• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indikator Pengelolaan Perikanan Kurisi (Nemipterus Japonicus) Dengan Prinsip Kehati Hatian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Indikator Pengelolaan Perikanan Kurisi (Nemipterus Japonicus) Dengan Prinsip Kehati Hatian"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

INDIKATOR PENGELOLAAN PERIKANAN KURISI

(Nemipterus japonicus) DENGAN PRINSIP KEHATI-HATIAN

NURILMI ACHMAD

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Indikator Pengelolaan Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) dengan Prinsip Kehati-Hatian adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2016

(3)

RINGKASAN

NURILMI ACHMAD. C251140121. Indikator Pengelolaan Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) dengan Prinsip Kehati-Hatian. Di bawah bimbingan YONVITNER dan MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL.

Ikan kurisi merupakan ikan ekonomis penting karena biasa dimanfaatkan masyarakat dalam perdagangan sehari-hari dalam bentuk segar maupun olahan. Tingginya permintaan akan ikan tersebut menyebabkan eksploitasi meningkat. Hal inilah yang mendorong perlunya suatu pengelolaan sumberdaya ikan kurisi yang sesuai melalui kajian stok berdasarkan aspek biologi reproduksi dan dinamika populasi sebagai dasar pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan kehati-hatian. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji status populasi ikan kurisi di perairan Selat Sunda meliputi pendugaan hubungan bobot panjang, pendugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi.

Analisis yang digunakan meliputi, hubungan panjang berat, faktor kondisi, sebaran frekuensi panjang, pertumbuhan, ukuran pertama kali matang gonad, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad (IKG), diameter telur dan fekunditas. Sedangkan aspek dinamika populasi meliputi pengkajian stok ikan dengan menggunakan data hasil tangkapan, upaya penangkapan serta hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE), MSY, mortalitas serta laju eksploitasi ikan kurisi.

Hasil analisis didapatkan bahwa nisbah kelamin ikan kurisi jantan lebih kecil dibandingkan betina. Ikan kurisi yang tertangkap didominasi TKG I dan II (belum matang gonad). Ikan kurisi memiliki tipe pemijahan total spawner. Pola pertumbuhan ikan kurisi jantan dan betina adalah alometrik negatif. Ikan kurisi jantan lebih cepat mencapai matang gonad dibandingkan dengan betina. Ikan kurisi di Perairan Selat Sunda diduga telah mengalami tangkap lebih dengan laju eksploitasi yang telah melebihi laju eksploitasi maksimum sebesar 0,5. Model produksi surplus yang digunakan yaitu model fox dengan nilai MSY 1201 ton per tahun dengan upaya penangkapan maksimum 2802 trip.

(4)

SUMMARY

NURILMI ACHMAD. C251140121. Indicators of Kurisi (Nemipterus japonicus) Fisheries Management With the Precautionary Approuch. Directed by YONVITNER and MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL.

Kurisi is an important economically fish because they commonly used by the community in every trade even in fresh and processed form. The high demand of these fishes increased to the lead of exploitation. This is what drives the need for a management of kurisi fisheris resources that appropriate through the study of the stock based on aspects of reproductive biology and population dynamics as the basis for fisheries resource management with the precautionary approach. The purpose of this study is to assess the status of fish populations kurisi fisheris in the waters of the Sunda Strait include estimating the long-weight relationship, estimating the mortality rate and the rate of exploitation.

The analysis covers, long-weight relationship, condition factor, the length frequency distribution, growth, the size of the first ripe gonads, sex ratio, gonad maturity level (TKG), gonad maturity index (IKG), diameter of the eggs and fecundity. While aspects of population dynamics include assessment of fish stocks using data catches, fishing effort and catch per unit effort (CPUE), MSY, mortality and the rate of exploitation of kurisi.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

INDIKATOR PENGELOLAAN PERIKANAN KURISI

(nemipterus japonicus) DENGAN PRINSIP KEHATI-HATIAN

NURILMI ACHMAD

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Tesis : Indicator Populasi Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicas) Dengan Prinsip Kehati-Hatian

Nama : Nurilmi Achmad

NIM : C251140121

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Yonvitner, SPi MSi Dr Ir M Mukhlis Kamal, MSc

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dr Sigid Hariyadi, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun tesis dengan judul penelitian Indikator Pengelolaan Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) dengan Prinsip Kehati-Hatian. Tesis ini merupakan hasil penelitian untuk menjadi salah satu syarat mendapatkan gelar Magister pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan menempuh studi di program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan.

2. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan atas biaya penelitian melalui Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), DIPA IPB Tahun Ajaran 2015 No. 544/IT3.11/PL/2015, Penelitian Dasar untuk Bagian, Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitan

dan Pengabdian kepada Masyarakat, IPB dengan judul “Dinamika

Populasi dan Biologi Reproduksi Beberapa Ikan Ekologis dan Ekonomis

Penting di Perairan Selat Sunda, Provinsi Banten” yang dilaksanakan oleh

Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA (sebagai ketua peneliti) dan Dr Ir Rahmat Kurnia, MSi (sebagai anggota peneliti).

3. Bapak Dr. Ir. Yonvitner, M.Si dan Bapak Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc, selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi saran dan arahan dalam penyelesaian tesis.

4. Keluarga, papa (Alm. Prof. Dr. H. Hamzah Achmad), mama (Ir. Hj. Saira Yusuf), kaka dan suami (Zuriati Achmad, S.T dan Ardiansyah Akili, S.T), adik (Mulhimi Achmad, S.Psi) dan dua keponakan(Riani Hanifah Akili dan Nisa Mulyani Akili) atas kasih sayang, doa, dan dukungan baik secara moral ataupun material.

5. Teman-teman SDP 2014, atas kebersamaanya selama studi. 6. Staff Tata Usaha dan civitas MSP.

7. Serta semua pihak yang telah mengambil bagian dalam pemberian masukandan saran selama penyusunan tesis.

Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat kepada semua pihaksebagaimana mestinya.

Bogor, Agustus 2016

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

1 PENDAHULUAN

Latar belakang 1

Perumusan masalah 2

Tujuan dan manfaat 4

2 METODE PENELITIAN

Waktu dan lokasi penelitian 4

Alat tangkap 5

Alat dan bahan penelitian 5

Pengumpulan data 5

Analisis data 6

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan Pembahasan 13

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 32

Saran 32

DAFTAR PUSTAKA 34

LAMPIRAN 37

(11)

DAFTAR TABEL

1 Penentuan TKG secara morfologi 8

2 Data kategorik prinsip kahati-hatian dalam pengelolaan perikanan terhadap rata-rata nilai parameter pengamatan 12 3 Proporsi kelamin ikan kurisi di PPI Labuan, Selat Sunda setiap

pengambilan contoh 17

4 Sebaran kelompok umur ikan kurisi jantan dan betina di Selat

Sunda setiap pengambilan contoh 26

5 Parameter pertumbuhan ikan kurisi di PPI Labuan,Selat Sunda 27 6 Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan kurisi 28 7 Hasil tangkapan (ton) dan upaya penangkapan (trip) ikan kurisi 29 8 Pendekatan kehati-hatian untuk hubungan antara model dengan

skala kategorik 30

DAFTAR GAMBAR

1 Hubungan pengkajian stok ikan terhadap pengelolaan perikanan 2

2 Kerangka pemikiran 3

3 Peta Lokasi Penelitian di Perairan Selat Sunda 4

4 Skema Kerangka Kerja 6

5 Morfologi ikan kurisi (Nemipterus japonicus) 14 6 Hubungan panjang-bobot ikan kurisi jantan dan betina 16 7 Faktor kondisi rata-rata ikan kurisi jantan dan betina di perairan

Selat Sunda setiap pengambilan contoh 18

8 Tingkat kematagan gonad ikan kurisi jantan dan betina 20 9 Indeks kematangan gonad ikan kurisi bulan April – Agustus 22 10 Sebaran frekuensi diameter telur ikan kurisi 23 11 Ukuran pertama kali matang gonad ikan kurisi jantan dan betina

di perairan Selat Sunda 24

12 Kelompok umur ikan kurisijantan dan betina bulan April-

Agustus 2015 26

13 Kurva pertumbuhan ikan kurisi jantan dan betina di perairan

Selat Sunda 27

14 Model surplus produksi ikan kurisi 29

DAFTAR LAMPIRAN

1 Uji Chi-square terhadap nisbah kelamin ikan kurisi jantan dan

betina 36

2 Hubugan panjang bobot ikan kurisi jantan dan betina 36

3 Faktor kondisi kurisi 36

(12)

7 Diameter telur ikan kurisi 38 8 Ukuran pertama kali matang gonad ikan kurisi 39 9 Sebaran frekuensi panjang dan kelompok umur ikan kurisi 39

10 Pendugaan pertumbuhan ikan kurisi 41

11 Mortalitas dan laju eksploitasi ikan kurisi 42

(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan kurisi (Nemipterus japonicus) merupakan salah satu ikan demersal ekonomis penting yang banyak tersebar dan tertangkap di perairan Indonesia. Ikan kurisi termasuk ikan demersal yang hidup soliter di perairan pantai dengan berlumpur atau berpasir dengan kedalaman air dari 5-80 m (Russell, 1990). Rahardjoet al. (1999) memasukkan ikan ini ke dalam kelompok komoditas unggulan sekunder lokal.

