• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desa Juhar: Perkembangan dan Peranannya Sebagai Ibu kota Kecamatan Juhar, Kabupaten Karo tahun 1945-1970.”Perkembangan dan Peranannya Sebagai Ibu kota Kecamatan Juhar, Kabupaten Karo tahun 1945-1970.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Desa Juhar: Perkembangan dan Peranannya Sebagai Ibu kota Kecamatan Juhar, Kabupaten Karo tahun 1945-1970.”Perkembangan dan Peranannya Sebagai Ibu kota Kecamatan Juhar, Kabupaten Karo tahun 1945-1970."

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

DESA JUHAR : PERKEMBANGAN DAN PERANANNYA

SEBAGAI IBU KOTA KECAMATAN JUHAR,

KABUPATEN KARO

(1945-1970)

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NAMA

: JOMENDA TARIGAN

NIM

: 050706005

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

DESA JUHAR : PERKEMBANGAN DAN PERANANNYA SEBAGAI

IBUKOTA KECAMATAN JUHAR, KABUPATEN KARO

(1945 – 1970 )

DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : JOMENDA TARIGAN NIM : 050706005

Pembimbing

Drs. Samsul Tarigan

NIP : 195811041986011002

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Lembar Persetujuan Penelitian

DESA JUHAR : PERKEMBANGAN DAN PERANANNYA SEBAGAI

IBU KOTA KECAMATAN JUHAR,

KABUPATEN KARO ( 1945 – 1970 )

Yang Diajukan Oleh: Nama : Jomenda Tarigan

Nim : 050706005

Telah disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi oleh:

Pembimbing

Drs. Samsul Tarigan NIP. 195811041986011002 Ketua Dapartemen Ilmu Sejarah

Drs. Edi Sumarno,M.Hum NIP. 196409221989031001

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta karunia-Nya yang dilimpahkan dengan memberikan kesehatan, ketabahan serta ketekunan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini mulai dari awal sampai selesai. Adapun penulisan ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan studi program sarjana Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis mengangkat permasalahan tentang perkembangan Desa Juhar dalam kajian Ilmu Sejarah. Skripsi ini diberi judul “Desa Juhar: Perkembangan dan Peranannya Sebagai Ibu kota Kecamatan Juhar, Kabupaten Karo tahun 1945-1970.”

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis telah berupaya semaksimal mungkin dengan kemampuan penulis yang sangat terbatas. Karena itu penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi nantinya.

Medan, Juni 2011 Penulis

(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Skripsi ini bukanlah semata-mata hasil jerih payah dari penulis sendiri, tetapi juga sangat banyak kontribusi pemikiran dari para pembimbing dan staf pengajar Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini tidak akan dapat selesai tanpa dukungan dan motifasi dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan tulus dan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

 Ayahanda tercinta Ali Tarigan dan Ibunda tersayang Martini Ginting yang telah merawat, membesarkan dan mendidik penulis dari lahir hingga dewasa dengan segala kasih dan sayangnya tanpa mengenal lelah dan selalu dengan ketulusan yang dalam.

 Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara beserta Staf yang telah berkenan menerima dan member kesempatan serta fasilitas kuliah kepada penulis selama kuliah di Fakultas Ilmu Budaya USU.

 DR. Drs. Syahron Lubis, M A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

 Drs.Edi Soemarno M.Hum dan Dra. Nurhabsyah M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Ilmu sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU.

(6)

kemauan serta rela meluangkan waktunya untuk membimbing dan memperbaiki naskah skripsi ini hingga selesai.

 Bapak dan Ibu dosen di Departemen Ilmu Sejarah atas segala bekal ilmu yang telah diberikan sehingga memungkinkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

 Abang, dan Kakak penulis yang terkasih beserta seluruh keluarga besar penulis yang terus memberikan dukungan dan doa selama masa perkuliahan penulis.

 Sahabat-sahabat penulis di jurusan Ilmu sejarah Stambuk 2005 maupun junior serta senior Stambuk penulis terkhusus kepada Halasson Marganda Tua Sitompul, Elim Sigalingging, M. Rasyid Sinaga, Febri Mendrofa, Iunita Simanjuntak, Jogi Simanjuntak, Sere Murni Gultom,Gian Albert Silitonga, Jackson Manik, Odoranta Sembiring,Indra Girsang,Rici Jolanda Situmorang, Putra Jaya Sinulingga, Mulia Tarigan yang memberikan bantuan, dukungan, dan semangat selama masa perkuliahan.

 Kepada seluruh informan saya yang telah bersedia saya wawancarai.

(7)

 Sahabat-sahabat penulis yang ada di padang bulan, Rudy Noverianto, Ean Prisma Sembiring, Charles, Noa, David, Kalvin yang telah memberi dukungan kepada penulis dari penyelesaian skripsi ini

Akhirnya untuk semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak Mungkin bisa disebutkan satu persatu namanya, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas semua kebaikan yang telah diberikan dan Dia senantiasa menyertai kita.

Medan, Juni 2011

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

UCAPAN TERIMAKASIH

DAFTAR ISI

ABSTRAK

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah...1

1.2. Rumusan Masalah...15

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian...15

1.4. Tinjauan pustaka...16

1.5. Metode Penelitian...17

BAB II

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

2.1. Letak Geografis...20

2.2. Keadaan Demografis...22

2.3. Mata Pencaharian Penduduk...34

2.4. Sistem Kepercayaan...38

BAB III

PERKEMBANGAN DESA JUHAR

3.1. Terbentuknya Desa Juhar...47

3.2. Juhar Tarigan, Juhar Ginting Dan Juhar Perangin-angin...52

(9)

3.4. Terbentuknya Kecamatan Juhar...78

BAB IV

PERANAN DESA JUHAR

4.1. Kondisi Infrastruktur Desa Juhar...84

4.2. Hubungan dengan Seluruh Desa-Desa Se-Kecamatan Juhar ...89

4.3. Bidang Sosial dan Ekonomi...91

4.3. Kontribusi terhadap Pemerintahan Kabupaten Karo...98

BAB V

KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan...101

5.2. Saran...104

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN

(10)

ABSTRAK

Masyarakat merupakan hasil dari perkembangan sebuah klompok yang mempunyai tahapan-tahapan yang harus dilewati. Proses yang dilewati mulai dari membuka hutan serta menyesuaikan dengan lingkungan merupakan tantangan yang sangat berat yang dilalui oleh manusia zaman dahulu. Akan tetapi demi kelangsungan hidupnya, manusia secara berkelompok mampu menghadirkan kebudayaan yang menggambarkan bagaimana sifat dan kebiasaan serta cara manusia bertahan hidup sesuai dengan zamannya. Dengan perkembangan yang ada maka kesatuan-kesatuan wilayah adminstratif terbentuk agar interaksi antar sesama kelompok masyarakat berjalan dengan baik demi membangun dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

Dalam tulisan ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah yang diawali dengan pengumpulan data historis yang berkenaan dengan objek penelitian (heuristik) dan dilanjutkan dengan kritik sumber. Selanjutnya dilakukan interpretasi terhadap data yang telah dikritisi tersebut, dan akhirnya dilakukan penulisan (Historiografi). Sehingga hasil penulisan ini dapat bermanfaat bagi kalangan yang ingin mengetahui bagaimana Desa Juhar mengalami perkembangan dan menjalankan peranannya sebagai ibu kota kecamatan Juhar kabupaten Karo.

(11)

ABSTRAK

Masyarakat merupakan hasil dari perkembangan sebuah klompok yang mempunyai tahapan-tahapan yang harus dilewati. Proses yang dilewati mulai dari membuka hutan serta menyesuaikan dengan lingkungan merupakan tantangan yang sangat berat yang dilalui oleh manusia zaman dahulu. Akan tetapi demi kelangsungan hidupnya, manusia secara berkelompok mampu menghadirkan kebudayaan yang menggambarkan bagaimana sifat dan kebiasaan serta cara manusia bertahan hidup sesuai dengan zamannya. Dengan perkembangan yang ada maka kesatuan-kesatuan wilayah adminstratif terbentuk agar interaksi antar sesama kelompok masyarakat berjalan dengan baik demi membangun dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

Dalam tulisan ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah yang diawali dengan pengumpulan data historis yang berkenaan dengan objek penelitian (heuristik) dan dilanjutkan dengan kritik sumber. Selanjutnya dilakukan interpretasi terhadap data yang telah dikritisi tersebut, dan akhirnya dilakukan penulisan (Historiografi). Sehingga hasil penulisan ini dapat bermanfaat bagi kalangan yang ingin mengetahui bagaimana Desa Juhar mengalami perkembangan dan menjalankan peranannya sebagai ibu kota kecamatan Juhar kabupaten Karo.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

` Sejarah merupakan rentetan peristiwa yang mempunyai kaitan dengan kejadian-kejadian dalam bentuk periode tertentu, karena manusialah yang bersejarah dan manusia pulalah yang mengkajinya 1. Pada hakikatnya, untuk mencapai taraf kesempurnaannya manusia hidup dari dan dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, manusia mempunyai rasa solidaritas yang sangat tebal terhadap masyarakatnya. Disamping itu, setiap individu yang menjadi suatu anggota masyarakatnya harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hak dan kewajibannya.2

Dalam hal ini dapat diamati bagaimana seorang memberikan pandangannya atas perkembangan umat manusia dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam mengamati proses perkembangan itu, tentunya salah satu yang turut memegang peranan cukup penting adalah dunia pengetahuan yang dalam zaman ke zaman selalu mengalami perkembangan. Dunia pengetahuan adalah salah satu dari aspek yang turut mempengaruhi umat manusia dari generasi ke generasi.

