• Tidak ada hasil yang ditemukan

Effect of Torbangun and Katuk Leaf in Ration on Milk Yield and Milk Quality of Lactating Peranakan Etawah Goats

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Effect of Torbangun and Katuk Leaf in Ration on Milk Yield and Milk Quality of Lactating Peranakan Etawah Goats"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH DAUN TORBANGUN

(Coleus amboinicus

Lour

)

DAN

DAUN KATUK (

Sauropus androgynus

L.Merr) PADA RANSUM

KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE) LAKTASI

TERHADAP KUANTITAS DAN KUALITAS SUSU

FARHANI ZAKARIA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) dan Daun Katuk (Sauropus androgynus L.Merr) pada Ransum Kambing Peranakan Etawah (PE) Laktasi terhadap Kuantitas dan Kualitas Susu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

(3)

ABSTRACT

FARHANI ZAKARIA. Effect of Torbangun (Coleus amboinicus Lour) and Katuk Leaf (Sauropus androgynus L.Merr) in Ration on Milk Yield and Milk Quality of Lactating Peranakan Etawah Goats. Supervised by BAGUS PRIYO PURWANTO, IDAT GALIH PERMANA and M RIZAL M DAMANIK.

A study was conducted to evaluate the effect of torbangun (Coleus amboinicus

Lour) and katuk leaf (Sauropus androgynus L.Merr) in ration on the milk yield and milk quality of lactating Peranakan Etawah goats. The research was conducted in Cordero Farm Curug Nangka, Ciapus Bogor for eight weeks. A randomized block design with 5 treatments and 3 block was used in this experimental. The diets used in this studi were: A = control (80% grasses + 20% consentrate), B = 5% torbangun leaf (75% grasses + 20% consentrate + 5% torbangun leaf), C = 5% katuk leaf (75% grasses + 20% consentrate + 5% katuk leaf), D = 2.5% torbangun leaf + 2.5% katuk leaf (75% grasses + 20% consentrate + 2.5% torbangun leaf + 2.5% katuk leaf), and E = diet D with zinc. Data was analyzed statistically using ANOVA, ANCOVA and differences between treatments were tested by DMRT. The results indicated that there were increased on feed intake in C (6.6%), D (9.1%) and E (7.2%), increased on milk yield in B (1.33%), C (0.89%), D (2.03%) and E (11.07%), and persistency increased in (1.6% B; 1.3% C dan 2.7% E) compared to control (A). There were increased on milk quality in fat (8.7% B; 8.0% C; 5.2% D and 8.2% E) and total solid (3.8% B; 3.0% C; 2.5% D and 4.2% E) compared to control (A). It could be concluded from this research that torbangun and katuk leaves in combination with zinc supplement (E) were effective in increased on the milk yield and milk quality on the level fat and total solid. Key words : Peranakan etawah goats, torbangun leaf, katuk leaf, milk yield, milk

(4)

Daun Katuk (Sauropus androgynus L. Merr) pada Ransum Kambing PE Laktasi terhadap Kuantitas dan Kualitas Susu. Dibimbing oleh BAGUS PRIYO PURWANTO, IDAT GALIH PERMANA dan M RIZAL M DAMANIK.

Produksi susu merupakan tujuan utama dari pemeliharaan kambing perah. Upaya peningkatan produksi susu terus dilakukan melalui perbaikan mutu pakan yang diberikan pada ternak masa laktasi. Perbaikan mutu pakan dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan fortifikasi, suplementasi maupun dengan pemanfaatan jenis pakan yang berpotensi meningkatkan produksi susu. Dari berbagai informasi diketahui bahwa daun torbangun (Coleus amboinicus Lour) dan daun katuk (Sauropus androgynus L.Merr) dapat digunakan untuk meningkatkan produksi susu. Pada torbangun ditemukan tiga komponen utama yang bersifat laktagogum, komponen zat gizi dan komponen farmakoseutika, sedangkan katuk memiliki efek laktagogum dan kandungan sterolnya berperan meningkatkan produksi ASI. Penggunaan kedua daun ini dalam ransum kambing PE laktasi perlu dilakukan, dengan harapan akan terjadi peningkatan produksi susu dan sekaligus diharapkan kualitas susu dapat lebih ditingkatkan.

Penelitian dilaksanakan di peternakan kambing “Cordero Farm” Curug Nangka Ciapus Bogor selama 6,5 bulan mulai akhir Juni 2010 sampai awal Januari 2011. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh torbangun dan katuk terhadap produksi susu dan kualitas susu kambing PE. Penelitian ini menggunakan 15 ekor kambing PE laktasi 2-4 dengan bobot rata-rata 47,29 ± 4,07 kg. Penelitian ini dilakukan dengan Rancangan Acak Kelompok yang terdiri dari 5 perlakuan dengan 3 kelompok berdasarkan bobot badan. Perlakuan terdiri dari: A= Kontrol (80% hijauan + 20% konsentrat), B= 5% Daun Torbangun (75% hijauan + 20% konsentrat + 5% daun torbangun), C= 5% Daun Katuk (75% hijauan + 20% konsentrat + 5% daun katuk), D= 2,5% Daun Torbangun + 2,5% Daun Katuk (75% hijauan + 20% konsentrat + 2,5% daun torbangun + 2,5% daun katuk), dan E= D + 20 ppm zink (seng). Pemberian ransum dilakukan selama delapan minggu mulai minggu 2-9. Peubah yang diamati adalah konsumsi pakan, produksi susu, persistensi dan analisa kualitas susu meliputi berat jenis, kadar protein, kadar lemak, bahan kering dan bahan kering tanpa lemak. Data dianalis dengan sidik ragam dan sidik peragam, jika terdapat perbedaan hasil akan dilanjutkan dengan uji Duncan.

(5)

Rata-rata produksi susu berkisar antara 1225,6 - 1557,1 ml/ekor/hari. Produksi susu tertinggi terdapat pada perlakuan D, diikuti perlakuan A, C, E dan B (1557,1 ml/e/h, 1407,4 ml/e/h, 1287,5 ml/e/h, 1249,5 ml/e/h dan 1225,6 ml/e/h). Tidak terdapat perbedaan antar perlakuan, namun bila ditinjau dari peningkatan produksi susu perlakuan dibandingkan produksi susu pra perlakuan, maka terlihat ada peningkatan pada semua perlakuan dibandingkan kontrol pada B, C, D dan E berturut-turut sebesar 1,33%; 0,89%; 2,03% dan 11,07% daripada kontrol (A) yang justru terjadi penurunan produksi susu sebesar -1,48%, dengan peningkatan terbesar pada perlakuan E.

Persistensi produksi susu yaitu laju penurunan produksi susu setelah tercapai puncak laktasi. Nilai persistensi berturut-turut A, B, C, D dan E (95,95 %; 97.51%; 97.18 %; 95.83 % dan 98.62%). Terlihat pemberian torbangun dan katuk baik secara terpisah (B dan C) maupun kombinasi keduanya+Zn (E) mampu meningkatkan persistensi sebesar 1,6% (B), 1,3% (C) dan 2,8% (E) dibandingkan kontrol (A), dengan peningkatan tertinggi pada perlakuan E.

Kualitas susu kambing PE meliputi berat jenis (BJ), lemak, protein, bahan kering (BK) dan bahan kering tanpa lemak (BKTL). Hasil analisa ragam tidak terdapat perbedaan nyata antar perlakuan pada semua peubah kualitas susu. Berat Jenis susu pada penelitian ini berkisar antara 1.0299 – 1.0306 dan masih berada pada kisaran normal antara 1.0260 – 1.0420 (Edelsten, 1988). BJ dipengaruhi oleh kandungan protein dan BKTL. Terlihat ada kecenderungan kadar protein yang tinggi akan berpengaruh terhadap BJ dan juga terhadap BKTL. BJ tertinggi terdapat pada perlakuan E. Hasil pengujian menunjukkan adanya korelasi positif antara BJ dengan protein (r = 0,78) dan BJ dengan BKTL (r = 0,90).

Rata-rata kadar lemak susu pada penelitian ini berkisar antara 4,96% - 5,43% dan sudah memenuhi syarat mutu susu segar menurut SNI (1998) dimana kadar lemak susu minimum adalah 3,0 %. Berdasarkan Thai Agricultural Standard (2008), kadar lemak susu kambing segar > 4 % adalah termasuk kategori premium. Walaupun tidak ada pengaruh perlakuan, namun kadar lemak susu meningkat pada semua perlakuan sebesar (B) 8,7%, (C) 8,0%, (D) 5,2% dan (E) 8,2%, dibandingkan kontrol (A). Peningkatan tertinggi pada perlakuan B. Hasil pengujian statistik menunjukkan adanya korelasi positif antara kadar lemak dengan BK (r = 0,93).

Kadar protein susu rata-rata berkisar antara 3.76% - 4.05% dengan kadar protein tertinggi pada perlakuan E, dan memenuhi kriteria susu segar berdasarkan SNI (1998) yaitu minimal 2,7%. Berdasarkan Thai Agricultural Standard (2008), kadar protein susu kambing pada penelitian ini > 3,7% adalah termasuk kategori premium.

