STUDI ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA,
KONSUMSI PANGAN, SERTA DENSITAS GIZI PADA
MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTAGELAR JAWA BARAT
LINDA DWI JAYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya, Konsumsi Pangan, serta Densitas Gizi pada Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
RINGKASAN
LINDA DWI JAYANTI. Studi Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya, Konsumsi Pangan, serta Densitas Gizi pada Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat. Dibimbing oleh SITI MADANIJAH dan ALI KHOMSAN.
Penilaian pola konsumsi pangan merupakan metode yang dapat digunakan untuk mengetahui keadaan gizi suatu masyarakat. Menurut Park et al. (2005), pola konsumsi pangan masyarakat umumnya dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, demografi, dan faktor gaya hidup, serta berkaitan dengan risiko beberapa penyakit degeneratif. Leyna et al. (2010) menambahkan bahwa pola konsumsi pangan masyarakat berhubungan signifikan dengan kondisi ketahanan pangan masyarakat. Salah satu metode penilaian pola konsumsi pangan secara kualitatif yang dapat merefleksikan kecukupan gizi individu adalah dengan penilaian keanekaragaman dan kualitas zat gizi pangan (Swindale & Billinsky 2005). Konsep densitas zat gizi pangan kemudian dikembangkan untuk mengidentifikasi jenis-jenis makanan yang mengandung cukup gizi dengan biaya yang relatif terjangkau sehingga dapat meminimalisasi pengeluaran makanan, khususnya di daerah perdesaan (Drewnowski 2010). Kasepuhan Ciptagelar merupakan salah satu perkampungan masyarakat tradisional di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat yang masih memelihara warisan budaya dan sistem pertanian tradisional. Kasepuhan ini dinilai memiliki sistem ketahanan pangan yang baik serta kebiasaan makan yang khas sehingga menarik untuk dikaji lebih dalam.
Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis aspek sosial ekonomi dan budaya, pola konsumsi pangan, serta densitas asupan zat gizi pada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1) menganalisis aspek sosial ekonomi rumah tangga; 2) menganalisis kebiasaan makan rumah tangga, meliputi frekuensi konsumsi pangan, preferensi pangan, dan prioritas pemberian pangan; serta sosio-budaya pangan rumah tangga; 3) menganalisis konsumsi pangan rumah tangga serta densitas energi dan zat gizi pangan; 4) menganalisis tingkat kecukupan serta densitas asupan zat gizi rumah tangga; dan 5) menganalisis keterkaitan antara karakteristik sosial ekonomi, kebiasaan makan, dan budaya pangan dengan tingkat kecukupan gizi dan densitas asupan zat gizi rumah tangga.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dengan lokasi penelitian yaitu di Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Total contoh sebanyak 65 rumah tangga diambil dengan menggunakan teknik simple random sampling dari total populasi 108 rumah tangga. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik sosial ekonomi rumah tangga, sosio-budaya pangan, kebiasaan makan, dan konsumsi pangan dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan responden. Data sekunder meliputi gambaran umum wilayah dan profil Desa Sirnaresmi dikumpulkan melalui penelusuran pada Pemerintahan Desa, Kecamatan dan Kabupaten, serta Badan Pusat Statistik tingkat Kabupaten.
kecukupan gizi rumah tangga; 2) karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dengan densitas asupan zat gizi rumah tangga; 3) faktor kebiasaan makan dengan tingkat kecukupan gizi rumah tangga; dan 4) faktor kebiasaan makan dengan densitas asupan zat gizi rumah tangga. Untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kecukupan gizi serta densitas asupan zat gizi rumah tangga digunakan analisis regresi linear berganda.
Penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata umur suami dan istri tergolong kategori dewasa menengah yaitu 30-49 tahun dan rata-rata rumah tangga tergolong keluarga kecil (3-5 orang). Lama pendidikan baik suami maupun istri adalah ≤ 6 tahun dan lebih dari 90 % suami bekerja sebagai petani. Sementara itu, sebanyak 41.5 % istri juga bekerja sebagai petani bersama suami. Rata-rata jumlah ketersediaan padi masing-masing rumah tangga sekitar 1500-3500 kg padi yang dapat digunakan selama satu tahun. Rata-rata total pengeluaran rumah tangga (Rp 393 590,-) masih lebih besar dibandingkan rata-rata pendapatan rumah tangga (Rp 285 753,-). Selain itu, persentase pengeluaran pangan rumah tangga yaitu 52.9 % masih lebih besar dibandingkan pengeluran nonpangan, yaitu 47.1%. Rata-rata frekuensi makan dalam rumah tangga sebanyak 3 kali sehari. Rata-rata preferensi pangan hewani lebih banyak dibandingkan preferensi pangan nabati. Sementara itu, preferensi pangan sayur-sayuran dan buah-buahan hampir sama meskipun frekuensi konsumsi buah-buahan pada rumah tangga tidak sesering frekuensi konsumsi sayuran. Prioritas pangan utama dalam rumah tangga, khususnya pada saat kondisi keterbatasan ketersediaan pangan adalah anak. Adanya tabu makanan masih diyakini dan dipraktikkan pada sebagian besar rumah tangga (64.6 %), khususnya pada rumah tangga yang memiliki anak perempuan/gadis dan ibu hamil.
Terdapat hubungan positif yang signifikan antara: 1) umur suami dengan tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan zat besi, dan densitas asupan protein rumah tangga; 2) umur istri dengan tingkat kecukupan zat besi rumah tangga; 3) besar keluarga dengan tingkat kecukupan protein rumah tangga; 4) frekuensi makan dengan tingkat kecukupan dan densitas asupan protein; dan 5) preferensi sayuran dengan tingkat kecukupan dan densitas kalsium. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara: 1) besar keluarga dengan densitas asupan vitamin C rumah tangga; 2) frekuensi makan dengan tingkat kecukupan dan densitas asupan vitamin A dan vitamin C; dan 3) jumlah tabu makanan yang dipraktikkan rumah tangga dengan densitas asupan protein. Sementara itu, tidak terdapat hubungan signifikan antara: 1) pendapatan rumah tangga dan ketersediaan padi dengan densitas asupan protein, kalsium, zat besi, dan vitamin; 2) preferensi sayuran dengan densitas asupan zat besi, vitamin A, dan vitamin C; dan 3) preferensi buah-buahan dengan densitas asupan vitamin A dan vitamin C.
Faktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat kecukupan energi dan zat besi rumah tangga khususnya saat berlangsung upacara adat adalah umur suami. Faktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat kecukupan kalsium rumah tangga adalah preferensi sayur-sayuran. Faktor yang berpengaruh signifikan terhadap densitas asupan protein rumah tangga adalah frekuensi makan dalam rumah tangga.
SUMMARY
LINDA DWI JAYANTI. Study of Socio-Economic and Culture, Food Consumption, and Nutrient Density in West Javanese Traditional Community. Supervised by SITI MADANIJAH and ALI KHOMSAN.
Assessment of food consumption pattern was a method that can be used to determine the nutritional status of a community. According to research of Park et al. (2005), food consumption pattern generally is influenced by social and cultural factors, demographic, and lifestyle factors, and also associated with the risk of degenerative diseases. Leyna et al. (2010) added that the people's food consumption pattern significantly associated with community food security conditions. One assessment method of the food consumption pattern could qualitatively reflect nutrients adequacy of individual was the diversity and quality assessment of food nutrients (Swindale & Billinsky 2005). And then, concept of food nutrient density was developed to identify the types of food that contained enough nutrients with relatively affordable cost so can to minimize the cost of food expenditure, especially in rural areas (Drewnowski 2010). The Ciptagelar community is one of traditional communities in Sukabumi District, West Java Province, which still preserves the cultural heritage and traditional farming systems. The Ciptagelar community is considered to have a good food security system and a unique eating habits so interesting to study more deeply.
The main objective of this study was to analyze the socio-economic and cultural aspects, food consumption patterns, and density of nutrient intake on indigenous peoples in Ciptagelar community, West Java Province. Specifically, it was aimed to: 1) analyze the socio-economic aspects of households; 2) analyze the eating habits of households, including the frequency of food consumption, the food preferences, and the feeding priority; and also the socio-cultural food of households; 3) analyze the households food consumption and the energy and nutrient density of food; 4) analyze the adequacy and density of nutrient intake of households; and 5) analyze the relationship between socio-economic characteristics, eating habits, and food culture with the adequate level and the density of nutrient intake of households.
