PERAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DALAM
MENDUKUNG PENEGAKAN SYARIAT ISLAM
DI PROPINSI ACEH
T E S I S
Oleh
SYARIFAH NAYLA
087005037/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
PERAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DALAM
MENDUKUNG PENEGAKAN SYARIAT ISLAM
DI PROPINSI ACEH
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
SYARIFAH NAYLA
087005037/HKPROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis : PERAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DALAM MENDUKUNG PENEGAKAN SYARIAT ISLAM DI PROPINSI ACEH
Nama Mahasiswa : Syarifah Nayla Nomor Pokok : 087005037 Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui : Komisi Pembimbing
(Prof. Chainur Arrasjid, SH) Ketua
(Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH,DFM) Anggota
(Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) Anggota
Ketua Program Studi Ilmu Hukum
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH)
D e k a n
(Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
ABSTRAK
Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (POLDA NAD) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memiliki tugas dan kewenangan dalam penegakkan syariat Islam. peranan Polri dalam penegakan syariat Islam mempunyai ciri tersendiri yang membutuhkan kajian yang mendalam karena adanya sistem hukum Islam yang berdampingan dengan sistem hukum nasional secara umum yang berlaku. Keberlakuan syariat Islam yang baru dilaksanakan di Provinsi Aceh, perangkat peraturan prundang undangan (Qanun) yang masih dalam tahap awal pembangunan konstrksi hukum berdasarkan syariat Islam di Provinsi Aceh dan secara keseluruhan Struktur hukum yang harus secara bertahap di bangun berkaitan dengan penerapan syariat Islam, menyebabkan kajian terhadap peranan Polri dalam penegakan syariat Islam di NAD sangat penting untuk dijadikan pembahasan dalam tesis ini. Untuk itu penulis memilih judul dalam penelitian tesisnya adalah Peran Kepolisian Republik Indonesia dalam Mendukung Penegakkan Syariat Islam di Provinsi Aceh. Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut : (1) Bagaimana keterkaitan pengaturan hukum syariat Islam di Provinsi Aceh dengan Hukum Pidana Nasional; (2) Bagaimanakah kewenangan Kepolisian Republik Indonesia dalam penegakan Hukum Pidana Islam di Provinsi Aceh.
Penelitian mengenai Peran Kepolisian Republik Indonesia dalam Penegakkan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darusalam merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif bertujuan untuk menemukan aturan-aturan hukum pada bidang penegakkan syariat Islam di NAD yang dapat memberikan ketegasan kewenangan penegakan syariat Islam yang dilakukan oleh Polri
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan keterkaitan pengaturan hukum syariat Islam di Provinsi Aceh dengan hukum pidana Nasional adalah hukum syariat Islam di Provinsi Aceh merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Dalam pemberlakuan hukum pidana di Provinsi Aceh terdapat dua jenis hukum pidana yang diterapkan yakni hukum pidana Indonesia secara umum di satu sisi, dan hukum pidana Islam yang diatur lewat qanun-qanun sebagai implikasi dari kesempatan penerapan syari`at Islam di Provinsi Aceh. Pemberlakuan hukum pidana Islam yang ada di Provinsi Aceh itu menganut asas personalitas keislaman, artinya, qanun-qanun syari`at hanya berlaku bagi umat Islam saja. Kewenangan Kepolisian Republik meliputi Melakukan penyelidikan untuk penegakan syariat Islam sepanjang mengenai jinayah, Menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang, yang telah
memberikan taufiq, rahmat, hidayah dan petunjuk serta bimbingan-Nya kepada
penulis sehingga tersusunlah tesis ini yang berjudul Peran Kepolisian Republik
Indonesia dalam Mendukung Penegakan Syariat Islam di Propinsi Aceh.
Penulisan tesis ini merupakan syarat untuk menyelesaikan pendidikan
program Strata-2 dan memperoleh gelar Magister Hukum dalam Program Studi
Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
Proses penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan seluruh pihak secara
langsung maupun tidak langsung yang selalu membantu dan membimbing penulis
dalam penyelesaiannya, dengan memberikan dukungan dan sumbangsih sepenuhnya.
Oleh karena itu pada kesempatan yang berbahagia ini dengan segala hormat dan
segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus
kepada:
1. Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTMH&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
3. Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Prof. Chainur Arrasjid, SH., Syafruddin S. Hasibuan, SH., MH., DFM., dan
Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum., selaku pembimbing yang tanpa pamrih
telah banyak membimbing, mengarahkan dan memberi motivasi serta
nasihatnya yang terus-menerus kepada penulis secara materil dan moril
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
5. Prof. Dr. Suwarto, SH., MH., dan Dr. Utary Maharani Barus, SH., M.Hum.,
selaku penguji yang telah banyak memberi masukan dan saran untuk
kesempurnaan tesis ini.
6. Andar Perdana Widiastono, SH., MH., Asisten Intelijen pada Kejaksaan
Tinggi Sumatera Utara selaku atasan penulis yang telah memberikan waktu
luang, kesempatan dan motivasi kepada penulis untuk dapat merampungkan
tesis ini.
7. Kedua orang tua tercinta, ayahanda Sayed Muchtar, BcTT dan ibunda
Syarifah Zubaidah yang telah mencurahkan kasih sayang, doa dan dukungan
yang tiada hentinya kepada penulis sehingga penulis dapat mempersembahkan
tesis ini ke pangkuan mereka sebagai bingkisan kecil dari jerih payah mereka
mengantarkan penulis sampai pada tingkat ini.
8. Saudara-saudara kandungku terkasih, kakanda Syarifah Tifany SH,.Mkn.,
yang telah memberi dukungan, doa dan tenaga dalam membantu
menyelesaikan tesis ini.
9. Keluarga di Palembang, Bapak H. Adam idris, SE., ibu Hj. Dra. Rusmala
dewi, M.Hum., M. Reza Kurniawan, SH., dan Amalia Hasanah yang telah
membantu doa dan memberi dukungan.
10. M. Taufik Akbar, SH, yang setiap saat memberikan semangat dan motivasi,
masukan yang bermanfaat, dukungan moril serta doa, semoga tesis ini dapat
memicu semangat beliau untuk juga dapat menyelesaikan Strata-2 nya.
11. Civitas Akademika Universitas sumatera Utara yang telah banyak membantu
penulis dalam proses belajar-mengajar di Program Studi Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Akhirnya kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, penulis
mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya atas segala bantuan yang telah
diberikan, semoga Allah swt membalasnya, Amin. Dan demi kesempurnaan
penulisan tesis ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak.
Medan, Februari 2011
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : Syarifah Nayla
Tempat/Tgl. Lahir : Binjai/10 Agustus 1983
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Belum Kawin
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Pendidikan :
- Sekolah Dasar (SD) Negeri No 5, Aceh Pidie (Lulus
Tahun 1996).
- Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri No 1,
Aceh Pidie (Lulus Tahun 1999).
- Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) Negeri No 1,
Aceh Pidie (Lulus Tahun 2002).
- Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
(Lulus Tahun 2007).
- Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR ISTILAH... ix
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah... 11
C. Tujuan Penelitian... 12
D. Manfaat Penelitian... 12
E. Keaslian Penelitian ... 13
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13
1. Kerangka Teori ... 13
2. Landasan Konsepsional ... 21
G. Metode Penelitian ... 25
2. Metode Pendekatan ... 27
3. Lokasi ... 27
4. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data... 28
5. Analisis Data ... 29
BAB II : KETERKAITAN PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM DI PROVINSI ACEH DENGAN HUKUM PIDANA NASIONAL ... 31
A. Kedudukan Syariat Islam di Provinsi Aceh Dalam Sistem Hukum Nasional ... 31
B. Hukum Pidana Islam di Provinsi Aceh ... 41
C. Kebijakan Hukum Pidana di Provinsi Aceh ... 49
BAB III : KEWENANGAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA ISLAM DI PROVINSI ACEH ... 60
A. Tugas dan Kedudukan Polri Dalam Sistem Kekuasaan Negara... 60
B. Penegakkan Hukum Pidana Islam di Provinsi Aceh ... 73
C. Dasar Hukum Pelaksanaan Peranan Polda Aceh Dalam Penegakan Syariat Islam... 88
D. Peran Wilayatul Hisbah dalam Penegakkan Syariat Islam di Provinsi Aceh ... 100
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN... 112
A. Kesimpulan... 112
B. Saran ... 113
DAFTAR
ISTILAH
1. Pemerintahan Aceh : Pemerintahan Daerah Provinsi dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan
fungsi dan kewenangan masing‐masing.
2. Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam : Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang bertugas di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
3. Wilayatul Hisbah : Lembaga pembantu tugas Kepolisian yang bertugas membina,
melakukan advokasi dan mengawasi pelaksanaan amar makruf nahi mungkar dan
dapat berfungsi sebagai Polsus dan PPNS.
4. Mahkamah Syariat Aceh dan Mahkamah Syariat Kabupaten/Kota :
pengadilan selaku pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan
peradilan agama yang merupakan bagian dari sistem peradilan nasional.
5. Mahkamah : Mahkamah Syariat , Mahkamah Syariat Aceh dan Mahkamah
Agung.
6. Jarimah : perbuatan yang dilarang oleh Syariat Islam yang dalam qanun
jinayat diancam dengan ‘uqubat hudud dan/atau ta’zir.
7. Uqubat : hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelanggaran
8. Muhtasib : anggota polisi Wilayatul Hisbah yang diangkat dan diberi wewenang
untuk melaksanakan fungsi‐fungsi polisi Wilayatul Hisbah.
9. Khamar : minuman keras yang mengandung zat memabukkan.
10. Maisir : setiap permainan yang mengandung unsur taruhan, unsur untung‐
untungan yang dilakukan antara 2 (dua) pihak atau lebih, pihak yang menang akan
mendapat keuntungan tertentu dari pihak yang kalah baik secara langsung atau
tidak langsung.
11. Khalwat : perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyi antara 2 (dua)
orang yang berlainan jenis kelamin yang bukan muhrim dan tanpa ikatan
perkawinan dengan maksud bersunyi‐sunyi.
12. Ikhtilath : perbuatan bermesraan antara laki‐laki dan perempuan yang bukan suami
isteri atau mahram baik pada tempat tertutup atau terbuka.
13. Zina : persetubuhan antara seorang laki‐laki dan seorang perempuan tanpa ikatan
perkawinan yang sah dengan kerelaan kedua belah pihak.
ABSTRAK
Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (POLDA NAD) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri) memiliki tugas dan kewenangan dalam penegakkan syariat Islam. peranan Polri dalam penegakan syariat Islam mempunyai ciri tersendiri yang membutuhkan kajian yang mendalam karena adanya sistem hukum Islam yang berdampingan dengan sistem hukum nasional secara umum yang berlaku. Keberlakuan syariat Islam yang baru dilaksanakan di Provinsi Aceh, perangkat peraturan prundang undangan (Qanun) yang masih dalam tahap awal pembangunan konstrksi hukum berdasarkan syariat Islam di Provinsi Aceh dan secara keseluruhan Struktur hukum yang harus secara bertahap di bangun berkaitan dengan penerapan syariat Islam, menyebabkan kajian terhadap peranan Polri dalam penegakan syariat Islam di NAD sangat penting untuk dijadikan pembahasan dalam tesis ini. Untuk itu penulis memilih judul dalam penelitian tesisnya adalah Peran Kepolisian Republik Indonesia dalam Mendukung Penegakkan Syariat Islam di Provinsi Aceh. Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut : (1) Bagaimana keterkaitan pengaturan hukum syariat Islam di Provinsi Aceh dengan Hukum Pidana Nasional; (2) Bagaimanakah kewenangan Kepolisian Republik Indonesia dalam penegakan Hukum Pidana Islam di Provinsi Aceh.
Penelitian mengenai Peran Kepolisian Republik Indonesia dalam Penegakkan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darusalam merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif bertujuan untuk menemukan aturan-aturan hukum pada bidang penegakkan syariat Islam di NAD yang dapat memberikan ketegasan kewenangan penegakan syariat Islam yang dilakukan oleh Polri
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan keterkaitan pengaturan hukum syariat Islam di Provinsi Aceh dengan hukum pidana Nasional adalah hukum syariat Islam di Provinsi Aceh merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Dalam pemberlakuan hukum pidana di Provinsi Aceh terdapat dua jenis hukum pidana yang diterapkan yakni hukum pidana Indonesia secara umum di satu sisi, dan hukum pidana Islam yang diatur lewat qanun-qanun sebagai implikasi dari kesempatan penerapan syari`at Islam di Provinsi Aceh. Pemberlakuan hukum pidana Islam yang ada di Provinsi Aceh itu menganut asas personalitas keislaman, artinya, qanun-qanun syari`at hanya berlaku bagi umat Islam saja. Kewenangan Kepolisian Republik meliputi Melakukan penyelidikan untuk penegakan syariat Islam sepanjang mengenai jinayah, Menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangTerdapat falsafah dalam masyarakat Islam Aceh bahkan sampai saat ini masih
tetap juga diyakini landasan kehidupan kesehariannya yang berbunyi : Adat bak
Poteumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Adat ngon Hukom lagee Zat ngon
Sifeut. Artinya, Adat adalah dalam masyarakat Islam Aceh yang berkembang
sekarang ini adalah adat dengan syariat tidak mungkin untuk dipisah bagaikan benda
senyawa yang tidak mungkin dipisahkan menjadi dua bagian.
Maksud dari falsafah di atas untuk menyatakan bahwa, dalam kehidupan
masyarakat Aceh sejak masa lalu yang berpedoman pada hukum, adat dan resam.
Hukum adat memainkan peranan penting dalam pembentukan watak, pola fikiran
dalam membuat sebuah perubahan struktur sosial dalam masyarakat Aceh. Hukum
juga memberikan sebagai kontribusi ataupun penekanan pada etika moral dalam
nilai-nilai Islami kehidupan seharian yang sebenar seperti salah satu cara bertarekat, agar
dapat membersihkan jiwa yang telah dikotori dengan dosa pada masa lalu dan
sementara aliran-aliran kebatinan.
Ada banyak sekali penelitian terhadap sejarah Hukum Islam yang sangat
rumit di Aceh, tetapi versi yang disederhanakan adalah sebagai berikut. Sejak abad
ketujuhbelas hingga ke masa pembentukan pengawasan administratif oleh
dilaksanakan oleh hakim Islam (qadi), yang diangkat oleh sultan dan pejabat-pejabat
lain.1 Sama seperti di belahan negeri Muslim lainnya, hukum yang berlaku
merupakan campuran dari syariat dan adat yang bervariasi dari satu tempat ke tempat
lain. Dengan kedatangan penjajah Belanda, sistem menggunakan para qadi yang
diangkat secara lokal terus dipakai, namun wewenang mereka secara bertahap
dikurangi, dan pada waktu itu secara formal tidak ada pengadilan agama – atau
setidaknya tak ada pengadilan agama yang diakui oleh pemerintahan koloni.