(6)
(7)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

PENGARUH DAUN TORBANGUN

(Coleus amboinicus

Lour

)

DAN

DAUN KATUK (

Sauropus androgynus

L. Merr) PADA RANSUM

KAMBING PERANAKAN ETAWAH (PE) LAKTASI

TERHADAP KUANTITAS DAN KUALITAS SUSU

FARHANI ZAKARIA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Pengaruh Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) dan Daun Katuk (Sauropus androgynus L.Merr) pada Ransum Kambing Peranakan Etawah (PE) Laktasi terhadap Kuantitas dan Kualitas Susu

Nama : Farhani Zakaria

NRP : D151080021

Program Studi/Mayor : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr Ketua

Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc.Agr Drh. M. Rizal M Damanik, MRepSc,PhD Anggota Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(11)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkat, rahmat, karunia dan hidayahNya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini yang dilaksanakan sejak Juni 2010 sampai Januari 2011 ini adalah “Pengaruh Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) dan Daun Katuk (Sauropus androgynus L.Merr) pada Ransum Kambing PE Laktasi terhadap Kuantitas dan Kualitas Susu”.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr, selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc.Agr dan Drh. M. Rizal M Damanik, MRepSc,PhD selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian hingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Selain itu ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Syauqi, Bapak Iwan dan Mas Firman yang telah memberikan izin melaksanakan penelitian ini pada usaha kambing PE “Cordero Farm”, Mas Eko, Mas Dwi, Mas Limik, Mang Iyan serta semua pegawai yang telah membantu dengan tulus ikhlas selama penelitian.

Kepada Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, penulis menyampaikan terima kasih atas beasiswa yang diberikan dan juga kepada Kepala Dinas Kesehatan Hewan Dan Peternakan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang telah memberi izin selama studi di Program Pascasarjana IPB. Kepada Bapak dan Ibu dosen mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan terima kasih atas sumbangsih ilmu yang telah diberikan, juga kepada Rektor dan Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Ketua Departemen dan Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Institut Pertanian Bogor. Tak lupa juga kepada Hilda Susanty, Rusdimansyah, Sutomo Syawal dan teman-teman pascasarjana ITP 2008 terima kasih atas bantuan dan dukungannya, juga kepada Pak Sukma, Pak Dedi dan Mbak Dian, terima kasih atas fasilitas dan kerjasamanya di laboratorium.

Kepada suami tercinta Drh. Iskandar Mirza, MP, anak-anak tercinta Muna Ulfia, Farah Rizkina dan Nurfaizah terima kasih yang sedalam-dalamnya atas segala dukungan, doa, pengertian, kesabaran dan pengorbanan yang diberikan serta selalu setia mendampingi dalam suka dan duka. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada ibunda Hj. Chairani M dan Hj. Salamiah Arsyad, ayahanda Ir. H. Zakaria Ibrahim dan Mahmud Ali (Alm) atas doa restu yang diberikan serta kepada seluruh keluarga besar yang ada di Aceh terima kasih untuk kasih sayang dan doanya. Kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan sepenuhnya penulis ucapkan terima kasih. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2012

(12)
(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Banda Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 5 Agustus 1970, merupakan putri kedua dari enam bersaudara, dari Ayahanda Ir. H. Zakaria Ibrahim dan Ibunda Hj. Chairani M. Pendidikan dasar dan menengah ditempuh di Meulaboh Kabupaten Aceh Barat dan pendidikan atas di tempuh di kota Banda Aceh.

Pada tahun 1996 penulis meraih gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan Universitas Syiahkuala. Sejak tahun 1998 penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di Dinas Peternakan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam hingga sekarang.

Kesempatan melanjutkan pendidikan baru dapat dilaksanakan pada tahun 2008 di Program Pascasarjana IPB Bogor pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan melalui beasiswa Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

(14)

DAFTAR TABEL………...…….…..xv

DAFTAR GAMBAR……….…………xvi

DAFTAR LAMPIRAN……….. .xvii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan ... 4

Manfaat ... 4

Hipotesis... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Kambing PE ... 5

Asal Usul Kambing PE ... 5

Karakteristik Kambing PE ... 5

Produksi Susu Kambing PE ... 7

Kualitas Susu Kambing ... 7

Pakan Ternak……... 10

Persistensi Produksi Susu... 11

Torbangun (Coleus amboinicus Lour) ... 12

Komposisi Zat Gizi ... 13

Senyawa Aktif...14

Manfaat……… ... 116

Katuk (Sauropus androgynus L. Merr) ... 17

Kandungan Kimia… ... 18

Senyawa Aktif…… ... 19

Manfaat……… ... 20

(15)

Halaman

MATERI DAN METODE ... 23

Lokasi dan Waktu ... 23

Materi dan Peralatan ... 23

Rancangan Percobaan ... 25

Prosedur Penelitian ... 226

Peubah yang Diamati ... 226

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Pakan dan Bobot Badan ... 31

Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Susu ... 37

Pengaruh Perlakuan terhadap Persistensi ... 446

Pengaruh Perlakuan terhadap Kualitas Susu ... 48

Berat Jenis Susu….. ... 49

Kadar Lemak Susu. ... 50

Kadar Protein Susu ... ...53

Bahan Kering Susu. ... 54

Bahan Kering Tanpa Lemak ... 55

KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... .59

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Syarat mutu susu segar berdasarkan SNI 01-3141-1998... 8

2 Penggolongan kualitas susu kambing berdasarkan karakteristiknya... 9

3 Komposisi zat gizi dalam 100 gram daun torbangun dan daun katuk... 14

4 Kandungan senyawa aktif dalam Coleus amboinicus Lour ... 15

5 Beberapa senyawa penting lainnya dalam daun torbangun... 15

6 Komponen utama dan proporsinya dalam daun torbangun ... 116

7 Komposisi nutrien tepung daun katuk... 18

8 Tujuh senyawa aktif tanaman katuk dan pengaruhnya terhadap fungsi fisiologis dalam jaring ... 20

9 Perlakuan ransum pada kambing PE dalam penelitian... 23

10 Rataan konsumsi bahan kering rumput gajah, kulit kacang kedelai dan konsentrat dan total konsumsi pakan saat perlakuan ... 31

11 Rataan total konsumsi bahan kering pakan setiap minggu... 35

11 Rataan bobot badan awal dan akhir dari masing-masing kelompok perlakuan.. ….36

13 Rataan produksi susu pra perlakuan, priode perlakuan, peningkatan selama periode perlakuan dibandingkan periode pra perlakuan, total selama perlakuan dan total selama laktasi ... 38

14 Rataan produksi susu saat perlakuan, akhir perlakuan sampai kering kandang dan selama laktasi... 45

15 Rataan persistensi produksi susu perminggu periode perlakuan, pasca perlakuan sampai kering kandang dan penurunan periode perlakuan dengan pasca perlakuan sampai kering kandang ... 446

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kambing PE jantan dan kambing PE betina ... 6

2 Tanaman torbangun ... 12

3 Tanaman katuk... 18

4 Alur tahapan penelitian ... 24

5 Rataan konsumsi bahan kering rumput gajah mingguan ... 32

6 Rataan konsumsi bahan kering kulit kacang kedelai dan konsentrat mingguan... 33

7 Rataan konsumsi bahan kering kulit kacang kedelai dan konsentrat periode pra perlakuan sampai periode pasca perlakuan... 34

8 Kurva produksi susu priode 8 minggu perlakuan ... 39

9 Kurva produksi susu selama laktasi ... 40

10 Kurva produksi susu pasca perlakuan sampai akhir ... 43

11 Peningkatan produksi susu perlakuan dibandingkan pra perlakuan……….44

12 Hubungan BJ dengan protein dan BKTL... 50

13 Hubungan antara lemak dengan BK ... 52

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Analisis ragam rataan konsumsi rumput gajah saat perlakuan ... 699 2 Analisis ragam rataan konsumsi kulit kacang kedelai dan konsentrat saat

perlakuan ... 699 3 Analisis ragam rataan total konsumsi pakan saat perlakuan ... 699 4 Analisis ragam rataan total konsumsi bahan kering pakan minggu 1 ... 699

5 Analisis ragam rataan total konsumsi bahan kering pakan minggu 2 ... 70

6 Analisis ragam rataan total konsumsi bahan kering pakan minggu 9 ... 70

7 Analisis ragam bobot badan awal masing-masing kelompok perlakuan... 71

8 Analisis ragam bobot badan akhir masing-masing kelompok perlakuan ... 71

9 Analisis ragam rataan produksi susu pra perlakuan ... 71

10 Analisis ragam rataan produksi susu periode perlakuan ... 72

11 Analisis sidik peragam rataan peningkatan produksi susu priode perlakuan dibandingkan pra perlakuan ... 72

12 Analisis ragam rataan total produksi susu selama perlakuan ... 72

13 Analisis ragam rataan total produksi susu selama laktasi ... 72

14 Analisis ragam rataan produksi susu pasca perlakuan sampai kering kandang ... 73

15 Analisis ragam rataan persistensi produksi susu priode perlakuan ... 73

16 Analisis ragam rataan persistensi produksi susu pasca perlakuan sampai kering kandang ... 73

(19)

Halaman

18 Analisis ragam rataan kadar lemak susu ... 74

19 Analisis ragam rataan kadar protein susu ... 74

20 Analisis ragam rataan bahan kering susu... 74

(20)
(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejalan dengan peningkatan pendidikan dan pengetahuan masyarakat mendorong peningkatan kesadaran akan pentingnya peningkatan gizi. Salah satunya yaitu peningkatan konsumsi protein hewani, melalui konsumsi daging, telur dan susu. Susu merupakan salah satu sumber protein hewani yang berasal dari sapi dan kambing. Susu kambing saat ini sudah mulai diminati oleh masyarakat. Kambing yang umum dipelihara untuk produksi susu adalah kambing Peranakan Etawah (PE). Kambing PE mempunyai keunggulan mampu beradaptasi di sebagian besar wilayah Indonesia, modal awal yang dibutuhkan relatif kecil dan perkembangbiakan relatif lebih cepat, sehingga berpotensi untuk dipelihara oleh masyarakat kecil.

