• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Pendidikan Karakter bagi Masyarakat Marjinal (Studi Kasus di Yayasan Nara Kreatif Jakarta)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan Pendidikan Karakter bagi Masyarakat Marjinal (Studi Kasus di Yayasan Nara Kreatif Jakarta)"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh:

ALPRILIA NURIANI RACHMAWATI NIM 1112018200054

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

i Jakarta)

Skripsi, Jakarta : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pendidikan karakter merupakan suatu usaha sengaja yang dilakukan dalam membantu pengembangan karakter dengan optimal dan membentuk kepribadian seseorang melalui budi pekerti agar menjadi manusia yang bermoral, serta mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Sasaran penerapan pendidikan karakter pada penelitian ini merupakan masyarakat marjinal yang mana mereka adalah kelompok masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan diakibatkan karena himpitan ekonomi, sehingga akses untuk mendapatkan kebutuhan hidup yang layak pun tidak dapat terpenuhi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan pendidikan karakter bagi masyarakat marjinal di Yayasan Nara Kreatif dan faktor apa saja yang mendukung Yayasan Nara Kreatif menerapkan pendidikan karakter ini. Selain itu, untuk melihat kendala apa saja yang dihadapi dan apa bentuk upaya yang dilakukan agar penerapan pendidikan karakter ini berjalan efektif. Penelitian ini dilaksanakan di Yayasan Nara Kreatif dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif analisis. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui observasi dan wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pendidikan karakter bagi masyarakat marjinal di Yayasan Nara Kreatif berhasil dilakukan dengan adanya kedekatan, serta interaksi dan komunikasi yang terjalin dengan warga belajar. Selain itu, membangun kerjasama dengan orangtua dan pihak yayasan agar penerapan pendidikan karakter ini dapat berjalan dengan efektif.

(6)

ii Foundation Jakarta)

Character education is a deliberate effort that made for assist the development of the optimal character and shaping one's personality through manners in order to become a morality, and able to behave and act based on the values that have become his personality. The object implementation of character education in this study is a marginal society in which they are groups of people living below poverty line resulting from the economic crush, so that access to basic life needs were not met.

The purpose of this study was to determine how the implementation of character education for marginalized communities in Nara Kreatif Foundation and what factors are supporting Nara Kreatif Foundation implement this character education. Moreover, to see any constraints faced and what kind of effort made to keep the implementation of character education is effective. This research was conducted at Nara Kreatif Foundation using descriptive qualitative method of analysis. The data collection techniques in this study through observation and interviews.

The results showed that the implementation of character education for marginalized communities in Nara Kreatif Foundation is successful with a proximity, as well as interaction and communication is established with the learners. Moreover, building cooperation with parents and the foundation so that the implementation of character education is to be effective.

(7)

iii Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT senantiasa penulis ucapkan karena berkat rahmat, karunia, serta ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd). Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi diri penulis dan para pembaca.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan umat manusia yaitu Nabi Muhammad SAW yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat di dalamnya. Namun berkat dukungan, bimbingan, serta do’a dari berbagai pihak, penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Maka dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Hasyim Asy’ari, M. Pd. Ketua Jurusan Manajemen Pendidikan, atas nasehat, arahan dan dukungan dalam penulisan skripsi ini.

3. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA. Dosen Pembimbing I Skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga, serta pikiran dengan penuh kesabaran membimbing dan mengarahkan proses penulisan skripsi ini.

(8)

iv

Yayasan Nara Kreatif (Dewan Pembina, Dewan Pengawas, Pengurus, Pengajar, Anak Asuh dan Warga Belajar) yang telah memberikan izin dan memfasilitasi penulis dalam melakukan penelitian dan bersedia menjadi narasumber penulis hingga selesai.

7. Kedua orang tua tercinta dan tersayang, Bapak (Rachmat Sanjaya) dan Mamah (Ade Siti Mariam) yang tidak pernah lelah mendidik penulis sampai saat ini, yang senantiasa memberikan do’a, dukungan moril maupun materil, arahan, nasihat dan bimbingan setiap saat tanpa ada henti-hentinya, sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi.

8. Kakak-kakak yang terhebat, A Deden dan A Firman yang selalu mengingatkan penulis agar segera menyelesaikan perkuliahan dan memberikan dukungan sampai terselesaikannya skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat tersayang, Fitri, Risma, Uswah, Nada, Azka, Annisa, dan Shinta yang selalu mendukung setiap saat, walau terkadang sulit menyatukan waktu untuk sekedar berkumpul bersama. Namun, kalian selalu menjadi bagian dari cerita kehidupan penulis dari awal perkuliahan hingga seterusnya, dan pastinya akan selalu dirindukan.

10.Keluarga kedua yaitu Anies Nurfitriani, Sheila Ayu Mutiaroh, Bejo Nurdamirin dan Rosim yang selalu mendukung dan memotivasi, serta mendengarkan keluh kesah penulis, sampai mereka menjadi bagian dari warna baru dalam kehidupan. 11.Teman-teman seperjuangan Manajemen Pendidikan angkatan 2012, Tim Power

(9)

v

Penyusunan skripsi ini tentunya masih belum sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat konstruktif penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca sekalian. Aamiin.

Ciputat, Oktober 2016

Hormat saya,

Penulis

(10)

vi

Nama : Alprilia Nuriani Rachmawati

NIM : 1112018200054

Fakultas : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Jurusan : Manajemen Pendidikan

MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA

Bahwa skripsi yang berjudul Penerapan Pendidikan Karakter bagi Masyarakat Marjinal (Studi Kasus di Yayasan Nara Kreatif Jakarta) adalah benar hasil karya sendiri dibawah bimbingan :

Pembimbing 1

Nama : Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA

NIP : 19540802 198503 1 002

Pembimbing 2

Nama : Dr. Jejen Musfah, MA

NIP : 19770602 200501 1004

Demikian surat pernyataan ini saya buat, dengan sebenar-benarnya dan saya siap menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya sendiri.

Jakarta, Oktober 2016 Yang menyatakan

(11)

vii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI UJI REFERENSI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Pembatasan Masalah ... ... 9

D. Rumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PENDIDIKAN KARAKTER & MASYARAKAT MARJINAL A. Pendidikan Karakter ... 12

1. Pengertian Pendidikan Karakter ... 12

2. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter ... 18

(12)

viii

B. Masyarakat Marjinal ... 32

1. Pengertian Masyarakat Marjinal ... 32

2. Penderitaan Migran Perkotaan ... 34

3. Pendidikan Kaum Miskin ... 36

C. Kajian terhadap Penelitian Terdahulu ... 38

D. Kerangka Berfikir ... 40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Obyek Penelitian ... 41

B. Metode Penelitian ... 42

C. Teknik Pengumpulan Data ... 42

D. Teknik Analisis Data ... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 45

1. Sejarah Singkat Yayasan Nara Kreatif ... 45

2. Identitas Yayasan Nara Kreatif ... 47

3. Visi dan Misi Yayasan Nara Kreatif ... 47

4. Data Pengurus, Pengajar, Anak Asuh dan Warga Belajar ... 48

5. Proses Penerimaan Anak Asuh dan Warga Belajar ... 51

6. Sarana dan Prasarana ... 52

7. Kurikulum Pembelajaran ... 53

(13)

ix BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 91

(14)

x

Tabel 3.1 Waktu Kegiatan Penelitian ... 41

Tabel 4.1 Data Pengurus dan Pengajar Yayasan Nara Kreatif berdasarkan Jenjang Pendidikan ... 49

