PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA
BELUT SAWAH Monopterus albus DAN PENGENDALIANNYA
MENGGUNAKAN MEBENDAZOLE DAN EKSTRAK BATANG
PISANG AMBON Musa paradisiaca
FENTI NURUL
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Persistensi Cacing Endoparasit Gnathostoma sp. pada Belut Sawah Monopterus albus dan Pengendaliannya Menggunakan Mebendazole dan Ekstrak Batang Pisang Ambon Musa paradisiaca”adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Fenti Nurul
ABSTRAK
FENTI NURUL. Persistensi Cacing Endoparasit Gnathostoma sp. pada Belut Sawah Monopterus albus dan Pengendaliannya Menggunakan Mebendazole dan Ekstrak Batang Pisang Ambon Musa paradisiaca. Dibimbing oleh SRI NURYATI dan YANI HADIROSEYANI.
Belut merupakan ikan konsumsi air tawar yang memiliki nilai gizi baik, namun belut menjadi inang antara cacing Gnathostoma sp. yang bersifat zoonosis, sehingga dapat menimbulkan masalah pada konsumen. Penelitian ini bertujuan menginventarisasi keberadaan cacing Gnathostoma sp. pada belut sawah di Jawa Barat dan mencari konsentrasi yang tepat dalam mengendalikan cacing Gnathostoma sp. menggunakan mebendazole 500 mg dan ekstrak batang pisang ambon melalui metode perendaman. Perendaman cacing secara in vitro, baik dalam larutan mebendazole maupun ekstrak batang pisang ambon menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan maka kematian cacing semakin cepat. Hasil penelitian menunjukkan perendaman secara in vitro menggunakan bahan aktif mebendazole mengakibatkan kematian lebih cepat yaitu 2-3 hari dan ekstrak batang pisang ambon 6-7 hari, sedangkan perendaman dalam larutan fisiologis (tanpa pemberian mebendazole dan ekstrak batang pisang ambon) cacing mati 11-12 hari.
Kata Kunci: Belut sawah, Gnathostoma sp, in vitro, mebendazole, Musa paradisiaca.
ABSTRACT
FENTI NURUL. Persistance of Endoparasite Gnathostoma sp. in Ricefield Eel Monopterus albus and controling use Mebendazole and banana Musa paradisiaca stem extract. Supervised by SRI NURYATI and YANI HADIROSEYANI.
Rice field eel (Monopterus albus) is a freshwater fish which contained good nutritional values. However, M. albus becomes host for worm (Gnathostoma sp) and zoonosis to consumer. Aim of this research was to inventory existence of Gnathostoma sp. in M. albus, examine effectivity both mebendazole 500 mg and banana (Musa paradisiaca) stem extract by in vitro trials to control the worm. Immersion of Gnathostoma sp. by in vitro, either in mebendazole and M.paradisiaca stem extract indicated positive correlation both solution concentration and mortality rate of the worm. The result of this study showed that immersion using mebendazole and M. paradisiaca affected to mortality of the Gnathostoma sp. in 2-3 days and 6-7 days immersion respectively. In other hand, immersion by physiological solution caused mortality of Gnathostoma sp in 11-12 days immersion.
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
Pada
Departemen Budidaya Perairan
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2015
PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA
BELUT SAWAH Monopterus albus DAN PENGENDALIANNYA
MENGGUNAKAN MEBENDAZOLE DAN EKSTRAK BATANG
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 sampai Februari 2015 di Laboratorium Kesehatan Ikan dan Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor adalah parasit, dengan judul Persistensi Cacing Endoparasit Gnathostoma sp. pada Belut Sawah Monopterus albus dan Pengendaliannya Menggunakan Mebendazole dan Ekstrak Batang Pisang Ambon Musa paradisiaca.
Dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini terdapat pihak yang membantu dan memberikan motivasi. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Dr Sri Nuryati, SPi MSi dan Ibu Ir Yani Hadiroseyani, MM sebagai dosen pembimbing yang selalu memberikan motivasi, dukungan baik secara material maupun dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini, serta saran dan kritikan dalam pembuatan penulisan penelitian ini. Ibu Ir Iis Diatin, MM sebagai dosen penguji tamu, dan Bapak Ir Dadang Shaffrudin, MS sebagai wakil dosen komisi pembimbing skripsi yang telah memimpin jalannya sidang serta memberikan saran dalam penulisan ini. Ibu Dr Ir Mia Setiawati, MSi sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi dan saran dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini serta arahan dalam pelaksanaan penelitian. Kedua orang tua tercinta yang saya banggakan, (Almarhum) Udin Djamaludin dan (Almarhumah) Anon Saribanon yang telah memberikan dukungan dan kasih sayang serta mendoakan selama hidupnya. Saudara tercinta Kahfi Wijaya, Lukman Hakim, Dzikri Maulana, Fitria Maryati, Yani Maryani, Mariam, Nia, dan Solihin yang telah memberikan dukungan secara moral dan semangat dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Ka Dendi 45, Ka Rahman, Bapak Ranta, M Firdaus, Anisa Rahmia, Ibu Oca, Selia Hermawati, Ka Sepriadi, Fadhilatun, Iqbal, Ermianus, Ka Dian, Hana, Maysilvani, Kiki, Ridhana, Risma, Yodi, Adel, Mulyati, Syifa, Mita, Yuri, Ka Ike, Ka Nadia, Asda, Syifa, dan Irma yang telah membantu dalam penelitian ini. Keluarga besar Asrama Putri Dramaga IPB atas kebersamaannya dan motivasi yang telah diberikan selama penelitian. Keluarga besar BDP 48 dan keluarga besar LKI yang telah memberikan semangat dalam kegiatan penelitian ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Juni 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... x