Wadah dari pengetahuan yang digunakan oleh umat manusia juga mempengerahui perkembangan desa-desa yang ada. Perkembangan desa-desa ini menjadi rantai sejarah bagi masa lalu, akar bagi hidup dimasa sekarang dan membimbing untuk melangkah ke masa depan. Dalam pembahasan mengenai masalah pedesaan masa lampau, terdapat beberapa asumsi yang kini masih dipersoalkan, dan ada pula yang tidak

1 Wiratmo Sukito, Renungan Tentang Sejarah, Jakarta: 1955, hlm 48.

(13)

valid. Asumsi pertama ialah yang menerima bahwa setiap karakteristik yang dijumpai pada sesuatu desa adalah hal umum pada desa-desa di semua waktu dan tempat. Asumsi kedua ialah bahwa apa yang benar mengenai pedesaan dalam suatu kebudayaan adalah benar untuk pedesaan dalam kebudayaan lain.

Bukanlah pembawaan seorang manusia untuk hidup menyendiri perseorangan atau bertempat tinggal hanya dengan istri dan anak ataupun hidup mengembara saja. Kehidupan kelompok masyarakat yang di zaman berburu masih nomaden, secara perlahan mengalami perubahan dan mulai menetap serta bertempat tinggal dalam jangka yang sangat lama. Mereka kemudian berkumpul, kemudian membangun daerah yang mereka tempati menciptakan kebiasaan hingga melahirkan budaya. Akan tetapi, awalnya kelompok tersebut akan membangun sebuah kelompok bertani alasannya adalah agar dapat menyeimbangkan persediaan makanan demi kelangsungan hidupnya.

(14)

yang subur tanahnya kemudian terdapat masyarakat-masyrakat yang besar dan tergabung dalam ikatan desa yang kuat dan banyak penduduknya.

Perkataan “Desa”, berasal dari bahasa sansekerta yang artinya tanah-air, tanah asal, ataupun tanah kelahiran. Perkataan desa umumnya di pakai di daerah Jawa, Madura, dan Bali. Sedangkan Dusun dipakai di daerah Sumatera Selatan; di Maluku orang mengenal dengan istilah dusundati. Daerah Batak, dusun dipakai buat nama pedukuhan. Di Aceh orang memakai nama “gampong” dan “meunasah” buat daerah-hukum yang paling bawah. Di Batak daerah Hukum setingkat dengan Desa diberi dengan nama Kuta atau Huta. Pedukuhannya dinamakan dusun sosor dan pagaran.3

Menurut undang-undang no 5 tahun 1979 tentang pemerintah daerah desa adalah: suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah, langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan kesatuan negara Republik Indonesia.

Kata Karo berasal dari Haro atau Haru yang merupakan bahasa Karo tua yang sampai sekarang masih hidup dalam bahasa Karo dan bahasa Pakpak, yang artinya “khawatir” atau merasa sangsi dan ketakutan. Orang Karo termasuk Bangsa Proto Melayu (Melayu Tua) yang mendiami dataran rendah pantai timur Sumatera Utara merasa khawatir dan ketakutan terhadap imigran-imigran Deutro Melayu (Melayu Muda) sebagian diantaranya melarikan diri ke pedalaman yaitu daerah Bukit Barisan sekarang dan daerah orang karo berada di dataran tanah tinggi karo. Bangsa Melayu Tua itu merasa “Haru” atau “aru”, takut dan khawatir akan terjadinya peperangan dan pembunuhan, sehingga mereka melarikan diri kepedalaman dan menyendiri di daerah

(15)

pegunungan dan mulai menetap serta membangun kelompoknya. Dalam perkembangan berikutnya jumlah masyarakat semakin bertambah dalam membentuk anggota-anggota masyarakat, lambat laun maka individu-individu harus diatur kehidupan sosial budayanya berdasarkan kaidah adat. Dengan demikian terciptalah adat istiadat yang mengatur dan berlaku serta rasa solidaritas yang didukung kerja sama yang kuat dalam kelompok tersebut.4

Dataran tinggi karo mencakup seluruh wilayah kabupaten karo yang pusat administratifnya berada di daerah Kabanjahe. Wilayah dataran Tinggi tanah karo ini menjorok kesaelatan hingga masuk kedaerah Kabupaten Dairi (khususnya daerah Kecamatan Tanah Pinem dan Tiga Lingga), serta kearah timur masuk kebagian wilayah Kecamatan Si Lima Kuta yang terletak di daerah Kabupaten Simalungun. Masyarkat karo menyebut wilayah pemukiman ini dengan nama Karo Gunung. Dataran rendah Tanah Karo yang mencakup wilayah-wilayah Kecamatan dari wilayah Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang yang terletak pada bagian ujung selatan secara geografis (namun tertinggi secara topografi). Wilayah ini dimulsi dari plato Tanah Karo yang membentang kebawah hingga mencapai sekitar kampung-kampung Bahorok, Namo Ukur, Pancur Batu, dan Namo Rambe yang ada di sebelah utara, serta Bangun Purba, Tiga Juhar dan Gunung Meriah disebelah timur. Masyarakat Karo menyebut daerah ini dengan Karo Jahe (Karo Hilir). Masyarakat Karo sendiri bermukim di Wilayah sebelah barat Danau Toba yang memiliki luas wilayah sekitar 5.000 kilo meter persegi yang secara astronomis terletak sekitar antara 3' 3'30º lintang utara serta 98'30º bujur timur.

(16)

Banyak sekali kebudayaan suku batak karo yang sangat unik. Diantaranya tradisi Merdang Merdem atau Kerja Tahun adalah sebuah perayaan suku Karo di Kabupaten Karo. Konon merdang merdem tersebut merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang biasanya dilaksanakan setelah acara menanam padi di sawah selesai. Perayaan tersebut merupakan bagian dari ucapan syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan menanam padi telah selesai. Teriring doa agar tanaman padi tersebut diberkati sehingga bebas dari hama dan menghasilkan panen yang berlimpah.

Momen yang melibatkan seluruh warga kampung tersebut biasanya juga dimanfaatkan muda-mudi sebagai ajang mencari jodoh. Setiap acara merdang merdem biasanya dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron yaitu acara kesenian karo seperti tari dan musik karo yang melibatkan pasangan muda-mudi. Setiap kecamatan di Tanah Karo merayakan merdang merdem pada bulan yang berbeda. Kecamatan Munte merayakan merdang merdem pada hari ke-26 beraspati medem kalender Karo yang biasanya jatuh di bulan juli. Konon, pesta sekampung tersebut sebegitu meriahnya sehingga lama perayaannya sampai Tujuh hari dimana setiap hari mempunyai makna yang berbeda. Desa juhar terletak di daerah kabupaten Karo yang terbentuk secara tradisonal oleh manusia yang menetap di daerah tersebut.

(17)

seluruh wilayahnya 21.856 Km persegi. Seperti daerah lainnya desa Juhar mempunyai sejarah tersendiri. Adapun yang pertama mendiami daerah ini adalah orang Karo yaitu dari klen merga Tarigan. Akan tetapi asal kata “Juhar” yang di gunakan orang untuk menyebut daerah tersebut berasal dari nama pohon yang tumbuh di tengah-tengah desa.5

Pohon juhar tersebut sangat rindang sehingga menjadi tempat persinggahan bagi orang-orang yang melintas maupun yang telah menetap di wilayah tersebut. secara tidak langsung dalam interaksi masyarakatnya yang masih sedikit, tetapi kekerabatan yang dimiliki cukup kental dan saling mengenal satu sama lain. Setiap orang yang hendak bepergian maupun menuju dari wilayah tersebut, mereka selalu menyebutkan kata juhar sebagai pengenal wilayah tersebut. karena sering disebutkan, sehingga daerah itu dinamakan menjadi Desa juhar oleh penduduk setempat hingga saat ini. Dalam perkembangannya daerah tersebut mulai ramai dan menjadi sebuah desa yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri.

Sistem pemerintahan yang dimaksud adalah suatu kesatuan keluarga-keluarga yang berasal dari satu klan disebut kesain. Pemerintahan di kenal dengan sistem urung atau raja “kuta”. Adapun raja kuta yang pertama adalah Narum Tarigan yang merupakan klen merga pendiri desa juhar. Klan merga Tarigan yang mendirikan desa Juhar berasal dari desa Lingga, dimana awal dari kedatangan mereka kedaerah Juhar adalah untuk mencari lahan Pertanian. Kemudian mereka merambah Hutan lebat karena lahannya dianggap subur, kemudian klompok tersebut mulai menetap di daerah Juhar. Suatu kelompok kekerabatan yang besar dalam masyarakat karo adalah merga. Pada orang karo, merga merupakan nama kolektif tanpa menghiraukan adanya satu nenek moyang.

(18)

Selain kefasihan dalam berbahasa Karo, ciri identitas terpenting seorang Karo dapat diketahui dari nama marga yang bersangkutan. Orang-orang Karo memiliki lima macam klan patrilineal atau marga, yaitu Karo-karo, Ginting, Tarigan, Sembiring, dan Peranginangin. Tiap-tiap marga ini terpecah lagi menjadi 13 hingga 18 submarga, sehingga secara keseluruhan dapat dijumpai sbanyak 83 submarga.