Tabel 4.2 Data Warga Belajar dan Anak Asuh berdasarkan Latar Belakang ... 50

Tabel 4.3 Data Warga Belajar dan Anak Asuh berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 51

Tabel 4.4 Jadwal Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) ... 58

Tabel 4.5 Jadwal Kegiatan Pendidikan Agama Islam ... 60

Tabel 4.6 Jadwal Kegiatan Hasanah Qur’ani ... 63

Tabel 4.7 Kegiatan dan Penanaman Nilai-nilai Karakter di Yayasan Nara Kreatif ... 77

(15)

xi

Gambar 2.1 Sumber Nilai Karakter dan Budaya ... 25

Gambar 4.1 Kegiatan Nara Bersih ... 64

Gambar 4.2 Kegiatan Ekstrakurikuler Pencak Silat ... 65

Gambar 4.3 Kegiatan Ekstrakurikuler Futsal ... 67

Gambar 4.4 Kegiatan Karnaval perayaan HUT RI ke-71 ... 70

Gambar 4.5 Suasana Buka Puasa Bersama ... 71

Gambar 4.6 Pemotongan Hewan Qurban Idul Adha 1437H ... 72

Gambar 4.7 Kelas Inspirasi ... 74

(16)

xii

Lampiran 1 Pedoman Wawancara ... 95

Lampiran 2 Hasil Wawancara Ketua Yayasan ... 99

Lampiran 3 Hasil Wawancara Kepala Sekolah ... 104

Lampiran 4 Hasil Wawancara Pengajar Paket A ... 108

Lampiran 5 Hasil Wawancara Pengajar Paket C ... 111

Lampiran 6 Hasil Wawancara Pengajar Paket B ... 114

Lampiran 7 Hasil Wawancara Warga Belajar ... 117

Lampiran 8 Hasil Wawancara Warga Belajar ... 120

Lampiran 9 Hasil Wawancara Warga Belajar ... 123

Lampiran 10 Profil Yayasan Nara Kreatif ... 126

Lampiran 11 Data Pengurus dan Pengajar Yayasan Nara Kreatif ... 133

Lampiran 12 Data Warga Belajar ... 134

Lampiran 13 Surat Keterangan Penelitian ... 147

Lampiran 14 Surat Pengesahan Yayasan Nara Kreatif ... 148

Lampiran 15 Surat Permohonan Bimbingan ... 149

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan di Indonesia pada era globalisasi sekarang ini sudah menjadi hal yang mutlak dan wajib ditempuh oleh setiap lapisan masyarakat. Dengan perkembangan yang begitu cepat ini menuntut masyarakat Indonesia harus mampu bersaing dengan Negara lain. Pada Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.

Namun, pada kenyataannya pendidikan di Indonesia sekarang ini lebih cenderung dirasakan oleh lapisan masyarakat kelas menengah dan lapisan masyarakat atas. Hal ini sangat amat memprihatinkan mengingat pemerintah sudah mencanangkan program wajib belajar Sembilan tahun bagi sekolah negeri secara gratis, namun masih saja ada masyarakat yang tidak mempergunakan kesempatan tersebut. Permasalahan ini mungkin terjadi diakibatkan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai esensi pendidikan, dukungan dan kondisi dari lingkungan sekitar, serta keadaan ekonomi keluarga yang rendah.

(18)

pendidikannya dibedakan dengan kaum “normal” yang menjadikan kaum cacat menjadi terasing dari lingkungan sosial, tereklusi dari sistem sosial orang-orang normal. Kedua, anak-anak jalanan, kaum miskin yang sudah terbiasa dengan kekerasan.1 Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta menerangkan bahwa jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2015 sebesar 398,92 ribu orang (3,93 persen). Data tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan pada bulan September 2014 (412,79 ribu orang atau 4,09 persen), yang mana jumlah penduduk miskin turun sebesar 13,87 ribu atau turun 0,16 poin.2 Berdasarkan data yang diperoleh tersebut sudah seharusnya mereka yang tergolong dalam masyarakat pra-sejahtera atau masyarakat marjinal mendapatkan dan merasakan pendidikan yang layak.

Dewasa ini, dapat kita perhatikan banyak anak-anak yang putus sekolah dan memilih untuk bekerja demi menyambung kehidupannya, seperti menjadi pengamen jalanan. Dukungan yang kurang dari lingkungan sekitar juga sangat mempengaruhi seseorang tidak dapat menempuh pendidikan. Bahkan ada angkatan usia kerja yang seharusnya sudah dapat memperoleh pekerjaan di tempat kerja yang layak, namun karena jenjang pendidikan yang diperolehnya rendah sehingga tidak dapat memperoleh itu semua, seperti menjadi asisten rumah tangga, supir angkot, tukang ojeg, dan sebagainya. Hal ini butuh perhatian khusus bagi pemerintah ataupun instansi atau lembaga swasta, dan bahkan masyarakat sendiri untuk menangani permasalahan ini. Salah satu bentuk pendidikan alternatif yang mungkin dapat dilaksanakan bagi mereka melalui pendidikan non-formal.

Pendidikan non-formal diselenggarakan oleh warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan dan berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan

1

Mohammad Ali Fauzi, “Pendidikan Alternatif Kaum Marjinal (Studi Kasus

Pembelajaran PAI di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah Kalibening Salatiga)”, Skripsi pada IAIN Walisongo Semarang, 2007, h. 25, tidak publikasikan.

(19)

sepanjang hayat. Pendidikan non-formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Satuan pendidikan non-formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.3

Saat ini di Indonesia sudah banyak didirikan berbagai macam satuan pendidikan non-formal, salah satunya yaitu Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan prakarsa pembelajaran masyarakat yang didirikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.4 Dengan adanya Pusat Kegiatan Belajar (PKBM) diharapkan dapat memperbaiki pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan bagi masyarakat pra-sejahtera atau masyarakat marjinal. Kegiatan yang ada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat pun bermacam-macam, seperti adanya kegiatan pembelajaran dan kegiatan usaha (bisnis). Diharapkan dengan adanya beberapa kegiatan tersebut, dapat menarik minat masyarakat untuk dapat melanjutkan pendidikan mereka, serta mengasah kreativitas yang mereka miliki. Tidak hanya mendapatkan pembekalan ilmu dan kreativitas saja, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) disini diharapkan dapat menerapkan pendidikan karakter sama seperti halnya yang diterapkan pada sekolah formal pada umumnya. Apalagi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang menangani masyarakat marjinal dimana warga belajarnya berasal dari lapisan masyarakat kelas bawah, perlu adanya penerapan pendidikan karakter disetiap kegiatan yang dilaksanakan.

3

Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat Upaya Menawarkan Solusi terhadap Berbagai Problem Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 135-136.

