 25

Fungsi Produksi Stochastic Frontier 26

Pengukuran Efisiensi Alokatif dan Ekonomi Penggunaan Faktor Produksi 28

Kerangka Pemikiran Operasional 31

METODE PENELITIAN 34

Lokasi dan Waktu Penelitian 34

Jenis dan Sumber Data 34

Metode Pengumpulan Data 34

Metode Analisis dan Pengolahan Data 35

Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier 35

Analisis Efisiensi Teknis dan Inefisiensi Teknis 36

Uji Asumsi Klasik 37

Uji Hipotesis 38

Analisis Efisiensi Alokatif dan Ekonomis 39

Konsep Pengukuran Variabel 40

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 42

Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Majalengka 42

Karakteristik Petani dan Usahatani Bawang Merah 42

Keragaan Usahatani Bawang Merah Kabupaten Majalengka 45

(12)

ANALISIS EFISIENSI KOMODITAS BAWANG MERAH DI

KABUPATEN MAJALENGKA 60

Faktor Produksi Bawang Merah di Kabupaten Majalengka 60

Efisiensi Produksi Bawang Merah 67

Analisis Efisiensi Teknis Usahatani Bawang Merah 67

Produksi Potensial dan Potensi yang Hilang Usahatani Bawang Merah 69

Sumber-sumber Inefisiensi Teknis Usahatani Bawang Merah 70

Efisiensi Alokatif dan Ekonomi 79

SIMPULAN DAN SARAN 84

Simpulan 84

Saran 85

DAFTAR PUSTAKA 86

LAMPIRAN 96

(13)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan konsumsi bawang merah di Indonesia tahun

2010-2014 1

2 Daerah sentra produksi bawang merah di Indonesia 4

3 Produktivitas bawang merah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten

Majalengka tahun 2010-2014 5

4 Luas panen, produksi, dan produktivitas bawang merah

Kabupaten Majalengka tahun 2009-2013 9

5 Karakteristik petani bawang merah di Kabupaten Majalengka 44

6 Rata-rata penggunaan pupuk per hektar pada bawang merah

di Kabupaten Majalengka 47

7 Rata-rata penggunaan tenaga kerja produksi pada bawang merah

di Kabupaten Majalengka 49

8 Penerimaan usahatani bawang merah per hektar di Kabupaten

Majalengka berdasarkan varietas yang digunakan petani 54

9 Biaya usahatani bawang merah varietas bima per hektar pada

13 Ringkasan data pendugaan fungsi produksi usahatani bawang

merah di Kabupaten Majalengka 60

14 Hasil dugaan fungsi produksi stochastic frontier dengan metode

Ordinary Least Square (OLS) 61

15 Hasil dugaan fungsi produksi stochastic frontier dengan metode

Maximum Likelihood Estimation (MLE) 64

16 Sebaran nilai efisiensi teknis usahatani bawang merah di

Kabupaten Majalengka 68

17 Produksi potensial dan kehilangan produksi bawang merah pada

berbagai tingkat efisiensi di Kabupaten Majalengka 70

18 Pendugaan efek inefisiensi teknis usahatani bawang merah di

Kabupaten Majalengka 71

19 Nilai rata-rata tingkat efisiensi teknis petani responden

berdasarkan sebaran usia di Kabupaten Majalengka 72

20 Nilai rata-rata tingkat efisiensi teknis petani responden

berdasarkan sebaran jumlah tanggungan keluarga petani di

Kabupaten Majalengka 73

21 Nilai rata-rata tingkat efisiensi teknis petani responden

berdasarkan sebaran pendidikan formal yang ditempuh petani

di Kabupaten Majalengka 74

22 Nilai rata-rata tingkat efisiensi teknis petani responden

berdasarkan status kepemilikan lahan di Kabupaten Majalengka 75

23 Nilai rata-rata tingkat efisiensi teknis petani responden

berdasarkan sebaran mutu benih yang digunakan petani di

(14)

24 Nilai rata-rata tingkat efisiensi teknis petani responden berdasarkan sebaran keikutsertaan petani dalam penyuluhan di

Kabupaten Majalengka 77

25 Nilai rata-rata tingkat efisiensi teknis petani responden

berdasarkan sebaran lama waktu menjadi petani di Kabupaten

Majalengka 78

26 Rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan

Marjinal (BKM) pada faktor-faktor produksi usahatani bawang

merah di Kabupaten Majalengka 80

27 Sebaran efisiensi alokatif dan ekonomi usahatani bawang merah

di Kabupaten Majalengka 83

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan harga bawang merah di tingkat produsen dan

konsumen tahun 2009-2014 2

2 Perkembangan luas panen bawang merah di Indonesia tahun

2004-2014 2

3 Perkembangan produksi bulanan bawang merah di Indonesia

tahun 2012-2014 3

4 Produktivitas bawang merah di Indonesia tahun 2004-2014 3

5 Kabupaten sentra dan pengembangan produksi bawang merah

di Provinsi Jawa Barat tahun 2014 5

6 Fungsi produksi neoklasik 22

7 Pengukuran efisiensi teknis, efisiensi alokatif, dan efisiensi

ekonomis berdasarkan orientasi input 25

8 Fungsi produksi stochastic frontier 27

9 Isoquant, isocost, dan titik kombinasi biaya minimum 28

10 Kerangka pemikiran operasional 33

11 Pola tanam pada lahan sawah di Kabupaten Majalengka 46

12 Pola tanam pada lahan tegalan di Kabupaten Majalengka 46

13 Perangkap lampu (night trap) yang digunakan petani responden

untuk menangkap hama pada malam hari 48

14 Lahan yang sudah diolah dan siap untuk ditanami bawang merah

di Kabupaten Majalengka (2015) 51

15 Proses penanaman bawang merah dengan menggunakan bibit

umbi 51

16 Proses pemanenan dan hasil panen bawang merah yang

dilakukan oleh petani responden di Kabupaten Majalengka 53

17 Hubungan efisiensi teknis petani bawang merah dengan usia

petani di Kabupaten Majalengka 72

18 Hubungan efisiensi teknis petani bawang merah dengan jumlah

tanggungan keluarga di Kabupaten Majalengka 73

19 Hubungan efisiensi teknis petani bawang merah dengan

pendidikan formal di Kabupaten Majalengka 74

20 Sebaran efisiensi teknis petani bawang merah berdasarkan status

kepemilikan lahan di Kabupaten Majalengka 76

21 Sebaran efisiensi teknis petani bawang merah berdasarkan mutu

(15)

22 Sebaran efisiensi teknis petani bawang merah berdasarkan keikutsertaan petani dalam penyuluhan di Kabupaten

Majalengka 78

23 Sebaran efisiensi teknis petani bawang merah berdasarkan

lama waktu menjadi petani di Kabupaten Majalengka 79

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil pendugaan fungsi produksi rata-rata (OLS) dan fungsi

produksi stochastic frontier (MLE) dengan menggunakan

program FRONTIER 4.1 97

2 Input model produksi bawang merah Kabupaten Majalengka

tahun 2015 102

3 Pendapatan petani bawang merah di musim kemarau II 103

4 Pendapatan petani bawang merah di musim kemarau I 104

5 Pendapatan petani bawang merah di musim hujan 104

6 Analisis pendapatan usahatani bawang merah di Kabupaten

(16)
(17)

Komoditas hortikultura memiliki peranan penting dalam pertanian Indonesia, mengingat komoditas tersebut merupakan komoditas potensial yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi yang dapat terus dikembangkan. Komoditas hortikultura juga merupakan komoditas strategis karena merupakan salah satu komponen penting dari Pola Pangan Harapan, yang harus tersedia setiap saat, dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman konsumsi, harga yang terjangkau, serta dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat (Kementerian Pertanian 2012). Salah satu komoditas hortikultura bernilai tinggi

yang perlu dikembangkan yaitu bawang merah. Bawang merah (Allium

ascolonicum, L) yang termasuk sebagai komoditas strategis yang menjadi salah

satu komoditas penyumbang inflasi dalam negeri selain beras, cabai merah, daging ayam, dan daging sapi. Selain itu, bawang merah memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan komoditas yang digunakan dalam pengolahan berbagai makanan. Hal tersebut menyebabkan permintaan dan kebutuhan bawang merah meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Tabel 1 menunjukkan perkembangan konsumsi bawang merah di Indonesia.