Menurut data statistik perikanan PPP Labuan, upaya penangkapan ikan kurisi terus mengalami peningkatan hingga mencapai 3280 trip pada tahun 2010 sedangkan di Indiaikan kurisi merupakan salah satu ikan demersal yang berkontribusi tinggi terhadap total pendaratan ikan sebesar 15,34% (Swatipriyanka et al., 2012). Ikan ini digolongkan sebagai ikan ekonomis penting karena biasa dimanfaatkan masyarakat dalam perdagangan sehari-hari dalam bentuk segar maupun olahan.

Menurut Sivakami et al. (2001) ikan ini pada awalnya bukan merupakan ikan hasil tangkapan utama dan banyak didaratkan di pelabuhan perikanan sebagai salah satu hasil tangkapan komersial dan menjadikan ikan ini sebagai ikan komoditas ekspor. Tingginya pemanfaatan dari ikan kurisi menyebabkan peningkatan permintaan sehingga berakibat kepada peningatan eksploitasi.

Melihat pentingnya sumberdaya ikan bagi kebutuhan manusia, khususnya untuk memenuhi asupan protein hewani dan untuk menunjang perekonomian Indonesia, mendorong manusia untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan sebanyak-banyaknya, termasuk ikan kurisi. Keberadaan ikan kurisi sebagai komuditas utama ikan demersal mendorong eksploitasi yang dapat berbahaya terhadap keberlanjutannya untuk itu perlu dipertimbangkan pemanfaatan yang lebih hati-hati. Dengan demikian, kegiatan penangkapan ikan ini dapat mempengaruhi keberadaan dan mengubah status stok sumberdaya ikan kurisi terutama di perairan Selat Sunda. Hal inilah yang mendorong perlunya pengkajian dan upaya pengelolaan terhadap sumberdaya ikan kurisi di perairan Selat Sunda.

FAO (2002) memperkirakan untuk perikanan laut 75% sepenuhnya telah dieksploitasi.Beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa intensitas pemanfaatan sumberdaya ikan yang terus meningkat (intensif), dengan sedikit upaya pengelolaan telah menyebabkan terjadinya kehilangan keanekaragaman sumberdaya ikan dan habitatnya yang cukup besar. Adapun aspek biologi yang dikaji dapat berupa perubahan (dinamika) yang terjadi pada stok sumberdaya yang dieksploitasi dipengaruhi oleh pertumbuhan, rekrutmen, mortalitas alami dan penangkapan oleh usaha perikanan. Hubungan pengkajian stok ikan terhadap pengelolaan perikanan seperti yang terlihat pada Gambar1.

(14)

Ikan ini menyebar hampir di seluruh perairan Indonesia (ke utara meliputi Teluk Siam dan Philipina), Laut Cina Selatan, Teluk Thailand, Laut Andaman, Teluk Bengal, Laut Laccadive, Laut Merah (Fishbase 2013) sehingga sumberdaya ikan ini membutuhkan suatu pengelolaan perikanan yang sesuai agar keberadaan stok ikan tetap lestari dan berkelanjutan. Oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan agar pemanfaatan ikan tersebut tetap lestari dan berkelanjutan agar sumberdaya ikan tersebut tidak mengalami overfishing.

Gambar 1 Hubungan pengkajian stok ikan terhadap pengelolaan perikanan Prinsip kehati-hatian dalam konteks pengelolaan perikanan termasuk dalam Pasal 7.5 CCRF 1995 menyebutkan, negara harus memberlakukan pendekatan yang bersifat kehati-hatian secara luas demi konservasi, pengelolaan, dan pengusahaan sumberdaya hayati akuatik guna melindunginya dan mengawetkan lingkungan akuatiknya. Lebih lanjut CCRF 1995 menekankan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pendekatan yang bersifat kehati-hatian, di antaranya ketidakpastian yang bertalian dengan ukuran dan produktivitas stok ikan, titik rujukan, kondisi stok yang berhubungan dengan titik rujukan tersebut, tingkat dan persebaran mortalitas penangkapan dari dampak kegiatan penangkapan, termasuk ikan buangan terhadap spesies bukan target dan spesies terkait (dependent species) serta keadaan lingkungan dan sosial ekonomi.

Hal inilah yang mendorong perlunya suatu pengelolaan sumberdaya ikan kurisi yang sesuai melalui kajian stok berdasarkan aspek biologi reproduksi dandinamika populasi sebagai dasar pengelolaan sumberdaya perikanan dengan batasan daerah penangkapan perairan Selat Sunda. Kajian tersebut diharapkan dapat memberikan informasi aktual kondisi sumberdaya ikan kurisisehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara lestari dan berkelanjutan.

Perumusan Masalah

Setiap sumberdaya yang berada dilaut adalah milik bersama (common property) sehingga setiap orang berhak untuk memanfaatkannya (open acces) kondisi inilah yang memudahkan setiap pelaku usaha dalam pemanfaatan sumberdayatersebut keluar masuk. Kondisi tekanan penangkapan yang tinggi,

(15)

volume produksi yang terus meningkat dan belum adanya kegiatan budidaya dapat mengakibatkan adanya upaya tangkap lebih sehingga terjadi penurunan stok ikan di perairan Selat Sunda. Kerangka pemikiran untuk indikator pengelolaan ikan kurisi terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2Kerangka pemikiran

Oleh sebab itu, diperlukan suatu studi tentang pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap secara berkelanjutan yang lebih difokuskan pada pengkajian stok ikan dengan batasan daerah penangkapan perairan Selat Sunda. Informasi mengenai keadaan stok sumberdaya ikan di perairan Selat Sunda dari sebaran kelompok umur ikan, pola pertumbuhan, TKG, faktor kondisi, laju mortalitas (alami dan penangkapan)serta menduga kondisi sumberdaya melalui nilai potensi maksimum lestari atau MSY (Maximum Sustainable Yield), upaya atau effort optimum (fMSY) dalam kegiatan penangkapansehingga dapat merencanakan suatu

strategi pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.

(16)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi populasi perikanan kurisi di perairan Selat Sunda untuk pengelolaan yang lebih baik dengan prinsip kehati-hatian.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keadaan stok ikan kurisi dengan batasan nilai kehati-hatian dan sebagai langkah awal dalam pengelolaan sumberdaya ikan kurisi di perairan Selat Sunda dengan memperhatikan aspek-aspek kelestarian sumberdaya tersebut agar tetap berkelanjutan.

Hipotesis Penelitian

Jika indikator populasi baik (pada level aman), maka struktur populasi potensial dan mendukung keberlanjutan stok sehingga populasi tetap lestari.

2 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Gambar3Peta daerah penangkapan ikan kurisi

(17)

pengumpulan data dilakukan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan kurisi yang di tangkap di Selat Sunda dan didaratkan di PPI labuan dengan interval waktu pengambilan contoh satu bulan. Pengumpulan data sekunder dilaksanakan selama penelitian berlangsung.

Alat Tangkap

Alat tangkap ikan kurisi yang digunakan variatif. Alattangkap yang digunakan di Selat Sunda adalah dogol, payang, jaring insang, pancing, bagan dan jaring rampus. Cantrang merupakan alat tangkap yang dominan digunakan untuk menangkap ikan kurisi di Selat Sunda. Alat ini dioperasikan pada perairan dangkal dengan dasar pasir, lumpur maupun pasir berlumpur.

Menurut Subani dan Barus (1989) cantrang, dogol, payang dan bundes

diklasifikasikan ke dalam alat tangkap “Danish Seine” berbentuk panjang tetapi penggunaannya untuk menangkap Ikan Demersal terutama ikan.

Pengoperasiannya dilakukan dengan melingkarkan tali slambar dan jaring pada dasaran yang dituju. Cantrang terdiri dari kantong (codend) yaitu bagian tempat berkumpulnya hasil tangkapan yang pada ujungnya diikat dengan tali hasil tangkapan yang pada ujungnya diikat dengan tali hasil tangkapan tidak lolos. Badan merupakan bagian terbesar dari jaring yang terletak diantara kantong dan kaki jaring, terdiri dari bagian kecil–kecil dengan ukuran mata jaring yang berbeda–beda. Kaki (sayap) terbentang dari badan hingga slambar yang berguna sebagai penghalang ikan masuk ke dalam kantong. Mulut, pada bagian atas jaring relatif sama panjang dengan bagian bawah. Menurut Subani dan Barus (1989) daerah penangkapan (fishing ground) cantrang tidak jauh dari pantai, pada bentuk dasar perairan berlumpur atau lumpur berpasir dengan permukaan dasar rata.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, penggaris dengan ketelitian 1 milimeter, timbangan dengan ketelitian 0,001 gram, kamera digital untuk dokumentasi, alat tulis, dan alat bedah. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu es batu dan ikan kurisi yang didaratkan di PPI Labuan.

Pengumpulan Data

(18)

Gambar4 Kerangka Kerja

Panjang total adalah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya (Effendie 2002). Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan penggaris panjang 30 cm dengan skala terkecil 1 mm dan ketelitian 0,5 mm. Sedangkan berat ikan yang ditimbang adalah berat basah total. Berat basah total adalah berat total jaringan tubuh ikan dan air yang terdapat di dalamnya. Dalam hal ini digunakan timbangan digital yang mempunyai skala terkecil 0,001 gram dengan ketelitian 0,0005 gram.