1. Karo- karo terbagi atas beberapa sub marga yaitu:

 Karo- karo purba

 Ketaren

 Sinukaban

 Karo- karo sinuraya/sinuhaji

 Karo- karo sekali

 Karo- karo Bukit

 Karo- karo Sinulingga

 Kaban

 Kacaribu

 Surbakti

 Karo- karo sitepu

(19)

 Karo- karo Manik

2. Ginting terbagi atas beberapa sub marga yaitu:

 Ginting Pase

 Ginting Manik

 Ginting Munthe

 Ginting Sinusinga

 Ginting Sinisuka

 Ginting Babo

 Ginting Sugihen

 Ginting Guru Patih

 Ginting Suka

 Ginting Beras

 Ginting Bukit

 Ginting Garamata

 Ginting Ajar Tambun

 Ginting Jadi Bata

(20)

 Ginting Jawak

 Ginting Capah

3. Tarigan terbagi atas beberapa sub marga yaitu:

 Tarigan Sibero

 Tarigan Tua

 Tarigan Silangit

 Tarigan Tambak

 Tarigan Tegur

 Tarigan Gersang

 Tarigan Gerneng

 Tarigan Gana- gana

 Tarigan Jampang

 Tarigan Tambun

 Tarigan Bondong

 Tarigan Pekan

(21)

4. Sembiring terbagi atas beberapa sub marga yaitu:

 Sembiring Kembaren

 Sembiring Keloko

 Sembiring Sinulaki

 Sembiring Sinupayung

 Sembiring Singombak

 Sembiring Brahmana

 Sembiring Guru kinayan

 Sembiring Colia

 Sembiring Muham

 Sembiring Pandia

 Sembiring Keling

 Sembiring Depari

 Sembiring Bunuaji

 Sembiring Milala

 Sembiring Pelawi

(22)

 Sembiring Tekang

5. Peranginangin terbagi atas beberapa sub marga yaitu:

 Peranginangin Sukatendel

 Peranginangin Kuto Buloh

 Peranginangin Jombor Beringen

 Peranginangin Jenabun

 Peranginangin Kacinambun

 Peranginangin Bangun

 Peranginangin Keliat

 Peranginangin Beliter

 Peranginangin Mano

 Peranginangin Pinem

 Peranginangin Laksa

 Peranginangin Pengarun

 Sebayang

 Peranginangin Uwir

(23)

 Peranginangin Pincawan

 Peranginangin Singarimbun

 Peranginangin Limbeng

 Peranginangin Prasi

Seluruh marga dan submarga ini merupakan nama-nama khas yang ada pada masyarakat Karo, namun sering juga tampak memiliki keterkaitan dengan nama-nama marga dari kelompok masyarakat suku-suku Batak lain, khususnya masyarakat Batak Simalungun dan Batak Pakpak. Identitas dan subetnis orang Batak ini pada umumnya dapat langsung diketahui dari nama marganya, misal marga Tarigan dan Sembiring adalah marga khas Batak Karo, nama Saragih dan Damanik adalah marga khas Batak Simalungun, nama Bancin dan Berutu adalah marga khas Batak Pakpak, dan sebagainya.

Berbeda dengan orang Batak Toba bahwa nama ataupun marga yang berarti menunjukkan nama dan nenek moyang asalnya. Jika misalnya seorang Karo bernama Perangin-angin, maka hal itu tidak berarti bahwa dulu nenek moyangnya bernama Bangun, anak dari si Peranngin-angin. Sebaliknya jika seorang Toba bernama Siregar Silo maka hal itu berarti bahwa yang bersangkutan adalah keturunan dari seorang nenek moyang yang bernama Silo dan bahwa Silo adalah anaknya Siregar.6

Sejak tahun 1902 desa Juhar memiliki komposisi masyarakat yang terdiri dari berbagai klen merga yang kemudian membuat desa Juhar dibagi dalam 3 daerah

Genealogis7 yaitu: Desa juhar Tarigan (1902), Desa Juhar Perangin-angin dan Desa Juhar

6 Tridah Bangun, Manusia Batak Karo, Jakarta, Inti Idayu Press, 1986, hlm 52.

(24)

Ginting yang memiliki hukum adat serta perangkat desa masing-masing. Akan tetapi keharmonisan ditingkatan masyarakatnya dapat dipelihara dalam bentuk-bentuk gotong royong yang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat pedesaan pada umumnya.

Proklamasi kemerdekaan Republik indonesia telah membawa perubahan bagi seluruh rakyat indonesia. Bangsa indonesia bebas dan berhak menentukan nasib sendiri tanpa adanya campur tangan dari bangsa lain, hal ini diatur sesuai dengan Bab I pasal I, Bab VI pasal 18 Undang- undang dasar Republik Indonesia serta Pancasila yang bertujuan untuk membangun dan meningkatkan kesejahteraan Bangsa Indonesia yang cukup lama menderita akibat penjajahan dari bangasa lain.

Dengan kondisi pemerintahan yang masih berpusat di Pulau Jawa akan tetapi pemerintah Indonesia kemudian membentuk pemerintahan di seluruh daerah Indonesia yang diwujudkan dalam daerah pemerintahan Tingkat I (satu) yaitu Provinsi, Daerah Tingkat II (dua) yaitu Kabupaten dan Daerah Tingkat III (tiga) yaitu kecamatan. Pada Tahun 1945 pemerintahan daerah Tiga kecamatan juhar terbentuk dan masuk kedalam wilayah kewedanan Karo Selatan. Matang Sitepu merupakan wedana Karo Selatan yang membawahi lima kecamatan yaitu: kecamatan Juhar dengan camatnya Tandil Tarigan, Kecamatan Tiga binanga dengan camatnya Pulung Tarigan, Kecamatan Munthe dengan camatnya Pangkat Sembiring meliala, kecamatan Kuta Buluh dengan camatnya Masa Sinulingga, dan Kecamatan Mardingding dengan camatnya Tuahta Barus.

(25)

lainnya, selain sebagai pusat administrasi tingkat kecamatan desa Juhar juga berperan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat desa lainnya, bidang ekonomi tersebut adalah peran sentral sebagai tempat pelemparan hasil-hasil pertanian dari desa-desa sekelilingnya.

Pada tahun 1945 perkembangan desa Juhar masih dalam bentuk administratif wilayah begitu juga dengan peranannya, dan mengalami kehancuran pada Tahun 1949 akibat dari agresi militer Belanda, meski tidak sempat di duduki oleh tentara Belanda akan Tetapi bangunan penting yang ada di desa Juhar sempat dibumi hanguskan oleh tentara indonesia sendiri, hal ini bertujuan untuk menjaga data-data penting agar tidak dikuasai oleh Belanda.

Pada tahun 1960-an adalah masa mulainya desa Juhar mengalami perkembangan, baik dari segi Pemerintahan, infrasturktur, ekonomi dan Sosial, baik dari segi pertumbuhan penduduk yang secara langsung mendorong pertumbuhan desa-desa yang ada di daerah sekitarnya. Secara keseluruhan hingga Tahun 1970 Kecemaatan Juhar terdiri dari 21 desa dengan jumlah penduduk 14.847 jiwa.

(26)

1.2. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang diatas maka dibuatlah suatu perumusan mengenai masalah yang hendak diteliti sebagai landasan utama dalam penelitian. Penelitian ini dibuat untuk membahasa Perkembangan Desa Juhar dan peranannya sebagai Ibukota Kecamatan Juhar tahun 1945-1970. Untuk mempermudah tulisan dalam upaya menghasilkan penelitian yang objektif, maka pembahasannya dirumuskan terhadap masalah-masalah sebagai berikut:

 Bagaimana Latar belakang berdirinya desa Juhar?

 Bagaimana Perkembangan Desa Juhar?

 Apa peranan Desa Juhar bagi kecematan Juhar?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Masa lampau manusia memang tidak dapat ditampilkan kembali dan direkonstruksi seutuhnya. Namun rekonstruksi kehidupan manusia perlu dipelajari sebagai aktivitas kehidupan manusia masa kini dan akan datang karena sejarah memberikan dan menjadi pelajaran bagi manusia untuk tidak melakukan kesalahan yang sama pada masa lampau di masa kini dan akan datang.

Adapun tujuan dari penelitian/penulisan skripsi ini adalah:

 Mengetahui latar belakang berdirinya desa Juhar

 Menjelaskan perkembangan Desa Juhar

(27)

Di samping tujuan di atas, juga diharapkan akan menghasilkan manfaat sebagai berikut:

 Menambah wawasan pembaca mengenai berdirinya Desa Juhar bagaimana peranan serta perkembangannya bagi Kecamatan Juhar.

 Menambah literatur dalam penulisan sejarah guna membuka ruang penulisan sejarah yang berikutnya.

 Memberikan motivasi bagi pembaca sebagai bahan bacaan untuk penelitian lanjutan bagi yang ingin meneliti permasalahan yang sama atau yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian ini.

1.4. Tinjauan pustaka

Adapun buku yang digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini antara lain: Dalam bukunya Tridah Bangun yang berjudul “Manusia Batak Karo”

menjelaskan tentang bagaimana kehidupan orang karo, sistem kekerabatan orang karo dan tentang kebiasaan orang karo tersebut. buku ini membantu penulis untuk menyelediki kehidupan orang karo yang ada di daerah pedalaman.

Dalam bukunya Brahma Putro yang berjudul “karo dari jaman ke jaman”

menjelaskan tentang bagaimana bentuk-bentuk dan cara orang Karo membangun sebuah tempat tinggal cara-cara bertahan hidup orang Karo serta bagaimana orang Karo membangun sebuah daerah. Buku ini membantu penulis mengupas bagaimana orang karo bisa memajukan sebuah daerah yang dibangunnya.

(28)

pengertian desa secara nasional. Buku ini sangat membantu penulis untuk mengetahui pengertian desa konsep-konsep pembangunan desa secara nasional serta gambaran seluruh desa yang ada di indonesia mulai dari kemerdekaan Republik Indonesia.

1.5. Metode Penelitan

Penelitian sejarah mempunyai metode tersendiri dengan menggunakan pengamatan. Penggunaan metode sejarah harus hati-hati8. Untuk memperoleh data yang lebih ilmiah dilakukan suatu penyusunan metode. Tujuannya agar penelitian yang akan dilakukan dapat berjalan dengan baik dan lancar, serta dapat memahami secara ilmiah objek penelitian yang dimaksud. Penelitian ini akan dilakukan dengan metode penelitian histories sebagai rujukan untuk merekonstruksi masa lampau pada objek yang akan diteliti, dipakai metode sejarah dengan menggunakan sumber sejarah sebagai bahan

penelitian.