Tabel 1 Perkembangan konsumsi bawang merah di Indonesia Tahun 2010-2014

Tahun Konsumsi Pertumbuhan Konsumsi Pertumbuhan

(kg/kapita/tahun) (persen) (‘00 ton) (persen)

2010 2.53 - 603 214 -

2011 2.36 -6.60 571 582 -5.24

2012 2.76 17.02 678 355 18.68

2013 2.07 -25.29 513 809 -24.26

2014 2.49 20.44 627 134 22.06

Rata-rata pertumbuhan (persen per tahun)

1.18 3.00

Sumber: Kementerian Pertanian (2015)

Tabel 1 menunjukkan bahwa konsumsi bawang merah di Indonesia setiap tahun berfluktuatif namun cenderung meningkat dengan pertumbuhan setiap tahunnya adalah 1.18 persen. Berdasarkan pada Tabel 1, konsumsi bawang merah tertinggi dicapai pada tahun 2012 yaitu sebesar 2.76 kilogram/kapita/tahun, namun mengalami penurunan tingkat konsumsi pada tahun 2013 yaitu turun menjadi 2.07 kilogram/kapita/tahun dan kembali mengalami peningkatan pada tahun 2014 yaitu menjadi 2.49 kilogram/kapita/tahun. Konsumsi bawang merah meningkat seiring dengan kebutuhan masyarakat yang terus meningkat karena adanya pertambahan penduduk dan berkembangnya industri makananan. Konsumsi bawang merah cenderung meningkat setiap saat, namun produksi bawang merah bersifat musiman serta rentan terhadap hama dan penyakit, sehingga adanya keterbatasan dalam memenuhi permintaan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya kesenjangan antara pasokan dan permintaan, sehingga dapat menyebabkan gejolak harga. Gejolak harga yang terjadi tidak hanya di tingkat konsumen, namun juga pada tingkat petani sebagai produsen. Gambar 1 memperlihatkan perubahan harga bawang merah di tingkat produsen dan

(18)

Gambar 1 Perkembangan harga bawang merah di tingkat produsen dan konsumen tahun 2009-2014

Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura 2015 (Diolah)

Berdasarkan pada Gambar 1, perkembangan harga bawang merah di tingkat produsen cenderung meningkat, dengan rata-rata pertumbuhan 7.45 persen per tahun selama periode 2010-2014. Pada tahun 2010, harga bawang merah di tingkat produsen adalah Rp. 11 757 per kilogram, kemudian naik menjadi Rp. 15 591 per kilogram pada tahun 2014. Sedangkan, harga bawang merah di tingkat konsumen selama periode 2010-2014 juga memiliki kecenderungan harga yang meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 16.54 persen. Pada tahun 2013 harga bawang merah di tingkat konsumen merupakan harga tertinggi pada periode tersebut yaitu sebesar Rp. 30 751 per kilogram. Meningkatnya harga bawang merah tersebut terjadi akibat penurunan jumlah produksi bawang merah pada waktu-waktu tertentu. Berdasarkan pada Kementerian Pertanian 2015, peningkatan produksi bawang merah yang terjadi pada tahun 2014 akibat adanya peningkatan jumlah luas lahan produksi bawang merah di Indonesia. Peningkatan luas lahan produksi bawang merah yang dapat meningkatkan luas panen bawang merah dilakukan Pemerintah bertujuan untuk melakukan pemenuhan kebutuhan bawang merah serta mengurangi lonjakan harga dan menjaga ketersediaan stok melalui Program Gerakan Tanam Cabai dan Bawang Merah di Musim Kemarau atau GTCK. Gambar 2 memperlihatkan perkembangan luas panen bawang merah di Indonesia tahun 2004-2014.

Gambar 2 Perkembangan luas panen bawang merah di Indonesia tahun 2004-2014 Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura 2015 (Diolah)

Pada Gambar 2 memperlihatkan luas panen bawang merah di Indonesia mengalami fluktuasi. Penurunan luas panen terluas terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 14.56 persen dan pada tahun 2014 terjadi peningkatan luas panen bawang merah sebesar 22 persen (Direktorat Jenderal Hortikultura 2015). Peningkatan

0

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

(19)

luas panen pada tahun 2014 merupakan luas panen bawang merah tertinggi selama periode tersebut yaitu 120 704 hektar. Selama lima tahun terakhir (2010-2014), rata-rata pertumbuhan luas panen bawang merah meningkat sebesar 3.70 persen per tahun, lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya yaitu sebesar 3.04 persen per tahun (Kementerian Pertanian 2015). Seiring dengan perkembangan luas panen bawang merah, perkembangan produksi bawang merah di Indonesia juga cenderung meningkat setiap tahunnya. Gambar 3 memperlihatkan perkembangan produksi bulanan bawang merah di Indonesia tahun 2012-2014.

Gambar 3 Perkembangan produksi bulanan bawang merah di Indonesia tahun 2012-2014

Sumber: Kementerian Pertanian (2015)

Berdasarkan pada Gambar 3, produksi bulanan bawang merah di Indonesia selama periode 2012-2014 cenderung berfluktuatif. Selain itu, produksi bawang merah tahun 2012 dan 2013 tertinggi terjadi pada bulan Januari dan Agustus. Pada tahun 2014, produksi tertinggi terjadi pada bulan Januari dan Juni dengan masing-masing jumlah produksi yaitu pada bulan Januari adalah 1 490 130 ton dan bulan Juni adalah 1 406 370 ton. Hal ini memperlihatkan bahwa bawang merah merupakan komoditas yang bersifat musiman, karena peningkatan produksi hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu, sementara kebutuhan bawang merah cenderung meningkat. Hal ini yang menyebabkan berfluktuatifnya harga bawang merah, baik di tingkat konsumen maupun produsen. Rata-rata pertumbuhan produksi bawang merah tahun 2010-2014 adalah 5.74 persen per tahun, lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode sebelumnya yaitu 6.94 persen per tahun. Selain itu, peningkatan luas panen berpengaruh pada produktivitas bawang merah di Indonesia. Gambar 4 menunjukkan produktivitas bawang merah di Indonesia tahun 2004-2014.

Gambar 4 Produktivitas bawang merah di Indonesia tahun 2004-2014 Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura 2015 (Diolah) 0

50000 100000 150000

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

Pro

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

(20)

Berdasarkan Gambar 4, produktivitas bawang merah cenderung meningkat setiap tahunnya dengan pertumbuhan 2 persen per tahun. Tingkat produktivitas secara nasional, didukung oleh produktivitas beberapa sentra produksi bawang merah, terutama sentra produksi yang berada di Pulau Jawa. Pada tahun 2014, Pulau Jawa memiliki tingkat produktivitas bawang merah yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat produktivitas di Luar Pulau Jawa yaitu 10.52 ton per hektar dan 9.31 ton per hektar. Hal tersebut disebabkan karena adanya peningkatan luas panen yang lebih besar di Pulau Jawa dibandingkan dengan di Luar Pulau Jawa, dengan rata-rata kontribusi selama kurun waktu 2010-2014 adalah 74.89 persen di Pulau Jawa dan 25.11 di Luar Pulau Jawa (Kementerian Pertanian 2015).