Peradilan pidana berada di bawah wewenang pengadilan kolonial, dan Belanda
berusaha untuk memindahkan penanganan kasus-kasus lain seperti persoalan tanah dan
warisan, menjadi tanggung jawab dewan adat.2
Pelaksanaan hukum adat3 Aceh yang diamalkan dalam kalangan masyarakat
setempat sekarang ini, merupakan satu kesinambungan kepada hukum dan Qanun
Aceh yang telah diterapkan pada masa kegemilangan kerajaan Aceh sebagai sebutan
Serambi Mekah, baik adat tersebut yang berdasarkan pada ajaran Al-Qur’an dan
Hadist ataupun hanya berupa hukum adat yang seakan-akan bertentangan dengan
syariat Islam yang disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.
1
Para scholar, yang hasil kerjanya telah membawa akibat atau pengaruh berarti bagi kebijakan-kebijakan dari pemerintah koloni Belanda, yaitu Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) dan Cornelis van Vollenhoven (1874-1933). Spesialisasi Snouck adalah mengenai Aceh, van Vollenhoven mengenai adat. Lihat T. Lindsey, M.B. Hooker, R. Clarke, dan J. Kingsley, “Shari’a Revival in Aceh”, dalam M. Feener and M.Cammack, Law Reform in Indonesia (forthcoming, 2006).
2
Daniel Lev, Islamic Courts in Indonesia (1985), hal. 10; Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh (2003), hal. 48.
3
Tiga argumentasi utama telah digunakan baik oleh orang-orang Aceh maupun
non Aceh sebagai pembenaran atas pemberian hak untuk menerapkan hukum Islam
secara penuh kepada Aceh, dan bukannya ke daerah lain di Indonesia yang Islamnya
juga kuat, yaitu : Islam adalah identitas utama masyarakat dan kebudayaan Aceh;
syariat pernah diterapkan di Aceh pada masa kesultanan, jadi ada preseden historis;
Penerapan syariat telah jadi sebuah tuntutan politis dari rakyat Aceh sejak masa
penjajahan, dan penolakan untuk memberikan hak menerapkan syariat kepada rakyat
Aceh akan menjamin pemberontakan di Aceh akan terus berlanjut.4
Hasilnya adalah diadopsinya UU No. 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan
keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh – untuk yang pertama kali sejak status
daerah istimewa ini diberikan tahun 1959. UU ini menghendaki diterapkannya syariat
bagi pemeluk Islam, tetapi juga perlindungan bagi hubungan antar agama. UU ini
mendefinisikan syariat sebagai “tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek
kehidupan” dan memberi wewenang kepada pejabat pemerintah setempat untuk
menentukan kebijakan tentang kehidupan beragama, adat istiadat, pendidikan dan
peran ulama, baik melalui peraturan daerah atau keputusan gubernur.
Para pejabat Aceh yang bertanggung jawab menerapkan syariat sangat
percaya bahwa jika standar moral dipulihkan dan rakyat Aceh menjadi Muslim yang
masyarakat. Ratno Lukito, Law And Adat Encounter: The Experience of Indonesia, Tesis M.A. Universiti McGill. 1997.
.
4
lebih baik, maka mewujudkan tujuan yang lain seperti perdamaian, rekonstruksi dan
rekonsiliasi akan lebih mudah. Mereka percaya bahwa kegagalan untuk menegakkan
syariat di masa lalu telah menyebabkan rakyat Aceh mengalami konflik dan bahwa
konflik telah menimbulkan berbagai penyakit sosial yang mana kepatuhan yang lebih
ketat terhadap Islam akan dapat membantu menyembuhkan hal itu. Mereka juga
menganggap bahwa Aceh dapat menemukan jalan untuk melaksanakan syariat Islam
sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai rakyat Aceh.5
Selanjutnya karena telah menerima pelaksanaan Syari`at (fiqih) di dalam
bingkai negara bangsa, maka para ulama tentu harus menyusun fiqih dalam bentuk
peraturan perundang-undangan dan meletakkannya dalam kerangka hirarki
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sekarang. Lebih tegas lagi secara
formal yuridis, syari`at Islam di Aceh akan dilaksanakan melalui Qanun Aceh yang
oleh undang-undang ditetapkan berada langsung di bawah undang-undang.6
Dengan kata lain pemberlakuan Syari`at di Aceh sekarang ini adalah dalam
kerangka pelaksanaan UUD 1945, dan hirarkis perundang-undangan Indonesia,
bukan semata-mata karena perintah Allah atau perintah agama. Dengan demikian
Al-qur’an dan Sunnah sebagai dalil syara’ dan di bawah itu ijtihad para ulama sebagai
dasar dan landasan penulisan qanun, diletakkan di bawah undang-undang dasar,
5
Ibid, hal. 18.
6
setingkat dengan undang dan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang.7
Selanjutnya harus juga disebutkan, karena mengikuti hirarki tertib peraturan
perundang-undangan di Indonesia, maka terhadap Qanun Aceh yang memuat syari`at
Islam ini dapat dilakukan uji materil oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung
dapat membatalkan isi sebuah qanun kalau dianggap bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu undang-undang atau peraturan
pemerintah pengganti undang-undang dan Undang-Undang Dasar. Dengan demikian
ijtihad para ulama Aceh yang telah dituangkan ke dalam Qanun Aceh dapat
dibatalkan oleh Mahkamah Agung sekiranya mereka anggap bertentangan dengan
undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau
Undang-Undang Dasar.8
Pada saat ini, pelaksanaan syari`at Islam di Aceh adalah amanat dan perintah
paling kurang dari tiga undang-undang, yaitu :
1. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Aceh;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan
3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan
7
Ibid. hal. 5.
8
Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.9
Di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
ada tiga bab yang berkaitan dengan pelaksanaan Syari`at Islam yang diletakkan
secara berurutan yaitu Bab XVII Syari`at Islam dan Pelaksanaannya, Bab XVIII
Mahkamah Syar`iyah, dan Bab XIX Majelis Permusyawaratan Ulama.
Mengenai keberadaan dan kewenangan Mahkamah Syar`iyah, serta hukum
materil dan formil yang akan digunakannya ditemukan uraian (1) Peradilan Syari`at
Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan
peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah Syar`iyah yang bebas dari pengaruh
pihak manapun. (2) Mahkamah Syar`iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang
yang beragama Islam dan berada di Aceh. (3) Mahkamah Syar`iyah berwenang
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang
ahwal al syakhsiyah (hukum keluarga), mu`amalah (hukum perdata) dan jinayah
(hukum pidana) yang didasarkan atas syari`at Islam. (4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai bidang ahwal al syakhsiyah (hukum keluarga), mu`amalah (hukum perdata)
dan jinayah (hukum pidana) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Qanun Aceh.10
9
Penjelasan Raqan (Rancangan Qanun) tentang Jinayat bagian penjelasan umum.
