EKOTOKSISITAS BIODIESEL DARI MINYAK JELANTAH
(SUMBER: RUMAH MAKAN CEPAT SAJI) DENGAN
BIOINDIKATOR Daphnia magna Linn
RAHMAWATI
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. Tuhan semesta alam. Sembah sujud tiada terkatakan atas segala limpahan rahmat, karunia dan inayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul: “Ekotoksisitas Biodiesel dari Minyak Jelantah (Sumber: Rumah Makan Cepat Saji) dengan Bioindikator Daphnia magna Linn” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan program strata satu, jurusan MIPA-Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dengan penuh rasa tulus hati, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
1. Kedua orang tua yang selalu memberikan doa tulus dan dukungan baik moril maupun materil.
2. Ibu DR Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud selaku pembimbing 1 yang dengan sabar membimbing dan memberikan sarannya.
3. Ibu Isalmi Aziz, MT selaku pembimbing 11 yang dengan sabar memberikan masukan selama penulisan skripsi.
4. Ibu Mega Ratnasari Pikoli, M.Si dan Ibu Priyanti, M.Si selaku penguji I dan penguji II.
5. Para dosen-dosen MIPA Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Teman-teman Bio’02 terimakasih untuk kenangan terindahnya.
RANGKUMAN
Rahmawati. Ekotoksisitas Biodiesel dari Minyak Jelantah (Sumber: Rumah Makan Cepat Saji) dengan Bioindikator Daphnia magna Linn. (di bawah bimbingan Lili Surayya Eka Putri dan Isalmi Aziz)
Minyak jelantah yang berasal dari rumah makan cepat saji yang telah digunakan tiga kali pengulangan untuk menggoreng dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan biodiesel. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah biodiesel dari minyak jelantah aman terhadap biota perairan.
Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah Daphnia magna yang merupakan hewan air tawar. Perlakuan yang di berikan adalah biodiesel dari minyak jelantah dengan konsentrasi 1000 ppm, 2000 ppm dan 3000 ppm dipaparkan pada setiap hewan uji. Semua hewan uji tetap hidup pada kelompok kontrol sampai pengujian toksisitas 96 jam. Sebaliknya, kematian hewan uji berkisar antara 3,3 % - 13,3 % pada keempat kelompok perlakuan. Tingkt mortalitas tertinggi terjadi pada perlakuan konsentrasi 3000 ppm, namun hasil tersebut tidak menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa biodiesel dari minyak jelntah aman bagi lingkungan pada jangka waktu pendek.
DAFTAR ISI
2.6 Parameter Fisika dan kimia ... 24
2.6.1 Parameter Fisik ... 24
2.6.1.1 Suhu ... 24
2.6.2 Parameter Kimia ... 25
2.6.2.1 Derajat Keasaman (pH) ... 25
2.6.2.2 Oksigen Terlarut (DO) ... 26
2.7 Uji hayati ... 27
2.8 Organisme Uji ... 27
2.8.1 Biologi Daphnia magna ... 27
2.8.2 Makanan dan Kebiasaan Makan ... 31
2.8.3 Kualitas Air Untuk Perturnbuhan Daphnia magna ... 32
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan waktu Penelitian ... 34
3.2 Bahan dan Alat... 34
3.3 Cara Kerja ... 34
3.3.1 Proses Pemurnian Minyak Jelantah dari pengotoran... 34
3.3.2 Pembuatan Biodiesel dari Minyak Jelantah... 35
3.3.3 Pemisahan Produk Samping ... 35
3.3.4 Pencucian dan Pengeringan ... 35
3.3.5 Pengujian Produk Biodiesel ... 36
3.3.5.1 Nilai pH ... 36
3.3.5.2 Pembuatan Bobot Jenis (Densitas)... 37
3.3.6 Media Tumbuh Untuk Kultur Daphnia magna ... 37
3.3.7 Uji Toksisitas Pada Organisme Akuatik ... 37
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Biodiesel ... 40
4.2 Hubungan Antara Waktu Paparan Biodiesel terhadap Mortalitas Daphnia magna dengan Konsentrasi danWaktu yang Berbeda . 40 4.3 Hubungan Antara Waktu paparan Biodiesel Terhadap Mortalitas / Kematian Daphnia magna Pada Konsentrasi 1000 ppm, 2000 ppm, dan 3000 ppm... 41
4.3.1 Konsentrasi Biodiesel 1000 ppm ... 41
4.3.2 Konsentrasi Biodiesel 2000 ppm ... 43
4.3.3 Konsentrasi Biodiesel 3000 ppm ... 44
4.4 Kualitas Lingkungan... 47
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 51
5.2 Saran ... 51
Daftar Pustaka ... 52
Lampiran ... 56
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kriteria Toksisitas ... 5
Tabe12. Perbandingan Sifat Fisik Biodiesel (Minyak Jelantah) Dengan Solar ... 16
Tabel 3. Syarat Mutu Minyak Goreng... 16
Tabel 4. Kandungan Asam Lemak dari Minyak Jelantah... 19
Tabel 5. Sifat Fisik Minyak Jelantah ... 19
Tabel 6. Kriteria Tingkat Pencemaran Berdasarkan Kandungan Oksigen Terlarut ... 26
Tabel 7. Kualitas Air Awal Penelitian... 47
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Morfologi Daphnia magna ... 28
Gambar 2. Siklus Hidup Daphnia magna ... 30
Gambar 3. Proses pembuatan biodiesel dari minyak Jelantah ... 36
Gambar 4. Mortalitas Daphnia magna pada konsentrasi 1000 ppm ... 41
Gambar 5. DO (Dissolved Oxygen) pada konsentrasi 1000 ppm ... 43
Gambar 6. Mortalitas Daphnia magna pada konsentrasi 2000 ppm ... 43
Gambar 7. DO (Dissolved Oxygen) pada konsentrasi 2000 ppm ... 44
Gambar 8. Mortalitas Daphnia magna pada konsentrasi 3000 ppm ... 45
Gambar 9. DO (Dissolved Oxygen) pada konsentrasi 3000 ppm ... 45
Gambar 10. Rata-rata DO pada konsentrasi yang berbeda ... 48
Gambar 11. Rata-rata pH pada konsentrasi yang berbeda ... 49
Gambar 12. Rata-rata Suhu pada konsentrasi yang berbeda ... 49
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Pengamatan Kualitas Air pada Uji Toksisitas
Biodiesel ... 57 Lampiran 2. Nilai Uji Statistik dengan Menggunakan Anova
Pada Konsentrasi 1000 ppm ... 59 Lampiran 3. Nilai Uji Statistik dengan Menggunakan Anova
Pada Konsentrasi 2000 ppm ... 60 Lampiran 4. Nilai Uji Statistik dengan Menggunakan Anova
Pada Konsentrasi 3000 ppm ... 61 Lampiran 5. Nilai Statistik Hubungan Antara Waktu Paparan Biodiesel
Terhadap Mortalitas Daphnia magna dengan
konsentrasi yang berbeda ... 62 Lampiran 6. Persentase Mortalitas Daphnia magna pada
Konsentrasi yang Berbeda
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang Masalah
Bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia merupakan salah satu produk yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Menurut laporan Pertamina (2000) menyatakan bahwa dari berbagai macam produk bahan bakar yang dihasilkan oleh minyak bumi, yang paling banyak dibutuhkan adalah solar, sehingga kebutuhan solar dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena kebanyakan alat transfortasi, alat pertanian, peralatan berat dan penggerak generator pembangkit listrik menggunakan bahan bakar solar (Aziz, 2006).
Minyak bumi merupakan bahan bakar yang tak terbarukan, sehingga cadangan minyak bumi sebagai bahan bakar akan habis pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap sumber daya alam yang dapat memberikan sumbangan dalam penghematan bahan bakar minyak dan menemukan bahan bakar alternatif. Salah satu kemungkinannya adalah pemakaian minyak nabati yang sifatnya terbarukan, sebagai salah satu bahan bakar alternatif (Sofiyah, 1995).
Bahan bakar alternatif yang selama ini banyak dikembangkan adalah Fatty Acid Methyl Ester (FAME), yang dikenal dengan nama biodiesel. Biodiesel
Pada penelitian ini bahan yang dimanfaatkan untuk pembuatan biodiesel adalah minyak jelantah yang berasal dari minyak nabati yang selama ini umumnya dibuang begitu saja, minyak jelantah (minyak goreng bekas) merupakan salah satu alternatif yang sangat potensial untuk di kembangkan. Minyak jelantah ini berasal dari kelapa sawit yang sehari-hari dipakai memasak di dapur.
Biodiesel dari minyak jelantah kelapa sawit lebih ekonomis dipandang dari segi biaya bahan baku pokok produksi biodiesel jika dibanding menggunakan kelapa sawit murni (Crude Palm Oil/CPO). Selain itu minyak jelantah merupakan minyak sisa yang kurang termanfaatkan. Pemanfaatkan minyak jelantah ini juga karena pola konsumsi minyak goreng masyarakat yang sebagian besar menggunakan minyak goreng kelapa sawit untuk menggoreng makanan yang akan dikonsumsi. Hal ini merupakan titik awal dalam penyediaan bahan baku pembuatan biodiesel secara kontinyu. Jadi, biodiesel dapat terus diproduksi selama masyarakat masih melakukan aktivitas menggoreng.
kehidupan biota air, jika terbuang/dibuang ke perairan. Selanjutnya, tingkat toksisitas akut biodiesel diuji menggunakan hewan uji Daphnia magna Linn.
