• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas sediaan salep ekstrak batang pohon pisang ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam proses persembuhan luka pada mencit (Mus musculus albinus).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aktivitas sediaan salep ekstrak batang pohon pisang ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam proses persembuhan luka pada mencit (Mus musculus albinus)."

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

AKTIVITAS SEDIAAN SALEP EKSTRAK BATANG POHON PISANG

AMBON (Musa paradisiaca var sapientum) DALAM PROSES

PERSEMBUHAN LUKA PADA MENCIT (Mus musculus albinus)

GUGI ARGAMULA

DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

(2)

ABSTRAK

GUGI ARGAMULA. Aktivitas Sediaan Salep Ekstrak Batang Pohon Pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam Proses Persembuhan Luka pada Mencit (mus musculus albinus). Dibawah Bimbingan BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO dan BAYU FEBRAM PRASETYO.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas pemberian ekstrak batang pohon pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam bentuk sediaan salep terhadap proses persembuhan luka pada kulit mencit (Mus musculus albinus) melalui pengamatan patologi anatomi dan histopatologi. Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit dari strain DDY umur 4-6 minggu sebanyak 45 ekor yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif (salep placebo), kontrol positif (salep Betadine®) dan salep ekstrak batang pohon pisang Ambon. Semua mencit dilukai di daerah punggung anterior sepanjang 1-1,5 cm menggunakan skalpel. Setiap hari luka diolesi dua kali dengan salep yang diuji. Pengamatan patologi anatomi dilakukan setiap hari dan pengamatan histopatologi dilakukan pada hari ke 3, 5, 7, 14 dan 21 pasca perlukaan. Parameter pengamatan patologi anatomi adalah warna luka, pembekuan darah, terbentuknya keropeng dan ukuran luka. Parameter yang diamati pada sediaan histopatologi adalah infiltrasi sel-sel radang (neutrofil, limfosit, makrofag), neokapilerisasi, persentase re-epitelisasi dan ketebalan fibroblas. Semua data kuantitatif diuji secara statistik menggunakan Analisa Sidik Ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan, sedangkan data kualitatif disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok salep ekstrak lebih cepat membentuk keropeng dan menutup luka tanpa bekas, jika dibandingkan dengan kontrol negatif. Hasil uji statistik infiltrasi sel-sel radang kelompok salep ekstrak berbeda nyata (P<0.05) dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Hasil pengamatan histopatologis menunjukkan bahwa ekstrak batang pohon pisang Ambon dalam sediaan salep mampu meningkatkan jumlah infiltrasi sel-sel radang, pembentukan neokapiler, persentase re-epitelisasi serta mempercepat pembentukan fibroblas. Berdasarkan hasil di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian salep ekstrak batang pohon pisang ambon mempercepat proses persembuhan luka.

(3)

ABSTRACT

GUGI ARGAMULA. Activity of Ambon Banana (Musa paradisiaca var.

sapientum) Stem Extract in Ointment Solution on the Wound Healing Process of Mice Skin (Mus musculus albinus). Under the direction of BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO and BAYU FEBRAM PRASETYO.

The objective of the present research is to study the activity of banana stem extract in ointment solutions in the acceleration of wound healing process on mice skins. Totally of 45 mice strain DDY 4-6 weeks old were devided in negative control group (placebo ointment), positive control group (Betadine® ointment) and Ambon banana stem extract ointment.All mice were aseptically wounded 1-1,5 cm in the anterior region of back skin using a sterile scalpel. The wound was smeared with the ointment. The pathology anatomy observations was done in day 3, 5, 7, 14 and 21 post wounded. Parameters of the gross lesions (pathology anatomy) observations ware colour of the wound, blood coagulations, scab formations and size of the wound. Parameter for (microscopic lesions) histopathology were infiltrations of inflammatory cells (neutrophils, lymphocytes, macrofages), neo-capillarizations, re-epitelization percentage and the thickness of fibroblast. All quantitative data were measure using ANOVA and continue with Duncan Test, moreover, the qualitative data were presented descriptively. The result shows that gross lesions observations, the extract ointment group was faster in scab formations and covers the wound without trace compared to the negative control group. The statistical test on the infiltrations of inflammatory cells parameter of the extract ointment group significantly different (P<0.05) compared to the negative control group. Histopatologycal observations shows that Ambon banana stem extract in ointment solutions can increase the infiltrations of inflammatory cells, neo-capillary formations, re-epitelizations percentage and acceleration of fibroblast formations. Base on the result the Ambon banana stems extract in ointment solutions can accelerate the wound healing process and it seems that this solution could be developed and uses for the medical purposes.

(4)

AKTIVITAS SEDIAAN SALEP EKSTRAK BATANG POHON PISANG

AMBON (Musa paradisiaca var sapientum) DALAM PROSES

PERSEMBUHAN LUKA PADA MENCIT (Mus musculus albinus)

GUGI ARGAMULA

B04104109

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

(5)

Judul Skripsi : Aktivitas Sediaan Salep Ekstrak Batang Pohon Pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam Proses Persembuhan Luka pada Mencit (Mus musculus albinus).

Nama : GUGI ARGAMULA Nrp : B04104109

Disetujui

Pembimbing I Pembimbing II

drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS. Ph.D. Bayu Febram P. SSi,Apt.MSi NIP: 131 578 839 NIP: 132 311 720

Mengetahui,

Wakil Dekan FKH IPB

Dr. Nastiti Kusumorini NIP : 131 669 942

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Skripsi ini berjudul “Aktivitas Sediaan Salep Ekstrak Batang Pohon Pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam Proses Persembuhan Luka pada Mencit (mus musculus albinus)”.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS. Ph.D selaku dosen pembimbing I atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Bayu Febram Prasetyo, SSi,Apt.MSi selaku dosen pembimbing II atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

3. drh. Muchidin Noordin selaku dosen pembimbing Akademik yang senantiasa membimbing penulis selama menjadi mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

4. Bapak, Ibu, dan seluruh anggota keluarga atas do’a, limpahan kasih sayang dan dukungannya selama penulis menyelesaikan studi.

5. Seluruh staf dan pegawai Bagian Patologi dan Farmasi FKH IPB atas segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian ini.

6. R. Enen Rosi Manggung atas dorongan, do’a, dukungan, dan kesabarannya menghadapi penulis selama ini.

7. Jeff n Bdull sebagai homemate selama penulis hidup di Bogor.

8. Rekan-rekan FKH’41 (Asteroidea) atas persahabatan dan kebersamaannya selama ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya dan mudah-mudahan bermanfaat bagi dunia kedokteran hewan Indonesia.

Bogor, September 2008

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 5 Mei 1985 dari pasangan Bapak H. Edien Munajat dan Ibu Hj. Maesaroh, penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Citarip Barat V Bandung pada tahun 1998 dan pendidikan lanjutan menengah pertama di SLTPN 3 Bandung pada tahun 2001. Pada tahun 2004, penulis menyelesaikan pendidikan lanjutan menengah atas di SMUN 8 Bandung dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur undangan seleksi masuk IPB (USMI).

