• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN PELLET KERING DALAM PENELITIAN NUTRISI KRUSTASEA DAN PENENTUAN KUALITAS TEHNIK PEMBUATAN PELLET

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERANAN PELLET KERING DALAM PENELITIAN NUTRISI KRUSTASEA DAN PENENTUAN KUALITAS TEHNIK PEMBUATAN PELLET"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Oseana, Volume XIX, Nomor 4 : 1 - 1 1 ISSN 0216-1877

PERANAN PELLET KERING DALAM PENELITIAN NUTRISI KRUSTASEA DAN PENENTUAN KUALITAS TEHNIK PEMBUATAN PELLET

oleh

Sri Juwana 1) ABSTRACT

THE ROLE OF DRIED PELLETED DIET FOR CRUSTACEAN NUTRI-TION RESEARCH AND ITS CRITICAL OPERANUTRI-TION ON THE MANUFAC-TURE. In recent years aquaculture has gained importance as a source of various products in the world market. Because feed costs from the largest portion of production costs, research continues to focus on artificial diet production using simple, available, inexpensive feed ingredient and feed-manufacturing technologies. The product of manufacture ideally can be stored without refrigeration. For this reason, dried pellet become one of the selected diet which has been proved be accepted by various shrimps and crabs. In that composition of many feed stuffs is variable, standard processing and careful identification of ingredient lot and diet composition would be essensial. The main objective of the present study is, therefore, to apply the principal idea on the evaluation of manufacture pelleted feeds for crustaceans described here. A quality engineering design was adopted to check the effect of five variables at two levels : binding ingredient (wheat/potato flour), residence time in powder and wet mixing (10 - 75 min), thermal pretreatment (with/ without steam, 90° C, 10 min) and drying temperature (60/80° C). Critical parameters found were drying temperature, thermal pretreatment and binding ingredient-drying temperature interaction. Process analysis helped to obtain a competitive product with technological advantages.

PENDAHULUAN

Berbagai cara untuk memproduksi pakan bagi usaha akuakultur mungkin telah dirancang sejak tahun 1970an, misalnya :

(1) pakan berbentuk flaked, diciptakan oleh MEYERS & BRAND (1975) dan

dioptimumkan oleh BOONYA-RATPALIN & LOVELL (1977) dan

(2) pakan berbentuk protein sel tunggal (COSIO et al 1981);

(3) mikrokapsul (JONES & GABBOT 1976; KANAZAWA 1979); dan (4) berbagai jenis pakan berbentuk pellet.

Masing-masing tipe pakan mempunyai sifat tertentu dan kekurangan yang menghambat penerapan. Pakan berbentuk flaked mudah larut karena mempunyai

(2)

air. Protein sel tunggal telah digunakan dengan sukses untuk pakan udang tetapi banyak kekurangannya dalam nilai ekonomis (COSIO et al 1981). Hambatan yang sama diperoleh dengan pakan mikrokapsul yang mempunyai daya larut lambat.

Pakan buatan untuk krustasea yang diformulasi dari bahan-bahan yang semi-murni (semi-pufrified) pertama kali dipublikasi oleh KANAZAWA et al (1970), yaitu menggunakan protein kacang kedelai. Tetapi kemudian sumber utama protein diganti dengan Casein (KANAZAWA et al. 1976). Penelitian nutrisi krustasea juga telah dilakukan untuk berbagai species, seperti udang, lobster dan kepiting. Misalnya ADELUNG & PONAT (1977), PONAT & ADELUNG (1980 & 1983) berturut-turut telah melakukan studi untuk menetapkan pakan standar bagi kepiting eropa (Carcinus

maenas) dengan menggunakan pakan

semi-murni yang dicetak dalam agar-agar. Selanjutnya dua fornulasi diet, disiapkan sebagai pellet kering, telah diterima sebagai standar referensi diet (SRD) bagi berbagai jenis krustasea, yaitu HFX CRD 84 yang menggunakan konsentrat protein Rock Crab dan BML 81 S yang menggunakan casein, egg albumin dan soy-lecithin, sebagai sumber protein utama (lihat CASTE1 et al. 1989). BORDNER (1989) menyatakan dapat memelihara juvenil Dungeness Crabs (Can-cer magister) selama 7 (tujuh) bulan secara individual dengan kedua SRD tersebut. Hasil percobaan yang dilaporkan oleh CHIN et al. (1993) bahwa kepiting bakau (Scylla serrata) dari berbagai ukuran dapat menerima pakan berupa pellet kering, dan menunjukkan laju pertumbuhan yang memuaskan.