Kambing PE termasuk kambing tipe dwiguna sebagai penghasil daging dan susu. Sebagai penghasil daging, memiliki nilai lebih dibanding kambing lokal yaitu ukuran tubuh yang lebih besar, sehingga pada umur yang sama memiliki bobot potong yang lebih berat. Kambing PE betina memiliki kemampuan menghasilkan susu yang cukup baik. Susu kambing memiliki berbagai manfaat dan khasiat bagi kesehatan manusia dan telah teruji mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh United State Department of Agriculture (USDA 1976), ditemukan bahwa susu kambing baik dikonsumsi untuk berbagai keadaan terutama pencegahan terhadap penyakit, dan dianjurkan pada penderita TBC, asma, anemia, hepatitis, kram otot dan tukak lambung.

(22)

kesehatan individu, periode laktasi, umur dan interval pemerahan (Brade 1992; Fox & McSweeney 1998).

Perbaikan mutu pakan dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan fortifikasi, suplementasi maupun dengan pemanfaatan jenis pakan yang berpotensi meningkatkan produksi susu. Dari berbagai informasi diketahui bahwa daun torbangun (Coleus amboinicus Lour) dan daun katuk (Sauropus androgynus

L.Merr) dapat digunakan untuk meningkatkan produksi susu.

Daun torbangun (Coleus amboinicus Lour) adalah jenis tanaman yang telah lama dikenal masyarakat Batak sebagai tanaman yang berkhasiat memperlancar sekresi ASI (air susu ibu) pada ibu menyusui (Damanik et al. 2001; 2006), karena dalam tanaman ini ditemukan tiga komponen utama yang bersifat laktagogue yaitu komponen yang menstimulir produksi kelenjar air susu pada induk laktasi, komponen zat gizi dan komponen farmakoseutika (Lawrence et al. 2005). Silitonga (1993) melaporkan bahwa terjadi peningkatan produksi susu sampai 30% pada tikus putih yang diakibatkan oleh peningkatan aktivitas sel epitel dan meningkatnya metabolisme kelenjar mammae yang terlihat dari peningkatan kadar DNA dan RNA kelenjar mammae. Hal yang sama diperoleh dari penelitian yang dilakukan Santoso (2001) yang memperlihatkan peningkatan produksi ASI sampai 47,5%. Ini diperkuat oleh Rumetor et al. (2008) yang menunjukkan bahwa produksi susu kambing PE meningkat sampai 98,65% dengan suplementasi daun bangun-bangun dan zink-vitamin E.

(23)

3

peningkatan produksi air susu pada daun torbangun cenderung naik secara perlahan namun turun juga secara perlahan (Wardani 2007 dan Rumetor 2008), sedangkan daun katuk cenderung cepat peningkatan produksi air susu namun juga cepat penurunannya (Arindhini 2007 dan Sidauruk 2008).

Pemberian pakan pada ruminansia masih dititikberatkan pada pemenuhan kebutuhan protein dan energi untuk ternak itu sendiri. Padahal zat gizi lain fungsinya tak kalah penting seperti mineral, dan salah satu yang cukup penting peranannya adalah seng (zink). Berdasarkan laporan yang dikemukakan Little (1986) kandungan seng pada pakan ternak ruminansia di Indonesia berkisar antara 20 dan 38 mg/kg bahan kering. Seng mempunyai banyak fungsi dalam tubuh dan sangat penting bagi semua jenis hewan, karena terlibat dalam fungsi berbagai enzim yang ada hubungannya dengan metabolisme karbohidrat, energi, degradasi dan sintesis protein dan asam nukleat (Tillman 1991 dan Linder 1992).

Beberapa penelitian terdahulu tentang penambahan mineral seng pada pakan ternak menunjukkan hasil baik. Penambahan seng 60 mg/kg bahan kering dalam pakan telah meningkatkan produksi susu kambing PE 30% selama 5 bulan laktasi daripada penambahan 40 mg/kg bahan kering (Adriani et al. 2004). Demikian juga penambahan seng 20 mg/kg bahan kering yang dikombinasikan dengan vitamin E berhasil meningkatkan produksi susu 67,22–98,65% pada kambing PE (Rumetor et al. 2008).

Perumusan Masalah

(24)

ruminansia di Indonesia masih rendah. Penggunaan kedua daun ini dalam ransum kambing PE laktasi dengan suplemen seng perlu dilakukan, dengan harapan akan terjadi peningkatan produksi susu lebih cepat dan penurunan akan terjadi secara perlahan serta sekaligus mempengaruhi kualitas susu kambing PE.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian daun torbangun dan katuk dengan suplemen seng dalam ransum terhadap produksi dan kualitas susu kambing PE.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh pemberian daun torbangun dan katuk dengan suplemen seng dalam ransum terhadap produksi dan kualitas susu kambing PE.

Hipotesis

Hipotesis yang hendak diuji dalam penelitian ini adalah:

H1: Pemberian daun torbangun dan daun katuk dapat meningkatkan produksi susu kambing PE

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Kambing PE

Asal Usul Kambing PE

Kambing Peranakan Etawah (PE) yang ada di Indonesia berasal dari hasil kawin tatar (grading up) antara kambing lokal (kambing kacang) dengan kambing Ettawa dari India. Kambing Ettawa atau kambing Jamnapari menurut Mason (1981) berasal dari distrik Ettawa daerah sungai Yamuma dan Chambal Propinsi Uttar Pradesh, India.

Kambing Ettawa didatangkan berkali-kali ke Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Kambing Ettawa yang didatangkan ke Indonesia ditujukan untuk memperbaiki kambing-kambing lokal yang memiliki tubuh kecil, karena kambing Ettawa adalah bangsa kambing tipe besar. Menurut Heryadi (2004), kambing PE merupakan hasil persilangan yang tidak terarah dan kurang terpola antara kambing Ettawa asal India dan kambing lokal yaitu kambing kacang dengan karakteristik yang lebih mendekati ke arah performa kambing Ettawa. Bangsa kambing Ettawa adalah terbesar dari bangsa kambing yang ada di India (Mason 1981), sehingga diharapkan melalui persilangan antara kambing Ettawa dengan kambing kacang akan muncul bangsa kambing baru yang lebih besar dari kambing kacang dan mampu menghasilkan susu dengan baik.

Karakteristik Kambing PE

(26)

kombinasinya. Jumlah anak sekelahiran rata-rata adalah 1,7 ekor dengan umur beranak 15-16 bulan (Devendra & Mcleroy 1982).

Kambing PE (Gambar 1) mampu menghasilkan susu lebih banyak di bandingkan kambing kacang dengan pertumbuhan yang lebih besar, sehingga banyak dipelihara sebagai kambing perah atau dwiguna. Kambing jantan memiliki bulu yang lebih tebal dan agak panjang pada bagian atas hidung, leher, pundak dan punggung (Devendra & Burns 1994), mempunyai bentuk muka cembung (Basuki et al. 1982). Bobot badan kambing Etawah jantan dewasa berkisar antara 69-90 kg (Benerjee 1982). Dewasa kelamin jantan umur 135-137 hari (Davendra & Mcleroy 1982).

Sumber: etawajaya.com Sumber: lensaindonesia.com

Kambing PE jantan Kambing PE betina Gambar 1 Kambing PE jantan dan kambing PE betina

(27)

7

kambing PE memiliki lama bunting 139-149 hari dengan rataan 148,53 hari, rataan jumlah anak perkelahiran 1,63 ekor dengan kisaran 1-3 ekor, bobot lahir 3,37 kg dengan kisaran 2,2-4,6 kg, bobot sapih 13,63 kg dengan kisaran 10,20-17,60 kg dan rataan pertambahan bobot badan setelah sapih adalah 106 g/ekor/hari.

Produksi Susu Kambing PE

Susu merupakan hasil yang sangat penting dari ternak perah. Jumlah susu yang dihasilkan dipengaruhi oleh jenis, umur, bangsa, jumlah anak yang dilahirkan pada setiap kelahiran dan makanan. Pada umumnya ternak muda, produksi susunya lebih sedikit dibanding ternak dewasa (Edey 1983). Sutama & Budiarsana (1997) melaporkan bahwa produksi susu pada laktasi pertama rata-rata 497,5 g/ekor sementara pada laktasi ketiga produksi susu dapat mencapai rata-rata 1486,4 g/ekor (produksi susu 90 hari pertama laktasi). Produksi susu kambing PE pada beberapa peternakan berkisar antara 990-1500 ml/ekor/h (Atabany 2001; Balitnak 2004 dan Afandi 2007).

Kualitas Susu Kambing

Air susu merupakan bahan makanan yang istimewa bagi manusia karena kelezatan dan komposisi gizi yang ideal dan mengandung semua zat yang dibutuhkan tubuh. Semua zat makanan yang dikandung air susu dapat diserap darah dan dimanfaatkan tubuh (Saleh 2004).