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Hipotesa Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian... 3

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Tanaman Pisang ... 4

2.2 Taksonomi ... 4

2.3 Manfaat Pohon Pisang ... 6

2.4 Biologi Mencit ... 8

2.5 Kulit ... 10

2.6 Definisi Luka dan Persembuhan Luka... ... ... 12

2.6.1 Jenis-Jenis Luka... 13

2.6.2 Proses Persembuhan Luka... 15

2.6.3 Faktor yang Mempengaruhi Luka... 20

2.6.4 Komplikasi Persembuhan Luka... 21

2.7 Salep . ... ... 22

2.8 Penetrasi Kulit Oleh Obat... 24

III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian... 26

3.2 Identifikasi Tanaman ... 26

3.3 Alat dan Bahan ... 26

3.3.1 Hewan Percobaan ... 26

3.3.2 Bahan ... 27

3.3.3 Alat ... 27

3.4 Pembuatan Sediaan Salep... 27

3.5 Metodelogi Penelitian ... 28

3.5.1 Perlakuan pada Mencit ... 28

(9)

3.5.3 Pengambilan Kulit ... 29

3.5.4 Pembuatan Preparat Histopatologi ... 29

3.5.5 Pengamatan Histopatologi (HP) ... 30

3.5.6 Kriteria Skoring ... 31

3.6 Analisa Data ... 31

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan Patologi Anatomi (PA) ... 32

4.2 Hasil Pengamatan Histopatologi (HP) ... 40

4.2.1 Nutrofil ... 40

4.2.2 Makrofag ... 43

4.2.3 Limfosit ... 45

4.2.4 Neokapiler ... 48

4.2.5 Re-epitelisasi ... 51

4.2.6 Fibroblas (Jaringan Ikat) ... 57

V KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

VI DAFTAR PUSTAKA ... 62

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Deskripsi skor jaringan ikat (fibroblas). ... 31

2 Perbandingan patologi anatomi (PA) ... 32

3 Rataan jumlah sel radang neutrofil ... 40

4 Rataan jumlah sel radang makrofag ... 43

5 Rataan jumlah sel radang limfosit ... 46

6 Rataan jumlah neokapiler ... 49

7 Rataan persentase re-epitelisasi ... 52

(11)

AKTIVITAS SEDIAAN SALEP EKSTRAK BATANG POHON PISANG

AMBON (Musa paradisiaca var sapientum) DALAM PROSES

PERSEMBUHAN LUKA PADA MENCIT (Mus musculus albinus)

GUGI ARGAMULA

DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

(12)

ABSTRAK

GUGI ARGAMULA. Aktivitas Sediaan Salep Ekstrak Batang Pohon Pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam Proses Persembuhan Luka pada Mencit (mus musculus albinus). Dibawah Bimbingan BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO dan BAYU FEBRAM PRASETYO.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas pemberian ekstrak batang pohon pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam bentuk sediaan salep terhadap proses persembuhan luka pada kulit mencit (Mus musculus albinus) melalui pengamatan patologi anatomi dan histopatologi. Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit dari strain DDY umur 4-6 minggu sebanyak 45 ekor yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif (salep placebo), kontrol positif (salep Betadine®) dan salep ekstrak batang pohon pisang Ambon. Semua mencit dilukai di daerah punggung anterior sepanjang 1-1,5 cm menggunakan skalpel. Setiap hari luka diolesi dua kali dengan salep yang diuji. Pengamatan patologi anatomi dilakukan setiap hari dan pengamatan histopatologi dilakukan pada hari ke 3, 5, 7, 14 dan 21 pasca perlukaan. Parameter pengamatan patologi anatomi adalah warna luka, pembekuan darah, terbentuknya keropeng dan ukuran luka. Parameter yang diamati pada sediaan histopatologi adalah infiltrasi sel-sel radang (neutrofil, limfosit, makrofag), neokapilerisasi, persentase re-epitelisasi dan ketebalan fibroblas. Semua data kuantitatif diuji secara statistik menggunakan Analisa Sidik Ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan, sedangkan data kualitatif disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok salep ekstrak lebih cepat membentuk keropeng dan menutup luka tanpa bekas, jika dibandingkan dengan kontrol negatif. Hasil uji statistik infiltrasi sel-sel radang kelompok salep ekstrak berbeda nyata (P<0.05) dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Hasil pengamatan histopatologis menunjukkan bahwa ekstrak batang pohon pisang Ambon dalam sediaan salep mampu meningkatkan jumlah infiltrasi sel-sel radang, pembentukan neokapiler, persentase re-epitelisasi serta mempercepat pembentukan fibroblas. Berdasarkan hasil di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian salep ekstrak batang pohon pisang ambon mempercepat proses persembuhan luka.

(13)

ABSTRACT

GUGI ARGAMULA. Activity of Ambon Banana (Musa paradisiaca var.

sapientum) Stem Extract in Ointment Solution on the Wound Healing Process of Mice Skin (Mus musculus albinus). Under the direction of BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO and BAYU FEBRAM PRASETYO.

The objective of the present research is to study the activity of banana stem extract in ointment solutions in the acceleration of wound healing process on mice skins. Totally of 45 mice strain DDY 4-6 weeks old were devided in negative control group (placebo ointment), positive control group (Betadine® ointment) and Ambon banana stem extract ointment.All mice were aseptically wounded 1-1,5 cm in the anterior region of back skin using a sterile scalpel. The wound was smeared with the ointment. The pathology anatomy observations was done in day 3, 5, 7, 14 and 21 post wounded. Parameters of the gross lesions (pathology anatomy) observations ware colour of the wound, blood coagulations, scab formations and size of the wound. Parameter for (microscopic lesions) histopathology were infiltrations of inflammatory cells (neutrophils, lymphocytes, macrofages), neo-capillarizations, re-epitelization percentage and the thickness of fibroblast. All quantitative data were measure using ANOVA and continue with Duncan Test, moreover, the qualitative data were presented descriptively. The result shows that gross lesions observations, the extract ointment group was faster in scab formations and covers the wound without trace compared to the negative control group. The statistical test on the infiltrations of inflammatory cells parameter of the extract ointment group significantly different (P<0.05) compared to the negative control group. Histopatologycal observations shows that Ambon banana stem extract in ointment solutions can increase the infiltrations of inflammatory cells, neo-capillary formations, re-epitelizations percentage and acceleration of fibroblast formations. Base on the result the Ambon banana stems extract in ointment solutions can accelerate the wound healing process and it seems that this solution could be developed and uses for the medical purposes.

(14)

AKTIVITAS SEDIAAN SALEP EKSTRAK BATANG POHON PISANG

AMBON (Musa paradisiaca var sapientum) DALAM PROSES

PERSEMBUHAN LUKA PADA MENCIT (Mus musculus albinus)

GUGI ARGAMULA

B04104109

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI DAN PATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

(15)

Judul Skripsi : Aktivitas Sediaan Salep Ekstrak Batang Pohon Pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam Proses Persembuhan Luka pada Mencit (Mus musculus albinus).

Nama : GUGI ARGAMULA Nrp : B04104109

Disetujui

Pembimbing I Pembimbing II

drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS. Ph.D. Bayu Febram P. SSi,Apt.MSi NIP: 131 578 839 NIP: 132 311 720

Mengetahui,

Wakil Dekan FKH IPB

Dr. Nastiti Kusumorini NIP : 131 669 942

(16)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Skripsi ini berjudul “Aktivitas Sediaan Salep Ekstrak Batang Pohon Pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam Proses Persembuhan Luka pada Mencit (mus musculus albinus)”.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS. Ph.D selaku dosen pembimbing I atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Bayu Febram Prasetyo, SSi,Apt.MSi selaku dosen pembimbing II atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

3. drh. Muchidin Noordin selaku dosen pembimbing Akademik yang senantiasa membimbing penulis selama menjadi mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

4. Bapak, Ibu, dan seluruh anggota keluarga atas do’a, limpahan kasih sayang dan dukungannya selama penulis menyelesaikan studi.