Dari sisi kontribusi, selama periode 1980-2009 produksi bawang merah di Pulau Jawa memberikan kontribusi sebesar 74.73 persen, selanjutnya pada periode 2010-2014 Pulau Jawa memberikan kontribusi sebesar 77.91 persen, lebih besar dibandingkan dengan periode sebelumnya. Terdapat beberapa sentra bawang merah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi bawang merah dalam negeri, yaitu di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan (BPS 2015). Tabel 2 menunjukkan beberapa daerah sentra produksi bawang merah di Indonesia.

Tabel 2 Daerah sentra produksi bawang merah di Indonesia

Provinsi Sentra Kabupaten/Kota

Jawa Tengah Brebes, Demak, Pati, Temanggung,

Tegal, Boyolali, dan Kendal

Jawa Timur Nganjuk, Probolinggo, Bojonegoro,

Kediri, dan Pamekasan

Nusa Tenggara Barat Bima dan Lombok Timur

Jawa Barat Cirebon, Bandung, Garut, Majalengka,

Indramayu, dan Kuningan Sumber : Badan Pusat Statistik 2015

(21)

Gambar 5 Kabupaten sentra dan pengembangan produksi bawang merah di Provinsi Jawa Barat tahun 2014

Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura 2015

Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra pengembangan komoditas bawang merah yang terdiri dari beberapa wilayah. Salah satu wilayah sentra pengembangan bawang merah di Jawa Barat adalah Kabupaten Majalengka. Berdasarkan pada Gambar 5, pada tahun 2014 kontribusi pemenuhan kebutuhan bawang merah Kabupaten Majalengka sebesar 23.52 persen, berada pada urutan ketiga setelah Kabupaten Cirebon sebesar 31.53 persen dan Kabupaten Bandung sebesar 25.13 persen, serta diikuti Kabupaten Garut sebagai urutan keempat dengan persentase kontribusi sebesar 13.80 persen dan lainnya sebesar 4.23 persen. Hal lain yang mendukung Kabupaten Majalengka cocok untuk pengembangan bawang merah yaitu memiliki iklim, tekstur tanah, dan cuaca yang baik untuk pertumbuhan bawang merah. Selain itu, Kabupaten Majalengka dijadikan sebagai salah satu kawasan pembangunan sayuran seiring dengan program pemerintah dalam Program Pengembangan Kawasan Hortikultura Terintegrasi Dengan Pendampingan Intensif. Tabel 3 menunjukkan produktivitas bawang merah di Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Majalengka. Tabel 3 Produktivitas bawang merah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten

Majalengka tahun 2010-2014

Tahun Produktivitas (ton/hektar)

Jawa Barat Kabupaten Majalengka

2010 9.56 8.93

2011 10.11 9.72

2012 10.13 11.20

2013 10.26 11.01

2014 10.37 11.98

Sumber : Susenas, BPS, dan Direktorat Jenderal Hortikultura 2015 (Diolah)

(22)

menurun akibat penggunaan pestisida dan obat-obatan yang berlebihan, 3) prasarana dan sarana produksi terbatas, 4) ketersediaan bibit bawang merah

berkualitas terbatas dan mahal, 5) harga jual yang cenderung fluktuatif, 6) masalah eksternal berupa kondisi iklim yang tidak dapat dikendalikan, dan 7) permasalahan dari aspek sosial, berupa akses teknologi, modal, dan pengetahuan yang masih rendah serta adanya ancaman kesehatan akibat penggunaan pestisida yang cenderung masih tinggi (Direktorat Jenderal Hortikultura 2014; Bank Indonesia 2013).

Produktivitas usahatani yang rendah berkaitan dengan persoalan efisiensi dalam penggunaan input. Alokasi penggunaan input masih belum sesuai dengan yang dianjurkan. Pengalokasian input yang dilakukan secara efisien diharapkan dapat meningkatkan produktivitas bawang merah sepanjang tahun. Efisiensi merupakan faktor yang sangat penting di negara berkembang untuk menentukan pertumbuhan produktivitas, dimana sumber daya yang terbatas dan kurangnya kesempatan dalam melakukan pengembangan dan melakukan adopsi teknologi yang baik (Bifarin 2010). Kemampuan petani dalam melakukan pengelolaan dan pengalokasian input yang digunakan akan berpengaruh pada produksi dan produktivitas, serta akan memberikan gambaran mengenai tingkat efisiensi yang dicapai oleh petani. Faktor sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap efisiensi teknis usahatani. Penggunaan input dan pencapaian efisiensi teknis merupakan penentu untuk mempercepat pertumbuhan sektor pertanian.

Ukuran produktivitas pada hakikatnya mempengaruhi tingkat efisiensi terutama efisiensi teknis yang dilakukan oleh petani dengan menunjukkan output maksimum yang dapat dihasilkan dari setiap input yang tersedia. Menurut Roger (1998), produktivitas dan efisiensi memiliki hubungan satu sama lain, yaitu pertumbuhan produktivitas mencakup perubahan efisiensi dan peningkatan efisiensi dapat meningkatkan produktivitas. Jika secara teknis, Pelaksanaan Prosedur Operasional Standar (POS) budidaya bawang merah yang diterbitkan Kementerian Pertanian dilakukan secara konsisten dan terdokumentasi dengan baik oleh setiap pelaku usaha atau petani, maka dapat menghasilkan produktivitas bawang merah sebesar 15-20 ton per hektar (Bank Indonesia 2013). Permasalahan produktivitas usahatani yang rendah yaitu kurang dari 20 ton per hektar akan berpengaruh pada tingkat pendapatan petani. Selain itu, dalam pelaksanaan produksi usahatani bawang merah diperlukan penggunaan input dan dalam penggunaan input-input tersebut terdapat biaya yang harus dikeluarkan, sehingga akan berpengaruh pada pendapatan petani. Terdapat beberapa input yang digunakan dalam melakukan produksi bawang merah, yaitu bibit, pupuk, pestisida, lahan, dan tenaga kerja. Jumlah penggunaan input tersebut dapat mempengaruhi jumlah produksi dan pendapatan yang dihasilkan oleh petani bawang merah dalam menjalankan usahanya. Jika alokasi input yang digunakan tidak sesuai dengan yang dianjurkan, maka produktivitas maksimal tidak tercapai yang akan berpengaruh pada pendapatan karena tidak tepatnya biaya produksi yang dikeluarkan oleh pelaku usaha atau petani.

(23)

lahan untuk usahatani cenderung berkurang, 2) ketersediaan bibit bawang merah berkualitas terbatas dan mahal, 3) penggunaan input produksi seperti pupuk anorganik masih tinggi walau harga mahal, 4) penggunaan pestisida untuk mengendalikan serangan hama dan penyakit tanaman cenderung berlebihan, 5) harga jual cenderung berfluktuasi, 6) masalah eksternal berupa kondisi iklim yang tidak dapat dikendalikan, terutama banjir dan kekeringan yang selalu mengancam setiap tahunnya, dan 7) permasalahan dari aspek sosial petani berupa akses teknologi, modal, dan pengetahuan yang masih rendah serta adanya ancaman kesehatan petani akibat penggunaan pestisida yang cenderung masih tinggi.

Terbatasnya ketersediaan lahan untuk usahatani merupakan konsekuensi dari pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, sedangkan lahan usahatani tetap bahkan cenderung menurun. Kondisi tersebut mendorong eksploitasi lahan yang dalam jangka panjang dapat menyebabkan degradasi lahan. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Balitbang Pertanian (2005) menyebutkan bahwa lahan pada sentra produksi bawang merah seperti Brebes telah mengalami degradasi lahan. Dampak degradasi lahan ini adalah penurunan minat petani untuk mengusahakan bawang merah. Terdapat penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian sub sektor hortikultura, termasuk bawang merah, yaitu pada tahun 2003 terdapat 16.94 juta rumah tangga, pada tahun 2013 berkurang menjadi 10.60 juta rumah tangga (BPS 2013).