4

(20)

Menurut Thomas Lickona (1991) dalam buku Pendidikan Karakter

(Gunawan: 2012) mendefinisikan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya.5 Dewasa ini, pendidikan karakter sangat penting untuk diterapkan, karena banyaknya perilaku yang tidak berkarakter yang dilakukan oleh masyarakat sekarang ini. Beberapa perilaku yang tidak berkarakter yang sering kali kita temui antara lain tawuran antar pelajar, maraknya „geng motor’, pergaulan bebas dan penggunaan NARKOBA.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh CNN Indonesia, kasus-kasus pencurian kerap terjadi di Jakarta sepanjang tahun 2014. Angka kasus pencurian dengan kekerasan (curas) mencapai 904 kasus. Sementara kasus pencurian dengan disertai pemberatan (curat) sebanyak 3.515 kasus. Tindak pencurian kendaraan bermotor (curanmor) sebanyak 3.162 kasus. Itu belum termasuk kasus-kasus kriminal lain. Kasus pemerasan misalnya hanya turun 9,79% dari tahun 2013, yakni sebanyak 433 kasus. Kasus pemerkosaan malah meningkat 10,52% dibanding tahun sebelumnya. Dari total 57 kasus pada tahun 2013, kasus pemerkosaan naik menjadi 63 kasus di tahun 2014.6 Melalui data tersebut dapat diketahui bahwa sekarang ini makin banyaknya perilaku yang tidak bermoral dan berakhlak terjadi, khususnya di Jakarta.

Hal yang memicu perilaku yang tidak berkarakter tersebut mungkin dikarenakan adanya kesenjangan ekonomi-sosial-politik, tindakan KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme), serta ketidakadilan hukum sehingga perilaku tidak berkarakter pun timbul. Hal ini sangat memprihatikan bagi bangsa Indonesia, karena ini menunjukkan kelemahan dan kerapuhan karakter yang dimiliki bangsa ini. Oleh karena itu dibutuhkan peran dari berbagai sektor,

5

Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta, 2012), h.23.

6

Yohannie Linggasari dan Donatus Fernanda Putra, Jakarta Kota Paling Tak Aman Sejagat, CCTV, & Sniper Disiapkan, 2015,

(21)

tidak hanya dari pemerintah, melainkan lembaga pendidikan baik negeri atau swasta, dan masyarakat sekitar yang perlu mengoptimalkan pendidikan karakter di Indonesia.

Pada tahun 2010, pemerintah di Indonesia khususnya Kementerian Pendidikan Nasional telah memberlakukan program penerapan pendidikan karakter, hal ini dikarenakan sebagai bentuk perbaikan moral dan karakter bangsa di Indonesia. Program tersebut dirumuskan kedalam 18 nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa yang diterapkan dalam mata pelajaran, ekstrakurikuler, dan kegiatan sehari-hari. Dengan diterapkannya pendidikan karakter diharapkan dapat membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.

Dalam ajaran Islam, pembentukan karakter dengan nilai agama dan norma bangsa sangat penting, karena antara akhlak dan karakter merupakan satu kesatuan yang kukuh seperti pohon dan yang menjadi inspirasi keteladanan akhlak dan karakter adalah Nabi Muhammad SAW. Pilar-pilar pembentukan karakter Islam bersumber pada Al-Quran, Sunnah atau hadis, dan keteladanan Nabi Muhammad SAW.7 Sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab: 21,

“Sungguh, telah ada suri teladan yang baik pada (diri) Rasulullah bagimu, (yaitu) bagi orang yag mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21).

7

(22)

Jika di dalam Al-Qur’an terdapat kisah para nabi atau orang-orang yang durhaka, maka tujuannya adalah untuk membina moral. Orang-orang yang baik seperti para nabi selalu berada dalam kemenangan. Sebaliknya, orang-orang yang jahat selalu berada dalam kebencian Tuhan dan akhir perjuangannya berada dalam kerugian. Hal ini dapat ditarik pelajaran agar manusia memiliki sikap yang baik agar mendapat kasih sayang Tuhan dan menjauhi perbuatan yang buruk agar tidak dibenci Tuhan.8

Berkaitan dengan pernyataan di atas Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an Surat Al-Qashash: 84,

“Siapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka dia akan mendapat (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan siapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu hanya diberi balasan (seimbang) dengan apa yang dahulu

mereka kerjakan.” (QS. Al-Qashash [28]: 84).

Hal yang paling penting dalam pendidikan karakter adalah kesadaran untuk memahami apa yang dilakukannya adalah hal yang terbaik. Untuk semakin menguatkan kesadaran untuk memahami ini, dibutuhkan contoh atau suri teladan yang baik dari para pendidik dan orang-orang yang terlibat dalam dunia pendidikan.9 Penerapan pendidikan karakter tidak hanya dilaksanakan di sekolah formal saja, melainkan perlu dilaksanakan oleh semua instansi dan seluruh lapisan masyarakat, salah satunya ialah dari bentuk pendidikan non-formal yaitu Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM).

8

Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 212.

9

(23)

Dengan adanya penerapan pendidikan karakter pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) khusunya bagi masyarakat marjinal, dapat memperbaiki moral serta akhlak mereka melalui kegiatan-kegiatan yang ada pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang bersangkutan. Penerapan 18 nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa bagi masyarakat marjinal tentu dalam prosesnya tidaklah mudah, diperlukan proses yang panjang dan dilakukan secara bertahap agar penerapan pendidikan karakter berjalan efektif.

Yayasan Nara Kreatif yang berlokasi di daerah Jakarta Timur merupakan salah satu dari sekian banyak Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) yang ada di Indonesia yang menerapkan pendidikan karakter pada setiap kegiatan yang dilaksanakan, khususnya bagi masyarakat marjinal. Yayasan Nara Kreatif didirikan pada tanggal 31 Januari 2013, dan baru adanya pengesahan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Nomor: AHU-3071.AH.01.04.Tahun 2014. Awal mula didirikannya Yayasan Nara Kreatif yaitu bergerak dalam bidang daur ulang limbah kertas dan organik, karena melihat limbah kotor yang ada di lingkungan masyarakat sekitar yang sayang apabila tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin. Setelah satu tahun usaha dalam bidang daur ulang cukup berhasil, founder Yayasan Nara Kreatif, Nezatullah Ramadhan membuka Sekolah Kejar Paket (A/B/C) yang mana didirikannya ini sebagai bentuk keprihatinan pada anak jalanan serta masyarakat marjinal yang tidak dapat menempuh pendidikan seperti anak pada umumnya, namun masih memiliki semangat untuk belajar. Sekolah kejar paket tersebut diselenggarakan secara gratis atau tanpa dipungut biaya sama sekali dan sumber dana yang membiayai penyelenggaraan sekolah kejar paket ini ialah keuntungan yang diperoleh dari usaha daur ulang limbah kertas dan organik.

(24)

formal, yaitu Organisasi Intra Sekolah (OSIS), Majalah Dinding, Study Tour,

dll. Alumni atau lulusan yang bersekolah di Yayasan Nara Kreatif sampai saat ini sudah mencapai ±60 orang dan kebanyakan dari lulusan tersebut lebih memilih untuk bekerja, khususnya untuk lulusan yang mengambil Paket C, sedangkan lulusan yang berasal dari Paket A dan Paket B ±30% yang melanjutkan bersekolah di Yayasan Nara Kreatif dan selebihnya melanjutkan di luar Yayasan Nara Kreatif.