5. Seluruh staf dan pegawai Bagian Patologi dan Farmasi FKH IPB atas segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian ini.

6. R. Enen Rosi Manggung atas dorongan, do’a, dukungan, dan kesabarannya menghadapi penulis selama ini.

7. Jeff n Bdull sebagai homemate selama penulis hidup di Bogor.

8. Rekan-rekan FKH’41 (Asteroidea) atas persahabatan dan kebersamaannya selama ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya dan mudah-mudahan bermanfaat bagi dunia kedokteran hewan Indonesia.

Bogor, September 2008

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 5 Mei 1985 dari pasangan Bapak H. Edien Munajat dan Ibu Hj. Maesaroh, penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Citarip Barat V Bandung pada tahun 1998 dan pendidikan lanjutan menengah pertama di SLTPN 3 Bandung pada tahun 2001. Pada tahun 2004, penulis menyelesaikan pendidikan lanjutan menengah atas di SMUN 8 Bandung dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur undangan seleksi masuk IPB (USMI).

(18)

DAFTAR ISI

HALAMAN

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Hipotesa Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian... 3

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Tanaman Pisang ... 4

2.2 Taksonomi ... 4

2.3 Manfaat Pohon Pisang ... 6

2.4 Biologi Mencit ... 8

2.5 Kulit ... 10

2.6 Definisi Luka dan Persembuhan Luka... ... ... 12

2.6.1 Jenis-Jenis Luka... 13

2.6.2 Proses Persembuhan Luka... 15

2.6.3 Faktor yang Mempengaruhi Luka... 20

2.6.4 Komplikasi Persembuhan Luka... 21

2.7 Salep . ... ... 22

2.8 Penetrasi Kulit Oleh Obat... 24

III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian... 26

3.2 Identifikasi Tanaman ... 26

3.3 Alat dan Bahan ... 26

3.3.1 Hewan Percobaan ... 26

3.3.2 Bahan ... 27

3.3.3 Alat ... 27

3.4 Pembuatan Sediaan Salep... 27

3.5 Metodelogi Penelitian ... 28

3.5.1 Perlakuan pada Mencit ... 28

(19)

3.5.3 Pengambilan Kulit ... 29

3.5.4 Pembuatan Preparat Histopatologi ... 29

3.5.5 Pengamatan Histopatologi (HP) ... 30

3.5.6 Kriteria Skoring ... 31

3.6 Analisa Data ... 31

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan Patologi Anatomi (PA) ... 32

4.2 Hasil Pengamatan Histopatologi (HP) ... 40

4.2.1 Nutrofil ... 40

4.2.2 Makrofag ... 43

4.2.3 Limfosit ... 45

4.2.4 Neokapiler ... 48

4.2.5 Re-epitelisasi ... 51

4.2.6 Fibroblas (Jaringan Ikat) ... 57

V KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

VI DAFTAR PUSTAKA ... 62

(20)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Deskripsi skor jaringan ikat (fibroblas). ... 31

2 Perbandingan patologi anatomi (PA) ... 32

3 Rataan jumlah sel radang neutrofil ... 40

4 Rataan jumlah sel radang makrofag ... 43

5 Rataan jumlah sel radang limfosit ... 46

6 Rataan jumlah neokapiler ... 49

7 Rataan persentase re-epitelisasi ... 52

(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Pohon pisang Ambon ... 6

2 Mus musculus ... 9

3 Histologi kulit ... 10

4 Perbandingan gambaran patologi anatomi hari ke-3 ... 38

5 Perbandingan gambaran patologi anatomi hari ke-5 ... 38

6 Perbandingan gambaran patologi anatomi hari ke-7 ... 38

7 Perbandingan gambaran patologi anatomi hari ke-14 ... 39

8 Perbandingan gambaran patologi anatomi hari ke-21 ... 39

9 Grafik jumlah sel radang neutrofil ... 41

10 Gambar sel radang neutrofil ... 42

11 Grafik jumlah sel radang makrofag ... 44

12 Gambar sel radang makrofag ... 45

13 Grafik jumlah sel radang limfosit ... 47

14 Gambar sel radang limfosit ... 48

15 Grafik jumlah neokapiler ... 50

16 Gambar neokapiler ... 51

17 Grafik persentase re-epitelisasi ... 54

18 Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-3 ... 55

19 Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-5 ... 55

20 Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-7 ... 55

21 Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-14 ... 56

22 Perbandingan luka secara mikroskopis pada hari ke-21 ... 56

23 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada hari ke-3 ... 59

24 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada hari ke-5 ... 59

25 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada hari ke-7 ... 59

26 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada hari ke-14 ... 60

(22)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahan obat tradisional baik yang berasal dari hewan maupun dari tumbuhan banyak digunakan untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan sejak zaman nenek moyang kita dulu. Pengobatan dengan obat tradisional tersebut merupakan salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat di bidang kesehatan.

Konsumsi beraneka jenis obat tertentu menurut Mursito (2002) mempunyai tujuan, mulai dari upaya pencegahan (preventif), mempertahankan atau meningkatkan kesehatan tubuh (promotif), dan melakukan pengobatan guna penyembuhan suatu penyakit (kuratif), untuk keperluan tersebut masyarakat memiliki berbagai pilihan cara pengobatan. Bahan obat tradisional biasanya digunakan berdasarkan pengalaman empiris. Salah satu bahan tradisional yang digunakan untuk pengobatan adalah pohon pisang yang memiliki berbagai manfaat, bahkan setiap bagiannya memiliki manfaat yang berbeda, salah satunya adalah getah batang pohon pisang yang dapat digunakan sebagai obat persembuhan luka (Versteegh 1988).

Pisang umumnya merupakan tanaman pekarangan, walaupun diberbagai daerah sudah dibudidayakan untuk diambil buahnya. Pisang merupakan tanaman yang berbuah hanya sekali, kemudian mati. Pohon pisang selalu beregenerasi sebelum berbuah melauli tunas-tunas yang tumbuh pada bonggolnya. Iklim yang sesuai dan kondisi tanah yang banyak mengandung humus memungkinkan pisang tersebar luas di Indonesia. Pisang tidak mengenal musim panen. Pohon ini dapat berbuah kapan saja (Dalimartha 2005).

Ketersediaan pohon pisang yang melimpah pasca panen di Indonesia tidak didukung dengan pengembangan obat luka dari tanaman untuk kepentingan komersial. Permasalahan-permasalahan diatas menjadi pertimbangan untuk mengembangkan obat persembuhan luka dari getah batang pohon pisang ambon (Musa paradisiaca var sapientum) karena memiliki prospek yang sangat baik dalam pemanfaatannya dan pengembangnya menjadi produk yang praktis siap pakai, dalam upaya meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia.