Penerimaan optimum suatu pakan buatan akan menghasilkan pertumbuhan terbaik species dalam waktu yang terpendek.

Sukses suatu pakan tergantung pada nilai nutrisi, ukuran partikel, stabilitas air dan daya tarik rasa (KANAZAWA 1979; LOVEL 1989). Tetapi dalam prakteknya banyak kesukaran ditemui, terutama dalam hal stabilitas air. Sebab banyak produk mudah pecah dalam air dan kehilangan nilai nutrisi merupakan konsekuensinya (BALAZS et al 1973; BOONYARATPALIN & NEW 1982; GOSWAMI 1979).

Pembuatan pakan buatan berbentuk pellet adalah metode yang paling populer untuk produksi, sebab mempunyai keuntungan teknologi dan ekonomis (LOVEL 1989, 1990). Beberapa tipe pellet telah diproduksi, misalnya pellet kering, pellet basah dan pellet keras (BOONYARATPALIN & NEW 1982; RODRIGUEZ & REPRIETO 1984; LOVELL 1989). Sifat akhir pellet tergantung pada variabel dalam proses produksinya. Sehingga standarisasi prosesing, identifikasi bahan-bahan dan komposisi diet secara hati-hati sangat diperlukan (CASTELL et al. 1989).

Untuk skala industri, diperlukan informasi yang benar sehubungan dengan variasi parameter operation dan variabel yang mempengaruhi produk akhir. Banyak studi telah dilakukan dengan perhatian khusus pada formulasi dan evaluasi nutrisi dari bahan dasar untuk meningkatkan pertumbuhan spe-cies. Tetapi hanya sedikit studi tentang pertimbangan teknologi yang berperan dalam proses pembuatan pakan. Hal ini menyebabkan ketidak-adaan seleksi peralatan yang benar dan parameter proses ketika skala industri diperlukan.

Tulisan dibawah ini menguraikan metode yang digunakan FLORES & MARTINEZ (1993) yang terutama mengevaluasi faktor-faktor yang mempunyai pengaruh utama pada kualitas akhir dari pakan buatan berbentuk pellet, dengan

(3)

menggunakan variabel-variabel yang mempunyai respon terhadap stabilitas dan produk penumbukkan bagi ukuran pakan yang sesuai.

BAHAN DAN METODE Experimental Design

Konsep teknologi TAGUCHI untuk penentuan kualitas pakan digunakan dalam studi ini (TAGUCHI 1986; ROSS 1989). Mengingat bahwa kualitas pakan dari sudut pandang industri berdasarkan pada kekerasan pellet (pellet hardness), maka perlu untuk mengevaluasi stabilitas pellet selama penumbukkan dan perendaman dalam air. Kedua sifat tersebut ditetapkan sebagai pa-rameter kualitas untuk pakan buatan yang digunakan di akuakultur (NATIONAL RE-SEARCH COUNCIL 1977). Methodologinya ditunjukkan dalam Gambar 1. Beberapa faktor dan level dipilih menurut suatu analisis produksi dan "L 16 orthogonal array" dibuat untuk lima faktor (operasi) pada dua level, menurut 15 derajat kebebasan (db)

berhubungan dengan 16 kejadian (n). Pada saat yang sama, pengaruh semua kemungkinan interaksi diantara faktor-faktor tersebut diperkirakan. Faktor dan level yang ditetapkan dapat dilihat dalam Tabel 1 dan kejadian-kejadian percobaan disajikan dalam Tabel 2. Suatu percobaan tambahan dilakukan untuk menentukan ukuran partikel distribusi pakan pellet yang dipengaruhi oleh ukuran ayak yang berbeda. Ukuran ayak yang digunakan adalah 2,3 dan 5 mm.