10
Mengenai asas personal atau teritorial dari pemberlakukan Syari`at Islam di
Aceh, ditemukan uraian, (1) Dalam hal terjadi perbuatan jinayah yang dilakukan oleh
dua orang atau lebih secara bersama-sama yang diantaranya beragama Islam, pelaku
yang beragama bukan Islam dapat memilih dan menundukkan diri secara sukarela
pada hukum jinayah. (2) Setiap orang yang beragama bukan Islam melakukan
perbuatan jinayah yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau
ketentuan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berlaku hukum
Jinayah. (3) Penduduk Aceh yang melakukan perbuatan jinayah di luar Aceh berlaku
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.11
Mengenai hukum formil dalam penegakkan syariat Islam di Aceh diuraikan
sebagai berikut : (1) Hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syar`iyah adalah
hukum acara yang diatur dalam Qanun Aceh. (2) Sebelum Qanun Aceh tentang
hukum acara pada ayat (1) dibentuk : a. hukum acara yang berlaku pada Mahkmah
Syar`iyah sepanjang mengenai ahwal al syakhsiyah dan mu`amalah adalah Hukum
Acara sebagaimana yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama
kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-Undang ini. b. hukum acara yang
berlaku pada Mahkamah Syar`iyah sepanjang mengenai jinayah adalah hukum acara
sebagaimana yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum
kecuali diatur secara khusus dalam Uundang-undang ini.12
11
Pasal 129 UU No. 11 Tahun 2006
12
Mengenai tugas penyelidikan dan penyidikan, disebutkan, Tugas penyelidikan dan
penyidikan untuk penegakan syari`at Islam yang menjadi kewenangan Mahkamah
Syar`iyah sepanjang mengenai jinayah dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.13
Sedang mengenai manajemen organisasi dan pengembangan sumber daya
manusia disebutkan, (1) Perencanaan, pengadaan, pendidikan dan pelatihan serta
pembinaan teknis terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
dalam pasal 133 difasilitasi oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia Aceh sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengangkatan, persyaratan dan pendidikan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.14
Mengenai pembentukan instansi penegak hukum maka Gubernur,
Bupati/Walikota dalam menengakkan qanun dalam penyelenggaraan ketertiban
umum dan ketenteraman masyarakat dapat membentuk Satuan Polisi Pamong Praja.
(2) Gubernur, Bupati/Walikota dalam menegakkan qanun syar`iyah dalam
pelaksanaan syari`at Islam dapat membentuk unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai
bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembentukan dan penyusunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja sebagaimana
13
Pasal 133 UU No. 11 Tahun 2006
14
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam qanun yang berpedoman pada peraturan
perundang-undangan.15
Anggota Satuan Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai Penyidik
Pegawai Negeri Sipil. Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran atas qanun
dilakukan oleh pejabat penyidik dan penuntut umum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.16
Pemberian kewenangan kepada PPNS dan SATPOL PP yang agak luas ini
didasari oleh dua hal, pertama, ada keizinan dalam berbagai undang-undang bahwa
penegakan hukum di luar bidang pidana umum akan dilakukan oleh polisi khusus
(termasuk SATPOL PP) dan PPNS. Alasan kedua, ada prediksi dikalangan
kepolisian bahwa hukum yang akan berlaku di Aceh berbeda banyak dengan aturan
yang ada dalam hukum pidana yang sekarang dipakai secara nasional.17
Dalam pelaksanaan syariat Islam di Provinsi Aceh, Polri berwenang untuk
menegakkan hukum beserta instansi terkait lainnya dalam rangka penerapan syariat
Islam secara khafah, khususnya dalam upaya penegakkan hukumnya. Hal ini
selaras dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 13 dan 14 UU Nomor 2 Tahun
2002Tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Adapun kewenangan Polri dalam pelaksanaan syariat Islam di Provinsi Aceh
sebagai penegak hukum terhadap pelaggaran syariat islam dan sebagai Koordinator
15
Pasal 244 UU No. 11 Tahun 2006
16
Pasal 245 UU No. 11 Tahun 2006
17
dan Pengawasan (Korwas) terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang
menangani kasus pelanggaran syariat islam.18
Kewenangan Penyidik Polri terhadap PPNS adalah melakukan koordinasi dan
pengawasan (Korwas) yang dalam kegiatan sehari hari dilaksanakan dalam bentuk
pembinaan teknis, bantuan penyidikan dan menyelenggarakan hubungan tata cara
kerja agar terjalin kerjasama yang serasi. Keberadaan PPNS sangat membantu tugas
tugas kepolisian, dan keberadaan PPNS sendiri diakui secara tegas dalam UU Nomor
2 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa : Pengemban fungsi kepolisian adalah
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : (a) kepolisian khusus, (b)
penyidik pegawai negeri sipil, dan (c) bentuk bentuk pengamanan swakarsa.
Ketentuan tersebut di atas juga diperkuat oleh ketentuan pasal 6 ayat (1) UU
Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang menyatakan bahwa : “Penyidik adalah (a) Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia, (b) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
dalam undang-undang ini.”
Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (POLDA NAD) yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
memiliki tugas dan kewenangan dalam penegakkan syariat Islam. Kewenangan dan
tugas penegakan syariat Islam disebutkan secara tegas dalam pasal 133
Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang menyatakan “Tugas Kewenangan untuk
18
melakukan penyidikan terhadap kasus pelanggaran syariat Islam dapat saja dilakukan
oleh PPNS, karena pada akhirnya PPNS akan menyerahkan berkas perkara tersebut
melalui Polri untuk dapat diteruskan ke tahap penuntutan.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 107 ayat (3) UU Nomor 8 tahun
1981 yang menyatakan bahwa : “dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh
penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil
penyelidikan kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1)
huruf a.”
Berdasarkan uraian di atas, peranan Polri dalam penegakan syariat Islam
mempunyai ciri tersendiri yang membutuhkan kajian yang mendalam karena adanya
sistem hukum Islam yang berdampingan dengan sistem hukum nasional secara umum
yang berlaku. Keberlakuan syariat Islam yang baru dilaksanakan di Provinsi Aceh,
perangkat peraturan prundang undangan (Qanun) yang masih dalam tahap awal
pembangunan konstrksi hukum berdasarkan syariat Islam di Provinsi Aceh dan secara
keseluruhan Struktur hukum yang harus secara bertahap di bangun berkaitan dengan
penerapan syariat Islam, menyebabkan kajian terhadap peranan Polri dalam
penegakan syariat Islam di NAD sangat penting untuk dijadikan pembahasan dalam
tesis ini. Untuk itu penulis memilih judul dalam penelitian tesisnya adalah Peran
Kepolisian Republik Indonesia dalam Mendukung Penegakkan Syariat Islam di
Provinsi Aceh.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas,
permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Bagaimana keterkaitan pengaturan hukum syariat Islam di Provinsi Aceh dengan
Hukum Pidana Nasional?
2. Bagaimanakah kewenangan Kepolisian Republik Indonesia dalam penegakan
Hukum Pidana Islam di Provinsi Aceh?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dikemukan di atas maka
tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis keterkaitan pengaturan hukum syariat Islam
di Provinsi Aceh dengan Hukum Pidana Nasional?
2. Untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan Kepolisian Republik Indonesia
dalam penegakan Hukum Pidana Islam di Provinsi Aceh?
Ada dua kegunaan yang dapat diperoleh dalam penelitian ini yaitu bersifat
teoritis dan bersifat praktis.