Bibit bawang merah menjadi salah satu kendala dalam melakukan usahatani bawang merah, terutama terkait dengan kualitas dan harga bibit. Sebagian besar petani menggunakan bibit yang berasal dari hasil produksi sendiri atau membeli dari toko saprodi yang tingkat kemurnian varietasnya tidak diperhatikan. Patokan yang digunakan dalam menilai kualitas bibit dilakukan hanya pada lama penyimpanan (Rustini dan Bambang 2011). Kendala usahatani bawang selanjutnya adalah dalam hal penggunaan pupuk anorganik. Penggunaan pupuk salah satu input produksi yang sangat penting untuk meningkatkan produksi, namun pemakaiannya cenderung berlebihan, sehingga berpotensi menyebabkan degradasi lahan. Terdapat indikasi penurunan produktivitas pada lahan pertanian intensif yang memanfaatkan pupuk anorganik (BBSDLP 2006). Hal tersebut berkaitan dengan kandungan C-organik dalam tanaha, yaitu kurang dari 2 persen. Pada kenyataannya, untuk memperoleh produktivitas tinggi dibutuhkan C-organik lebih dari 2.5 persen. Selain pupuk organik, penggunaan input pestisida kimia yang melebihi dosis anjuran juga berpotensi mempengaruhi usahatani bawang merah. Ketergantungan petani terhadap pestisida akan berdampak juga secara ekonomi, karena harga pestisida semakin mahal, sehingga proses usahatani menjadi tidak efisien.

(24)

biaya input yang diminimalisir, maka petani akan memperoleh keuntungan. Keuntungan yang didapatkan jika produktivitas bawang merah dapat mencapai 15 ton per hektar, maka penerimaan yang dapat diperoleh petani adalah sekitar Rp. 300 000 000. Melakukan usahatani bawang merah merupakan salah satu usahatani yang menguntungkan. Namun jika produktivitas bawang merah tidak dapat meningkat, maka hal ini berkaitan dengan efisiensi dalam penggunaan input, karena alokasi input yang digunakan belum tentu sesuai dengan yang dianjurkan, sehingga produktivitas maksimal tidak tercapai dan akan berpengaruh pada pendapatan karena terdapat biaya produksi yang dikeluarkan oleh pelaku usaha atau petani.

Kemampuan dalam mengkombinasikan penggunaan input secara teknis pada tingkat biaya minimum, akan berpengaruh terhadap efisiensi dari pelaku usaha atau petani. Jika secara teknis proses produksi dilakukan secara tidak efisien, maka akan berdampak pada ketidakberhasilan mewujudkan produktivitas maksimal. Sedangkan dikatakan secara alokatif proses produksi tidak dilakukan secara efisien, yaitu jika proporsi penggunanaan input pada komoditas padi tidak optimum yang diindikasikan dengan produk penerimaan marginal yang tidak sebanding dengan biaya marginal input yang digunakan (Tinaprilla 2012). Selain itu, terdapat isu inefisiensi yang timbul dari asumsi bahwa pelaku usahatani berorientasi untuk memaksimalkan kentungan. Inefisiensi dapat diartikan sebagai suatu tahapan dimana tujuan dari perilaku ekonomi belum secara penuh dimaksimalkan (Adiyoga 1999).

Penggunaan input tidak efisien akan berpengaruh pada tingkat produktivitas usahatani. Oleh karena itu, perlu pengkajian mengenai analisis efisiensi usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka secara teknis, alokatif, dan ekonomis serta analisis faktor produksi dan faktor inefisiensi usahatani untuk dapat meningkatkan kemampuan pengelolaan usahatani dan peningkatan produktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan bawang merah secara intensif.

Perumusan Masalah

Bawang merah (Allium ascolonicum, L) merupakan salah satu komoditas

strategis karena menjadi salah satu komoditas penyumbang inflasi. Selain itu, bawang merah juga merupakan komoditas pertanian utama bumbu masakan Indonesia sehingga permintaan akan bawang merah meningkat setiap tahunnya. Peningkatan permintaan tersebut dipengaruhi oleh adanya peningkatan jumlah penduduk dan berkembangnya industri makanan, sehingga kebutuhan bawang merah meningkat yaitu 1.18 persen per tahun (Kementerian Pertanian 2015).

(25)

kehilangan produk. Rendahnya harga bawang merah di tingkat petani menyebabkan kerugian terhadap petani, karena biaya produksi yang dikeluarkan per hektarnya dalam satu kali produksi dapat mencapai Rp. 100 000 000. Namun, jika harga bawang merah stabil dan relatif meningkat, petani dapat memperoleh keuntungan lebih dari dua kali lipat biaya yang dikeluarkan. Oleh karena itu, bawang merah merupakan komoditas yang berpotensi untuk dikembangkan.

Provinsi Jawa Barat sebagai salah satu sentra produksi bawang merah di Indonesia dengan kontribusi rata-rata hasil produksi Provinsi Jawa Barat tahun 2010-2014 adalah 11.24 persen, yaitu urutan ketiga setelah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sentra produksi bawang merah di Provinsi Jawa Barat tersebar atas beberapa Kabupaten, diantaranya adalah Cirebon, Bandung, Garut, Majalengka, Indramayu, dan Kuningan. Kabupaten Majalengka merupakan salah satu sentra produksi bawang merah ketiga di Jawa Barat. Tabel 4 menunjukkan luas panen, produksi, dan produktivitas bawang merah di Kabupaten Majalengka.

Tabel 4 Luas panen, produksi, dan produktivitas bawang merah Kabupaten Majalengka tahun 2009-2013

Uraian Tahun

2009 2010 2011 2012 2013

Luas Panen (ha) 2 727 2 562 1 917 1 842 2 150

Produksi (ton) 37 338 22 879 18 642 20 636 23 683

Produktivitas (ton/ha) 13.69 8.93 9.72 11.20 11.01

Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura, 2015

Berdasarkan pada Tabel 4, produktivitas bawang merah di Kabupaten Majalengka mengalami fluktuasi. Produktivitas terendah terjadi pada tahun 2010, karena terjadi penurunan luas panen dan produksi. Selanjutnya terjadi kenaikan produktivitas kembali pada tahun 2011 dan 2012. Namun, pada tahun 2013 produktivitas menurun, padahal luas panen serta produksi lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2012. Hal ini diduga akibat penggunaan dan pengalokasian input belum tepat. Penggunaan rata-rata faktor produksi (input) berupa bibit, pupuk, dan pestisida masing-masing adalah 800-1000 kilogram per hektar, 1 ton per hektar untuk pupuk anorganik dan 998 kilogram per hektar untuk pupuk organik, dan 16 kilogram per hektar untuk pestisida padat dan 9 liter per hektar untuk pestisida cair per hektar. Sedangkan input yang dianjurkan adalah bibit 2-3 ton per hektar, pupuk anorganik adalah 50-500 kilogram per hektar dan pupuk organik 10-20 ton per hektar, dan 1-4 kilogram per hektar untuk pestisida padat dan 2 liter per hektar untuk pestisida cair (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian 2015; Bank Indonesia 2013).

Peningkatan produksi bawang merah melalui peningkatan produktivitas usahatani bawang merah dapat dilakukan dengan cara melakukan efisiensi terhadap usahatani bawang merah. Menurut Farrel (1957) dalam usahatani,

konsep efisiensi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) efisiensi teknis (technical

efficiency), (2) efisiensi alokatif atau efisiensi harga (allocative (price) efficiency),

dan (3) efisiensi ekonomi (economic efficiency). Efisiensi teknis menggambarkan

(26)

tingkat biaya minimum dalam menghasilkan output tertentu. Jika dalam pengelolaan usahatani telah menggunakan kombinasi input secara optimal pada tingkat biaya minimum, maka tercapai efisiensi ekonomi.