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 1
METODE ... 2
Prosedur Penelitian ... 2
Parameter Penelitian dan Analisis Data ... 6
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 6
Hasil ... 6
Pembahasan ... 11
KESIMPULAN DAN SARAN ... 14
DAFTAR PUSTAKA ... 14
LAMPIRAN ... 17
DAFTAR TABEL
1 Pengukuran panjang dan lebar cacing Gnathostoma sp (n=10) ... 7
2 Prevalensi dan intensitas rata-rata cacing Gnathostoma sp. pada belut sawah Monopterus albus (n=51) ... 8
3 Persentase organ terinfeksi cacing Gnathostoma sp ... 9
4 Nilai hematologi belut tidak terinfeksi dan belut terinfeksi cacing Gnathostoma sp. (n=51) ... 9
DAFTAR GAMBAR
1 Skema tahapan pengerjaan penelitian bahan uji belut sawah ... 22 Pengukuran kista cacing Gnathostoma sp ... 4
3 Pengukuran cacing Gnathostoma sp. ... 5
4 Bahan perendaman cacing yang digunakan untuk pengendalian secara in vitro . ... 6
5 Tahapan cacing Gnathostoma sp. keluar dari kista (preparat segar) ... 7
6 Morfologi cacing Gnathostoma sp. berdasarkan preparat segar dan awetan ... 7
7 Keberadaan cacing Gnathostoma sp. berdasarkan kelompok ukuran panjang belut ... 8
8 Kelangsungan hidup cacing Gnathostoma sp. akibat perendaman mebendazole secara in vitro ... 9
9 Kelangsungan hidup cacing Gnathostoma sp. akibat perendaman ekstrak batang pisang ambon secara in vitro ... 10
10 Nilai pH mebendazole dan ekstrak batang pisang ambon serta larutan fisiologis ... 10
DAFTAR LAMPIRAN
1 Tahapan pembuatan larutan mebendazole ... 172 Tahapan pembuatan larutan ekstrak batang pisang ambon ... 17
3 Tahapan pengumpulan cacing Gnathostoma sp ... 18
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Belut sawah Monopterus albus merupakan salahsatu komoditas perikanan asli Indonesia yang hidup di perairan berlumpur. Belut memiliki prospek sangat tinggi dalam memenuhi kebutuhan protein masyarakat, menurut Alit (2009) kebutuhan protein masyarakat Indonesia sekitar 80 gram/orang/hari berasal dari protein hewani ikan. Oleh karena itu dalam memenuhi kebutuhan protein tersebut, belut dapat menjadi pilihan bahan pangan sumber protein hewani. Bahkan di pasar ekspor penjualan belut meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2008 ekspor belut sebesar 2.676 ton meningkat menjadi 4.744 ton tahun 2009 (WPI 2010). Ekspor belut yang membaik merupakan indikasi manfaat belut yang tinggi dan digunakan sebagai bahan obat untuk penyakit manusia salah satunya penyakit kardiovaskuler (Freije dan Awadh 2010).
Permasalahan belut saat ini adalah belut bertindak sebagai inang antara cacing Gnathostoma sp. merupakan cacing nematoda yang bersifat zoonosis. Hal ini memicu penolakan ekspor Indonesia untuk komoditas belut ke Cina seperti berita dari kantor Xin Hua tanggal 17 Mei 2011 yang melaporkan telah ditemukan cacing parasitik Gnathostoma spinigerum pada belut yang berasal dari Thailand dan Indonesia (Puspasari 2013). Importir dari Cina kini menghentikan impor belut dari Indonesia, hal ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi bagi Indonesia. Nugroho (2013) menyatakan bahwa belut sawah yang diperiksa di Balai Uji Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta Timur positif terinfeksi cacing Gnathostoma dengan nilai prevalensi 26.61% (n=124) dan intensitas 2 ind/ekor. Khati et al. (2014) menyatakan bahwa belut sawah yang berasal dari hasil tangkapan alam di daerah Kabupaten Kampar Riau positif terinfeksi cacing Gnathostoma dengan prevalensi 46.68% (n=30) dan intensitas 31 ind/ekor. Oleh karena itu, perlu adanya pengendalian unuk mengurangi keberadaan cacing parasitik tersebut pada belut.
Cacing nematoda parasitik umumnya dapat dikendalikan menggunakan obat berbahan aktif mebendazole 500 mg (Bossche dan Nollin 1973) dan fitofarmaka ekstrak batang pisang ambon. Batang pisang ambon merupakan salah satu limbah yang tidak termanfaatkan dan tidak bernilai ekonomis akan tetapi berguna untuk kesehatan (Prasetyo 2008). Menurut Apriasari et al. (2013) kandungan getah pisang ambon terdapat bahan aktif tanin 67.6%, saponin 14.5 %, fenol 0.3% dan flavonoid 0.2%. Bahan aktif tersebut sebagai zat anti cendawan, antiseptik dan antibakteri.
Tujuan Penelitian
2
Pengambilan sampel darah belut
Hematologi
Hb SDM SDP
Pemeriksaan cacing Gnathostoma sp.
Pengendalian cacing secara in vitro
Identifikasi Persistensi
Morfologi Morfometrik
I P
MB EB
PA
Gambar 1 Skema tahapan pengerjaan penelitian bahan uji belut sawah Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah putih, P= Prevalensi, I= Intensitas, MB= Mebendazole, EBPA = Ekstrak batang pisang ambon.
Hc
METODE PENELITIAN
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dibagi ke dalam 3 tahap pengerjaan yaitu pengamatan sampel darah belut, pemeriksaan cacing, dan pengendalian cacing (Gambar 1). Belut merupakan hasil tangkapan alam dari sawah dan dibawa ke laboratorium untuk pemeriksaan. Belut dibiarkan hidup sampai pengambilan darah belut dan cacing.