1. Bersifat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran di bidang
hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya dalam
bidang hukum acara pidana yang berkaitan peranan kepolisian dalam
penegakan hukum syariat Islam yang diberlakukan di Provinsi Aceh.
2 Bersifat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan/diterapkan oleh pengambil
kebijakan dan para pelaksana hukum syariat Islam di Provinsi Aceh, terutama
dapat berguna bagi POLRI NAD dalam rangka melaksanakan tugas dalam
penegakkan syariat Islam di Provinsi Aceh.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan dan hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai
masalah Peran Kepolisian Republik Indonesia dalam Penegakkan Syariat Islam di
Nanggroe Aceh Darusalam belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan
yang sama. Jadi Penelitian ini dapat disebut asli sesuai dengan asas asas keilmuan
yaitu, jujur, rasional dan objektif serta terbuka.
1. Kerangka Teori
Penelitian ini memilih Teori Negara Hukum sebagai Grand Theory karena
pertimbangan Negara Indonesia merupakan Negara Hukum (rechtsstaat)
sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen ketiga juga
karena teori negara hukum mengedepankan kepastian hukum (rechts zekerheids) dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia (human rights). Pada dasarnya suatu negara
yang berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu.
Hal ini merupakan sesuatu yang harus dilakukan (conditio sine quanon) mengingat
bahwa negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan individu untuk melepaskan
dirinya dari keterikatan serta tindakan sewenang-wenang penguasa. Atas dasar itulah
penguasa tidak boleh bertindak secara sewenang-wenang terhadap individu dan
kekuasaannya pun harus dibatasi.19 Oleh karena itu dalam suatu negara hukum selain
terdapat persamaan (equality) juga pembatasan (restriction). Batasan kekuasaan ini
juga berubah-ubah, tergantung kepada keadaan. Namun sarana yang dipergunakan
untuk membatasi kedua kepentingan itu adalah hukum. Baik negara maupun individu
adalah subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Oleh karena itu, dalam
suatu negara hukum, kedudukan dan hubungan individu dengan negara senantiasa
terdapat keseimbangan. Kedua-duanya mempunyai hak dan kewajiban yang
dilindungi oleh hukum.20
19
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, (Bandung : PT Alumni, 2007), hal. 83.
20
Secara teoritis Konsepsi Negara Hukum yang dianut Indonesia tidak dari
dimensi formal, melainkan dalam arti materil atau lazim dipergunakan terminologi
Negara Kesejahteraan (welfare state) atau Negara kemakmuran.
Oleh karena itu tujuan yang hendak dicapai Negara Indonesia adalah
terwujudnya masyarakat adil dan makmur baik spiritual maupun materil berdasarkan
Pancasila, sehingga disebut juga sebagai negara hukum yang memiliki karakteristik
mandiri yaitu Negara Hukum berdasarkan Pancasila.21
Pada dasarnya konsep Negara Hukum merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari doktrin Rule of law dimana dari beberapa doktrin dapat disimpulkan
bahwa semua tindakan Pemerintah harus berdasarkan atas hukum dan adanya jaminan
terhadap hak-hak asasi manusia antara lain Asas Praduga tidak bersalah (presumption
of innocence) dan Asas Legalitas (principle of legality). Asas praduga tidak bersalah
dan asas legalitas merupakan bagian dari Hukum Pidana Formil dan Hukum Pidana
Materil yang merupakan Sub sistem dari Sistem Hukum Pidana. Marc Ancel
menyebutkan sistem hukum pidana abad XX masih harus diciptakan. Sistem
demikian hanya dapat disusun dan disempurnakan oleh usaha bersama semua orang
yang beritikad baik dan juga oleh semua ahli di bidang ilmu-ilmu sosial.22 Asas
Sistem Hukum Pidana memiliki empat elemen substantif yaitu nilai yang mendasari
sistem hukum (philosophic), adanya asas-asas hukum (legal principles), adanya
21
Rukmana Amanwinata, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul Dalam Pasal 28 UUD 1945, (Bandung:Fakultas Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 1996), hal. 109.
22
norma atau peraturan perundang-undangan (legal rules) dan masyarakat hukum
sebagai pendukung sistem hukum tersebut (legal society). Keempat elemen dasar ini
tersusun dalam rangkaian satu kesatuan yang membentuk piramida, bagian atas
adalah nilai, asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan yang berada di bagian
tengah, dan bagian bawah adalah masyarakat.23
Walau sistem hukum pidana masih harus diciptakan, bukan berarti hal ini tidak
dapat didefinisikan. Marc Ancel memberi pengertian sistem hukum pidana dalam tiap
masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari :
(a) peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya.
(b) suatu prosedur hukum pidana, dan
(c) suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).24
A. Mulder25 dengan tolok ukur pengertian Marc Ancel tersebut di atas juga
memberikan dimensi sistem hukum pidana merupakan garis kebijakan untuk
menentukan :
(a) seberapa jauh ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlaku perlu
diubah dan diperbaharui.
(b) apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
(c) cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana
harus dilaksanakan.
23
Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001), hal. 22.
24
Dikaji dari perspektif pembagian hukum berdasarkan isinya maka dikenal
adanya pembagian Hukum Publik dan Hukum Privat. Hukum Publik merupakan
hukum yang mengatur kepentingan umum (algemene belangen) sedangkan Hukum
Privat mengatur kepentingan perorangan (bijzondere belangen). Apabila ditinjau dari
aspek fungsinya maka salah satu ruang lingkup hukum publik adalah hukum pidana
yang secara esensial dapat dibagi lagi menjadi Hukum Pidana Materil (materieel
strafrecht) dan Hukum Pidana Formal (formeel strafrecht/strafprocesrecht).26
Selanjutnya ketentuan hukum pidana dapat diklasifikasikan menjadi Hukum Pidana
Umum (ius comune) dan Hukum Pidana Khusus (ius singulare, ius speciale atau
bijzonder strafrecht).27 Ketentuan hukum pidana umum dimaksudkan berlaku secara
umum seperti termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
sedangkan ketentuan hukum pidana khusus diartikan sebagai ketentuan hukum pidana
yang mengatur mengenai kekhususan subyeknya dan perbuatan yang khusus
(bijzonderlijk feiten).
Menurut Friedman,28 ada 4 (empat) fungsi sistem hukum :
1. Fungsi Kontrol Sosial (social control)
2. Fungsi retribusi atau fungsi rekayasa sosial.
25
Ibid
26
Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, (Bandung : PT. Alumni, 2007, hal. 1.
27
Ibid.
28
3. Fungsi Pemeliharaan Sosial
4. Fungsi Yuridis
Untuk dapat berfungsi sistem hukum menurut gagasan Parsons, maka ada 4
(empat) yang diselesaikan lebih dahulu, yaitu :29
1. Masalah legitimasi (yang menjadi landasan bagi pentaatan kepada
aturan-aturan)
2. Masalah Intepretasi, (yang akan menyangkut soal penetapan hak dan
kewajiban subjek, melalui proses penerapan aturan tertentu)
3. Masalah sanksi (menegaskan sanksi apa, bagaimana penerapannya dan
siapa yang menerapkannya)
4. Masalah yurisdiksi (menetapkan garis kewenangan yang kuasa
menegakkan norma hukum, dan golongan apa yang hendak diatur oleh
perangkat norma itu)
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa fungsi penegak
hukum adalah mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang
dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku
manusia sesuai dengan bingkai (frame works) yang ditetapkan oleh suatu undang
undang atau hukum.30
Dalam teori hukum pidana dikenal dalil Ultimum Remedium atau disebut
sarana terakhir dalam rangka menentukan perbuatan apa saja yang akan
29
H.R. Otje Salaman, Anthon F Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2007), hal. 149-150.