Daphnia merupakan salah satu hewan air tawar yang dapat digunakan
untuk uji toksisitas. Daphnia sering digunakan dalam uji toksisitas sebagai hewan uji karena telah memenuhi berbagai persyaratan yaitu sebagai berikut:
1. Daphnia tersebar luas di habitat perairan tawar dalam jumlah besar
(Mudjiman, 1985).
2. Daphnia merupakan mata rantai penting dalam jaring-jaring makanan di
perairan (Daphnia merupakan pemakan produsen utama dan juga menjadi makanan bagi beberapa spesies ikan) (Salim,2003).
3. Daphnia memiliki siklus hidup yang relatif singkat (sangat penting untuk uji perkembangbiakan/reproduksi) dan relatif mudah di kultur di laboratorium (Salim, 2003).
4. Daphnia merupakan hewan yang sensitive terhadap pencemaran air secara
luas (EPS, 1990).
5. Daphnia memiliki ukuran yang kecil sehingga hanya membutuhkan
jumlah volume air uji yang sedikit dan diperlukan tempat yang kecil (Garno, 2003).
1.2 Perumusan masalah
1.3 Hipotesis
1. Adanya hubungan antara kematian Daphnia magna dengan lamanya waktu paparan biodiesel pada konsentrasi yang berbeda pada uji toksisitas akut. 2. Biodiesel tidak bersifat toksik terhadap biota perairan.
1.4 Tujuan penelitian
1 Mengetahui hubungan antara kematian hewan uji dengan lamanya waktu paparan biodiesel pada konsentrasi yang berbeda pada uji toksisitas akut. 2. Mengetahui tingkat toksisitas akut biodiesel terhadap hewan uji Daphnia
magna.
1.5 Manfaat penelitian
1. Dapat memperoleh gambaran mengenai seberapa besar efek toksik yang mungkin terjadi dari biodiesel terhadap organisme perairan tawar (Daphnia magna.)
2. Mengetahui tingkat toksisitas biodiesel, sehingga diharapkan informasi tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Toksisitas
Toksisitas adalah kemampuan racun (molekul) untuk menimbulkan kerusakan apabila masuk ke dalam tubuh dan lokasi organ yang rentan terhadapnya. Menurut Australia Petroleum Energi Association (APEA) (1994)
dan Energy Research and Development Corporation (ERDC) (1994) dalam
Oginawati (2005), secara umum kriteria toksisitas (toxicity rating) dibedakan menjadi:
Tabel 1. Kriteria toksisitas
No Kriteria toksisitas Nilai (ppm) 1.
Daya racun sedang (Moderately toxic) Daya racun rendah/sedikit (Slightly toxic) Hampir tidak toksik (Almost non toxic) Tidak toksik (Non toxic)
< 1 ppm
Menurut Soemirat (2003), toksisitas pada organisme sangat beragam tergantung dari berbagai faktor, yaitu:
1. Spesies uji
5. Bentuk, sifat fisik / kimia zat pencemar
6. Kerentanan berbagai spesies terhadap pencemar
Menurut Oginawati (2005), zat toksik atau racun dapat diklasifikasikan atas dasar; sumber, jenis, wujud, sifat kimia/ fisik, terbentuk dan efek kesehatan.
1. Sumber: a. Alami b. Buatan
c. Domestik, industri, komersial 2. Atas dasar jenis
3. Wujud: padat,gas, cair
4. Sifat kimia/ fisik: korosif, radioaktif, evaporatif, explosif, reaktif 5. Terbentuknya: primer, sekunder, tersier
6. Efek kesehatan:
• Fibrosis: Pertumbuhan jaringan ikat dalam jumlah yang
berlebih (silikosis, cobaltosis, baritosis, asbestosis, bagasosis dll).
• Granuloma: Benjolan akibat proses peradangan menahun
(berilicosis).
• Demam: Meningkatnya temperatur tubuh.
• Asphyxia: Keadaan dimana darah dan jaringan kekurangan O2.
• Alergi: Reaksi berlebih terhadap materi tertentu.
• Kanker: Pertumbuhan sel yang tidak terkendali.
• Mutasi: Perubahan susunan dan jumlah gen (radioaktif).
• Sistemik: Racun yang menyerang hampir ke seluruh organ
tubuh.
• Ekonomik: Racun yang dibuat dan diperlukan untuk
pembangunan.
2.2 Uji Toksisitas
Uji toksisitas dilakukan untuk menilai efek akut, sub kronis dan kronis. Uji tersebut berdasarkan atas waktu. Uji toksisitas dapat dilakukan dalam skala laboratorium, tujuannya adalah mencari dosis aman bagi manusia atau mencari kriteria untuk standarisasi kualitas lingkungan (Putri, 2005).
Uji toksisitas merupakan salah satu metode penilaian kualitas lingkungan baik pada organisme perairan maupun organisme terestrial. Hasil uji toksisitas dapat dijadikan pedoman analisa kualitas lingkungan lebih jauh pada distribusi zat-zat pencemar dalam suatu ekosistem. Selanjutnya, dampak zat-zat pencemar yang ada dalam lingkungan dapat dicegah atau diminimalkan tingkat paparannya terhadap kesehatan manusia (Putri, 2005).
2.2.1 Uji Toksisitas Akut
Uji toksisitas akut seringkali disebut sebagai uji jangka pendek atau short term test (STT) dilakukan dalam tahun pertama. Uji ini terdiri dari atas beberapa
uji, yaitu uji dosis respons untuk mencari LD50 (Lethal Dose 50%) atau LC50
Uji dosis dan respon untuk mencari LD/LC dilakukan sesuai sifat kimiawi dan fisika xenobiotik serta pemilihan organisme uji. Uji dapat dilakukan terhadap organisme akuatik atau terestrial, tergantung relevansi. Uji dilaksanakan dalam waktu 24 – 26 jam. Respon dengan adanya kematian atau bila organisme sangat kecil, hanya immobilisasi (Soemirat, 2003).
2.2.2 Uji Toksisitas SubAkut
Uji toksisitas subkronis dilakukan selama 30 hari untuk aplikasi pada kulit, dan 30 – 90 hari untuk studi inhalasi, dan 90 hari untuk uji oral. Tujuannya adalah untuk mendapatkan nilai NOEL (Non Observebable Effect Concentration). Uji tersebut diharapkan pada dosis yang tinggi dapat menyebabkan kematian, sedangkan yang ringan akan menunjukkan NOEL. Hewan uji biasanya tikus, anjing atau kera dan dilakukan pada kedua jenis kelamin. Pada setiap level dosis digunakan sekitar 10 – 20 ekor jantan dan 10 – 20 ekor betina. Dalam uji ini perlu diperhatikan faktor-faktor lingkungan pengganggu, dan sangat hati-hati. Observasi dilakukan terhadap berbagai organ tubuh, mulai dari mortalitas, morbiditas, mata, konsumsi makanan, berat badan, respons neurologis, perilaku tidak normal, analisis urin dan tinja, dan kerusakan organ secara mikroskopis (Anonimus, 2005).
2.2.3 Uji Toksisitas Kronis
dapat bervariasi dari yang sangat ringan sampai sangat berat/fatal (Soemirat, 2003).
2.3 Sejarah Perkembangan Biodiesel
Kemungkinan penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar telah dikenal sejak awal penciptaan mesin diesel. Pada tahun 1911, Rudolph Diesel membuat mesin dengan cara kerja berdasarkan pengapian-bertekanan (mesin diesel). Pada saat itu tidak ada bahan bakar khusus untuk menjalankan mesin ini, dan untuk menggerakkannya ia menggunakan minyak kacang tanah (Arachis hypogea L). Pada pembukaan buku Thermodynamic, Rudolph Diesel
menyebutkan bahwa mesin diesel dapat digerakan oleh minyak nabati (Pinto, 2005 dalam Nugraha, 2007).
sesungguhnya, mengingat bahan bakunya berupa kelapa sawit tersedia melimpah (Sibuea, 2005).
Potensi lain dalam pengembangan biodiesel di Indonesia juga didukung dengan ketersediaan bahan baku lainnya, seperti minyak biji jarak. Tanaman jarak merupakan jenis tanaman yang sudah sangat umum dikenal di Indonesia. Jarak dikenal masyarakat sebagai salah satu tanaman yang dapat diolah menjadi minyak, yang biasa digunakan untuk menyalakan lampu (Nugraha, 2007).
2.3.1 Pengertian Biodiesel
Biodiesel merupakan nama yang diberikan untuk bahan bakar yang terdiri dari mono-alkyl ester yang dapat terbakar dengan bersih. Nama biodiesel juga telah disetujui oleh the Department of Energy (DOE), The Environmental Protection Agency (EFA) dan American Society of Testing Materials (ASTM)
sebagai energi alternatif, berasal dari asam lemak yang sumbernya dapat terbarukan (Nugraha, 2007). Biodiesel didefinisikan sebagai bahan bakar mesin diesel yang berasal dari sumber lipid alami terbarukan (Soerawidjaja, 2004), sedangkan menurut Nasikin dalam Siregar (2005) biodiesel adalah metil ester yang dihasilkan dari reaksi transesterifikasi trigliserida yang salah satunya berasal dari minyak nabati.
Metil ester yang digunakan sebagai bahan bakar dikenal dengan sebutan biodiesel (Dunn, 2003 dalam Nugraha,2007). Asam lemak metil ester merupakan hasil dari transesterifikasi (disebut metanolosis) dari minyak nabati dengan metanol menggunakan katalis asam/basa.