Tahapan pertama yang akan dilakukan adalah melalui heuristik yakni metode yang dilakukan dengan mengumpulkan data, fakta-fakta dan sumber yang sesuai dengan objek penelitian, dalam hal ini ada dua langkah yang dapat dilakukan yaitu:

Penelitian Kepustakaan atau Library Research yaitu penelitian mencari data dalam perpustakaan yakni memperoleh buku-buku dan keterangan melalui bahan-bahan penulisan sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

(29)

Penelitian kepustakaan yang akan dilakukan dengan mengumpulkan sumber-sumber tertulis baik primer maupun sumber-sumber sekunder berupa buku, majalah, artikel, skripsi, dilakukan dengan menggunakan metode wawancara yang berstruktur/ tertutup dan terbuka terhadap informan-informan yang dianggap mampu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini.

Tahapan kedua yang di lakukan adalah kritik sumber. Dalam tahapan ini kritik dilakukan terhadap sumber yang telah terkumpul untuk mencari kesahihan sumber tersebut baik dari segi substansial (isi) yakni dengan cara menganalisis sejumlah sumber tertulis misalnya, buku-buku atau dokumen yang berkaitan dengan perpustakaan daerah, kritik ini disebut kritik intern. Dan mengkritik dari segi materialnya untuk mengetahui keaslian atau palsukah sumber tersebut agar diperoleh keautentikannya, kritik ini disebut kritik ekstern.

Tahapan yang ketiga adalah Interpretasi. Dalam tahapan ini data yang di peroleh dianalisa sehingga melahirkan suatu pemahaman baru yang sifatnya objektif dan ilmiah. Objek kajian yang cukup jauh kebelakang serta minimnya data dan fakta yang membuat interpretasi menjdai sangat fital. keakuratan serta analisa yang tajam perlu di lakukan untuk mendapatlan fakta sejarah yang objektif. Dengan kata lain tahap ini dilakukan sebagai penyimpulan kesaksian atau data yang dapat dipercaya dari data-data yang ada.

(30)
(31)

BAB II

GAMBARAN

UMUM

DESA

JUHAR

2.1. Letak Geografis

Desa juhar berjarak 46 km dari kota Kabanjahe yang merupakan ibukota daerah Kabupaten Karo dan berjarak sekitar 130 km dari kota Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara, letak wilayah desa ini dikelilingi dan dibatasi oleh beberapa desa serta pegunungan. Dengan batas-batas wilayah:

 Sebelah Utara berbatasan dengan Gunung Juhar, Desa Pasar Baru, Desa Mbetung.

 Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Ketawaren, Desa Buluh Pancar, Desa Lau Kidupen.

 Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sigenderang.

 Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Jandi dan Desa Kidupen8.

Desa juhar berada 710-800 M / DPL dari permukaan laut. Suhu udara di desa juhar berkisar antara 22º s/d 29º derejat celcius dengan kelembapan udaranya rata-rata 28º. Ada dua musim yang terdapat di desa Juhar yaitu musim Hujan dan Kemarau. Musim hujan pertama terjadi antara bulan Agustus sampai bulan Januari, dan musim kemarau terjadi pada bulan Maret sampai bulan Oktober. Hal ini disebabkan karena arah angin yang berhembus di desa Juhar terbagi atas dua yaitu: pada musim hujan, angin berhembus dari arah barat sedangkan pada musim kemarau angin Timur Tenggara berhembus dari arah Timur. Sebelum luas wilayah ini di paparkan lebih lanjut, ada baiknya dibahas sekilas tentang pemerintah desa Juhar ini. Desa juhar terbagi atas tiga

(32)

wilayah hukum adat hal ini terjadi karena berkaitan dengan perkembangan desa juhar yang tidak lepas dari para pemuka desa Juhar tersebut. adapun ke-tiga wilayah hukum adat tersebut adalah desa Juhar Ginting, Juhar Peranginangin, Juhar Tarigan dan memiliki pemerintah sebelum kemerdekaan Republik Indonesia di namakan dengan Urung dan setelah Indonesia Merdeka Pada tahun 1945 maka urung digantikan dengan kepala Kampung dan kemudian diganti menjadi Kepala desa. Mengenai perincian lebih jelas akan dipaparkan lebih lanjut dalam latar belakang historis desa Juhar nantinya.

Mengenai luas wilayah desa Juhar secara kesluruhan 3.266,0 Kilo meter persegi yang masing-masing dapat diperinci sebagai berikut:

No.  Desa Juhar  Tanah Sawah 

Tanah kering 

Bangunan/ pekarangan 

Lainnya  Jumlah 

1.  Juhar Tarigan 

80,0  555,0  7,0  320,0  962,0  2.  Juhar 

Perangin‐  angin 

80,0  637,0  10,0  225,0  952,0 

3.  Juhar Ginting 

110,0  977,5  11,5  253,0  1352,0  JUMLAH  270,0  2169,5  28,5  798,0  3266,0 

Sumber: Kepala desa Juhar tahun 1945

Berdasarkan tabel diatas perkembangan masyarakat memanfaatkan tanah pada awalnya, para warga desa Juhar memanfaatkan tanah sebagai lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari. Tanaman pangan seperti halnya padi dan tanaman lainnya untuk mencukupi ekonomi keluarga selain itu, tanah bagi warga berfungsi juga sebagai kebutuhan awal untuk bertempat tinggal dan bermukim.

(33)

desa Juhar. Akan tetapi kebutuhan masyarakat desa Juhar semakin meningkat terutama dalam hal untuk mencapai kesejahteraan hidup. tanah-tanah yang dijadikan sebagai lahan pertanian oleh masyarakat desa Juhar tersebut tergolong produktif karena kandungan humusnya cukup tinggi hal ini tidak terlepas dari keberadaan desa Juhar di kelilingi oleh bukit-bukit serta bekas pelapukan tumbuh-tumbuhan yang dirambah ketika penduduk generasi pertama menetap di desa Juhar, selain itu bukit-bukit tersebut memiliki cadangan air sehingga membuat desa Juhar di aliri oleh sungai-sungai meski tergolong kecil akan tetapi sungai-sungai tersebut cukup memenuhi irigasi pertanian dan kebutuhan akan air minum masyarakat desa Juhar.

2.2. Keadaan Demografis

Di dataran tinggi Karo, Kuta sebagai kesatuan teritorial yang luas dihuni oleh keluarga-keluarga yang berasal dari satu klen disebut kesain. jadi kesain merupakan bagian-bagian dari suatu kuta, sebab kuta biasanya terdiri dari penduduk yang berasal dari klen yang berbeda-beda.

keluarga sada nini adalah suatu kelompok kekerabatan di dalamnya termasuk semua kaum kerabat patrilinial yang masih diingat atau dikenal kekerabatannya. suatu kelompok kekerabatan yang besar dalam masyarakat karo adalah merga, tetapi istilah

merga sendiri mempunyai beberapa pengertian. merga bisa berarti klen besar yang

patrilineal, misalnya merga Ginting, Sembiring, Tarigan, Perangin-angin, Karo-karo. selain itu merga pada orang Karo bisa juga berarti bagian dari klen besar patrilineal, misalnya Barus, Suka, Pandia, Singarimbun, Tambun dan sebagainya.

(34)

nama marga menunjukkan nama dan nenek moyang asalnya. jika misalnya seorang Karo bernama Perangin-angin Bangun, maka hal itu tiduk berarti bahwa dulu nenek moyangnya bernama Bangun, anak dari si Perangin-angin.

Penduduk asli desa Juhar adalah marga Tarigan yang berasal dari daerah desa Lingga, tidak ada bukti yang pasti mengenai Tahun kedatangan marga Tarigan ke daerah Juhar akan tetapi dari penuturannya dan informasi dapat di prediksi bahwa marga Tarigan sudah mulai bermukim di daerah tersebut dan Desa Juhar mulai dikenal orang-orang di sekitar daerah tersebut pada Tahun 1700 akan tetapi masyarakatnya terdiri hanya beberapa keluarga saja dan kemudian di susul oleh marga Peranginangin dan marga Ginting9.

Ketiga klan klompok marga masyarakat tersebut kemudian menetap bersama dan membangun desa Juhar baik dari sistem mata pencaharian hingga pemerintahan desa Juhar tersebut. Sistem adat karo adalah pola pemerintahan tradisional yang dibawa oleh pemuka kampung di desa Juhar, kebiasaan-kebiasaan adat yang turun-temurun membentuk pola kehidupan masyarakat desa Juhar. Sehingga dalam kesehariannya masyarakat desa Juhar memakai bahasa karo dalam komunikasi sehari-hari.

setiap kuta dikelilingi oleh satu parit, suatu dinding tanah yang tinggi dan rumpun-rumpun bambu yang tumbuh rapat. Hal itu dimaksudkan sebagai pertahanan terhadap serangan-serangan musuh dari kuta lain. memang dahulu secara tradisional kampung-kampung dibangun dengan mengutamakan segi keamanan. biasanya didirikan dengan batas-batas yang jelas, seperti batas-batas alam, misalnya dengan menanam pohon bambu

(35)

yang rapat sekali sehingga tidak bisa dimasuki oleh musuh. untuk pendirian kampung atau kuta juga demikian halnya.

Pada sebuah kampung terdapat dua atau lebih deretan rumah-rumah, diantara rumah-rumah itu terdepat pekarangan yang cukup luas, biasanya dijadikan tempat tempat berbagai kegiatan, misalnya tempat upacara pesta perkawinan, upacara kematian dan sebagainya.

Di pekarangan halaman kuta sering ada dibangun lumbung-lumbung untuk menyimpan padi ( yang dalam bahasa Karo disebut sapo page) dan lesung. Di daerah Karo, lumbung padi juga berfungsi sebagai tempat berkumpul atau tempat untuk tidur bagi para pemuda.