Permasalahan usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka adalah produktivitas bawang merah yang masih rendah, yaitu dibawah 15 ton per hektar. Hal tersebut diduga akibat alokasi penggunaan input seperti bibit, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja yang masih belum optimal karena harga input yang mahal seperti bibit yaitu Rp 23 000 per kilogram, sementara harga jual bawang merah di tingkat petani yaitu sekitar Rp 15 000 per kilogram. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka penggunaan input harus dioptimalkan, sehingga biaya produksi dapat dihemat dan output yang dihasilkan maksimal yang berdampak pada peningkatan efisiensi dalam melakukan usahatani bawang merah. Penelitian yang dilakukan Purmayanti (2002) dan Waryanto (2015) mengenai efisiensi bawang merah di Kabuapten Brebes dan Kabupaten Nganjuk masing-masing menunjukkan bahwa usahatani bawang merah sudah efisien secara teknis, namun belum efisien secara alokatif dan ekonomi. Halil (2013) menyatakan bahwa tercapainya efisiensi teknis tidak menjamin tercapainya efisiensi alokatif, karena efisiensi alokatif berkaitan dengan harga input.

Untuk meningkatkan produksi bawang merah adalah dengan melakukan kombinasi penggunaan input-input produksi, tingkat efisiensi usahatani bawang merah juga dipengaruhi karakteristik sosial ekonomi petani. Karakteristik petani mempengaruhi kemampuan manajerial petani pada produksi bawang merah, sehingga akan berpengaruh pada tingkat efisiensi usahatani bawang merah. Oleh karena itu, peningkatkan efisiensi juga dapat dilakukan dengan memperbaiki kemampuan manajerial petani

Berdasarkan pada hal tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan yang mendasari penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana karakteristik usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka?

2. Apa faktor yang menjadi sumber inefisiensi usahatani bawang merah di

Kabupaten Majalengka?

3. Apakah usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka efisien secara

teknis, alokatif, dan ekonomis?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis karakteristik usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka.

2. Menentukan efisiensi secara teknis dan faktor-faktor yang menjadi sumber

inefisiensi usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka.

3. Menganalisis efisiensi usahatani bawang merah di Kabupaten Majalengka

secara alokatif dan ekonomis.

Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

1. Bagi petani bawang merah, penelitian ini memberikan pengetahuan mengenai

(27)

2. Bagi Pemerintah, penelitian ini bermanfaat sebagai dasar untuk pengambilan keputusan yag terkait dengan kebijakan intensifikasi dalam rangka peningkatan produktivitas serta efisiensi usahatani bawang merah secara spesifik, khususnya di Kabupaten Majalengka dan sebagai sumber informasi untuk pengembangan komoditas bawang merah bagi pemerintah Indonesia dan para pelaku yang terlibat dalam sistem agribisnis komoditas bawang merah Indonesia.

3. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan rujukan

terkait dengan efisiensi usahatani bawang merah.

4. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang keilmuan agribisnis, khususnya

dalam peningkatan efisiensi dalam mendorong produktivitas bawang merah di Indonesia.

Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian ini meliputi analisis efisiensi usahatani bawang merah di wilayah Kabupaten Majalengka, Jawa Barat sebagai kawasan sentra dan pengembangan hortikultura. Hal ini dilatarbelakangi bahwa Kabupaten Majalengka merupakan salah satu kawasan pembangunan sayuran seiring dengan program Pemerintah dalam Program Pengembangan Kawasan Hortikultura Terintegrasi Dengan Pendampingan Intensif. Teknik analisis penelitian ini juga dibatasi oleh pemilihan metode penelitian yang akan digunakan, yaitu untuk

analisis efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomis dengan stochastic frontier

production function approach dan perbandingan biaya marginal.

TINJAUAN PUSTAKA

Pengukuran efisiensi untuk sebuah industri sangat penting dilakukan, hal tersebut penting dikarenakan beberapa hal : (1) Masalah efisiensi penting untuk ahli teori ekonomi maupun pembuat kebijakan ekonomi; (2) Jika secara teori efisiensi relatif berbeda dari sistem ekonomi, maka perlu dilakukan pengujian secara empiris, oleh karena itu penting untuk mampu membuat pengukuran efisiensi aktual sebagai perbandingan antara kondisi riil dan aktual yang dihadapi oleh perusahaan; (3) Jika perencanaan ekonomi terkait dengan industri tertentu, maka penting untuk mengetahui seberapa jauh suatu industri dapat meningkatkan output dengan meningkatkan efisiensi, tanpa perlu menyerap sumber daya lebih lanjut (Farrell 1957).

(28)

tersebut dapat membantu untuk menentukan sejauh mana peningkatan produksi dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi usahatani berdasarkan sumber daya dan teknologi yang tersedia (Kibaara 2005). Peningkatan efisiensi di negara berkembang sangat diperlukan untuk peningkatan produktivitas, hal ini dikarenakan yaitu ketika usahatani mengalami ketidakefisienan (inefisiensi) maka dapat menimbulkan risiko yang lebih besar. Walaupun pada dasarnya petani

menghadapi risiko defaultnamun jika risiko tersebut dapat dihindari, maka output

yang dihasilkan dapat lebih besar dengan penggunaan input yang efisien.

Pada bab ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai jenis-jenis efisiensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi usahatani, serta model yang sering digunakan dalam analisis datanya. Referensi yang digunakan adalah berasal dari jurnal, artikel ilmiah dan laporan penelitian. Beberapa penelitian menguji efisiensi pada kondisi dan wilayah yang berbeda dan dengan metode yang berbeda. Berdasarkan referensi yang telah dibahas, maka diperoleh kesimpulan atas beberapa konsep yang berhubungan dengan penelitian ini.

Karakteristik Usahatani Bawang Merah

Bawang merah atau Allium Sp merupakan tanaman umbi bernilai ekonomi

tinggi ditinjau dari fungsinya sebagai bumbu penyedap masakan, industri pengolahan makanan serta dapat juga digunakan sebagai obat herbal. Bawang merah menjadi salah satu komoditas sayuran komersial. Sebagai komoditas yang komersial, sebagian besar bahkan hampir seluruh hasil produksi bawang merah dijual, bukan untuk dikonsumsi sendiri oleh petani. Hasil produksi tersebut menentukan pendapatan yang diperoleh oleh petani dari sejumlah penggunaan modal yang dimiliki.

Bawang merah dihasilkan di 24 dari 33 provinsi di Indonesia. Provinsi penghasil utama (luas areal panen > 1000 hektar per tahun) bawang merah diantaranya adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan Sulawesi Selatan (Bank Indonesia 2013). Profil usahatani bawang merah terutama dicirikan oleh 80 persen petani yang merupakan petani kecil dengan luas lahan usaha kurang dari 1 hektar. Berbagai varietas bawang merah yang banyak diusahakan oleh petani diantaranya adalah Kuning (Rimpeg, Berawa, Sidapurna, dan Tablet), Bangkok Warso, Bima Timor, Bima Sawo, Bima Brebes, Engkel, Bangkok, Filipina, dan Thailand. Adapun varietas bawang merah yang lebih disukai petani untuk ditanam pada

musim kemarau adalah varietas Philippines (impor).

Usahatani bawang merah biasanya dilakukan di lahan sawah irigasi dan tadah hujan, bahkan saat ini adapula usahatani bawang merah yang dilakukan di lahan pasir (Setyono dan Suradal 2009). Ketinggian tempat yang optimal untuk pertumbuhan bawang merah adalah 0-450 meter di atas permukaan laut. Pemeliharaan tanaman bawang merah meliputi beberapa kegiatan, yaitu

penyulaman, pengairan, pemupukan, penyiangan (pendangiran), serta

(29)

di atas tanah (Rukmana 1994). Teknologi yang digunakan oleh petani dalam melakukan budidaya bawang merah sangat bervariasi, sehingga produksi yang dihasilkan pun bervariasi.Selain itu, karakteristik usahatani bawang merah tidak hanya dipengaruhi secara teknis, namun juga karakteristik secara sosial ekonomi petani. Karakter secara sosial dan ekonomi dapat dilihat dari usia, pendidikan, status kepemilikan lahan, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman melakukan usahatani bawang merah dan keikutsertaan petani dalam penyuluhan.