Formulasi Pakan

Studi pendahuluan potensi bahan-bahan mentah lokal dan teknis pembuatannya dilakukan. Dari evaluasi ini, dipilih 10 bahan dan formula pakan dihitung menurut kebutuhan nutrient udang dewasa Penaeus

vannamei (White Shrimp). Susunan

bahan-bahan disajikan dalam Tabel 3. Persentasenya tidak bervariasi untuk yang menggunakan tepung gandum dan tepung kentang, jadi kandungan proteinnya bervariasi dari 28,9% untuk pakan dengan tepung gandum sampai 27,2% pakan dengan tepung kentang (koefisien variasi = 3,03%).

Tabel 1. Faktor dan level yang dipilih untuk percobaan.

FAKTOR LEVEL 1 LEVEL 2

A. Bahan perekat Tepung gandum Tepung kentang

B. Pemanasan awal Dikukus Tanpa dikukus

C. Pencampuran bahan-bahan cair lOmenit 15 menit

D. Suhu pengeringan 60° C 80° C

(4)
(5)
(6)

Produksi Pakan

Peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk menyiapkan pakan buatan adalah :

(1) mixer dengan dua pengaduk (1/4 HP, 30 rpm);

(2) penggiling daging (3/4 HP) yang dilengkapi dengan lempengan pencetak setebal 1 cm dan lubang-lubang berdiameter 1 mm;

(3) oven pengering dengan sirkulasi udara dan dilengkapi dengan nampan-nampan pengering (perforated trays);

(4) hammer mill (alat penumbuk dan pengayak);

(5) satu seri ayakan TAYLOR yang berukuran 1,168 sampai 0,074 mm.

Untuk perlakuan-perlakuan tersebut termasuk kondisi pemanasan selama pencampuran, digunakan autoclave yang mempunyai katup pengatur tekanan uap air pada suhu 90° C. Semua peralatan dipilih menurut kemungkinan industri dan berdasarkan parameter-parameter seleksi teknologi (DZIEZAK 1989).

Tepung kentang dibuat atau dapat dibeli. Tepung kepala udang dibeli atau disiapkan dengan menjemur kepala udang segar dan setelah kering ditumbuk menjadi ukuran partikel 1 mm. Minyak ikan disentrifus untuk memisahkan bagian yang keruh. Bahan-bahan yang lain digunakan tanpa modifikasi.

Pada penyediaan diet, bahan-bahan ditimbang menurut formulasi. Setengah kilo-gram dari masing-masing diet disiapkan dengan mencampur bahan-bahan kering dalam waktu yang berbeda (10 menit atau 15 menit). Minyak ikan ditambahkan ke mixer yang sama dan air ditambah sedikit demi sedikit

dengan kecepatan tetap. Pada saat ini, campuran basah mempunyai kandungan air 50 %. Waktu yang digunakan untuk pencampuran diubah menurut experimental design. Kalau menggunakan perlakuan pemanasan awal, diterapkan selama pencampuran bahan-bahan basah, kemudian campuran itu dicetak. Pakan yang telah dicetak (berbentuk sphagetti) dikeringkan sampai mencapai kandungan air 5 %. Untuk melihat pengaruh beda ukuran ayak, 100 gram dari masing-masing 16 perlakuan di tumbuk dan di ayak dengan ukuran ayak 2, 3 dan 5 mm dalam ’hammer mill’.

A k h ir n y a , p r o d u k d i s a r in g menggunakan satu set ayakan TYLER (nomor mata saring 10, 20, 35, 40, 50, 60, 70, 80, 100, 150 dan 200) untuk mengamati ukuran partikel distribusi dari masing-masing perlakuan pada ukuran mata ayak yang berbeda.

Penentuan stabilisasi air dan ukuran partikel

Stabilisasi air ditentukan dengan modifikasi BALAZ et al. (1973). Duplikat 10 g. Sample digunakan untuk masing-masing dari 16 diet. Sampel ditempatkan ke dalam kantong dengan pori-pori 1 mm dan direndam dalam 100 1 air laut sintetik (38,4 g/1) dengan kecepatan aliran tetap 6 1/menit. Setelah 4 jam, masing-masing sampel diletakkan dalam nampan aluminium dan dikeringkan pada suhu 60° C selama 8 jam, sampai persentase kandungan air mula-mula (5 %) diperoleh. Persentase kehilangan berat dihitung dengan selisih antara berat akhir dan berat awal.