Penulis tertarik meneliti di Yayasan Nara Kreatif karena setiap kegiatan yang dilaksanakan ditanamkan nilai-nilai pendidikan karakter, sehingga masyarakat marjinal yang bersekolah di yayasan tersebut dapat memiliki moral dan akhlak yang jauh lebih baik dari yang sebelumnya. Sebab menurut founder Yayasan Nara Kreatif, Nezatullah Ramadhan, mengungkapkan bawah penerapan nilai-nilai pendidikan karakter ini karena melihat kemampuan yang dimiliki warga belajar yang kurang dibandingkan dengan yang lain, maka beliau pun lebih menekankan dari kepribadian atau menanamkan nilai-nilai karakter di setiap kegiatan yang dilaksanakan, karena dari kepribadian inilah dapat menunjang kesuksesan serta dapat memperbaiki sedikit demi sedikit moral atau ahlak yang sekarang ini semakin menurun10.

Dalam prosesnya hal tersebut tidaklah mudah untuk diterapkan begitu saja bagi mereka, sebab dari latar belakang yang mereka miliki sangat kurangnya penanaman nilai-nilai karakter dalam kehidupan mereka sehari-hari. Latar belakang warga belajar yang bersekolah di Yayasan Nara Kreatif ini beraneka macam, ada yang berasal dari keluarga Broken Home, putus sekolah (Drop Out), Asisten Rumah Tangga (ART), buruh pabrik, dan pengamen jalanan. Terkadang penyampaian pesan ataupun contoh dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Yayasan Nara Kreatif disalah artikan oleh mereka. Lingkungan dimana mereka tinggal dan bergaul pun juga dapat menjadi salah satu faktor tidak mudahnya menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter bagi mereka.

10

(25)

Berdasarkan uraian masalah di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut ke dalam penelitian yang berjudul “Penerapan

Pendidikan Karakter bagi Masyarakat Marjinal (Studi Kasus Yayasan Nara Kreatif Jakarta)”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat diidentifikasi masalah-masalah dalam penelitian ini yaitu:.

1. Latar belakang warga belajar yang berasal dari masyarakat marjinal. 2. Masih kurangnya penerapan nilai-nilai pendidikan karakter bagi

masyarakat marjinal khususnya bagi warga belajar di Yayasan Nara Kreatif.

3. Masih kurangnya kerjasama dari orangtua siswa dan pihak Yayasan Nara Kreatif dalam menerapkan nilai-nilai pendidikan karakter.

4. Pendekatan yang digunakan untuk menerapkan nilai-nilai pendidikan karakter di Yayasan Nara Kreatif belum maksimal, khususnya dalam penyampaian pesan atau nasihat kepada warga belajar.

5. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan di Yayasan Nara Kreatif masih belum berjalan optimal.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas diperlukan pembatasan masalah agar penelitian ini dapat dilaksanakan dengan mudah, terarah, tidak meluas, dan mendapatkan hasil sesuai dengan yang diinginkan. Maka untuk menentukan fokus penelitian, penulis hanya meneliti mengenai penerapan nilai-nilai pendidikan karakter bagi masyarakat marjinal dengan studi kasus di Yayasan Nara Kreatif Jakarta.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, penulis mencoba meneliti, mengkaji, dan merumuskan penelitian ini yaitu:

(26)

2. Apa faktor pendukung yang mempengaruhi Yayasan Nara Kreatif untuk menerapkan pendidikan karakter?

3. Kendala dan upaya apa saja yang dilakukan Yayasan Nara Kreatif dalam penerapan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan yaitu:

1. Untuk mengetahui faktor yang mendorong Yayasan Nara Kreatif menerapkan pendidikan karakter.

2. Untuk mengetahui penerapan pendidikan karakter bagi masyarakat marjinal di Yayasan Nara Kreatif.

3. Untuk mengetahui kendala-kendala dan upaya yang dilakukan untuk menerapkan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa di Yayasan Nara Kreatif.

F. Manfaat Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis kepada berbagai pihak sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

Untuk khazanah intelektual, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi pengembangan pengetahuan bagi dunia pekerjaan sosial, khususnya yang berfokus pada bidang pendidikan yang menerapkan pendidikan bagi masyarakat marjinal.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi yayasan, sebagai bahan masukan bagi Yayasan Nara Kreatif dan pihak terkait dalam menerapkan pendidikan karakter bagi masyarakat marjinal.

(27)
(28)

12 A. Pendidikan Karakter

1. Pengertian Pendidikan Karakter

Sebelum pembahasan mengenai pendidikan karakter, ada baiknya kita harus memahami dulu definisi dari pendidikan itu sendiri. Banyak para ahli yang mendefinisikan pendidikan dari berbagai macam sudut pandang. Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menerangkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.1

Ada pula yang mendefiniskan pendidikan bermakna sebagai usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan, baik jasmani maupun rohani, sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaan. Bagi kehidupan umat manusia, pendidikan merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan, mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup dan berkembang sejalan dengan aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera, dan bahagian menurut konsep pandangan hidup mereka.2 Dengan kata lain bahwa pendidikan ialah sesuatu yang dibutuhkan setiap individu sepanjang hayatnya untuk dapat menumbuhkembangkan potensi yang dimiliki.

1

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

2

(29)

Beberapa definisi tentang pendidikan dari para pakar pendidikan tersebut, yang perlu kita ketahui diantaranya adalah definisi yang disampaikan oleh Prof. Langeveld. Pakar pendidikan dari Belanda ini mengemukakan, bahwa pendidikan ialah suatu bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai tujuan, yaitu kedewasaan. Selain itu, definisi pendidikan juga dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam kongres Taman Siswa yang pertama pada 1930 ia menyebutkan, bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak. Dalam Taman Siswa tidak boleh dipisah-pisah bagian-bagian itu agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya.3 Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara dapat diketahui bahwa sesungguhnya pendidikan lebih tertuju kepada memajukan budi pekerti peserta didik.

Pendidikan adalah proses permartabatan menuju puncak optimasi potensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dimilikinya. Pendidikan adalah proses membimbing, melatih, dan memandu manusia terhindar atau keluar dari kebodohan dan pembodohan. Pendidikan adalah metamorfosis perilaku menuju kedewasaan sejati. Pendidikan juga dapat didefinisikan sebagai proses elevasi yang dilakukan secara nondiskriminasi, dinamis, dan intensif menuju kedewasaan individu, dimana prosesnya dilakukan secara kontinyu dengan sifat yang adaptif dan nirlimit atau tiada akhir.4

Pendidikan pada intinya merupakan proses penyiapan subjek didik menuju manusia masa depan yang bertanggung jawab. Kata “bertanggung jawab” mengandung makna, bahwa subjek didik dipersiapkan untuk menjadi manusia yang berani berbuat dan berani

3

Ibid, Choirul Mahfud, h. 33

4

(30)

pula bertanggung jawab atas perbuatannya.5 Dengan kata lain, dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa pendidikan membentuk peserta didik untuk menjadi manusia yang berani dan bertanggung jawab.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa pendidikan pada dasarnya ialah suatu upaya untuk membentuk peserta didik menjadi pribadi dewasa yang berbudi pekerti luhur, menumbuhkembangkan potensi yang dimiliki, serta bertanggung jawab atas perbuatannya.

Setelah mengetahui definisi dari pendidikan, maka selanjutnya ialah mengenai karakter. Definisi mengenai karakter banyak diungkapkan oleh beberapa ahli. Menurut bahasa (etimologis) istilah karakter berasal dari bahasa Latin kharakter, kharassaein, dan kharax, dalam bahasa Yunani character dari kata charassaein, yang berarti

membuat tajam dan membuat dalam. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional kata karakter berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, atau bermakna bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak.