30
dikriminilisasi dijadikan delik atau perbuatan yang apabila dilakukan akan
berhadapan dengan pemidanaan). Sedangkan langkah kriminilasasi sendiri termasuk
dalam teori kebijakan kriminal (criminal policy), yang salah satu pendapat pakar
Peter G Hoefnagels mengartikan sebagai criminal policy is the rational organization
of the control of crime by society yang diartikan sebagai upaya rasional dari suatu
negara untuk menanggulangi kejahatan. Dalam kebijakan kriminal tersebut
selanjutnya diuraikan bahwa criminal policy sebagai ascince of responses, science of
crime prevention, policy of designating human behavior as a crime dan rational total
of responses to crime. Selain terdapat persyaratan bahwa menentukan perbuatan mana
yang akan dikriminalisasi yaitu bahwa perbuatan itu tercela, merugikan dan mendapat
pengakuan secara kemasyarakatan bahwa ada kesepakatan untuk mengkriminalisasi
dan mempertimbangkan cost and benefit principle, tetapi juga harus dipikirkan
jangan sampai terjadi over criminilazation.31
Ultimum Remedium juga akan bersinggung langsung dengan tujuan
pemidanaan dan antara lain menurut Cesare Beccaria Bonesana dikatakan ada dua
hal yaitu untuk tujuan prevensi khusus dan prevensi umum tujuan pemidanaan
hanyalah supaya si pelanggar tidak merugikan sekali lagi kepada masyarakat dan
untuk membuat efek jera agar orang lain jangan melakukan hal itu. Menurut Beccaria
yang paling penting adalah akibat yang menimpa masyarakat. Keyakinan bahwa tidak
mungkin meloloskan diri dari pidana yang seharusnya diterima. Namun Beccaria
31
mengigatkan sekali lagi bahwa segala kekerasan yang melampui batas tidak perlu
karena itu berarti kelainan.
Dalam menjawab hubungan antara Polda Aceh dan lembaga lainnya dalam
penegakan syariat Islam di Aceh maka aparat penegak hukum harus terintegrasi
dalam sistem peradilan Pidana dan harus mampu bekerjasama dalam suatu Integrated
Administration of Criminilal Justice System sehingga terjadi koordinasi yang baik.32
Sistem peradilan pidana ini mempunyai empat komponen, sebagaimana yang
lazim dikenal dalam ilmu kebijakan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan
dan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat komponen ini biasa disebut sebagai aparat
penegak hukum. Dalam perkembangannya Advokad dimasukan dalam sistem
peradilan pidana.33
Romli Atmasasmita menyatakan bahwa sistem peradilan pidana dapat dikaji
melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan normatif, pendekatan administratif, dan
pendekatan sosial.34
Institusi penegak hukum sebagai Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System) dapat berjalan sebagai sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi
masalah kejahatan. Menanggulangi adalah usaha mengendalikan kejahatan agar
berada dalam batas-batas toleransi dengan menyelesaikan sebagian besar laporan
maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan
32
Norval Morris , Introduction, dalam Criminal Justice in Asia, The Quest for an Integrated Approach, (Tokyo : Seminar UNAFEI,1882), hal. 5.
33
pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah serta mendapat pidana,
di samping itu adalah hal lain yang tidak kalah penting adalah mencegah terjadinya
korban kejahatan serta mencegah pelaku untuk menanggulangi kejahatannya.35
Dari uraian di atas dapat dirinci bahwa tujuan sistem peradilan pidana
sebagaimana dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro sebagai berikut :
1. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
2. menyelesaikan kasus-kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
merasa puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah
dipidana sehingga masyarakat merasa puas;
3. mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.36
Tujuan sistem peradilan pidana menurut Davies antara lain :
1. Menjaga masyarakat dengan mencegah kejahatan yang akan terjadi, dengan
merehabilitasi terpidana atau orang-orang yang diperkirakan mampu
melakukan kejahatan;
2. Menegakkan hukum dan respek kepada hukum dengan memastikan
pembinaan yang baik kepada tersangka, terdakwa atau terpidana,
mengeksekusi terpidana dan mencegah masyarakat tidak bersalah dari
tuntutan hukum;
34
Romli Atmasasmita (1996). Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung : Bina Cipta, hal. 7-8.
35
Mahmud Mulyadi, Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Medan : USU Press, 2009), hal. 39.
36
3. Menjaga hukum dan ketertiban;
4. Menghukum pelanggar kejahatan sesuai dengan prinsip keadilan.
5. Membantu korban kejahatan.37
Fungsi utama dari polisi adalah menegakkan hukum dan melayani
kepentingan masyarakat umum. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tugas polisi
adalah melakukan pencegahan terhadap kejahatan dan memberikan perlindungan
kepada masyarakat. Sebagai usaha pemberian perlindungan kepada masyarakat, maka
polisi melibatkan keikutsertaan masyarakat melalui berbagai program pemberian
informasi yang luas tentang kejahatan di lingkungan tempat tinggal masyarakat,
melakukan pendidikan tentang tanggung jawab masyarakat terhadap upaya
pencegahan kejahatan dan pemberian informasi terkini tentang upaya
penanggulangan kejahatan dengan melakukan pengamanan swadaya masyarakat.
Selain itu juga, secara formal tugas polisi memainkan peranan penting dalam
mekanisme sistem peradilan pidana, yaitu dengan memproses tersangka pelaku
kejahatan dnegan mengajukannya ke proses penuntutan di pengadilan.38
2. Landasan Konsepsional
a. Penyidik adalah pejabat Polisi Negara RI atau pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu yang diberi kewenagan khusus oleh UU untuk melakukan penyidikan.39
b. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian dari
agama Islam. Konsepsi Hukum Islam yaitu dasar dan kerangka hukumnya
37
Ibid.
38
Ibid, hal. 41.
39
ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan
manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan
lainnya karena manusia yang hidup di dalam masyarakat itu mempunyai
berbagai hubungan.40 Sebagai sistem hukum, ia memiliki beberapa istilah
kunci yang perlu untuk dipahami terlebih dahulu yaitu :
1) Hukum
Peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku
manusia dalam suatu masyarakat baik peraturan atau norma itu berupa
kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun
peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh
penguasa.
2) Hukum dan ahkam
Hukum artinya norma atau kaidah yakni ukuran, tolok ukur, patokan,
pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan
manusia dan benda. Dalam sistem hukum Islam ada lima hukum atau
kaidah yang dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia
baik di bidang ibadah maupun di lapangan muamalah yaitu jaiz atau
mubah, sunnat, makruh, wajib dan haram.