Penentuan hasil tumbuk atau distribusi ukuran partikel ditentukan dengan menyampel 100 g dari masing-masing pakan setelah

(7)

proses penumbukkan. Menurut laporan terdahulu (LOVELL 1989), ukuran partikel optimum untuk udang adalah dari mesh 40 (0,373 mm) sampai mesh 8 (2,3 mm). ANOVA digunakan untuk mengevaluasi masing-masing faktor dan interaksi terhadap kualitas kekerasan terakhir dalam rangkaian orthogonal. ANOVA antar blok untuk mengevaluasi pengaruh ukuran ayak yang berbeda dalam 'hammer mill' terhadap penentuan ukuran partikel optimum.

HASIL DAN DISKUSI

Data stabilitas air untuk 16 perlakuan pembuatan pakan berbentuk pellet ditunjukkan dalam Tabel 4. Kehilangan bervariasi dari 10 sampai 20 %. Kehilangan terendah terjadi pada pakan yang dikeringkan dengan suhu tertinggi (80° C) tanpa perlakuan uap. Persentase hasil dari analisis statistik (lihat Tabel 5) menunjukkan mendukung hipotesa bahwa kedua faktor utama (suhu dan pemanasan awal) sangat mempengaruhi produk. Interaksi antara bahan perekat dengan waktu pencampuran bahan-bahan basah pa-ling sedikit berpengaruh terhadap produk akhir. Faktor-faktor utama berperan terhadap 75 % stabilitas pellet. Pemanasan awal tidak mengurangi kehilangan berat dari formula pakan seperti diharapkan karena gelatinisasi dari zat tepung yang tak sempurna. Karena suhu akhir diet 40 - 45° C, suhu ini tidak cukup untuk gelatinisasi tepung gandum (80 - 85° C) atau tepung kentang (60,6° C). Oleh karena itu, pemanasan awal harus dilakukan pada suhu uap lebih tinggi daripada 90° C, dengan aliran uap yang cepat atau mengganti peralatan yang dapat meningkatkan pemindahan panas.

Campuran alginat dan tepung kentang telah menunjukkan peningkatan viscositas karena mempunyai bentuk jaringan yang lebih kuat daripada pengaruh bahan secara terpisah (CHRISTIANSON et al. 1981). Alginat mengembangkan fungsinya pada suhu rendah dan struktur yang terbentuk meningkatkan fungsi zat tepung (FAWCETT 1985; LECALLIER 1985). Karena alginat dan persentase tepung tidak bervariasi dalam percobaan ini maka 'significant variance' diantara perlakuan-perlakuan itu tidak dapat diharapkan apabila pengaruh bahan perekat lebih besar dari faktor-faktor yang lain, tetapi penggunaan bahan perekat yang berbeda tidak mempunyai pengaruh besar terhadap stabilitas air pellet dan faktor yang paling penting adalah operasi dan level yang berperan dalam produksi. Telah ditunjukkan bahwa teknologi pembuatan pellet yang benar dapat mempunyai pengaruh yang sama seperti penambahan bahan perekat yang baik (NA-TIONAL RESEARCH COUNCIL 1977). Meskipun demikian, data yang diperoleh dalam studi ini menunjukkan bahwa operasi dan level yang berperan dalam produksi pellet mempunyai pengaruh yang lebih besar pada produk akhir daripada bahan perekat.

Penggantian ukuran ayakan pada 'ham-mer mill' menyebabkan perbedaan yang besar dalam pembentukkan ukuran pellet sesudah penumbukan, seperti dapat dilihat di Tabel 6. Ukuran ayak 5 mm digunakan sebab memberikan hasil terbaik.

Distribusi ukuran partikel di plot menggunakan faktor & level untuk masing-masing plot (ada 10 plot). Hasilnya menunjukkan pola yang sama pada semua plot, yaitu menunjukkan bahwa 50 - 65 % partikel mempunyai ukuran mesh 20 (0,841

(8)

mm). Tetapi, dua dari plot menghasilkan perbedaan persentase partikel yang diproduksi (percent recovery) untuk ukuran mesh 20 : ketika suhu pengeringan diatur pada suhu 60° C dan ketika bahan perekat adalah tepung kentang. Dalam hal ini, persentase dari ukuran mesh 20 adalah 58 - 65 %. Pengamatan ini menyarankan bahwa variasi yang dihasilkan dengan mengubah proses mempunyai dam-pak mengurangi persentase hasil akhir pada ukuran mesh 20 daripada faktor-faktor dan level-level lain yang dievaluasi dalam studi ini.