Sementara menurut istilah (terminologis) terdapat beberapa pengertian tentang karakter, sebagaimana telah dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Hornby and Parnwell (1972) mendefinisikan karakter adalah kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi. b. Simon Philips (2008), karakter adalah kumpulan tata nilai yang

menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.

c. Doni Koesoema A. (2007) memahami bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang

5

(31)

bersumber dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan.

Berdasarkan pembahasan diatas dapat ditegaskan bahwa karakter merupakan perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat.6 Berdasarkan uraian mengenai karakter, dapat diketahui bahwa karakter yaitu suatu nilai yang dimiliki pada tiap manusia dan nilai-nilai tersebut didasarkan atas norma agama, hukum, budaya, dan adat istiadat.

Pengertian lain menerangkan karakter, secara lebih jelas, mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behavior), motivasi (motivation), dan keterampilan (skills). Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual, seperti berpikir kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya.7

Maka dapat diberikan kesimpulan bahwa karakter ialah nilai yang ada pada diri manusia dan mengacu pada sikap, perilaku, motivasi, dan keterampilan untuk melakukan hal terbaik yang dimilikinya sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

6

Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 1-4.

7

(32)

Setelah kita mengetahui definisi dari karakter, baik secara terminologis ataupun etimologis, dapat dengan mudah kita mendefinisikan pendidikan karakter.

Menurut Thomas Lickona (1991), pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggungjawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya.

Menurut Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah untuk membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Oleh karena itu, hakikat pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.8 Dengan kata lain pendidikan karakter disini sama halnya dengan pendidikan morak dan akhlak yang mana membentuk kepribadian anak, serta membina kepribadian generasi muda.

Ada pula ahli yang menerangkan bahwa pendidikan karakter sama halnya dengan pendidikan akhlak dalam perspektif islam. Dalam konsep Ibn Miskawaih, pendidikan akhlak merupakan upaya menuju terciptanya sikap batiniah yang mampu mendorong secara spontan lahirnya tindakan-tindakan yang bernilai baik. Kriteria benar-salah dan baik-buruk untuk menilai suatu tindakan dikaitkan kepada Alquran dan petunjuk Nabi Muhammad, sebagai pedoman tertinggi dalam Islam.

Kajian konsep akhlak telah lama dirumuskan oleh tokoh-tokoh Islam, seperti Ibnu Miskawaih, Imam Al-Ghazali, Ibn Sina, Syeikh Ataillah. Semua telaah ini menegaskan , tujuan tertinggi pendidikan

8

(33)

akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku manusia. Karakter positif ini bersumber dari penghayatan dan pengamalan ajaran Allah SWT dalam rutinitas kehidupan manusia.

Dalam sebuah pendidikan, pendidikan karakter ataupun pendidikan akhlak, kedua istilah ini tidak ada pertentangan. Sebab, keduanya membutuhkan sebuah tindakan nyata sebagai ekspresi nilai personal. Keduanya tidak bisa lepas dari sumber nilai-nilai dalam spiritualitas, agama, bahkan budaya.9 Maka menurut pengertian di atas bahwasanya pendidikan karakter atau pendidikan akhlak

Menurut Sisca Rahmadona, Farida Hanum, dan Arif Roham mendefinisikan pendidikan karakter yaitu “Character Education is

done by instilling core ethical values as the basis for a good character. The goal is the formation of good character” 10, yang dapat didefinisikan bahwa pendidikan karakter merupakan penanaman nilai-nilai dasar untuk sebuah karakter yang baik, karena tujuannya ialah pembentukan karakter yang baik.

Pendidikan karakter diartikan juga sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character development

(usaha kita secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah untuk membantu pengembangan karakter dengan optimal). Hal ini berarti bahwa untuk mendukung perkembangan karakter peserta didik harus melibatkan seluruh komponen di sekolah baik dari aspek isi kurikulum (the content of the curriculum), proses pembelajaran (the process of instruction), kualitas hubungan (the quality of relationships), penanganan mata pelajaran (the handling of

9

Mochamad Ziaulhaq, Sekolah Berbasis Nilai, (Bandung: Ihsan Pers, 2015), h. 17-18.

10Sisca Rahmadonna, Farida Hanum dan Arif Rohman, “Development of Children

Character Through Model of Communication, Education, Information in Marginal

(34)

discipline), pelaksanaan aktivitas ko-kurikuler, serta etos seluruh lingkungan sekolah.11

Pendidikan karakter juga bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau

loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik.12

Berdasarkan pengertian dari beberapa para ahli di atas, dapat kita ketahui bahwa pendidikan karakter adalah usaha sengaja yang dilakukan dalam membantu pengembangan karakter dengan optimal dan membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti agar menjadi manusia yang bermoral, serta mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya.

2. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter

Adapun tujuan pendidikan karakter sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 3 (3):

“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”

11

Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsep dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2013), h. 14.

12

(35)

Sedangkan fungsi pendidikan nasional dirumuskan: “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Berdasarkan pernyataan diatas dapat dirumuskan tujuan dari pendidikan karakter adalah untuk membangun dan mengembangkan karakter/budi pekerti peserta didik pada setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan agar dapat menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur menurut ajaran agama dan nilai-nilai luhur dari setiap butir sila dari Pancasila. Secara khusus bertujuan mengembangkan potensi anak didik agar berhati baik, berpikiran baik, berkelakuan baik, memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negara, dan mencintai sesama umat manusia.

Fungsi pendidikan karakter menumbuhkembangkan kemampuan dasar peserta didik agar berpikir cerdas, berperilaku yang berakhlak, bermoral, dan berbuat sesuatu yang baik, yang bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat, membangun kehidupan bangsa yang multikultur, membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya yang luhur, berkontribusi terhadap pengembangan hidup umat manusia, membangun sikap warga negara yang cinta damai, kreatif, mandiri, maupun hidup berdamping dengan bangsa lain.13

Sedangkan menurut Kementerian Pendidikan Nasional dalam Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter memaparkan bahwa pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi: (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warga negara

13

(36)

agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.

Selain itu, pendidikan karakter berfungsi (1) membangun kehidupan bangsa yang multikultural; (2) membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan mampu berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan ummat manusia; mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik serta keteladanan baik; (3) membangun sikap warganegara yang cinta damai, kreatid, mandiri, dan mampu hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam suatu harmoni.14 Dari fungsi dan tujuan di atas dapat diketahui bahwasanya pendidikan karakter memiliki peran yang cukup penting untuk membentuk kepribadian peserta didik. Maka dari itu untuk mencapai tujuan tersebut dan berfungsi secara maksimal diperlukan peran dari berbagai pihak, tidak hanya guru melainkan semua pihak yang terlibat di dalamnya.

3. Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter Bangsa

Mulai tahun pelajaran 2011, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia mengumumkan kepada seluruh tingkat pendidikan di Indonesia harus menyisipkan pendidikan berkarakter. Ada 18 nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan karakter bangsa, antara lain;

NO Nilai Karakter Uraian

1. Religius

Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Religius adalah proses mengikat

14

(37)

kembali atau bisa dikatakan dengan tradisi, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7. Mandiri

(38)

8. Demokratis

(39)

15. Gemar membaca

Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

Berdasarkan nilai-nilai karakter yang sudah dijelaskan, maka dapat kita ketahui bahwa setiap kegiatan yang ada di setiap tingkat satuan pendidikan harus terkandung 18 karakter tersebut. Hal ini sangat penting untuk diterapkan karena dapat menanamkan kepada seluruh peserta didik nilai-nilai karakter yang positif dan memperbaiki moral atau akhlak bangsa Indonesia menjadi lebih baik. Selain diterapkan oleh peserta didik, peran serta dari pendidik dan tenaga pendidik juga perlu karena sebagai panutan atau contoh bagi peserta didik dalam menerapkan nilai-nilai karakter tersebut.

15

(40)

4. Sumber-Sumber Nilai Karakter

Nilai-nilai karakter dan budaya bangsa dikonstruksi dari berbagai sumber, antara lain agama, Pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional (Sarbaitinil, 2014 dalam Yaumi, 2014). Sumber-sumber tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Nilai-nilai karakter dan budaya bangsa bersumber dari ajaran agama. Bangsa Indonesia memiliki keberagaman keyakinan dan kepercayaan. Agama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, aliran kepercayaan, dan berbagai bentuk kepercayaan lain dapat hidup dengan baik di negara ini walaupun sering juga terjadi gesekan-gesekan kecil. Pluralitas dalam beragama telah melahirkan tata nilai, dan budaya yang beragam yang menghasilkan nilai-nilai agung dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

b. Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia juga telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan nilai-nilai yang dianut secara nasional oleh warga negara. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibangun oleh para pendiri bangsa atas dasar prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan seni.

c. Budaya sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan

(41)

Agama

Pancasila

Budaya Tujuan

Pendidi kan

d. Tujuan pendidikan nasional: sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia.16

Gambar 2.1 Sumber Nilai Karakter dan Budaya

Dari berbagai macam sumber nilai karakter dan budaya dapat dipahami bahwasanya nilai-nilai karakter tersebut timbul dari ajaran agama, pancasila, budaya, serta tujuan pendidikan itu sendiri. Apabila dapat disinkronisasikan secara keseluruhan, maka nilai-nilai karakter yang diajarkan pun akan berjalan efektif. Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi dari berbagai macam pihak agar penerapan nilai-nilai karakter dan budaya ini berjalan dengan semestinya.

5. Prinsip Pengembangan Pendidikan Karakter

Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter mengusahakan agar peserta didik mengena dan menerima nilai-nilai karakter sebagai milik peserta didik dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan

16

(42)

mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri.

Berikut prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter (Kemendiknas, 2010a: 11-13),

a. Berkelanjutan, mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter merupakan sebuah proses panjang dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan.

b. Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya satuan pendidikan mensyaratkan bahwa proses pengembangan karakter dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam setiap kegiatan kurikuler, ekstra kurikuler dan kokurikuler.

c. Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan melalui proses belajar

mengandung makna bahwa materi nilai-nilai karakter bukanlah bahan ajar biasa. Tidak semata-mata dapat ditangkap sendiri atau diajarkan, tetapi lebih jauh diinternalisasi melalui proses belajar. d. Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan

menyenangkan. Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan karakter dilakukan oleh peserta didik bukan oleh pendidik.17

Dari beberapa prinsip yang sudah dijelaskan, diketahui bahwa dalam penerapan pendidikan karakter bagi peserta didik harus dikembangkan secara berkelanjutan. Maksudnya, penerapan pendidikan karakter tidak hanya diterapkan pada saat proses belajar saja, melainkan diterapkan melalui kegiatan-kegiatan yang ada pada lingkungan sekolah agar penerapan nilai-nilai karakter dapat berjalan secara maksimal.

Dalam pendidikan karakter sangat penting dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai

17

(43)

kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari. Selain itu, sekolah harus mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat. Yang terpenting, semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti.18

Dengan tanggung jawab yang diemban sekolah tersebut, diharapkan sekolah dapat secara maksimal menerapkan nilai-nilai karakter kepada peserta didik dan peserta didik pun dapat menerapkannya tidak hanya di sekolah saja melainkan di masyarakat dimana mereka tinggal. Karena bahwasanya penerapan nilai-nilai karakter tersebut akan berjalan efektif jika sudah diterapkan di lingkungan mayarakat dan memberikan dampak yang baik pula.

6. Faktor Penyebab Krisis Pendidikan Karakter

a. Dunia pendidikan kita telah memberikan porsi yang sangat besar untuk pengetahuan, tetapi melupakan pengembangan sikap/nilai dan perilaku dalam pembelajarannya. Dunia pendidikan kita sangat meremehkan mata pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter. Di lain pihak, tidak dipungkiri, bahwa pelajaran-pelajaran yang mengembangkan karakter bangsa seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Pendidikan Agama, Ilmu Pengetahuan Sosial dalam pelaksanaan pembelajarannya lebih banyak menekankan pada aspek kognitif daripada aspek afektif dan aspek psikomotorik. Di samping itu, penilaian dalam mata-mata

18

(44)

pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan belum secara total mengukur sosok utuh untuk pribadi siswa.

b. Sistem pendidikan di Indonesia hanya menyiapkan para siswa untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi atau hanya untuk mereka yang punya bakat pada potensi akademik (ukuran IQ tinggi). c. Dunia pendidikan di Indonesia saat ini terjebak pada menyiapkan

manusia dadakan atau manusia “instant”. Hal ini tergambarkan ketika menjelang Ujian Nasional atau Ujian Akhir Sekolah, dimana orangtua yang dengan gencarnya mencari lembaga bimbingan belajar untuk men-drill dan “memaksakan” anak-anaknya agar bisa menguasai bidang ilmu yang diujikan, dalam waktu yang relatif singkat. Banyak orangtua yang seolah-olah mengecilkan arti pendidikan yang telah dikenyam oleh anaknya selama ini, apabila pada akhir masa sekolah nilai ujian anaknya jelek. Sementara itu, perilaku-perilaku yang baik seperti taat pada orangtua dan guru, rajin shalat, tidak suka berbohong, berani memimpin, dan perilaku baik lainnya, jarang disentuh orangtua sebagai kriteria keberhasilan suatu kerberhasilan.

(45)

e. Pelaksanaan pendidikan agama di Indonesia saat ini mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut antara lain, karena pelajaran agama yang diajarkan di sekolah-sekolah itu lebih banyak bersifat ritual dan dogmatik. Pelajaran agama tersebut masih berkisar pada pengajaran tentang persoalan hukum-hukum, aturan-aturan, larangan-larangan, dan lain sebagainya.

Dengan meninjau beberapa faktor di atas, sangat memprihatinkan dewasa ini bangsa Indonesia mengalami krisis karakter karena beberapa hal tersebut. Faktor tersebut disebabkan oleh beberapa hal, dari sistem pendidikan itu sendiri sampai pendidikan agama yang kurang. Krisis yang dialami sekarang ini tidak lain karena penanaman nilai-nilai karakter yang kurang ataupun guru belum mengetahui pendekatan seperti apa yang tepat agar penerapannya tersebut tepat sasaran.