This study used a cross-sectional study design with study sites in Ciptagelar community, Sirnaresmi village, Sukabumi District, West Java. Total eligible subjects were 65 households taken by simple random sampling technique from a total population of 108 households. Data collected included primary and secondary data. Primary data included households socio-economic characteristics, socio-cultural food, eating habits, and food consumption were collected through direct interviews with respondents. Secondary data included a general overview of the area and profiles of Sirnaresmi village collected through searches on village and district government offices, and the district-level statistics board.
factors and the adequacy level of nutrient of the households; and 4) the eating habits factors with the density of households nutrient intake. Factors that affect the adequacy level and the density of households nutrient intake were analyzed by linear multiple regression.
This study showed that the average of husbands and wives aged classified as intermediate adult category was 30-49 years and the average of family size mostly were small (3-5 people). Long education of both husbands and wives were ≤ 6 years, and more than 90% of the husbands worked as a farmer. Meanwhile, as many as 41.5 % wives also worked as a farmer with her husband. The average of availability of rice each households about 1500-3500 kg of rice that can be used for one year. The average of total households expenditure (Rp 393 590,-) was still greater than the average of households income (Rp 285 753,-). In addition, the percentage of household food expenditure (52.9%) was still higher than non-food expenditure.
The average of eating frequency in households as much as 3 times a day. Average of animal food preference more than legumes preferences. Meanwhile, the food preferences of vegetables and fruits were almost same although the frequency of consumption of fruits was not as often as the frequency of consumption of vegetables. The main priority of food in households, especially when limited food availability condition was children. The presence of food taboos still believed and practiced in the majority of households (64.6%), especially in households with girls and pregnant women.
There was a significant positive relationship between: 1) the age of husbands with the adequacy level of energy and iron, and the density of protein; 2) the age of wives with the adequacy level of iron; 3) the family size with the adequacy levels of protein; 4) the eating frequency with the adequacy level and the density of protein intake; and 5) the vegetables preference with the adequacy levels and the density of calcium. There was a significant negative relationship between: 1) the family size with the adequacy level of vitamin C; 2) the eating frequency with the dequacy level and the density of vitamin A and vitamin C; and 3) the amount of food taboos practiced with the density of protein. Meanwhile, there was no significant relationship between: 1) the households income and the availability of rice with the density of protein, calcium, iron, and vitamins; 2) the vegetables preferences with the density of iron, vitamin A, and vitamin C; and 3) the fruits preferences with the density of vitamin A and vitamin C.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
STUDI ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA,
KONSUMSI PANGAN, SERTA DENSITAS GIZI PADA
MASYARAKAT KASEPUHAN CIPTAGELAR JAWA BARAT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2014
Judul Tesis : Studi Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya, Konsumsi Pangan, serta Densitas Gizi pada Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat Nama : Linda Dwi Jayanti
NIM : I151120201
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
Prof. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis yang berjudul “Studi Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya, Konsumsi Pangan, serta Densitas Gizi pada Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan banyak masukan, saran, dan kritik yang membangun serta motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
2. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS selaku dosen penguji luar komisi dan Prof. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku moderator dalam ujian tertutup yang telah memberikan banyak saran dan masukan dalam penyempurnaan penulisan tesis ini.
3. Yayasan Bakrie Center Foundation atas beasiswa “Bakrie Graduate Fellowship” yang telah diberikan kepada penulis selama satu tahun perkuliahan.
4. Kedua orangtua, Ibu Tri Mulyati dan Bapak Sutiyono atas doa, kasih sayang, serta motivasi yang diberikan kepada penulis. Kakakku Eko Arief Cahyono, S.Hi, MEK., serta adik-adikku Lina Tri Wardani, S.Sos.I, dan Bagus Novianto atas doa dan semangat yang diberikan kepada penulis.
5. Ketua adat Kasepuhan Ciptagelar „Abah Ugi‟ beserta istri, tokoh adat, dan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
6. Rekan-rekan yang telah banyak membantu selama penelitian dan penulisan tesis: mbak Ghaida; mbak Rian; mbak Nurul; mbak Wiwi; Merita; Gumintang; Siti Ika Fitrasyah; Masajeng; Sabrina; Chantika; dan Dr. Mansur Jauhari, M.Si.
7. Seluruh teman kelas GMS 2012 dan adik kelas GMS 2013 atas persahabatan, motivasi, dan bantuan yang diberikan selama penulis melangsungkan studi dan melakukan penelitian di sekolah Pascasarjana IPB.
8. Seluruh pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan karya ilmiah ini sehingga usulan ataupun penelitian-penelitian serupa lainnya yang lebih mendalam diperlukan guna menyempurnakan hasil penelitian ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 3
Tujuan 3
Manfaat Penelitian 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
Masyarakat Tradisional 4
Pola Konsumsi Pangan 5
Kebiasaan Makan 6
Densitas Energi dan Zat Gizi Pangan 7
Densitas Asupan Zat Gizi 8
3 KERANGKA PEMIKIRAN 9
4 METODE PENELITIAN 10
Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian 10
Teknik Penarikan Contoh 11
Jenis dan Cara Pengumpulan Data 12
Pengolahan dan Analisis Data 14
Definisi Operasional 19
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 20
Gambaran Umum Kasepuhan Ciptagelar 20
Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah tangga 24
Ketersediaan Pangan Rumah Tangga 26
Akses Fisik Pangan 27
Kebiasaan Makan Rumah Tangga 29
Sosio-Budaya Pangan 36
Densitas Energi dan Zat Gizi Pangan 41
Tingkat Kecukupan Gizi 45
Densitas Asupan Zat Gizi 49
Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dan Tingkat Kecukupan Gizi 50 Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi dan Densitas Asupan Gizi 53 Hubungan Kebiasaan Makan dan Tingkat Kecukupan Gizi 55 Hubungan Kebiasaan Makan dan Densitas Asupan Gizi 56 Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Tingkat Kecukupan Gizi 58 Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Densitas Asupan Gizi 59 Faktor Kebiasaan Makan yang Mempengaruhi Tingkat Kecukupan Gizi 60 Faktor Kebiasaan Makan yang Mempengaruhi Densitas Asupan Gizi 61 6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 62
7 DAFTAR PUSTAKA 64
8 LAMPIRAN 72
DAFTAR TABEL
1 Jenis data dan cara pengumpulannya 13
2 Model persamaan estimasi kecukupan energi berdasarkan kelompok umur 14 3 Kategori skor densitas energi dan zat gizi pangan 17
4 Standar densitas asupan zat gizi 18
5 Potensi sumber daya alam Desa Sirnaresmi 21
6 Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga Kasepuhan Ciptagelar 24
7 Jumlah dan persentase pekerjaan responden 25
8 Rata-rata pendapatan dan pengeluaran rumah tangga (Rp/kap/bulan) 26 9 Ketersediaan pangan rumah tangga berdasarkan lumbung padi 27 10 Kondisi jalan desa di sepanjang Kasepuhan Ciptagelar-Desa Sirnaresmi 27 11 Jumlah penyedia bahan pangan pokok di Desa Sirnaresmi 28 12 Persentase kepemilikan kendaraan pada masing-masing rumah tangga 28 13 Frekuensi konsumsi pangan dalam rumah tangga (kali/bulan) 30 14 Jumlah dan persentase rumah tangga berdasarkan frekuensi makan 32 15 Jumlah dan persentase rumah tangga berdasarkan kebiasaan makan 33 16 Jumlah dan persentase rumah tangga berdasarkan prioritas makanan 34 17 Persentase rumah tangga berdasarkan jenis pangan yang paling disukai 35 18 Persentase rumah tangga berdasarkan cara memperoleh pangan 37 19 Persentase tabu makanan dalam rumah tangga Kasepuhan Ciptagelar 41 20 Jenis tabu makanan pada individu terkait dan alasannya 41 21 Median skor Dietary Energy Density (DED) dan Nutrient Rich Food
(NRF) 9.3 Index Value 42
22 Rata-rata asupan, angka kecukupan, serta tingkat kecukupan
gizi rumah tangga per kapita per hari 45
23 Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein rumah tangga 47 24 Klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan mineral rumah tangga 48 25 Sebaran rata-rata densitas asupan zat gizi rumah tangga 49 26 Hubungan karakteristik sosial ekonomi dan tingkat kecukupan gizi
rumah tangga 51
27 Hubungan karakteristik sosial ekonomi dan densitas asupan gizi
rumah tangga 54
28 Hubungan kebiasaan makan dan tingkat kecukupan gizi rumah tangga 55 29 Hubungan kebiasaan makan dan densitas asupan zat gizi rumah tangga 57 30 Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi tingkat kecukupan
gizi rumah tangga 58
31 Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi densitas asupan zat
gizi rumah tangga 59
32 Faktor kebiasaan makan yang mempengaruhi tingkat kecukupan zat
gizi besi rumah tangga 60
33 Faktor kebiasaan makan yang mempengaruhi tingkat densitas asupan
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran studi aspek sosial ekonomi dan budaya, konsumsi pangan, serta densitas gizi pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar 10 2 Alur penarikan contoh pada rumah tangga di Kasepuhan Ciptagelar 12 3 Median skor Nutrient Rich Food Index (NRF 9.3) dan dietary energy
density (DED) 17
4 Sebaran kualitas zat gizi pangan rumah tangga berdasarkan median skor
densitas energi dan zat gizi pangan 43
DAFTAR LAMPIRAN
1 Persentase rumah tangga berdasarkan cara pengolahan pangan 72 2 Sebaran pangan berdasarkan skor densitas energi dan densitas zat gizi
pangan 73
3 Contoh cara menghitung skor densitas energi dan densitas zat gizi
pangan 75
4 Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi tingkat kecukupan gizi 76 5 Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi densitas asupan gizi 77 6 Faktor kebiasaan makan yang mempengaruhi tingkat kecukupan gizi 78 7 Faktor kebiasaan makan yang mempengaruhi densitas asupan gizi 79
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan utama pembangunan nasional khususnya pembangunan di bidang pangan dan gizi adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai modal dasar pembangunan di masa mendatang. Adapun salah satu tujuan utama pembangunan nasional yang termasuk ke dalam target utama Millenium Development Goal (MDGs) yaitu menanggulangi masalah kemiskinan dan kelaparan pada masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010, persentase angka kemiskinan nasional adalah sebesar 15.4%, sedangkan persentase kelaparan pada anak adalah sebesar 28.7%. Persentase tersebut masih belum dapat mencapai target yang diharapkan dan masih menjadi permasalahan serius di Indonesia sehingga masih memerlukan upaya kerja keras untuk dapat mencapai target penurunan pada tahun 2015 mendatang, yaitu sebesar 7.5% untuk angka kemiskinan nasional dan 18% untuk angka kelaparan anak (Stalker 2008).