(28)

untuk susu sapi. Untuk kambing belum ada syarat mutu dan kriteria kualitas susu segar, sehingga masih digunakan syarat mutu dan kriteria susu segar susu sapi. Tabel 1 Syarat mutu susu segar berdasarkan SNI 01-3141-1998

Karakteristik Syarat

Komposisi Susu

• Berat Jenis (BJ) pada suhu 27.50C minimum

• Kadar Lemak minimum

• Kadar Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL) atau

Solid Non Fat (SNF) minimum

• Kadar Protein minimum

Keadaan Susu

• Warna, bau, rasa dan kekentalan

• Kotoran dan Benda Asing

• Derajat Asam

(29)

9

Selain syarat mutu susu segar menurut SNI (1998) seperti tersebut di atas, masih ada syarat dan kualitas susu segar khusus untuk susu segar dari ternak kambing berdasarkan Thai Agricultural Standar (2008) yang tersaji pada Tabel 2.

Susu kambing mempunyai karakteristik warnanya lebih putih, globula lemak susunya lebih kecil dan beremulsi dengan susu sehingga mudah dicerna, dan mengandung mineral (Ca, P), vitamin A, E, dan B kompleks yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi (Blakely & Bade 1991). Sutama & Budiarsana (1997) menambahkan, susu kambing mempunyai karakteristik yang khas yaitu warnanya lebih putih dari susu sapi, karena susu kambing tidak mengandung karoten, yang menyebabkan warna agak kekuningan seperti susu sapi.

Tabel 2 Penggolongan kualitas susu kambing berdasarkan karakteristiknya

Karakreristik Kriteria kualitas

Premium Baik Standar

1. Total Kuman (cfu/ml)

Sumber : Thai Agricultural Standar (2008)

(30)

Pakan Ternak

Menurut Sofyan et al. (2000), bahan makanan ternak dapat dibagi ke dalam dua golongan berdasarkan kandungan serat kasar, yaitu bahan penguat (konsentrat) dan hijauan. Konsentrat adalah satu atau campuran bahan makanan ternak yang banyak mengandung zat makanan utama (protein, lemak, atau karbohidrat) dan mempunyai serat kasar kurang dari 18%. Hijauan adalah satu atau campuran makanan ternak yang mempunyai kadar serat kasar lebih besar dari 18%. Bahan pakan alami untuk ternak ruminansia adalah hijauan, baik berupa rumput-rumputan maupun leguminosa.

Konsumsi pakan ruminansia dikontrol oleh faktor-faktor yang tidak sama dengan non ruminansia. Pada ternak ruminansia salah satu variabel ternak yang mempengaruhi konsumsi adalah kapasitas rumen. Kapasitas rumen merupakan faktor yang menentukan tingkat konsumsi ternak ruminansia. Kapasitas rumen erat kaitannya dengan bobot badan metabolik (BB 0.75), sehingga jumlah konsumsi ditentukan oleh bobot badan tersebut. Ternak yang memiliki bobot badan metabolik lebih besar (kapasitas rumen besar), mengkonsumsi pakan lebih banyak dibandingkan ternak yang bobot badan metaboliknya lebih kecil (kapasitas rumen kecil) (Despal et al. 2007). Selain itu faktor makanan juga dapat mempengaruhi konsumsi diantaranya pakan, kecernaan, sifat bulky pakan dan hasil fermentasi pakan dalam rumen.

(31)

11

(bobot badan, jenis kelamin, umur, faktor genetik dan tipe bangsa), makanan yang diberikan dan faktor lingkungan (temperatur, kelembaban dan sinar matahari).

Kambing perah mempunyai potensi genetik untuk memegang peranan penting dalam menyediakan protein kualitas tinggi dari susu melalui konversi pakan dari sumber hijauan non kompetitif (Budiarto 2006). Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya produksi susu adalah dari segi pemberian pakan dan minum. Pakan yang diberikan untuk ternak kambing harus dapat memenuhi kebutuhannya untuk hidup pokok dan reproduksi (Ensminger 2001).

Menurut National Research Council (NRC) (2006), kebutuhan nutrisi yang diperlukan kambing ialah energi, protein, mineral, vitamin dan air. Jumlah pakan yang diberikan tergantung ukuran tubuh, kondisi kambing (pertumbuhan, bunting dan laktasi), jenis kelamin (Sudono & Abdulgani 2002), umur dan kapasitas produksi (Gall 1981). Pakan yang melebihi kebutuhan hidup pokoknya akan dimanfaatkan untuk produksi yang lebih tinggi (Devendra & Burn 1994).

Persistensi Produksi Susu

Persistensi adalah bentuk penurunan (slope) kurva laktasi setelah puncak produksi susu dicapai ( Fadlemoula et al. 2007). Cole & Null (2009) menyatakan bahwa persistensi yang tinggi adalah penurunan produksi susu yang lambat dan persistensi yang rendah adalah penurunan produksi susu yang cepat.

(32)

Torbangun (Coleus amboinicus Lour)

Tanaman torbangun (Coleus amboinicus Lour) dapat dijumpai di beberapa wilayah Indonesia dengan nama yang berbeda-beda. Di daerah Sumatra Utara tanaman ini dikenal dengan nama bangun-bangun atau torbangun (Damanik et al. 2001), ajeran atau acerang (Sunda), daun kucing (Jawa), daun kambing dan majha nereng (Madura), iwak (Bali) dan di daerah Timor dikenal dengan kunu etu (Heyne 1987). Tanaman torbangun tumbuh di tempat-tempat yang tidak terlalu banyak terkena sinar matahari dan di daerah yang cukup air atau tidak terlalu kering (Anonymous 2008). Tanaman torbangun tumbuh liar didaerah pegunungan dan tempat-tempat hingga ketinggian 1100 meter diatas permukaan laut (BPPT 2002).

Tanaman torbangun merupakan tanaman semak menjalar dengan ciri-ciri berbatang tebal, agak berkayu dengan cabang-cabang yang mencapai ketinggian satu meter dan berdaging lunak serta memiliki ruas pada daunnya. Tanaman torbangun memiliki daun tunggal dan berwarna hijau, berbentuk seperti bulat telur, berujung runcing dengan tepian yang bergerigi. Pada bagian batangnya terdapat ruas-ruas. Bila bagian ruas batangnya menyentuh tanah, maka akar dapat keluar pada bagian tersebut. Batang muda berwarna hijau pucat. Tanaman ini tergolong sukar berbunga tapi sangat mudah dibiakkan dengan stek dan cepat berakar di dalam tanah (Anonymous 2004). Tanaman torbangun dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber: flickr.com

(33)

13

Berdasarkan sistematika klasifikasi tanaman (Heyne 1987, USDA 2005), tanaman torbangun termasuk dalam:

Kingdom : Plantae

Sub Kingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Class : Dicothyledonae (Magnoliopsida)

Order : Solanales

Family : Labiatae

Sub Family : Lamiaceae

Genus : Coleus (Plectranthus)

Spesies : Coleus amboinicus Lour

Komposisi Zat Gizi

Berdasarkan hasil analisis memperlihatkan bahwa zat gizi yang terkandung dalam tanaman torbangun cukup baik, dilihat dari kandungan protein sebesar 18,60% dan TDN 63,70%. Meskipun kadar lignin cukup tinggi, namum tanaman ini memiliki kandungan dinding sel lebih rendah dibanding rumput (Benmoon Pharma Research 2006). Tanaman torbangun adalah sejenis terna (Heyne 2007) yaitu tumbuhan yang berbatang lunak (batang tidak berkayu) atau hanya mengandung jaringan kayu sedikit sekali. Jika tumbuhan tersebut mati maka tidak ada bagian batang yang tersisa di permukaan tanah (Depdiknas 2003).

Daun torbangun dapat dijadikan sebagai sumber pemenuhan zat gizi, provitamin A (karoten) dan kalsium bagi ibu-ibu hamil. Komposisi zat gizi daun torbangun ini terdapat dalam Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia tahun 1990, dimana dalam 100 gram daun torbangun terkandung kalsium sebanyak 279

mg, besi 13,6 mg dan karoten total 13288 μg. Kandungan kalsium, besi dan karoten

total pada daun torbangun jauh lebih besar jika dibandingkan dengan daun katuk (Sauropus androgynus L.Merr) (Zakiah 2007). Data selengkapnya tentang komposisi zat gizi daun torbangun dan daun katuk tercantum dalam Tabel 3.

(34)

Tanaman ini juga memiliki khasiat sebagai antipiretik, analgetik, obat luka, obat batuk, dan sariawan (Depkes 1985). Selain itu daun tanaman ini juga mengandung Vitamin C, B1, B12, betakaroten, niacin, karvakrol, kalsium, asam-asam lemak, asam-asam oksalat dan serat (Duke 2000).