7. Pendekatan Pendidikan Karakter

Berikut ini ringkasan dari penjelasan Kemendiknas (2010b: 14-37) terkait tentang pendekatan karakter,

a. Keteladanan

Satuan pendidikan formal dan non-formal harus menunjukkan keteladanan yang mencerminkan nilai-nilai karakter yang ingin dikembangkan. Selain itu, keteladanan juga dapat ditunjukkan dalam perilaku dan sikap pendidik dan tenaga kependidikan dalam memberikan contoh tindaka-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik untuk mencontohnya.

b. Pembelajaran

Pembelajaran dilakukan melalui berbagai kegiatan di kelas, di satuan pendidikan formal dan nonformal, serta di luar satuan pendidikan.

1) Kelas

(46)

kegiatan belajar mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.

2) Satuan pendidikan formal dan nonformal

Budaya satuan pendidikan formal dan nonformal adalah suasana kehidupan satuan pendidikan formal dan nonformal dimana peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, pendidik dengan pendidik, pendidik/konselor dengan peserta didik, antara tenaga kependidikan dengan pendidik dan peserta didik, dan antaranggota kelompok masyarakat dengan warga satuan pendidikan formal dan nonformal

Interaksi sosial kultural internal kelompok dan antarkelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral, serta etika bersama yang berlaku di suatu satuan pendidikan formal dan nonformal. Jujur, bertanggung jawab, cerdas, kreatif, sehat dan bersih, peduli, dan gotong royong merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam budaya satuan pendidikan formal dan nonformal.

3) Luar satuan pendidikan formal dan nonformal

Pembelajaran karakter dilaksanakan melalui kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan lain yang diikuti oleh seluruh/sebagian peserta didik, dirancang satuan pendidikan formal dan nonformal sejak awal tahun pelajaran atau program pembelajaran, dan dimasukkan ke dalam kalender akademik. Kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler akan semakin bermakna jika diisi dengan berbagai kegiatan bermuatan nilai yang menarik dan bermanfaat bagi peserta didik. Kegiatan yang akan dikembangkan dalam pembentukan karakter adalah kegiatan yang terencana, terprogram, dan tersistem.

c. Pemberdayaan dan Pembudayaan

(47)

bermuara pada pembentukan karakter dalam diri peserta didik. Proses ini dilaksanakan melalui proses pemberdayaan dan pembudayaan sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional. Proses ini berlangsung dalam tiga pilar pendidikan yakni dalam satuan pendidikan formal (sekolah), informal (keluarga), dan nonformal (masyarakat).

d. Penguatan

Penguatan sebagai respon dari pendidikan karakter perlu dilakukan dalam jangka panjang dan berulang terus-menerus. Penguatan dimulai dari lingkungan terdekat dan meluas pada lingkungan yang lebih luas. Penguatan juga dapat terjadi dalam proses habituasi. Hal ini akhirnya akan membentuk karakter yang akan terintegrasi melalui proses internalisasi dan personalisasi pada diri masing-masing individu. Penguatan juga dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, termasuk penataan lingkungan belajar dalam satuan pendidikan formal dan nonformal yang menyentuh dan membangkitkan karakter.

e. Penilaian

Penilaian terhadap pendidikan karakter dapat dilakukan terhadap kinerja pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik. Hal-hal yang terkait dengan penilaian kinerja pendidik atau tenaga kependidikan, antara lain: (1) hasil kerja: kualitas kerja, kuantitas kerja, ketepatan waktu penyelesaian kerja, kesesuaian dengan prosedur, (2) komitmen kerja: inisiatif, kualitas kehadiran, kontribusi terhadap keberhasilan kerja, kesediaan melaksanakan tugas dari pimpinan, dan (3) hubungan kerja: kerja sama, integritas, pengendalian diri, kemampuan mengarahkan dan memberikan inspirasi bagi orang lain.19

19

(48)

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa agar pendidikan karakter berjalan secara efektif diperlukan beberapa pendekatan. Pendidikan karakter dapat diterapkan tidak hanya pada lingkungan sekolah saja, melainkan pada lingkungan keluarga dan masyarakat. Selain itu, perlu adanya suri tauladan atau panutan yang baik sehingga peserta didik dapat mencontohkan yang baik pula. Salah satu suri tauladan yang patut dicontoh adalah Nabi Muhammad SAW yang mana dinyatakan dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 21, “Pada diri Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang baik-baik buat

kamu sekalian”. Selain itu, pendidik ataupun tenaga kependidikan harus dapat mencontohkan nilai-nilai karakter, agar dapat dicontoh oleh peserta didik. Penilaian dari apa yang mereka sudah lakukan juga penting dilakukan karena sebagai bahan evaluasi apakah penerapan pendidikan karakter tersebut berjalan maksimal atau tidak.

B. Masyarakat Marjinal

1. Pengertian Masyarakat Marjinal

Kaum marjinal sama halnya dengan masyarakat yang miskin atau masyarakat pinggiran yang hidup di bawah garis kemiskinan. Masyarakat marjinal adalah golongan masyarakat yang merasakan penderitaan atas himpitan ekonomi dalam kehidupan sehari-sehari mereka.

Menurut Paulo Freire, Kaum marjinal dibedakan dua kelompok yang jarang mendapat perhatian dalam hal pendidikan. Pertama, penyandang cacat, yaitu yang kurang beruntung mendapatkan pendidikan yang memadai dan pendidikannya dibedakan dengan kaum

“normal” yang menjadikan kaum cacat menjadi terasing dari

lingkungan sosial, tereklusi dari sistem sosial orang-orang normal.

(49)

kekerasan.20 Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat marjinal dikelompokan menjadi dua macam, yaitu penyandang cacat dan anak jalanan. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan mereka terasingkan dari lingkungannya.

Masyarakat marjinal juga dapat definisikan sebagai kalangan masyarakat yang akhirnya terasing dan tersingkir akibat ketidakberdayaan mereka untuk mengakses kebutuhan-kebutuhan hidup dengan layak.21 Berdasarkan pengertian tersebut, terasingnya masyarakat marjinal dikarenakan ketidakberdayaan atau ketidak mampuan mereka untuk mengakses kebutuhan hidup yang layak. Kebutuhan yang dimaksud disini penulis mencontohkan seperti kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan.

Golongan masyarakat marjinal, pada umumnya terjebak dalam kemiskinan karena tiadanya modal dan akses ke sumber-sumber pendanaan dan peluang-peluang usaha yang tidak memihak kepadanya. Hasil yang diperoleh dari usahanya pun rata-rata minim, dimana penghasilan yang diperoleh hanya cukup untuk hidup sederhana.22 Definisi di atas menjelaskan bahwa masyarakat marjinal terjebak karena masalah ekonomi yang menyebabkan penghasilan mereka pun di bawah rata-rata.

Dari beberapa pengertian di atas mengenai masyarakat marjinal, dapat kita ketahui bahwa masyarakat marjinal merupakan kelompok masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan diakibatkan karena himpitan ekonomi, sehingga akses untuk mendapatkan kebutuhan hidup yang layak pun tidak dapat terpenuhi,

20

Mohammad Ali Fauzi, “Pendidikan Alternatif Kaum Marjinal (Studi Kasus

Pembelajaran PAI di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah Kalibening Salatiga)”, Skripsi pada IAIN Walisongo Semarang, 2007, h. 25, tidak publikasikan.