Masalah pangan dan gizi merupakan masalah yang kompleks dan saling berkaitan serta disebabkan oleh faktor yang beragam, salah satunya disebabkan oleh faktor konsumsi pangan. Oleh karena itu, pengkajian mengenai keadaan gizi masyarakat serta faktor-faktor yang mempengaruhinya sangat penting dilakukan guna pengembangan program perbaikan pangan dan gizi di masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, penilaian terhadap pola konsumsi pangan masyarakat dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk menggambarkan keadaan pangan dan gizi pada masyarakat tersebut. Menurut Park et al. (2005), pola konsumsi pangan masyarakat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, demografi, dan faktor gaya hidup, serta berkaitan dengan risiko beberapa penyakit degeneratif. Leyna et al. (2010) menambahkan bahwa pola konsumsi pangan masyarakat berhubungan signifikan dengan kondisi ketidaktahanan atau ketahanan pangan masyarakat tersebut.
Salah satu metode penilaian pola konsumsi pangan secara kualitatif yang dapat merefleksikan akses pangan rumah tangga serta menunjukkan kecukupan zat gizi individu adalah dengan penilaian keanekaragaman dan kualitas zat gizi pangan (Swindale & Billinsky 2005). Hal ini didukung oleh Azadbakht & Esmaillzadeh (2010) yang mengemukakan bahwa skor keanekaragaman pangan (dietary diversity score) memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan kejadian obesitas dan obesitas jaringan lemak perut (obesitas sentral), khususnya pada wanita. Program keanekaragaman pangan juga telah dicanangkan dan dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai salah satu upaya untuk mencapai ketahanan pangan serta untuk mengatasi masalah kerawanan pangan di Indonesia,
baik pada individu, rumah tangga, maupun pada kelompok masyarakat. Kebiasaan makan (eating habits) mampu mengindikasikan adanya
2
Selama periode tahun 2002 hingga tahun 2011 telah terjadi perubahan pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga di perdesaan dan perkotaan Indonesia. Pengeluaran makanan menurun diikuti meningkatnya pengeluaran nonmakanan. Meski demikian, persentase pengeluaran makanan di daerah perdesaan masih lebih besar jika dibandingkan pengeluaran nonmakanan, yang menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan rumah tangga di perdesaan masih lebih rendah dibandingkan di perkotaan (LIPI 2013). Berkaitan dengan hal tersebut, Drewnowski (2010) mengembangkan konsep densitas zat gizi pangan dengan tujuan untuk membantu mengidentifikasi jenis-jenis makanan yang mengandung cukup zat gizi dengan biaya yang relatif terjangkau sehingga dapat meminimalisasi pengeluaran makanan dengan tetap memperoleh asupan zat gizi yang cukup dari makanan tersebut.
Berdasarkan konsep densitas zat gizi pangan, selanjutnya dikembangkan pula konsep densitas asupan zat gizi yang digunakan untuk mengetahui jumlah asupan zat gizi dari makanan yang sebaiknya dibatasi konsumsinya untuk meningkatkan kualitas kesehatan (Drewnowski 2005, 2009). Densitas asupan zat gizi yang cukup baik pada individu ataupun rumah tangga dapat mengindikasikan kecukupan zat gizi dan kualitas pangan yang baik. Selanjutnya, dengan mengetahui kualitas pangan yang dikonsumsi akan dapat memfasilitasi individu atau rumah tangga untuk memperoleh makanan yang menyehatkan serta membentuk pola konsumsi yang lebih baik (Kennedy 2008).
Konsep densitas asupan zat gizi di daerah perdesaan umumnya dikembangkan untuk menganalisis pola konsumsi pangan di daerah perdesaan serta pengaruhnya terhadap kejadian masalah-masalah gizi yang terdapat di daerah tersebut. Selain itu, konsep densitas asupan zat gizi digunakan juga untuk mengidentifikasi kuantitas serta kualitas asupan zat-zat gizi dari pangan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat perdesaan (Drewnowski 2010).
3 Perumusan Masalah
Indikator utama dalam menganalisis ketahanan pangan baik pada individu, rumah tangga, ataupun masyarakat adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan yang melibatkan keseluruhan akses terhadap pangan, serta konsumsi pangan. Adapun pola konsumsi pangan rumah tangga salah satunya dipengaruhi oleh sosial ekonomi serta budaya masyarakat setempat. Kebiasaan konsumsi pangan yang beragam dan mengandung densitas zat gizi yang cukup dapat memberikan kontribusi asupan zat gizi yang cukup bagi tubuh. Berdasarkan jumlah dan jenis konsumsi pangan suatu rumah tangga dapat diketahui asupan zat-zat gizi yang telah terpenuhi serta zat-zat gizi yang harus dibatasi sesuai dengan kondisi tubuh dan kesehatan masing-masing individu dalam rumah tangga tersebut.
Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi dan budaya, pola konsumsi pangan, serta densitas asupan zat gizi rumah tangga pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, antara lain:
1. Bagaimana hubungan aspek sosial ekonomi dengan tingkat kecukupan gizi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar?
2. Bagaimana hubungan kebiasaan makan dan budaya pangan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dengan densitas asupan zat gizi?
3. Bagaimana pengaruh sosial ekonomi, budaya, dan kebiasaan makan terhadap tingkat kecukupan serta densitas asupan zat gizi pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar?