Dari hasil wawancara dengan penduduk setempat maupun petugas kecamatan tak diperoleh keterangan tentang adanya rumah-rumah biasa yang didirikan oleh sebuah keluarga dalam arti kata rumah untuk keluarga batih, Pada umumnya sumber-sumbur menyebutkan pendirian rumah adat, yaitu rumah besar sebagai perwujudan ketentuan adat. Sebagian kampung didirikan dengan gotong-royong, demikian pula rumah-rumah adat di dalam kampung didirikan sesuai dengan prinisip adat. jadi yang disebut rumah adat oleh karena merupakan lambang perwujudan adat masyarakat gotong-royong dilihat dari cara pendiriannya, fungsinya, semuanya bersendikan kepada adat istiadat.

(36)

pertama kali didirikan oleh manusia adalah berupa adat yang oleh orang karo disebut dengan Siwaluh jabu.

Pertimbangan keselamatan adalah sangat penting dalam pendirian rumah adat harus dibangun kokoh, bahkan dengan dindingnya yang miring juga adalah erat berkaitan dengan faktor keamanan dan keselamatan pada waktu itu. Populasi yang semakin besar jumlahnya menyebabkan semakin bertambah banyak didirikan dan perlahan-lahan diikuti oleh pendirian rumah-rumah biasa untuk masing-masing keluarga. jadi disamping rumah adat, lambat-laun barulah berdiri rumah-rumah pribadi milik keluarga.

Seperti desa-desa pertanian lainnya, bentuk pemukiman penduduk desa Juhar memanjang dengan rumah-rumah yang menghadap jalan. akan tetapi bentuk ini berubah setelah penduduk yang menetap di desa Juhar sudah semakin ramai. Awalnya rumah-rumah di desa Juhar masih berbentuk rumah-rumah adat Karo yang biasa dikenal dengan

siwaluh jabu.

(37)

Selain rumah adat Karo yang jauh lebih besar dari pada rumah-rumah adat kelima sub suku bangsa Batak lainnya, rumah adat Orang Karo masih mempunyai keistimewaan khusus yang lain. Yaitu rumah adat Karo mempunyai “ture”, ialah semacam teras, satu berada di pintu belakang. oleh sebab rumah adat Batak adalah rumah panggung (bertiang), maka letak teras adalah setelah kita menaiki tangga, jadi sebelum masuk kedalam rumah adat. Sesuai dengan kedudukan rumah adat, dari mana terpencar adat-istiadat yang kuat dan kokoh, maka ture juga adalah pelambang adat istiadat. Fungsinya adalah sebagai tempat pertemuan dan bercengkrama antara pemuda dengan gadis-gadis penghuni rumah adat tersebut di malam hari. Pada malam hari biasanya anak-anak gadis dari rumah adat itu duduk berkumpul di ture dengan diterangi lampu teplok atau terkadang tanpa lampu jika terang bulan. Anak-anak gadis duduk-duduk sambil menganyam tikar atau sumpit.

(38)

Rumah Siwaluh jabu adalah rumah adat masyarakat Karo yang berarti rumah yang dihuni oleh delapan keluarga, dimana kehidupan di dalamnya diatur berdasarkan adat. Pada proses pembangunannya, banyak upacara yang harus dilalui untuk membangun sebuah rumah si waluh jabu, seperti upacara persada arih atau rembuk antara Bena kayu atau penghulu rumah dengan istrinya, lalu bena Kayu menanyakan pihak kalimbubu 1, kemudian Bena Kayu menanyakan pihak Kalimbubu 1, kemudian Bena kayu memberitahukan pihak Anak Beru 2 dan terakhir memanggil Biak Senina 3, sehingga terkumpul delapan keluarga.

Dengan praktek kehidupan yang berlangsung dalam rumah tersebut bahwa kesemua keluarga mempunyai fungsi dan kedudukannya masing-masing. kedelapan keluarga mempunyai fungsi dan kedudukannya masing-masing. kedelapan keluarga berfungsi dan bertugas sebagai berikut:

Rumah tangga nomor 1 disebut jabu bena kayu atau jabu Raja, yaitu kamar yang ditempati oleh orang yang tertinggi kedudukannya dalam rumah adat. Keluarga ini adalah yang mengepalai semua jabu atau ketujuh keluarga lainnya. keluarga di jabu

Raja ini adalah “penghulu taneh” atau juga disebut “merga taneh”, di desa juhar adalah merga Tarigan, Ginting dan Peranginangin.

 Rumah tangga nomor 2 disebut jabu ujung kayu, yaitu merupakan anak beru dari

jabu Raja ( rumah tangga nomor 1 ). kepala keluarga rumah tangga nomor 2 ini

berfungsi atau berkedudukan sebagai pembicara atau mewakili penghulu taneh.

atau juga disebut jabu ujung kayu karena jabu yang ditempati keluarga anak beru

(39)

 Rumah tangga nomor 3 terletak beseberangan dengan Jabu bena Kayu, yang disebut Jabu bena lepar bena kay, yaitu jabu yang didiami oleh anak dari

penghulu taneh ( Rumah tangga nomor 1 ). Kepala keluarga pada jabu lepar bena

kayu disebut jabu sungkun berita yaitu bertugas untuk menyampaikan berita. Maksudnya bahwa dengan fungsi Sungkun berita, maka tugas utamanya adalah untuk mendapatkan berita apa yang terjadi maupun isu di luar rumah untuk kemudian berita apa yang terjadi maupun isu diluar rumah untuk kemudian berita apa yang terjadi maupun isu di luar rumah untuk kemudian berita yang diperoleh ditengah-tengah masyarakat disampaikan kepada jabu raja atau penghulu taneh.

 Rumah tangga nomor 4 disebut lepar ujung kayu atau dinamakan juga jabu

simanganminem, yang letaknya berseberangan dengan rumah anak beru ( jabu

nomor 2 ). Rumah ini dihuni oleh piihak saudara dari orang tua isteri rumah tangga nomor 1, yaitu Kalimbubu. Misalnya menyelenggarakan upacara pesta, maka keluarga lepar ujung kayu yaitu kalimbubu akan diundang dan sangat dihormati yang diberi tempat duduk istimewa dimana kalimbubu hanya duduk-duduk saja serta makan dan minum.

 Rumah tangga nomor 5 disebut Sedapuren bena kayu, yang letaknya bersebelahan dan satu dapur dengan rumah tangga nomor 1. penghuni jabu ini biasanya di tempati oleh mereka yang bertugas dengan fungsi sebagai saksi dan pendengar apabila diselenggarakan musyawaran atau pembicara penting dalam rumah

siwaluh jabu. Rumah tangga nomor 5 ini juga disebut anak beru menteri dari

(40)

 Rumah tangga nomor 6 disebut jabu arinteneng, yaitu jabu yang ditempati oleh anak-anak dari rumah tangga nomor 4 (lepar ujung kayu). Fungsi keluarga ini sebagai penjaga keamanan bagi seluruh penghuni rumah adat, sehingga mereka semua yang mendiami rumah merasa tentram dan aman.

 Rumah tangga nomor 7 disebut jabu bicara guru yang mendiami oleh guru (dukun). letak jabu ini bersebelahan dengan rumah tangga lepar ujung kayu ( rumah tangga nomor 4). Tugas bicara guru ini adalah untuk membuat obat-obatan, menetapkan hari baik atau bulan baik dalam melakukan sesuatu pekerjaan misalnya kapan mulai menanam padi, memasuki rumah baru, upacara pesta perkawinan, meramal hari kelahiran seorang anak, untuk mengusir roh-roh yang berhubungan dengan kepercayaan dan sebagainya.

 Rumah tangga no 8 disebut jabu sedapuren lepar bena kayu, letaknya bersebelahan dengan rumah tangga nomor 3 (jabu lepar bena kayu). rumah tangga nomor 8 ini punya kewajiban khusus, apabila jabu bena kaya kedatangan tamu jauh terutama berasal dari kampung lain yang jauh letaknya, maka dalam hal ini isteri dan rumah tangga nomor 8 berkewajiban menyodorkan sekapur sirih sebagai penghormatan kepada tamu. Setelah itu barulah dinyatakan apa maksud kedatangan tamu itu. maksud kedatangan tamu tersebut kemudian disampaikan kepada bena kayu ( rumah tangga nomor 1) dan sesudah itu barulah pembicaraan dilanjutkan oleh keluarga jabu benakayu dengan tamunya.

(41)

siwaluh jabu. Fungsi dan tugas masing-masing, keluarga pada satu rumah adat demikian juga berlaku pada rumah-rumah siwaluh jabu lainnya. Dengan demikian adat rumah siwaluh jabu, bahwa di dalamnya setiap jabu atau keluarga mempunyai fungsi dan tugas khusus masing-masing, sehingga kehidupan dalam rumah siwaluhjabu menjadi tentram.

Dalam rumah siwaluh jabu kedudukan bena kayu sebagai pendiri kuta dipandang sangat tinggi. ada keluarga di dalam rumah itu yang tugasnya khusus untuk menerima atau menyambut tamu terutama bena kayu, yaitu maksud dan tujuan tamu tersbut, dan setelah itu barulah menyampaikannya kepada jabu bena kayu. Dengan demikian jabu

yang berhak menghadapi dan bertanggung jawab urusan luar bagi siwaluh jabu adalah jabu bena kayu, yaitu sebagai merga taneh. Dalam menerima tamu, terutama tamu dari jauh dalam arti dari luar kampung yang berkewajiban menerimanya adalah Bena kayu. Rumah Siwaluh Jabu mempunyai arti dan simbol tersendiri yaitu:

 Bentuk Rumah menyimbolkan Perempuan yang sedang bersila dan dua tangan yang menangkup, menyembah Tuhannya.

 Pintu Rumah melambangkan rahim perempuan sesuai dengan bentuk tubuh perempuan. Pintu menyimpan makna daur hidup, selain makna Rahim, dahulu pintu adalah tempat perempuan melahirkan sambil memegang pegangan pintu bagian luar rumah.

(42)

Sedangkan simbol yang sangat sering ditemukan dalam Rumah adat Siwaluh jabu adalah:

 Ijuk pada Pondasi, mempunyai makna pengusir roh jahat yang berwujud ular.