Faktor –Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Efisiensi Usahatani

Penggunaan faktor-faktor produksi dan faktor-faktor luar produksi sangat berpengaruh pada tingkat efisiensi usaha yang dapat dijadikan sebagai alat ukur unruk menilai pemilihan alternatif dalam keputusan produksi. Faktor-faktor tersebut dapat berpengaruh positif atau negatif terhadap efisiensi. Jika faktor tersebut berpengaruh positif, maka akan meningkatkan efisiensi, produktivitas, serta memberikan keuntungan bagi petani. Sebaliknya, jika faktor tersebut bernilai negatif, maka mengakibatkan hasil efisiensi yang rendah, dimana terjadinya penggunaan faktor-faktor yang tidak tepat yang berpengaruh terhadap penurunan produktivitas dan keuntungan.

Dalam menjalankan usahatani baik yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhannya atau untuk mencari keuntungan, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Terdapat beberapa faktor yang yang dipengaruhi secara internal dan faktor-faktor penunjang kegiatan usaha. Adapun faktor internal, antara lain: (1) petani pengelola (usia, pendidikan, pengalaman, status kepemilikan), (2) lahan, (3) tenaga kerja, (4) modal, (5) teknologi, dan (6) jumlah keluarga dan faktor penunjang adalah lembaga-lembaga penunjang kegiatan usahatani.

Faktor Internal

Efisiensi suatu usaha, disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor internal. Berdasarkan pada paparan sebelumnya, bahwa terdapat beberapa faktor internal yang mempengaruhi efisiensi usahatani, yaitu petani (usia, pendidikan, pengalaman, status kepemilikan), lahan, tenaga kerja, modal, teknologi, dan jumlah keluarga.

Faktor internal petani yang mencakup usia, pendidikan, pengalaman, dan status kepemilikan dapat mempengaruhi tingkat efisiensi usahatani yang

dijalankan. Nganga et al (2010) mengungkapkan pada usaha rumah tangga

(30)

mempunyai tanda negatif dan bukan merupakan faktor penting yang mempengaruhi tingkat efisiensi, terutama efisiensi teknis yang diperoleh petani (Sukiyono 2005).

Selain pada usia dan pengalaman, tingkat pendidikan berpengaruh terhadap tingkat adopsi dari perkembangan teknologi dan inovasi. Pada umumnya, semakin tinggi tingkat pendidikan, maka proses adopsi teknologi akan semakin cepat. Diduga dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, seseorang memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih banyak, serta cenderung akan lebih terbuka dengan adanya beragam informasi dan perkembangan dunia. Shuwu

(2006); Rahman (2003); Abu dan Kirsten (2009); Nganga et al (2010); Susilowati

dan Tinaprilla (2012) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan berdampak positif terhadap efisiensi usaha yang dijalankan, baik skala besar maupun skala kecil, dapat dikatakan bahwa pendidikan meningkatkan efisiensi profit pada usaha yang dijalankan. Namun, pada beberapa penelitian menyebutkan tingkat pendidikan

berpengaruh negatif terhadap efisiensi. Yunus (2009) dan Bifarin et al (2010)

menyebutkan bahwa pendidikan formal berpengaruh negatif terhadap efisiensi usaha dan ilmu yang didapatkan dari pendidikan formal kebanyakan

diimplementasikan untuk aktivitas bisnis di sektor off-farm. Sejalan dengan Yunus

(2009) dan Bifarin et al (2010), Battese dan Coelli (1995); Llewellyn dan

Williams (1996); Hasnah et al (2004) menyebutkan bahwa pendidikan memiliki

pengaruh negatif terhadap efisiensi teknis. Namun disisi lain, terdapat kesepakatan bahwa tingkat pendidikan memiliki pengaruh positif terhadap adopsi

inovasi teknologi pertanian (Hossain et al. 1990; Asfaw dan Admassie 2004; Weir

dan Knight 2007).

Margono dan Sharma (2004) mengklasifikasikan kepemilikan usaha

menjadi dua, yaitu kepemilikan publik dan swasta, sedangkan Saygili et al (2001)

menggunakan tiga jenis klasifikasi, yaitu kepemilikan publik, swasta, dan campuran. Berbeda dengan peneliti lainnya, bahwa status kepemilikan menurut

Rajesh (2007) diklasifikasikan menjadi pemilik tunggal (preprietary firms) dan

multi-pemilik (partnership). Sebagian besar usaha preprietary firms merupakan

usaha rumah tangga yang mempekerjakan tenaga kerja keluarga dan sebagian

besar perusahaan partnership merupakan perusahaan non rumah tangga, dimana

tenaga kerja yang digunakan merupakan tenaga kerja upahan. Rajesh (2007)

menggunakan status kepemilikan diukur sebagai variabel dummy dengan multi

pemilik menjadi kategori referensi, hasil penelitian memperlihatkan bahwa koefisien status kepemilikan usaha pada semua sektor, kecuali industri metal adalah berpengaruh negatif atau dapat disimpulkan bahwa usaha yang dijalankan berlandaskan kemitraan lebih efisien dibandingkan dengan perusahaan yang dimiliki tunggal oleh pemiliknya.

(31)

bawang merah. Hal ini menunjukkan bahwa petani dengan status kepemilikan lahan sewa, akan lebih berusaha untuk mengelola usahataninya dengan teknik budidaya dan penggunaan sumberdaya yang lebih efisien untuk mendapatkan hasil yang maksimal, karena adanya biaya yang dikeluarkan untuk sewa lahan.

Lahan merupakan faktor penting dalam usahatani. Produktivitas lahan dapat mempengaruhi besarnya produksi usahatani yang diperoleh petani (Mosher 1996; dan Hansen 1981). Dibandingkan dengan faktor lain, lahan biasanya merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam peningkatan produksi. Meskipun demikian, Soekartawi (2003) menyatakan bahwa bukan berarti semakin luas lahan, maka semakin efisien lahan tersebut. Namun, luasnya lahan juga dapat menyebabkan inefisiensi. Penelitian Junankar (1980) di India dengan hipotesis bahwa petani berlahan luas lebih efisien dari petani berlahan sempit, ternyata ditolak yang berarti tidak ada perbedaan efisiensi antara petani berlahan luas dengan petani berlahan sempit. Selain itu, penelitian Croppenstedt (2005) menyimpulkan tidak ada bukti bahwa efisiensi teknis usahatani bervariasi menurut luas usahatani.

Besarnya modal yang dimiliki petani, berpengaruh terhadap kemampuan dan tingkat produksi dari pelaku usahatani (petani). Modal sering diartikan sebagai segala sesuatu yang digunakan untuk menghasilkan input. Modal dalam

bidang pertanian atau usahatani sering diklasifikasikan sebagai modal tetap (fixed

capital), seperti lahan dan bangunan; modal kerja (working capital), seperti

alat-alat dan mesin yang digunakan dalam proses produksi; dan modal lancar/berubah

(current/variable capital), seperti bibit atau benih tanaman, pupuk, obat-obatan,

serta uang tunai untuk upah buruh. Modal lancar/berubah, seperti bibit atau benih tanaman, pupuk, dan obat-obatan merupakan input pertanian yang bepengaruh terhadap besarnya produksi yang diperoleh petani (Mosher 1996; dan Hansen 1981).