3) Syariah atau syariat
40
Secara harfiah syariat yaitu jalan ke sumber (mata) air yakni jalan lurus
yang harus diikuti oleh setiap muslim. Syariat merupakan jalan hidup
muslim. Syariat memuat ketetapan Allah dan ketentuan rasulnya baik
berupa larangan maupun berupa suruhan meliputi seluruh aspek hidup dan
kehidupan manusia.
c. Jinayat, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang
diancam dengan hukuman, baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah
ta’zir. Yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan pidana. Jarimah
hudud adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas
hukumannya dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad (hudud jamak
dari hadd = batas). Jarimah ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan
ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi
pelakunya.
d. Penegakan hukum (law enforcemen Menurut Black’s Law Dictionary),
diartikan sebagai “the act of putting something such as a law into effect; the
execution of a law; the carrying out of a mandate or command”. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa penegakan hukum merupakan usaha untuk
menegakkan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum sekaligus nilai-nilai
yang ada di belakangnya. Aparat penegak hukum hendaknya memahami
benar-benar jiwa hukum (legal spirit) yang mendasari peraturan hukum yang
harus ditegakkan, terkait dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses
Selain itu dalam Black’s Law Dictionary, dengan editor Bryan A. Garner menerjemahkan penegakan hukum sebagai pertama; The detection and punishment of violations of the law. The term is not limited to the enforcement of criminal laws, for example, the Freedom of Information Act contains an exemption for law-enforcement purposes and furnished in confidence. That exemption is valid for the enforcement of a variety of noncriminal laws (such as national-security laws) as well as criminal laws. Kedua; Criminal justice. Ketiga; Police officers and other members of the executive branch of government charged with carrying out and enforcing the criminal law.
Satjipto Rahardjo membedakan istilah penegakan hukum
(law enforcement) dengan penggunaan hukum (the use of law). Penegakan
hukum dan penggunaan hukum adalah dua hal yang berbeda. Orang dapat
menegakkan hukum untuk memberikan keadilan, tetapi orang juga dapat
menegakkan hukum untuk digunakan bagi pencapaian tujuan atau kepentingan
lain. Menegakkan hukum tidak persis sama dengan menggunakan hukum.
Penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga
penegakannya dipengaruhi lingkungan yang sangat kompleks seperti
perkembangan politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, iptek, pendidikan dan
sebagainya. Penegakan hukum harus berlandaskan kepada prinsip-prinsip negara
hukum sebagaimana tersirat dalam UUD 1945 dan asas-asas hukum yang
berlaku di lingkungan bangsa-bangsa yang beradab (seperti the Basic
Principles of Independence of Judiciary), agar penegak hukum dapat
menghindarkan diri dari praktik-praktik negatif akibat pengaruh lingkungan
Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam
kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.41
Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang
mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang
netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor
tersebut.
Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi penegakan hukum, adalah :
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
41
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada
efektivitas penegakan hukum.
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian mengenai Peran Kepolisian Republik Indonesia dalam Penegakkan
Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darusalam merupakan penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif meliputi :
(1) Penelitian terhadap asas-asas hukum
(2) Penelitian terhadap sistematik hukum
(3) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal
(4) Perbandingan hukum
(5) Sejarah hukum.42
Penelitian hukum normatif bertujuan untuk menemukan aturan-aturan hukum
pada bidang penegakkan syariat Islam di NAD yang dapat memberikan ketegasan
kewenangan penegakan syariat Islam yang dilakukan oleh Polri.
Penelitian ini dititik beratkan pada studi kepustakaan, sehingga data sekunder
atau bahan pustaka lebih diutamakan dari data primer.
Data sekunder yang diteliti terdiri atas :
42
1. Bahan hukum primer43 yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain
berupa :
(a) Peraturan Perundang-undangan atau Qanun yang berhubungan
dengan kewenangan Polri dalam penegakan syariat Islam di Provinsi
Aceh .
(b) Putusan-putusan pengadilan atau yurisprudensi
(c) Bahan hukum yang hingga kini masih berlaku seperti KUHPidana,
KUHPerdata.
2. Badan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang
bahan hukum primer antara lain berupa :
(a) Tulisan atau pendapat pakar hukum pidana mengenai kewenagan
penyidikan dari Polri
(b) Tulisan atau pendapat pakar hukum pidana mengenai pelaksanaan
syariat Islam dan kebijakan Polri dalam penyidikan tindak pidana
yang diatur dalam syariat Islam (Jinayat)
3. Bahan hukum tertier yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai
badan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti :
(a) Kamus besar bahasa Indonesia
(b) Ensiklopedi Indonesia
(c) Berbagai masalah hukum yang berkaitan dengan syariat Islam.44
43
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1984), hal. 52.
44
2. Metode Pendekatan
Penelitian ini mempergunakan metode pendekatan yuridis normative,
karena mengutamakan tinjauan dari segi peraturan hukum yang menyangkut
peranan Polri dalam penegakkan hukum. Metode pendekatan yuridis normatif
dipergunakan dengan pertimbangan titik tolak penelitian adalah analisis
terhadap peraturan perundang-undangan di bidang kewenangan Polri dalam
penyidikan pelanggaran syariat Islam di NAD.
3. Lokasi
Wilayah penelitian Provinsi Aceh, namun di fokuskan pada lembaga
penegak hukum POLRI.
4. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang
diteliti, maka dilakukan penelitian kepustakaan.
Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder,
baik yang berupa badan hukum primer, badan hukum sekunder maupun badan
hukum tertier. Sesuai dengan tipologi penelitian hukum normatif, data
sekunder dengan bahan hukum dimaksud merupakan bahan utama dalam
Penelitian yang berkaitan dengan pendekatan yuridis normatif dimulai
langkah awal adalah melakukan inventarisasi peraturan
perundang-undangan dan qanun di bidang ketentuan syariat Islam di Provinsi Aceh serta
peraturan-peraturan lainnya.
Usaha untuk memperoleh peraturan perundang-undangan dan qanun
dalam pemberlakuan syariat Islam di Provinsi Aceh bahan hukum primer
tersebut didukung dengan penelaahan terlebih dahulu terhadap bahan hukum
sekunder, berupa tulisan para ahli mengenai masalah syariat Islam di
Provinsi Aceh. Cara tersebut ditunjang pula dengan bahan hukum tertier.
Setelah inventarisasi peraturan perundang-undangan selesai dilakukan,
kemudian dibuat intisari dari setiap peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan. Hal ini untuk mempermudah analisis serta pembuatan laporan
penelitian.
5. Analisis Data
Analisa data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan
data ke dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar, sehingga ditemukan
tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disaran oleh data.45
Analisa data yang akan dilakukan secara kualitatif.46 Kegiatan ini diharapkan
45
Analisa data menurut Patton adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Analisa berbeda dengan penafsiran yang memberikan arti yang signifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan diantara dimensi-dimensi uraian. Lexy Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 280.
46
akan dapat memudahkan penulis dalam menganalisa permasalahan yang
diajukan, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan.
Data sekunder yang diperoleh dari penelitian tersebut dianalisis
dengan cara kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari bahan hukum yang
berasal dari peraturan perundang-undangan dan Qanun dalam penerapan
syariat Islam di Provinsi Aceh. Data tersebut kemudian dianalisis secara
juridis, historis dan komparatif untuk memperoleh gambaran mengenai
peraturan perundang-undangan dan Qanun yang akan menjelaskan
BAB II
KETERKAITAN PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM
DI PROVINSI ACEH DENGAN HUKUM PIDANA NASIONAL
A.Kedudukan Syariat Islam Di Provinsi Aceh dalam Sistem Hukum Nasional Dalam perspektif teori sistem hukum menyangkut tiga elemen, yaitu substansi
hukum, struktur dan budaya hukum (sistem hukum/legal system), Friedman
menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari tiga elemen, yaitu elemen struktur
(structure), substansi (substance), dan budaya hukum (legal culture).