Hematologi Belut
Pengambilan Darah
Belut dipingsankan menggunakan larutan bius merk Arowana stabilizer (Qian Hu Corporation Ltd, Singapore) sebanyak 3 ml yang dilarutkan dalam 1
3
liter air. Ember yang berukuran panjang 30 cm diisi larutan bius dan ditutup bagian atas ember menggunakan serbet sampai tidak ada udara yang masuk, kemudian ditunggu 8-10 menit. Darah diambil dengan cara belut disimpan pada baki, selanjutnya jarum suntik (syringe) dibilas dengan antikoagulan (Na-sitrat 3.8%). Jarum suntik diarahkan ke bagian intravena sebelah anus. Darah dihisap sebanyak 0.3 ml dan jarum suntik dicabut, kemudian darah ditempatkan ke dalam eppendorf yang telah dibilas dengan natrium sitrat.
Kadar Hemoglobin
Kadar hemoglobin dibaca dengan cara HCl 0.1 N dimasukkan pada tabung hemometer sampai skala 10 merah. Darah diambil sebanyak 0.02 ml dan diaduk sampai berwarna kecoklatan selama 3-5 menit. Kemudian ditambahkan aquades sampai warna sama dengan kedua warna larutan standar dan dibaca pada skala kuning jalur g% (Wedemeyer dan Yasutake 1977).
Kadar Hematokrit
Darah dihisap sebanyak ¾ bagian menggunakan tabung mikrohematokrit dan disumbat dengan cristoseal 1 mm. Darah disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit. Nilai hematokrit dihitung dengan rumus (Anderson dan Siwicki 1993).
Hematokrit = Panjang endapan darah x 100% Panjang volume darah
Sel Darah Merah
Darah dihisap sampai skala 0.5 menggunakan pipet berisi bulir warna merah. Setelah itu, darah diberi larutan hayem’s sampai skala 101 ml dan dihomogenkan membentuk angka delapan selama 3-5 menit. Darah dibuang 2 tetes pertama kemudian diteteskan pada haemacytometer tipe Neubaeur dan ditutup dengan kaca penutup. Sel darah merah diamati menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x dan dihitung sebanyak 5 kotak kecil (Nabib dan Pasaribu 1989).
Sel darah merah = Jumlah sel terhitung x faktor pengencer Kotak yang dihitung
Sel Darah Putih
Darah dihisap sampai skala 0.5 menggunakan pipet yang berisi bulir warna
putih. Darah diberi larutan turk’s sampai skala 11 dan dihomogenkan membentuk angka delapan selama 3-5 menit. Darah dibuang 2 tetes pertama kemudian diteteskan pada haemacytometer tipe Neubaeur dan ditutup dengan kaca penutup. Sel darah putih diamati menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x dan dihitung sebanyak 5 kotak kecil (Nabib dan pasaribu 1989).
4
Identifikasi Cacing Gnathostoma sp.
Identifikasi cacing dilakukan pada cacing yang berasal dari belut. Belut dibedah dari anterior kepala sampai posterior anus. Organ internal belut dipisahkan bagian hati, usus, otot, dan gonad yang dimasukkan kedalam larutan fisiologis. Organ tersebut diamati menggunakan mikroskop stereo dan organ yang terkena cacing diambil menggunakan jarum dan pinset. Dalam organ belut cacing yang terbungkus kista, kista dilepaskan dari organ cacing untuk dilakukan pengukuran. Pengukuran panjang dan lebar kista disajikan pada Gambar 2. Kista kemudian dipecahkan untuk mengeluarkan cacing. Identifikasi cacing Gnathostoma sp. meliputi pengamatan morfometrik dan morfologi yang terdiri dari pengukuran panjang dan lebar cacing serta panjang dan lebar kista. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan pada cacing yang sudah diawetkan.
Pembuatan Preparat Cacing Gnathostoma sp.
Cacing difiksasi menggunakan BNF 10% selama 24 jam (Jung et al. 2008; Guerrero et al. 2014). Kemudian dilakukan proses hidrasi yaitu cacing direndam dalam alkohol bertingkat mulai 70%, 50%, dan 35% masing-masing selama 5 menit, kemudian dilakukan pewarnaan dengan merendam cacing dalam larutan acetocarmine selama 10-15 menit. Spesimen cacing dari tahap pewarnaan dilanjutkan pembilasan menggunakan aquades selama 5 menit. Kemudian proses dehidrasi yaitu cacing direndam dalam alkohol 35%, 50%, 70%, 80%, 90%, dan 100% masing-masing selama 5 menit. Kemudian dilanjutkan proses penjernihan yaitu cacing direndam dalam xylol 1,2, dan 3 masing-masing selama 1 menit. Tahap mounting dilakukan dengan cara spesimen cacing disimpan pada kaca objek dan diberi 1 tetes xylol agar spesimen tidak kering dan ditutup dengan kaca penutup yang direkatkan entellan (Soulbsy 1982; LKI 2013). Preparat cacing dikeringkan selama 24 jam dan diamati menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 10 x.
Gambar 2 Pengukuran kista cacing Gnathostoma sp. P= panjang kista cacing, L= lebar kista cacing.
Pengukuran panjang dan lebar cacing Gnathostoma sp. mengikuti Lee (1988) seperti disajikan pada Gambar 3.
P
5
Gambar 3 Pengukuran panjang dan lebar cacing Gnathostoma sp. PA= panjang anterior, LA= lebar anterior, PE= panjang esofagus, LE= lebar esofagus, PTT= panjang total tubuh LTK= lebar tubuh kecil, LTB = lebar tubuh besar, PP= panjang posterior, LP= lebar posterior.
Prevalensi dan Intensitas Parasit
Keberadaan cacing dihitung dari 51 ekor belut yang diperiksa pada bagian organ hati, usus, otot, dan gonad. Masing-masing organ tersebut diambil dari tubuh cacing menggunakan jarum dan pinset dan direndam dalam larutan NaCl 0.85%. Berikut ini merupakan rumus perhitungan prevalensi dan intensitas parasit (Dogiel et al. 1970 ; Kabata 1985).