 Ornamen Tutup Dadu, pada hiasan melmelen mempunyai makna sindiran terhadap orang karo yang suka berjudi.

 Ornamen Cuping, mempunyai makna bahwa orang Karo mempunyai pendengaran yang tajam, dapat memilih berita mana yang baik dan harus didengar dan juga berita nama yang tidak baik dan tidak perlu di besar-besarkan.

 Pengeret-ret, Ornamen berbentuk cicak atau biawak kadal ini mempunyai fungsi menolak bala dan melambangkan kewaspadaan karena dipercaya tidak pernah tidur.

 Kain Putih pada pertemuan kolom dan balok kayu. Makna yang terkandung adalah adanya kehidupan dan jenis kelamin disetiap makhluk hidup termasuk kayu-kayu yang digunakan untuk mendirikan rumah. Kain putih sebagai alas atau batas agar kayu-kayu yang saling berhubungan tidak langsung berhubungan karena ditakutkan mereka berasal dari marga yang sama. Perkawinan sumbang sangat dihindari orang karo.

 Kite-kite kucing mempunyai makna kasih sayang keluarga terutama antara ibu dan anaknya. Kite-kite kucing merupakan balok tempat para-para bergantung, biasanya kegiatan ibu atau perempuan mengambil tempat di wilayah ini.

 Atap rumah yang berbahan ijuk mempunyai makna pengorbanan seorang perempuan dalan menjaga nama baik keluarga.

(43)

 Tanduk kerbau pada bahagian puncak bermakna memberi kekuatan dan semangat orang karo untuk bekerja keras. Fungsinya untuk menolak bala.

 Tiga Bagian dari bentuk dasar dari rumah adat dan 3 lubang pada gagang pintu dan angka 5 pada tangga bagian depan. Melambangkan keberadaan 3 tuhan atau 3 kekuatan serta angka 5 melambangkan 5 merga10.

[image:43.595.86.504.427.568.2]

Pada umunya masyarakat Desa Juhar (Juhar Tarigan, Juhar Ginting dan Peranginangin) menggunakan rumah Siwaluh jabu sebagai tempat tinggal dan biasanya rumah siwaluh jabu yang digunakan tersebut diwariskan secara turun temurun. rumah siwaluh jabu tersebut berdiri berderetan menghadap jambur yang ada di desa Juhar. adapun jumlah keberadaan Rumah Siwaluh jabu tersebut dapat di lihat jumlahnya berdasarkan tabel dibawah ini.

Tabel Jumlah Rumah Adat Siwalu Jabu

No  Desa  Jumlah 

1.  Juhar Tarigan  16 

2.  Juhar Peranginangin  9 

3.  Juhar Ginting  27 

  JUMLAH  52 

Sumber: kantor Balai Desa Juhar (Tahun 1984)

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk desa Juhar, lama-kelamaan keberadaan Rumah Siwaluh Jabu tersebut sudah mulai berkurang jumlahnya hal ini disebabkan berbagai faktor, antara lain adalah: faktor usia rumah siwaluh jabu tersebut, kepadatan penduduk dan lain sebagainya. perlahan namun pasti Rumah-Siwaluh Jabu

(44)

tersebut semakin berkurang dan langka sehingga di tahun 1970-an di desa Juhar sudah mulai langka ditemukan masyarakat yang masih menetap di rumah siwaluh jabu tersebut. Meningkatnya Jumlah penduduk tersebut bukanlah karena disebabkan tingginya angka kelahiran di Desa Juhar akan tetapi adalah akibat meningkatnya jumlah pendatang untuk menetap dan mencari nafkah yang kemudian menjadi penduduk desa Juhar.

Pada umumnya masyarakat Desa Juhar memiliki sifat yang terbuka dan tidak bersifat sukisme dan itulah sebabnya para pendatang betah tinggal di desa ini. sifat keterbukaan yang dimiliki masyarakat desa ini sifat keterbukaan yang dimiliki masyarakat desa ini membentuk sifat heterogen. di luar suku Karo yang ada di desa Juhar tersebut ada juga suku lainnya yaitu suku Toba yang datang pada Tahun 1940-an dan suku Jawa yang datang Tahun 1960-an. populasi masyarakat suku Toba dan Jawa di desa Juhar memang masih minoritas dibandingkan suku karo yang merupakan penduduk awal desa Juhar dan pada umumnya mereka bermukim di daerah-daerah perladangan karena tujuan awal kedatangan mereka adalah sebagai pekerja diladang-ladang masyarakat desa Juhar.

(45)

2.3. Mata Pencaharian Penduduk

Berdasarkan produktif atau tidaknya, penduduk desa Juhar dapat dibagi menjadi dua, yaitu penduduk yang tidak produktif berdasarkan usia muda yaitu dibawah 25 tahun. kelompok ini dianggap masih dalam taraf pendidikan. Dengan demikian tidak dapat dibatalkan dalam peningkatan sosial ekonomi. kelompok yang lainnya adalah yang produktif berdasarkan usia 25 tahun ke atas dan tidak bersekolah lagi. Dalam usia 25 Tahun sudah dianggap memiliki penghasilan.

Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia penduduk Desa Juhar memiliki mata pencaharian sebagai peetani. Adapun tanaman yang ditanami oleh masyrakat Juhar adalah Padi, Aren, Jagung, Ubi kayu. Akan tetapi pada masa penjajahan Kolonial Belanda, seluruh hasil panen tersebut di serahkan kepada Belanda sebagai imbalan yang di terima penduduk adalah hanya kebutuhan untuk makan. sehingga masyarakat tidak bisa menikmati hasil dari pertanian mereka, dengan kondisi tersebut hanya beberapa pihak yang mampu menikmati hasil tersebut hanyalah para kaki tangan Belanda yang merupakan raja Urung desa Juhar, penindasan tersebut melalui pajak yang dikenakan terhadap pemilik ladang dan seluruh warga desa Juhar.

(46)

Walaupun alamnya cukup subur dan menghasilkan berbagai tanaman yang laku di pasaran eksport, akan tetapi keuntungan itu hanyalah untuk Belanda saja karena hal tersebut merupakan tujuan utama kolonial Belanda untuk menjajah di seluruh wilayah Nusantara. Akan tetapi sebahagian masyrakat desa Juhar juga memiliki cara untuk menjual hasil-hasil pertanian mereka yaitu dengan melalui Hutan yang bisa tembus kedaerah Dairi maupun kedaerah Tiga Binanga.

Demikian juga halnya ketika masa penjajahan Jepang, keadaan mata pencaharian masyarakat Desa Juhar semakin memprihatinkan, hal ini disebabkan keadaan masyarakat desa Juhar semakin tertekan dengan kejamnya sistem penjajahan Jepang yang lebih kejam dari pemerintahan Kolonial Belanda. Dengan masuknya Jepang kedaerah desa Juhar pada tahun 1943, banyak lahan-lahan pertanian ditinggalkan oleh penduduk desa Juhar karena melarikan diri sehingga lahan tersebut tidak terurus. Lahan-lahan yang masih produktif pun secara keseluruhan hasil panennya di serahkan oleh raja urung untuk tentara Jepang.

(47)

demikian pada tahun 1946 di Desa Juhar sudah memiliki Pasar tradisional yang diadakan sekali dalam seminggu11.

Pasar tradisional di desa Juhar diadakan setiap hari selasa, dengan adanya pasar tradisional tersebut secara tidak langsung membuka peluang bagi masyarakat desa Juhar untuk membuka usaha-usaha dalam bentuk dagang terutama penduduk yang rumahnya berdekatan dengan pajak tradisional tersebut. Selain berdagang untuk desa Juhar, pedagang-pedagang tersebut juga berdagang kedaerah lain misalnya desa Tiga binanga, desa Munthe, bahkan juga kedaerah Dairi.

Pada akhir tahun 1960-an jumlah pedagang yang membuka usaha dagang di desa Juhar masih sedikit jumlahnya, adapun barang-barang yang di dagangkan pada umumnya antara lain, kebutuhan pokok seperti Beras, Lauk, Minyak goreng, minyak tanah. Selain itu, barang-barang dagangan lainnya berupa alat-alat pertanian. Secara ekonomis para pedagang ini memiliki perkembangan karena disebabkan masyarakat desa Juhar lebih memilih berbelanja di desa Juhar dari pada daerah lain, karena selain faktor transportasi yang belum memadai masyarakat desa Juhar juga lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berladang sehingga keinginan ataupun waktu untuk bepergian sangat sedikit.

Pembagian kerja bagi masyarakat desa Juhar dilakukan berdasarkan kedudukan sosial antara wanita dan pria ada perbedaan aktivitas. pada masa senggang ataupun sehabis dari ladang para ibu-ibu rumah tangga juga anak-anak biasanya menganyam tikar yang terbuat dari pandan. Tikar pandan anyaman tersebut banyak dihasilkan masyarakat desa Juhar, karena tumbuhan pandan sebagai bahan bakunya banyak ditemukan di desa Juhar, selain itu juga tikar pandan tersebut digemari banyak orang sehingga harga tikar

(48)

tersebut lumayan menguntungkan. Kerajinan tangan tersebut mulai di gemari sejak tahun 1921.

Selain itu masyarkat desa Juhar juga mengandalkan hasil-hasil dari tanaman palawija yang ditanami masyarakat dari awal dimulainya pertanian di desa Juhar tersebut. Tanaman palawija tersebut antara lain jagung, Ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau, dan juga kacang kedelai. Akan tetapi rata-rata masyarakat desa Juhar lebih memilih menanam Jagung yang sangat memungkin untuk di tanami dan juga memiliki harga yang lebih stabil.

Pada tahun 1960-an adalah masa kebangkitan perekonomian masyarakat desa Juhar, karena lahan-lahan pertanian sudah mulai di kelola masyarakat. Akan tetapi pada tahun 1970 ada perubahan yang menonjol bagi pertanian masyarakat desa Juhar, semula masyarakat desa Juhar masih bisa menanam jeruk akan tetapi karena perubahan iklim yang terjadi membuat tanaman jeruk tidak cocok lagi di tanami oleh masyarakat desa Juhar di lahan pertaniannya.

Sebagai pengganti tanaman jeruk yang tak bisa tumbuh lagi, masyarakat desa Juhar kemudian mulai menanami tanaman cengkeh di lahan pertanian mereka. Masyarakat Juhar juga beternak dalam melengkapi usaha-usaha mata pencaharian mereka. Hewan berkaki empat pun kemudian mulai diternakkan guna untuk menyokong ekonomi rumah tangga masyarakat desa Juhar.

(49)

Kambing/Domba, dan Babi. Hewan-hewan ini sangat mambantu perekonomian masyarakat desa Juhar termasuk juga untuk mencukupi kebutuhan disaat dilaksanakan pesta adat tanpa harus mendatangkan dari daerah lain.

2.4. Sistem Kepercayaan Masyarakat Desa Juhar.

Masyarakat Karo secara umum meyakini selain dihuni oleh manusia alam juga merupakan tempat bagi roh-roh gaib atau makhluk-makhluk lain yang hidup bebas tanpa terikat pada suatu tempat tertentu, untuk itu diperlukan beberapa aktivitas-aktivitas yang dapat menjaga keseimbangan alam. Segala kegiataan yang berhubungan dengan roh-roh gaib dan upacara ritual, suatu kompleks penyembuhan, guna-guna dan ilmu gaib, merupakan sebagai aspek penting dalam kepercayaan tradisional masyarakat Karo.

Alam semesta merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh, yang dapat dibagi secara vertikal (tegak lurus) dan secara horizontal (mendatar). Secara Vertikal, alam dapat dibagi dalam tiga ke dalam tiga bagian yang disebut benua, yaitu: benua atas, benua tengah dan benua teruh yang masing-masing dikuasai oleh Dibata datas, Dibata tengah dan Dibata teruh yang merupakan suatu kesatuan yang disebut Dibata si telu (Tuhan yang tiga) atau dianggap sebagai tunggal yang disebut juga Dibata kaci-kaci ( Kaci-kaci artinya Tuhan Perempuan) sebagai penguasa tunggal12.

Salah satu hal yang menjadi perhatian dalam penulisan ini adalah bagaimana upacara yang bercampur dengan kebudayaan suatu suku bangsa karena merupakan salah satu hal yang sangat lahiriah. selain itu juga, upacara keagamaan itu sendiri berhubungan dengan kepercayaan tradisional Karo yang disebut dengan pemena. demikian lah yang

(50)

terjadi di masyarakat desa Juhar yang masih memiliki keterikatan kuat dengan upacara-upacara tradisional yang sangat kental dengan kehidupan sehari-hari.

Secara umum masyarkat Karo meyakini alam semesta ini di bagi dalam delapan penjuru mata angin yaitu:

 Purba (Timur)

 Aguni (Tenggara)

 Daksini (Selatan)

 Nariti (Barat Daya)

 Pustima (Barat)

 Mangabia (Barat Laut)

 Butara (Utara)

 Irisen (Timur Laut)

Penjuru mata angin ini disebut desa si waluh (delapan arah), berasal dari kata desa yang berarti arah dan si waluh yang berarti delapan. Penjuru mata angin ini dapat dibedakan atas dua sifat yang berbeda, yaitu desa ngeluh (arah hidup) dan desa mate (arah mate). Desa-desa yang digolongkan sebagai arah hidup adalah: Timur, Selatan, Barat, dan Utara. Selain itu digolongkan sebagai arah mati. Penggolongan kepada arah hidup dan arah mati didasarkan kepada pemikiran bahwa desa-desa timur, selatan, barat dan utara dikuasai oleh roh penolong yang memberikan kebahagian kepada manusia.

(51)

rumah-rumah adat mayoritas menghadap ke arah timur dan barat. Dalam kehidupan sehari pembagian yang diikuti dengan pembagian Dibata ternyata tidak begitu penting.

Bagi masyarakat Karo, pada umumnya yang dianggap penting adalah Dibata kaci-kai sebagai kesatuan kesuluruhan dari Dibata. Menurut mereka Dibata adalah tendi (jiwa) yang dapat hadir dimana saja, kekuasannya meliputi segalanya dan dianggap sebagai sumber segalanya. Hal ini sesuai dengan keyakinan orang-orang Karo yang sangat dengan suatu bentuk kepercayaan atau keyakinan terhadap tendi, yaitu suatu kehidupan jiwa yang kebaradaannya dibayangkan sama dengan roh-roh gaib.

Orang karo meyakini bahwa alam semesta di isi oleh sekumpulan tendi. Kesatuan dari seluruh tendi yang mencakup segalanya ini disebut Dibata. Setiap manusia dianggap sebagai kesatuan bersama dari Kula (tubuh), tendi (Jiwa), pusuh peraten (perasaan), Kesah (nafas), dan ukur (fikiran). Setiap bagian berhubungan satu sama yang lainnya, kesatuan ini disebut sebagai keseimbangan dalam manusia. Hubungan yang kacau atau tidak beres antara satu sama lain dapat menyebabkan berbagai bentuk kerugian seperti sakit, malapetaka, dan akhirnya kematian.

(52)

Masyarakat yang menetap di desa Juhar pada awalnya menganut sistem kepercayaan nenek moyang yang di bawa dari daerah asal mereka. Tradisi kepercayaan nenek moyang tersebut masih sama pada masyarakat Karo di daerah dataran tinggi Karo secara keseluruhan. Di samping pertumbuhan agama Kristen yang sedang masuk kedaerah kabupaten Karo, sistem kepercayaan terhadap nenek moyang tersebut belum bisa dihilangkan dan masih ada yang di pertahankan meskipun sudah memeluk agama pada saat itu.

Masyarakat desa Juhar menganggap kepercayaan identik dengan adat istiadat yang mereka warisi dari nenek moyang mereka, sehingga meskipun mereka sudah menganut kepercayaan Agama Kristen mereka masih melaksanakan upacara tradisional antara lain, “ Erpangir Kulau13. memberi sesajen di tempat-tempat yang dianggap keramat agar roh nenek moyang memberi rejeki.

Kemudian ada lagi yang disebut Guru, guru ini adalah orang yang mempunyai indra keenam, fungsinya selaian sebagai “dokter” juga peramal. Tidak hanya bagi masyarakat Juhar akan tetapi mayoritas masyarakat Karo untuk mensinonimkan Guru dengan kata Dukun. Guru ini sangat berperan dalam ritual-ritual keagamaan atau upacara tradisional dapat didefenisikan sebagai upacara yang diselenggarakan oleh warga masyarakat sejak dahulu sampai sekarang dalam bentuk tata cara yang relatif tetap. Pendukungan terhadap upacara itu dilakukan masyarakat karena dirasakan dapat memenuhi suatu kebutuhan, baik secara individual maupun kelompok bagi kehidupan mereka.

(53)

Konsep guru ini berhubungan erat dengan kepercayaan tradisional Karo yang disebut Pemena atau Perbegu. Penyebutan Pemena ini disepakati sejak tahun 1946 oleh para pengetua adat dan guru-guru mbelin (dukun/tabib terkenal). Perubahan kata dari perbegu menjadi pemena ini dimaksudkan untuk menghilangkan kesalah pahaman orang-orang di luar orang-orang Karo atas pengertian kata perbegu. Kata Perbegu bagi orang-orang di luar orang Karo seolah-olah menunjuk ke arah penyembahan kepada setan, hantu dan roh jahat lainnya.

Menurut para guru, terganggunya hubungan-hubungan dalam diri seseorang berarti adanya keadaan tidak seimbang didalam tubuhnya, yaitu ketidakseimbangan antara tubuh, jiwa, perasaan, nafas dan pikiran. Dengan menggunakan jeruk purut pada upacara berlangir (erpangir), seorang guru akan menyiramkannya ke kepala pasiennya. Air jeruk diyakini menimbulkan rasa sejuk. Sementara itu kepala si pasien di pilih dengan pertimbangan bahwa kepala adalah tempat dari pikiran dan sebagai pusat dan pimpinan dari jiwa tersebut. oleh karena itu, seorang dalam beberapa ritusnya yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan pada diri manusia akan menggunakan air jeruk yang malem.

Air jeruk dianggap sebagai lambang dari alam semesta yang mewakili keseimbangan luar tersebut akan dimasukkan ke dalam diri manusia yang mewakili keseimbangan dalam itu sendiri. Tindakan ini diyakini akan menyempurnakan keseimbangan dalam diri seseorang. Orang Karo meyakini bahwa alam sekitar diri manusia itu sendiri.

(54)

hutan), beraspati kabang (inti kehidupan udara). Dalam ornamen karo, nini beraspati ini dilambangkan dengan gambar cecak putih yang dianggap sebagai pelindung manusia. Beraspati, oleh penganut pemena atau guru khususnya dibagi lagi kedalam beberapa jenis lingkungan alam atau tempat dan keadaan.

Beraspati lau (inti kehidupan) misalnya, dibedakan lagi atas sempuren (air terjun), lau sirang (sungai yang bercabang), tapin ( tempat mandi di sungai) dan lain-lain. Beraspatih rumah (inti kehidupan rumah), dibagi lagi atas bubungen (bubungan), pintun (pintu), redan (tangga), palas (palas), dialaken (tungku dapur), para (tempat menyimpan alat-alat masak di atas tungku dapur) dan embang (jurang), lingling (tebing), mbal-mbal (padang rumput). Ini yang menjadi dasar setiap guru di Karo selalu mengadakan persentabin (mohon ijin) kepada nini beraspati sebelum melakukan ritual, tergantung dalam konteks mana upacara akan dilakukan, apakah kepada beraspati taneh, beras pati air, beraspati kerangen atau beraspati kabang dan kadang-kadang para guru menggabungkan beberapa beraspati yang dianggap penting dapat membantu kesuksesan suatu upacara ritual yang mereka adakan, seperti dalam upacara perumah begu seorang guru si baso mengadakan persentabin kepada beraspati taneh dan beraspati rumah agar mereka masing-masing sebagai inti kehidupan tersebut tidak mengganggu atau menghambat jalannya upacara.