Tabel 3 Komposisi zat gizi dalam 100 gram daun torbangun dan daun katuk

Komposisi Zat Gizi Daun Torbangun Daun Katuk

Energi (kalori)

Tanaman torbangun mengandung senyawa aktif antara lain barbatusi, barbatuson (pada daun), koleol, forskholin (pada umbi-akar) dan phytosterol. (Anonymous, 2004). Senyawa aktif adalah senyawa hasil metabolisme sekunder (sekunder metabolit) yang diproduksi sebagai benteng pertahanan tumbuhan dari pengaruh buruk lingkungan atau serangan hama penyakit. Senyawa aktif mempunyai khasiat dan fungsi tertentu pada jenis tanaman tertentu. Analisis yang dilakukan oleh Menendez & Gonzales (1999) dan Depkes (2005) menemukan bahwa dalam beberapa jenis tanaman herba (terna) termasuk torbangun terdapat komponen senyawa aktif seperti thymol dan carvacrol serta minyak atsiri. Dari 120 kg daun segar terkandung lebih kurang 25 ml minyak atsiri yang mengandung fenol

(isopropyl-otresol), sehingga dinyatakan bahwa tanaman torbangun dapat menjadi

(35)

15

Menurut Mardisiswojo & Rajakmangunsudarso (1985), pada daun ini terkandung minyak atsiri (0,043% pada daun segar atau 0,2% pada daun kering udara). Analisis menggunakan GC dan GC-MS oleh Laboratorium Department of Chemistry Gorakhpur University pada tahun 2006, menemukan pada Coleus amboinicus Lour terkandung senyawa penting yang berperan aktif dalam metabolisme sel dan merangsang produksi susu. Kandungan senyawa penting tersebut disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Kandungan senyawa aktif dalam Coleus amboinicus Lour

Senyawa Aktif Jumlah (%)*

Thymol

Sumber: Laboratorium Department of Chemistry Gorakhpur University, India (2006) *97% dari total kandungan lemak

Hasil penelitian dan analisis yang dilakukan Lawrence et al. (2005), dikemukakan bahwa secara umum dalam daun torbangun telah ditemukan tiga komponen utama yang bersifat laktagogue, zat gizi dan farmakoseutika. Jenis dan proporsi ketiga komponen tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Beberapa senyawa penting lainnya dalam daun torbangun

Komponen

Utama Jenis Komponen Proporsi (%)

Senyawa senyawa sterol, steroid, asam lemak, asam organik

Protein, vitamin dan mineral

Senyawa-senyawa yang bersifat buffer,

antibakterial,antioksidan dan pelumas, pelentur, pewarna dan penstabil

10-15

5-25

10-30

(36)

Selain senyawa tersebut, dalam daun torbangun juga ditemukan beberapa senyawa lain yang memiliki efek farmakologis, seperti yang tertera pada Tabel 6. Tabel 6 Komponen utama dan proporsinya dalam daun torbangun (Coleus amboinicus Lour) dan efek farmakologisnya

Senyawa Aktif Efek Farmakologis Komposisi (%)

1,8-Cinole1)

Sumber: 1)Menendez dan Gonzales(1999), 2)Burfield (2001), 3)Depkes (2005)

Manfaat

Tanaman torbangun (Coleus amboinicus Lour) adalah jenis tanaman yang memiliki efek fisiologis dan farmakologis penting. Tanaman ini telah lama dikenal masyarakat Batak dan pemanfaatan daun torbangun di masyarakat Batak dipercaya mampu meningkatkan produksi air susu (bersifat laktagogum) ibu yang sedang menyusui (Damanik et al. 2001; 2006; Damanik 2009), karena dalam tanaman ini terkandung senyawa-senyawa yang bersifat laktagogue yaitu komponen yang menstimulir produksi kelenjar air susu pada masa laktasi (Lawrence et al. 2005).

(37)

17

Selain manfaat, daun torbangun juga mempunyai efek negatif. Subanu et al. (1982) menyatakan, bahwa bangun-bangun memiliki sifat oksitosin yang dapat meningkatkan tonus uterus, sehingga dapat menyebabkan abortus pada marmut. Hal ini diperkirakan dapat pula terjadi pada manusia dan ternak lainnya. Dosis penggunaan tepung tanaman bangun-bangun berkisar 0.25 sampai 10 g/kg bobot badan/hari, dan bervariasi menurut umur dan status fisiologis ibu atau induk ternak (Lawrence et al. 2005). Sampai saat ini belum diketahui benar apa yang menyebabkan abortus.

Katuk (Sauropus androgynus L. Merr)

Tanaman katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dikenal dengan nama katuk (Sunda, Melayu), babing atau katukan (Jawa), simani (Minangkabau) dan kerakur (Madura) (Afriastini 1990). Katuk adalah perdu menahun yang sering dijumpai di Asia Tenggara (Williams et al. 1993). Sayuran ini dikonsumsi secara luas di Indonesia, khususnya di Kalimantan dan seluruh wilayah India. Semak tanaman ini memiliki adaptasi tropika dan subtropika dan produktif sepanjang tahun.

Tanaman katuk merupakan salah satu jenis tanaman semak dengan ketinggian dapat mencapai 2-3 meter. Menurut Sukendar (1997), batang memiliki alur-alur dengan kulit yang agak licin berwarna hijau dan jumlah daun percabang berkisar antara 11-21 helai. Katuk berdaun hijau pekat atau hijau tua pada bagian atas dan hijau muda pada bagian bawah. Tanaman menunjukkan pertumbuhan

prolifik batang panjang dan tegak, yang sering kali melengkung. Akibatnya tanaman sering dipangkas dan ditanam sebagai tanaman pagar. Pemangkasan merangsang pertumbuhan tajuk lateral (Rubatzky et al. 1999). Morfologi daun katuk dapat dilihat pada Gambar 3.

(38)

Sumber: flickr.com

Gambar 3 Tanaman katuk Kandungan Kimia

Tanaman katuk bernilai gizi tinggi dan daunnya mengandung protein, lemak, karbohidrat dan Vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh (Yuliani 2001). Kandungan protein segar sekitar 7% dan tajuk katuk adalah sumber pro-Vit A, Vit C dan juga kalsium, besi dan magnesium yang sangat baik (Rubatzky et al., 1999). Komposisi

nutrien daun katuk disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Komposisi nutrien tepung daun katuk

Komponen Subekti (2003) Subekti (2007) Arifin (2005) Kadar Air (%)

(39)

19

Menurut Malik (1997), dalam daun katuk banyak terdapat minyak atsiri, sterol, saponin, flavonoid, triterpin, asam-asam organik, asam-asam amino, alkaloid

dan tanin. Selain itu daun katuk juga mengandung protein, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, B, C dan senyawa steroid serta polifenol. Senyawa steroid diduga dapat mempengaruhi peningkatan hormon estrogenik sehingga jumlah produksi air susu meningkat.

Taksonomi tanaman katuk dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Sub kelas : Monochlamydeae (Apetalae)

Bangsa : Euphorbiales

Suku : Euphorbiaceae

Marga : Sauropus

Jenis : S. androgynus (L) Merr.

Senyawa Aktif

Suprayogi (2000) melaporkan bahwa dengan analisa KGSM daun katuk mempunyai tujuh senyawa aktif utama. Senyawa yang terkandung dalam daun katuk tersebut dapat mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh, hal ini dapat dilihat pada Tabel 8.

(40)

Tabel 8 Tujuh senyawa aktif tanaman katuk dan pengaruhnya terhadap fungsi fisiologis dalam jaringan

No Senyawa Aktif Pengaruhnya pada Fungsi

Fisiologis

5, 8, 11- Heptadecatrienoic acid methyl ester

9, 12, 15-Octadecatrienoic acid ethyl ester 11, 14, 17-Eicosatrienoic acid methyl ester

Sebagai prekursor dan terlibat dalam biosintesis senyawa

Sebagai prekursor atau

intermediate-step dalam sintesis laktasi dan laktogenesis serta aktivitas fisiologis yang lain

7

3, 4-Dimethyl-2-oxacyclopent-3-enylacetatic acid

Sebagai eksogenus asam asetat dari saluran pencernaan dan terlibat dalam metabolisme selular melalui siklus krebs

Sumber: Suprayogi (2000)

Manfaat

(41)

21

Kandungan nutrisi daun katuk dapat meningkatkan metabolisme glukosa untuk sintesa laktosa, sehingga produksi air susu kambing akan meningkat (Suprayogi 1996). Sedangkan Prajonggo et al. (1990) menduga adanya kandungan

sterol dalam tanaman ini mempunyai peranan untuk meningkatkan produksi air susu ibu (ASI) secara hormonal, karena beberapa tanaman yang mengandung sterol bersifat estrogenik. Tanaman estrogenik adalah tanaman yang dapat menggertak produksi estrogen tubuh sehingga terjadi peningkatan kadarnya dalam darah.

Menurut Suprayogi (2000), mekanisme senyawa aktif daun katuk dalam sistesis susu di kelenjar sekretori melalui dua jalur. (1) Aksi hormonal, yaitu daun katuk dapat memodulasi hormon-hormon laktogenesis secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung melalui aksi prostaglandin dan hormon steroid, sedangkan secara tidak langsung melalui stimulasi sel-sel kelenjar pituitari untuk melepaskan hormon prolaktin dan oksitosin. (2) Aksi metabolik, yaitu melalui proses hidrolisis senyawa-senyawa aktif daun katuk yang kemudian dapat ikut serta dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak.

Selain memiliki manfaat yang banyak, daun katuk juga memiliki kelemahan. Pujiyati (1999) melaporkan bahwa pemberian ekstrak daun katuk (EDK) dengan dosis 1,89 g/ekor/hari dan suspensi daun katuk dengan dosis 7,44 g/ekor/hari pada domba laktasi yang diberikan selama lima minggu menyebabkan terjadinya degenerasi lemak pada hati yang kemungkinan diakibatkan oleh senyawa aktif yang terkandung dalam daun katuk. Selain itu Andriyanto (2004), juga menemukan terjadinya penurunan kecernaan lemak kasar dan berat karkas akibat penambahan tepung daun katuk pada pakan ayam broiler.