Biodiesel dapat digunakan sebagai bahan bakar pada mesin tanpa harus melakukan modifikasi pada mesin. Dalam penggunaannya biodiesel dapat digunakan secara murni (neat) ataupun dalam bentuk campuran (blend) dengan minyak solar (Nugraha,2007). Petrodiesel (solar) merupakan nama dari suatu hidrokarbon yang didistilasi dari minyak mentah atau minyak bumi yang saat ini banyak digunakan sebagai bahan bakar otomotif bermesin diesel. Bentuknya yang cair dan kemampuan dicampurkan dengan solar pada segala perbandingan, merupakan salah satu keunggulan penting biodiesel. Pemanfaatannya secara komersial tidak memerlukan infrastruktur penyediaan yang baru, karena dapat langsung menggunakan infrastruktur yang sudah ada untuk penyediaan minyak solar semacam stasiun pengisian dan truk tangki (Soerawidjaja, 2004).
Biodiesel merupakan bahan bakar yang potensial sebagai sumber energi karena berasal dari minyak nabati yang mudah diperbaharui. Selain itu harganya relatif stabil dan produksinya mudah disesuaikan dengan kebutuhan. Ditinjau dari segi lingkungan, bahan bakar diesel dari minyak nabati merupakan bahan yang biodegradable dan emisi polutannya relatif kecil, karena kadar hidrokarbon yang
tidak terbakar dan NOx lebih rendah, serta bebas emisi SO2 bila dibakar (Fachri,
2.3.2 Transesterifikasi
Proses pengubahan minyak nabati menjadi biodiesel dinamakan proses transesterifikasi. Proses transesterifikasi adalah proses dengan menggunakan
alkohol (metanol atau etanol) dan katalis. Katalis yang digunakan adalah sodium hidroksida (NaOH) atau potassium hidroksida (KOH), yang dipergunakan untuk mengubah molekul-molekul asam lemak tak jenuh dalam minyak nabati menjadi asam lemak jenuh, baik dalam bentuk metil ester (jika menggunakan metanol) atau etil ester (jika menggunakan etanol) dan gliserol (Djaeni, 2002).
Secara kimiawi, transesterifikasi berarti mengambil molekul asam lemak kompleks dari minyak nabati dan menetralkan asam lemak tak jenuhnya serta selanjutnya akan menghasilkan alkohol dan ester. Proses tersebut dapat dipercepat dengan menambahkan katalis. Penggunaan katalis potassium hidroksida akan membentuk potassium methoxide, sedangkan penggunaan katalis sodium hidroksida akan membentuk sodium methoxide (Kusuma, 2003).
Reaksi pembuatan biodiesel adalah sebagai berikut:
R1COO-CH2 CH2OH
R2COO-CH + 3CH3 OH katalis 3RCOOCH3 + CHOH
R3COO-CH2 CH2OH
(trigliserida) (metanol) (Biodiesel) (gliserol)
Reaksi tersebut adalah reaksi transesterifikasi yaitu mengeluarkan gliserin dari minyak dan mereaksikan asam lemak bebasnya dengan alkohol menjadi ester asam lemak dan gliserol (Aziz, 2006).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan biodiesel agar diperoleh kualitas yang baik (Pelly, 2000):
1. Katalis
Katalisator berfungsi mengaktifkan zat-zat pereaksi, sehingga menyebabkan tumbukan antara zat-zat pereaksi makin besar. Beberapa katalis yang digunakan adalah NaOH, KOH, H2SO4 dan penukar ion.
2. Suhu
Semakin tinggi suhu, kecepatan reaksi makin meningkat. Hal ini sesuai dengan persamaan Arrhenius. Pada proses ini pengaruh suhu terhadap kecepatan reaksi dipengaruhi oleh katalisator yang digunakan. Dengan katalis asam, reaksi dapat dijalankan pada suhu 100 0C, katalis basa suhunya lebih rendah dari katalis asam, bahkan reaksi dapat dijalankan pada suhu kamar. Reaksi yang tidak menggunakan katalis, suhu reaksi harus diatas 250
0
3. Konsentrasi
Konsentrasi zat pereaksi yang tinggi dapat meningkatkan kecepatan reaksi. Hal ini disebabkan oleh makin besar konsentrasi zat pereaksi, jumlah mol per satuan volum makin tinggi, sehingga kemungkinan terjadinya tumbukan antara molekul-molekul pereaksi makin banyak pula.
4. Perbandingan umpan
Peningkatan perbandingan pereaksi akan memperbesar hasil yang diperoleh, karena kemungkinan terjadinya tumbukan antara reaktan semakin besar.
5. Pengadukan
Agar reaksi berlangsung baik diperlukan pencampuran sebaik-baiknya dengan cara pengadukan. Pencampuran yang baik dapat menurunkan tahanan perpindahan masa. Dengan berkurangnya tahanan perpindahan masa, molekul-molekul reaktan yang dapat mencapai fase reaksi menjadi banyak, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya reaksi.
Menurut Aziz (2006) keunggulan biodiesel dibandingkan dengan bahan bakar diesel adalah:
1. Bahan baku dapat diperbaharui (renewable)
Sifat bahan baku yang dapat diperbaharui mengakibatkan di masa datang mau tidak mau konsumen akan beralih ke bahan bakar biodiesel, karena bagaimanapun dengan terbatasnya sumber minyak bumi, aspek kelangkaan dalam jangka panjang akan menjadikan biodiesel lebih murah dibandingkan bahan bakar diesel yang berasal dari minyak bumi.
2. Lebih ramah lingkungan
Ditengah kondisi pasar yang semakin peduli akan kelestarian lingkungan, maka peluang biodiesel akan lebih prospektif. Penggunaan biodiesel yang ramah lingkungan dilihat dari:
◊ CO2 hasil pembakaran bahan bakar biodiesel akan dikonsumsi
kembali oleh tanaman baru untuk kebutuhan fotosintesisnya.
◊ Mereduksi emisi gas berbahaya, seperti CO, NOx, SO2 dan
hidrokarbon reaktif lainnya sehingga kualitas udara semakin baik. ◊ Mereduksi polusi tanah
◊ Melindungi kelestarian perairan dan sumber air minum.
Tabel 2. Perbandingan sifat fisik biodiesel (minyak jelantah) dengan solar Sifat fisik Unit Biodiesel Solar
Flash point 0C 170 Min. 100
Viskositas (400C) CSt. 4,9 1,9 – 6,5
Bilangan setana - 49 Min.40
Cloud point 0C 3,3 -
Sulfur content %m/m <<0.01 0.05 max Calorific value KJ/kg 38.542 45.343
Density (150C) Kg/l 0,93 0,84
Gliserin bebas Wt.% 0,00 Maks. 0,02 Sumber: Firdaus, 2006
2.4 Minyak Goreng
Minyak goreng di dalam Standar Industri Indonesia (SII 1972) didefinisikan sebagai minyak yang diperoleh dengan cara pemurnian minyak nabati dan dipergunakan sebagai bahan makanan. Persyaratan mutu minyak goreng menurut SII-1972 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3. Syarat mutu minyak goreng
Karakteristik Nilai maksimum
Kadar Air 0,3 %
Asam Lemak Bebas 0,3 %
Bilangan Peroksida 10 mg O2/100 g
Logam Berat (Pb, As dan Cu) -
Minyak Pelikan -
Minyak merupakan lemak dalam bentuk cair. Minyak merupakan ester yang tersusun atas asam lemak dan glyserin dimana ketiga radikal terhidroksil dari glycerol diganti dari gugus ester.
Komponen utama dari minyak nabati (Vegetable oil) umumnya mempunyai rantai karbon dengan jumlah karbon sekitar 16 – 18 pada minyak kelapa sedikit berbeda komponen utama yang dikandung merupakan rantai karbon yang lebih pendek, yaitu panjang rantai karbon antara 12 – 14 (Djaeni, 2002).
Minyak goreng mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai penambah rasa gurih, penghantar panas dan penambah nilai kalor terhadap bahan makanan yang digoreng. Minyak goreng yang berasal dari kelapa sawit termasuk dalam klasifikasi oleic linoleic acids oils yang diperoleh dari buah kelapa sawit. Kandungan yang dimiliki minyak nabati pada umumnya adalah triacylglycerol yang merupakan senyawa antara ester dari asam karboksilat suhu tinggi dengan glycerol (Achmad, 1979).
Minyak goreng selama dipergunakan untuk menggoreng akan mengalami proses degradasi. Reaksi-reaksi degradasi berdasarkan atas reaksi peruraian asam lemak. Hasil dari proses degradasi dapat dikelompokkan dalam dua jenis utama, yaitu (Kusuma, 2003) :
a. Hasil dekomposisi yang tidak menguap, tetap terdapat dalam minyak. b. Hasil dekomposisi yang menguap, keluar bersama uap panas pada saat
2.4.1 Minyak Jelantah
Minyak jelantah merupakan limbah yang berasal dari kegiatan rumah tangga dan industri. Selama ini minyak jelantah yang dihasilkan dari suatu kegiatan dibuang begitu saja, apabila di konsumsi kembali dapat mengakibatkan penyakit bagi manusia diantaranya kanker dan penyempitan pembuluh darah, hal ini disebabkan asam lemak tak jenuh bersifat mudah mengikat oksigen dalam darah. Minyak jelantah yang dibuang ke lingkungan akan mencemari lingkungan berupa turunnya kadar COD dan BOD dalam perairan dan dapat menimbulkan bau yang busuk jika dibuang di tempat terbuka yang diakibatkan oleh degradasi biologi. Proses transesterifikasi untuk mengolah minyak jelantah dengan katalis basa (NaOH) untuk mengubah trigleserida menjadi gliserol dan etil ester (Djaeni, 2002).
Menurut Suhartono (2001) minyak goreng yang digunakan berulang-ulang mengakibatkan kerusakan minyak, membuat minyak cepat berasap, berbusa dan berwarna coklat serta menimbulkan rasa yang tidak disukai. Ketaren (1986) menyatakan minyak yang rusak tidak hanya mengakibatkan kerusakan pada nilai gizi, tapi juga merusak rasa dari makanan yang digoreng.