Analisis statistik menunjukkan empat faktor utama dan lima interaksi yang mempengaruhi hasil akhir ukuran pellet yang

digunakan. Data tersebut ditunjukkan pada Tabel 7. Ada tiga faktor dan satu interaksi yang penting: suhu pengeringan, pemanasan awal, bahan perekat dan interaksi antara bahan perekat dengan suhu pengeringan. Jumlah dari peran mereka adalah 68,7 %. Hal ini berarti mengontrol faktor-faktor tersebut bersama dengan perubahan suhu dalam produksi pellet dan mewakili lebih dari separo total variasi.

Dalam studi ini, bahan perekat menunjukkan pengaruh nyata (significant) terhadap hasil akhir produk (final product recovery), tetapi pengaruh terbesar adalah interaksi antara bahan perekat dengan suhu pengeringan.

(9)
(10)

KESIMPULAN

Variasi dalam sifat - sifat pellet akhir yang berhubungan dengan kehilangan dalam penumbukkan dan perendaman dalam air sangat dipengaruhi oleh tinggi suhu yang digunakan pada waktu produksi. Karena dalam percobaan ini kondisi pembuatan pellet komersial dengan pemanasan awal tidak diperoleh (90° C), penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan hal ini diperlukan untuk menentukan suhu sebenarnya bagi skala produksi. Formulasi, mewakili bahan perekat, mempunyai peranan yang rendah (dibawah 15 % pada kedua variabel). Dari sudut pandang industi, hal ini menunjukkan bahwa faktor prosesing lebih penting dalam memperoleh pellet dengan kualitas optimum dan mengurangi kehilangan selama prosesing. Pengubahan dalam formulasi tidak mempunyai pengaruh utama dalam stabilitas air dan hasil penumbukkan yang digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

ADELUNG, D. and A. PONAT 1977. Stud-ies to establish an optimal diet for the decapod crab Carcinus maenas (L.) under culture conditions. Mar. Biol. 44 : 287 - 292.

BALAZS, G.H. ; E. ROSS, and C.G. BROOKS 1973. Preliminary studies on the preparation and feeding for crustacean diets. Aquaculture 2 : 369 - 377.

BOONYARATPALIN, M. and T. LOVELL 1977. Diet preparation for aquarium fishes. Aquaculture 12 : 53 - 62.

BORDNER, C.E. 1989. A standard reference diet for crustacean nutrition research. V. Growth and survival of juvenile Dungeness Crabs. Jour. World. Aqua. Soc. 20(3) : 118 - 121.

CASTELL, J.D. ; J.C. KEAN; L.R. D'ABRAMO and D.E. CONKLIN 1989. A standard reference diet for crustacean nutrition research I. Evalua-tion of two formulaEvalua-tions. Jour. World Aqua. Soc. 20 ( 3 ) : 93 - 99

CHIN, H.C. ; U.P.D. GUNASEKERA and H.P. AMANDAKOON 1992. Formu-lation of artifical feeds for mud crab culture : A preliminary biochemical, physical and biological evaluation. In ASFA I ( 23 ) 6 : 11700 - IQ 23. CHRISTIANSON,D.D. ; J. HODGE; D.

OSBORNE and R.W. DETROY 1981. Interactions of wheat starch with some hydrocolloids. Cereal Chem 58 : 513 -517.

COSIO, I. ; R.A. FISHER; S. REV AH -MOISEEV and P.A. CARROAD 1981. Conversion of the enzymatic hydrolysate of shelfish waste chitin to single -cell protein. Biotechnol. Bioeng. 23 : 1067 - 1069.

DZIEZAK, J.D. 1989. Food extrusion. Equip-ment and characteristics. Food Technol. 4 : 164 - 174.

FAWCETT, P. 1985. Purely functional. Food 7 : 23 - 26.