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis aspek sosial ekonomi dan budaya, pola konsumsi pangan, serta densitas asupan zat gizi pada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis aspek sosial ekonomi rumah tangga
2. Menganalisis kebiasaan makan rumah tangga, meliputi frekuensi konsumsi pangan, preferensi pangan, dan prioritas pemberian pangan; serta sosio-budaya pangan rumah tangga
3. Menganalisis konsumsi pangan rumah tangga serta densitas energi dan zat gizi pangan
4. Menganalisis tingkat kecukupan serta densitas asupan zat gizi rumah tangga
4
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah diperolehnya informasi spesifik mengenai aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat tradisional Kasepuhan Ciptagelar di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat sehingga diharapkan dapat memperkaya khasanah pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan ketahanan pangan, pola konsumsi pangan masyarakat, serta kecukupan zat-zat gizi, baik zat gizi makro maupun zat gizi mikro pada masyarakat tersebut. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan masukan bagi masyarakat luas terkait densitas energi dan zat gizi pangan sehingga masyarakat dapat lebih selektif dalam memilih makanan yang mengandung cukup zat gizi dengan tetap meminimalisasi pengeluaran pangan.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Masyarakat Tradisional
Adimihardja (2007) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan komunitas adat atau masyarakat tradisional adalah sekelompok masyarakat yang terisolasi, baik secara fisik, geografi, maupun sosial budaya, yang sebagian besar bertempat tinggal di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Masyarakat tradisional dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat yang kehidupannya relatif masih berdasarkan pada adat istiadat setempat. Senada dengan hal tersebut, Koentjaraningrat (2002) menambahkan bahwa masyarakat tradisional adalah suatu golongan masyarakat yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan budaya, bahasa, serta adat istiadat tertentu. Adat istiadat dianggap sebagai suatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsep sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosialnya, sehingga di dalam melangsungkan kehidupannya, masyarakat tradisional berlandaskan pada cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan lama yang terus-menerus diwarisi dari nenek moyangnya. Selain itu, umumnya kehidupan masyarakat tersebut belum terlalu banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar lingkungan sosialnya.
5 Suku Dayak di Kalimantan, masyarakat Suku Baduy dan Kasepuhan Ciptagelar di Jawa Barat, dan lain sebagainya.
Pola Konsumsi Pangan
Pola konsumsi pangan didefinisikan sebagai susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Madanijah 2010). Pola konsumsi masyarakat tersebut dapat menunjukkan tingkat keragaman pangan masyarakat yang selanjutnya dapat diamati berdasarkan parameter pola pangan harapan (PPH). Menurut Moomaw et al. (2012) pola konsumsi pangan pada suatu individu atau populasi dapat membentuk sistem pangan dan ketahanan pangan pada individu atau populasi tersebut.
Tingkat konsumsi pangan suatu individu atau rumah tangga ditentukan oleh kualitas serta kuantitas hidangan makanan yang disajikan. Kuantitas hidangan menunjukan terpenuhinya asupan zat-zat gizi yang berasal dari pangan yang diperlukan oleh tubuh, sedangkan kuantitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan zat gizi tersebut dalam tubuh. Apabila pangan yang dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan zat-zat gizi dalam tubuh, baik dari kualitas maupun kuantitasnya, tubuh akan memaksimalkan penggunaan zat-zat gizi untuk fungsi metabolisme serta untuk memperoleh kondisi kesehatan gizi yang sebaik-baiknya. Sebaliknya, apabila konsumsi pangan yang berlebih atau kurang, baik dari segi kuantitas ataupun kualitas maka dapat memicu terjadinya masalah gizi yaitu masalah gizi lebih ataupun masalah gizi kurang (Sediaoetama 2006). Selanjutnya Nguyen et al. (2013) menjelaskan bahwa pola konsumsi pangan individu baik secara kualitas maupun kuantitas menggambarkan tingkat kecukupan zat gizi serta mengindikasikan keaneragaman konsumsi pangan individu tersebut.
Konsumsi pangan individu di tingkat rumah tangga umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain; ketersediaan pangan, jenis, serta jumlah pangan dalam rumah tangga yang biasanya berkembang dari pangan pokok daerah setempat atau dari pangan yang telah ditanam. Selain itu, faktor sosial budaya wilayah setempat juga ikut mempengaruhi pola konsumsi pangan masyarakat, termasuk jenis pangan yang harus diproduksi, cara pengolahan, penyaluran, penyiapan, serta penyajian pangan. Sementara itu, pilihan atau preferensi pangan umumnya ditentukan oleh adanya faktor penerimaan atau penolakan terhadap pangan oleh individu atau populasi (Riyadi 1996).
6
Kebiasaan Makan
Kittler & Sucher (2011) mengemukakan bahwa setiap orang yang hidup di suatu wilayah dengan budaya yang berbeda-beda, secara tidak sadar akan membawa pengaruh budaya tersebut dalam hal kebiasaan makan (eating habits). Kebiasaan makan dapat didefinisikan sebagai kebiasaan dan perilaku individu atau sekelompok orang dalam memilih dan mengonsumsi pangan, yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan baik meliputi lingkuan budaya (cultural environmental), lingkungan alam (natural environmental), serta populasi (Hartog et al. 2006).
Menurut Santamaria et al. (2009), kebiasaan makan individu berhubungan signifikan dengan indeks massa tubuh (IMT), sedangkan menurut Rethaiaa et al. (2010), kebiasaan makan individu berkorelasi dengan risiko obesitas khususnya pada usia remaja. Ganasegeran et al. (2012) selanjutnya menjelaskan bahwa terdapat dua faktor penting yang berpengaruh terhadap kebiasaan makan individu yaitu faktor sosial demografi dan faktor psikologis individu. Faktor sosial demografi meliputi umur, pekerjaan ibu, serta kebiasaan konsumsi alkohol dan merokok berpengaruh terhadap kebiasaan makan individu. Sementara itu, faktor psikologis seperti perasaan sedih, marah, senang, bosan, dan lapar juga terbukti berpengaruh terhadap kebiasaan dan frekuensi makan individu, khususnya pada usia remaja dan dewasa awal.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Elgar et al. (2012) terkait dengan kebiasaan makan dalam keluarga atau rumah tangga, diperoleh hasil bahwa kebiasaan makan bersama keluarga selain baik untuk kesehatan, baik pula untuk pembentukan mental dan kestabilan emosional anak. Dengan adanya kebersamaan saat menikmati makanan, dapat memberikan kesempatan pada keluarga untuk saling berbagi masalah dan pengalaman. Orangtua pun akan dapat memberikan solusi pada masalah yang dikeluhkan anak. Berdasarkan penelitian tersebut, diketahui bahwa semakin sering makan bersama keluarga maka semakin kecil kemungkinan anak akan merasa cemas dan kesepian serta kemungkinan anak membolos sekolah atau bertengkar dengan teman. Di samping itu, makan bersama keluarga berhubungan erat dengan rendahnya masalah emosional pada anak, itulah sebabnya kebiasaan makan bersama dengan aggota keluarga sangat baik dan penting untuk dilakukan.
7 konsumsinya akan cenderung berubah ke arah pangan tinggi kalori dan natrium serta cenderung semakin rendah konsumsi pangan sumber vitamin dan mineral.
Budaya didefinisikan oleh Kittler & Sucher (2011) sebagai nilai, kepercayaan, sikap, serta praktik yang diterima oleh anggota atau sekelompok masyarakat, yang merupakan proses belajar serta diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya melalui proses enkulturasi. Koentjaraningrat (2002) menjelaskan definisi budaya berdasarkan ilmu antropologi yaitu sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Berdasarkan definisi tersebut, budaya pangan kemudian diartikan sebagai budaya sekelompok masyarakat terkait dengan pangan, baik dalam hal kebiasaan makan, nilai pangan, tabu pangan, dan lain sebagainya (Kittler & Sucher 2011). Budaya menentukan apa saja yang akan dijadikan sebagai makanan, dalam keadaan bagaimana, kapan seseorang boleh atau tidak memakannya, apa saja yang dianggap tabu/pantangan. Unsur-unsur budaya juga mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk yang kadang bertentangan dengan prinsip gizi.
Berbagai budaya memberikan peran dan nilai yang berbeda-beda terhadap suatu jenis pangan, misalnya bahan-bahan makanan tertentu karena alasan-alasan tertentu, sementara itu ada pangan yang dinilai sangat tinggi, baik dari segi ekonomi maupun sosial (Kittler & Sucher 2011). Sebagai contoh, sebagaimana diungkapkan oleh Mukhopadhyay & Sarkar (2009) bahwa pada beberapa masyarakat tradisional ditemukan masih menjunjung tinggi serta mempercayai pangan-pangan tertentu yang dianggap sebagai pantangan bagi kelompok tertentu seperti ibu hamil, ibu menyusui, serta gadis dengan alasan yang beragam. Hal tersebut mengidikasikan bahwa nilai-nilai budaya khususnya dalam hal pangan masih relatif dipertahankan dan dipercayai di dalam masyarakat tradisional.