Tabel 4. Kandungan asam lemak dari minyak jelantah Kandungan asam lemak jenuh lebih dari
50%
Kandungan asam lemak tak jenuh kurang dari 50%
Tabel 5. Sifat fisik minyak jelantah
No Karakteristik Hasil Analisis
1 Spesifik Gravitas, 60/600F 0,9225
2 Viskositas, 1000C, cSt 50,47 Sumber: Sidjabat, 2003
2.5 Pencemaran Air
Menurut obyek yang terkena, pencemaran dapat dibagi atas empat katagori yakni: pencemaran udara, pencemaran tanah, pencemaran air dan pencemaran antar sumber-sumber daya alam (Lund, 1971).
Menurut Soesanto (1973), sumber pencemaran perairan dapat dibedakan atas:
- Pencemaran minyak (Oil pollution) - Pencemaran industri (Industrial pollution) - Pencemaran pertanian (Agricultural pollution) - Pencemaran air limbah (Sewage pollution)
- Pengendapan lumpur dan sedimen-sedimen lain (Siltation)
Berbagai kegiatan industri akan menghasilkan bahan-bahan sisa sistem pemrosesan yang tidak ada atau kecil nilai ekonominya yang disebut limbah. Limbah industri yang berupa benda padat, cair maupun gas yang dibuang di atas tanah-tanah terbuka, perairan bebas seperti sungai, danau maupun laut serta udara tanpa mempedulikan pengaruhnya terhadap lingkungan, lingkungan sebagai tempat menerima bahan-bahan tersebut tentunya mempunyai batas-batas tertentu dalam menanggulanginya. Apabila bahan-bahan yang dibuang melebihi daya tampung lingkungan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan dan disebut dengan pencemaran (Dix, 1981).
Fardiaz (1992), menyatakan pencemaran air adalah penyimpangan sifat air dari keadaan normal bukan dari kemurniannya. Karena air yang terdapat di alam ini tidak pernah dalam keadaan murni, tetapi bukan berarti semua air yang ada di permukaan bumi ini sudah tercemar.
Dix (1981), menyatakan bahwa pencemaran air adalah perubahan alam atau proses-proses yang menyebabkan menurunnya kualitas air, sehingga menjadi tidak berguna atau berbahaya terhadap kesehatan, hewan, manusia, industri pertanian, perikanan dan proses-proses lainnya.
2.5.1 Sumber Pencemaran
Sumber pencemaran menurut Sudarmaji (1995), dapat berasal dari alam dan kegiatan manusia. Sumber pencemar dari faktor alam biasanya kadarnya tinggi tetapi frekuensinya amat jarang, selain lokasinya tidak menentu juga sulit diperkirakan. Sedangkan pencemaran yang bersumber dari kegiatan manusia relatif mudah diperkirakan karena berdasarkan bahan baku maupun proses yang dipergunakan.
Pencemaran oleh kegiatan manusia digolongkan menjadi:
1. Pencemaran oleh limbah industri dan pencemaran oleh sampah atau limbah domestik
2.5.2 Komponen Pencemaran Air
Wardhana (1995), menyatakan bahwa buangan dan limbah penyebab terjadinya pencemaran pada perairan yang berasal dari kegiatan industri, diantaranya:
1. Bahan buangan padat
Kemungkinan yang terjadi apabila bahan buangan padat dibuang ke lingkungan air adalah:
a. Kekeruhan, akan mengurangi penetrasi sinar matahari sehingga terganggunya proses fotosintesis, berkurangnya oksigen terlarut dan mengganggu kehidupan organisme dalam air.
b. Terjadinya endapan di dasar sungai mengakibatkan pendangkalan dasar perairan dan dapat mengganggu kehidupan organisme dalam air. c. Pembentukan koloidal, butiran halus yang melayang dalam air akan
mengakibatkan kekeruhan, kekeruhan akan menghalangi penetrasi sinar matahari sehingga terganggunya proses fotosintesis
2. Bahan organik
Bahan organik umumnya berupa limbah yang dapat membusuk dan terdegradasi oleh mikroorganisme sehingga dapat meningkatkan populasinya. Bertambahnya populasi mikroorganisme ini dapat meningkatkan bakteri patogen yang berbahaya bagi manusia.
3. Bahan buangan anorganik
dalam air. Bahan buangan anorganik biasanya terdiri dari unsur-unsur logam seperti timbal (Pb), arsen (As), kadmium (Cd), air raksa (Hg), krom (Cr), nikel (Ni), magnesium (Mg), kobalt (Co) dan lain-lain. Apabila ion-ion logam yang terjadi dalam air berasal dari logam berat maupun logam yang bersifat racun seperti: Pb, As, Hg maka air yang mengandung logam tersebut sangat berbahaya bagi tubuh manusia.
4. Bahan buangan zat kimia
Bahan buangan zat kimia banyak macamnya, tetapi yang dimaksud dalam kelompok ini adalah bahan pencemaran air yang berupa: detergent, zat warna kimia, larutan penyamak kulit. Keberadaan zat kimia tersebut dalam air adalah merupakan racun yang mengganggu dan bahkan dapat mematikan hewan air, tanaman air dan bahkan juga manusia.
Menurut Sutarna (2005), adanya zat-zat pencemar pada umumnya menimbulkan efek-efek yang merugikan terhadap perairan antara lain:
1. Mengurangi O2 yang terlarut di dalam air. Adanya zat-zat pencemar dari
permukaan air dapat menghalangi difusi oksigen dari udara atau menyebabkan naiknya jumlah mikroorganisme dalam air sehingga mengakibatkan turunnya konsentrasi O2 terlarut di dalam air atau dapat
pula diikat atau bereaksi dengan zat-zat terkandung dalam zat pencemar. Oleh karena itu konsentrasi O2 dalam air penting untuk menentukan
2. Eutrofikasi
Pada perairan tawar alami, masuknya bahan organik yang berlebihan dapat menyebabkan fenomena eutrofikasi, dimana pertumbuhan ganggang meningkat pesat akibat masukan nutrisi yang sangat tinggi. Kondisi seperti ini dapat mencemari perairan, sehingga konsentrassi oksigen terlarut berkurang dan terjadi proses anaerob.
3. Toksisitas
Adanya unsur-unsur kimia pada tumpahan atau buangan industri, jika dilepaskan ke selokan-selokan atau perairan alam dengan pengaturan yang kurang baik akan memungkinkan terjadinya pencemaran di perairan tersebut.
2.6 Parameter Fisika dan Kimia
2.6.1Parameter fisika
2.6.1.1. Suhu
Menurut Klein (1972) suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Proses kehidupan yang vital yang biasa disebut metabolisme hanya berfungsi dalam kisaran suhu tertentu biasanya 0 0C – 40 0C. suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme, laju fotosintesis, proses fisiologis hewan dan perkembangan atau faktor reproduksi dari organisme-organisme.
2.6.2 Parameter kimia
2.6.2.1Derajat keasaman (pH)
pH didefinisikan sebagai log negatif dari konsentrasi ion hydrogen. Batas toleransi organisme perairan terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain: suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation serta jenis dan stadia organisme, tetapi pH yang ideal adalah antara 6,5 – 8,5 (Pescod, 1973). Perairan yang mempunyai pH rendah, kekayaan spesiesnya rendah pula. Hal ini disebabkan sebagian besar makro avertebrata sangat sensitive terhadap peningkatan kasaman perairan (Harper,1977).
Nilai pH merupakan salah satu parameter dalam penentuan kualitas air. Organisme air masing-masing memiliki toleransi pH perairan. Pada umumnya kematian organisme perairan lebih disebabkan oleh rendahnya nilai pH daripada total kematian yang disebabkan oleh tingginya nilai pH. Perubahan nilai pH dapat juga dipengaruhi oleh buangan industri dan rumah tangga. Akibat buangan yang dikeluarkan oleh industri dapat menyebabkan menurunnya nilai pH yang akan berakibat fatal terhadap organisme perairan. Batas toleransi organisme akuatik terhadap derajat keasaman bervariasi bergantung pada suhu air, oksigen terlarut dan adanya anion dan kation serta organisme (Pescod, 1973).
2.6.2.2Oksigen terlarut (DO)
Menurut Odum (1971) kandungan oksigen terlarut sangat penting bagi makrozoobentos terutama dalam proses respirasi dan dekomposisi bahan organik. Menurutnya kandungan oksigen akan menyebabkan kematian spesies-spesies yang peka terhadap penurunan oksigen dan diganti oleh spesies yang lebih adaptif
Kandungan oksigen terlarut di perairan dapat dijadikan sebagai petunjuk tentang adanya pencemaran bahan organik. Mason (1991) menyatakan bahwa banyaknya kandungan bahan organik dan tingginya populasi bakteri dalam sedimen menyebabkan makin meningkatnya kebutuhan oksigen di perairan tersebut.
Kelarutan oksigen dipengaruhi oleh faktor suhu, pada suhu tinggi kelarutan oksigen rendah dan pada suhu rendah kelarutan oksigen tinggi. Tiap-tiap spesies biota akuatik mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap konsentrasi oksigen terlarut di suatu perairan. Spesies yang mempunyai kisaran toleransi lebar terhadap oksigen maka penyebarannya luas dan spesies yang mempunyai kisaran toleransi sempit hanya terdapat di tempat-tempat tertentu saja (Novianthy,2006).Lee et al., (1978) in Ardi (2002) mengelompokkan kualitas perairan berdasarkan kandungan oksigen terlarut menjadi 4 kelompok.