(23)

dilakukan oleh Listyanti (2006), bahwa getah batang pohon pisang ambon (Musa paradisiaca var. sapientum) yang diaplikasikan secara topikal dalam bentuk sediaan segar, pada proses persembuhan luka menggunakan hewan coba mencit memperlihatkan hasil yang memuaskan. Selain mempercepat persembuhan luka, secara histologik juga memberikan efek kosmetik dengan memperbaiki struktur kulit yang rusak tanpa meninggalkan jaringan bekas luka atau jaringan parut. Getahnya sekaligus mempercepat proses re-epitelisasi jaringan epidermis, pembentukan buluh darah baru (neokapilarisasi), pembentukan jaringan ikat (fibroblas) dan infiltrasi sel-sel radang pada daerah luka.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka penggunaan getah batang pohon pisang sebagai obat persembuhan luka memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan menjadi sediaan farmasi. Salah satunya adalah dalam bentuk sediaan salep dari ekstrak batang pohon pisang Ambon yang diaplikasikan secara topikal, kemudian diuji kembali aktifitasnya terhadap persembuhan luka pada mencit. Penggunaan ekstrak batang pohon pisang ambon dalam sediaan salep belum pernah diujicobakan sebelumnya.

Sediaan salep ekstrak didalam penelitian ini diuji dengan kontrol positif sebagai pembanding yaitu obat luka komersial yang juga berbentuk salep. Salep dipilih sebagai bentuk sediaan karena stabilitasnya baik, berupa sediaan halus, mudah digunakan, mampu menjaga kelembaban kulit, tidak mengiritasi kulit dan mempunyai tampilan yang lebih menarik (Ansel 1989).

I.2 Tujuan Penelitian

(24)

1.3 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

H0 = Pemberian salep ekstrak batang pohon pisang ambon tidak mempercepat proses persembuhan luka.

H1 = Pemberian salep ekstrak batang pohon pisang ambon mempercepat proses persembuhan luka.

1.4 Manfaat Penelitian

(25)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Tanaman Pisang

Kata pisang dalam bahasa arab yaitu maus, yang oleh Linneus dimasukkan ke dalam keluarga musaceae. Dalam bahasa latin pisang disebut

Musa paradisiacal. Menurut catatan sejarah, pisang berasal dari Asia Tenggara. Penyebar agama Islam lalu menyebarkan buah ini ke Afrika Barat, Amerika Selatan, dan Amerika Tengah. Selanjutnya, pisang tersebar ke seluruh dunia meliputi daerah tropis dan subtropis (Anonimus 2008).

Menurut Munadjim (1983) nama latin dari tanaman pisang adalah Musa paradisiaca. Nama Musa diambil dari nama seorang dokter asal Romawi yang bernama Antonius Musa. Pada masa tersebut, Antonius Musa selalu menganjurkan pada kaisar untuk selalu makan pisang agar tetap kuat dan sehat. Nama ini telah didapat sejak sebelum Masehi.

Pisang merupakan tanaman asli dari daerah Asia Tenggara. Pisang disebarkan oleh para penyebar agama Islam di daerah Laut Tengah, dari Afrika Barat menyebar ke Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia dari Asia Tenggara ke timur melalui Lautan Pasifik sampai ke Hawaii. Sampai di Barat melalui Samudra Atlantik, oleh karenanya sekarang pisang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia (Satuhu dan Supriyadi 1999). Tumbuhan pisang menyukai daerah alam terbuka yang cukup sinar matahari, cocok tumbuh di dataran rendah sampai pada ketinggian 1000 meter lebih diatas permukaan laut. Tanaman pisang merupakan tumbuhan yang tidak memiliki batang sejati. Batang pohonnya terbentuk dari perkembangan dan pertumbuhan pelepah pelepah yang mengelilingi poros lunak panjang. Batang pisang yang sebenarnya terdapat pada bonggol yang tersembunyi di dalam tanah (Cox 1994).

Pisang dikenal dengan nama lokal Cau, Gedang (Jawa), Galuh, Gaol, Puntik, Pusi (Sumatera), Harias, Peti (Kalimantan), Tagin, See, Pepe, Uti (Sulawesi), Nando, Pipi, Mayu (Irian), dalam bahasa Inggris pisang dikenal dengan nama banana (Dalimartha 2005).

2.2 Taksonomi

(26)

texstiles) yaitu pisang yang tidak diambil buahnya tetapi hanya diambil seratnya saja. Kedua, pisang hias (Heliconia indica Lamk), pisang ini sama dengan pisang serat yakni tidak diambil buahnya, tetapi pisang ini hanya dijadikan hiasan di muka rumah. Biasanya pisang ini diperbanyak dengan menggunakan anakannya. Jenis yang ketiga adalah pisang buah (Musa paradisiaca), pisang jenis ini banyak ditemukan.

Buah pisang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pisang buah meja adalah Musa sapientum (banana), karena lebih enak dimakan segar, misalnya pisang ambon, ambon lumut, raja, raja sereh, mas, susu, dan barangan. Kelompok berikutnya pisang yang enak dimakan setelah diolah terlebih dahulu adalah Musa paradisiaca (plantain), misalnya pisang tanduk, oli, nangka, kapas, batu, dan kepok (Dalimartha 2005).

Sistem klasifikasi pisang ambon menurut menurut Tjitrosoepomo (1994) sebagai berikut :

Kingdom : Plant

Phylum : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Zingiberales Genus : Musa

Spesies : Musa paradisiaca

Varietas : Sapientum

Tanaman pisang merupakan tanaman herba tahunan dengan sistem perakaran di bawah tanah. Batangnya pun berada di dalam tanah sedangkan batang di atas permukaan tanah merupakan batang semu yang terdiri dari kumpulan seludang daun yang saling membungkus rapat. Daun berkembang dari bagian tengah batang semu dalam keadaan tergulung rapat sewaktu muncul dan akan berkembang sampai ukuran yang maksimum. Akar dan tunas-tunas samping keluar dari bonggol, sehingga tunas-tunas inilah yang akan tumbuh ke atas membentuk batang semu. Tunas-tunas inilah yang sering disebut anakan. Perbanyakan tanaman dilakukan dengan anakan (Ernawati et al 1994).

(27)

Gambar 1 Pohon pisang ambon.

Pisang tumbuh dan berkembang subur pada daerah tropis (300 LU – 300 LS) dengan suhu 270 – 300 C. Curah hujan antara 1400 – 2450 mm per tahun dengan penyebaran yang merata. Sedangkan pada daerah dengan musim kering yang panjang tanaman pisang memerlukan pengairan (Purwanto dan Sujiprihati 1985).

2.3 Manfaat Pohon Pisang

Pisang memiliki nilai gizi yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan buah-buahan yang lainnya. Kandungan gizi yang terdapat dalam setiap buah pisang matang adalah kalori 99 kal, protein 1.2 g, lemak 0.2 g, karbohidrat 25.8 mg, serat 0.7 g, kalsium 8 mg, fosfor 28 mg, besi 0.5 g, Vitamin A 44 RE, Vitamin B 0.08 mg, Vitamin C 3 mg, dan air 72 g. Buah pisang mengandung tiga jenis gula alami, yaitu sukrosa, fruktosa, dan glukosa, yang dikombinasikan dengan serat, akan menghasilkan energi yang cukup banyak (Departemen Kesehatan 1989).

(28)

Menurut Listyanti (2006) getah batang pohon pisang ambon (Musa paradisiaca var sapientum) yang diaplikasikan secara topikal dalam bentuk sediaan segar, bermanfaat dalam mempercepat proses persembuhan luka dan memberikan efek estetika dengan memperbaiki struktur kulit yang rusak tanpa meninggalkan jaringan bekas luka atau jaringan parut. Getahnya sekaligus mempercepat re-epitelisasi jaringan epidermis, pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi), pembentukan jaringan ikat (fibroblas) dan infiltrasi sel-sel radang pada daerah luka.

Khususnya dalam proses persembuhan luka, getah batang pohon pisang dapat dijadikan penghilang rasa sakit dan perangsang pertumbuhan sel-sel baru pada kulit. Getah batang pohon pisang mengandung saponin, antrakuinon dan kuinon sebagai antimikrobial. Sedangkan lignin, membantu peresapan senyawa pada kulit sehingga dapat digunakan untuk mengobati luka memar, luka bakar, bekas gigitan serangga dan sebagai anti radang (Djulkarnain 1998).

Menurut Priosoeryanto et al (2006), ekstrak batang pohon pisang ambon mengandung tanin, saponin dan flavonoid yang dapat berguna sebagai antimikrobial dan perangsang pertumbuhan sel-sel baru pada luka. Ekstrak batang pohon pisang ambon mampu untuk mengobati luka pada kulit karena kandungan bahan aktifnya mampu meningkatkan aliran darah ke daerah luka dan juga dapat menstimulasi fibroblas sebagai respon untuk persembuhan luka.

(29)

Efek utama dari tanin yaitu sebagai adstringensia yang banyak digunakan sebagai pengencang kulit dalam segi kosmetik. Kandungan zat aktif tanin menurut batasannya dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tak larut air. Di dalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma sehingga berada diantaranya, tetapi bila pada jaringan rusak, misalnya dalam kondisi termakan oleh hewan, maka reaksi penyamakan dapat terjadi. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai oleh cairan pencernaan hewan. Sebagian besar tumbuhan yang banyak memiliki tanin dihindari oleh hewan karena rasanya yang sepat (Harborne 1987).

Senyawa yang juga terkandung dalam Ekstrak batang pohon pisang Ambon adalah saponin. Saponin merupakan glikosida yang memiliki sifat khas membentuk busa. Saponin terdiri atas agligen polisiklik yang disebut sapogenin dan gula sebagai glikon. Sapogenin dapat diuraikan kembali dari struktur kimia ikatan hidrogennya menjadi dua bentuk, yaitu steroid dan triterpenoid. Adanya saponin dalam tanaman diindikasikan dengan adanya rasa pahit. Bila saponin dicampur dengan air akan membentuk busa stabil (Cheek 2005).

2.4 Biologi Mencit

Mencit (Mus musculus albinus) merupakan salah satu hewan percobaan yang sering digunakan dalam penelitian. Mencit laboratorium yang digunakan dalam penelitian ini adalah strain DDY, dimana telah dikembangkan secara inbred dengan gen-gen yang homozigot (Penn dalam Handayani 2006). Hewan ini dinilai cukup efisien ekonomis karena mudah dipelihara, tidak memerlukan tempat yang luas, waktu kebuntingan yang singkat, dan banyak memilki anak per kelahiran. Mencit mempunyai sifat-sifat produksi dan reproduksi yang mirip dengan mamalia besar serta memiliki siklus estrus yang pendek (Malole dan Pramono 1989).

Sistem taksonomi mencit menurut Maloledan Pramono (1989) adalah :

(30)

Subfamili : Murinae Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

Sub Spesies : Mus musculus albinus

Menurut Smith dan Mankoewidjojo (1988) pemberian makanan pada mencit yaitu dalam bentuk pelet komersial tanpa batas (ad libitum) yang diletakkan di bagian penutup dari kotak kandang yang telah disiapkan dimana penutup ini melekuk miring cukup dalam ke dalam kotak sehingga mencit yang baru disapih dengan mudah dapat mencapai pakan. Gambar hewan percobaan mencit disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Mus musculus albinus di laboratorium sebagai hewan percobaan.

Pemberian pakan pada mencit dibutuhkan protein berkadar di atas 14%. Setiap harinya mencit membutuhkan 15 gram makanan dan 15 ml air per 100 gram berat badan. Tingkat konsumsi makan dan minum mencit bervariasi, ditentukan berdasarkan keadaan kandang, kelembaban, kualitas pakan, kesehatan dan kadar air dalam pakan tersebut (Malole dan Pramono1989).

(31)

Temperatur ruangan untuk pemeliharaan mencit berkisar antara 20-25° C. Mencit dapat dipelihara dengan baik pada temperatur 70- 80° F. Kelembaban ruang tersebut berkisar 45-55% (Robinson 1972).

2.5 Kulit

Kulit merupakan bagian terluas dari bagian tubuh, berfungsi sebagai pelindung tubuh: terhadap bahaya fisik dan bahan kimia. Kulit dapat bertindak sebagai thermoregulator, mampu melakukan proses persembuhan dengan cepat, menggambarkan kondisi kesehatan tubuh yang bersangkutan, memiliki kemampuan antimikrobial dan menyimpan cadangan elektrolit (Smith dan Jones 1962).

Kulit berfungsi sebagai pelindung jaringan, pencegah terjadinya pengeringan berlebihan, bertindak sebagai pengatur panas tubuh, ekskresi dan bertindak

sebagai alat pengindera dengan reseptor tekan, suhu dan nyeri (Mutschler 1991).

Menurut Smith dan Jones (1962), kulit terdiri dari lapisan-lapisan yang berbeda bentuk dan fungsi. Lapisan utama kulit ada 3 bagian, yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis dan hipodermis. Selanjutnya gambar kulit disajikan pada Gambar 3.

(32)

Epidermis merupakan lapisan epitel dari kulit. Lapisan epidermis yang terluar adalah stratum korneum atau lapisan tanduk yang terdiri dari sel-sel pipih banyak lapis dan mengandung banyak keratin. Kemudian dibawahnya terdapat stratum lusidum lapisan ini terdiri dari dua atau tiga lapis dari sel, mengandung eleidin yang berasal dari butir keratohyalin yang tidak terpecah yang berada di bagian bawah lapisan penghubung. Lapisan ini menutup lapisan lainnya yaitu stratum granulosum atau lapisan granula yang terbentuk dari dua sampai lima baris sel epitel yang berbentuk rhomboid dan mempunyai sitoplasma yang berwarna gelap karena mengandung granula basofilik keratohyalin. Lapis selanjutnya adalah stratum spinosum/stratum germinativum atau lapisan malphigi, terbentuk dari sel silindris banyak baris. Pada bagian terbawah stratum ini terdapat lapisan basal yang terdiri dari sel kubus dan terdapat pigmen melanin dimana bagian basal dari sel ini terikat pada membran basal oleh hemidesmosom (Smith dan Jones 1962).

Lapisan dermis terletak dibawah epidermis, lapisan ini terbentuk dari jaringan yang kaya akan kolagen dan sel elastis yang membuat kulit menjadi kuat dan elastis. Dermis terdiri dari lapisan papilari dan lapisan retikuler. Lapisan paling atas dari dermis terbentuk dari jaringan ikat dengan diantaranya terdapat jaringan elastis, pembuluh darah dan pembuluh limfatik sedangkan di bagian terbawah terdiri dari lapisan retikuler yang membuat menjadi tebal dan terutama mengandung jaringan kolagen yang membantu penyebaran serabut elastis, pembuluh darah dan pembuluh limfatik dan adnexa dari epidermis. Adnexa mengandung struktur khusus yang berasal dari epidermis, ini merupakan bagian penting dari dermis tapi dalam situasi tertentu dapat meluas ke bagian subkutis. Pada adnexa dapat ditemukan kelenjar keringat, kelenjar apokrin, kelenjar minyak, folikel rambut dan kelenjar khusus seperti kelenjar air mata. Hampir 90 % dari serabut dermis adalah serabut kolagen. Serabut ini memiliki kekuatan yang luar biasa terhadap tekanan. Serabut elastik terdiri dari serabut tunggal dan memiliki daya elastisitas yang hebat (Muller 1976).

(33)

(Muller 1976). Sel mast berperan dalam respon terhadap perlukaan pada kulit dan terdapat di hampir seluruh bagian jaringan ikat, terutama dekat pembuluh darah. Sel ini memiliki butir sekreta yang mengandung heparin, histamin, serta pada tikus dan mencit menghasilkan serotonin. Heparin merupakan suatu antikoagulan, histamine bertindak sebagai mediator inflamasi, dan serotonin menyebabkan vasokonstriksi vena (Dellmann dan Brown 1988). Histiosit adalah sel tipe limfoid yang sudah dewasa dan mempunyai fungsi untuk membentuk serabut retikuler serta memiliki kemampuan memfagosit bakteri maupun partikel asing. Sel ini juga dapat bermigrasi menuju target yang akan difagositnya. Histiosit yang mengandung material yang terfagosit disebut sebagai makrofag (Muller 1976).

Lapisan ketiga setelah epidermis dan dermis adalah hipodermis. Hipodermis biasanya tidak selalu disebut bagian dari kulit. Lapisan ini berada di bawah kulit dan mengandung banyak jaringan ikat, syaraf dan pembuluh darah yang menuju dermis. Karakteristik dari lapisan hipodermis adalah banyaknya jaringan lemak yang disebut sebagai panniculus adipose.

2.6 Definisi Luka dan Persembuhan Luka

Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang, baik kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membrane, dan tulang atau organ tubuh lain (Somantri 2007).

Menurut Kaplan dan Hentz (1992), ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul, yaitu: hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri dan kematian sel. Mekanisme terjadinya luka :

1. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura setelah seluruh pembuluh darah yang luka diikat.

2. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.

(34)

4. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.

5. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat.

6. Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.

7. Luka Bakar (Combustio)

2.6.1 Jenis-Jenis Luka

Menurut Zachary (1990), luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka itu dan menunjukkan derajat luka. Jenis-jenis luka dapat dikategorikan dalam beberapa kelompok, yaitu:

1. Berdasarkan tingkat Kontaminasi terhadap luka :

a. Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tidak terinfeksi sehingga tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup (misal; Jackson – Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.

b. Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% - 11%.

c. Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.

(35)

2. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka, dibagi menjadi :

a. Stadium I : Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.

b. Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superfisial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.

c. Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.

d. Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.

3. Menurut waktu penyembuhan luka dibagi menjadi :

a. Luka akut : yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan jadi meskipun tanpa pengobatan proses persembuhan luka akan tetap terjadi sampai kondisi normal kembali.

b. Luka kronis yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.

Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak, membersihkan sel dan benda asing dan perkembangan awal seluler bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses penyembuhan. Sebagai contoh, upaya untuk melindungi area luka terbebas dari kotoran dengan selalu menjaga kebersihan sangat membantu untuk meningkatkan penyembuhan jaringan (Somantri 2007).

(36)

mukosa membran disiapkan sebagai garis pertama untuk mempertahankan diri dari mikroorganisme, dan (6) Penyembuhan normal ditingkatkan ketika luka bebas dari benda asing tubuh termasuk bakteri.

2.6.2 Proses Persembuhan Luka

Persembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dengan melibatkan banyak sel. Fase persembuhan luka digambarkan seperti yang terjadi pada luka pembedahan. Proses biologis tersebut terjadi dalam beberapa fase persembuhan luka yaitu: fase peradangan (Inflamasi), fase perbanyakan sel (proliferasi) dan fase maturasi (Somantri 2007).

a. Fase Inflamasi

Fase inflamasi adalah adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3 – 7 hari. Dua proses utama terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis (penghentian perdarahan) akibat fase konstriksi pembuluh darah besar di daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Bekuan darah dibentuk oleh platelet yang menyiapkan matrik fibrin yang menjadi kerangka bagi pengambilan sel. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka dan juga mengeluarkan substansi vasokonstriksi yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi. Selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah. Periode ini berlangsung 5-10 menit dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler akibat stimulasi saraf sensoris (Local sensory nerve endding), local reflex action dan adanya substansi vasodilatator (histamin, bradikinin, serotonin dan sitokin).

Histamin tersimpan dalam granul pada sel mast, basofil, dan platelet. Pelepasan senyawa ini dapat dipicu oleh beberapa faktor, yaitu agen fisik seperti trauma atau dingin, reaksi imunologik, suatu fraksi dari komplemen yang disebut sebagai anaphilatoxins, dan adanya histamin-releasing factor yang dikeluarkan oleh neutrofil (Vegad 1995). Histamin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi oedema jaringan dan keadaan lingkungan tersebut menjadi asidosis.

(37)

mikroorganisme. Dibawah scab sel epitel berpindah dari luka ke tepi. Se epitel membantu sebagai barier antara tubuh dengan lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme. Fase inflamasi juga memerlukan pembuluh darah dan respon seluler yang berfungsi untuk mengeliminasi benda-benda asing dan jaringan mati. Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan nutrisi yang diperlukan pada proses persembuhan. Sehingga pada daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak.

Proses peradangan mencakup perekrutan sel-sel radang dari pembuluh darah menuju jaringan luka. Sel-sel yang menginfiltrasi daerah luka diantaranya adalah neutrofil, makrofag dan limfosit.

1. Neutrofil

Neutrofil merupakan sel pertahanan pertama terhadap kontaminasi mikroba pada peradangan. Neutrofil disebut juga sebagai polimorfonuklear

(PMN), berdiameter 14-20 µm. Mempunyai bentuk sel bulat atau oval, sitoplasma berwarna merah muda, warna merah muda ini berasal dari granul sitoplasma yang bersifat neutrofilik dan sedikit azorofil. Neutrofil diproduksi di dalam sumsum tulang belakang. Pelepasan neutrofil dipengaruhi oleh Neutrophil Releasing Factor (NRF).

Neutrofil memiliki masa hidup yang relatif singkat. Di dalam sirkulasi neutrofil dapat bertahan selama 4-6 hari. Neutrofil segera akan mati setelah melakukan fagosit terhadap benda asing yang masuk dan akan dicerna oleh enzim lisosom, kemudian neutrofil akan mengalami autolisis yang akan melepas zat-zat degradasi yang masuk ke dalam jaringan limfe. Jaringan limfe akan merespon dengan mensekresikan histamin dan faktor leukopoetik yang akan merangsang sumsum tulang untuk melepaskan neutrofil muda untuk melawan infeksi (Dellman dan Brown 1992).

(38)

sebagai makrofag jaringan. Semua proses ini merupakan metode pertahanan tubuh yang bersifat non-spesifik.

2. Makrofag

Monosit yang ada di dalam jaringan dinamakan makrofag. Makrofag merupakan sel yang sangat aktif pada saat terjadinya perlukaan. Makrofag dapat bersatu dan membentuk sel raksasa yang dinamakan giant cell dengan tujuan dapat memfagositosis antigen yang berukuran lebih besar (Martini et al 1992). Makrofag mempunyai kemapuan fagositosis yang lebih hebat dari neutrofil yang lain, bahkan mampu memfagosit 100 bakteri (Guyton 1996).

Menurut Vegad (1995), selain memfagosit, makrofag juga aktif melepaskan beberapa bahan aktif yang penting untuk proses peradangan dan proses perbaikan luka. Bahan-bahan aktif yang dilepaskan makrofag yaitu :

• Plasma protein, terdiri dari protein komplemen dalam proses fagositosis dan protein pengkoagulasi

Platelet activating factor (PAF)

• Faktor-faktor kemotaktik

• Sitokin

• Faktor-faktor pertumbuhan, seperti platelet-derived growth factor (PDGF)

fibroblast growth factor (FGF), epidermal growth factor (EGF), dan

transforming growth factor-β (TGF-β). Faktor-faktor ini mempengaruhi proliferasi fibroblast dan pembuluh darah.

Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan ujung endotel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan. Secara klinis fase inflamasi ini ditandai dengan : eritema, hangat pada kulit, oedema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.

3. Limfosit

Limfosit merupakan leukosit agranulosit yang terdapat dalam jumlah dominan. Limfosit dibentuk di jaringan limfoid seperti Peyer’s patches, limpa, tonsil, timus dan bursa Fabricius (Melvin dan William 1993).

(39)

sel null. Sel tipe B terdapat 10-12% dari keseluruhan limfosit. Sel B berperan dalam humoral imun respon. Sel T mempunyai jumlah yang lebih dominan yaitu

70-75% dari jumlah limfosit dan berperan dalam immunitas seluler (Ganong 1997). Menurut Dellman dan Brown (1987), limfosit T terbagi atas 3

jenis, yaitu limfosit T-killer (cytotoxic/CTLs), limfosit T-helper (Th cell), limfosit T-

supresor (Ts cells).

Limfosit tidak memiliki kemampuan untuk melakukan fagositosis dan hanya memiliki kemampuan untuk melakukan kemampuan kemotaksis yang terbatas. Dalam persembuhan luka, peran limfosit adalah melepaskan limfokin yang mempengaruhi populasi dari sel-sel radang lainnya. Beberapa limfokin yang dilepaskan limfosit berpengaruh terhadap agregasi makrofag dalam proses persembuhan luka (Banks dalam Handayani 2006).

b. Fase Proliferasi

Menurut Somantri (2007), proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Secara garis besar proses yang terjadi pada fase ini meliputi, re-epitelisasi, fibroplasia, kontraksi luka, dan neovaskularisasi.

Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan. Fase kedua ini berlangsung dari hari ke 4 hingga hari ke-21 pasca perlukaan.

Fibroblast (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan proteoglycans) yang berperan dalam membangun (rekontruksi) jaringan baru (Shukla et al 1998).

(40)

kecil kemungkinan luka terbuka. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannya substrat oleh fibroblas, memberikan pertanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka.

Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam didalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan “granulasi” ditandai dengan adanya pembuluh darah, kemerahan dan mudah berdarah. Pada saat itu lapisan persembuhan tampak dibawah garis irisan luka. Kapilarisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan. Fibroblast berpindah dari pembuluh darah ke luka membawa fibrin. Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai faktor pertumbuhan yang dibentuk oleh makrofag dan platelet.

c. Fase Maturasi

Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir hingga kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah : menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh darah mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan. Kolagen yang ditimbun dalam luka diubah, membuat penyembuhan luka lebih kuat dan lebih mirip jaringan. Kolagen baru menyatu, menekan pembuluh darah dalam penyembuhan luka, sehingga bekas luka menjadi rata, tipis dan garis putih.

Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka.

(41)

outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung pada kondisi biologis masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang gizi, disertai penyakit sistemik (diabetes melitus).

2.6.3 Faktor yang Mempengaruhi Luka

Menurut Somantri (2007), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi persembuhan luka, baik secara endogen ataupun eksogen.

Faktor-faktor tersebut antara lain : 1. Usia

Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah.

2. Nutrisi

Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh. Klien memerlukan diit kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan mineral seperti Fe, Zn. Klien kurang nutrisi memerlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi mereka setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak adekuat.

3. Infeksi

Infeksi luka menghambat penyembuhan. Bakteri sumber penyebab infeksi. 4. Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi

Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes millitus. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan pernapasan kronik pada perokok. Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.

(42)

Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka.

6. Benda asing

Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah.

7. Iskemia

Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.

8. Diabetes

Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh.

9. Keadaan Luka

Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu.

10. Obat

Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi luka.

a. Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera

b. Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan

c. Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular.

2.6.4 Komplikasi Persembuhan Luka

(43)

1. Infeksi

Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2 – 7 hari setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih.

2. Perdarahan

Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat ada tanda. Sehingga balutan (dan luka di bawah balutan) jika mungkin harus sering dilihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu. Jika perdarahan berlebihan terjadi, penambahan tekanan balutan luka steril mungkin diperlukan. Pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin diperlukan.

3. Keloid

Merupakan jaringan ikat yang tumbuh secara berlebihan. Keloid ini biasanya muncul tidak terduga dan tidak pada setiap orang.

2.7 SALEP

Salep adalah preparat setengah padat untuk pemakaian luar. Pemakaian salep adalah untuk daerah topikal yang diperuntukan sebagai protektan, antiseptik, emolien, antipruritik, keratolitik, dan astringensia. Pemilihan dasar salep yang tepat sangat penting untuk efektivitas fungsi yang diinginkan. Untuk salep yang berfungsi sebagai protektan, maka dasar salep harus bersifat melindungi kulit dari kelembaban, udara, sinar matahari, dan faktor eksternal lainnya. Salep antiseptik digunakan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Seringkali infeksi oleh bakteri terjadi jauh di dalam lapisan kulit, sehingga dasar salep untuk pembuatan salep antiseptik harus memiliki kemampuan untuk meresap ke dalam kulit dan melepaskan bahan aktif yang berfungsi sebagai obat (Hezmela 2006).

(44)

konsistensi yang kuat, yang apabila dioleskan pada kulit akan melunak dan membentuk lapisan di atas kulit. Proporsi bahan dalam sediaan salep dapat berubah-ubah untuk mempertahankan konsistensi, sedangkan proporsi bahan aktif di dalamnya tidak berubah.

Bahan obat harus larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang sesuai. Pemerian salep tidak boleh berbau tengik. Salep yang mengandung obat keras atau obat narkotika, kadar bahan obatnya adalah 10%. Respon klinik yang akan timbul ketika kita memakai suatu sediaan salep pada kulit yang sakit terdiri dari tiga proses, yaitu: (1) pelepasan obat dari pembawa, diikuti oleh (2) penetrasinya melalui barier kulit dan (3) pengaktifan respon Farmakologis yang diinginkan (Departemen Pertanian 2001).

Menurut Ansel (1989), salep dapat mengandung obat baik dalam keadaan tersuspensi, terlarut atau teremulsi,. Salep juga bisa tidak mengandung obat. Salep yang tidak mengandung obat disebut sebagai salep dasar (basis ointment) dan digunakan sebagai pembawa dalam penyiapan salep yang mengandung obat. Dasar salep digolongkan ke dalam 4 kelompok besar, yaitu: (1) dasar salep hidrokarbon, (2) dasar salep absorbsi, (3) dasar salep yang dapat dicuci dengan air, dan (4) dasar salep larut dalam air.

Pemilihan dasar salep untuk dipakai dalam formulasi dari salep tergantung pada beberapa faktor penting, antara lain:

a. laju pelepasan yang diinginkan bahan obat dari dasar salep,

b. keinginan peningkatan oleh dasar salep absorpsi perkutan dari obat, c. kelayakan melindungi lembap dari kulit oleh dasar salep,

d. jangka lama atau pendeknya obat stabil dalam dasar salep, dan

e. pengaruh obat bila ada terhadap kekentalan atau lainnya dari dasar salep.

Semua faktor-faktor ini dan lain-lainnya harus ditimbang satu terhadap lainnya untuk memperoleh dasar salep yang paling baik (Ansel 1989).

(45)

Salep emulsi terdiri atas dua jenis, yaitu jenis minyak dalam air (o/w) dan jenis air dalam minyak (w/o). Dasar salep o/w memiliki keuntungan, yaitu dapat dicuci dengan air sehingga tidak meninggalkan kesan lengket yang tidak disukai. Lebih dapat diterima sebagai dasar sediaan kosmetika, dan umumnya cocok untuk sediaan salep obat. Dasar salep w/o memiliki keuntungan, yaitu stabilitas emulsinya yang tinggi (Voigt 1994).

Menurut Ansel (1989), salep dibuat dengan dua metode umum, yaitu pencampuran dan peleburan. Dalam metode pencampuran, komponen dari salep dicampur bersama-sama sampai sediaan yang homogen tercapai. Pencampuran dilakukan dalam sebuah lumpang dengan sebuah alu untuk menggerus bahan bersama-sama. Dalam metode peleburan, semua atau beberapa komponen dari salep dicampurkan dengan melebur bersama, dan didinginkan dengan pengadukan yang konstan sampai mengental. Komponen-komponen yang tidak dicairkan biasanya ditambahkan pada campuran yang sedang mengental setelah didinginkan dan diaduk. Bahan-bahan yang mudah menguap ditambahkan terakhir bila temperatur dari campuran telah cukup rendah tidak menyebabkan penguraian atau penguapan dari komponen. Dalam skala kecil, peleburan dapat dilakukan pada cawan porselen atau gelas piala.

2.8 Penetrasi Kulit Oleh Obat

Menurut Ansel (1989), obat dapat mempenetrasi kulit yang utuh setelah pemakaian topikal melalui dinding folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar lemak, atau antara sel-sel tanduk. Cara penetrasi obat pada kulit yang utuh umumnya melalui lapisan epidermis, lebih baik daripada melalui folikel rambut atau kelenjar keringat, karena luas permukaan yang terakhir ini lebih kecil dibandingkan dengan daerah kulit yang tidak mengandung elemen anatomi ini. Selaput yang menutupi lapisan tanduk umumnya tidak terus-menerus melapisinya dan sebenarnya tidak mempunyai daya tahan terhadap penetrasi. Hal ini dikarenakan susunan dari bermacam-macam lapisan dengan proporsi lemak dan keringat yang diproduksi dan juga derajat daya lepasnya melalui pencucian serta penguapan keringat.

(46)

(pada umumnya keratin) dan 40% air dengan lemak berupa perimbangannya terutama sebagai trigliserida, asam lemak bebas, kolesterol dan fosfat lemak. Komponen lemak dipandang sebagai faktor utama yang secara langsung bertanggung jawab terhadap rendahnya penetrasi obat melalui stratum corneum. Apabila molekul obat dapat malalui stratum corneum, maka dapat melalui jaringan epidermis yang lebih dalam dan masuk ke dermis. Apabila obat dapat mencapai lapisan pembuluh darah kulit, maka obat tersebut siap untuk diabsorpsi ke dalam sirkulasi umum (Ansel 1989).

Menurut Ansel (1989), stratum corneum sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai membran buatan yang semi permeabel, dan molekul obat mempenetrasi dengan cara difusi pasif. Difusi pasif ini tergantung pada konsentrasi obat, kelarutannya dalam air dan koefisiensi partisi minyak atau airnya. Bahan-bahan yang mempunyai sifat larut dalam keduanya, minyak dan air, merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui stratum corneum seperti juga melalui epidermis dan lapisan-lapisan kulit. Penetrasi lapisan ini dapat terjadi dengan cara difusi melalui :

• penetrasi transeluler (menyebrangi sel);

• penetrasi intraseluler (didalam sel);

• penetrasi transappendageal (melalui folikel rambut, keringat, kelenjar lemak, dan perlengkapan pilo sebaceaus).

(47)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Bagian Patologi dan Sub Bagian Farmasi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Agustus 2007 hingga dengan bulan Mei 2008.

3.2 Identifikasi Tanaman

Pohon pisang Ambon yang digunakan untuk penelitian ini dideterminasi terlebih dahulu di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Biologi Bogor.

Batang pohon pisang diambil dengan cara memotong batang pohon pisang secara miring dan kemudian dipotong kecil-kecil kemudian dikeringkan di udara terbuka. Untuk mendapatkan ekstrak batang pisang Ambon dilakukan prosedur

soxhletasi dari simplisia kering menggunakan pelarut etanol 70% selama 4 jam, kemudian cairan ekstraksi dipekatkan menggunakan rotary evaporator. Cara yang digunakan untuk ekstraksi mengikuti prosedur yang dideskripsikan oleh Lee-Huang et al (1996). Batang pohon pisang Ambon yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak ± 3 batang. Berdasarkan uji pendahulu oleh Priosoeryanto et al (2006) diketahui kandungan bahan aktif diantaranya adalah, flavonoid, tannin dan saponin yang ketiganya berpengaruh terhadap persembuhan luka. Metode yang digunakan yaitu skrining fitokimia metode

Harbone.

3.3 Alat dan Bahan 3.3.1 Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus musculus albinus) strain DDY umur 4-6 minggu. Mencit dipelihara di dalam kandang individual dari plastik yang pada bagian atasnya diberi kawat kasa sebagai penutup sekaligus tempat pemberian pakan dan minum. Sebagai alas digunakan alas sekam yang berfungsi untuk menjaga suhu dan menyerap urine. Pakan yang diberikan yaitu pakan komersil berbentuk pellet dan minum secara

Gambar

Gambar 2 Mus musculus albinus di laboratorium sebagai hewan
Gambar 3  Histologi kulit manusia (Somantri 2007)
Tabel perlakuan salep placebo, salep komersil , dan salep ekstrak  batang pohon 2 Perbandingan patologi anatomi persembuhan luka kulit antara mencit                            pisang ambon
Gambar  4  Perbandingan Gambaran Patologi Anatomi Mencit Hari ke-3 Pasca    A
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data aktivitas siswa siklus II dapat dideskripsikan aktivitas siswa selama penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD untuk meningkatkan hasil belajar

secara keseluruhan. Dampak konversi hutan ini baru terasa apabila diikuti dengan degradasi tanah dan hilangnya vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis akibat

Manusia secara umum sebenarnya mempunyai karakteristik yang sama dengan mahluk hidup lain, namun ada karakteristik tertentu yang hanya dimiliki manusia, sehingga manusia

DPL: Nurul Satria Abdi, M.H... Saeful

QA Manager memiliki tugas dalam meneliti dan mengawasi sebelum, setelah maupun selama proses produksi agar hasil yang didapatkan sesuai dengan standar mutu dan

oleh Kharisna, Dewi dan Lestari dengan judul “ Efektifitas Konsumsi Jus Mentimun Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi Tahun 2010 ”, yang

Peneliti beragumen bahwa perbedaan jumlah universitas di wilayah yang berbeda akan membedakan dukungan terhadap rasa kompetensi, otonomi dan keterhubungan serta

Gasifikasi dengan bahan bakar limbah padat aren akan menghasilkan laju kenaikan suhu yang lebih cepat dibandingkan dengan proses gasifikasi dengan bahan