Selain itu, dalam usahatani, sebagian tenaga kerja berasal dari keluarga petani itu sendiri. Tenaga kerja yang berasal dari keluarga petani ini merupakan sumbangan keluarga pada produksi pertanian secara keseluruhan dan tidak pernah dinilai dengan uang. Dalam penelitian Tety Suciaty (2004) menyebutkan bahwa faktor produksi tenaga kerja merupakan faktor produksi yang berpengaruh positif dalam menentukan tingkat produksi pada usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon. Penelitian Ojo (2004) yang melakukan penelitian mengenai peningkatan produktivitas tenaga kerja dan efisiensi teknis pada produksi pertanian di Nigeria menyebutkan bahwa kebanyakan tenaga kerja yang digunakan oleh petani di Nigeria berasal dari dalam keluarga dan kebanyakan merupakan usahatani berskala kecil. Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa produktivitas tenaga kerja dapat ditingkatkan dengan memberikan pelatihan beberapa operasi dasar, seperti dalam hal persiapan lahan dan pemeliharaan.

Faktor Penunjang Kegiatan Usahatani

(32)

Pelaku usaha, umumnya menghadapi kendala, salah satunya adalah kendala dana. Salah satu alternatif yang dapat digunakan yaitu dengan mengajukan kredit kepada lembaga keuangan pemerintah maupun swasta maupun koperasi. Terdapat beberapa pilihan sumber pembiayaan yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usahatani saat ini. Namun, tidak semua pelaku usahatani (petani) memiliki kemampuan untuk mendapatkan akses sumber pembiayaan tersebut. Shuwu (2006) menyebutkan bahwa akses kredit (baik bank maupun non bank) berpengaruh positif dan signifikan terhadap efisiensi profit usaha atau semakin banyak usaha yang mendapatkan kredit, maka potensi kehilangan profit dapat diminimalisir pelaku usaha. Sedangkan Susilowati dan Tinaprilla (2012) menyebutkan bahwa akses kredit (perbankan) berpengaruh positif terhadap efisiensi usahatani tebu di Jawa Timur, namun pengaruh yang ditimbulkannya

tidak siginifikan. Berbeda pada penelitian Bifarin et al (2010) menyatakan bahwa

semakin tinggi akses terhadap kredit, maka pelaku usahatani (petani) menjadi semakin tidak efisien.

Selain itu kerjasama pelaku usaha dengan organisasi atau usaha lainnya merupakan alternatif dalam menunjang kegiatan usahatani. Kerjasama dapat memberikan manfaat dalam menunjang kegiatan usahatani, seperti akses informasi, adanya kemudahan memperoleh input usaha, kemudahan dalam melakukan pemasaran hasil usahatani, memiliki jaringan yang luas, dan

sebagainya. Penelitian Galawat dan Yabe (2012) menyatakan bahwa cooperative

memiliki pengaruh yang kuat dan signifikan terhadap efisiensi usaha. Apabila seorang petani bergabung dalam sebuah kelompok, maka secara signifikan usaha tersebut memiliki tingkat efisiensi profit yang tinggi. Terlibatnya petani di dalam kelompok akan memberikan kemudahan bagi petani tersebut untuk berbagi informasi dengan petani lainnya, terutama dalam informasi harga input maupun ouput bahkan praktek produksi terbaru.

Efisiensi Usahatani

Usahatani merupakan kegiatan produksi yang menghasilkan produk-produk pertanian. Produksi adalah aktivitas menghasilkaan output tertentu dari sejumlah sumber daya input tertentu dengan tujuan untuk memaksimumkan keuntungan. Hubungan teknis antara input-output dari proses produksi disebut sebagai fungsi produksi yang dapat dimanfaatkan untuk menentukan kombinasi input yang terbaik untuk menghasilkan output tertentu.

Efisiensi menurut Farrel (1957) digolongkan menjadi tiga, yaitu efisiensi

teknis (technical efficiency), efisiensi harga (price/alocative efficiency), dan

efisiensi ekonomi (economic efficiency). Efisiensi teknis merupakan kemampuan

(33)

antara total biaya produksi suatu output menggunakan faktor optimal dengan kondisi efisien secara teknis. Efisiensi teknis dan alokatif akan meningkatkan produktivitas melalui kombinasi penggunaan input dan minimal rasio biaya input. Pengukuran efisiensi teknis dan alokatif kemudian digabungkan untuk mengukur total efisiensi ekonomi. Efisiensi ekonomi dapat diukur dengan kriteria penggunaan input secara optimal untuk menghasilkan output maksimal dengan biaya tertentu atau dengan kriteria biaya minimum yaitu dengan meminimumkan biaya dengan jumlah output tertentu.

Menurut Soekartawi (2002), terdapat kegunaan mengukur efisiensi, diantaranya adalah (1) sebagai tolok ukur untuk memperoleh efisiensi relatif, sehingga memudahkan untuk melakukan perbandingan antara unit ekonomi satu dengan lainnya, (2) apabila terdapat variasi tingkat efisiensi dari beberapa unit ekonomi yang ada, maka dapat dilakukan penelitian untuk menjawab faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan tingkat efisiensi, dan (3) informasi mengenai tingkat efisiensi dapat memberikan implikasi kebijakan secara tepat.Secara umum, terdapat tiga cara untuk meningkatkan produksi usahatani, yaitu: (1) meningkatkan penggunaan input seperti lahan, tenaga kerja, dan variasi capital, (2) menerapkan teknologi baru (Kuznets 1973; Hayami dan Ruttan 1985), dan (3) melakukan manajemen organisasi produksi dengan teknologi yang tersedia untuk meningkatkan efisiensi produksi (Nishimizu dan Page 1982; Li 2000).

Efisiensi menjadi salah satu parameter kinerja yang secara teoritis dapat menjadi salah satu kinerja yang mendasari seluruh kinerja organisasi dan menjadi ukuran kinerja yang cukup populer. Hal ini disebabkan efisiensi dapat dijadikan solusi dalam menghadapi kesulitan perhitungan ukuran kinerja. Efisiensi sebagai ukuran kinerja, dapat diterapkan pada berbagai jenis usaha, baik usaha yang menghasilkan barang maupun usaha yang menghasilkan jasa. Usaha yang dapat mencapai tingkat efisiensinya, berarti pelaku usaha tersebut telah mampu mengelola sumber daya yang dimiliki, sehingga dapat meningkatkan pendapatan usaha. Terdapat faktor-faktor produksi yang digunakan dalam mengukur efisiensi usahatani yaitu lahan, bibit, pupuk, tenaga kerja, dan pestisida.

Lahan merupakan faktor penting dalam melakukan usahatani karena dapat berpengaruh pada peningkatan produksi. Pada penelitian Waryanto (2015) dan Lawalata (2015) menunjukkan bahwa pengaruh luas lahan pada komoditas bawang merah masing-masing di Kabupaten Nganjuk dan Kabupaten Bantul,

berpengaruh nyata terhadap produksi bawang merah. Hasil penelitian Baree et al.

(2011) menunjukkan bahwa lahan sempit maupun lahan luas berpengaruh nyata terhadap produksi bawang di Bangladesh. Selain itu, sama dengan penelitian

Waryanto (2015); Lawalata (2015); Baree et al (2011), penelitian Saptana et al

(2011) menyebutkan bahwa luas lahan berpengaruh nyata terhadap produksi. Hal ini memperlihatkan bahwa rata-rata hasil penelitian menyebutkan lahan berpengaruh nyata terhadap usahatani yang dijalankan.

(34)

berpengaruh nyata terhadap produksi dan efisiensi usahatani. Namun pada hasil

penelitian Baree et al. (2011) yang membagi responden penelitian berdasarkan

ukuran lahan yang digunakan menunjukkan bahwa bibit tidak berpengaruh nyata pada lahan sempit, sedangkan pada lahan medium dan lahan luas bibit berpengaruh secara nyata. Hal ini mengindikasikan jumlah bibit yang digunakan pada lahan sempit, tidak meningkatkan produksi bawang. Sedangkan pada lahan medium dan luas jumlah bibit yang digunakan dapat meningkatkan jumlah produksi bawang.