Tabel 6. Kriteria tingkat pencemaran berdasarkan kandungan oksigen terlarut
Parameter Kriteria kualitas air Keterangan > 6,5 mg/l Tidak tercemar
4,5 – 6,5 mg/l Ringan 2,0 – 4,4 mg/l Sedang Oksigen terlarut
2.7 Uji Hayati
Uji hayati merupakan suatu cara untuk menentukan toksisitas zat pencemar, mendeteksi, serta mengevaluasi keadaan pencemaran suatu perairan. Kegunaan uji hayati erat sekali hubungannya dengan penentuan toksisitas suatu buangan industri dan penentuan efisiensi suatu pengolahan limbah. Toksisitas suatu buangan sangat dipengaruhi oleh interaksi antara organisme dengan buangan tersebut. Hal ini disebabkan adanya ikatan senyawa kimia yang bersifat sinergis (lebih beracun) dan antagonis (kurang beracun). Setiap jenis organisme mempunyai daya tahan tertentu terhadap bahan beracun/buangan (Salim, 1992).
Salah satu uji hayati yang dapat dilaksanakan adalah uji konsentrasi letal 50% (LC50). Uji ini untuk mengetahui jumlah kematian 50% dari jumlah hewan
uji akibat toksisitas senyawa kimia atau limbah yang diujikan. Kematian tersebut tergantung kepada kedua faktor, yaitu besar konsentrasi yang diberikan dan lamanya waktu pengujiaan (24, 48, 72 dan 96 jam).
2.8 Organisme Uji
2.8.1 Biologi Daphnia magna
Klasifikasi Daphnia magna adalah sebagai berikut: Phyllum : Arthropoda
Subphyllum : Mandibulata Class : Crustacea
Subclass : Branchopoda Ordo : Cladocera
Familia : Daphnidae Genus : Daphnia
Gambar 1. Morfologi Daphnia magna (Suwignyo, 1989)
(Keterangan: CE: Mata majemuk; B: Otak; O: Bintik Mata; R: Rostrum; FA; Antena Pertama (Antennule); SG: Sel Cangkang; C: Usus buntu; F: Penunjang cangkang; INT:
Saluran Pencernaan; H: Jantung; BC: Kantung Pengeraman; OV: Kandung Telur.)
Daphnia dapat ditemukan di kolam, sungai dan danau atau di
tempat-tempat dimana kesadahan air sangat bervariasi (EFA, 1991). Daphnia magna memiliki ukuran 1 – 3 mm, tubuh lonjong, pipih, terdapat ruas-ruas/segmen meskipun ruas ini tidak terlihat jelas.
tetapi ada beberapa spesies yang tidak dapat berenang dan bergerak karena telah beradaptasi untuk hidup di lumut dan sampah daun-daun yang berasal dari hutan tropik (Suwignyo, 1989).
Bagian tubuh Daphnia magna tertutup oleh cangkang dari kitin yang transparan. Cangkang di bagian punggung menyatu sedangkan pada pada bagian perut berongga dan menutupi lima pasang kaki. Ruang antara cangkang dengan tubuh bagian dorsal terdapat kantung yang berfungsi sebagai tempat pengeraman dan perkembangan telur. Pada ujung perut terdapat dua kuku yang berbulu keras (Departemen pertanian, 1984).
Daphnia mempunyai warna yang berbeda-beda tergantung habitatnya.
Spesies daerah limnetik biasanya tidak mempunyai warna atau berwarna muda, sedangkan di daerah litoral, kolam dangkal dan dasar perairan berwarna lebih gelap, bervariasi dari coklat kekuningan, coklat kemerahan, kelabu sampai hitam. Pigmentasi terdapat baik pada bagian karapas maupun jaringan tubuh (Casmuji, 2002).
Pada keadaan baik Daphnia magna berkembang secara parthenogenesis, yaitu individu-individu baru yang berasal dari telur-telur yang tidak dibuahi (tanpa melalui proses perkawinan antar induk jantan dan betina) (Mudjiman, 2004). Telur berkembang dan menetas menjadi embrio kemudian tumbuh menjadi Daphnia Setelah dewasa masih berlangsung di dalam ruang penetasan. Anak
Daphnia magna keluar dari ruang penetasan sudah dalam bentuk Daphnia magna
Pada saat kondisi kurang baik, seperti adanya perubahan temperatur, kurangnya makanan dan akumulasi limbah, produksi telur secara partnernogenesis menjadi berkurang bahkan beberapa menetas dan telur
berkembang menjadi individu jantan (Hickman, 1967). Dengan munculnya Daphnia jantan, maka populasi mulai bereproduksi secara seksual. Kondisi yang
merangsang terbentuknya telur yang menghasilkan individu jantan menurut Pennack (1953) meliputi: akumulasi limbah akibat tingginya populasi Daphnia, berkurangnya makanan dan suhu media mencapai 14 – 17 0C.
Gambar 2. Siklus hidup Daphnia magna.
Selama hidupnya Daphnia magna mengalami empat periode yaitu telur, juvenil, remaja dan dewasa. Segmentasi mulai terjadi sesaat setelah telur dilepas ke brood chamber. Setelah kurang lebih dari dua hari, instar juvenil pertama yang bentuknya mirip Daphnia dewasa dilepas dari brood chamber. Jumlah instar pada stadia juvenil hanya sedikit, tetapi tingkat pertumbuhan yang tertinggi terjadi pada stadia ini (Pennack, 1953).
mencapai sekitar 8 – 31 hari yang dipelihara dengan menggunakan kotoran ayam negeri. Selama hidupnya hewan ini mengalami pergantian kulit pada stadia anak sebanyak 2 – 5 kali, remaja satu kali dan dewasa beberapa kali tergantung jenisnya. Pergantian kulit pada waktu dewasa selalu diikuti oleh pembentukan sekelompok telur baru dalam ovarium.
2.8.2 Makanan dan kebiasaan makan
Daphnia magna termasuk hewan filter feeder yaitu memfilter air untuk
mendapatkan pakannya berupa berbagai macam bakteri, ragi, alga bersel tunggal, detritus dan bahan organik terlarut. Mekanisme filtrasinya berfungsi sebagai pompa penghisap (Ivleva, 1973). Pasang kaki pertama dan kedua berfungsi untuk menciptakan arus air dan partikel tersuspensi. Sepasang kaki kelima berperan besar dalam penghisapan air, sementara pasangan kaki ketiga dan keempat berperan sebagai filter sebenarnya.
Daphnia magna muda berukuran panjang kurang dari satu millimeter
2.8.3 Kualitas air untuk pertumbuhan Daphnia magna
Untuk hidup dan berkembang dengan baik maka diperlukan faktor-faktor yang mendukung agar pertumbuhan Daphnia magna tidak terhambat. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Daphnia magna antara lain temperatur, pH, cahaya, kandungan bahan organik dan makanan (Ansaka, 2002).
Daphnia magna dapat beradaptasi dengan baik pada perubahan
lingkungan hidupnya. Daphnia magna tahan terhadap fluktuasi suhu harian maupun tahunan. Kisaran suhu yang ditolerir Daphnia magna bervariasi dengan umur dan adaptasinya pada lingkungan tertentu. Yulianti (1984) menyatakan bahwa untuk kultur Daphnia umumnya digunakan suhu antara 24 – 28 0C, sedangkan untuk kultur massal Daphnia suhu optimum yang digunakan berkisar antara 25 – 30 0C.
Mudjiman (1985) menyatakan bahwa pada lingkungan yang bersuhu 21 – 310C dan pH antara 6,6 – 7,4 Daphnia magna. sudah menjadi dewasa 4 – 5
hari. Pennack (1989) dan Departemen pertanian (1984) menyatakan bahwa
Daphnia magna membutuhkan lingkungan dengan suhu 210C, oksigen terlarut
lebih dari 2 ppm dan pH antara 6,5 – 8,5. Pescod (1973) menyatakan bahwa kandungan O2 terlarut minimum 2 ppm sudah cukup mendukung kehidupan
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Lingkungan Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat. Waktu penelitian 27 April – 6 Mei 2007.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Daphnia magna yang diambil dari rawa, air tanah yang diendapkan sehari (10 liter), minyak jelantah,metanol, NaOH, air suling dan susu fermentasi (yakult). Bahan baku minyak jelantah yang digunakan dalam penelitian telah rata-rata digunakan 3 (tiga) kali menggoreng bahan makanan. Minyak yang digunakan adalah minyak goreng merk Bimoli.
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah 1 buah wadah plastik ukuran 20 liter, beker glass 1000 ml (1 buah), 500 ml (10 buah), erlenmeyer, gelas ukur, lup, corong, termometer, mikropipet, hot plate dengan stirrer, timbangan, oven serta piknometer, water quality chakker.
3.3 Cara Kerja
3.3.1 Proses pemurnian minyak jelantah dari pengotoran
jelantah yang sudah mengendap dipisahkan dengan cara penyaringan dan pemanasan hingga suhu mencapai 100 0C.
3.3.2 Pembuatan biodiesel dari minyak jelantah
500 ml minyak jelantah yang sudah disaring ditempat pada beker glass (1000 ml) dan dicampurkan metanol (150 ml) dan NaOH (3,5 gram). Kemudian minyak jelantah dipanaskan pada suhu konstan 500 C dan dipertahankan pada suhu tersebut serta dilakukan pengadukan dengan menggunakan stirrer selama 60 menit dengan kecepatan 550 rpm. Setelah itu, larutan didiamkan selama 8 – 12 jam dan akan terjadi pemisahan lapisan. Setiap lapisan dipisahkan untuk proses selanjutnya.
3.3.3 Pemisahan produk samping
Setelah larutan didiamkan antara 8 – 12 jam maka larutan tersebut akan terpisah menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah lapisan bawah akan terbentuk gliserin yang merupakan produk samping dari pembuatan biodiesel disebut gliserol. Bagian kedua adalah lapisan atas terbentuk metil ester yang dapat digunakan sebagai biodiesel.
3.3.4 Pencucian dan Pengeringan
transesterifikasi
Gambar 3. Proses pembuatan biodiesel dari minyak jelantah
3.3.5 Pengujian Produk Biodiesel
3.3.5.1. Nilai pH
Biodiesel yang sudah terbentuk dilakukan pengukuran nilai pH dengan menggunakan pH meter. Nilai pH harus netral (Pelly, 2000).
3.3.5.2. Penentuan Bobot Jenis (Densitas)
Piknometer kosong ditimbang hingga dihasilkan bobot tetap (W1), lalu
diisi dengan air suling atau Destillated Water (DW) bebas gas dengan cara DW dididihkan beberapa saat kemudian didinginkan. Bagian luar piknometer dilap sampai kering lalu ditimbang (W2).
Air suling dibuang, kemudian piknometer dibilas dengan alkohol dan dikeringkan di dalam oven. Setelah kering, piknometer diisi dengan cairan sample, kemudian ditimbang (W3). Perhitungan bobot jenis/densitas cairan
dilakukan dengan persamaan di bawah ini:
d= W3 – W1 W2 – W1
3.3.6 Media tumbuh untuk kultur Daphnia magna
Wadah plastik (ukuran 20 liter) diisi air tanah yang telah diendapkan sebanyak 10 liter. Ke dalam wadah tersebut kemudian dimasukkan susu fermentasi (0,1 ml) kemudian air tersebut diaerasi. Setelah waktu dua hari Daphnia magna yang di ambil dari rawa di masukkan ke dalam wadah plastik
media tersebut. Daphnia magna yang sudah dipelihara tersebut selanjutnya digunakan sebagai hewan uji dalam pengukuran toksisitas dari biodiesel.
3.3.7 Uji toksisitas pada organisme akuatik
diinginkan langsung dipaparkan pada hewan percobaan, tidak dilakukan secara bertahap untuk mencapai konsentrasi yang diinginkan tersebut. Media yang digunakan juga tidak mengalami penggantian rutin, jadi selama pengamatan tidak ada penambahan/pertukaran media baru.
Pengamatan dilakukan selama 2 jam, 4 jam, 24 jam, 48 jam, 72 jam, dan 96 jam yang merupakan waktu paparan untuk pengujian toksisitas akut, End poin yang di observasi adalah tingkat mortalitas hewan uji. Hewan uji yang mati ditunjukkan dengan tidak bergerak dan berada di dasar air selain itu ditandai dengan pengelupasan kulit, untuk hewan uji yang masih hidup akan berenang dengan aktif di permukaan air. Jika waktu pengamatan 96 jam, biodiesel tidak menunjukkan efek toksik berupa kematian 50 % hewan uji, maka parameter NOEC (no observable effect concentration) di gunakan sebagai alternatif (Landis and Yu, 1995).
Selain pengamatan toksisitas, faktor fisik dan kimia juga diamati selama penelitian ini. Faktor fisik dan kimia yang diamati adalah suhu, pH dan DO. Pengukuran suhu dan DO dilakukan dengan menggunakan water quality chekker, pH dengan menggunakan pH meter.
3.3.8 Analisa data
Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan uji statistik Analysis of Varians (Anova) dalam program SPSS 11.5, untuk mengetahui apakah ada
1. Perbandingan F hitung dengan F table
jika statistik hitung (angka F output) > statistik table (table F) maka Ho ditolak.
jika statistik hitung (angka F output) < statistik tabel (tabel F) maka Ho diterima.
2. Nilai probabilitas
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Biodiesel
Pembuatan biodiesel dilakukan dengan menggunakan minyak jelantah yang berasal dari rumah makan cepat saji. Minyak goreng tersebut dipakai sebanyak 3 kali untuk menggoreng satu jenis makanan.
Densitas (bobot jenis) biodiesel didapatkan nilai 0,870 g/ml, nilai ini mendekati nilai densitas menurut Kep. Dirjen migas No. 004/P/DM/1979 yaitu 0,8624 g/ml. Nilai densitas minyak jelantah pada perhitungan didapatkan nilai 0,920 g/ml. Jika dibandingkan dengan nilai densitas biodiesel, maka nilai ini mengalami penurunan yang menandakan biodiesel terbentuk.
Biodiesel dari minyak jelantah merupakan senyawa metil ester yang mudah terdegradasi. Minyak jelantah mempunyai rantai karbon yang panjang yaitu antara C16 sampai C20, berbeda dengan minyak solar yang memiliki rantai karbon yang lebih pendek (C14 – C16) sehingga lebih sulit terdegradasi, karena menurut Sukandar (2006) semakin panjang rantai karbon semakin mudah didegradasi dalam lingkungan.
4.2 Hubungan antara Waktu Paparan Biodiesel Terhadap Mortalita
Daphnia magna dengan konsentrasi dan waktu yang Berbeda
Hasil uji hayati toksisitas akut biodiesel selama 96 jam terhadap Daphnia
magna menunjukkan bahwa pada media yang mengandung biodiesel
badan air yang tercemar biodiesel hingga perairan tersebut mengandung biodiesel 1000 ppm lebih dari 96 jam akan mengakibatkan kematian Daphnia sebanyak 1 ekor yang ada di perairan tersebut. Sedangkan pada media yang mengandung biodiesel yang berkonsentrasi 2000 dan 3000 ppm kematian Daphnia ditemukan pada paparan ke-48 jam sebanyak 1 ekor (Lampiran 6). Hal ini mengungkapkan bahwa semakin tinggi konsentrasi pencemar makin cepat menyebabkan kematian pada Daphnia yang ada dalam suatu badan air. Kematian hewan uji dapat diakibatkan oleh sifat beracun (dampak langsung) atau menurunnya kualitas air (dampak tak langsung) dari bahan pencemar.
4.3 Hubungan antara Waktu Paparan Biodiesel terhadap Mortalitas/kematian Daphnia magna pada Konsentrasi 1000 ppm, 2000 ppm, 3000 ppm
4.3.1 Konsentrasi Biodiesel 1000 ppm
Kematian Daphnia magna pada konsentrasi 1000 ppm diamati pada waktu paparan 2 jam, 4 jam, 24 jam, 48 jam, 72 jam dan 96 jam ditunjukkan pada gambar 4 di bawah ini.
0 1 2 3 4 5
2 4 24 48 72 96
waktu (jam)
kematian (ekor)
Gambar 4 di atas menunjukkan untuk awal perlakuan yaitu pada waktu paparan 0 sampai dengan 72 jam kematian Daphnia magna tidak terjadi. Pada waktu paparan 96 jam mulai terjadi kematian Daphnia magna sebanyak 1 ekor. Jadi secara keseluruhan persentasi hewan uji yang mati setelah dipaparkan biodiesel 1000 ppm adalah 3,3 % (Lampiran 6).
Menurut statistik, waktu paparan biodiesel pada konsentrasi 1000 ppm tidak mempunyai pengaruh yang signifikan (P>0.05) terhadap mortalitas Daphnia magna. Hal ini didukung pula dengan nilai yang didapat pada uji anova pada
konsentrasi biodiesel 1000 ppm yaitu nilai F tabel lebih kecil dari F hitung sebesar 0,333
Aktivitas hewan uji menunjukkan gerakan yang aktif. Kematian hewan uji dapat disebabkan karena reaksi pemaparan biodiesel yang menyebabkan terjadinya penurunan DO/oksigen terlarut 1,0.
0
Gambar 5. DO (Dissolved Oxygen) pada konsentrasi 1000 ppm
4.3.2 Konsentrasi Biodiesel 2000 ppm
Mortalitas Daphnia magna pada konsentrasi biodiesel 2000 ppm dapat dilihat pada gambar 6 dengan waktu paparan 2 jam, 4 jam, 24 jam, 48 jam, 72 jam dan 96 jam.
Gambar 6. mortalitas Daphnia magna pada konsentrasi 2000 ppm
Pada waktu pemaparan biodiesel dengan konsentrasi 2000 ppm kematian Daphnia magna mulai terjadi pada waktu paparan ke 48 jam dengan jumlah
hewan uji yang mati setelah dipaparkan 2000 ppm biodiesel adalah 10% (Lampiran 6).
Menurut perhitungan statistik, waktu paparan biodiesel pada konsentrasi 2000 ppm tidak mempunyai pengaruh yang signifikan (P>0.05) terhadap banyaknya mortalitas Daphnia magna. Hal ini didukung pula dengan nilai yang didapat pada uji anova yaitu nilai F tabel lebih kecil dari nilai F hitung sebesar 0,889.
Penurunan DO juga terjadi pada konsentrasi 2000 ppm. Pada konsentrasi 2000 ppm penurunan DO lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi 1000 ppm. Rentang penurunan DO pada konsentrasi 2000 ppm berada pada nilai 0,5 – 4,3 (Gambar 7).
0 1 2 3 4 5
2 4 24 48 72 96
waktu (jam)
DO (Dissolved Oxygen)
Gambar 7. DO (Dissolved Oxygen) pada konsentrasi 2000 ppm
4.3.3 Konsentrasi Biodiesel 3000 ppm
pada paparan biodiesel 3000 ppm adalah sebesar 13,3% (Lampiran 6).. Mortalitas Daphnia magna pada konsetrasi 3000 ppm ditunjukkan pada gambar 8.
0
Gambar 8. mortalitas Daphnia magna pada konsentrasi 3000 ppm
Aktifitas hewan uji masih menunjukkan prilaku yang sama pada konsentrasi 2000 ppm. Penurunan DO memperlihatkan pola yang sama yakni semakin lama waktu paparan biodiesel maka DO semakin rendah. Rentang DO pada konsentrasi 3000 ppm berada pada nilai 0,3 – 3,9 (gambar 9).
0
Gambar 9. DO (Dissolved Oxygen) pada konsentrasi 3000 ppm
mortalita tertinggi adalah 13,3% terjadi pada konsentrasi 3000 ppm. Jadi dapat dikatakan bahwa biodiesel dari minyak jelantah aman terhadap lingkungan.
Namun, potensi toksisitas biodiesel dari minyak jelantah kemungkinan besar dapat terjadi jika biodiesel dibuang atau terbuang ke suatu perairan tawar yang alami dalam jumlah besar dan berlangsung terus-menerus. Perairan akan tercemar oleh biodiesel, yang termasuk kelompok bahan organik. Buangan/limbah bahan organik ke perairan akan menambah beban pada perairan. Semakin tinggi konsentrasi limbah organik, semakin rendah kandungan oksigen terlarut dalam air, yang selanjutnya memberikan dampak terhadap peningkatan mortalitas biota perairan.
Pada perairan tawar alami, masuknya bahan organik yang berlebihan menyebabkan fenomena eutrofikasi, dimana pertumbuhan ganggang meningkat pesat akibat masuknya nutrisi yang sangat tinggi. Kondisi ini dapat mencemari perairan, akibat adanya gangguan penetrasi sinar matahari ke dalam perairan, sehingga konsentrasi oksigen terlarut berkurang dan terjadi proses anaerob. Selama kondisi anaerob berlangsung, bakteri fakultatif mengambil alih peranan bakteri aerob, yaitu mereduksi ion nitrat menjadi ion nitrit.
NH3++2H++2e- NO2- + H2O
Atau mereduksi sulfat menjadi H2S
SO42- + 10H+ + 8e- H2S + 4H2O
dalam jumlah besar, maka kematian biota air tawar akan terjadi lebih karena keracunan oleh senyawa N dan S.
4.4 Kualitas Lingkungan
Kualitas lingkungan merupakan salah satu unsur yang dapat mempengaruhi proses-proses biologi dalam tubuh biota air (Asmawi, 1983). Salah satu faktor penentu kualitas lingkungan adalah dengan mengetahui parameter kualitas lingkungan. Air yang layak bagi kehidupan biota air harus memiliki kualitas sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Beberapa parameter kualitas air yang menjadi indikator baik buruknya suatu perairan adalah kandungan oksigen terlarut, pH dan suhu.
Kualitas air yang digunakan untuk penelitian sebelum dilakukan pemaparan biodiesel dapat dilihat pada tabel 7 berikut:
Tabel 7. Kualitas air awal penelitian
DO (mg/L) 4,5
PH 6,75
Suhu (0C) 28,0
oksigen terlarut lebih dari 2 ppm. Perkembangan Daphnia didukung oleh oksigen terlarut yang cukup tinggi (4,20 – 5,10 ppm).
Kelarutan oksigen dipengaruhi oleh faktor suhu, pada suhu tinggi kelarutan oksigen rendah dan pada suhu rendah kelarutan oksigen tinggi. Oksigen terlarut mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan Daphnia.
Sementara itu, dari hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata DO pada ulangan 1 – 3 menunjukkan pola yang sama (gambar 10). DO cenderung menurun pada setiap konsentrasi. DO berkisar antara 2,1 – 4,9 pada kontrol; 1,0 – 4,6 pada konsentrasi 1000 ppm; 0,5 – 4,1 pada konsentrasi 2000 ppm dan 0,3 – 3,9 pada konsentrasi 3000 ppm.
Gambar 10. Rata-rata DO pada konsentrasi yang berbeda
Pengukuran pH selama penelitian berkisar antara 6,15 – 6,66 untuk kontrol; 6,32 – 6,67 pada konsentrasi 1000 ppm; 6,10 – 6,72 pada konsentrasi 2000 ppm; dan 6,22 – 6,67 pada konsentrasi 3000 ppm (gambar 11). Kisaran nilai pH ini masih layak untuk pertumbuhan Daphnia magna. Menurut Pescod (1973), Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain aktivitas biologi, aktivitas fotosintesis, suhu, kandungan oksigen dan adanya kation dan anion.
6,1
Gambar 11. Rata-rata pH pada konsentrasi yang berbeda
Nilai pH perlu dipertahankan pada kisaran yang layak, karena nilai pH erat kaitannya dengan keseimbangan ionik antara tubuh dan lingkungan dengan cara penukaran ion H+ antara sel dengan lingkungannya.
25
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.I Kesimpulan
1. Mortalitas Daphnia magna pada uji toksisitas akut yang menggunakan biodiesel tidak memiliki hubungan yang signifikan secara statistik (P>0,05) terhadap lamanya waktu paparan biodiesel dengan konsentrasi yang berbeda.
2. Biodiesel tidak bersifat toksik bagi biota perairan. hal ini di tunjukkan dengan tingkat mortalitas tertinggi mencapai 13,3% pada paparan biodiesel 3000 ppm.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah biodieel dari berbagai sumber aman bagi lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S.A. 1979. Ilmu Kimia. Pengetahuan Berdasarkan Percobaan. Cetakan Ke 10. Angkasa Bandung.
Departemen pertanian, 1984. kultur Makanan Alami (Daphnia sp). Direktorat Jendral Perikanan Balai Budidaya Air Tawar. Sukabumi.
Anonimus. 2005. Keracunan, Dosis Efektif dan Dosis Lethal 50%. Pedoman Praktikum Toksikologi. www.geocities.com.
Ansaka, 2002. Pemanfaatan Ampas sagu (Metroxylon sagu Rottb) dan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) dalam Kultur Daphnia sp. Skripsi Program Studi Budidaya Perikanan IPB. Bogor.
Ardiyanti, A.R. dkk. 2003. Pengaruh Jenis Katalis Basa NaOH, KOH dan K2CO3
dan Kejenuhan Minyak Nabati dalam Pembuatan Biodiesel Hasil Transesterifikasi. Desigh and Application of Technology. Jurnal Teknik Kimia. Universitas Katolik Parahyangan. Bandung.
Aziz, I. 2006. Biodiesel. Fakultas Sains dan Teknologi. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta
Benerjea, S.M. 1967. Water Quality and Soil Condition for Fish Food in Some of India in Relation to Fish Production. Indian Journal Fisheries. Casmuji, 2002. Penggunaan Supernatan Kotoran Ayam dan Tepung Terigu dalam
Budidaya Daphnia magna. Skripsi Jurusan Budidaya Perikanan IPB. Bogor
Dix. 1981. Environment Pollution. John Wiley and Sons, Inc. New York.
Djaeni, M. dkk. 2002. Pengolahan Limbah Minyak Goreng Bekas Menjadi Gliserol dan Minyak Diesel melalui Proses Transesteifikasi. Prosiding. Seminar Nasional Teknik Kimia. Yogyakarta.
Dunn, R. 2003. Biodiesel as a Locomotive Fuel in Canada Transportation. Development Centre Transfort Canada.
EPA, 1991. Methods for Meansuring the Acute Toxicity of Effluents and Receiving Waters to Freshwater and Marine Organisms, Fourth Edition. United States Environmental Protection Agency. Washington.
Fachri, B. A. 2006. Biodiesel dari Minyak Dedak Padi. Poros Vol. 4 No. 2.
Fardiaz, S. 1992. Populasi Air dan Udara. PAU Pangan dan Gizi IPB. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Firdaus. 2006. Usulan Teknis Pembuatan Biodiesel dari Minyak Jelantah. www. Migas-Indonesia. Com. 15 September 2006.
Freedman, B. E. H. dkk . 1984. Variables Affecting the Yield of Fatty Esters from Transesterfield vegetable Oils. JAOCS.
Garno, Y.S. 2003. Daya Racun Deterjen Rinso Terhadap Daphnia carinata dan chironomus sp. Direktorat Teknologi Pemukiman dan Lingkungan Hidup Deputi Bidang Pengembangan Teknologi- Bpp Teknologi. Haight, J.M. 2004. Occupational Health Risks in Crude Oil and natural Gas
Extraction. Encyclopedia of Energy. Vol 4. Elsevier inc.
Harijanto, G. T. 1974. Studi Perbandingan Populasi Daphnia dalam Media Kultur Kotoran Ayam Negeri Dewasa (White Leghorn). Karya Ilmiah Fakultas Perikanan IPB. Bogor.
Hariyadi, P. N. 2005. Kajian Kebijakan dan Kumpulan Artikel Penelitian Biodiesel. Kementrian Riset dan Teknologi RI Bekerjasama dengan Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI) dan Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (Sea Fast) Center IPB.
Hermanto, S. 2005. Petunjuk Praktikum Kimia Fisik. Laboratorium Kimia Fisik. Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Harper, H.A. 1977. Biochemical Large Medical Publication. California.
Hickman, C. P. 1967. Biology of the Invertebrate.Department of Zoology. De Pauw University. Green Castle Indiana.
Ivleva, T. V. 1973. Mass Cultivationof Invertebrates Biology ang Methods. Translated from Russian.
Kasdadi, M.T. dan Ir. Unung Leoanggraini. 2002. Biodiesel Dari Minyak Jelantah. Jurusan Teknik Kimia. Politeknik Negeri Bandung.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta.