(42)

Mineral Seng (Zn)

Seng merupakan mineral esensial bagi tanaman tingkat tinggi, hewan dan manusia. Piliang (1997) menyatakan bahwa mineral tersebar dimana-mana di seluruh tubuh. Tidak terdapat tempat penyimpanan khusus untuk mineral seng dalam tubuh, meskipun sumsum, tulang dan ginjal merupakan tempat-tempat yang terbanyak mengandung mineral seng labil. Tempat-tempat ini juga merupakan tempat-tempat yang pertama-tama akan mengalami defresi mineral Seng dalam kondisi defisiensi Seng.

Mineral seng diabsorpsi dengan bantuan proses difusi dalam duodenum dan jejenum bagian atas. Zat-zat yang membantu absorpsi mineral antara lain asam-asam amino terutama histidin dan sistein, asam sitrat, asam pikolonik pada tikus dan air susu manusia, tetapi tidak pada air susu sapi.

Pada kambing perah seng harus disuplai secara kontinyu sebab hanya sedikit yang dapat disimpan dalam tubuh ternak dalam bentuk tersedia. Seng pada pakan ternak ruminansia di Indonesia berkisar antara 20 dan 38 mg/kg bahan kering. Defisiensi seng dapat menyebabkan parakeratosisi jaringan usus yang akibatnya sama dengan defisiensi asam lemak, dan juga dapat mengganggu peran seng dalam metabolisme mikroorganisme rumen, mengingat kebutuhan seng bagi mikroorganisme cukup tinggi yaitu antara 130-220 mg/kg (Hungate 1966 dan Arora 1989).

(43)

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada akhir Juni 2010 sampai awal Januari 2011 di Peternakan Kambing PE Cordero Farm Curug Nangka Ciapus Bogor. Persiapan pembuatan bahan tepung daun torbangun dan tepung daun katuk dilakukan di rumah kaca Fakultas Teknologi Pertanian dan laboratorium lapang Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Bogor. Analisa kualitas susu dilakukan di Laboratorium Ternak Perah Fakultas Peternakan IPB Bogor.

Materi dan Peralatan

Ternak yang digunakan adalah kambing PE betina laktasi ke 2-4 sebanyak 15 ekor, milik Peternakan Kambing PE Cordero Farm Curug Nangka Ciapus Bogor, dengan bobot rata-rata 47,29±4,07 kg. Kandang yang digunakan adalah kandang individu berukuran 1,5 x 1 x 2 m2 yang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum. Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum yang ada di Peternakan Cordero yang terdiri dari rumput gajah (Pennisetum purpureum), kulit kacang kedelai dan konsentrat, dengan rasio hijauan konsentrat 80:20. Bahan penelitian lain yang digunakan adalah daun torbangun dan daun katuk dalam bentuk tepung yang dicampurkan dengan kulit kacang kedelai dan konsentrat serta ditambahkan seng 20 ppm pada perlakuan E (NRC 1981). Susunan ransum pada penelitian ini disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Susunan ransum kambing PE selama penelitian

(44)

Alur tahapan penelitian yang dilalui dapat dilihat dan tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4 Alur tahapan penelitian

Penetapan lokasi penelitian

Ditetapkan 15 ekor kambing PE

Survei lokasi penelitian

Tepung Pemberian

Dijemur terpisah dirumah kaca 2-3

hari

Katuk Torbangun

Pisahkan daun dengan batang

Pembuatan tepung

Data Awal

• Ukur konsumsi pakan

• Ukur produksi susu

• Analisa kualitas susu Dijemur langsung

di rumah kaca 2-3 hari

Setelah kering hanya daun saja yang dipakai

(45)

25

Dilakukan persiapan pembuatan tepung daun torbangun dan tepung daun katuk. Tanaman torbangun dipisahkan batang dan daun lalu dikeringkan di rumah kaca 2-3 hari untuk daun, lalu batang dilanjutkan pengeringan dengan oven pada suhu 600 C sampai kering (1-2 hari). Tanaman katuk langsung dikeringkan dan dipisahkan antara batang dengan daun, untuk digunakan daunnya saja. Setelah kering kemudian dihaluskan dengan menggunakan grinder, lalu diayak dengan ayakan 50 mesh dan hasilnya adalah tepung torbangun dan tepung daun katuk.

Analisa kualitas susu meliputi BJ (berat jenis), lemak, protein, BK (bahan kering) dan BKTL (bahan kering tanpa lemak) yang dilakukan seminggu sekali. BJ ditentukan dengan menggunakan laktodensimeter, lemak diukur dengan metode

Gerber, protein menggunakan titrasi fomol, BK dihitung dengan persamaan

Fleischmann dan BKTL dihitung dengan cara mengurangi BK dengan lemak.

Rancangan Percobaan

Penelitian dilakukan dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 5 perlakuan dengan 3 kelompok berdasarkan bobot badan. Perlakuan terdiri dari: A= Kontrol (80% hijauan dan 20% konsentrat); B= 5% DaunTorbangun (75% hijauan, 20% konsentrat dan 5% daun torbangun); C= 5% Daun Katuk (75% hijauan, 20% konsentrat dan 5% daun katuk); D= 2,5% Daun Torbangun + 2,5% Daun Katuk (75% hijauan, 20% konsentrat, 2,5% daun torbangun dan 2,5% daun katuk); E= D + seng 20 ppm (75% hijauan, 20% konsentrat, 2,5% daun torbangun, 2,5% daun katuk + zinc 20ppm). Model matematika yang digunakan adalah :

Yij =

μ

+

α

i+ βj +

ε

ij

Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan (respon) pada perlakuan ke-i, kelompok ke-j, μ = Nilai Rataan umum

αi = Pengaruh perlakuan ransum ke-i (i = A, B, C, D,E) βj = Pengaruh kelompok ke-j (j = 1,2, 3)

(46)

Prosedur Penelitian

Perlakuan diberikan selama 8 minggu dimulai minggu ke-2 hingga minggu ke-9. Setelah kambing beranak pada minggu pertama belum diberikan perlakuan (pra perlakuan). Pemberian pakan dilakukan dalam dua tahap yaitu rumput gajah diberikan pukul 08.00 WIB dan pukul 15.00 WIB dan kulit kacang kedelai dengan konsentrat pada pukul 10.00 WIB dan pukul 16.30 WIB. Kulit kacang kedelai dalam hal ini digolongkan sebagai hijauan karena mempunyai kadar serat kasar lebih besar dari 18%. Dengan demikian rasio hijauan konsentrat adalah 80:20. Pemberian tepung torbangun dan tepung katuk dilakukan bersamaan dengan pemberian kulit kacang kedelai dan konsentrat dengan cara mencampurkannya dengan kulit kacang kedelai dan konsentrat. Jumlah ransum yang diberikan ditimbang setiap kali pemberian sedangkan sisanya ditimbang keesokan harinya. Penimbangan dilakukan terpisah untuk sisa hijauan dan kulit kacang kedelai dengan konsentrat.

Pemerahan dilakukan secara manual 2 x sehari pada pukul 06.00 dan pukul 17.00 WIB. Pencatatan produksi susu dimulai setelah induk beranak dari hasil pemerahan pagi dan sore hari. Susu hasil pemerahan minggu pertama masih digolongkan sebagai colostrum dan diberikan kepada anak kambing dengan botol susu. Hasil pemerahan mulai minggu ke-2 sampai minggu ke-9 disisihkan untuk analisa. Pengukuran konsumsi pakan harian, produksi susu harian dan analisa susu dilakukan seminggu sekali. Pengukuran konsumsi pakan dan produksi susu tidak hanya dilakukan pada saat perlakuan, tetapi diukur sampai dengan masa kering kandang. Tujuannya adalah melihat perlakuan berpengaruh saat periode perlakuan dan periode pasca perlakuan.

Peubah yang Diamati

Konsumsi Pakan

(47)

27

Produksi Susu

Produksi susu (ml/e/h) adalah jumlah air susu yang dihasilkan setiap hari dengan cara mengukur hasil pemerahan susu pagi dan sore hari menggunakan gelas ukur skala 1 liter. Pemerahan dilakukan dua kali pada pagi pukul 06.00 dan sore hari 17.00 WIB.

Persistensi Produksi Susu

Persistensi produksi susu yaitu laju penurunan produksi susu setelah mencapai puncak produksi pada satu masa laktasi. Persistensi pada penelitian ini diukur perminggu dengan cara membagi produksi susu harian minggu setelah lewat puncak produksi dengan produksi susu minggu saat puncak produksi kemudian dikalikan 100%. Berikutnya minggu setelahnya dibagi minggu sebelumnya dan dikalikan 100%, sehingga diperoleh rata-rata persistensi produksi susu perminggu.