Pengumpulan data dan informasi lainnya dilakukan dengan cara wawancara dengan nelayan ikan di lokasi penelitian. Informasi yang diperoleh dari hasil wawancara berupa data unit penangkapan ikan (kapal, nelayan atau anak buah kapal dan alat tangkap), kegiatan operasi penangkapan, daerah penangkapan, dan biaya operasi penangkapan. Data sekunder meliputi data produksi hasil tangkapan ikan yang didaratkan di Kabupaten Pandeglang dan upaya penangkapan (unit penangkapan) yang diambil dari Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) Provinsi Banten.

Analisis Data

Hubungan panjang berat

Hubungan panjang berat dilakukan secara terpisah antar ikan contoh jantan dan betina. Perhitungan hubungan panjang berat mengacu pada rumus umum Hile 1936 dalamEffendie 1979 dengan rumus :

dimana: W = berat tubuh (gram), L = panjang total (cm), a & b = konstanta. Nilai b yang diperoleh digunakan untuk menduga kedua parameter yang dianalisis, dengan hipotesis :

Reproduksi

- ukuran pertama kali matang gonad

- nisbah kelamin

- tingkat kematangan gonad (TKG)

- indeks kematangan gonad (IKG)

- diameter telur dan fekunditas

Pertumbuhan

- mortalitas dan laju eksploitasi

(19)

 b = 3 menunjukan bahwa pola pertumbuhan panjang tidak sama dengan pola pertumbuhan berat isometrik

 b ≠ 3 menunjukan bahwa pola pertumbuhan panjang tidak sama dengan pola

pertumbuhan panjang alometrik.

Kesimpulan dari nilai b yang diperoleh diuji dengan uji–t pada selang

kepercayaan 95% (α = 0.05) dengan hipotesis :

 Apabila thitung< ttabel maka terima H0  Apabila thitung> ttabel maka tolak H0

Keeratan hubungan antara panjang dan berat ikan ditunjukan oleh koefesien korelasi (r) yang diperoleh. Nilai r mendekati 1 menunjukan hubungan antara dua peubah tersebut kuat dan terdapat korelasi yang tinggi, akan tetapi apabila r mendekati 0 maka hubungan keduanya sangat lemah atau hampir tidak ada (Walpole 1992) namun uji t beda dengan r pada korelasi.

Penentuan nisbah kelamin

Untuk mengetahui perbandingan jenis kelamin, dilakukan perhitungan dengan rumus:

dimana: NKi= nisbah kelamin, nJi= jumlah ikan jantan pada kelompok ukuran

ke-i, nBi = jumlah ikan betina pada kelompok ukuran ke-i.

Hubungan antara jantan dan betina dalam suatu populasi dapat diketahui dengan melakukan analisis proporsi nisbah kelamin ikan menggunakan uji Chi square ( ) (Steel dan Torrie 1993):

dimana: �2= nilai bagi peubah acak yang sebaran penarikan contohnya mendekati sebaran khi kuadrat, Oi= jumlah frekuensi ikan jantan dan betina yang diamati

(individu) dan ei= jumlah frekuensi harapan dari ikan jantan dan betina (individu).

Faktor kondisi

Keadaan yang menyatakan kemontokan ikan dengan angka dinamakan faktor kondisi (Lagler 1970). Faktor kondisi ikan dipisahkan antara jantan dan betina. Jika pertumbuhan ikan bersifat isometrik maka faktor kondisi ditentukan dengan rumus (Beckman 1954):

dimana: K = faktor kondisi, W = bobot ikan (gram), L = panjang total ikan (cm). Jika pertumbuhan ikan bersifat allometrik maka digunakan faktor kondisi relatif ditentukan dengan rumus:

dimana: K = faktor kondisi, W = bobot ikan (g), L = panjang total ikan (cm). Fekunditas

(20)

dimana: F = fekunditas (butir), G = berat gonad (gr), V = volume pengenceran (cc), X = jumlah telur contoh tiap cc (butir), Q = berat telur contoh (gr).

Tingkat kematangan gonad

Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan itu memijah. Menentukan tingkat kematangan gonad (TKG) pada ikan ada dua cara yaitu secara morfologi dan histologi. Secara morfologi berdasarkan bentuk, warna, ukuran, bobot gonad, serta perkembangan isi gonad.

Berikut ini adalah Tabel penentuan TKG ikan menggunakan modifikasi dari Cassie (Effendie 1997) yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Penentuan TKG secara morfologi

No TKG Betina Jantan

1 I

Ovari seperti benang, pan-jang sampai ke depan tubuh,

Ukuran lebih besar, pewar-naan gelap kekuningan, telur belum terlihat jelas

Ukuran testes lebih besar, pe-warnaan putih susu, bentuk lebih jelas dari TKG I

3 III

Ovari berwarna kuning, secara morfologi telur sudah ke-lihatan butirnya dengan mata

Permukaan testes nampak ber-gerigi, warna makin putih, dalam keadaan diawetkan mudah putus

4 IV

Ovari makin besar, telur berwarna kuning, mudah di-pisahkan, butir minyak tak tampak, mengisi 1/2-2/3 rongga tubuh, usus terdesak

Seperti TKG III tampak lebih je-las testes makin pejal dan rongga tubuh mulai penuh, warna putih susu

5 V

Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat di dekat pelepasan. Banyak telur seperti pada tingkat II

Testes bagian belakang kempis dan bagian dekat pelepasan masih berisi

Indeks kematangan gonad

IKG dihitung dari perbandingan antara berat gonad ikan dengan berat tubuh ikan (Effendie 1997) dengan rumus :

x 100 %

dimana: Wg = berat gonag ikan (gr), Wt = berat tubuh ikan (gr). Diameter telur

(21)

ditentukan jumlah kelas dan selang kelas dari data, lalu dihitung frekuensi diameter telur ikan pada tiap selang kelas dan dibuat grafik hubungan antara sebaran diameter telur berdasarkan kels panjang diameter telur.

Ukuran pertama kali matang gonad

Metode yang digunakan untuk menduga ukuran rata-rata pertama kali matang gonad ikan kurisi adalah metode Spearman-Karber (Udupa) :

m=xk d2 d∑Pi

m adalah logaritma dari kelas panjang pada kematangan pertama, d adalah selisih logaritma dari pertambahan nilai tengah panjang, k adalah jumlah kelas panjang, xk adalah logaritma nilai tengah panjang ikan yang telah matang gonad (Pi = 1).

Mengantilogkan persamaan di atas, maka didapat ukuran pertama kali matang gonad (Lm).

Sebaran frekuensi panjang

Data yang digunakan dalam penentuan distribusi frekuensi panjang ini adalah data panjang total dari ikan yang ditangkap di perairan Selat Sunda dan di daratkan di PPI Labuan.

Distribusi frekuensi panjang menggunakan program FISAT. Dari grafik tersebut dapat terlihat pergeseran distribusi kelas panjang setiap bulannya. Pergeseran distribusi frekuensi panjang menggambarkan jumlah kelompok umur (kohort) yang ada. Bila terjadi pergeseran modus distribusi frekuensi panjang berarti terdapat lebih dari satu kohort.

Identifikasi kelompok umur

Pendugaan kelompok ukuran dilakukan dengan menganalisis frekuensi panjang ikan. Data frekuensi panjang dianalisis dengan menggunakan salah satu metode yang terdapat di dalam program FISAT II (FAO-ICLARM Stok Assesment Tool) yaitu metode NORMSEP (Normal Separation). Sebaran frekuensi panjang dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok umur yang diasumsikan menyebar normal, masing-masing dicirikan oleh rata-rata panjang dan simpangan baku.

Boer (1996) menyatakan jika fi adalah frekuensi ikan dalam kelas panjang

ke-i (i = 1, 2, …, N),µj adalah rata-rata panjang kelompok umur ke-j, σj adalah simpangan baku panjang kelompok umur ke-j dan pj adalah proporsi ikan dalam

kelompok umur ke-j (j = 1, 2, …, G) maka fungsi objektif yang digunakan untuk

menduga (µj, σj, pj) adalah fungsi kemungkinan maksimum (maximum likelihood function) dengan persamaan sebagai berikut :

∑ ∑

yang merupakan fungsi kepekatan peluang sebaran normal dengan nilai tengah

µjdan simpangan baku σj.ximerupakan titik tengah dari kelas panjang ke-i. Fungsi

(22)

terhadap µj, σj, pjsehingga diperoleh dugaan µj, σj, pjyang akan digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan.

Pertumbuhan

Analisis parameter pertumbuhan ikan dilakukan dengan menghitung umur ikan ketika panjangnya sama dengan nol (t0), koefisien pertumbuhan (K), panjang

asimtotik ikan (L∞). Plot Ford-Walford merupakan salah satu metode paling sederhana dalam menduga persamaan pertumbuhan von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama dengan formula sebagai berikut:

t= ∞(1 e (t t0)

Lt adalah ukuran ikan pada umur t satuan waktu (mm), L∞ adalah panjang

maksimum atau panjang asimptotik (mm), K adalah koefisien pertumbuhan (bulan-1), dan t0 adalah umur ikan pada saat panjang sama dengan nol (bulan).

Pendugaan nilai koefisien pertumbuhan K dan L∞dilakukan dengan menggunakan metode Ford-Walford yang diturunkan dari model von Bertalanffy untuk t=t+1, sehingga persamaannya menjadi:

t 1= ∞(1 e (t 1 t0)

kemudian disubtitusikan maka diperoleh:

t 1 t=( t) 1 e t 1= ∞ 1 e ( t.e )

Lt dan Lt+1 merupakan panjang ikan pada saat t dan panjang ikan yang

dipisahkan interval waktu yang konstan (1=tahun, bulan atau minggu) (Pauly 1984). Jika Lt (sumbu X) diplotkan dengan Lt+1 (sumbu Y) maka garis lurus yang

dibentuk akan memiliki kemiringan (slope) b= dan titik potong dengan sumbu X, yaitu a=L 1-e- . Dengan demikian, nilai K dan L diperoleh melalui hubungan :

K = -ln b ∞=1 ba

Umur teoritis ikan pada saat panjang = 0 dapat diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly 1984) yaitu:

Log (-t0) = 0.3922 – 0.2575 (log L∞) – 1.038 (log K)

Mortalitas dan laju eksploitasi

Laju mortalitas total (Z) dapat diduga dari kurva hasil tangkapan yang dikonversikan ke data komposisi panjang yang dilinearkan sesuai dengan pernyataan Sparre & Venema (1999) dengan langkah mengkonversikan data panjang ke data umur dengan menggunakan inverse persamaan pertumbuhan von Bertalanffy.

t =t0 1 n (1 ∞)

Selanjutnya menghitung waktu yang diperlukan ikan untuk tumbuh dari L1 hingga

ke L2(Δt).

t=t 2 -t 1 = 1 n 1- ∞- 1 ∞- 2

(23)

t 1 2 2 =t0

-1

n 1- 1 2 2 ∞

Kemudian persamaan tersebut diturunkan sebagai kurva hasil tangkapan yang dilinearkan yang dikonversikan ke panjang:

nC( 1, 2) pertumbuhan Von Bertalanffy dan T adalah rata-rata suhu permukaan tahunan (oC). Laju mortalitas penangkapan (F) dapat diduga dengan menggunakan persamaan:

F = Z – M

Laju ekspkoitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas penangkapan (F) terhadap laju mortalitas total (Z) (Pauly 1984):

E=F MF =F

menurut Gulland (1971) in Pauly (1984) bahwa laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum adalah:

Foptimum = M dan Eoptimum = 0.5

Model surplus produksi

Model produksi surplus menganalisis hasil tangkapan (catch) dan upaya (effort) dalam pendugaan potensi ikan tembang dan lemuru. Model Produksi Surplus dikembangkan oleh Schaefer dan Fox. Model ini dapat diterapkan apabila diketahui dengan baik hasil tangkapan per unit upaya tangkap (CPUE) atau berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Tingkat upaya penangkapan optimum (fMSY) dan hasil tangkapan maksimum lestari

(MSY) dari unit penangkapan dengan model Schaefer (1954) in Sparre & Venema (1999) dapat diketahui melalui persamaan berikut:

Y= af + bf2

Persamaan di atas menggambarkan hubungan antara hasil tangkapan (Y) dengan upaya penangkapan (f). Upaya penangkapan optimum (fMSY) diperoleh

dengan cara menyamakan turunan pertama hasil tangkapan (Y) terhadap upaya penangkapan (f) yakni dY/df = 0:

d

df =a 2bf=0 a= 2bf fMS = 2b a

(24)

Tidak semua populasi ikan mengikuti model linear seperti model Schaefer, sehingga Garrod (1969) &Fox (1970) inSparre & Venema (1999) mengajukan model alternatif dengan formula:

=fea bf

fMSY dapat diperoleh pada saat dY/df = 0, sehingga: fMS =1b

MS =1be a 1

Kedua model tersebut kemudian dibandingkan nilai koefisien determinasi (R2) dari hasil masing-masing regresi. Model yang mempunyai nilai R2 lebih besar menunjukkan model tersebut mempunyai keterwakilan yang tinggi dengan keadaan sebenarnya.

Pendekatan kehati-hatian

Data kategori prinsip kahati-hatian dalam pengelolaan perikanan terhadap rata-rata nilai parameter pengamatan.

Tabel 2 Data kategorik prinsip kahati-hatian dalam pengelolaan perikanan terhadap rata-rata nilai parameter pengamatan

No. Indikator Prinsip kehati-hatian Nilai

1 Rasio kelamin Rasio kelamin untuk populasi ikan dianggap baik

yaitu 1:1, namun beberapa tetap menjadi rasio

Dalam batasan selang kepercayaan tertentu prinsip kehati-hatian menekankan pada prinsip kecepatan tumbuh kedua parameter terhadap kisaran nilai diluar selang kelas yang ditentukan. Selang kelas yang tinggi dapat dijadikan dasar untuk kecepatan produksi dan yang rendah sebagai bagian dari keterlibatan tubuh dalam kaitannya dengan lingkungan.

b=3

b≠3

3 Faktor kondisi Faktor kondisi yang ideal adalah kondisi yang

seimbang dan mendekati nilai 1, dimana berat terendah mendekati nilai berat dugaan.

x-0,5 SB (FK)<|1|>x±0,5 SB (FK) atau

2-4

4 TKG Dalam kondisi ideal proporsi TKG seharusnya

seimbang (25:25:25:25). Namun kondisi ini berubah dengan banyaknya jumlah TKG I dan II yang menjadi banyaknya ikan muda dominan. TKG IV < 25 menunjukan tingkat hubungan recruitmen rendah dan recruitment lambat.

3-4≥50%

6 Fekunditas Prinsip kehati-hatian pada fekunditas diperhatikan

jika jumlah telur yang kecil harus jadi pedoman

terhadap kegiatan reproduksi serta sifat

produktifitas reproduksi.

≥10.000 ikan

(25)

No. Indikator Prinsip kehati-hatian Nilai

7 Diameter telur Semakin kecil diameter telur maka mulai banyak

jumlahnya dan ini cenderung ikan memijah dengan pola dan potensi keberhasilan pemijahan rendah atau tingkat yang tidak pontesial.

Kehati-hatian terhadap potensi

dan rekruitmen

8 Lm Ukuran pertama kali matang gonad harus lebih

besar ukuran rata-rata tertangkap (modus). Kehati-hatian dalam membatasi ukuran tangkap dengan proporsi yang matang tidak tertangkap.

Lm>Lc kurang tersebut sudah dalam tekanan. Penangkapan populasi ikan-ikan muda (pre-mature) yang harus dikendalikan.

Lindiidu>Lmati

10 K Besarnya k maka potensi makin tinggi dan makin

rendah nilai k perlu hati-hati dalam menetapkan target penangkapan.

≤0,5 aman

11 M Kematian alami makin tinggi dengan kondisi

lingkungan dengan hasil atau kemampuan recruetmen rendah

12 Rasio

Jika kurang maka mortalitas alami terjadi bersamaan dengan proses penangkapan. > 1 lebih hati-hati

13 Mf Laju mortalitas (Mf) harus sama dengan

mortalitas alami. Jika lebih besar Mf > Ma =

potensial risiko untuk tidak sustainability.

14 Ep Ep >0,5 jika lebih besar maka akan lebih un

stainable dan <0,5 akan berlanjut.

15 Fopt Jika Faktual>Fopt maka perlu pengendalian Fact≤Fopt akan

lebih sustain

16 Produksi Aktual

= MSY

Jika produksi aktual lebih besar dari MSY, maka

stok masih bisa tidak berlanjut. Produksi ≤MS

Sumber: Modifikasi data diolah dari berbagai sumber (FAO dan CCRF, 2016)

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Taksonomi Ikan Kurisi

Menurut (Bloch, 1791) dalam FAO (2002) taksonomi ikan kurisi adalah sebagai berikut: Filum Chordata, sub filum Vertebrata, super kelas Osteichthyes, kelas Actinopterygii, sub kelas Actinopterygii, super ordo Acanthopterygii, ordo Perciformes, sub ordeo Percoidei, family Nemipteridae, genus Nemipterus, spesies Nemipterus japonicus (Bloch 1791), nama Internasional Japanese threadfine bream, nama Indonesia Kurisi.

Morfologi Ikan Kurisi

(26)

gigi kecil membujur dan gigi taring pada rahang atas (kadang-kadang ada juga pada rahang bawah). Bagian depan kepala tidak bersisik. Sisik dimulai dari pinggiran depan mata dan keping tutup insang. Bentuk tubuh ikan kurisi yaitu badan memanjang, bentuk mulut terminal dan lubang hidung terletak di kedua sisi moncong, berdekatan satu sama lain. Rahang atas dan bawah ukurannya hampir sama dengan rahang bawah lebih menyembul. Pada kedua rahang terdapat barisan gigi berbentuk kerucut yakni gigi canin dan gigi viliform. Selain itu, ikan kurisi memiliki 7-8 tulang tapis insang pada bagian lengkung atas dan 15-18 tulang tapis insang pada lengkung bawah, dengan jumlah total 22-26 tulang tapis insang (Hukom et al. 2004) dalam (Harahap et al.2008).

Ciri-ciri ikan kurisi lainnya yaitu sirip dorsal terdiri dari 10 duri keras dan 9 duri lunak, sirip anal terdiri dari 3 duri keras dan 7 duri lunak. Ikan betina umumnya mendominasi pada ukuran tubuh yang lebih kecil dan ikan jantan mendominasi ukuran tubuh yang lebih besar. Terdapat totol berwarna jingga atau merah terang dekat pangkal garis rusuk (literalis). Sirip dorsal berwarna merah, dengan garis tepi berwarna kuning atau jingga (Fishbase 2011). Pada bagian dorsal dan lateral tubuh ikan kurisi terdapat gradiasi warna kecokelatan. Sirip caudal dan sirip dorsal berwarna biru terang atau keunguan dengan warna merah kekuningan pada bagian tepi siripnya.

Gambar5 Morfologi ikan kurisi (Nemipterus japonicus) Karakteristik Habitat/Biologis Ikan Kurisi

(27)

100-500 m). Selain itu, ikan kurisi tidak melakukan migrasi dan biasanya hidup berasosiasi dengan karang (Fishbase 2011).

Ikan kurisi bersifat dioeciousyaitu organ reproduksi jantan dan betina terbentuk pada individu berlainan. Pembuahan terjadi secaraeksternal yaitupembuahan telur oleh sperma yang berlangsung di luar tubuh induk betina. Menurut Sjafei & Robiyani(2001)ikan ini bersifat karnivora, jenis makanan yang terdapat pada lambung ikan kurisi antara lain: ikan, kepiting, ikan, gastropoda,cephalopoda, bintang laut, dan polychaeta.

Brojo & Sari (2002)mengatakan bahwa berdasarkan pola rasio kelamindenganukuran panjang ikan, ikan kurisi digolongkan kedalam kelompok yang terdiri dari ikan betina matang gonad lebih awal dan biasanya mati lebih dahulu dari pada ikan jantan, sehingga ikan-ikan dewasa yang lebih muda terutama terdiri dari ikanbetina, sementaraikan-ikan yang lebihbesarukurannyaadalah ikan jantan.

Daerah penyebaran ikan kurisi hampir terdapat di seluruh perairan Indonesia, ke utara meliputi Teluk Siam dan Philipina (Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan 2005 in Sulistiyawati 2011). Pardjoko (2001) in Priyanie (2006) mengatakan bahwa persebaran ikan kurisi di Indonesia meliputi wilayah perairan sekitar Ambon, Sumatera, jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya.

Hubungan Panjang Berat

Analisa hubungan panjang-berat bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan dengan menggunakan parameter panjang dan berat. Berat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Nilai yang didapat dari perhitungan panjang dan bobot dapat digunakan sebagai pendugaan bobot dari panjang.

Pada ikan kurisi jantan dan betina di Selat Sunda memiliki pola pertumbuhan alometrik negatif yang artinya pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan bobot. Hubungan panjang bobot ikan kurisi jantan dan betina secara berturut-turut adalah W = 0,00002L2,4844 dan W = 0,0019L2,0144 (Gambar 6). Pada analisis varian didapat nilai thit>ttab untuk regresi,

maka hubungan antara panjang baku dan bobot tubuh adalah tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Untuk ikan kurisi jantan dan betina diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 81,94% dan 70,37%. Setelah dilakukan uji t dengan selang keparcayaan 95% ikan kurisi jantan dan betina (9,1890 dan 17,0957) di perairan Selat Sunda diketahui bersifat allometrik negatif.

(28)

Gambar 6 Hubungan panjang-bobot ikan kurisi jantan dan betina Pola pertumbuhan yang sama juga ditemukan pada penelitian Amine (2012) di Gulf terhadap ikan kurisi dengan nilai b sebesar 2,733. Menurut Suwarni (2009), perbedaan pola pertumbuhan disebabkan oleh ketersediaan makanan, tingkat kematangan gonad, dan variasi ukuran tubuh ikan-ikan contoh.Ikan kurisi merupakan ikan karang demersal dan mencari makan di perairan karang sehingga dapat dimungkinkan kondisi karang di perairan Selat Sunda telah mengalami perubahan sehingga mempengaruhi jumlah makanan yang tersedia. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan panjang yang lebih dominan karena dugaan lingkungan yang kurang menyediakan makanan yang cukup bagi pertumbuhan ikan kurisi.

Nisbah Kelamin

Nisbah kelamin merupakan perbandingan antara individu jantan dan betina yang dinyatakan dalam persen dari jumlah total individu. Jumlah ikan kurisi yang tertangkap di perairan Selat Sunda, selama penelitian sebanyak 950 ekor, terdiri atas ikan jantan 434 ekor dan ikan betina 516 ekor.

(29)

Tabel3Proporsi kelamin ikan kurisidi PPI Labuan, Selat Sunda setiap pengambilan contoh

Pengambilan

contoh Waktu n

Nisbah jenis

kelamin Perbandingan thit

Jantan Betina Jantan Betina

1 April 236 75 161 1 2,15 70,87*

Berdasarkan data pada Tabel 3, bahwa di perairan Selat Sunda jumlah ikan kurisi betina lebih banyak ditemukan dari pada ikan kurisi jantan. Perbandingan jumlah jantan dengan betina untuk ikan kurisi yaitu sebesar 1:1,19. Dilanjutkan uji Chi-square dengan selang kepercayaan 95% terhadap contoh ikan kurisi jantan dan betina kemudian dinyatakan tolak H0 karena thit>ttab. Artinya dapat

disimpulkan bahwa ikan kurisi jantan dan betina berbeda nyata proporsi kelaminnya di alam.

Ikan kurisi pada penelitian kali ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Amine(2012) di Teluk Suezdimana perbandingan rasio kelamin ikan kurisi jantan dan betina dalam keadaan tidak seimbangyaitu 1:1,19. Kondisi ideal nisbah kelamin adalah 1:1 yaitu 50% jantan dan 50% betina. Hasil penelitian terhadap nisbah kelamin Ikan Kurisi N. tambuloides oleh Brojo dan Sari (2002) di TPI Labuan, Kabupaten Pandeglang sama yaitu 1:1,1 pada kisaran panjang 7,5-26,5 cm (jantan) dan 8,1-20,6 cm (betina). Namun dapat pula terjadi perbedaan proporsi yang disebabkan oleh tingkah laku ikan betina dan ikan jantan, perbedaan laju mortalitas, serta pertumbuhannya (Nasabah 1996). Adanya perbedaan pola pertumbuhan, perbedaan umur pertama kali matang gonad, dan bertambahnya jenis ikan baru pada suatu populasi ikan yang sudah ada (Nikolsky 1963). Menurut Atmadja (1984) kebanyakan ikan akan berimigrasi untuk tujuan pemijahan setelah ovarium matang, dan akan kembali ke daerah penangkapan setelah memijah.

Banyaknya betinayang ditemukan di daerah penangkapan pada waktu pengamatan dapat diduga karena ikan jantan sedang beruaya menuju feeding groundyaitu tempat untuk mencari makan dalam proses pematangan gonadnya. Rasio kelamin ini penting karena dapat digunakan untuk menduga keberhasilan pemijahan, kestabilan populasi, rekruitmen, dan menentukan konservasi sumber daya ikan agar tidak terjadi kepunahan (Saputra et al.2009).

Faktor Kondisi

(30)

lingkungan secara periodik akan memengaruhi kondisi organisme tersebut (Handayani, 2006).

Berdasarkan hasil analisis terhadap ikan kurisi selama penelitian, diketahui bahwa faktor kondisi atau kemontokan ikan baik jantan maupun betina berbeda-bedadan cenderung menurun setiap bulannya. Ikan kurisi jantan memiliki faktor kondisi terbesar pada bulan April dan terendah bulan Mei yaitu sebesar 0,9292 dan 0,6961. Ikan kurisi betina pada penelitian ini memiliki faktor kondisi yang tinggi yaitu pada waktu pengambilan contoh bulan April dan Juni sebesar 1,1241 dan 1,0807. Sedangkan faktor kondisi terendah pada pengambilan contoh bulan Agustus yaitu 0,9819 (Gambar 7). Secara keseluruhan nilai faktor kondisi rata-rata ikan kurisi betina lebih besar dibandingkan dengan ikan kurisi jantan.

Nilai faktor kondisi ikan kurisi pada penelitian ini berbeda dengan penelitian Nolaila (2013), bahwa faktor kondisi ikan betina dan jantan berada pada kisaran 0,8614-1,1056 dan 0,8308-1,0955. Perbedaan ini diduga karena faktor kondisi dipengaruhi jenis kelamin. Idealnya kisaran harga faktor kondisi nisbi antara 2-4 yang mengindikasikan ikan gemuk sedangkan jika kurang dari itu berarti ikan kurang gemuk sehingga ikan-ikan yang tertangkap pada selama penelitian diindikasikan kurang gemuk karena memiliki nilai faktor kondisi yang rendah.

Faktor kondisi kurisi jantan dan betina yang tertangkap di perairan Selat Sunda selama penelitian memiliki pola yang sama setiap bulanya seperti dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Faktor kondisi rata-rata ikan kurisi jantan dan betina di perairan Selat Sunda setiap pengambilan contoh

Faktor kondisi dapat naik turun. Keadaan ini merupakan indikasi dari musim pemijahan bagi organisme, khususnya bagi yang betina. Ketersediaan makanan akan memengaruhi faktor kondisi. Selain itu, terjadinya peningkatan nilai faktor kondisi juga diduga karena organisme yang telah mengalami pemijahan akan menggunakan energi yang diperoleh untuk pertumbuhan (Harahap dan Djamali, 2005). Pada saat makanan berkurang jumlahnya, ikan akan cenderung menggunakan cadangan lemaknya. Faktor kondisi berfluktuasi di setiap bulan pengamatan. Faktor kondisi pada bulan terendah diakibatkan oleh berkurangnya ketersediaan makanan atau jika ketersediaan makanan cukup saat itu penurunan faktor kondisi diakibatkan karena terdapat ikan-ikan yang telah mengalami pemijahan.Menurut Lagler (1961), variasi nilai faktor kondisi ini

(31)

bergantung pada makanan, umur, spesies, jenis kelamin, dan tingkat kematangan gonad.

Faktor kondisi memiliki keterkaitan dengan pola pertumbuhan. Pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif memperlihatkan bahwa kemontokan ikan tidak terlalu besar. Kemontokan ikan ini dapat dilihat berdasarkan faktor kondisi ikan kurisi. Berdasarkan hasil analisis terdapat perbedaan faktor kondisi antara ikan kurisi jantan dan betina. Faktor kondisi ikan betina lebih tinggi daripada ikan jantan hal ini berarti bahwa ikan betina lebih montok dibandingkan dengan ikan jantan meskipun memiliki pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif atau pertumbuhan panjang lebih dominan daripada bobot.

Fekunditas

Pengamaan fekunditas dilakukan pada ikan yang memiliki TKG III dan TKG IV. Jumlah ikan kurisi untuk pengamatan fekunditas yaitu sebanyak 147 ekor. Hasil analisis hubungan fekunditas dan panjang tubuh ikan kurisi yang tertangkap pada bulan April-Agustus, menunjukkan fekunditas berkisar antara 1705–207894 dengan rata-rata 53264.

Berdasarkan hasil penelitian Brojo dan Sari (2002) fekunditas yang didapatkan pada ikan kurisi berkisar antara 25079 - 170888 butir telur. Variasi fekunditas ini disebabkan oleh adanya kelompok ikan yang baru memijah dan sudah memijah, sehingga produksi telur cenderung lebih tinggi daripada ikan yang baru memijah. Selain itu, variasi fekunditas tersebutjuga disebabkan adanya penyebaran produksi telur yang tidak merata, fertilitas, intensitas penangkapan, ukuran telur, kondisi perairan, kepadatan populasi, dan ketersediaan makanan (Warjono 1990).

Fekunditas atau jumlah telur yang dapat dihasilkan pada setiap induk ikan kurisi berbeda-beda tergantung ukuran, umur dan tersedianya makanan. Makin besar induk makin besar jumlah telur yang dikeluarkannya (Hamzah, 2004). Variasi fekunditas ini disebabkan oleh adanya kelompok ikan yang baru memijah dan sudah memijah, sehingga produksi telur cenderung lebih tinggi daripada ikan yang baru memijah. Selain itu, variasi fekunditas tersebutjuga disebabkan adanya penyebaran produksi telur yang tidak merata, fertilitas, intensitas penangkapan, ukuran telur, kondisi perairan, kepadatan populasi, dan ketersediaan makanan (Warjono 1990).

Tingkat Kematangan Gonad

(32)

Tingkat kematangan gonad ikan kurisi jantan dan betina yang tertangkap di perairan Selat Sunda selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Tingkat kematagan gonad ikan kurisi jantan (A) dan betina (B) Persentase tingkat kematangan gonad ikan kurisi yang ditangkap di perairan Selat Sunda pada bulan April-Agustus 2015berbeda-beda,baik jantan maupun betina. Ikan kurisi jantan yang matang gonad terdapat pada bulan April, Mei dan Juni sedangkan betina bulan April, Mei, Juni, Juli dan Agustus. Ikan-ikan yang tertangkap selama penelitian didominasi oleh ikan-ikan yang belum matang gonad (I dan II) yang belum sempat bereproduksi. Ikan kurisi jantan dan betina yang memiliki TKG I dan II paling banyak terdapat pada bulan Juli (Gambar 8).

Komposisi tingkat kematangan gonad (TKG) dapat digunakan untuk menduga waktu pemijahan pada ikan. Ketidak seragaman perkembangan gonad yang didapatkan selama penelitian diduga adanya dua kelompok ikan yang waktu pemijahannya berbeda (Brojo dan Sari 2002). Musim pemijahan tidak dapat diduga secara pasti karena bersifat temporal. Pada penelitian ini dapat diduga bahwa musim pemijahan ikan kurisi di Selat Sunda terjadi pada bulan April, Mei dan Juni. Hal ini dimungkinkan karena sifat ikan yang bermigrasi secara lokal menuju feeding ground maupun spawning ground, sehingga energi yang lain dapat digunakan untuk perkembangan gonad.

Bervariasinya TKG yang diperoleh pada setiap waktu pengambilan sampel menunjukkan bahwa ikan diduga memijah sepanjang tahun. Berdasarkan hasil pengambilan contoh selama penelitian memiliki kesamaan yaitu persentase jumlah ikan belum matang gonad lebih banyak dibandingkan dengan ikan matang

(33)

gonad. Ketidakseragaman perkembangan gonad yang didapatkan selama penelitian diduga adanya dua kelompok ikan yang waktu pemijahannya berbeda (Brojo dan Sari 2002). Perubahan TKG pada setiap ikan berbeda karena sebanding dengan perubahan morfologi, tingkah laku, dan sifat fisiologis.

Indeks Kematangan Gonad (IKG)

Indeks kematangan gonad merupakan nilai dalam persen sebagai hasil perbandingan antara berat gonad dengan berat tubuh ikan termasuk gonadnya. Tampubolon (2000), menyimpulkan bahwa dengan naiknya TKGterjadi kenaikan nilai IKG rata-rata pada tingkat kematangan gonad.Pada ikan kurisi jantan dan betina nilai rata-rata IKG mengalami peningkatan pada pengambilan sampel bulan April, Juni, dan Agustus hingga TKG IV sedangkan pada pengambilan sampel bulan Mei dan Juli ikan jantan dan betina mengalami penurunan indeks kematangan gonad pada TKG III (Gambar9). Ikan kurisi jantan maupun betina memiliki nilai IKG yang berfluktuasi setiap bulannya. Umumnya nilai IKG akan semakin tinggi seiring dengan bertambahnya nilai TKG namun pada beberapa bulan pengamatan nilai IKG turun saat TKG naik (Mei, Juli dan Agustus)pada ikan kurisi jantan. Hal tersebut dapat diakibatkan Tingkat Kematangan Gonad yang rendah, atau belum terjadi pada fase matang gonad.Penurunan IKG diduga dapat diakibatkan karena banyak TKG III ditemukan dan pemijahan diindikasikan terjadi pada TKG III, sehingga pada TKG IV atau V mengalami penurunan. Namun pada dasarnya pemijahan dimungkinkan terjadi saat ikan berada pada TKG IV sebab telur-telur dan sperma sudah berkembang dengan baik dan siap dipijahkan.

Nilai IKG maksimum ikan kurisi jantan terdapat pada bulan Mei dan ikan kurisibetina terdapat pada bulan April sedangkan nilai IKG minimum ikan kurisi jantan dan betina terdapat pada bulan Juli. Lebih lanjut, secara keseluruhan dari gambar tersebut menunjukkan bahwa IKG ikan kurisi betina relatif lebih tinggi dibandingkan ikan jantan pada setiap TKG.IKG betina relatif lebih tinggi dibandingkan ikan jantan pada setiap TKG hal ini karena bobot gonad ikan betina lebih besar sesuai dengan pendapat Biusing (1998) bahwa pada umumnya nilai indeks kematangan gonad jantan lebih rendah daripada betina.

(34)

Gambar9Indeks kematangan gonad ikan kurisi bulan April – Agustus Hal yang sama ditemukan pada penelitian Nolaila (2013), bahwa nilai IKG ikan kurisi betina lebih tinggi dibandingkan dengan IKG ikan kurisi jantan seperti yang diungkapkan oleh Yustina &Arnentis (2002) bahwa ikan betina pada umumnya memiliki Indeks Kematangan Gonad (IKG) yang lebih besar daripada ikan jantan. Hal ini dikarenakan pada ovari butir-butir telur akan mengalami perkembangan, sehingga semakin besar diameter telur IKG akan semakin meningkat. Effendie (1997) hal ini menunjukkan bahwa bobot gonad akan mencapai maksimal saat ikan memijah, kemudian menurun secara cepat selama berlangsung pemijahan sampai pemijahan selesai.

Nilai IKG ikan akan bervariasi, baik jantan maupun betina. Nilai IKG dari ikan bervariasi tergantung dari nilai kematangannya. Nilai IKG akan semakin tinggi seiring dengan bertambahnya nilai TKG.Biusing (1998)menyatakan bahwa pada umumnya nilai IKG betina lebih tinggi daripada jantan karena pertumbuhan ikan betina cenderung tertuju pada perkembangan gonad. Sedangkan menurut Yustina dan Arnentis (2002), dikarenakan pada ovari butir-butir telur akan mengalami perkembangan, maka semakin besar diameter telur IKG akan semakin meningkat.

Diameter Telur

Diameter telur ikan kurisi berkisar pada 0,025-1,000 mm. Berdasarkan sebaran frekuensi diameter telur dapat diketahui bahwa ikan kurisi hanya memiliki satu modus ukuran diameter telur(0,2728-0,3337 mm). Diameter telur ini bervariasi dengan ukuran yang berbeda. Maka dapat diindikasikan bahwa pola pemijahan dari ikan kurisi adalah total spawner atau memijah dalam waktu pendek, artinya ikan melakukan pemijahan pada satu periode dan melepaskan telur-telurnya sekaligus dalam waktu yang singkat. Di bawah ini merupakan sebaran frekuensi diameter telur ikan kurisi yang diamati (Gambar 10).

(35)

Hasil yang sama ditunjukan pada penelitian yang dilakukan oleh Brojo dan Sari (2002) di Labuan, berdasarkan keseragaman ukuran diameter telur yang diteliti bahwa ikan kurisi memijah pada satu periode dalam setiap masa pemijahan, dan melepaskan telur-telurnya sekaligus dalam jangka waktu singkat (total spawner), dengan ukuran diameter terbesar 0,53 mm. Pada umumnya ikan yang tergolong total spawner memiliki ukuran diameter telur yang kecil, fekunditas yang besar, dan musim pemijahan yang tetap (Connell 1987 in Pellokila 2009). Menurut Scott (1979) in Siregar (1989) diameter telur dipengaruhi oleh faktor genetis, lingkungan, dan makanan yang dikonsumsi oleh individu.

Diameter telur ikan kurisi betina yang tertangkap di perairan Selat Sunda selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Sebaran frekuensi diameter telur ikan kurisi

Prabhu (1956) dan Kagwade (1968) dalam Warjono (1990), tipe pemijahan ikan berhubungan dengan perkembangan diameter telur dalam ovarium. De Jong (1940) dalamWarjono (1990) menyatakan bahwa apabila telur yang berada dalam ovarium berukuran sama, maka sifat pemijahan spesies tersebut pendek (total). Sebaliknya apabila telur yang berada dalam ovarium tidak berukuran sama, maka sifat pemijahan spesies tersebut panjang (partial).

Pada umumnya ikan perairan umum memiliki tipe pemijahan total spawner, hal ini terkait dengan strategi reproduksi yang dilakukan oleh masing-masing spesies ikan. Biasanya ikan dengan tipe memijah total spawner dan bersifat parental care memiliki fekunditas yang kecil jika dibandingkan dengan ikan yang memiliki tipe pemijahan yang sama tetapi tidak melindungi telurnya (Siregar 1989).

Ukuran pertama kali matang gonad

(36)

Ukuran pertama kali matang gonad ikan kurisi jantan dan betina yang tertangkap di perairan Selat Sunda selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Ukuran pertama kali matang gonad ikan kurisi jantan (A) dan betina (B) di perairan Selat Sunda

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode Spearman-Karber, ukuran pertama kali ikan kurisi jantan dan betina matang gonad adalah 338-339 mm dan 350-353 mm (Gambar 11). Hal ini menunjukkan bahwa ikan kurisi jantan lebih cepat matang gonad dibandingkan betina

Ukuran pertama kali matang gonad ikan kurisi pada penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Hidayat (2015) di perairan Teluk Banten dimana ikan kurisi betina mengalami matang gonad duluan dari ikan jantan (253 mm dan 245). Udupa (1986) menyatakan bahwa individu dari satu kelas panjang yang sama tidak selalu mencapai panjang pertama kali matang gonad pada ukuran sama karena ukuran pertama kali matang gonad sangat bervariasi diantara maupun dalam jenis ikan itu sendiri.

Sulistiono et al. (2001) menyatakan bahwa perbedaan ukuran pertama kali matang gonad pada ikan jantan dan betina dapat disebabkan oleh parameter pertumbuhan yang berbeda-beda. Setiap jenis ikan dan species pada waktu pertama kali matang gonad memiliki ukuran yang tidak sama. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi ekologis perairan yang menyebabkan ikan-ikan muda yang berasal dari telur yang menetas pada waktu bersamaan akan mencapai tingkat kematangan gonad pada ukuran yang berlainan (Blay dan Egeson in Pellokila 2009). Ukuran pertama kali ikan matang gonad juga dipengaruhi oleh kelimpahan, ketersediaan makanan, suhu, periode, arus, ukuran, dan sifat fisiologis ikan itusendiri (Nikolsky 1963).

0

100 150 200 250 300 350 400 450

P

100 150 200 250 300 350 400 450

(37)

Dihubungkan dengan kisaran panjang ikan yang tertangkap selama penelitian ternyata berada pada kisaran Lm tersebut. Hendaknya tidak menangkap

sebagian ikan dengan panjang yang sama atau lebih besar dari Lm untuk

bereproduksi, agar tidak mengganggu proses perkembangbiakan untuk kelestarian sumberdaya. Menurut Gulland in Herianti dan Djamal (1993) keadaan spawning stock yang rendah sehingga menyebabkan ketidakmampuan menghasilkan rekruitmen di masa mendatang sangatlah berbahaya, yang akhirnya akan menyebabkan recruitment overfishing.

Lm bergantung pada faktor genetik dan lingkungan (Mustac dan Sinovcic

2011). Selain itu menurut Jennings et al. (2001) tingginya intensitas penangkapan mengakibatkan ikan-ikan yang belum matang gonad akan matang gonad lebih awal daripada seharusnya.

Menurut Sentan dan Tan (1975) laju pertumbuhan ikan kurisi betina di Laut Andaman lebih rendah daripada ikan jantan setelah tahun kedua. Hal ini terjadi karena untuk mencapai matang gonad, energi yang digunakan untuk pertumbuhan gonad lebih besar daripada untuk pertumbuhan tubuhnya.

Sebaran Frekuensi Panjang dan Kelompok Umur

Pada lokasi pengambilan sampel di perairan Selat Sunda, ikan kurisi yang tertangkap memiliki kisaran panjang tubuh 107–330 mm. Ikan kurisi jantan memiliki ukuran panjang baku berkisar 107-350 mm. Sedangkan ikan kurisi betina memiliki panjang baku berkisar 115-301 mm.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kerdgari et.al (2009) di Persian ikan kurisi jantan memiliki panjang 94-273 mm sedangkan ikan betina memiliki panjang 110-263 mm. Berdasarkan hasil pengelompokkan dalam kelas panjang didapatkan kelas panjang dengan frekuensi berbeda-beda. Menurut Lagler (1977) in Gumilar (2011), perbedaan ukuran ikan antar jenis kelamin kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik. Sebaran frekuensi panjang digunakan untuk menduga kelompok umur ikan kurisi di Selat Sunda, hal ini dilakukan karena frekuensi panjang berasal dari kelompok umur yang sama dan cenderung bervariasi (Oktaviyani 2013).

Umur merupakan alat penting di dalam biologi perikanan. Data umur yang dihubungkan dengan data panjang dan berat dapat memberikan keterangan tentang umur pada waktu ikan pertama kali matang kelamin, lama hidup, mortalitas, pertumbuhan dan reproduksi. Analisis sebaran frekuensi panjang dapat digunakan untuk menduga umur ikan dan kelompok umur, karena frekuensi panjang ikan tertentu umumnya berasal dari umur yang sama dan cenderung membentuk sebaran normal. Grafik pertumbuhan Ikan kurisi jantan dan betina mengalami pergeseran ke arah kanan (Gambar 12). Pergeseran ke arah kanan menunjukkan adanya pertumbuhan. Selain itu selama pengambilan contoh juga ditemukan adanya kelompok umur baru yang datang (rekruitment) pada bulan-bulan tertentu.

(38)

Gambar 12 Kelompok umur ikan kurisi jantan dan betina bulan April-Agustus 2015

Rekruitment ikan kurisi jantan dan betina diduga terjadi pada bulan Mei dan bulan Juni. Hal ini dikarenakan banyak ditemukan ikan-ikan yang memiliki TKG I. Hal ini membuktikan bahwa adanya faktor-faktor yang menyebabkan ikan kurisi mengalami pertumbuhan yang tinggi di perairan Selat Sunda. Hal ini dapat terjadi karena pola pertumbuhan, ukuran pertama kali matang gonad, dan perbedaan masa hidup, serta adanya pemasukan jenis ikan baru pada suatu populasi ikan yang sudah ada (Nikolsky 1963 in Suwarni 2009).

Keadaan jumlah ikan dari tiap kelas dalam komposisi yang ada dalam perairan pada suatu saat tertentu bergantung pada rekruitmen yang terjadi tiap tahun dan jumlah ikan yang hilang dari perairan disebabkan karena diambil oleh manusia atau dieksploitasi atau karena mati secara alami.

Dalam penggunaan metode NORMSEP (Normal Separation) yang terdapat dalam program FISAT II (FAO-ICLARM Stock Assessment Tool) sangat diperhatikan nilai indeks separasi. Menurut Hasselblad (1996), Mc New & Summerfelt (1978) serta Clark (1981) in Sparre & Venema (1999) menjelaskan bahwa indeks separasi menggambarkan kualitas pemisahan dua kelompok umur yang berdekatan. Apabila indeks separasi kurang dari dua (<2) maka tidak mungkin dilakukan pemisahan kelompok umur karena akan terjadi tumpang tindih dengan kedua kelompok umur tersebut. Berdasarkan Tabel 4, semua indeks separasi yang diperoleh lebih dari dua (>2). Hal ini menunjukkan bahwa hasil pemisahan kelompok umur ikan kurisi dapat diterima dan digunakan untuk analisis berikutnya.

(39)

Tabel 4 Sebaran kelompok umur ikan kurisi jantan dan betina di Selat Sunda setiap pengambilan contoh

Bulan

Nilai Tengah

(mm) Simpangan Baku Jumlah Populasi Indeks Separasi

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

April 191,18 184,61 32,310 23,340 75 164 - -

Koefisien pertumbuhan (K) didefinisikan sebagai parameter yang menyatakan kecepatan kurva pertumbuhan dalam mencapai panjang asimtotiknya

( ∞) dari pola pertumbuhan ikan (Sparre and Venema 1999). Hasil analisis parameter pertumbuhan ikan kurisi yaitu koefisien pertumbuhan dan panjang

infinitif ( ∞) serta umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol (t0)

dapat dilihat pada Tabel5.

Tabel5 Parameter pertumbuhan ikan kurisi di PPI Labuan, Selat Sunda Jenis kelamin Parameter Pertumbuhan

∞ (mm) K (tahun) t0 (tahun)

Jantan 221,83 0,54 -0,13

Betina 259,76 0,46 -0,19

Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy yang terbentuk untuk ikan kurisi jantan dan betina terlihat pada Gambar13.

(40)

Ikan kurisi jantan memiliki koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0,54 dan

panjang asimtotik ( ∞) sebesar 221,83 mm. oefisien pertumbuhan (K) untuk

ikan kurisi betina sebesar 0,46 dan panjang asimtotik sebesar 259,76 mm. ∞ ikan

kurisi betina lebih besar dibandingkan ikan kurisi jantan sedangkan nilai K atau laju pertumbuhan ikan kurisi jantan lebih besar dari pada ikan kurisi betina. Hal ini menujukkan bahwa ikan kurisi betina lebih lama dalam mencapai panjang infinity dan lebih cepat mati. Jadi semakin tinggi nilai koefisien pertumbuhan, maka ikan semakin cepat mencapai panjang asimtotik dan beberapa spesies kebanyakan diantaranya berumur pendek. Sabaliknya ikan yang memiliki nilai koefisien pertumbuhan rendah maka umurnya semakin tinggi karena lama untuk mencapai nilai asimtotiknya (Spare & Venema 1999).

Pada Gambar 13 dapat disimpulkan bahwa laju pertumbuhan ikan kurisi tidak sama setiap rentang kehidupannya. Ikan yang berumur muda memiliki laju pertumbuhan lebih cepat dibandingkan ikan berumur tua.

Nilai K pada parameter pertumbuhan dapat menentukan seberapa cepat ikan mencapai panjang asimtotik (L∞). Apabila nilai rendah, maka ikan akan memerlukan waktu yang lama untuk mencapai panjang maksimumnya begitu juga sebaliknya. Nilai K yang tinggi juga dapat menunjukan cepat pulihnya kondisi perairan dari tekanan penangkapan, sedangkan nilai K yang berbeda diduga dipengaruhi oleh faktor makanan, kompetitor, pencemaran, dan faktor genetik (Sutjipto et al 2013).

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, ikan kurisi di perairan yang berbeda memiliki parameter pertumbuhan yang berbeda-beda. Priyanie (2006) meneliti ikan kurisi (Pristipomoides filamentosus) di perairan Pelabuhanratu memiliki koefisien pertumbuhan (K) yang lebih kecil (0,146) dan panjang asimtotik yang lebih besar (712,83). Hal ini dikarenakan adanya perbedaan jenis dan kondisi lingkungan perairan. Menurut Priyanie (2006) kondisi lingkungan tempat hidup ikan memegang pengaruh yang kuat terhadap pertumbuhan ikan. Keadaan lingkungan perairan yang buruk akan mempengaruhi kisaran ukuran ikan yang tertangkap dalam kaitannya dengan ketersediaan makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan ikan (Komara 1983 dalam Brojo & Sari 2002 ). Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Laju mortalitas merupakan sebuah pengukur peluang kematian ikan tertentu pada interval waktu tertentu. Aziz (1989) menyatakan bahwa jika penangkapan dilakukan terus menerus untuk memenuhi permintaan konsumen tanpa adanya suatu usaha pengaturan, maka sumberdaya hayati ikan dapat mengalami kelebihan tangkap dan berakibat mengganggu kelestarian sumberdaya hayati. Dua pendekatan dasar untuk menghitung laju mortalitas di dalam pengelolaan sumberdaya perikanan laut yaitu mortalitas tahunan (A) dan laju mortalitas total seketika (Z).

(41)

Tabel6 Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan kurisi

Parameter Nilai (per tahun)

Jantan Betina

Mortalitas total (Z) 1,1712 1,8946

Mortalitas alami (M) 0,1893 0,1455

Mortalitas penangkapan (F) 0,9819 1,7491

Eksploitasi 0,8384 0,9232

Mortalitas dibedakan menjadi mortalitas alami dan mortalitas penangkapan. Mortalitas alami merupakan mortalitas yang disebabkan pemangsaan, penyakit, stress, pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Berdasarkan nilai mortalitas yang didapatkan menunjukan bahwa nilai mortalitas penangkapan (F) ikan jantan dan betian sebesar 0,9819 dan 1,7491 per tahun lebih tinggi dibandingkan dengan nilai mortalitas alami (M) ikan jantan dan betina sebesar 0,1893 dan 0,1455 per tahun. Hal ini mengindikasikan mortalitas ikan kurisi didominasi oleh kegiatan penangkapan. Semakin besar aktivitas penangkapan maka sumberdaya ikan akan semakin terancam. Menurut Gulland 1971 dalam Pauly 1984, nilai laju eksploitasi optimal (E) adalah 50%. Laju eksploitasi ikan kurisi jantan dan betina pada penelitian ini didapatkan sebesar 83,84% dan 92,32%. Angka tersebut menunjukan bahwa ikan kurisi telah dieksploitasi. Hal ini disebabkan adanya tekanan penangkapan yangtinggi terhadap ikan kurisi di Selat Sunda. Penangkapan berpengaruh terhadap perubahan populasi ikan di suatu perairan (Masrikat 2012).

Ikan yang mempunyai mortalitas tinggi adalah ikan yang mempunyai siklus hidup yang pendek. Potensi keberlanjutan rendah karena eksploitasi tinggi. Pada populasinya hanya sedikit variasi umur dan pergantian stok berjalan relatif cepat serta mempunyai data reproduksi tinggi. Kecepatan eksploitasi atau pendugaan kematian karena penangkapan adalah kemungkinan ikan mati karena penangkapan selama periode waktu tertentu, dimana semua faktor penyebab kematian berpengaruh terhadap populasi sedangkan pengharapan kematian tahunan penyebab alamiah adalah peluang dimana seekor ikan mati oleh proses waktu yang diamati (Aziz,1989).

Model Surplus Produksi

Pendugaan potensi sumberdaya ikan kurisi (Nemipterus japonicus) dilakukan dengan menggunakan data hasil tangkapan ikan kurisi yang ditangkap dan didaratkan di Kabupaten Pandeglang serta upaya penangkapan yang menggunakan alat tangkap cantrang. Tujuan penggunaan model surplus produksi adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang (MSY) (Sparre & Venema 1999).

Gambar

Gambar 1 Hubungan pengkajian stok ikan terhadap pengelolaan perikanan
Gambar 2Kerangka pemikiran
Gambar4 Kerangka Kerja
Tabel 1 Penentuan TKG secara morfologi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengelolaan arsip surat merupakan salah satu persoalan yang sering dihadapi oleh suatu instansi yang masih menerapkan kegiatan administrasi secara manual seperti yang

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah pasangan data produksi dan kualitas lahan (tanah dan iklim). Data sekunder dikumpulkan dari beberapa perkebunan kelapa sawit

Rugi tahun-tahun lalu yang dapat diperhitungkan (100%) Rugi tahun berjalan yang dapat diperhitungkan (100%) Selisih kurang karena penjabaran laporan keuangan Pendapatan

Surakarta: Univ е rsitas Muhammadiyah

Produk pengembangan direvisi berdasarkan penilaian ahli media pembelajaran dan ahli materi, produk hasil revisi diujicobakan secara perorangan produk pengembangan media

PERENCANAAN KEBUTUHAN TENAGA KERJA DAN BAHAN/MATERIAL PADA PROYEK PEMBANGUNAN GEDUNG MUSEUM DAN RISET ENERGI &amp; MINERAL.. Universitas Pendidikan Indonesia| repository.upi.edu

Program pelatihan dilakukan sesuai dengan perencanaan metode pelatihan yang sudah dibuat sebelumnya dan penggunaan materi yang telah dibuat sebelumnya dan pada