Kusuma, I. G. B. 2003. Pembuatan Biodiesel dari Minyak Jelantah dan pengujian Terhadap Prestasi Kerja MesinDiesel. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin. Poros Vol. 6 No. 4.
Laporan Akhir Tahun 2000 Pertamina. http://www.pertamina.com
Landis, W.G. dan M-H Yu. 1995. Introduction to Environmental Toxicology impacts of Chemicals Upon Ecological Systems.CRC Press. Inc. Florida.
Lund, H.F. 1971. Industrial Pollution Control. Hand Book, Mc. Grew-Hill Company. New York.
Mason, C. F. 1991. Biology of Freshwater Pollution. Longman Inc. New York. Mujiman, A. 1985. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Novianthy, 2006. Tipologi Komunitas Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Pencemaran Perairan di Teluk Lampung. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.
Nugraha, S. 2007. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Energi Alternatif Biodiesel. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Odum, E. P. 1971. Fundamentals of Ecology.W.B. Sounders Company. Philadelphia. London.
Oginawati, K. 2005. Konsep Ekotoksikologi Limbah B-3 dan Kesehatan. Departemen Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung. Pelly, Mike. 2000. Biodiesel from Used Kitchen Grease or Waste Vegetable
Oil.http://Journey to Forever. Org.
Pennack, R.W. 1953. Freshwater Invertebrates of United States. The Ronald Press Company. New York.
Pescod, M. b. 1973. Investigation of Rational Effluent and Steam Standars for Tropical Countries. Research and Development Group for East san Fransisco.
Putri, L. S. E. 2006. Ekotoksisitas Akut Biodiesel dari Minyak Jelantah dan Pengujian Terhadap Ikan Mas (Cyprinus caprio). Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Putri, L. S. E. 2005. Pedoman Praktikum Toksikologi Lingkungan. UIN Syarif
Ramli, R. 2000. Toksisitas Limbah Pewarna Kain Sasirangan Terhadap Ikan Mas (Cyprinus carpio L) dan Dampaknya Terhadap Kualitas Perairan. Tesis Pascasarjana UGM. Yogyakarta.
Salim, 1992. Uji Toksisitas Akut Senyawa Lumpur Bor Terhadap Udang Windu
dan Daphnia carinata dengan Metode LC50. Universitas
Padjajaran. Bandung.
Sibuea, 2005. Biodiesel, Harapan Baru dari Minyak Nabati. Dalam Kajian Kebijakan dan Kumpulan Artikel penelitian Biodiesel. Kementrian Riset dan Teknologi.
Siregar, R.F. 2005. Strategi Pengembangan Biodiesel Berbasis Crude Palm Oil di Indonesia. Skripsi. Departement Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Sidjabat. 2003. Minyak Goreng Bekas (Jelantah) Sebagai Bahan Bakar Setara Solar dengan Proses Transesterifikasi. Prosaiding Seminar Nasional Daur Bahan Bakar. Pusat pengembangan Teknologi Bahan Bakar Nuklir dan Daur Ulang (Badan Tenaga Nuklir Indonesia.
Soemirat, J. 2003. Toksikologi Lingkungan. UGM Press. Yogyakarta.
Soerawidjaja, T.H. 2004. Menggalang Upaya Penegakan Industri Biodiesel yang Tangguh di Indonesia. Forum Biodiesel Indonesia Bandung.
Soesanto, V. 1973. Water Pollution. 2nd en Correspondence-Courses Central, Pasar Minggu Jakarta.
Sofiyah, I. B. dkk. 1995. Kinetika Reaksi Etanolisis Minyak Biji Kapuk dengan Katalisator NaOH dan Penambahan Garam Organik.Tesis Pasca Sarjana UGM Yogyakarta.
Sudarmaji, 1995. Pencemaran dan Proteksi Lingkungan.Bahan Kuliah Program Pascasarjana UGM Yogyakarta.
Sugiarto, A. 1976. Aspek Penelitian di Dalam Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Laut. Lembaga Oseanologi Nasional. Jakarta.
Suhartono. 2001. Minyak Goreng Bekas Sebagai Bio-Diesel Melalui proses Transesterifikasi. Prosiding Seminar Nasional “Kejuangan” Teknik Kimia. Yogyakarta.
Sumarwoto, O. 1980. Hanya Satu Bumi. Lembaga Ekologi. Universitas Padjajaran dan Yayasan Obor. Bandung.
Sutarna, I.N. 2005. Dampak Pencemaran Minyak dan Limbah Industri Terhadap Kehidupan Biota Laut. Jakarta.
Suwignyo, S. 1989.Avertebrata Air. Lembaga Sumberdaya Informasi.
Wardhana, A.W. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi Off set Yogyakarta.
Lampiran 1. Data pengamatan kualitas air pada uji toksisitas biodiesel
1. konsentrai biodiesel kontrol
pH Suhu (0C) DO (mg/dl)
2. Konsentrasi biodiesel 1000 ppm
pH Suhu (0C) DO (mg/dl)
3. Konsentrasi biodiesel 2000 ppm
pH Suhu (0C) DO (mg/dl)
Waktu paparan
Ul 1 Ul 2 Ul 3 Ul 1 Ul 2 Ul 3 Ul 1 Ul 2 Ul 3
2 jam 6,56 6,56 6,56 28,0 28,0 28,0 4,0 4,1 3,9
24 jam 6,57 6,42 6,58 26,0 26,0 26,0 2,9 3,6 3,6
48 jam 6,30 6,63 6,45 26,0 26,0 26,0 2,1 2,4 2,0
72 jam 6,65 6,35 6,41 36,0 26,0 26,0 1,9 0,9 1,0
96 jam 6,44 6,10 6,43 26,0 26,0 26,0 0,9 0,5 0,5
4.Konsentrasi biodiesel 3000 ppm
pH Suhu (0C) DO (mg/dl)
Waktu paparan
Ul 1 Ul 2 Ul 3 Ul 1 Ul 2 Ul 3 Ul 1 Ul 2 Ul 3
2 jam 6,56 6,63 6,63 28,0 28,0 28,0 3,6 3,1 2,6
4 jam 6,54 6,62 6,66 28,0 28,0 28,0 3,9 3,5 3,9
24 jam 6,52 6,61 6,63 26,0 26,0 26,0 2,2 2,9 3,4
48 jam 6,22 6,63 6,67 26,0 26,0 26,0 1,8 2,1 1,9
72 jam 6,35 6,46 6,60 26,0 26,0 26,0 0,9 1,3 1,9
96 jam 6,22 6,41 6,35 26,0 26,0 26,0 0,4 0,5 0,3
Ket:
Ul 1 : Ulangan pertama
Ul 2 : Ulangan kedua
Lampiran 2. Nilai uji statistik dengan menggunakan anova pada konsentrasi 1000 ppm
1. Test of Homogeneity of variances
Levence
Statistic df1 df2 df3
5.333 3 8 .026
2. ANOVA
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Between Groups .250 3 .083 .333 .802
Whithin Groups 2.000 8 .250
Total 2.250 11
Keterangan:
Ho: Tidak ada hubungan antara mortalitas Daphnia magna pada konsentrasi yang berbeda.
H1: Terdapat hubungan antara mortalitas Daphnia magna pada konsentrasi
yang berbeda.
Ftabel: Tingkat signifikansi 5% = 3,68 Tingkat signifikansi 1% = 6,36
Kesimpulan:
Lampiran 3. Nilai uji statistik dengan menggunakan anova pada konsentrasi 2000 ppm
1. Test of Homogeneity of variances
Levence
Statistic df1 df2 df3
5.333 3 8 .026
2. ANOVA
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Between Groups .667 3 .222 .889 .487
Whithin Groups 2.000 8 .250
Total 2.667 11
Keterangan:
Ho: Tidak ada hubungan antara mortalitas Daphnia magna pada konsentrasi yang berbeda.
H1: Terdapat hubungan antara mortalitas Daphnia magna pada konsentrasi
yang berbeda.
Ftabel: Tingkat signifikansi 5% = 3,68 Tingkat signifikansi 1% = 6,36
Kesimpulan:
Lampiran 4. Nilai uji statistik dengan menggunakan anova pada konsentrasi 3000 ppm
1. Test of Homogeneity of variances
Levence
Statistic df1 df2 df3
10.667 3 8 .004
2. ANOVA
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Between Groups 1.583 3 .528 3.167 .085
Whithin Groups 1.333 8 .167
Total 2.917 11
Keterangan:
Ho: Tidak ada hubungan antara mortalitas Daphnia magna pada konsentrasi yang berbeda.
H1: Terdapat hubungan antara mortalitas Daphnia magna pada konsentrasi
yang berbeda.
Ftabel: Tingkat signifikansi 5% = 3,68 Tingkat signifikansi 1% = 6,36
Kesimpulan:
Lampiran 5. Nilai statistik hubungan antara waktu paparan biodiesel terhadap mortalitas Daphnia magna dengan konsentrasi yang berbeda
1. Test of Homogeneity of variances
Levence
Statistic df1 df2 df3
7.111 3 8 .012
2. ANOVA
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Between Groups 5.667 3 1.89 3.778 .059
Whithin Groups 4.000 8 .500
Total 9.667 11
Keterangan:
Ho: Tidak ada hubungan antara mortalitas Daphnia magna pada konsentrasi yang berbeda.
H1: Terdapat hubungan antara mortalitas Daphnia magna pada konsentrasi
yang berbeda.
Ftabel: Tingkat signifikansi 5% = 3,68 Tingkat signifikansi 1% = 6,36
Kesimpulan:
Lampiran 6. Persentase mortalitas Daphnia magna pada konsentrasi yang berbeda (1000 ppm, 2000 ppm dan 3000 ppm).