Prevalensi = Jumlah ikan yang terinfeksi x 100% Jumlah ikan yang diperiksa
Intensitas rata-rata = Jumlah parasit tertentu yang ditemukan Jumlah ikan yang terinfeksi
Potensi Pengendalian: Mebendazole dan Ekstrak Batang Pisang Ambon Pembuatan larutan mebendazole dan ekstrak batang pisang ambon untuk merendam cacing Gnathostoma sp. secara in vitro menggunakan rumus:
M1.V2 = M2.V2
Pembuatan larutan stok mebendazole dibuat dengan cara 25 mg mebendazole ditumbuk menggunakan mortar, setelah itu dilarutkan dalam 1 liter larutan fisiologis. Kemudian dimasukkan ke dalam rumus pengenceren untuk pembuatan larutan konsentrasi 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, dan 20 ppm dengan volume perendaman masing-masing perlakuan sebesar 20 ml. Tahapan pembuatan larutan mebendazole dapat dilihat pada Lampiran 1. Pengukuran pH dilakukan sebelum cacing direndam.
6
larutan fisiologis. Kemudian dimasukkan kedalam rumus pengenceran untuk pembuatan larutan konsentrasi 4%, 8%, 12 %, dan 16% dengan volume masing-masing perendaman 20 ml. Tahapan pembuatan larutan ekstrak batang pisang ambon dapat dilihat pada Lampiran 2. Pengukuran pH dilakukan sebelum cacing direndam.
Perendaman Cacing secara In Vitro
Perendaman cacing dilakukan pada 3 jenis larutan yaitu larutan fisiologis sebagai kontrol, larutan mebendazole dan ekstrak batang pisang ambon. Cacing dikeluarkan dari kista menggunakan jarum dan pinset (Lampiran 3). Kemudian setiap 3 ekor cacing dimasukkan ke dalam wadah masing-masing perlakuan sesuai metode Fitriana (2008) seperti terlihat pada Gambar 4. Kematian cacing berdasarkan pengamatan visual dilihat dari pergerakan cacing dan warna cacing diamati setiap jam menggunakan mikroskop stereo. Cacing yang mati diketahui dari tubuh yang lurus, tidak bergerak, berwarna putih dan lama kelamaan menjadi hancur.
Larutan Fisiologis Mebendazole Estrak Batang Pisang Ambon
Analisis Data
Data kuantitatif yang diperoleh dari penelitian ini meliputi morfometrik, keberadaan, dan kelangsungan hidup parasit serta hematologi belut. Data tersebut disajikan dalam bentuk tabel dan grafik dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Identifikasi Cacing Gnathostoma sp.
Tahapan cacing Gnathostoma sp. keluar dari kista berdasarkan preparat segar disajikan pada Gambar 5.
8
7
Gambar 5 Tahapan cacing Gnathostoma sp. keluar dari kista (preparat segar) a= kista cacing utuh, b= cacing mulai keluar dari kista, c= cacing memisah dari kista.
Morfologi cacing Gnathostoma sp. berdasarkan preparat segar dan awetan disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Morfologi cacing Gnathostoma sp. berdasarkan preparat segar dan awetan. a= preparat segar anterior cacing, b= preparat segar tubuh cacing, c= preparat segar posterior cacing, d= preparat awetan anterior cacing, e= preparat awetan tubuh cacing, f= preparat awetan posterior cacing.
Hasil pengukuran panjang dan lebar kista cacing Gnathostoma sp. tercantum pada Tabel 1
Tabel 1 Pengukuran panjang dan lebar cacing Gnathostoma sp. (n=10)
Bagian organ cacing
Panjang (mm) Lebar tubuh kecil (mm)
Lebar tubuh besar (mm)
Anterior 0.09+0.02 0.06+0.02 -
Esofagus 1.22+0.10 0.20+0.02 -
Tubuh 7.96+1.33 0.23+0.04 0.29+0.06
Posterior Kista
0.16+0.04 1.67+0.35
0.10+0.04 1.48+0.42
- -
Cacing yang ditemukan pada penelitian ini berukuran panjang 7.96+1.33 mm lebar tubuh cacing dibagi menjadi 2 bagian yaitu lebar tubuh kecil berukuran 0.23+0.04 mm dan lebar tubuh besar berukuran 0.29+0.06 mm.
8
Nilai prevalensi dan intensitas rata-rata cacing Gnathostoma sp. dari 51 ekor belut sawah yang diperiksa mencapai 60.78% dan 1.6 (Tabel 2).
Tabel 2 Prevalensi dan intensitas rata-rata Gnathostoma sp. belut sawah Monopterus albus (n=51)
Kelompok ukuran belut (cm) Prevalensi % Intensitas rata-rata ind/ekor Kelompok 1 : 17.5-20.2 cm 1.96 (n=1) 1 (n=1)
Berdasarkan 7 kelompok ukuran panjang ternyata masing-masing ukuran bervariasi dalam prevalensi dan intensitas tersebut. Prevalensi terendah terjadi pada kelompok ukuran 1, 6 dan 7. Prevalensi tertinggi pada kelas 4. Intensitas terendah pada kelompok 1, dan 7. Intensitas tertinggi terdapat pada kelompok 6. Keberadaan Cacing Gnathostoma sp. Berdasarkan Ukuran Belut
Keberadaan cacing Gnathostoma sp. berdasarkan masing-masing kelompok ukuran panjang belut menunjukkan pada semua kelompok ukuran terdapat belut yang tidak terinfeksi cacing (Gambar 7).
Gambar 7 Keberadaan cacing Gnathostoma sp. berdasarkan kelompok ukuran panjang belut.