21

Yanti Dewi Purwanti, Koentjoro, dan Esti Hayu Purnamaningsih, “Konsep Diri Perempuan Marginal”, Jurnal Psikologi, 2000, h. 48.

22Agus Wijanarko, “Pemberdayaan Masyarakat Marjinal yang Bekerja sebagai

Pedagang Kaki Lima untuk Meningkatkan Pendapatannya (Studi Kasus pada Pedagang Kaki

(50)

seperti ketidakberdayaan mereka untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang layak.

2. Penderitaan Migran Perkotaan

Migran perkotaan biasanya merupakan kelompok yang kurang beruntung. Mereka hidup di tempat kumuh, pinggiran sungai, sebagai pekerja kasar, kuli bangunan, kuli angkut, tukang becak, pengemis, anak jalanan, parkir, dan lain-lain. Mereka biasanya berpendidikan rendah, tidak memahami berbagai peraturan daerah, dan lain-lain. Mereka yang hidup miskin dan menderita di perkotaan sebenarnya lebih rentan dan berbahaya ketimbang yang hidup miskin di pedesaan. Mereka yang di pedesaan lebih hidup tenang, pasrah menerima nasib, tetapi yang hidup di kota pasti tertekan dengan peluang lebih banyak untuk berperilaku menyimpang.

Hidup sebagai migran perkotaan memang penuh derita untuk sebagian besar dari mereka. Salah satu derita yang biasa dialami adalah yang disebut derita status (status anguish), yaitu penderitaan yang disebabkan karena adanya pertentangan-pertentangan status bagi seseorang (Eitzen, 1991). Dari status ada tiga macam, yaitu marginalitas, status tidak konsisten (inconsistency status), dan status menarik diri (withdrawal status). Marginalitas adalah suatu kondisi yang berasal dari dua gaya hidup yang berbeda-beda dan setengah-setengah. Dalam kondisi ini biasanya banyak ketegangan-ketegangan psikologis. Dari sini biasanya lahir tingkah laku aneh-aneh sebagai gambaran adanya konflik batin di dalamnya. Status tidak konsisten

(51)

reaksi perubahan yang radikal revolusioner untuk mengubah statusnya.23

Keadaan seperti itu membuat kelompok marjinal merasa hidup penuh dengan beban, tidak seperti kelompok masyarakat pada umunya. Belum lagi kerasnya hidup yang dirasakan oleh masyarakat marjinal di perkotaan, hal ini semakin menunjukkan bahwa masyarakat seperti ini dibutuhkan treatment khusus dari pemerintah. Apabila hal ini dibiarkan begitu saja, dikhawatirkan masyarakat marjinal akan semakin menjamur dimana-mana.

Orang miskin di daerah perkotaan hidup di kawasan pemukiman yang memiliki berbagai fasilitas tetapi tanpa akses yang memadai untuk dapat menikmatinya. Mereka termasuk dalam kelompok masyarakat marginal, kalangan masyarakat yang akhirnya terasing dan tersingkir akibat ketidakberdayaan mereka untuk mengakses kebutuhan-kebutuhan hidup dengan layak.24 Kebutuhan hidup tersebut meliputi ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Hal yang membuat mereka tersingkir atas ketidakberdayaan mereka ialah karena mereka terasingkan atau terkucilkan dari lingkungan masyarakat dimana mereka tinggal. Hal yang mungkin menyebabkan ini terjadi karena adanya kesenjangan sosial di lingkungan masyarakat, sehingga masyarakat marjinal yang memang berasal dari kalangan ekonomi lemah tidak dapat menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan kelompok masyarakat kelas atas. Selain itu, rendahnya pendidikan yang masyarakat marjinal miliki semakin membuat kelompok masyarakat ini terasingkan, apalagi minimnya pengetahuan yang mereka peroleh sehingga fasilitas yang memang sudah tersedia tidak dapat dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat marjinal.

23

M. Saleh Marzuki, Pendidikan Nonformal, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 207-209.

24

(52)

3. Pendidikan Kaum Miskin

Kemiskinan ialah sebuah kelemahan negara dalam arti ketidakmampuan untuk memberikan kebutuhan-kebutuhan dasar bagi warga negara atau ketidakmampuan untuk mendistribusikan barang-barang dan jasa umum secara merata. Kemiskinan yang terus berlangsung bahkan meningkat dapat disebabkan karena ketergantungan rakyat miskin terhadap mereka yang berada pada posisi kekuasaan, kurang dukungan hukum, dan akses pelayanan umum (pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, dan lain-lain).25

Hal tersebut menjadi masalah konkret yang sampai sekarang masih dirasakan oleh masyarakat Indonesia, khususnya dalam pengentasan kemiskinan di bidang pendidikan. Ini merupakan titik lemah bangsa Indonesia dimana pendidikan yang seharusnya dapat dirasakan oleh berbagai pihak, namun pada kenyataannya pemerataan pendidikan pun masih kurang.

Kemiskinan merupakan masalah yang sangat serius dihadapi oleh Indonesia. Kebanyakan penduduk Indonesia rentan terhadap kemiskinan. Hampir 40 persen dari penduduk (lebih dari 110 juta orang) Indonesia hidup hanya sedikit diatas garis kemiskinan nasional dan mempunyai pendapatan kurang dari US$ 2 per hari (World Bank, 2005, policy brief “Poverty Reduction”).

Ditengah berbagai persoalan yang mendera negeri ini, pendidikan diharapkan bisa menjadi tumpuan harapan sebagai titik berangkat untuk bangkit dari keterpurukan dan kemiskinan. Agar hak atas pendidikan dapat dipenuhi, pemerintah perlu menjamin pendidikan tanpa biaya dan wajib belajar bagi semua anak. Pemerintah juga dituntut menghargai kebebasan para orangtua untuk memilihkan anak-anaknya dalam memperoleh pendidikan berkualitas.

25

Gambar

Tabel 4.2 Data Warga Belajar dan Anak Asuh berdasarkan Latar Belakang  ..............  50
Gambar 2.1 Sumber Nilai Karakter dan Budaya  ......................................................
Gambar 2.1 Sumber Nilai Karakter dan Budaya
gambaran adanya konflik batin di dalamnya. Status tidak konsisten
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tanggung jawab pendidikan dibebankan pada mata pelajaran tertentu, salah satu mata pelajaran untuk membantu membentuk karakter siswa di sekolah adalah Pendidikan

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pengembangan karakter kreatif dan disiplin pada pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarga- negaraan di kelas X

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pengembangan karakter kreatif dan disiplin pada pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarga- negaraan di kelas X

Bagi SMPN 1 Tulungagung sebaiknya lembaga tersebut menyelenggarakan pendidikan karakter melalui proses pembelajaran sehingga dapat membentuk nilai intrinsik yang

Sasaran pengembangan media pembelajaran ini adalah untuk membantu siswa dalam mempelajari dan memahami materi pendidikan budaya dan karakter bangsa secara alamiah,

Dari uraian-uraian di atas penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam lagi model-model pendidikan karakter dan hasilnya dalam membentuk kepribadian muslim

Kemudian, dilanjutkan dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh Jurusan Teknik Industri UK Petra untuk merancang pendidikan karakter yang sistematis dan terintegrasi dalam kurikulum

Lickona (2007: 10) menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami,