• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Perserikatan Bangsa-Bangsa Terhadap Pelanggaran Ham Berat Di Myanmar Dan Implikasinya Terhadap Perdamaian Dunia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peranan Perserikatan Bangsa-Bangsa Terhadap Pelanggaran Ham Berat Di Myanmar Dan Implikasinya Terhadap Perdamaian Dunia"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TERHADAP

PELANGGARAN HAM BERAT DI MYANMAR DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP PERDAMAIAN DUNIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir

Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

RIO RANDY RS

NIM: 070200107

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TERHADAP

PELANGGARAN HAM BERAT DI MYANMAR DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP PERDAMAIAN DUNIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-

Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

RIO RANDY RS

NIM : 070200107

DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Arif, S.H., M.Hum.

NIP. 196403301993031002

Pembimbing I

Pembimbing II

Abdul Rahman, SH. MH

Arif SH. MH

NIP.

195710301984031002

NIP. 196403301993031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar………...

Daftar Isi………...

Abstraksi………...

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang ...1

B.

Perumusan Masalah...8

C.

Tujuan dan Mamfaat Penelitian ... ...8

D.

Keaslian Penulisan ...9

E.

Tinjauan Kepustakaan ...9

F.

Metode Penelitian ...10

G.

Sistematika Penulisan ………...………...11

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP HAK ASASI MANUSIA

A. Latar belakang lahirnya Hak Asasi Manusia………...13

B.

Prinsip-prinsip di dalam Hak Asasi Manusia...15

C.

Hak asasi manusia dalam hukum internasional...18

D.

Perjanjian-perjanjian Internasional yang mengatur tentang

hak-hak asasi manusia ………..………...26

BAB III

PERANAN PBB TERHADAP PELANGGARAN HAM BERAT DI

DUNIA

A. Pelanggaran berat Hak Asasi Manusia………...38

B.

Resolusi PBB dalam usaha perlindungan HAM dan

pencegahan pelanggaran HAM...42

C.

Statuta Roma dalam menghukum pelanggar HAM berat...47

(4)

BAB IV PERANAN PBB TERHADAP PELANGGARAN HAM BERAT DI

MYANMAR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERDAMAIAN

DUNIA

A.

Kronologis Kasus Myanmar...51

B. Peranan PBB terhadap pelanggaran HAM di Myanmar dan

implikasinya terhadap perdamaian dunia...64

C. Upaya Hukum korban terhadap pelanggaran HAM di

Myanmar...68

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.

Kesimpulan...72

B.

Saran...75

(5)

ABSTRAKSI Abdul Rahman, S.H.,M.H.∗

Arif,S.H.,M.H.∗∗ Rio Randy RS∗∗∗

Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgem yang harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab Negara pula jaminan atas penegakan hukum terhadap pelanggaran prinsip-prinsip HAM. PBB sebagai sebuah organisasi internasional dalam piagamnya telah menempatkan penghormatan dan penghargaan akan hak-hak asasi manusia kedalam Piagam PBB yang dsebut The Universal Declaration of Human Rights yang diterima secara aklamasi oleh sidang umum Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Adanya pelanggaran HAM di Myanmar seharusnya sudah menjadi tanggung jawab Negara yang bersangkutan disamping itu juga merupakan tanggung jawab bersama masyarakat internasional.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana hak asasi manusia dan pengaturannya di tinjau didalam hukum internasional, peranan PBB terhadap penegakan pelanggaran HAM berat di dunia, bagaimana peranan PBB terhadap pelanggaran Ham di Myanmar dan implikasinya terhadap perdamaian dunia. Untuk mendukung pembahasan dan analisa terhadap permasalahan di atas dilakukan pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research) dan dianalisa secara kualitatif.

Sejak Pemerintahan Myanmar dipimpin oleh Junta Militer banyak terdapat kasus pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran HAM terhadap suku-suku minoritas, perlawanan agresif Junta Militer terhadap demontsran pada tahun 1988 dan 2007, penahanan tokoh oposisi tanpa proses pengadilan yang semuanya ini tergolong pelanggaran HAM berat. PBB sebagai badan yang mempunyai peran penegakan HAM telah melakukan beberapa hal untuk penegakan HAM di Myanmar walaupun hal tersebut dinilai kurang berhasil karena kasus-kasus pelanggaran HAM di Myanmar tidak selesai. Hal ini berdampak semakin besarnya sikap skeptis masyarakat internasional terhadap eksistensi organisasi ini.

Dosen Pembimb ing I

∗∗

Dosen Pembimb ing II

∗∗∗

(6)

ABSTRAKSI Abdul Rahman, S.H.,M.H.∗

Arif,S.H.,M.H.∗∗ Rio Randy RS∗∗∗

Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgem yang harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab Negara pula jaminan atas penegakan hukum terhadap pelanggaran prinsip-prinsip HAM. PBB sebagai sebuah organisasi internasional dalam piagamnya telah menempatkan penghormatan dan penghargaan akan hak-hak asasi manusia kedalam Piagam PBB yang dsebut The Universal Declaration of Human Rights yang diterima secara aklamasi oleh sidang umum Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Adanya pelanggaran HAM di Myanmar seharusnya sudah menjadi tanggung jawab Negara yang bersangkutan disamping itu juga merupakan tanggung jawab bersama masyarakat internasional.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana hak asasi manusia dan pengaturannya di tinjau didalam hukum internasional, peranan PBB terhadap penegakan pelanggaran HAM berat di dunia, bagaimana peranan PBB terhadap pelanggaran Ham di Myanmar dan implikasinya terhadap perdamaian dunia. Untuk mendukung pembahasan dan analisa terhadap permasalahan di atas dilakukan pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research) dan dianalisa secara kualitatif.

Sejak Pemerintahan Myanmar dipimpin oleh Junta Militer banyak terdapat kasus pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran HAM terhadap suku-suku minoritas, perlawanan agresif Junta Militer terhadap demontsran pada tahun 1988 dan 2007, penahanan tokoh oposisi tanpa proses pengadilan yang semuanya ini tergolong pelanggaran HAM berat. PBB sebagai badan yang mempunyai peran penegakan HAM telah melakukan beberapa hal untuk penegakan HAM di Myanmar walaupun hal tersebut dinilai kurang berhasil karena kasus-kasus pelanggaran HAM di Myanmar tidak selesai. Hal ini berdampak semakin besarnya sikap skeptis masyarakat internasional terhadap eksistensi organisasi ini.

Dosen Pembimb ing I

∗∗

Dosen Pembimb ing II

∗∗∗

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang

mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh

ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh

pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan

martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya.

Sebagai bagian dari harkat dan martabat hak asasi manusia merupakan hak

dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan

langgem, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak

boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Selain hak asasi manusia, manusia juga mempunyai kewajiban dasar

antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara

keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

1

Manusia juga harus menyadari karena adanya proses interaksi antar

manusia, hidup didalam “human totality” kesatuan manusia, yang dalam hal ini

harus diperhatikan juga hak-hak orang lain termasuk pemerintahan, sehingga

diharapkan adanya keseimbangan antara masyarakat dan pemerintahan selaku

1

(8)

pelindung atas hak-hak masyarakatnya, sesuai dengan teori perjanjian masyarakat

dari john locke yang mengatakan bahwa manusia itu lahir bebas dan mempunyai

hak-hak yang kekal dan tidak dapat dicabut, yang tidak pernah ditinggalkan ketika

umat manusia “dikontrak” untuk memasuki keadaan sosial dari keadaan primitif

dan tidak pernah berkurang karena tuntutan ‘hak ilahi raja’ atau pemerintah. Inilah

suatu idealisme dari pelaksana hak-hak asasi manusia di setiap negara di atas

permukaan bumi ini, tanpa ada pengecualiannya

Bahwa tujuan utama dan pokok dari dibentuknya suatu negara atau

pemerintahan adalah untuk melindungi Hak Asasi Manusia. Konsep negara

seperti ini diusung oleh John Locke dalam bukunya

Two Treatises of Civil

Government

. Negara ada dan dibentuk oleh manusia semata-mata untuk menjamin

perlindungan hak-hak milik manusia yakni kehidupannya, kebebasannya dan hak

miliknya. Hak-hak milik yang melekat pada manusia inilah yang kemudian

diartikan sebagai Hak Asasi Manusia, karena hak tersebut memang dimiliki oleh

manusia sejak lahir.

Berkaitan dengan hal tersebut, menjadi tanggung jawab negara pula

jaminan atas penegakan hukum terhadap pelanggaran prinsip-prinsip HAM.

Apabila negara membiarkan ketiadaan penegakan hukum atau bahkan menjadi

bagian dari pelanggaran HAM tersebut maka negara telah melakukan tindakan

yang dikatakan sebagai impunitas (

impunity

).

2

2

(9)

Pengalaman pahit dan getir dari umat manusia dari perang dunia yang

telah terjadi dua kali, dimana harkat dan martabat hak-hak asasi manusia

terinjak-injak, timbul kesadaran umat manusia menempatkan penghormatan dan

penghargaan akan hak-hak asasi manusia ke dalam Piagam PBB yang sebagai

realisasinya muncul kemudian

The Universal Declaration of Human Rights

(Pernyataan Sedunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia) yang diterima secara

aklamasi oleh Sidang Umum Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember

1948.

Perserikatan Bangsa-Bangsa atau biasa disingkat PBB (bahasa Inggris:

United Nations atau disingkat UN) adalah sebuah organisasi internasional yang

anggotanya hampir seluruh negara di dunia. Lembaga ini dibentuk untuk

memfasilitasi dalam hukum internasional, pengamanan internasional, lembaga

ekonomi, dan perlindungan sosial.

Perserikatan Bangsa-bangsa didirikan di San Francisco pada 24 Oktober

1945 setelah Konferensi Dumbarton Oaks di Washington DC, namun Sidang

Umum yang pertama - dihadiri wakil dari 51 negara - baru berlangsung pada 10

Januari 1946 (

di Church House, London

). Dari 1919 hingga 1946, terdapat sebuah

organisasi yang mirip, bernama Liga Bangsa-Bangsa, yang bisa dianggap sebagai

pendahulu PBB.

(10)

pembangunan), Sekretariat (untuk menyediakan studi, informasi dan fasilitas yang

diperlukan oleh PBB), Mahkamah Internasional (organ peradilan primer), Dewan

Perwalian (yang saat ini tidak aktif)

PBB dan lembaga-lembaganya adalah badan penting dalam menegakkan

dan melaksanakan prinsip-prinsip yang diabadikan dalam Pernyataan Umum

tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Penegakan hak asasi manusia merupakan alasan

utama untuk didirikannya PBB.

Dengan memperhatikan besarnya perhatian PBB dan dunia internasioanal

terhadap hak-hak asasi manusia sedunia tersebut, maka sudah sepantasnya dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus menghormati dan memperlakukan

setiap manusia sesuai dengan harkat dan martabat hak-hak asasinya.

Perkembangan progresif di bidang hak asasi manusia dewasa ini tidak

terlepas dengan diterimanya suatu prinsip bahwa negara (pemerintah) mempunyai

kewajiban untuk menjamin dan memberikan perlindungan HAM tersebut selain

merupakan tanggung jawab negara yang bersangkutan juga merupakan tanggung

jawab bersama masyarakat internasional.

DUHAM telah jelas menegaskan bahwa manusia memiliki akal dan hati

nurani. Itulah hal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Oleh

karena itu, apabila terjadi suatu perbuatan manusia terhadap manusia lainnya yang

benar-benar di luar akal dan hati manusia yang wajar, maka sepantasnya kita

merenungkan makna kemanusiaan kita.

(11)

Kamp-kamp penyiksaan dibangun di berbagai tempat. Pembunuhan, pemaksaan

kehamilan, pemandulan, atau sterilisasi secara paksa dilakukan secara sistematis

dan meluas. Begitu pula dengan kekejaman tentara Jepang di Asia Timur.

Pembunuhan, pemaksaaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa,

perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pengusiran penduduk

secara paksa serta beberapa di wilayah Asia Tenggara seperti Myanmar. Pada

tahun 1998, di Myanmar terjadi demonstrasi berskala nasional yang dimulai

sebagai bagian dari reaksi atas tekanan terhadap semua hak-hak sipil dan politik

oleh pemerintah Myanmar dan atas kegagalam ekonomi sebagai bagian dari

kebijakan pemerintah yaitu

Burmese Way to Socialism

3

Gelombang protes terus terjadi bahkan sampai terjadi pemberontakan oleh

etnis minoritas Myanmar hampir setiap tahun dan tak kunjung reda. Di tengah

kerusuhan yang diwarnai dengan pemberontakan, sebuah kelompok baru

pemimpin militer melawan Ne Win, merampas kekuasaan, menghapus konstitusi

dan mendirikan pemerintahan Junta militer yang dikenal dengan State Law and

Order Restoration Council (SLORC). Di tengah klaimnya dalam memulihkan

situasi dan kondisi negara, SLORC memusnahkan secara brutal pihak yang tidak

sepakat, membunuh ribuan orang dan memimpin negara itu pada 27 Mei 1990.

Selama waktu itu, SLORC mengubah secara resmi versi Bahasa Inggris dari

Burma menjadi Myanmar.

.

Gelombang demonstrasi

ini berakhir dengan tindak kekerasan yang dilakukan tentara terhadap para

demonstran. Lebih dari 3000 orang terbunuh. Ratusan warga sipil ditangkap dan

banyak yang menderita cedera atau meninggal dalam perawatan di tahanan.

3

(12)

NLD memenangkan 392 dari 485 kursi dalam pemilihan umum, walaupun

demikian SLORC tetap menahan Aung San Suu Kyi dan sebaliknya, SLORC

menolak hasil pemilu tersebut tanpa hormat dan berusaha untuk memegang

kembali kekuasaan dan memenjarakan para oposan. Pada 1997, SLORC berganti

nama menjadi State Peace and Development Council (SPDC), tetapi tidak

mengubah kebijakan opresif dan otokratis.

Pada Agustus 1997, melambungnya harga barang-barang konsumen

memicu gelombang baru oposisi pro-demokrasi yang memprotes memburuknya

perekonomian. Seperti biasa, pemerintah memenjarakan para pemrotes dan para

biarawan Budha yang mulai memimpin unjuk rasa sebagai bentuk perlawanannya.

Masyarakat sipil bergabung kelompok biarawan dan mencapai puncaknya dengan

lebih dari 10.000 orang pada unjuk rasa yang dilakukan di ibukota Yangon pada

24 Maret 2007. Pada 26 September 2007, pemerintah mulai memberangus para

demonstran/pemrotes secara kejam, menggunakan ‘gas air mata dan granat api’

melawan rakyatnya yang menggunakan tongkat bambu dan kayu, ketapel dan

berbagai senjata tradisional lainnya. Lebih dari 30 orang tewas.

(13)

pemilu yang sudah terisi, ancaman kekerasan fisik dan forced voting. Walaupun

jumlah pemilih menurun, pemerintah akhirnya mengumumkan bahwa 98,12%

pemilih wajib telah menggunakan hak suaranya, dengan konstitusi baru SPDC

meraup lebih dari 92,48% suara. Fakta di atas menunjukkan bahwa penguasa

militer mempertahankan kekuasaannya pada segala ini sosial dan politik

Myanmar.

SLORC dan SPDC telah membuat rekam jejak pelanggaran HAM

ekstensif dan menakutkan selama menjalankan roda pemerintahan Myanmar.

Pelanggaran tersebut meliputi perlawanan etnis minoritas, termasuk membunuh

arbitrase dan ektrayudisial, pemerkosaan sistematis, pembunuhan, penahanan

arnbitrase dengan alasan politik, kerja paksa, militerisasi paksa, penolakan

gerakan kebebasan, pembatasan ketat akan agama, pers, ide/gagasan dan asosiasi.

berdasarkan laporan independen Horton bahwa adanya genosida sistematis

terhadap etnis minoritas oleh militer.

(14)

Bangsa-Bangsa terhadap pelanggaran HAM berat di Myanmar dan Implikasinya

terhadap perdamaian dunia”.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

a.

Bagaimana Hak Asasi Manusia dan pengaturannya di tinjau didalam

hukum internasional ?

b.

Bagaimana peranan PBB terhadap penegakan pelanggaran HAM berat di

dunia?

c.

Bagaimana peranan PBB terhadap pelanggaran HAM berat di Myanmar

dan Implikasinya terhadap perdamaian dunia ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Permasalahan hak asasi manusia ini sangat luas cakupannya dan tidak

pernah habis-habisnya untuk dibicarakan karena masalahnya sangat kompleks dan

sifatnya sangat universal, baik ditinjau dari dasar pemikiran dan pelaksanaannya

di setiap negara khususnya pelanggaran di Myanmar.

Dan secara singkat tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut :

(15)

2.

Untuk menambah wawasan pemikiran dalam Hukum Internasional

tentang Hak Asasi Manusia.

3.

Untuk mengetahui sejauhmana kejahatan/kekerasan mengenai

pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Myanmar

4.

Untuk mengetahui pelaksanaan Hukum Internasional dan Hak Asasi

Manusia (

Declaration of Human Rights 1948)

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dan informasi yang ada khususnya

dilingkungan Universitas Sumatera Utara, tulisan (skripsi) mengenai Peranan

PBB terhadap pelanggaran HAM berat di Myanmar dan Implikasinya terhadap

perdamaian dunia belum pernah dilakukan, sehingga keaslian tulisan ini dapat

dipertanggungjawabkan.

E. Tinjauan Kepustakaan

(16)

Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional, dewasa ini telah berkembang

disiplin ilmu hukum yang mengatur tentang perlindungan HAM secara

internasional, yang pada hakikatnya merupakan cabang dari hukum internasional

publik (

public international law),

ilmu hukum ini disebut dengan istilah hukum

hak asasi manusia internasional (

international human rights law).

Definisi hukum

hak asasi manusia internasional menurut pendapat Thomas Buergenthal,

4

4

Thomas Buergenthal, International Human Rights, St. Paul, Minn: West Publishing , Co.,1995, hlm.14-15.

”...

the

international of human rights is defined as the law that deals eith the protection of

individual and groups against violations by government of their internationally

guaranteed rights and with the promotion of these rights”

( hukum yang

melindungi individu dan kelompok dari kesewenang-wenangan pemerintah

terhadap hak mereka yang dijamin secara internasional dan dengan tujuan untuk

kemajuan hak-hak tersebut).

F. Metode Penelitian

Untuk mendukung pembahasan dan analisa terhadap pokok-pokok

permasalahan di atas maka diperlukan adanya pengumpulan data yang kemudian

untuk dikonstruksikan. Dalam penyusunan penulisan ini dilakukan pengumpulan

data melalui penelitian kepustakaan (

library research

). Dengan

Library Research

akan dihasilkan karya ilmiah yang mempunyai materi, kualitas, bobot kebenaran

ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, di mana bahan-bahan/data-data

tersebut didapat dari :

(17)

- Naskah-naskah peraturan perundang-undangan, majalah, surat kabar,

skripsi, dan tulisan karya ilmiah, serta catatan perkuliahan, dan

bimbingan Bapak/Ibu Dosen.

Dengan menggunakan metode ini diharapkan skripsi ini dapat menjadi

suatu karya ilmiah yang baik dan berguna untuk pengembangan ilmu

pengetahuan.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan proses pembahasan tulisan dan membantu

penulis dalam penguraiannya, maka keseluruhan dari isi skripsi ini dirangkum

dalam sistematika penulisan sebagai suatu paradigma berpikir.

Dengan pedoman pada sistematika penulisan karya ilmiah pada umumnya

maka penulis berusaha untuk mendeskripsikan gambaran umum yang

berhubungan dengan cakupan skripsi ini, sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini diawali dengan latar belakang yang berikutnya perumusan masalah yang

akan dibahas. Pada selanjutnya dijelaskan apa yang menjadi tujuan pembahasan ,

kemudian diuraikan keaslian penulisan dan tinjauan kepustakaan. Selanjutnya

diuraikan bagaimana metode penulisan dan akhirnya bab ini ditutup dengan

bagaimana sistematika penulisan.

(18)

Dalam bab ini yang akan dibahas adalah mengenai pengertian dan hakikat hak

asasi manusia, prinsip-prinsip didalam hak asasi manusia, hak asasi manusia

dalam hukum internasional, perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur

tentang hak-hak asasi manusia.

BAB III : PERANAN PBB TERHADAP PELANGGARAN HAM BERAT

DI DUNIA

Dalam bab ini yang akan dibahas mengenai pengertian pelanggaran HAM berat,

Resolusi PBB dalam usaha perlindungan HAM dan pencegahan pelanggaran

HAM, Statuta Roma dalam menghukum pelanggar HAM berat.

BAB IV

:

PERANAN PBB TERHADAP PELANGGARAN HAM BERAT DI

MYANMAR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERDAMAIAN DUNIA.

Dalam bab ini yang akan dibahas adalah bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang

dilakukan Junta Militer Myanmar, peranan PBB terhadap pelanggaran HAM di

Myanmar dan implikasinya terhadap perdamaian dunia, upaya Hukum korban

pelanggaran HAM di Myanmar.

BAB V : PENUTUP

(19)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP HAK ASASI MANUSIA

A. Latar belakang lahirnya Hak Asasi Manusia

Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang

menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijakasanaannya kepada parlemen. Jadi, sudah mulai

dinyatakan dalam bahwa raja terikat kepada hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat Undang-undang pada masa itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai embrio

lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka.

Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih

(20)

demokrasi. Bill of rights melahirkan asas persamaan. Para pejuang HAM dahulu sudah berketatapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya resiko yang

dihadapi karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah teori Roesseau (tentang contract social/perjanjian masyarakat), Motesquieu dengan Trias Politikanya yang mengajarkan pemisahan

kekuasaan guna mencegah tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.

Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham JJ.Roesseau dan Montesqueu. Jadi, walaupun di Perancis sendiri belum dirinci apa HAM itu, tetapi di Amerika Serikat lebih dahulu mencanangkan secara lebih rinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam oerut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus

dibelenggu.

Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration, dimana hak-hak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain dinyatakan tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang

sah. Dinyatakan pula presumption of innocence, artinya orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas

(21)

(perlindungan terhadap hak milik) dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin

tumbuhnyademokrasi maupun negara hukum yang asas-asasnya sudah dicanangkan sebelumnya.

Perlu juga diketahui The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang dicanangkan pada tanggal 6 Januari 1941, dikutip dari Encyclopedia Americana, p.654 tersebut di bawah ini :

"The first is freedom of speech and expression everywhere in the world. The second is freedom of every person to worship God in his own way-every where in the world. The third is freedom from want which, translated into world terms, means economic understandings which will secure to every nation a healthy peacetime life for its inhabitants-every where in the world. The fourth is freedom from fear-which, translated into world terms, means a worldwide reduction of armaments to such a point and in such a through fashion that no nation will be in a position to commit an act of physical

agression against any neighbor-anywhere in the world".

Semua hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of Human

Rights yang diciptakan oleh PBB pada tahun 19485

5

http://imadekariada.blogspot.com/2008/08/sejarah-hak-asasi-manusia.html

.

(22)

Hak asasi manusia bersifat universal dan tak dapat dicabut; tidak bisa dibagi; saling berkaitan dan tak bisa dipisah-pisahkan. Hak asasi bersifat universal karena setiap

orang terlahir dengan hak yang sama, tanpa memandang di mana mereka tinggal, jenis kelamin atau ras, agama, latar belakang budaya atau etnisnya.

Tak bisa dicabut karena hak-hak setiap orang itu tidak akan pernah bisa

ditanggalkan dan direbut. Saling bergantung satu sama lain dan tak bisa

dipisah-pisahkan karena semua hak itu―baik hak sipil, politik, sosial, ekonomi, maupun

budaya―kedudukannya setara dan tidak akan bisa dinikmati sepenuhnya tanpa adanya

pemenuhan hak-hak lainnya. Setiap orang diperlakukan secara setara, dan diberi hak

pula untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang akan berpengaruh pada hidupnya. Mereka menegakkannya dengan peraturan hukum dan dikuatkan dengan adanya jaminan penuntutan terhadap para pengemban tanggung jawab (negara) untuk

mempertanggungjawabkannya dengan standar internasional6.

1. Bersifat universal dan tak dapat dicabut (universality and inalienability)

Hak asasi merupakan hak yang melekat, dan seluruh umat manusia di dunia memikinya. Hak-hak tersebut tidak bisa diserahkan secara sukarela atau dicabut. Hal ini selaras dengan pernyataan yang tercantum dalam pasal 1 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia: “Setiap umat manusa dilahirkan merdeka dan

sederajat dalam harkat dan martabatnya”.

6

(23)

2. Tidak bisa dibagi (indivisibility)

Hak asasi manusia―baik hak sipil, politik, sosial, budaya, dan

ekomoni―semuanya inheren, menyatu dalam harkat- martabat umat manusia.

Konsekuensinya, semua orang memiliki status hak yang sama dan sederajat, dan tidak bisa digolong-golongkan berdasarkan tingkatan hirarkis. Pengabaian pada

satu hak akan berdampak pada pengabaian hak-hak lainnya. Hak setiap orang untuk bisa memperoleh penghidupan yang layak adalah hak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi: hak tersebut merupakan modal dasar agar setiap orang bisa menikmati hak-hak lainnya, seperti hak atas kesehatan atau hak atas

pendidikan.