Belut berdasarkaan kelompok ukuran terpendek (17.5-20.2 cm) dan terpanjang (31.5-37 cm) paling sedikit terinfeksi cacing. Jumlah cacing yang paling banyak ditemukan yaitu pada kelompok ukuran 3, 4 dan 5.
Gambar 7 Frekuensi kejadian cacing Gnathostoma sp. berdasarkan masing-masing kelompok panjang belut
17.5-20.2 20.3-23 23.1-25.8 25.9-28.6 28.7-31.4 31.5-34.2 34.3-37
9
Persentase Organ Belut yang terinfeksi Cacing Gnathostoma sp.
Persentase organ yang terinfeksi cacing Gnathostoma sp. pada belut sawah disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Persentase organ belut sawah terinfeksi cacing Gnathostoma sp.
Organ Persentase Infeksi Gnathostoma sp. (n=31) hati 80.64 % dan otot 19.36%, sedangkan organ usus dan gonad tidak di infeksi oleh cacing Gnathostoma sp.
Parameter Hematologi Belut
Nilai hematologi belut sawah terinfeksi dan tidak terinfeksi cacing Gnathostoma sp. disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Nilai hematologi belut tidak terinfeksi dan belut terinfeksi cacing Gnathostoma sp. (n=51)
Parameter Belut tidak terinfeksi (n=20) Belut terinfeksi (n=31)
Hematokrit % 48.91 + 12.32 47.40 + 9.60
Hemoglobin g% 18.24 + 1.42 16.66 + 2.14
SDM (106 sel/mm3) 3.94 + 1.22 2.55 + 0.93 SDP (105 sel/mm3) 0.71 + 0.19 0.87 + 0.28
Belut yang tidak terinfeksi cenderung memiliki nilai hematologi yang lebih besar dibandingkan dengan belut yang terinfeksi cacing Gnathostoma sp. kecuali nilai sel darah putih.
Potensi Pengendalian Cacing Gnathostoma sp.
Kelangsungan Hidup Cacing dengan Perlakuan Mebendazole
Kelangsungan hidup cacing Gnathostoma sp. akibat perendaman secara in vitro menggunakan mebendazole disajikan pada Gambar 8.
10
Pengendalian cacing Gnathostoma sp. secara in vitro menggunakan bahan aktif mebendazole mengakibatkan kematian dalam jumlah dan waktu yang berbeda-beda. Dimana semakin tinggi konsentrasi mebendazole kematian cacing semakin cepat.
Kelangsungan Hidup Cacing dengan Perlakuan Ekstrak Batang Pisang Ambon
Kelangsungan hidup cacing Gnathostoma sp. perendaman secara in vitro menggunakan ekstrak batang pisang ambon disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9 Kelangsungan hidup cacing Gnathostoma sp. akibat perendaman ekstrak batang pisang ambon secara in vitro.
Pengendalian cacing Gnathostoma sp. secara in vitro menggunakan ekstrak batang pisang ambon mengakibatkan kematian dalam jumlah dan waktu yang berbeda-beda. Nilai pH disajikan pada Gambar 10.
Nilai pH : Mebendazole dan ekstrak batang pisang ambon
11
Gambar 10 Nilai pH mebendazole dan ekstrak batang pisang ambon. MB= perlakuan mebendazole, EBPA= perlakuan ekstrak batang pisang ambon
Nilai pH bahan aktif mebendazole menunjukkan semakin tinggi konsentrasi peningkatan terhadap nilai pH, sedangkan ekstrak batang pisang ambon semakin tinggi konsentrasi menunjukkan penurunan nilai pH. Larutan fisiologis sebanyak 4 kali pengukuran menunjukkan nilai pH yang sama.
Pembahasan
Belut yang diteliti terbukti mengandung cacing parasitik Gnathostoma sp. Hal ini diketahui dari hasil identifikasi morfologi dan morfometrik; keberadaan pada organ hati dan otot; serta prevalensi dan intensitas parasit tersebut. Menurut Janwan et al. (2014) cacing parasit tersebut termasuk kelompok parasit zoonosis phylum nematoda yang mengakibatkan penyakit human Gnathhostomiasis, dan penyakit ini merupakan penyakit endemik Asia dan Amerika. Cacing tersebut merupakan parasit internal yang memiliki banyak inang dalam hidupnya dan manusia sebagai inang yang tidak normal atau incidental host bagi cacing tersebut (Lucey dan Rusnak 1993).
Gnathostoma sp. pada belut sawah yang ditemukan terbungkus dalam kista bewarna putih dengan dimensi 1.67+0.35 x 1.48+0.42 mm. Cacing memiliki ukuran panjang tubuh 7.96+1.33 mm berada dalam kisaran ukuran cacing hasil penelitian Khati et al. (2013) yaitu 5-20 mm. Saluran pencernaan cacing Gnathostoma sp. terdiri dari esofagus, usus dan anus. Saluran pencernaan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Lee (1988) dan Nugroho (2013) bahwa saluran pencernaan cacing Gnathostoma spinigerum cukup sederhana terdiri dari esofagus, usus dan anus.