Analisa Kualitas Susu

Analisa kualitas susu dilakukan seminggu sekali dengan mencampur susu pemerahan pagi dan sore secara proposional. Analisa dilakukan terhadap :

a. Berat Jenis

Berat jenis susu ditentukan dengan menggunakan laktodensimeter. Sebanyak 250 ml susu pada suhu 21-300C dituangkan ke dalam gelas ukur,

laktodensimeter dicelupkan perlahan-lahan kedalam susu. Nilai berat jenis susu dan suhu dapat dibaca pada skala laktodensimeter, kemudian dilakukan penyetaraan pada suhu 27,50C.

b. Kadar Lemak Susu

Kadar lemak susu diukur dengan metode Gerber (Lukman & Purnawarman 2009). Sebanyak 10 ml H2SO4 pekat (91-92%) dimasukkan

(48)

alkohol. Tabung ditutup dengan sumbat karet kemudian dikocok dengan memutar seperti angka delapan hingga homogen. Selanjutnya tabung disentrifuse selama 3 menit dengan putaran 1200 rpm, kemudian direndam dalam penangas air panas 65oC selama 5 menit. Kadar lemak susu dibaca pada skala butirometer dalam satuan persen.

c. Kadar Protein Susu

Kadar protein susu diukur dengan menggunakan titrasi formol (Sudono et al. 1999). Sepuluh milliliter susu ditambah satu milliliter phenolphthalein satu persen sebagai indikator dan 0,4 ml asam oxalate jenuh, didiamkan selama dua menit kemudian di titrasi dengan NaOH 0,1 N sampai warna merah muda. Ditambahkan 2 ml formalin 4 %, dimana warna merah akan hilang. Dititrasi kembali dengan NaOH 0,1 N sampai timbul warna merah muda. Persentase protein diperoleh dengan mengalikan volume NaOH pada titrasi kedua setelah dikoreksi terhadap keasaman formalin dengan factor formol. Koreksi terhadap formalin diperoleh dengan jalan mentitrasi dua milliliter formalin ditambah 10 ml akuades dan phenolphthalein sebagai indikator dengan NaOH 0,1 N sebagai titran. Kadar protein susu adalah :

(p-q) ml x 1,95 (factor formol)

dengan : p = Jumlah titran NaOH pada titrasi sample susu

q = Jumlah titran NaOH pada titrasi blangko yang menggunakan akuades

d. Kadar Bahan Kering (BK)

(49)

29

Bahan Kering = 1.23 L + 2.71

e. Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL) 100 (BJ – 1)

BJ

dengan : L = kadar lemak susu (%) BJ = berat jenis susu pada 27,5oC

Sedangkan kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL) susu dihitung dengan rumus.

BKTL = BK – L dengan : L = kadar lemak susu (%)

BK = kadar bahan kering (%)

Analisa Data

(50)
(51)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Pakan dan Bobot Badan

Pakan merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi produktivitas ternak. Kondisi pakan (kuantitas dan kualitas) yang tidak mencukupi kebutuhan ternak akan menyebabkan produktivitas menjadi rendah. Warwick et al. (1983) menyatakan bahwa pengaruh pakan terhadap tampilan produksi susu mencapai sebesar 70%. Konsumsi pakan pada kambing selama periode laktasi lebih banyak ditujukan untuk memproduksi susu. Penentuan konsumsi pakan pada ternak ruminansia didasarkan pada kandungan bahan kering, hal ini disebabkan kandungan air dari berbagai macam pakan sangat bervariasi. Data rataan konsumsi bahan kering rumput gajah, konsumsi kulit kacang kedelai dan konsentrat serta total konsumsi pakan periode perlakuan disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Rataan konsumsi bahan kering rumput gajah, kulit kacang kedelai dan konsentrat dan total konsumsi pakan saat perlakuan

Kelompok Perlakuan

A B C D E

Konsumsi rumput gajah (g/ekor/h)

1 539,1 526,4 397,2 531,1 -

2 481,2 413,7 458,6 516,1 488,2

3 588,2 295,1 423,3 518,4 491,8

Rata-rata 536,1±65,1a 411,7±102,9 a 426,4±36,6 a 521,9±37,8 a 490.0±35,6 a

Konsumsi kulit kacang kedelai dan konsentrat (g/ekor/h)

1 511,73 555,82 566,87 586,87 -

2 503,50 584,36 594,94 622,26 697,40

3 655,31 669,17 703,86 735,19 676,69

Rata-rata 556,8±77,1 a 603,1±65,9 a 621,9±63,4 a 648.1±68,2 a 687,0±26,9 a

Total konsumsi pakan (g/ekor/h)

1093,0±120,6 a 1014,8±63,6 a 1170,0±70,8 a 1202,6±61,9 a 1177,1±51,3 a

(52)

350,0

Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa rataan konsumsi bahan kering rumput gajah, konsumsi kulit kacang kedelai dan konsentrat serta total konsumsi pakan antar kelompok perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05). Rataan konsumsi bahan kering rumput gajah mingguan ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5 Rataan konsumsi bahan kering rumput gajah mingguan

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa pola konsumsi mingguan rumput gajah pada semua kelompok perlakuan sangat fluktuatif. Pada perlakuan A, konsumsi rumput gajah berkisar antara 461,37-584,70 g/ekor/h, perlakuan B 374,13-464,90 g/ekor/h, perlakuan C 402,90-453,27 g/ekor/h, perlakuan D 476,30-550,83 g/ekor/h, dan perlakuan E 453,90-548,75 g/ekor/h.

(53)

33

Pencampuran bersifat homogen sehingga hampir semua konsentrat ikut habis bersamaan dengan kulit kacang kedelai.

Gambar 6 Rataan konsumsi bahan kering kulit kacang kedelai dan konsentrat mingguan

(54)

800,0

Pasca perlakuan (minggu 10 - 22)

P

Pada perlakuan A, konsumsi kulit kacang kedelai dan konsentrat periode perlakuan dari minggu 2-9 berkisar antara 509,47-569,32 g/ekor/h. Pada perlakuan A konsumsi kulit kacang kedelai dan konsentrat pada awal perlakuan sekitar 561,9 g/ekor/h, menurun pada minggu ke 3 lalu naik dan selanjutnya terlihat stabil sampai minggu akhir. Pada perlakuan B konsumsi kulit kacang kedelai dan konsentrat dari minggu 2-9 berkisar antara 519,65-635,20 g/ekor. Pada perlakuan B konsumsi awal sekitar 519,7 g/ekor/h dan pada minggu berikutnya terus meningkat hingga minggu akhir perlakuan. Pada perlakuan C konsumsi kulit kacang kedelai dan konsentrat dari minggu 2-9 berkisar antara 593,66-639,00 g/ekor/h, perlakuan D 604,70-665,09 g/ekor/h, dan perlakuan E 639,50-706,10 g/ekor/h. Pada kelompok perlakuan C, D dan E, pola konsumsi kulit kacang kedelai dan konsentrat hampir sama dengan kelompok B. Konsumsi tertinggi terlihat pada perlakuan E.

Pola konsumsi bahan kering kulit kacang kedelai dan konsentrat selama penelitian yang dimulai dari periode pra perlakuan sampai dengan periode pasca perlakuan disajikan pada Gambar 7.

(55)

35

Dapat diamati bahwa selama periode perlakuan (minggu 2-9) terjadi peningkatan konsumsi kulit kacang kedelai dan konsentrat pada semua perlakuan dibandingkan kontrol. Pada periode pasca perlakuan (minggu 10–22), terjadi penurunan konsumsi kulit kacang kedelai dan konsentrat pada semua kelompok perlakuan dibandingkan dengan periode perlakuan. Rataan konsumsi kulit kacang kedelai dan konsentrat pada kelompok A selama periode pasca perlakuan terjadi penurunan sebesar -4,1 g/ekor/h, kelompok B sebesar -56,4 g/ekor/h, kelompok C sebesar -82,4 g/ekor/h, kelompok D sebesar -64,4 g/ekor/h, dan kelompok E sebesar -78,8 g/ekor/h. Data di atas menunjukkan bahwa semua kelompok perlakuan mengalami penurunan konsumsi kulit kacang kedelai dan konsentrat yang sangat tinggi dibandingkan dengan kontrol. Data ini dengan tegas menjelaskan kembali bahwa pemberian torbangun, katuk dan seng dapat meningkatkan palatabilitas.

Rataan total konsumsi bahan kering pakan mingguan disajikan pada Tabel 11. Rataan total konsumsi pada semua kelompok perlakuan mengalami peningkatan dibandingkan dengan minggu pertama. Total konsumsi pakan pada penelitian ini berkisar antara 1.014,8–1.202,6 g/ekor/h.

Tabel 11 Rataan total konsumsi bahan kering pakan setiap minggu

Minggu ke Ket : Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menyatakan berbeda nyata (p<0,05) A= Kontrol; B= +5%DT; C= +5%DK; D= +2,5%DT+2,5%DK; E=D+Zn

(56)

1.722,6–1.800,2 g/ekor/h, namun lebih tinggi dari yang didapat Sukmawati et al.

(2011) yang berkisar antara 891,6–962,2 g/ekor/h dan yang dilaporkan Rumetor et al.(2008) dengan konsumsi berkisar 755,31-886,70 g/ekor/h. Hal ini dimungkinkan karena ternak pada penelitian ini mempunyai rata-rata bobot badan yang lebih besar (47,29 ±4,07 kg vs 24,81–27,88 kg) sehingga konsumsi juga lebih banyak.

Meskipun data konsumsi pakan tidak menunjukkan perbedaan secara statistik namun ada kecenderungan bahwa total konsumsi pakan pada kelompok D lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Data total konsumsi pakan tidak mempunyai korelasi positif dengan bobot badan. Hal ini ditandai dengan data bobot badan akhir (Tabel 12).