Selanjutnya adalah faktor produksi pupuk. Pupuk menjadi salah satu media dalam pemberian kebutuhan nutrisi tanaman. Pupuk yang digunakan petani dibagi menjadi dua yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik (pupuk kimia). Namun walaupun pupuk dapat memberikan nutrisi pada tanaman, penggunaannya tetap dibatasi. Hal ini dikarenakan akan berdampak buruk pada kualitas tanah bahkan lingkungan yang digunakan untuk produksi, terutama dalam penggunaan

pupuk kimia. Pada penelitian Waryanto (2015) dan Ashandi et al. (2005)

menunjukkan bahwa pupuk anorganik berpengaruh nyata terhadap produksi. Walaupun masih memberikan pengaruh nyata terhadap produksi, penggunaan pupuk anorganik rata-rata petani sudah melebihi dosis anjuran. Penggunaan pupuk anorganik yang melebihi dosis anjuran berpotensi mempengaruhi kondisi lingkungan, terutama pada lahan maupun air. Namun pada penelitian Saptana (2011), menunjukkan bahwa penggunaan pupuk anorganik tidak berpengaruh terhadap peningkatan produksi. Selain pupuk anorganik, terdapat pupuk organik yang biasa digunakan oleh petani. Pada penelitian Waryanto (2015) dan Saptana (2011) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata penggunaan pupuk organik namun nilainya sangat kecil. Walaupun begitu, penggunaan pupuk organik sudah menjadi prioritas pemerintah, karena sifat dari pupuk organik yang mampu memperbaiki sifat tanah yang sudah jenuh karena penggunaan pupuk anorganik dalam jangka panjang.

Input produksi lain yang sering digunakan petani adalah pestisida. Pestisida digunakan bertujuan untuk mengendalikan serangan OPT. Namun penggunaan pestisida yang tidak tepat dapat menimbulkan masalah kesehatan, pencemaran lingkungan, dan gangguan keseimbangan ekologis. Hasil penelitian Harsanti (2007) menyebutkan bahwa residu pestisida pada tanah dan air berkorelasi positif dengan residu pestisida dalam produk. Selain itu, pada

penelitian Hidayat et al. (2010) menunjukkan bahwa tingkat pengetahuian petani

terhadap pengelolaan pestisida sesuai dengan prinsip kehati-hatian masih rendah, ketergantungan terhadap pestisida masih tinggi, bahkan untuk indikator gejala keracunan pestisida paling banyak ditemui pada petani bawang merah.

Beberapa penelitian menemukan bahwa petani di negara berkembang belum sepenuhnya mencapai efisiensi teknik (Kalirajan dan Shand 1986; Ali dan

Chaudry 1990; Bravo-Ureta, et al.2007; Solis, et al. 2009). Bravo-Ureta dan

(35)

penting meningkatkan efisiensi teknik penggunaan sumberdaya di tingkat usahatani (Ali dan Chaudry 1990). Namun, terdapat keterbatasan yang dimiliki oleh petani, tidak semua petani mampu meminimalkan biaya yang diperlukan untuk produksi output yang dimaksudkan. Dari sudut pandang teoritis, petani tidak selalu mengoptimalkan fungsi produksinya. Terdapat batasan produksi yang mencirikan jumlah minimum kombinasi input yang diperlukan untuk melakukan produksi beragam produk, atau output maksimum dengan kombinasi berbagai masukan dan teknologi tertentu. Petani yang beroperasi di atas batasan produksi dianggap secara teknis efisien, sementara petani yang beroperasi di bawah batasan

produksi secara teknis tidak efisien (Constantin et al. 2009). Efisiensi merupakan

langkah penting untuk usahatani yang berkelanjutan.

Selain efisiensi teknis, terdapat beberapa peneliti yang mengukur tingkat efisiensi secara alokatif dari sebuah usaha. Pada pengukuran efisiensi secara teknis, orientasi yang digunakan adalah orientasi pada output, dengan melihat kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan output maksimal dengan penggunaan input tetap. Sedangkan pengukuran efisiensi secara alokatif, berorientasi pada input yaitu bagaimana suatu usaha dapat mengoptimalkan penggunaan input dengan biaya terendah. Dengan melakukan pengukuran efisiensi secara teknis dan alokatif, dapat diketahui seberapa besar kemungkinan peningkatan output yang dapat dilakukan tanpa mengurangi biaya atau seberapa besar biaya yang dapat dikurangi untuk menghasilkan output yang tetap (Chiona

2011). Menurut Schmidt and Lovell (1980), efisiensi teknis dan alokasi memiliki

korelasi. Hubungan yang ditimbulkan dari efisiensi teknis dan alokatif dari hasil penelitian Abdmoulah dan Laabas (2012) memiliki korelasi yang negatif. Sedangkan menurut Junoy (2000) menyebutkan bahwa efisiensi alokatif tidak tergantung pada efisiensi teknis.

Penelitian efisiensi baik secara teknis dan alokatif menjadi lebih penting bagi negara berkembang dibandingkan dengan negara maju, bagi negara berkembang dimana potensi peningkatan produksi pertanian melalui perluasan area produksi dan pengadopsian teknologi baru masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penelitian mengenai efisiensi dapat membantu negara-negara berkembang untuk menentukan sejauh mana peningkatan produksi yang dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi usahatani berdasarkan sumberdaya dan teknologi yang tersedia (Kibbara 2005).

Pengukuran Efisiensi Usahatani

Dalam mengestimasi efisiensi, terdapat dua pendekatan yang digunakan

yaitu pendekatan parametrik dengan Stochastic Frontier Analysis (SFA) dan

pendekatan non-parametrik dengan Data Envelopment Analysis (DEA) (Coelli, et

al., 1998). Kedua konsep tersebut, selain untuk mengukur efisiensi produksi juga

untuk mengestimasi fungsi batas (frontier).

Pada pendekatan non-parametrik, DEA menggunakan metode Linear

Programming untuk membangun frontier (batas) dari data. DEA tidak

menerapkan asumsi untuk bentuk fungsi dan distribusi error. Oleh karena itu,

DEA lebih sensitif terhadap miss spesification dibandingkan dengan SFA. Sifat

deterministik dari DEA menunjukkan setiap deviasi (penyimpangan) merupakan

Gambar

Gambar 6 Fungsi produksi neoklasik
Gambar 10 Kerangka pemikiran operasional
Tabel 5 Karakteristik petani bawang merah di Kabupaten Majalengka
Gambar 11 Pola tanam pada lahan sawah di Kabupaten Majalengka
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan pemerintah terhadap input dan output bawang merah seperti subsidi pupuk, subsidi bahan bakar, subsidi kredit bagi petani, kebijakan tarif impor bawang merah dan

Penanaman biasanya dilakukan oleh tenaga kerja wanita, sedangkan tenaga kerja laki- laki hanya bertugas membawa benih ke lahan yang akan ditanami. Penanaman di Kabupaten

Hal ini sejalan dengan hasil analisis regresi seperti terlihat pada Tabel 4, yang menunjukkan bahwa dugaan parameter dari input bibit terhadap produksi dengan asumsi

Nilai NPCO usahatani bawang merah pada ketiga musim tanam di Kabupaten Majalengka menunjukkan angka yang lebih dari satu (Tabel 4), artinya harga bawang merah di

tingkat efisiensi ini mampu mencapai 93% dari produksi potensial bawang merah lembah palu yang diperoleh dengan kombinasi penggunaan faktor-faktor produksi yaitu benih,

Adapun judul dalam penelitian ini adalah “ANALISIS EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN BANGKA TENGAH ”.. Ucapan terima kasih

Nilai rasio NPM dan BKM untuk variabel input Benih 3.85 berarti bahwa setiap penambahan penggunaan Benih sebesar 1 Kg akan meningkatkan penerimaan sebesar Rp 52

Hasil estimasi dari parameter Maximum Likelihood Estimation pada fungsi produksi Cobb-Douglass Stochastic Frontier menunjukkan bahwa dari kelima variabel penduga terdapat tiga