GOSWAMI, U. 1979. Formulation of cheaper artificial feeds for shrimp culture : preliminary biochemical physical and biological evaluation. Aquaculture 16 ; 309 - 318

(11)

HASTING, W. 1982. A commercial process for water stable fish feeds. Feedstuffs 43 (47) : 38.

JONES, D.A. and GABBOT, P.A. 1976. Prospects for the use of microcapsules as food particles for marine particulate feeder. In : J.D. Nixon (Editor), Pro-ceedings of the 2nd International Sym-posium on Microencapsulation. Marcel Deffer, Inc., New York : 77 - 91. KANAZAWA, A. ; M. SHIMAYA; M.

KAWASAKI and K. KASHIWADA 1970. Nutritional requirements of prawn I. Feeding on artificial diet. Bull. Jap. Soc. scients. Fish. 36 : 949 - 954.

KANAZAWA, A. ; S. I. TESHIMA and N. TANAKA 1976. Nutritional require-ments of prawn. V. Requirerequire-ments for choline and inositol. Memoirs of the Faculty of Fisheries, Kagoshima Uni-versity 25 : 47 - 51.

KANAZAWA, A. 1979. Studies on the nutrition requirements of the larval stages of Penaeus japonicus using microencapsulated diets. Mar. biol 54 : 261 - 268.

LOVELL, R.T. 1989. Nutrition and Feeding of Fish. AVI Publishing Co., New York : 260 pp.

LOVELL, R.T. 1990. Nutrition and feeding highlights from the World Aquacul-ture Society Meeting. Aquacult. Mag. 16 (6) : 70 - 73.

MEYERS, S. and BRAND, C.W. 1975. Experimental flake diets or fish and Crustacea. Prog. Fish-Cult. 37 : 67 - 72.

NATIONAL RESEARCH COUNCIL 1977. Nutrient Requirements of Warmweter Fishes. National Academy of Sciences, Washington, DC : 30 pp.

PONAT, A. and D. ADELUNG 1980. Studies to establish an optimal diet for Carcinus

maenas. II. Protein and lipid

requirements. Mar. biol. 60 : 115 -122.

PONAT, A. and D. ADELUNG 1983. Studies to establish and optimal diet for Carcinus maenas. III. Vitamine and quantitative lipid requirements. Mar. Biol. 74 : 275 - 279.

ROOS, J.P. 1989. Taguchi Techniques for Quality Engineering. Me Graw Hill Int., new York, 279 pp.

TAGUCHI, G. 1986. Introduction to Quality Engineering. Asian Productivity Orga-nization, Tokyo : 191 pp.

Gambar

Tabel 1. Faktor dan level yang dipilih untuk percobaan.
Gambar 1. Metode termasuk konsep teknik kualitas yang diterapkan dalam merancang percobaan
Tabel 4.   Data stabilitas air, dilaporkan sebagai pakan yang hilang

Referensi

Dokumen terkait

Data yang dikumpulkan adalah data tekanan darah sistolik dan diastolik subjek sebelum dan sesudah intervensi, berat badan, tinggi badan, identitas subjek,

Penggunaan mulsa jerami ternyata efektif untuk menurunkan suhu tanah mak- simum pada siang hari yaitu sebesar 6 o C sedangkan mulsa plastik hitam perak dapat

(3) Ekspor dan/atau impor Sumber Energi Baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Usaha yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah

Validasi ahli dilakukan dengan cara memberikan angket yang mencakup penilaian terhadap seluruh isi/materi rancangan buku panduan layanan kes- ehatan mental berbasis

Analisis logam berat buatan dalam larutan yang tercampur dengan nanopartikel ferrite juga telah dilakukan dengan pengukuran yang berbeda berdasarkan partikel, magnet murni,

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh medium MS modifikasi arginin 100 ppm yang digunakan terhadap pertumbuhan organogenesis eksplan nodus meristem

Semua biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi ketentuan Kontrak harus dianggap telah termasuk dalam setiap mata pembayaran, dan jika mata pembayaran terkait tidak ada maka

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui cara mengurangi limbah Cangkang Kerang (Anadara Grandis), agar mempunyai nilai tambah serta mengetahui berapa perbandingan