Tabel 12 Rataan bobot badan awal dan akhir dari masing-masing kelompok perlakuan

Bobot Badan Perlakuan

A B C D E

Awal (kg) 47,3±5,86a 46,00±4,36 a 45,33±2,52 a 47,67±5,03 a 50,00±2,83 a

Akhir (kg) 53,83±4,25 a 54,33±3,21 a 55,50±7,76 a 51,00±5,29 a 59,25±9,55 a

Ket : Huruf superskrip yang sama pada baris yang sama menyatakan tidak berbeda nyata (p>0,05) A= Kontrol; B= +5%DT; C= +5%DK; D= +2,5%DT+2,5%DK; E=D+Zn

Pada kelompok D bobot badan akhir ternak lebih rendah dibandingkan dengan kelompok lainnya namun total konsumsi pakan lebih tinggi, sebaliknya ternak pada kelompok E mempunyai bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ternak pada kelompok D namun total konsumsi pakan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok D. Parakkasi (1999), melaporkan bahwa tingkat konsumsi pakan tidak hanya dipengaruhi oleh bobot badan, tapi juga jenis kelamin, umur, faktor genetik, tipe bangsa, jenis pakan yang diberikan dan faktor lingkungan misalnya temperatur, kelembaban dan sinar matahari.

(57)

37

faktor yang menentukan tingkat konsumsi ternak ruminansia. Kapasitas rumen erat kaitannya dengan bobot badan metabolik (BB 0.75), sehingga jumlah konsumsi ditentukan oleh bobot badan tersebut. Ternak yang memiliki bobot badan metabolik lebih besar (kapasitas rumen besar), mengkonsumsi pakan lebih banyak dibandingkan ternak yang bobot badan metaboliknya lebih kecil (kapasitas rumen kecil) (Despal et al. 2007). Selanjutnya Fisher et al. (1999) menyatakan bahwa pada ruminansia sistem pencernaan dan tingkah laku makan dapat menjadi faktor penentu jumlah konsumsi ransum. Pada beberapa kasus variasi ransum, kandungan gizi terutama protein dan energi serta palatabilitas ransum dapat meningkatkan konsumsi pada ternak ruminansia. Selain itu faktor makanan juga dapat mempengaruhi konsumsi diantaranya pakan, kecernaan, sifat bulky pakan dan hasil fermentasi pakan dalam rumen.

Salah satu kelemahan pada penelitian ini adalah, pemberian torbangun dan katuk dalam bentuk tepung dicampur dengan kulit kacang kedelai dan konsentrat. Bila ternak habis mengkonsumsi kulit kacang kedelai dan konsentrat, maka dapat dipastikan pemberian tepung torbangun dan katuk akan habis terkonsumsi. Namun bila kulit kacang kedelai dan konsentrat tersisa, maka tepung torbangun dan katuk tidak habis dikonsumsi dan tidak dapat dihitung berapa yang dikonsumsi oleh ternak.

Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Susu

Produksi susu merupakan tujuan utama dari pemeliharaan ternak perah. Produksi susu kambing PE saat ini bervariasi dan masih terbilang rendah. Upaya peningkatan produksi susu masih terus dilakukan, termasuk dengan memanfaatkan tanaman yang berpotensi untuk meningkatkan produksi susu. Pemberian torbangun dan katuk dalam ransum kambing PE laktasi bertujuan untuk meningkatkan produksi susu.

(58)

berpengaruh terhadap produksi susu. Selain itu Wardani et al. (2009) menambahkan bahwa ransum dengan imbangan hijauan konsentrat 30:70 menunjukkan peningkatan bahan kering dan produksi susu dibandingkan imbangan 70:30 dan 50:50. Hanya saja peningkatan pemberian konsentrat dapat mengakibatkan penurunan kadar lemak susu. Pada penelitian ini penurunan kadar lemak susu tidak terjadi karena kulit kacang kedelai masih dapat dikatagorikan sebagai hijauan karena mengandung serat kasar diatas 18% (53,08% yang hampir sama dengan serat kasar pada rumput gajah 52,95%). Pengaruh perlakuan terhadap produksi susu disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Rataan produksi susu pra perlakuan, periode perlakuan, peningkatan selama periode perlakuan dibandingkan pra perlakuan, total selama

Produksi susu pra perlakuan (ml/ekor/h)

1 1428,57±422,1a 1209,53±214,8 a 1276,19±214,8 a 1526,19±502,9 a 1145,0±219,2 a

Produksi susu periode perlakuan (ml/ekor/h)

2 1509,52 1330,95 1359,52 1600,00 1224,29

Peningkatan produksi susu periode perlakuan dibandingkan pra perlakuan (%)

-1,48 a +1,33 a +0,89 a +2,03 a +11,07 a

Rataan total produksi susu selama perlakuan (liter/ekor)

78,8±17,66 a 68,6±12,64 a 72,1±0,46 a 87,2±12,99 a 71,2±17,30 a

Rataan total produksi susu selama laktasi (liter/ekor)

216,80±45,80 a 183,10±29,60 a 178,80±9,98 a 228,73±21,07 a 169,71±66,67 a

(59)

39

Hasil pengukuran produksi susu menunjukkan bahwa pola produksi susu setelah induk beranak mengalami peningkatan sampai puncak laktasi pada minggu kedua hingga minggu keempat, lalu mengalami penurunan yang sangat bervariasi antar individu hingga akhir masa produksi susu.

Rataan produksi susu periode pra perlakuan, periode perlakuan, total produksi susu selama perlakuan dan total produksi selama laktasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (p>0,05). Produksi susu awal (pra perlakuan) tertinggi dijumpai pada kelompok perlakuan D dan terendah pada kelompok perlakuan E. Pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa produksi susu awal pada semua perlakuan tidak seragam. Rataan produksi susu pra perlakuan berkisar antara 1.145,00–1.526,19 ml/ekor/h dan rata-rata produksi susu priode perlakuan adalah 1.225,60–1.557,14 ml/ekor/h.

Kurva produksi susu selama 8 minggu periode perlakuan disajikan pada Gambar 8 dan kurva produksi susu selama 22 minggu laktasi ditampilkan pada Gambar 9.

Gambar 8 Kurva produksi susu priode 8 minggu perlakuan

(60)

400,0

Pasca perlakuan (minggu ke 10 - 22)

P

Gambar 9 Kurva produksi susu selama laktasi

Rataan produksi susu selama periode perlakuan berkisar antara 1.225,60-1.557,14 ml/ekor/h, dan tertinggi dijumpai pada kelompok D. Demikian juga dengan total produksi susu selama perlakuan dan total produksi susu selama laktasi tertinggi didapat pada kelompok D.

Rataan produksi susu yang dicapai pada penelitian ini lebih tinggi dari yang dilaporkan Rumetor et al. (2008) yaitu antara 420–830 g/ekor/h dan Sukmawati et al. (2011) berkisar 335,2–560,5 ml/ekor/h. Tingginya produksi susu pada penelitian ini karena umur ternak yang digunakan pada penelitian rata-rata 4,50±0,76 tahun dan sedang dalam masa laktasi ke 2–4, sehingga produksi susu yang dihasilkan lebih tinggi, sedangkan Rumetor et al. (2008) dan Sukmawati et al. (2011) menggunakan kambing dengan umur rata-rata 1-1,5 tahun dan sedang dalam laktasi pertama.

(61)

41

yang belum matang dalam merangsang kelenjar susu untuk berproduksi. Hal ini sejalan dengan yang didapatkan oleh Rumetor et al. (2008) dan Sukmawati et al.

(2011) bahwa kambing laktasi pertama menghasilkan susu yang lebih sedikit.

Produksi susu pada umumnya dipengaruhi oleh total konsumsi pakan. Menurut Parakkasi (1999), konsumsi adalah faktor yang esensial dan merupakan dasar untuk hidup pokok dan menentukan produksi. Meskipun data konsumsi pakan tidak menunjukkan perbedaan secara statistik namun ada kecenderungan bahwa total konsumsi pada kelompok D lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya, demikian juga dengan produksi susu. Data ini menggambarkan hubungan yang linier antara total konsumsi pakan dengan produksi susu. Data ini juga mengindikasikan dengan kuat bahwa pemberian daun torbangun yang dikombinasi dengan daun katuk dan seng (kelompok perlakuan E) memberi pengaruh yang positif dan efek sinergis terhadap produksi susu selama periode laktasi.

Gambar

Gambar 1  Kambing PE jantan dan kambing PE betina
Tabel 1  Syarat mutu susu segar berdasarkan SNI 01-3141-1998
Tabel  2  Penggolongan kualitas susu kambing berdasarkan karakteristiknya
Tabel  3  Komposisi zat gizi dalam 100 gram daun torbangun dan daun katuk
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perlu dilakukan penelitian atau kajian lanjutan untuk mengetahui perilaku imago parasitoid secara detail ketika berada di dalam habitat yang mengandung

Kegagalan material SA-210C ini dianalisa akibat tekanan internal maksimum fluida yang melewati pipa pada lokasi 1 melebihi perhitungan yang diizinkan, dengan penyebab

[r]

Dari hasil pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa makna denotasi dan konotasi dari karakter Abah dalam film Keluarga Cemara ialah seorang Ayah akan selalu

Indikator yang dipakai biasanya adalah ion kromat CrO42- dimana dengan indicator ini ion perak akan membentuk endapan berwarna coklat kemerahan sehingga titik akhir titrasi

Jenis penelitian yang digunakan yaitu kualitatif yang bersifat deskriftif, dimana data-data tersebut diambil langsung dari lapangan. Dengan menggunakan pendekatan

dapat memanfaatkan fasilitas yang tersedia dalam MS-Windows. Jadi visual basic adalah salah satu development toold untuk membangun aplikasi dalam lingkungan windows.

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KEBUGARAN JASMANI ( PHYSICAL FITNESS ) DAN KESEHATAN MENTAL ( MENTAL HYGIENE ) DENGAN PRESTASI.. BELAJAR PENDIDIKAN JASMANI (PENJAS)