Aspek struktur (structure) oleh Friedman dirumuskan sebagai berikut :
“The structure of a legal system consists of elements of this kind: the number and size of courts; their yurisdiction (that is, what kind of cases they hear, and how and why), and modes of appeal from one court to another. Structure also means how the legislature is organized, how many members sit on the Federal Trade Commission, what a president can (legally) do or not do, what procedures the police department follows, and so on.”47
Elemen kedua dari sistem hukum adalah substansi hukum (substance).
Penjelasan Friedman terhadap substansi hukum adalah sebagai berikut :
“By this is meant the actual rules, norms, and behavior patterns of people inside the
system.This is, first of all, “the law” in the popular sense of the term – the fact that
47
the speed limit is fifty-five miles an hour, that burglars can be sent to prison, that ‘by
law’ a pickle maker has to list his ingredients on the label of the jar.”48
Friedman mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan substansi hukum
adalah peraturan-peraturan yang ada, norma-norma dan aturan tentang perilaku
manusia, atau yang biasanya dikenal orang sebagai “hukum” itulah substansi hukum.
Selanjutnya, Friedman mengartikan budaya hukum sebagai sikap dari
masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum, tentang keyakinan, nilai, gagasan,
serta harapan masyarakat tentang hukum. Dalam tulisannya, Friedman merumuskannya
sebagai berikut :
“By this we mean people’s attitudes toward law and the legal system their beliefs,
values, ideas, and expectations. In other words, it is that part of the general culture
which concerns the legal system.”
Untuk menjelaskan hubungan antara ketiga elemen sistem hukum tersebut,
Friedman dengan jelas sekali membuat sebuah ilustrasi yang menggambarkan sistem
hukum sebagai suatu “proses produksi” dengan menempatkan mesin sebagai
“struktur”, kemudian produk yang dihasilkan sebagai “substansi hukum”, sedangkan
bagaimana mesin ini digunakan merupakan representasi dari elemen “budaya
hukum”.
Dalam bahasanya, Friedman merumuskan ilustrasi tersebut sebagai berikut :
48
“Another way to visualize the three elements of law is to imagine legal “structure” as
a kind of machine. “Substance” is what the machine manufactures or does. The
“legal culture” is whatever or whoever decides to turn the machine on and off, and
determines how it will be used.”49
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, terdapat satu kesatuan sistem
hukum yang jenis dan hierarkinya dituangkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Jenis dan hirarkhi yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Selanjutnya, Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa peraturan daerah meliputi
peraturan daerah provinsi, peraturan daerah kabupaten/kota, dan peraturan
desa/peraturan setingkat. Ketentuan lain yang berkaitan dengan hirarki peraturan
perundang-undangan adalah ketentuan Pasal 7 ayat (4) yang menyatakan bahwa jenis
peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi sesuai dengan hirarki peraturan
perundang-undangan. Hal ini mengandung makna susunan norma yang ada mengikuti
49
teori Hans Kelsen yang dikenal dengan Stufenbau theorie. Stufenbau theorie
mengatakan bahwa norma dalam suatu negara sesungguhnya berjenjang, norma yang
di bawah bersumber kepada norma yang di atas dan norma yang di atas bersumber
kepada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada norma yang tidak bersumber lagi.50
Susunan norma yang tertuang dalam UU No. 10 Tahun 2004 juga
menggambarkan adanya peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan
peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Peraturan tingkat pusat seperti
undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan
pemerintah, dan peraturan presiden. Peraturan perundang-undangan tingkat pusat
pada dasarnya mengatur kehidupan rakyat dalam konteks nasional, yang berlaku
untuk seluruh warga negara Republik Indonesia. Sedangkan peraturan
perundang-undangan tingkat daerah, seperti peraturan daerah, substansinya mengatur kehidupan
rakyat pada daerah yang bersangkutan dengan tetap berpegang teguh pada prinsip
adanya kesatuan sistem hukum.
Walaupun sudah ada norma hukum dan mempunyai sifat memaksa, namun
belum ada jaminan bahwa norma hukum tersebut ditaati oleh masyarakat. Agar
norma-norma tersebut ditaati diadakan ancaman hukuman, yaitu hukuman perdata,
hukuman administrasi, dan/atau hukuman pidana untuk norma-norma hukum yang
bersangkutan.
50
Pelaku (subyek) dan tingkah laku yang dirumuskan (norma) serta ancaman
hukuman (sanksi) disebut sebagai hukum materiil. Sedangkan untuk dapat
melaksanakan ancaman hukuman, diadakan ketentuan yang mengatur kekuasaan
badan-badan peradilan dan ketentuan tentang acara penyelesaian pelanggaran hukum
materiil yang disebut sebagai hukum formil.51 Norma hukum formil bukan mengatur
tingkah laku yang terlarang/diharuskan, melainkan mengatur kekuasaan badan-badan
peradilan dan acaranya.
Sejak awal pembentukan Negara Republik Indonesia ini, para pendiri bangsa
(founding fathers) telah sepakat memancangkan dasar dan falsafah negara adalah
Pancasila dan UUD 1945, di mana sila pertama Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang
Mahaesa, dan salah satu pasal dari UUD 1945 itu menjamin kemerdekaan seluruh
penganut agama untuk dapat menjalankan ajaran agamanya. Indonesia dalam bentuk
ini dinyatakan sebagai negara dalam dimensi duniawi, namun tetap memberikan
tempat bagi setiap warganya untuk melaksanakan ajaran agama.52 Dengan demikian
pluralitas warga dari berbagai aspeknya harus tunduk dan patuh terhadap Hukum
51
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta : Alumni Ahaem – Petehaem, 1989), hal. 10-11.
52
Nasional yang berlaku secara universal bagi seluruh komponen bangsa dimana pun
mereka berada dengan tanpa kecuali.
Berdasarkan UUD 1945, negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang
berbentuk Republik. Sesuai ketentuan pasal 4 ayat (1) UUD 1945, dalam
penyelenggaraan pemerintahan dinyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintahan. Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas,
maka dalam penyelenggaraan pemerintahan kebijakan desentralisasi dilaksanakan
bersamaan dengan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan
kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Sementara itu dalam pengaturan hubungan antara Pemerintah dengan daerah
diatur dalam pasal 18 A ayat (1) dan (2) sebagai berikut :
1. Hubungan wewenang antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur
dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Konsekuensi dari kandungan pasal-pasal dalam UUD 1945 tersebut dapat
ditafsirkan sebagai berikut :
1. Dalam penyelenggaraan pemerintahan Presiden selaku kepala pemerintahan
dapat melaksanakan dengan :
a. melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat pusat melalui
asas dekonsentrasi;
b. menyerahkan sebagian kewenangan kepada daerah otonom melalui
asas desentralisasi;
c. menugaskan sebagian kewenangan kepada pemerintahan daerah
dan/atau pemerintahan desa meialui asas tugas pembantuan; dan
d. melaksanakan sendiri.
2. Dalam menyelenggarakan otonomi daerah, dibentuk pemerintahan daerah
yang dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan DPRD serta dibantu oleh
perangkat daerah. Anggota DPRD dipilih melalui proses pemilihan umum,
dan kepala daerah dipilih melalui proses pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Kedua lembaga tersebut diberi mandat untuk mengatur dan mengurus urusan