Densitas Energi dan Zat Gizi Pangan
Densitas energi pangan didefinisikan sebagai jumlah total energi yang terkandung dalam 100 gram suatu makanan yang dikonsumsi (Barclay 2008). Sementara itu, definisi densitas zat gizi pangan hingga saat ini belum ada dan belum ditentukan secara resmi sebab masing-masing negara memiliki definisi operasional yang berbeda-beda terkait hal tersebut. Menurut Drewnowski (2009), berdasarkan Program Gizi dan Kesehatan Nasional (PNNS) di Perancis, densitas zat gizi pangan mengacu pada kandungan zat-zat gizi esensial pada makanan yang dihubungkan dengan nilai energi dari makanan tersebut. Sementara itu, berdasarkan United States Department of Agriculture (USDA) serta Departemen Pelayanan Kesehatan dan Masyarakat (US Department of Health and Human Services) di United States, densitas zat gizi pangan menyediakan sejumlah vitamin dan mineral secara signifikan serta relatif menyediakan sejumlah kecil kalori/energi (Drewnowski 2009).
Pedoman Konsumsi Pangan Amerika tahun 2005 merekomendasikan
8
yang sama (Barclay 2008). Lebih lanjut lagi, skor densitas zat gizi pangan dapat digunakan untuk mengidentifikasi kepadatan atau keanekaragaman zat gizi dalam pangan yang dikonsumsi oleh individu atau suatu populasi (Miller et al. 2009).
Menurut Drewnowski (2009), terdapat beberapa metode untuk menghitung densitas zat gizi pangan antara lain menggunakan; 1) Low Intake Method Score (LIM Score) yang hanya menghitung asupan zat gizi yang direkomendasikan untuk dibatasi, seperti asam lemak jenuh, gula tambahan, dan natrium; 2) The Nutrient Density Score (NDS) yang hanya menghitung zat-zat gizi yang asupannya dianjurkan untuk lebih banyak/harus tercukupi dengan optimal; 3) serta penilaian lain menggunakan The Nutrient Rich Food Index (NRF), yang menghitung asupan zat gizi yang direkomendasikan untuk dibatasi serta zat-zat gizi yang sebaiknya ditingkatkan asupannya karena manfaatnya bagi tubuh.
Pada The Nutrient Rich Food Index (NRF), juga terdapat beberapa metode untuk menghitung asupan-asupan zat gizi yang harus ditingkatkan serta zat gizi yang harus dibatasi. Salah satu metode yang paling umum digunakan karena tergolong detail dan melibatkan beberapa zat-zat gizi penting, baik zat gizi makro maupun zat gizi mikro untuk dihitung, yaitu NRF 9.3 (Drewnowski 2009). Adapun yang dimaksud dengan NRF 9.3 adalah terdapat 9 jenis zat gizi yang direkomendasikan untuk dipenuhi secara optimal yaitu meliputi protein, serat, vitamin A, vitamin C, vitamin E, kalsium (Ca), zat besi (Fe), magnesium (Mg), dan potasium (K); serta 3 jenis zat gizi yang harus dibatasi konsumsinya, meliputi gula tambahan, asam lemak jenuh, serta natrium (Drewnowski 2009). Selain itu, metode NRF 9.3 merupakan metode NRF yang memiliki nilai ketepatan (validity) paling tinggi berdasarkan uji validitas yang dilakukan menggunakan pembanding skor Healthy Eating Index (HEI) (Fulgoni et al. 2009).
Metode lain yang menyerupai NRF dan juga dapat digunakan untuk menentukan densitas zat gizi pangan adalah Ratio of Recommended to Restricted (RRR) (Drewnowski 2005). Skor RRR juga berfungsi untuk menentukan rasio zat-zat gizi yang dianjurkan (zat gizi baik), zat gizi yang harus dibatasi, serta energi dalam suatu pangan. Enam zat gizi yang meliputi: protein, kalsium, zat besi, vitamin A, vitamin C, dan serat digolongkan sebagai zat gizi yang direkomendasikan dan bermanfaat bagi tubuh, sedangkan lima zat gizi meliputi: energi, lemak jenuh, kolesterol, gula, dan natrium digolongkan ke dalam zat gizi yang tidak direkomendasikan dan harus dibatasi (Drewnowski 2005).
Densitas Asupan Zat Gizi
9 asupan zat gizi digunakan untuk menentukan kecukupan zat gizi dari konsumsi individu atau rumah tangga, sementara DRIs digunakan sebagai alat perkiraan secara kuantitatif dari asupan zat-zat gizi untuk merencanakan atau menilai pola konsumsi pangan individu atau rumah tangga.
Adapun perbedaan antara tingkat kecukupan gizi dan densitas asupan zat gizi yaitu tingkat kecukupan gizi dihitung berdasarkan rasio atau perbandingan antara asupan zat gizi yang dikonsumsi dengan angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan per hari, sedangkan densitas asupan zat gizi dihitung berdasarkan rasio asupan zat gizi terhadap total asupan energi dari makanan yang dikonsumsi per hari. Meski demikian, baik tingkat kecukupan gizi ataupun densitas asupan zat gizi dapat menggambarkan kecukupan zat gizi individu ataupun rumah tangga yang selanjutnya dapat mempengaruhi status gizi individu atau rumah tangga tersebut (Drewnowski 2005).
3
KERANGKA PEMIKIRAN
Konsumsi pangan yang merupakan salah satu indikator dari ketahanan pangan memegang peranan penting dalam menentukan kecukupan zat gizi serta status gizi individu atau rumah tangga. Adapun kuantitas dan kualitas konsumsi pangan suatu individu atau kelompok masyarakat salah satunya ditentukan oleh pola dan kebiasaan makan yang terbentuk dalam keluarga atau masyarakat tertentu. Sementara itu, kebiasaan makan pada rumah tangga atau kelompok masyarakat tertentu umumnya dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi rumah tangga serta budaya lingkungan setempat.
Pada masyarakat tradisional, sebagaimana masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, umumnya memiliki karakteristik sosial ekonomi dan budaya yang khas, khususnya dalam hal sistem pertanian. Sistem pertanian yang masih relatif alami dan tradisional pada masyarakat tersebut, baik dalam hal produksi, penyimpanan, pengolahan pasca panen, hingga penyiapan bahan makanan, serta larangan untuk menjual hasil pertanian secara langsung akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan rumah tangga. Selain itu, faktor akses pangan khususnya akses fisik yang meliputi: kondisi jalan, keberadaan pasar, dan juga kemudahan sarana transportasi juga berpengaruh terhadap konsumsi pangan sumber zat gizi pada masing-masing rumah tangga. Faktor-faktor lain seperti budaya, ritual tertentu, serta pantangan-pantangan pangan tertentu juga ikut menentukan dan berpengaruh terhadap konsumsi pangan masyarakat tersebut.
10
Keterangan: : hubungan yang diteliti : hubungan yang tidak diteliti
Gambar 1 Kerangka pemikiran studi aspek sosial ekonomi dan budaya, konsumsi pangan, serta densitas gizi pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Jawa Barat
4 METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian hibah BOPTN tahun 2013 yang diketuai oleh Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS yang berjudul “Ketahanan Pangan dan Gizi serta Coping Mechanism pada Masyarakat Tradisional Kasepuhan Ciptagelar di Jawa Barat”. Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah cross sectional study. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan interview mendalam pada sejumlah responden dan beberapa tokoh adat, serta
Akses Fisik Pangan: Kondisi jalan Akses pasar/warung Kepemilikan transportasi Akses transportasi
Aspek Sosial Budaya Pangan:
Cara memperoleh pangan Cara pengolahan dan
penyiapan pangan Ideologi/ nilai pangan Tabu makanan Kebiasaan Makan Rumah
tangga:
Frekuensi pangan Preferensi pangan
Prioritas pemberian pangan
Konsumsi Pangan Rumah Tangga
Densitas energi dan zat gizi pangan
Karakteristik sosial ekonomi : Umur suami dan istri Besar keluarga
Pekerjaan & pendapatan rumah tangga
Jumlah padi dalam lumbung padi
Tingkat Kecukupan Gizi Rumah tangga Densitas Asupan Zat
11 observasi langsung terkait aspek sosial ekonomi, budaya pangan dan gizi, serta pola konsumsi pangan masyarakat selama satu periode waktu tertentu.
Penelitian ini dilaksanakan pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada bulan Juli 2013 hingga Januari 2014. Pemilihan lokasi penelitian tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tergolong masyarakat terasing yang belum banyak dikenal oleh masyarakat luas. Selain itu, meskipun dinilai memiliki karakteristik sosial budaya yang menarik, pengetahuan terkait aspek sosial ekonomi serta budaya pangan dan gizi pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar masih belum banyak digali oleh masyarakat luas.
Teknik Penarikan Contoh
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumah tangga yang ada di Kasepuhan Ciptagelar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Adapun responden dalam penelitian ini meliputi suami, istri, dan beberapa tokoh adat setempat. Informasi atau data yang diperoleh dari para tokoh adat digunakan sebagai data kualitatif yang selanjutnya digunakan sebagai penunjang data kuantitatif. Berdasarkan survei awal yang dilakukan, total populasi di Kasepuhan Ciptagelar pada tahun 2013 adalah sebanyak 108 rumah tangga atau kepala keluarga (KK). Ukuran minimal contoh dalam penelitian ini dihitung menggunakan rumus berikut (Krejcie & Morgan 1970):
n = Z2α/2 .N.p.(1-p) = (1.96)2 x 108 x 0.093 (1-0.093) d2(N-1) + Z2α/2 .p(1-p) [(0.05)2 x107] + [(1.96)2 x 0.093.(1-0.093)]
= 59
Keterangan :
n = ukuran contoh penelitian yang akan dipilih
N = total populasi di lokasi penelitian yaitu 108 rumah tangga
Z α/2 = nilai peubah acak normal baku pada derajat kepercayaan p (z>z α/2) = α/2 p = proporsi rumah tangga rawan pangan di Jawa Barat (9.3%) (DKP 2009,
RAN PG 2011-2015)
d = limit error atau presisi absolut (5%)
Berdasarkan perhitungan menggunakan rumus di atas, ukuran minimal contoh yang digunakan adalah 59 rumah tangga. Selanjutnya dengan mempertimbangkan kemungkinan adanya contoh yang drop-out selama penelitian berlangsung, khususnya pada saat dilakukan recall 2 x 24 jam, total contoh yang akan dipilih ditambah dengan 10% dari jumlah ukuran minimal contoh, sehingga total contoh pada penelitian ini adalah sebesar 65 rumah tangga.
12
kurang memungkinkan serta akses yang sangat terbatas. Selanjutnya kepada setiap KK atau rumah tangga yang terpilih, diberikan nomor atau identitas tertentu untuk mempermudah proses pengacakan. Proses pengacakan dilakukan dengan menggunakan fungsi random pada program Microsoft Excel 2007. Gambar 2 di bawah ini menunjukkan alur penarikan contoh pada penelitian ini.
Purposive sampling
Simple random sampling without recovery
Gambar 2 Alur penarikan contoh pada rumah tangga di Kasepuhan Ciptagelar
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis Data yang dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri atas data primer dan sekunder, yang meliputi:
Data primer:
1. Data mengenai karakteristik sosial ekonomi rumah tangga meliputi umur, pendidikan, pekerjaan suami dan isteri, besar keluarga, dan pendapatan rumah tangga (/kap/bulan).
2. Data mengenai ketersediaan pangan rumah tangga meliputi jumlah kepemilikan lumbung padi dan jumlah padi dalam lumbung padi.
3. Data mengenai akses fisik pangan meliputi kondisi jalan, akses pasar/warung, kepemilikan serta akses transportasi.
4. Data mengenai kebiasaan makan rumah tangga meliputi: frekuensi pangan, preferensi pangan, serta prioritas pangan.
5. Data mengenai sosial budaya pangan meliputi cara memperoleh pangan, cara pengolahan dan penyiapan pangan, nilai/ideologi pangan, serta pantangan pangan (foods taboo)
6. Data mengenai konsumsi pangan meliputi recall 24 hours dan food frequency questionnaire (FFQ)
7. Data kualitatif mengenai aspek sosial ekonomi, budaya pangan dan gizi, serta pola konsumsi pangan masyakarat
Data sekunder:
1. Data mengenai demografi desa, pertanian, dan aspek ekologi meliputi curah hujan, altitude, kepemilikan lahan, serta penggunaan lahan.
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, Kab. Sukabumi (n=108 KK)
Rumah tangga yang tinggal di pemukiman sekitar kediaman Ketua adat
(n=83 KK)
13 Cara Pengumpulan Data dan Instrumen yang Digunakan
Terdapat dua cara pengumpulan data yang dilakukan, yaitu pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dan diskusi dengan responden serta observasi langsung di lokasi penelitian. Responden untuk data primer meliputi istri, suami, serta tokoh masyarakat setempat yaitu kepala desa, dukun, tokoh agama, tokoh adat, ketua pemuda, dan tokoh lain yang sering berinteraksi dengan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Sementara itu, data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran pada pemerintahan desa, kecamatan dan kabupaten, serta Badan Pusat Statistik di tingkat kabupaten.
Instrumen penelitian yang dikembangkan berupa kuesioner untuk data primer serta daftar isian untuk data sekunder. Adapun jenis data serta cara pengumpulannya secara rinci disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Jenis data dan cara pengumpulannya
Jenis data Cara pengumpulan data
A. Data primer
2. Ketersediaan pangan rumah tangga: Jumlah kepemilikan lumbung padi
14
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan Data
Proses pengolahan data yang dilakukan pada penelitian ini meliputi editing, coding, entry, cleaning, dan analisis. Coding dilakukan dengan cara menyusun code book sebagai panduan entri dan pengolahan data. Kemudian dilakukan entri data berdasarkan kode yang telah dibuat, dan selanjutnya dilakukan cleaning data untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam memasukkan data. Selanjutnya data diolah serta dianalisis secara deskriptif dan inferensia dengan menggunakan program Microsoft Excell 2007 dan program SPSS 16.0 for Windows.
Data mengenai karakteristik sosial ekonomi rumah tangga, ketersediaan pangan rumah tangga, akses fisik, serta sosial budaya gizi ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Data mengenai frekuensi pangan yang digunakan untuk menganalisis kebiasaan pangan dan mengukur konsumsi pangan secara kualitatif ditentukan menggunakan food frequency quesioner (FFQ).