3. Saling bergantung dan berkaitan satu sama lain (interdependence and

interrelatedness)

Pemenuhan dari satu hak seringkali bergantung kepada pemenuhan hak lainnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Sebagai contoh, dalam situasi

tertentu, hak untuk mendapatkan pendidikan atau hak untuk memperoleh informasi adalah hak yang saling bergantung satu sama lain.

4. Sederajat dan tanpa diskriminasi (equality and non-discrimination)

(24)

seperti yang didasarkan atas perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, etnis, usia, bahasa, agama, pandangan politik dan pandangan lainnya,

kewarganegaraan dan latar belakang sosial, cacat dan kekurangan, tingkat kesejahteraan, kelahiran atau status lainnya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh badan pelaksana hak asasi manusia.

5. Turut berpartisipasi dan berperan aktif (participation and inclusion)

Setiap orang dan seluruh masyarakat berhak untuk turut berperan aktif secara

bebas dan berarti dalam partisipasi dan berkontribusi untuk menikmati kehidupan pembangunan, baik kehidupan sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya demi terwujudnya hak asasi dan kebebasan dasar.

6. Ada pertanggungjawaban dan penegakkan hukum (accountability and rule of

law).

Negara dan para pemangku kewajiban lainnya bertanggung jawab untuk

menaati hak asasi. Dalam hal ini, mereka harus tunduk pada norma-norma hukum dan standar yang tercantum di dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia. Seandainya mereka gagal dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pihak-pihak yang dirugikan berhak untuk mengajukan tuntutan secara layak, sebelum tuntutan itu diserahkan pada sebuah pengadilan yang kompeten atau

(25)

C . Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional

Hak asasi manusia harus dianggap sebagai salah satu dari beberapa pencapaian utama filsafat modern. Pesona moral dan kekuatan revolusionernya telah menjadi penentu jalan sejarah sepanjang 250 tahun terakhir melalui banyak cara yang masih

berlangsung. Pernyataannya yang cukup beralasan adalah bahwa HAM merupakan satu-satunya sistem nilai yang diakui secara universal, meskipun sistem nilai tersebut, tidak seperti ideologi atau agama, bukan merupakan suatu sitem nilai yang sudah tertutup. Sistem tersebut tidak menawarkan jawaban-jawaban yang sudah siap untuk berbagai

pertanyaan tentang kehidupan yang tak terhingga jumlahnya, tetapi sebaliknya, sistem tersebut menawarkan seperangkat standar minimum dan aturan prosedural yang terjalin secara longgar untuk hubungan antar manusia, yang seluruhnya dapat

diaplikasikan bukan hanya untuk pemerintahan, badan-badan penegak hukum ataupun militer, tetapi juga pada prinsipnya untuk berbagai badan usaha/bisnis, organisasi internasional ataupun perorangan7

Fokus HAM adalah tentang kehidupan dan martabat manusia. Martabat seseorang dilanggar ketika mereka menjadi subyek penyiksaan, terpaksa hidup dalam perbudakan dan kemiskinan, seperti tanpa adanya pangan, pakaian, dan perumahan yang minimum. Hak ekonomi, sosial dan budaya lainnya seperti akses terhadap

pendidikan, pelayanan kesehatan dan keamanan sosial minimum yang pada dasarnya penting bagi kehidupan bermartabat sebagai penghormatan atas kehidupan pribadi dan keluarga ataupun kebebasan pribadi.

.

7

(26)

Hak-hak yang menekankan bahwa manusia bebas memilih tindakan mereka, yang pada dasarnya merupakan manifestasi dari martabat manusia, membentuk inti

yang mendasari pembentukan sejumlah hak-hak lainnya, seperti hak-hak kebebasan , hak-hak kesetaraan, hak-hak politik, hak-hak untuk kehidupan ekonomi, hak-hak kolektif, hak-hak prosedural (khususnya untuk pelaksanan hukum pidana) , atau hak-hak

khusus untuk anak, lanjut usia, orang sakit, orang cacat, orang asing, pencari suaka, dan kelompok-kelompok rentan lainnya. Seluruh hak-hak tersebut diatas memberikan hak hukum kepada seluruh umat manusia untuk hidup sesuai dengan prinsip-prinsip

kebebasan, kesetaraan dan martabat manusia.

Abad pencerahan, yang mengakui hak-hak individu dalam komunitas mereka masing-masing, telah berhasil membebaskan umat manusia dari berbagai pandangan dunia yang lazim pada abad pertengahan, yang ditentukan berdasarkan kewajiban saja.

Manusia diciptakan untuk menjadi subyek sistem hukum dan bukan sebagai obyeknya, mereka dibebaskan dari kehidupan yang bersifat pasrah/menyerah dan diberikan hak-hak sebagai warga negara. Ini merupakan hal esensial yang membedakan HAM dengan

sistem-sistem nilai lainnya, khususnya agama. Proses emansipasi, proses pemberdayaan inilah yang telah membentuk esensi revolusioner dari HAM.

HAM merupakan seperangkat standar normatif universal yang tersusun dengan

baik dan sah menurut hukum. Adalah elemen universal dan normatif ini yang secara mendasar membedakan HAM dari berbagai pandangan atau sistem nilai dunia lainnya.

Beberapa pemerintahan secara bertahap menerima HAM sebagai kewajiban hukum, dan saat Konferensi Dunia tentang HAM di Wina tahun 1993, menyingkirkan pemikiran bahwa HAM hanya merupakan masalah kedaulatan negara. Setidaknya, dalam

(27)

diberikan legitimasi dan bahkan diminta untuk melakukan intervensi, demi kebaikan para korban, untuk melawan pemerintahan atau kekuatan non-pemerintah yang

bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut.

Prinsip Universalitas dalam bentuk apapun tidak dapat menghapuskan perbedaan dan kekhususan regional atau nasional. Sesuatu yang valid secara universal

adalah prinsip hak-hak yang tidak dapat dicabut, berdasarkan pada martabat manusia, sama dengan berbagai standar minimal lainnya yang diakui oleh hukum kebiasaan internasional ataupun hukum perjanjian internasinal;ini termasuk larangan penyiksaan

penyiksaan dan perbudakan, larangan diskriminasi ras dan apartheid, hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri atau hak-hak minimal dari anak-anak. Diluar itu tentunya, setiap negara atau organisasi regional bebas menetapkan sendiri HAM mereka, standar yang lebih tinggi atau tambahan lainnya8

Hukum internasional secara tradisional hubungan antara negara-negara yang berdaulat dan karenanya belum dianggap bertanggung jawab untuk mengatur hubungan antara negara-negara itu dengan para warganegaranya ataupun antar warganegara. Jenis hubungan yang terakhir ini merupakan bagian dari masing-masing

negara berdaulat tersebut dan, karena statusnya yang demikian, diatur oleh hukum negara (hukum konstitusi, administratif, pidana dan sipil). Sebagai reaksi atas kekejaman-kekejaman Sosialisme Nasional, hukum internasional baru mulai mengatur hak-hak individual dalam hubungannya dengan pemerintah masing-masing, meskipun

masih banyak negara yang menolak menyerahkan bagian yang telah menjadi tradisi dari kedaulatan nasionalnya ini kepada hukum internasional. Itulah sebabnya mengapa

.

8

(28)

perkembangan perlindungan HAM internasional merupakan suatu pertarungan yang berlangsung melawan kedaulatan nasional.

Perkembangan HAM, landasan-landasan filosofisnya serta perwujudan nyata dan legalnya, telah menjadi suatu dialektika dan hampir sepenuhnya merupakan proses yang bersifat revolusioner. Pada tahun 1970an, Karel Vasak, pakar HAM Cekoslovakia,

menciptakan ungkapan ‘generasi HAM’ untuk menggambarkan proses yang terputus-putus ini. Asalkan istilah ini tidak digunakan untuk mengimplikasikan bahwa masing-masing generasi pengganti digantikan oleh generasi sebelumnya, istilah ini seringkali

digunakan untuk memberikan ilustrasi bagi debat tentang ideologi HAM semasa Perang Dingin. Para pakar lainnya memilih untuk menggunakan istilah dimensi HAM.

Tentu saja, terlalu sederhana apabila mencoba dan mengklasifikasikan semua hak-hak asasi manusia ke dalam tiga generasi atau dimensi, tetapi hal tersebut

merupakan cerminan jernih dari diskusi-diskusis grafis tentang HAM yang terjadi antara Barat, Timur dan Selatan. Negara-negara di Barat suka menekankan, dan sebagian sangat yakin hingga hari ini, bahwa hak sipil dan politik merupakan generasi pertama,

yaitu hak-hak liberal untuk dicampuri dan hak partisipasi demokratik yang terkandung dalam konsep HAM klasik, merupakan hak asasi yang sesungguhnya dalam arti hak-hak individu yang dapat ditegakkan oleh hukum terhadap negara. Pandangan yang terbatas ini tercermin dalam beberapa konstitusi Barat, serta dalam teori konstitusi liberal tentang hak-hak dasar dan jurusprudensi dari banyak institusi pengadilan di

(29)

Konsep sosialis tentang generasi kedua adalah sama sempitnya karena konsep tersebut mengklaim bahwa hak-hak sipil dan politik hanya akan membantu dan

mendukung kepentingan-kepentingan kapitalis untuk memisahkan negara dan masyarakat. Akibatnya, satu-satunya HAM adalah yang didasarkan pada harmonisasi kepentingan-kepentingan individu dan kolektif dalam masyarakat sosialis, dengan kata

lain, hak ekonomi, sosial dan budaya sudah dengan sendirinya dipahami. Oleh karena itu, tugas negara adalah menjamin hak-hak atas pekerjaan, jaminan sosial, pangan, perumahan, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya melalui pemberian

manfaat-manfaat yang positif.

Generasi ketiga dari hak kolektif masyarakat (dari kelompok selatan) mencoba menambahkan dimensi ketiga pada HAM, yang mendekat pada konsep universalisme. Mengingat kerapuhan HAM di Selatan, dan di Afrika khususnya, yang sebagian

penyebabnya adalah berabad-abad sejarah kolonialisme dan imperialisme, mengemukakan bahwa hak-hak individu pada tataran nasional tidak akan memecahkan masalah. Perlindungan HAM internasional, daripada dibatasi pada pemantauan

internasional oleh negara-negara pengamat HAM, harus dapat menjamin bahwa bangsa-bangsa di Selatan diberikan hak-hak solidaritas kolektif seperti bangsa-bangsa-bangsa-bangsa di utara. Pasal 28 dari Deklarasi Universal HAM pada tahun 1948 memberikan landasan untuk

konsep generasi ketiga ini, menyatakan bahwa setiap orang berhak atas ketertiban sosial dan internasional di mana hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang dikemukakan

dalam Deklarasi ini dapat diwujudkan sepenuhnya’. Hak-hak pokok dari generasi ketiga adalah hak untuk menentukan nasib sendiri, yang pada pokoknya ditafsirkan sebagai hak-hak terjajah atas kemerdekaan politik dari kekuasaan-kekuasaan kolonial Eropa dan

(30)

Konsep tiga generasi ini mendapatkan rumusan normatifnya dalam Kovenan Internasional PBB tahun 1966 (Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan

tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, termasuk didalamnya hak untuk menentukan nasib sendiri seperti tertuang dalam ayat satu dari kedua Piagam tersebut), dan dalam Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Bangsa,19819

Pada masa-masa awal diasumsikan, sesuai dengan ‘teori status’ dari Georg

Jellinek ( status negativus = hak-hak liberal untuk tidak dicampuri-tangani, status

activus = hak-hak partisipasi demokrasi, status positivus = hak-hak social yang

.

Subyek hukum hak asasi manusia internasional adalah sebuah entitas (seorang

individu secara fisik, sekelompok orang, sebuah perusahaan atau organisasi) yang

memiliki hak dan kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada prinsipnya,

suatu subjek hukum internasional dapat menerapkan haknya atau mengajukan

perkara ke hadapan pengadilan internasional, ia juga dapat mengikatkan dirinya

dengan subyek hukum lainnya melalui perjanjian, dan subyek hukum lainnya dapat

melakukan kontrol (dalam konteks dan tingkatan tertentu) terhadap bagaimana

sebuah subyek hukum melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya. Negara

merupakan fokus utama hukum internasional. Organisasi internasional seperti PBB

dan juga individu dapat menjadi subjek hukum internasional. Peraturan yang sama

juga berlaku bagi hukum hak asasi manusia internasional, karena dasar dari hukum

hak asasi manusia internasional adalah hukum internasional.

9

(31)

menuntut aksi positif dari negara ) dan teori tiga generasi HAM ) bahwa berkaitan

dengan hak-hak sipil negara berkewajiban untuk tidak melakukan intervensi,

sedangkan berkaitan dengan hak-hak ekonomi dan sosial negara berkewajiban

memberikan layanan-layanan positif saja. Sejak ketakterpisahan dan saling

bergantung HAM telah dibuat menjadi sangat jelas maka secara bertahap dapat

diterima bahwa pada prinsipnya negara berkewajiban untuk menghormati,

memenuhi dan melindungi seluruh HAM.

Kewajiban untuk menghormati HAM mengacu pada kewajiban untuk

menghindari tindakan intervensi oleh negara, mempersyaratkan bahwa yang

disebutkan terakhir tadi tidak dapat diterima berdasarkan klausul-klausul tentang

keterbatasan dan kondisi hokum yang relevan. Intervensi-intervensi yang tidak

dapat dijustifikasi dianggap sebagai pelanggaran terhadap HAM terkait. Oleh karena

itu hak untuk hidup berkorespondensi dengan kewajiban negara untuk tidak

melakukan pembunuha; hak atas integritas fisik dan mental berkorespondensi

dengan kewajiban negara untuk tidak melakukan penyiksaan; hak untuk memilih

berkorespondensi kewajiban negara untuk tidak menyingkirkan orang dari pemilihan

umum demokratis secara sewenang-wenang; sementara hak untuk mendapatkan

pekerjaan, kesehatan dan pendidikan berkorespondensi dengan kewajiban negara

untuk tidak menyingkirkan orang secara sewenang-wenang dari sistem pasar tenaga

(32)

Kewajiban untuk memenuhi HAM mengacu pada kewajiban negara untuk

mengambil tindakan-tindakan legislatif, administratif, peradilan dan praktis yang

diperlukan untuk memastikan bahwa hak-hak yang diperhatikan dilaksanakan

sebesar mungkin. Tekanan khusus dalam konteks ini ditempatkan pada konsep

pencegahan.

Kewajiban untuk melindungi HAM juga menuntut aksi negara yang positif,

namun berbeda dari kewajiban-kewajiban untuk memenuhi yang disebutkan diatas

tadi yang ditujukan untuk menghindari pelanggaran HAM oleh orang sebagai

pribadi. Meskipun pada prinsipnya diakui, cakupan sesungguhnya dari perlindungan

negara terhadap orang-orang sebagai pribadi sangatlah controversial dan tidak jelas

baik dalam teori maupun praktiknya.

D. Perjanjian-perjanjian Internasional yang mengatur tentang hak-hak asasi manusia

Dalam masyarakat internasional dewasa ini, perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Melalui perjanjian internasional, tiap negara menggariskan dasar kerjasama mereka,

mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan dewasa ini, tidak ada satu negara yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak

(33)

Perjanjian internasional yang pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama adalah instrumen-instrumen yuridik yang menampung

kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama. Persetujuan bersama yang dirumuskan dalam perjanjian tersebut merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan negara-negara

atau subjek hukum internasional lainnya di dunia ini.

Oleh karena pembuatan perjanjian merupakan perbuatan hukum maka ia akan

mengikat pihak-pihak pada perjanjian tersebut. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa ciri-ciri suatu perjanjian internasional ialah bahwa ia dibuat oleh subjek hukum internasional, pembuatannya diatur oleh hukum internasional dan akibatnya mengikat subjek-subjek yang menjadi pihak.

Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft pasal-pasal yang disiapkan oleh Komisi Hukum

Internasional, diselenggarakan suatu Konferensi Internasional di Wina dari tanggal 26 Maret s/d 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April s/d 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention on the Law of Treaties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi

(34)

internasional positif. Sampai Desember 1999, sudah 90 negara menjadi pihak pada Konvensi tersebut10.

Praktek pembuatan perjanjian di antara negara-negara selama ini telah melahirkan berbagai bentuk terminologi perjanjian internasional yang kadang kala

berbeda pemakaiannya menurut negara, wilayah maupun jenis perangkat internasionalnya. Terminologi yang digunakan atas perangkat internasional tersebut umumnya tidak meengurangi hak dan kewajiban yang terkandung didalamnya. Suatu

terminologi perjanjian internasional digunakan berdasarkan permasalahan yang diatur dan dengan memperhatikan keinginan para pihak pada perjanjian tersebut dan dampak politisnya terhadap mereka.

Walaupun judul suatu perjanjian internasional dapat beragam, namun apabila ditelaah lebih lanjut, pengelompokan suatu perjanjian dalam judul tertentu dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesamaan materi yang diatur. Selain itu,

penggunaan judul tertentu pada suatu perjanjian internasional juga dilakukan untuk menunjukkan bahwa materi tersebut memiliki bobot kerjasama yang berbeda tingkatannya dengan perjanjian internasional lainnya, atau untuk menunjukkan hubungan antara perjanjian internasional tersebut dengan perjanjian-perjanjian

internasional lainnya yang telah dibuat sebelumnya.

10

(35)

Konvensi Wina tahun 1969 mengenai Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina tahun 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara Negara dan Organisasi Internasional

atau antara Organisasi-organisasi Internasional tidak melakukan pembedaan atas berbagai bentuk perjanjian internasional. Selain itu, Pasal 102 Piagam PBB hanya membedakan perjanjian internasional menurut terminologi treaty dan international

agreement, yang hingga saat ini pun tidak ada defenisi yang tegas antara kedua terminologi tersebut11

PBB mempunyai kontribusi yang sangat penting dalam pemajuan dan

perlindungan hak-hak asasi diseluruh dunia. Tiga tahun setelah PBB berdiri, Majelis Umum mencanangkan Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia (Universal

Declaration of Human Rights ) pada tanggal 10 Desember 1948. dapat dikatakan bahwa Deklarasi tersebut merupakan tonggak sejarah bagi perkembangan hak-hak asasi

manusia, sebagai standar umum untuk mencapai keberhasilan bagi semua rakyat dan semua bangsa

.

12

11

Ibid, hlm 88.

12

Basic facts about the United Nations, hlm 218.

. Deklarasi tersebut terdiri dari 30 pasal yang mengumandangkan seruan agar rakyat menggalakkan dan menjamin pengakuan yang efektif dan penghormatan

terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan yang telah ditetapkan dalam Deklarasi. Deklarasi Universal tersebut diterima oleh 49 negara, tidak ada yang menentang, 9 abstein dan berisikan hak-hak sipil dan politik tradisional beserta hak-hak

(36)

Deklarasi Universal tersebut belum ada ketentuan mengenai hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri13

Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mulai berlaku sepuluh tahun kemudian yaitu tanggal 3 Januari 1976 dan sampai bulan

.

Setelah diterimanya Deklarasi Universal pada tahun 1948, timbullah pemikiran uintuk mengukuhkan pemajuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi dalam

dokumen-dokumen yuridik yang mengikat negara-negara yang menjadi pihak. Bila Deklarasi Universal hanya bersifat himbauan betapapun nilai politis dan historisnya, dokumen-dokumen yuridik hak-hak asasi mengingat sifatnya yang mengikat akan dapat

mengawasi pelaksanaan yang efektif hak-hak asasi tersebut. Sejalan dengan itu maka pada tanggal 16 Desember 1966, Majelis Umum menerima dua perjanjian mengenai hak-hak asasi manusia yaitu International Covenant on Economic, Social and Cultural

Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kedua perjanjian tersebut adalah hasil dari upaya yang lama dan

matang, berisikan hak-hak yang telah menjadi klasik dan dirumuskan secara rinci sebagai pencerminan dari kompromi antara negara-negara anggota. Yang baru dalam kedua perjanjian tersebut adalah disebutkannya hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri

termasuk hak untuk mengatur kekayaan dan sumber-sumber nasional secara bebas seperti tercantum pada Pasal 1 masing-masing Perjanjian.

13

(37)

Desember 2003 sudah diratifikasi oleh 148 negara14

1. hak untuk bekerja dalam kondisi yang adil dan menguntungkan;

. Perjanjian Internasional ini berupaya meningkatkan dan melindungi 3 kategori hak yaitu:

2. hak atas perlindungan sosial, standar hidup yang pantas, standar kesejahteraan fisik dan mental tertinggi yang bisa dicapai;

3. hak atas pendidikan dan hak untuk menikmati manfaat kebebasan kebudayaan dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Perjanjian tentang Hak-hak Sipil dan Politik dengan Protokol Opsional Pertamanya mulai berlaku pada bulan Maret 1976. Sampai bulan Desember 2003 Perjanjian tersebut telah diratifikasi oleh 151 negara dan Protokol Opsional Pertamanya telah diratifikasi oleh 104 negara. Protokol Opsional Pertama ini merupakan instrumen prosedural yang memberikan hak petisi kepada individu-individu yang memenuhi semua

persyaratan untuk melakukannya. Pada tanggal 15 Desember 1989, PBB mengesahkan Protokol Opsional Kedua yang secara khusus mengatur upaya-upaya yang ditujukan untuk menghapuskan hukuman mati. Protokol kedua ini mulai berlaku tanggal 11 Juli

1991 sesuai dengan Pasal 8 (1) nya. Perjanjian tersebut mencakup hak-hak seperti kebebasan bergerak, persamaan di depan hukum, praduga tidak bersalah, kebebasan berpikir, berkesadaran dan beragama, kebebasan berpendapat dan menyatakan

pendapat, kebebasan berserikat, berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan dan pemilihan umum dan perlindungan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Perjanjian itu juga melarang perampasan secara sewenang-wenang atas kehidupan;penyiksaan, perlakuan, atau hukuman yang kejam atau merendahkan martabat;perbudakan, kerja

14

(38)

paksa;penangkapan atau penahanan secara sewenang-wenang dan lain-lainnya. Deklarasi Universal bersama dengan Perjanjian mengenai hak-hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya beserta Perjanjian tentang hak-hak Sipil dan Politik bersama Protokol Opsionalnya dinamakan International Bill of Human Rights.

Deklarasi Universal telah memberikan inspirasi terhadap sekitar 80 konvensi,

deklarasi atau dokumen lainnya mengenai hak-hak asasi manusia antara lain:

1. konvensi tentang Pencegahan dari penghukuman terhadap Kejahatan Pemusnahan Ras ( Convention on the Protection and Punishment of the Crime of

Genocide ) tahun 1948. konvensi ini merupakan jawaban terhadap kekejaman-kekejaman yang terjadi selama Perang Dunia II dan mengkategorikan kejahatan pemusnahan ras sebagai perbuatan untuk menghancurkan kelompok-kelompok nasional etnis atau agama serta meminta negara-negara untuk mengadili para pelaku kejahatan tersebut.

2. Konvensi tentang status para pengungsi ( Convention Relating to the Status of

Refugees ) tahun 1951. Konvensi ini menjelaskan hak-hak dan kewajiban para pengungsi, terutama hak mereka untuk tidak dipaksa kembali ke negeri mereka dan membuat ketentuan-ketentuan untuk mengatur berbagai aspek kehidupan

mereka sehari-hari termasuk hak untuk bekerja, pendidikan, bantuan publik dan jaminan sosial. Protokol yang berkaitan dengan status pengungsi ini diterima

(39)

3. Konvensi internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial

Discrimination) tahun 1966. Konvensi ini sampai bulan Desember 2003 telah diratifikasi oleh dari 169 negara.. Konvensi ini mengutuk segala macam bentuk diskriminasi rasial dan meminta negara-negara mengambil tindakan-tindakan

untuk menghapuskan diskriminasi tersebut baik dari segi hukum maupun dalam praktiknya. Konvensi ini juga mempunyai badan pemantau (monitoring body) yaitu Komite Untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial yang bertugas untuk

mempelajari laporan dari negara-negara pihak dan dalam hal-hal tertentu menerima petisi dari individu-individu atas pelanggaran hak-hak mereka yang dilindungi oleh Konvensi.

4. Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita

(Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women) 1979. Sampai bulan Desember 2003, Konvensi ini telah diratifikasi oleh 175 negara15

15

Ibid, hlm 684

. Konvensi ini memberikan jaminan hak yang sama di depan hukum antara wanita dan pria dan menjelaskan tindakan-tindakan untuk

menghapuskan diskriminasi terhadap wanita sehubungan dengan kehidupan politik dan publik, kewarganegaran, pendidikan, lapangan kerja, kesehatan, perkawinan, dan keluarga. Konvensi juga mendirikan Komite tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita sebagai badan yang memantau

(40)

individu-individu untuk menyampaikan pengaduan mereka atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap Konvensi.

5. Konvensi menentang Penyiksaaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam dan tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (Convention against Torture

and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) tahun 1984. Sampai pada bulan Desember 2003 Konvensi tersebut sudah diratifikasi oleh 134 negara16. Konvensi ini mengkategorikan penyiksaan sebagai kejahatan internasional dan meminta negara bertanggungjawab untuk mencegah

penyiksaan dan menghukum para pelakunya. Juga dibentuk Komite menentang Penyiksaan yang bertugas bukan saja mempelajari laporan negara-negara mengenai pelaksanaan Konvensi tetapi juga dapat melakukan investigasi di

negara-negara yang diperkirakan mempraktikan penyiksaan secara sistematik. Bahkan, juga sudah ada seorang pelapor khusus (Special Rapporteur on the

Question of Torture) yang diangkat oleh Komisi Hak-hak Asasi Manusia (KHAM) untuk membuat laporan tahunan mengenai praktik penyiksaan di seluruh dunia dan membuat rekomendasi kepada pemerintah negara-negara pihak untuk menghentikan praktik tersebut.

6. Konvensi mengenai Hak-hak Anak (Convention on the Rights of Child) tahun1989. Konvensi ini menegaskan hak-hak anak-anak untuk memperoleh perlindungan dan kesempatan serta fasilitas khusus bagi kesehatan dan

16

(41)

pertumbuhan mereka secara normal. Konvensi ini paling banyak diratifikasi dengan jumlah 192 negara pada bulan Desember 2003. Konvensi ini juga

membentuk Komite tentang Hak-hak Anak yang mengawasi implementasi ketentuan-ketentuan Konvensi dan membahas laporan-laporan yang disampaikan negara-negara anggota.

Enam Konvensi ”inti” yang disebutkan di atas merupakan perjanjian-perjanjian HAM PBB yang didukung oleh mekanisme pemantauan independen sekarang ini. Pada 1 Juli 2003, Konvensi Internasional Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan anggota

Keluarganya tahun 1990 mulai berlaku, yang juga mengatur pembentukan ’Komite Pekerja Migran’ tersendiri dengan 10 pakar (setelah pengesahan ke-41 oleh suatu negara, komite itu akan meningkat menjadi 14 anggota yang berwenang untuk

memeriksa laporan negara, komunikasi antar negara dan individu. Perjanjian HAM ’inti’ ketujuh’ ini berisi daftar keseluruhan hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya pekerja migran dan keluarganya, tetapi sebagian besar negara industri, tempat

sebenarnya para pekerja migran tinggal (sering di bawah kondisi yang tidak bisa diterima), menolak kewajiban perjanjian ini. Sesaat setelah 31 Mei 2003, 21 negara meratifikasi Konvensi Pekerja Migran, di antara mereka hanya Azerbaijan dan Bosnia dan Herzegovina yang merupakan anggota Dewan Eropa.

Perjanjian utama HAM PBB lainnya adalah sebagai berikut (menunjukkan tahun diadopsinya dan mulai pemberlakuannya) :

• Konvensi Perbudakan (1926/27)

(42)

• Konvensi Suplementer tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak,

serta Lembaga dan Praktik yang menyerupai Perbudakan (1926/57) • Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (1948/51)

• Empat Konvensi Jenewa tentang Hukum Humaniter (1949/50)

Dua protokol tambahan pada Konvensi Jenewa (1977/78)

• Konvensi yang Berkaitan dengan Status Pengungsi (1951/54)

Protokol yang berkaitan dengan status pengungsi (1967/67)

• Konvensi yang berkaitan dengan Status Orang yang tidak mempunyai

kewarganegaraan (1954/60)

• Konvensi Pengurangan Ketiadaan Kewarganegaraan (1961/75)

• Konvensi Persetujuan Atas Pernikahan, Usia minimal Pernikahan dan

Pendaftaran Pernikahan (1962/64)

• Konvensi Internasional Pengendalian dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

(1973/76)

• Konvensi Internasional Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota

Keluarganya (1990/2003)17

Dengan instrumen-instrumen internasional ini, PBB telah menciptakan kerangka kerja standar minimum universal normatif. Meskipun proses kodifikasi HAM bisa dianggap selesai, Komisi HAM terus menetapkan standarnya untuk menjawab tantangan

baru atau meningkatkan mekanisme pemantauan internasional. .

17

(43)

Hampir semua Konvensi tersebut dilengkapi dengan mekanisme pengawasan atau badan pemantau untuk mengawasi apakah negara-negara pihak telah

melaksanakan dengan baik ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi disamping terbukanya pula kemungkinan bagi individu-individu untuk menyampaikan pengaduan bila terjadi pelanggaran terhadap hak-hak mereka. Walaupun pada

(44)

BAB III

PERANAN PBB TERHADAP PELANGGARAN HAM BERAT DI DUNIA

A. Pelanggaran berat Hak Asasi Manusia.

Selain ada penggolongan pelanggaran hak-hak sipil dan politik serta pelanggaran

hak-hak ekonomi, sosial dan budaya juga terdapat dua kualifikasi pelanggaran manusia yaitu: (a) pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights ), serta (b) bukan pelanggaran berat (non-grass).

Pelanggaran hak asasi manusia berat adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang fundamental. Hak-hak fundamental ini pada awalnya bersumber pada hak-hak alamiah yaitu hak-hak yang melekat secara alamiah pada setiap manusia. Hak-hak yang dimaksud adalah Hak-hak untuk hidup (the rights to life). Hak atas keutuhan pribadi

(the right to personal integrity), hak atas kebebasn (the right to unslaved).

Hak-hak fundamental tidak boleh dicabut dalam keadaan apa pun baik dalam keadaan perang maupun damai. Setiap negara wajib melindungi dan menjamin

pelaksanaan hak-hak tersebut. Pelanggaran hak-hak fundamental inilah yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran hak asasi yang berat.

Pelanggaran berat HAM menurut Undang-Undang No.26 Tahun 2000 didefinisikan sebagai pelanggaran HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan18

18

Pasal 7 Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

(45)

Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebahagian kelompok bangsa,

ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:

a. membunuh anggota kelompok;

b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;

c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan fisik baik seluruh ataupun sebahagiannya;

d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelopmpok ; atau

e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.”

Kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa :

a. pengusiran;

b. pemusnahan;

c. perbudakan;

d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

(46)

f. penyiksaan;

g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin,

atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

i. penghilangan orang secara paksa;

j. kejahatan apartheid.

Pasal-pasal mengenai kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusian tersebut di atas substansinya merupakan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma.

Dalam perkembangan, pelanggaran terhadap sejumlah HAM yang bersifat non-derigable rights ada yang memberikan kualifikasi sebagai suatu pelanggaran berat HAM. Pendapat yang mengatakan penggunaan “berat”: bermaksud untuk menggambarkan tingkat kerusakan, kerugian, atau penderitaan yang sedemikian hebatnya akibat

pelanggaran HAM tersebut.

Istilah pelanggaran HAM Berat tidak identik dengan suatu pelanggaran HAM, misalnya hak hidup, hak untuk menyampaikan pendapat, hak untuk mendapat pekerjaan, yang sangat berat. Istilah Pelanggaran HAM Berat merupakan terjemahan

(47)

kejahatan dilihat dari siapa yang menentukan dapat dibagi menjadi dua yaitu Kejahatan Nasional dan Kejahatan Internasional.

Kejahatan Nasional merujuk pada kejahatan yang oleh suatu negara ditentukan sebagai perbuatan jahat. Dalam konteks demikian bisa jadi di satu negara suatu perbuatan dianggap suatu kejahatan sementara di negara lain tidak.

Sementara kejahatan internasional adalah kejahatan yang ditentukan oleh masyarakat internasional yang terdiri dari negara-negara sebagai suatu perbuatan jahat.

Secara tradisional kejahatan internasional adalah perbuatan yang dilakukan oleh

bajak laut. Bajak laut dianggap melakukan kejahatan internasional karena perbuatannya merugikan dan berada di laut lepas. Oleh karenanya tidak ada satu negara pun bisa melaksanakan yurisdiksi hukumnya.

Pasca Perang Dunia kedua bentuk kejahatan internasional mendapat perluasan pengertian. Ketika itu ada kesulitan untuk mendakwa para penjahat perang di Jerman dan Jepang. Kesulitannya adalah bila mendasarkan pada hukum nasional baik dari negara yang kalah atau menang perang perbuatan yang dilakukan oleh penjahat perang tidak mendapat pengaturan.

Di sinilah kemudian dimunculkan konsep kejahatan internasional yaitu perbuatan yang dilakukan oleh para pejabat atau penyelenggara negara terkait dengan perang atau konflik bersenjata yang terjadi.

(48)

kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan perang agresi (crime of aggression).

Pelaku kejahatan internasional dapat dibawa ke peradilan nasional maupun internasional. Hal ini sesuai asas yang dianut bagi kejahatan internasional yaitu asas universal.

Adapun contoh peradilan internasional antara lain adalah International Military Tribunal yang dibentuk di Nurmberg dan Tokyo berdasarkan perjanjian internasional diantara negara-negara pemenang perang, International Criminal Tribunal for former

Yugoslavia yang dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB dan peradilan yang besifat permanen yaitu International Criminal Court (ICC).

B. Resolusi PBB dalam usaha perlindungan HAM dan pencegahan pelanggaran HAM

PBB sebagai badan yang bertugas untuk penegakkan Hak Asasi Manusia didalam perjalanannya telah mengeluarkan berbagai resolusi demi usaha perlindungan HAM dan pencegahan pelanggaran HAM.

Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia merupakan deklarasi yang diadopsi dari Resolusi Majelis Umum PBB (A/RES/217, 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Paris), menggariskan pandangan organisasi ini pada jaminan hak asasi manusia bagi semua orang. Eleanor Roosevelt menyebutnya sebagai "Magna Carta bagi seluruh

(49)

dalam masyarakat dengan senantiasa mengingat Pernyataan ini, akan berusaha dengan jalan mengajar dan mendidik untuk menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak dan

kebebasan-kebebasan tersebut, dan dengan jalan tindakan-tindakan progresif yang bersifat nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan penghormatannya secara universal dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari Negara-Negara Anggota

sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan hukum mereka.

Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari 30 pasal diantaranya adalah sebagai berikut:

Pasal 1

Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain

dalam semangat persaudaraan.

Pasal 2

Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Pernyataan ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis

kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.

Di samping itu, tidak diperbolehkan melakukan perbedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari

(50)

Pasal 3

Setiap orang berhak atas penghidupan, kebebasan dan keselamatan individu.

Pasal 4

Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan, perbudakan dan perdagangan budak dalam bentuk apapun mesti dilarang.

Pasal 5

Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan atau dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya.

Pasal 9

Tak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang19

Resolusi Majelis Umum 2200A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966 menetapkan

Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik (CCPR). Mulai berlaku tanggal 23 .

Deklarasi Universal HAM (DUHAM) merupakan dokumen HAM internasional yang paling dasar, tidak mengikat tapi sebagian merupakan hukum kebiasaan internasional, tercantum di dalam banyak konstitusi nasional dan dirujuk di dalam banyak perjanjian HAM internasional. DUHAM mencakup hak-hak sipil, politik, ekonomi,

sosial dan budaya.

19

(51)

Maret 1976 diikuti 149 negara pihak. Isinya memuat hak-hak sipil dan politik yang esensial meliputi hak untuk menentukan nasib sendiri (pasal 1), hak atas kesetaraan dan

nondiskriminasi (pasal 26), hak-hak yang dimiliki kelompok minoritas (pasal 27) dan larangan propaganda perang dan provokasi terhadap diskriminasi, permusuhan atau kekerasan (pasal 20). Protokol Opsional Kedua, bertujuan untuk penghapusan hukuman

mati

Konvensi internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial

(CERD) oleh Resolusi Majelis Umum PBB 2106A (XX) 21 Desember 1965 isinya antara lain mengenai definisi diskriminasi ras berarti segala pembedaan, pengucilan, larangan atau prefernsi berdasarkan ras, warna kulit, keturunan atau asal bangsa dan etnis yang tujuan atau pengaruhnya adalah untuk meniadakan atau menghalangi pengakuan, dinimatinya, atau pelaksanaan HAM dan kebebasan dasar.

Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap

Perempuan (CEDAW) oleh Resolusi Majelis Umum 34/180 dari 18 Desember 1979 dan mulai berlaku 3 September 1981 yang isinya memuat prinsip dasar penghapusan dan pelarangan segala diskriminasi terhadap perempuan (pasal 2), ketentuan hak politik perempuan (pasal 7-9),hak ekonomi dan sosial (pasal 10-14), kesetaran di hadapan

(52)

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (CAT) oleh Resolusi

Majelis Umum PBB 39/46 isinya antara lain memuat definisi penyiksaan (pasal 1), kewajiban negara untuk memberikan pemulihan dan kompensasi (pasal 12,131,14), Prinsip non-refoulment (pasal 3), Hukuman terhadap pelaku semua tindakan penyiksaan

harus ditindak berdasarkan hukum pidana domestik (pasal 4), yurisdiksi universal (pasal 5-8), prinsip ’aut dedere aut judicare’.

Konvensi tentang Hak Anak (CRC) oleh Resolusi Majelis Umum 44/25 memuat hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya dalam area penyediaan (contohnya standar hidup layak), perlindungan (contohnya dari kekerasan atau eksploitasi) dan partisipasi (dalam keluarga, di sekolah, dalam masyarakat. Enam prinsip dasar yaitu kepantingan utama anak-anak harus menjadi pertimbangan utama dalam segala

tindakan (pasal 3), pelarangan diskriminasi (pasal 2), hak anak untuk hidup dan berkembang ke tingkat maksimum (pasal 6), hak untuk bertisipasi (pasal 6).

C. Statuta Roma dalam menghukum pelanggar HAM berat

Kejahatan-kejahatan yang terjadi selama Perang Dunia II telah memicu dibentuknya tribunal militer yang dikenal dengan Nurenberg Tribunal melalui London

Agreement untuk mengadili para penjahat perang Nazi. Demikian juga pada tahun 1946, negara-negara sekutu menyepakati suatu Piagam yang membentuk International Military Tribunal untuk Timur Jauh yang dikenal dengan Tokyo Tribunal untuk mengadili

(53)

Dalam resolusi 260 tanggal 9 Desember 1948 yang mengadopsi Konvensi Genosida, Sidang Majelis Umum PBB (MU) mengundang Komisi Hukum Internasional

(ILC) untuk mempelajari keinginan dan kemungkinan mendirikan suatu badan hukum internasional untuk mengadili orang-orang yang dituduh dengan genosida. Komisi tersebut menyimpulkan bahwa badan hukum seperti itu memang diinginkan dan

dimungkinkan. MU kemudian membentuk sebuah komite, yang menyiapkan sebuah naskah statuta pada 1951 dan revisi naskah tersebut pada 1953. pembahasan kedua naskah tersebut ditunda dan menunda pula diadopsinya definisi untuk agresi.

Pertanyaan tentang perlu atau tidaknya keberadaan suatu ICC telah dibahas

secara berkala sejak saat itu. Pada Desember 1989, GA meminta ILC untuk melanjutkan pekerjaannya tentang ICC dengan yurisdiksi untuk menyertakan penyulundupan narkoba.

Pada 1994, ILC menyampaikan naskah lengkap Statuta untuk ICC kepada GA. Komite ad hoc dan komite persiapan (1995-1998) mempersiapkan naskah tersebut dan

GA kemudian menyelenggarakan konferensi Para Wakil Diplomatik yang Berkuasa penuh di PBB tentang Pembentukan ICC dan diadakan di Roma, 15 Juni s.d 17 Juli 1998 ( 160 negara peserta, sejumlah besar NGOs turut berkontribusi). Tugasnya adalah untuk menyelesaikan naskah Statuta yang kemudian diadopsi dengan perbandingan suara 120: 7 (Ci

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Kompensasi terhadap Korban Kejahatan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Peraturan Pemerintah Nomor

kejahatan kemanusiaan terhadap penduduk sipil di Republik Afrika Tengah. karena hal tersebut merupakan bencana Hak Asasi Manusia Internasional

a) Untuk mengetahui eksistensi Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam memeriksa dan memutuskan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang pernah terjadi di

Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang tertera sebagai berikut; “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP SUKU ANAK DALAM SEBAGAI KAUM INDIGENOUS DI INDONESIA A. Pengaturan Hukum Dalam Deklarasi

Pengaturan tata cara pemberian bantuan terhadap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2006 ini misalnya diatur

Warga Papua Barat menginginkan penegakkan hak asasi manusia di Papua juga karena banyaknya kekerasan, tekanan dan ancaman dari aparat TNI sendiri yang membuat warga Papua sendiri

Pembahasan mengenai pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar terhadap Etnis Rohingya tidak terlepas pada penyelesaian melalui organisasi internasional, yang erat kaitannya