Prevalensi Gnathostoma mencapai 60.78% dengan intensitas rata-rata 1-2 ind/ekor. Keberadaan cacing dengan nilai tersebut tidak dapat dibiarkan karena berpotensi mengganggu kesehatan belut. Menurut Fitriana (2008) cacing yang terdapat dalam tubuh hewan tidak menimbulkan kematian akan tetapi menyebabkan kerugian berupa penurunan produksi karena mengakibatkan pertumbuhan terhambat. Infeksi Gnathostoma sp. tertinggi pada kelompok ukuran panjang 25.9-28.6 cm dan infeksi terendah pada kelompok ukuran 17.5-20.2 cm dan 34.3-37 cm. Keadaan ini diduga diakibatkan oleh pakan alami di alam. Secara alamiah belut kecil memakan zooplankton dan zoobenthos, setelah mulai dewasa
12
belut memakan larva serangga, cacing, siput, kodok, benih ikan (Sarwono 1999). Kebiasaan makan alami belut menurut Bahri (2000) berdasarkan kelompok ukuran panjang 17-21.7 cm belut lebih banyak memakan Insekta sebesar 64.1% dan Oligochaeta 28.57% serta tidak teridentifikasi 7.34%, kemudian kelompok ukuran panjang 21.8-26.2 Insekta 15.04%, Oligochaeta 28.8%, tidak teridentifikasi 51.63%, Pisces 3.54%, kelompok ukuran panjang 26.5-30.7 cm pakan alami belut yaitu Insekta 35.71%, Oligochaeta 33.34%, tidak teridentifikasi 4.75%, Pisces 7.14% dan Crustasea 19.04%, kelompok ukuran panjang 30.8-35.2 cm pakan alami belut yaitu Insekta 5.2%, Oligochaeta 51.99%, Gastropoda 28.07%, Pisces 5.25% dan Hirudinea 8.32%, dan kelompok ukuran panjang 35.3-39.7 cm pakan alami belut yaitu Insekta 81.23%, Gastropoda 36,37% dan tidak teridentifikasi 2.04% (Bahri 2000). Berdasarkan CDC (2009) hewan yang menjadi inang antara Gnathostoma antara lain Copepoda (Crustasea) dan ikan (Lampiran 4). Keberadaan Gnathostoma pada penelitian ini berkaitan dengan pakan alami yang menjadi inang antara.
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 31 ekor belut yang terinfeksi cacing Gnathostoma sp. persentase tertinggi ditemukan dalam organ hati yaitu 80.64% dan persentase infeksi pada organ otot 19.36%. Nico et al. (2011) menyatakan infeksi parasit tertinggi pada belut sawah ditemukan pada organ internal belut seperti hati, otot, dan usus dengan nilai prevalensi 84%. Sedangkan hasil penelitian Nugroho (2013) menyatakan infeksi Gnathostoma tertinggi ditemukan pada organ intenal belut adalah organ hati dengan persentase 91.43% dan otot 8.57% . Infeksi parasit di suatu wilayah yang tinggi diakibatkan oleh musim, curah hujan, suhu, sinar matahari, keadaan geografis, dan manajemen pemeliharan (Labarthe et al. 2004).
Parameter hematologi sering digunakan untuk mengetahui kondisi dan kesehatan ikan. Berdasakan hasil penelitian ini, belut yang tidak terinfeksi cacing Gnathostoma sp. memiliki nilai hematokrit lebih tinggi dibandingkan dengan nilai hematologi belut yang terinfeksi cacing Gnathostoma sp. Akan tetapi nilai sel darah putih pada belut tidak terinfeksi cacing Gnathostoma sp. lebih rendah dibandingkan belut terinfeksi cacing Gnathostoma sp. Menurut Nuryati et al. (2010) infeksi dapat meningkatkan sel darah putih untuk pertahanan terhadap infeksi pathogen. Hasil penelitian Chandrawati (2014) menyatakan ikan yang terinfeksi bakteri Aeromonas hidrophilla akan mempengaruhi parameter hematologi belut yaitu hemoglobin darah sel darah merah. Menurut Alamanda et al. (2000) sel darah merah yang rendah mengakibatkan terhambatnya metabolisme ikan serta suplai makanan yang diperoleh. Metabolisme yang baik menyebabkan pertumbuhan ikan yang lebih baik.
13
penyakit cutanaeus larva migran yaitu penyakit yang menyerang bagian kulit akibat migrasi cacing nematoda (Rojekittikhun et al. 2002). Ciri belut terinfeksi cacing Gnathostoma sp. sama dengan ikan yang teserang cacing cestoda yaitu bobot tubuh berkurang serta warna daging berubah menjadi kuning (Ahmad dan Sanaaullah 1977). Akan tetapi pengamatan yang dilakukan pada belut warna tubuh kekuningan tidak ditemukan, hal ini disebabkan intensitas rata-rata yang didapatkan 1-2 ind/ekor atau cukup rendah sehingga tidak berdampak langsung terhadap perubahan warna daging pada belut. Menurut (Ompusunggu 1996) kurang lebih 20 spesies ikan sebagai hospes perantara diantaranya 3 spesies ada di Filipina, 6 spesies di Cina dan 8 spesies di Jepang. Menurut Rojekittikun et al. (2004) terdapat 8 spesies ikan yang di infeksi cacing Gnathostoma sp. yaitu Monopterus albus prevalensi 30.1%, Anabas testidineus 7.7%, Channa striata 7.4%, Clarius macrocephalus 6.7%, Chana micropeltes 5.1%, Chana lucius 4.0%, Clarias bathrachus 1.4%, dan Ompok krattensis 0.6%.
Upaya untuk menghindari gangguan kesehatan akibat serangan Gnathostoma perlu dilakukan pengendalian agar tidak merugikan konsumen. Pengendalian secara in vitro yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas dan lama waktu kematian cacing menggunakan obat bahan aktif mebendazole dan fitofarmaka ekstrak batang pisang ambon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian mebendazole berpengaruh lebih cepat terhadap kematian cacing Gnathostoma sp. dibandingkan dengan ekstrak batang pisang ambon dan larutan fisiologis. Peningkatan konsentrasi kedua bahan perlakuan menunjukkan kematian yang lebih cepat. Keadaan ini diduga terkait dengan nilai pH. Tampaknya larutan basa membunuh cacing lebih cepat dibandingkan dengan larutan asam. Kematian yang terjadi pada larutan fisiologis diduga akibat tidak adanya nutrisi bagi cacing sebagai sumber energi untuk hidup.