Data konsumsi rumah tangga secara kuantitatif dihitung menggunakan metode recall, yaitu dengan menghitung jumlah dan jenis pangan aktual yang dikonsumsi oleh rumah tangga selama 2 x 24 jam. Data konsumsi pangan yang diperoleh kemudian dikonversikan ke dalam bentuk energi, protein, kalsium (Ca), zat besi (Fe), vitamin A, dan vitamin C menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (2007). Konversi zat gizi dihitung menggunakan rumus berikut:
Kgij = [(Bj/100) x Gij x (BDDj/100)] Keterangan :
Kgij = Kandungan zat gizi-i dalam bahan makanan-j yang dikonsumsi (g) Bj = Berat bahan makanan-j yang dikonsumsi (g)
Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan-j BDDj = Persen bahan makanan-j yang dapat dimakan (% BDD)
Perhitungan kecukupan energi dan protein rumah tangga pada penelitian ini didasarkan pada Institute of Medicine (IOM) tahun 2005. Kecukupan energi masing-masing kelompok umur dan jenis kelamin yang berbeda dihitung menggunakan rumus berikut:
Tabel 2 Model persamaan estimasi kecukupan energi berdasarkan kelompok umur
Model persamaan Kecukupan
Energi (Kal) Anak 0-9 tahun
Anak 0-2 tahun:
0-3 bulan: TEE = [89 x BB (kg) – 100] + 175 Kal 4-6 bulan: TEE = [89 x BB (kg) – 100] + 56 Kal 7-12 bulan: TEE = [89 x BB (kg) – 100] + 22 Kal 13-35 bulan: TEE = [89 x BB (kg) – 100] + 20 Kal
TEE + 0.05TEE
Anak Laki laki 3-9 tahun:
TEE = [88.5 – (61.9xU) + PA x (26.7xBB+903xTB)] + 20 Kal Keterangan :
PA = 1.0 (sangat ringan) PA = 1.26 (aktif) PA = 1.13 (ringan) PA = 1.42 (sangat aktif)
TEE + 0.1TEE
Anak Perempuan 3-9 tahun:
TEE = [135.3 – (30.8xU) + PA x (10xBB+934xTB)] + 20 Kal
15
Laki laki 10-18 tahun dengan status gizi normal:
TEE = [88.5 – (61.9xU) + PA x (26.7xBB+ 903xTB)]+ 25 Kal Keterangan :
PA = 1.0 (sangat ringan) PA = 1.13 (ringan) PA = 1.26 (aktif) PA = 1.42 (sangat aktif)
TEE + 0.1TEE
Perempuan 10-18 tahun dengan status gizi normal:
TEE = [135.3 – (30.8xU) + PA x (10xBB + 934xTB)]+ 25 Kal
Laki laki 19-64 dengan status gizi normal:
TEE = 662 – (9.53xU) + PA x (15.91xBB+ 539.6xTB) Keterangan :
PA = 1.0 (sangat ringan) PA = 1.25 (aktif) PA = 1.11 (ringan) PA = 1.48 (sangat aktif)
TEE + 0.1TEE
Perempuan 19-64 tahun dengan status gizi normal: TEE = 354 – (6.91xU) + PA x (9.36xBB+726xTB)
Keterangan :
PA = 1.0 (sangat ringan) PA = 1.27 (aktif) PA = 1.12 (ringan) PA = 1.45 (sangat aktif) Tambahan bagi perempuan hamil (BB normal):
Trimester 1 = + 0 kkal TEE = Total Energy Expenditure - total pengeluaran energi, (Kal) EB = Energi Basal
PA = koefisien aktivitas fisik
16
berat badan masing-masing individu serta dikoreksi dengan faktor koreksi mutu protein, sebagaimana berikut:
Kecukupan protein = (AKP x BB) x faktor koreksi mutu protein Keterangan :
AKP = Angka kecukupan protein (g/kgBB/hari) BB = Berat badan aktual (kg)
Faktor koreksi mutu protein dewasa = 1.3 dan bagi anak dan remaja = 1.5 Faktor koreksi mutu protein perempuan hamil = 1.2
Angka kecukupan vitamin dan mineral meliputi vitamin A, vitamin C, kalsium, dan zat besi dihitung berdasarkan AKG 2012 (LIPI 2013) menggunakan rumus berikut ini:
AKGI = (Ba/Bs) x AKG Keterangan :
AKGI = Angka kecukupan zat gizi yang dicari
Ba = Berat badan aktual sehat (kg) Bs = Berat badan standar AKG = Angka kecukupan zat gizi berdasarkan AKG 2012
Selanjutnya tingkat kecukupan gizi diperoleh dengan cara membandingkan jumlah konsumsi zat gizi tersebut dengan kecukupannya sesuai dengan kelompok umur dan jenis kelamin (LIPI 2013). Berikut rumus kecukupan zat gizi yang digunakan:
TKG = (K/AKGI) x 100% Keterangan :
TKG = Tingkat kecukupan gizi K = Konsumsi zat gizi
AKGI = Angka kecukupan zat gizi yang dicari
Menurut Departemen Kesehatan (1996), tingkat kecukupan energi dan protein dibedakan menjadi lima cut off points yaitu defisit tingkat berat (< 70% AKG), defisit tingkat sedang (70-79% AKG), defisit tingkat ringan (80-89% AKG), normal (90-119% AKG), serta berlebih (≥ 120% AKG). Adapun klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan mineral dibagi menjadi dua kategori menurut Gibson (2005), yaitu defisit apabila < 77% AKG serta cukup apabila ≥ 77% AKG.
Skor densitas energi dan densitas zat gizi pangan ditentukan berdasarkan data asupan konsumsi dari recall konsumsi 2 x 24 jam. Nilai atau skor densitas energi pangan dihitung menggunakan metode dietary energy density (DED) yang membandingkan antara jumlah asupan energi dengan total berat pangan (kkal/g), sebagaimana tercantum berikut ini (Wang et al. 2013).
Keterangan:
17 Adapun metode yang digunakan untuk menentukan densitas zat gizi pangan yaitu Nutrient Rich Food Index (NRF 9.3), yang merekomendasikan untuk mengoptimalkan konsumsi 9 jenis zat gizi esensial serta membatasi konsumsi 3 jenis zat gizi. Sembilan jenis zat gizi yang direkomendasikan untuk dioptimalkan konsumsinya yaitu protein, serat, vitamin A, vitamin C, vitamin E, kalsium (Ca), zat besi (Fe), magnesium (Mg), dan potasium (K); sedangkan tiga jenis zat gizi yang perlu dibatasi yaitu gula tambahan, asam lemak jenuh, serta natrium (Drewnowski 2009). Penentuan densitas zat gizi pangan dengan metode NRF 9.3 dihitung per 100 kkal makanan, sebagaimana berikut ini:
NRF 9.3 = ∑ 9(%DV/100kkal) - ∑ 3(%MRV/100kkal) Keterangan:
DV : Daily value (tingkat kecukupan gizi yang dianjurkan per hari) MRV : Maximum Recommended Value
Selanjutnya skor dietary energy density (DED) dan Nutrient Rich Food Index (NRF 9.3) diklasifikasikan menjadi beberapa kategori sebagaimana Tabel 3.
Tabel 3 Kategori skor densitas energi dan zat gizi pangan
Variabel Kategori Sumber
Densitas energi pangan
(DED)
DED tinggi (4-9 kkal/g pangan) Rolls (2009) DED sedang (1.5-4 kkal/g pangan)
DED rendah (0.6-1.5 kkal/g pangan) DED sangat rendah (0-0.6 kkal/g pangan) Densitas zat gizi
pangan (NRF 9.3)
Kuintil 1 (skor < 1) Kuintil 2 (skor 1-10) Kuintil 3 (skor 11-20) Kuintil 4 (skor 21-30) Kuintil 5 (skor > 30)
Drewsnowski (2010)
Skor NRF 9.3 kemudian dibandingkan dengan skor DED untuk mengetahui kualitas zat gizi pangan tersebut (Gambar 3). Semakin rendah skor DED dan semakin tinggi skor NRF 9.3 maka semakin baik kualitas gizi pangan tersebut dan sebaliknya. Ukuran lingkaran di dalam grafik menunjukkan jumlah makanan pada setiap kelompok pangan (Drewnowski 2009).
18
Densitas asupan zat gizi (DG) ditentukan berdasarkan Drewnowski (2005) dan dikategorikan berdasarkan standar dari FAO. Rumus menentukan densitas asupan zat gizi (DG) adalah sebagai berikut:
DG = Asupan zat gizi x 1000 kkal Asupan energi (kkal)
Nilai densitas asupan zat gizi (DG), khususnya untuk vitamin dan mineral selanjutnya dikategorikan ke dalam kategori kurang apabila nilai DG lebih kecil dari standar FAO, serta kategori cukup apabila nilai DG sama atau lebih besar dari standar FAO. Sementara itu, densitas asupan protein memiliki tiga pengategorian menurut standar FAO, yaitu rendah, cukup, dan tinggi. Tabel 4 menjelaskan mengenai standar densitas asupan zat gizi berdasarkan standar FAO.
Tabel 4 Standar densitas asupan zat gizi
Zat gizi FAO
Protein*, g Rendah Cukup Tinggi
< 20 20-40
> 40
Kalsium, mg 500-800
Zat besi, mg 7-40
Vitamin A, µg RE 700-1000
Vitamin C, mg 50-60
Keterangan:
*Diadaptasi berdasarkan WHO (1998) dan Drewnowski (2005)
Analisis Data
Hasil pengolahan data selanjutnya dianalisis menggunakan SPSS 16.0 for Windows. Analisis data yang dilakukan meliputi analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Analisis univariat dilakukan menggunakan uji deksriptif untuk menggambarkan sebaran variabel yang diteliti berdasarkan persen dan rataan, sedangkan analisis bivariat menggunakan uji korelasi Pearson untuk menganalisis hubungan antara: 1) karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dengan tingkat kecukupan gizi rumah tangga; 2) karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dengan densitas asupan zat gizi rumah tangga; 3) faktor kebiasaan makan dan sosio-budaya pangan dengan tingkat kecukupan gizi rumah tangga; dan 4) faktor kebiasaan makan dan sosio budaya pangan dengan densitas asupan zat gizi rumah tangga. Analisis multivariat dilakukan menggunakan uji regresi linear berganda untuk menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kecukupan gizi dan densitas asupan zat gizi rumah tangga. Model regresi linear berganda yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Model 1:
y1 = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + ε Keterangan:
y1 = Tingkat kecukupan gizi rumah tangga β0 = Intersep
19 β2X2 = Umur istri
β3X3 = Besar keluarga
β4X4 = Pendapatan rumah tangga (/kapita/bulan) β5X5 = Jumlah padi dalam lumbung padi (ikat) ε = Galat (error)
Model 2:
y2 = β0 + β1X1+ β2X2+ β3X3+ β4X4+ β5X5 + ε Keterangan:
y2 = Densitas asupan zat gizi rumah tangga β0 = Intersep
β1X1 = Umur suami β2X2 = Umur istri β3X3 = Besar keluarga
β4X4 = Pendapatan rumah tangga (/kapita/bulan) β5X5 = Jumlah padi dalam lumbung padi (ikat) Model 3:
y3 = β0 + β1X1+ β2X2+ β3X3 + ε Keterangan:
y3 = Tingkat kecukupan gizi rumah tangga β0 = Intersep
β1X1 = Frekuensi makan dalam rumah tangga (kali/hari) β2X2 = Preferensi pangan sumber zat gizi
β3X3 = Jumlah pantangan pangan dalam rumah tangga ε = Galat (error)
Model 4:
y4 = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + ε Keterangan:
y4 = Densitas asupan zat gizi rumah tangga β0 = Intersep
β1X1 = Frekuensi makan dalam rumah tangga (kali/hari) β2X2 = Preferensi pangan sumber zat gizi
β3X3 = Jumlah pantangan pangan dalam rumah tangga ε = Galat (error)
Definisi Operasional
Aspek sosial budaya gizi adalah faktor sosial budaya masyarakat setempat yang berpengaruh terhadap sistem pangan dan gizi masyarakat tersebut.
Densitas energi pangan adalah jumlah asupan energi yang terkandung dalam 100 gram makanan.
20
Densitas asupan zat gizi adalah rasio jumlah jenis asupan zat gizi yang dikonsumsi per hari per 1000 kkal.
Frekuensi konsumsi pangan adalah jumlah atau seberapa sering individu mengonsumsi makanan lengkap dalam waktu sehari.
Frekuensi konsumsi menurut kelompok pangan adalah derajat keseringan mengonsumsi pangan dalam satu bulan terakhir.
Kebiasaan makan adalah kebiasaan individu atau rumah tangga dalam mengonsumsi pangan yang dipengaruhi oleh faktor fisiologi, psikologi, serta sosial budaya, baik meliputi frekuensi pangan, preferensi pangan, pola makanan yang dimakan, kepercayaan terhadap pangan, distribusi makanan dalam keluarga, penerimaan terhadap makanan, serta cara pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan.
Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dengan tersedianya pangan yang cukup, baik secara kuantitas maupun kualitas, aman, merata serta terjangkau.
Ketersediaan pangan rumah tangga adalah jumlah bahan makanan yang tersedia dalam rumah tangga atau keluarga baik yang diperoleh dari produksi sendiri, pembelian, ataupun pemberian yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan keluarga setiap harinya.
Konsumsi pangan adalah jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh individu atau rumah tangga dalam satuan gram per kapita per hari.
Pantangan pangan (foods taboo) adalah larangan/pantangan untuk mengonsumsi suatu jenis pangan tertentu yang dipercayai dan dianut secara turun temurun oleh suatu masyarakat, serta terdapat hukum adat atau akibat bagi yang melanggarnya.
Pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang biasa dikonsumsi mencakup jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi/dimakan oleh individu, rumah tangga, atau sekelompok masyarakat dalam frekuensi dan jangka waktu tertentu.
Preferensi pangan adalah tingkat kesukaan individu atau rumah tangga terhadap jenis pangan tertentu.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kasepuhan Ciptagelar
21 Cihamerang, Kecamatan Kalapanunggal, Kab. Sukabumi, serta sebelah barat berbatasan dengan Desa Cicadas, Kelurahan Cisolok, Kabupaten Sukabumi (Profil Desa Sirnaresmi, Kabupaten Sukabumi 2012).
Kasepuhan Ciptagelar meskipun merupakan bagian dari Desa Sirnaresmi, akan tetapi berada cukup jauh dari desa tersebut. Jarak Kasepuhan Ciptagelar dari Desa Sirnaresmi adalah sekitar 14 km, sementara itu, jarak Kasepuhan Ciptagelar dari ibukota Kecamatan Cisolok serta dari ibukota Kabupaten Sukabumi masing-masing adalah sekitar 28 km dan 103 km. Adapun waktu tempuh menuju Kasepuhan Ciptagelar dari ibukota Kecamatan Cisolok adalah kurang lebih selama 4 jam dengan menggunakan kendaraan khusus yaitu wheel drive atau motor trail, mengingat kondisi akses jalan menuju Kasepuhan Ciptagelar yang masih berbatu dan melalui lereng-lereng dengan tanjakan yang tajam .
Sebagian besar wilayah Desa Sirnaresmi berupa tanah negara kehutanan dan termasuk kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) dan hanya sebagian kecil yang merupakan tanah milik adat/desa. Tabel di bawah ini merupakan potensi penggunaan lahan dan sumber daya alam di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.
Tabel 5 Potensi sumber daya alam Desa Sirnaresmi Status Tanah Tanah Milik
Luas wilayah menurut penggunaan
Luas pemukiman 17.00 19.00 36.00
Luas prasarana umum lainnya 0.95 1.15 2.10
Tegalan/ladang 120.00 900.00 1 100.00
Lainnya 467.00 1 360.00 1 827.00
Sumber: data sekunder Profil Desa Sirnaresmi tahun 2012
Luas wilayah pemukiman Kasepuhan Ciptagelar yang terletak di Desa Sirnaresmi ini tergolong kecil yaitu hanya sekitar 4 Ha (Profil Desa Sirnaresmi 2012). Pada dasarnya, Kasepuhan Ciptagelar termasuk dalam Kesatuan Masyarakat Adat Banten Kidul yang berasal dari Kerajaan Sunda-Hindu terakhir di Jawa Barat. Oleh karena itu, Kasepuhan Ciptagelar memiliki cukup banyak persamaan khususnya dalam hal sosio-budaya dengan masyarakat-masyarakat adat Banten Kidul lainnya, misalnya dengan masyarakat Baduy.
22
dengan baik, akan tetapi bersifat terbuka, fleksibel, serta dinamis terhadap kehadiran masyarakat luas, baik masyarakat asli Ciptagelar, masyarakat Desa Sirnaresmi, ataupun masyarakat luar.
Adapun Kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh seorang ketua adat yang dipilih berdasarkan garis keturunan. Pada masyarakat setempat, ketua adat diberi julukan sebagai „Abah‟ dan merupakan panutan serta pemimpin adat yang bertanggung jawab penuh terhadap seluruh masyarakatnya. Pada saat ini, ketua adat masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, yaitu Abah Ugi merupakan keturunan kesebelas dari kasepuhan tersebut. Dalam menjalankan tugasnya sebagai ketua adat, terdapat banyak tanggung jawab yang harus dijalankan serta beberapa larangan/pantangan. Salah satu larangan bagi ketua adat adalah dalam menjalankan tugasnya sebagai ketua adat yaitu ketua adat dilarang untuk bepergian jauh atau meninggalkan Kasepuhan Ciptagelar sebab semua masyarakat Kasepuhan memerlukannya. Selain itu, jabatan ketua adat tidak bisa dengan mudah diserah terimakan atau diwariskan pada generasi penerusnya, melainkan harus berdasarkan petunjuk dari leluhur atau yang disebut „wangsit‟. Apabila ketua adat memperoleh wangsit untuk segera menyerahkan jabatannya kepada salah seorang keturunannya, maka ia harus segera menyampaikan dan menyerahkan jabatannya kepada keturunannya tersebut. Sementara itu, keturunan ketua adat yang diberikan tanggung jawab sebagai ketua adat selanjutnya juga harus bersedia serta tidak boleh menolak wangsit tersebut demi tetap terjaganya keberlangsungan kehidupan masyarakat adat tersebut.
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tergolong ke dalam masyarakat adat yang masih berpindah-pindah dari tempat pemukiman satu ke pemukiman lain (nomaden). Meski demikian, pada saat berpindah tempat, masyarakat tersebut tetap harus mempertimbangkan lahan yang baru sesuai dengan aturan adat istiadat. Lahan yang harus tersedia dan merupakan salah satu syarat utama pemukiman yang baru bagi masyarakat tersebut secara umum terdiri atas tiga macam tata guna lahan, yaitu kawasan hutan, lahan pertanian, serta lahan pemukiman. Selain itu, syarat utama lainnya selain lahan adalah sumber mata air. Oleh karena itu, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dalam berpindah-pindah tempat selalu memilih di lereng-lereng gunung yang memiliki sumber mata air yang baik serta masih tersedia tiga tata lahan tersebut.