Menurut Bossche dan Nollin (1973) bahan aktif mebendazole 500 mg menghambat pengambilan glukosa cacing. Sehingga terjadi pengosongan glikogen pada cacing dan mengakibatkan kematian. Kematian cacing tersebut disebabkan oleh adanya rangsangan dari zat anti cacing atau zat anthelmintik. Adapun dalam getah pisang ambon terkandung zat alami antibiotik dalam menghambat pertumbuhan jamur dan zat flavones, flavonols, dopamin (Pothavorn et al.2010). Ekstrak batang pisang ambon telah terbukti dapat digunakan sebagai bahan pengendalian infeksi cendawan Saprolegnia sp. pada larva ikan gurame (Aulia 2014). Nurfitrianingrum (2014) menunjukkan bahwa ekstrak pelepah pisang ambon dapat digunakan sebagai bahan pengendalian infeksi bakteri Aeromonas hydrophila pada benih ikan gurame. selain itu, dalam penelitian ini menunjukkan ekstrak batang pisang ambon dapat mematikan cacing Gnathostoma sp. pada belut sawah secara in vitro.
14
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Belut sawah yang berasal dari pesawahan di Jawa Barat dapat terinfeksi Gnathostoma sp. dengan prevalensi 60.78% dan intensitas rata-rata 1.6 ind/ekor dan mengakibatkan perubahan pada hematologi belut. Pengendalian secara in vitro dapat mematikan cacing tersebut, dimana konsentrasi tertinggi dari mebendazole 20 ppm dan ekstrak batang pisang ambon 16 % mengakibatkan kematian cacing terjadi lebih cepat.
Saran
Penelitian selanjutnya disarankan pengendalian Gnathostoma sp. menggunakan ekstrak batang pisang ambon secara in vivo melalui oral maupun perendaman.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad AT, Sanaaullah M. 1977. Observation on the incidence and intensity of infestations of some helminth in different lenght-group of H. Fosilis (B) and C Batrachus (L). Dhaka Univ. Studies 25: 91-98
Alamanda IE, Noor SH, Agung B. 2007. Penggunaan metode hematologi belut dan pengamatan endoparasit darah untuk penetapan kesehatan ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) di kolam budidaya Desa mangkubumen boyolali. Biodiversitas. 8 (1) : 34-38
Alit, IGK. 2009. Pengaruh padat penebaran terhadap pertambahan berat dan panjang badan belut sawah (Monopterus albus). J Biol. Universitas Udayana. 12 (1): 25-28.
Anderson D P, Siwicki AK. 1993. Basic hematology and serology for fish health program. Paper presented in second symposium on diseases in asian aquakultur “aquatic animal and the enviromental”. Phuket, Thailand. 25-29 th Oktober 1993. 185-202.
Apriasari LM, Iskandar, Suhartono E. 2013. Bioactive compound and antoxidant activity of methanol ekstract mauli as (Musa sp.) stem. Biochem 4(2):110-115.
Aulia N. 2014. Efektivitas ekstrak batang pisang ambon Musa paradisiaca untuk pengendalian infeksi Saprolegnia pada larva ikan gurame Osphronemus gouramy [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor
Bahri F. 2000. Studi mengenai aspek biologi ikan belut sawah (Monopterus albus) di Kecamatan parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
15
[CDC] Centres for disease control and prevalention. 2009. Parasites health Gnathostomiasis [Internet]. Bogor (ID): [diunduh 2014 Maret]. Tersedia pada: http://dpd.cdc.gov/dpdx/html/Gnathostomiasis.htm.
Chandrawati ND. 2014. Evaluasi penambahan ragi bir limbah produksi bir dalam pakan terhadap kinerja pertumbuhan dan daya tahan tubuh ikan lele (Claris sp.) akibat infeksi Aeromonas hydrophilla [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Dogiel VAG, Petrushevski GK, Polyanski I. 1970. Parasitology of fishes T.F.H. Publisher, Hongkong. 384 p
Fitriana S 2008. Penapisan fitokimia dan uji aktivitas anthelmintik ekstrak daun jarak (Jatropha cucas I) terhadap cacing Ascaridia galli secara in vitro [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Freiji AM, Awadh MN. 2010. Fatty acid composition of turbo Coronatus Gmelin 1973. Brit Fo J. 112 (10): 1049-1062.
Guerrero CA, Guzman MAM, Hurtado FA. 2014. Pathological and parasitological traits in experimentally infected cat Gnathostoma binucleatum (Spiruida: Gnathostomatidae).Vetpar.204:279284.doi:10.1016/j.vetpar.2014.04.027. Jung BK, Lee JJ, Pyo KH, Yoon CH, Lee SH, Shin EH, Chai JY. 2008. Detection of Gnathostoma spinigerum third-stage in snake heads puchased from a central part of myanmar. Korean J Parasitol. 46(4): 285-288. doi: 10.3347/kjp.2008.46.4.285
Kabata Z. 1985. Parasites and disease of fish cultured in the tropics. London and Philadelphia : Taylor and Prancis.
Khati SA, Mahatma R, Windarti. 2014. Parasit pada belut sawah (Monopterus albus, zuiew 1793) di Desa Sawah Kecamatan Kampar Utara. J onl mahasis. 1(2). ISSN : 2355-6862.
Kuswanto GA. 2013. Pengaruh pemberian rebon dan keong sawah sebagai pakan tambahan pada belut sawah (Monopterus albus) dalam media air bersih terhadap kandungan protein dan berat tubuh [Skripsi] Semarang (ID): IKIP PGRI Semarang.
[LKI] Laboratorium Kesehatan Ikan. 2013. Teknik pencegahan dan pengobatan penyakit ikan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Labarthe N, Serrao ML, Ferreira AMR, Almeida NKO, Guerrero J. 2004. A survey of gastrointestinal helminths in cats of the metropolitan region of rio de janeiro, Brazil. Vet parasitol. 123: 133-139. doi: 10.1016/j. vetpar. 2004.06.002.
Lee SH, Hong ST, Chai JY. 1988. Description of male Gnathostoma spinigerum recovered from a Thai woman with Meningoencephalitis. The Korean J of Parasitol. 6 (1): 33-38.
Nabib R, Pasaribu FH. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan.
Nico LG, Sharp P, Collins TM. 2011. Import asian swamp eel (Synbranchidae : Monopterus) in North American live food martkets: potensial vectors of non-native parasite. Aquatic invasions. 6: 69-76. doi: 10.399/ai.2011.1.08.
16
Nurfitrianingrum IDN. 2014. Efektivitas perendaman benih ikan gurame Osphronemus gouramy dengan esktak pelepah pisang ambon putih Musa paradisiaca untuk pengendalian infeksi bakteri Aeromonas hydrophila. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nuryati S, Maswan NA, Alimudin, Sukenda, Sumantadinata, Pasaribu FH, Soejoedono RD, Santika A. 2010. Gambaran darah ikan mas setelah divaksinasi dengan vaksin DNA dan diuji tantang dengan koi herpesvirus. J Aku Indones. 9(1): 9-15.
Ompusunggu S. 1996. Cacing-cacing manusia yang ditularkan melalui ikan. Buletin penelitian kesehatan. Jakarta (ID) : VI (3).
Pothavorn P, Kitdamrongsongt K, Swangpol S, Wongniam S, Atawongsa K, Svasti J, Somana J. 2010. Phytochemical composition of some banana in Thailand. Agriculuture Food Chemical. 58:15.doi : 10.1021/jf.
Puspasari K. 2013. Karakterisasi protein antigenik larva 3 Gnathostoma spinigerum pada ikan belut rawa (Monopterus alba) menggunakan teknik immunoblotting [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Presetyo BF. 2008. Aktivitas dan uji stabilitas sediaan gel ekstrak batang pisang ambon Musa paradisiaca var.sapientum dalam proses persembuhan luka pada mencit Mus musculus albinus [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rojekittikun W, Chaiyasith T, Nuamtanong S, Komalamisra C. 2002. Fish as the natural second intermediate host of Gnathostoma spinigerum. Southeast Asian. J Trop Med Parasitol. 33 (3) : 63-89.
Rojekittikun W, Chaiyasith T, Nuamtanong S, Komalamisra C. 2004. Gnathostoma infection in fish caughat for local consumption in Nakhon Nayok Province Thailand prevalensi and fish species. Southeast Asian. J Trop Med Parasitol. 35 (3): 523-730.
Rusnak JM, Lucey DR. 1993. Clinical gnathostomiasis: case report and review of the english-language literatur. Clin infect dis 16: 33-50.
Sarwono B. 1999. Budidaya belut dan sidat. Jakarta (ID) : Penebar Swadaya Suolby EJL. 1982. Helminth antropods and protozoa of domesticated animals.
Edisi ke-7. London : Bailiere-Tindall.
[WPI] Warta Pasar Ikan. 2010. Belut dan sidat permintaannya semakin meningkat Edisi April vol 80. Jakarta (ID) : Direktorat Pemasaran Dalam Negeri. Wedemeyer GA, Yasutake WT.1977. Clinical methods for theof the assessment of
17
Lampiran 1 Tahapan pembuatan larutan mebendazole
Keterangan : a= mebendazole tablet, b= Mortar sebagai alat penumbuk bahan mebendazole, c= Bahan pembuatan larutan fisiologis d= botol plastik sebagai wadah perendaman cacing
Lampiran 2 Tahapan pembuatan larutan ekstrak batang pisang ambon
Keterangan : a.Belut sawah, b.Belut dibedah dari bagian anterior kepala, c. Kista cacing diambil pada organ hati dan otot
18
Lampiran 3 Tahapan pengumpulan cacing Gnathostoma sp.
Keterangan : a= belut sawah, b= belut dibedah dari bagian anterior kepala, c= kista cacing diambil pada organ internal, d= menggunakan alat bedah (jarum dan pinset).
Lampiran 4 Siklus hidup Gnathostoma
19
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 27 Juli 1992. Penulis adalah anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan (Alm) Udin Djamaludin dan (Almh) Anon Saribanon.Penulis mengawali pendidikan di SDN Neglasari tahun 1999-2005. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP Negeri 1 Cikakak tahun 2005-2008 dan melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Palabuhanratu tahun 2008-2011. Tahun 2011 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB), memilih Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti organisasi intra dan ekstra kampus. Kegiatan tersebut diantaranya sebagai Anggota Gugus Disiplin Asrama dan Enterpreneurship TPB IPB tahun 2011/2012. Staf Divisi Pengembangan Sumberdaya Manusia HIMAKUA periode 2012/2013 dan periode 2013/2014. Staff divisi Forum Rohis Departemen FKM FPIK periode 2013/2014, Koordinator kebersihan Asrama Putri Dramaga IPB tahun 2012/2013.Serta penulis juga aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Penyakit Organisme Akuatik tahun 2014, asisten praktikum mata kuliah Manajemen Kesehatan Organisme Akuatik tahun 2015. Penulis aktif mengikuti lomba Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang didanai oleh Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI). Penulis merupakan penerima beasiswa Bidikmisi IPB tahun 2011/2015.
Penulis pernah melaksanakan magang di CV Sakana Bogor, dan melakukan kegiatan praktik lapang akuakultur (PLA) di PT.Surya Windu Kartika Unit Bomo C Banyuwangi-Jawa Timur dengan tulisan yang berjudul “Pembesaran Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) di PT Surya Windu Kartika Unit Bomo C Banyuwangi-Jawa Timur’’. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul “Persistensi Cacing Endoparasit Gnathostoma sp. Pada Belut Sawah Monopterus albus