Dalam melaksanakan sebuah ritual, biasanya dilakukan dengan meletakkan sebuah sirih yang biasa disebut belo cawir (sirih, kapur, pinang dan gambir). Belo cawir ini merupakan lambang diri manusia14. Adanya kehidupan pada manusia disebabkan bekerjanya ketiga unsur tersebut sebagai metabolisme tubuh manusia yang saling mengatur peradaran darah dalam tubuh.

(55)

Masyarakat Karo juga mempunyai pandangan mempunyai perbedaan yang sifatnya umum antara alam gaib dan alam biasa. Alam gaib ditunjukkan dengan pemakaian kata ijah (di sana) dan alam manusia biasa dengan kata ijenda (di sini). Dalam peristiwa pemanggilan roh-roh orang mati tersebut/datang dari negri seberang, sedangkan alam biasa tempat kehidupan manusia, tidak ada seorangpun yang tahu pasti dimana, hal ini kata seberang yang dalam pengertian para guru dianggap melewati suatu batas yang ditandai oleh lau (air), sehingga disebut negri sebrang, harus menyebrangi sesuatu untuk sampai ketempat tersebut yang disebut sebagai i jah (di sana).

Dalam hal ini diungkapkan bahwa lau (air) merupakan penghubung antara manusia dan roh-roh yang telah mati. Hal ini pula yang menyebabkan banyak guru memakai air yang ditempatkan dalam suatu mangkuk putih, terutama jika guru merasa bahwa penyebab dari kedaan yang tidak seimbang pada diri manusia tersebut disebabkan karena ada hubungannya dengan roh-roh orang mati yang mengganggu. sebutan i jah dan i jenda tidak berarti adanya suatu wujud pasti tertentu sebagai alam gaib. Kata tersebut hanya untuk membedakan alam gaib dengan alam biasa.

Alam gaib sendiri berada bersama-sama di sekitar manusia. semua tempat sektiar manusia adalah juga alam gaib, namun alam gaib tersebut digambarkan sebagai suatu alam yang tidak terlihat. Dalam tempat tinggal kita ini pun banyak sekali orang halus yang tidak terlihat oleh mereka yang tidak dua lapis matanya, demikian juga dengan keramat, sangat banyak juga tempat-tempat yang di keramatkan terutama di hutan-hutan juga.

(56)

melalui jiwa yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. itulah sebabnya dalam melakukan hubungan dengan orang-orang yang telah meninggal, seorang guru (guru si baso) menggunakan tendinya dengan bantuan tendi-tendi yang lain disebut jenujung (junjungan). junjungan itu adalah sebagai kekuatan dari luar diri seorang guru yang dapat membantunya sebagai roh gaib pelindung dirinya. Bagi orang Karo guru harus memiliki kemampuan meramal, membuat upacara ritual, berhubung dengan roh atau mahluk gaib, perawatan serta penyembuhan kesehatan dan juga memiliki pengetahuan yang mendetail mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan.

Beberapa dari upacara-upacara ritual ini masih di temukan di masyarakat desa Juhar terutama untuk penyembuhan beberapa penyakit demi mencapai keseimbangan dalam individu, upacara-upacara tersebut ada yang bersifat individual dan ada juga yang bersifat komunal yang meliputi kepentingan masyarakat desa Juhar. untuk tujaan komunal, ritual ini cenderung dimaksudkan untuk mencegah malapetaka dalam tingkat desa, atau untuk keselamtan penduduk desa dari suatu ancaman keselamatan ataupun bencana alam.

(57)

Sebelum berkembang masyarakat Juhar sudah mulai mengenal agama Kristen karena telah sering mendengar dari keluarga maupun melihat langsung ketika bepergian kedaerah-daerah yang telah mengenal ajaran Kristen. Sebelum masa kemerdekaan, sistem kepercayaan masyarakat desa Juhar masih menganut tradisi-tradisi lama meskipun beberapa rumah tangga telah mengenal dan mengaku sebagai pemeluk agama Kristen Protestan.

Pada tahun 1966 mulailah berdiri gedung gereja di desa Juhar, berdirinya gedung gereja tersebut tidak terlepas dari berkembangnya penyebaran ajaran kristen di desa Juhar. Gereja yang pertama berdiri di desa Juhar adalah Gereja Batak Karo Protestan. Dengan berdirinya GBKP di daerah Juhar, mayoritas masyarakat Juhar mulai mengikuti tata cara ibadah agama Kristen dalam menjalankan dan meyakini kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

(58)

BAB III

PERKEMBANGAN DESA JUHAR

3.1. Terbentuknya Desa Juhar

Latar belakang berdirinya desa Juhar di awali dari perpindahan kelompok klan merga Tarigan yang berasal dari desa Lingga. Tujuan kepindahan ini adalah untuk mencari tempat tinggal dan lahan baru. Awal kedatangan merga Tarigan secara bergelombang, gelombang pertama di awali hanya beberapa anggota keluarga saja. Kemudian beberapa tahun berikutnya di ikuti oleh kedatangan beberapa keluarga lainnya.

Daerah yang di temukan oleh marga Tarigan tersebut sangat subur dan berada di kaki bukit-bukit yang memiliki hutan dan aliran sungai yang cukup mengairi seluruh daerah tersebut. kelompok marga Tarigan yang datang pertama kali ke daerah tersebut kemudian mulai merambah hutan dan membangun tempat tinggal yang berada tepat di tengah-tengah dataran rendah tersebut. Setelah itu jalan-jalan setapak kemudian di buka kesegala arah untuk memudahkan perjalanan sambil mencari lahan yang cocok untuk pertanian.

Daerah tersebut pertama kali di huni oleh marga Tarigan, akan tetapi belum ada sebutan untuk menamai tempat yang baru tersebut. Karena masih jarang penduduknya dan belum di kelola. Akan tetapi setelah daerah ini di diami, secara tidak langsung daerah tersebut kemudian terhubung kedaerah-daerah lain bahkan sebagai daerah lintasan yang menghubungkan daerah yang satu kedaerah yang lainnya.15

(59)

Seperti daerah-daerah lainnya, daerah yang di kelola merga Tarigan tersebut mempunyai kekayaan alam yang jarang ditemukan di daerah lain, termasuk daerah-daerah sekitarnya yaitu hutannya yang lebat. Hutan tersebut rata-rata di tumbuhi oleh pohon yang sangat besar. Karena besarnya masyarakat dahulu menamai pohon tersebut dengan nama Pohon Juhar. Di sebut sebagai Pohon Juhar karena ciri fisik pohon tersebut sangat besar, lebat dan batangnya tegak lurus serta tidak memiliki buah. Pada saat merambah hutan, masyarakat memanfaatkan Pohon Juhar sebagai tempat berteduh dan jika di gunakan, batang Pohon Juhar dapat di jadikan sebagai papan yang memiliki kualitas yang tahan lama.

Ketika merambah hutan semakin kedalam, merga Tarigan menemukan sebatang Pohon Juhar yang sangat rimbun serta batang pohon tersebut lebih besar dibandingkan dengan pohon Juhar yang lainnya, dengan demikian posisi ditemukannya pohon tersebut diyakini merupakan pusat dari dataran rendah yang akan mereka huni. Merga Tarigan yang mulai membangun pemukiman, kemudian mendirikan tempat tinggal di sekitar serta mengahadap pohon tersebut, dengan tujuan supaya lebih mudah untuk menemukan jalan ketika bepergian dalam merambah hutan.16

Setelah daerah tersebut sudah mulai terbuka, maka kelompok merga Tarigan yang bermukim di daerah tersebut secara perlahan mulai melakukan interaksi dengan daerah lain, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang di perlukan. Pada masa itu masyarakat masih menggunakan sistem barter yang berupa hasil-hasil kekayaan alam antar kelompok masyarakat.

Lama kelamaan keadaan tersebut semakin sering di lakukan. Dan tempat persinggahan serta pertemuan beberapa klompok masyarakat, selalu berada di bawah

(60)

pohon Juhar yang besar tersebut. Orang-orang yang melintas kedaerah lain dan selalu berteduh di bawah pohon Juhar tersebut, sehingga lama-kelamaan istilah Juhar sering digunakan orang untuk mengatakan daerah yang didiami oleh merga Tarigan tersebut.

Gelombang kedatangan kelompok merga Tarigan juga banyak datang dari daerah lainnya untuk bermukim di daerah Juhar, sehingga keadaan masyarakat di sekitar pohon tersebut semakin bertambah banyak dan berkembang sehingga terbentuklah sebuah desa. Meski masih tergolong sepi, desa tersebut sudah mulai di kenal orang dari daerah lainnya. Baik melalui interaksi sosial maupun dari cerita orang-orang yang pernah melewati daerah tersebut.

Pada saat merga Tarigan mulai menetap di daerah itu, secara arsitektural mereka membagun rumah komunal untuk ditempati bersama sesuai adat dan tradisi merga Karo yang telah lama mereka warisi dari daerah asal dan nenek moyang mereka. Dalam tradisi masyarakat Karo, rumah komunal yang akan di diami disebut dengan rumah Siwaluh Jabu. Kemudian dengan melakukan sebuah ritual adat maka diperlukan adanya peranan “dukun” yang dipercayakan untuk mencari “Tapak” (lokasi) membangun sebuah rumah.

Gambar

Tabel Jumlah Rumah Adat Siwalu Jabu

Referensi

Dokumen terkait

Akreditasi bertujuan untuk melakukan evaluasi dan penilaian secara komprehensif atas komitmen program studi terhadap mutu dan kapasitas penyelenggaraan program

Tujuan penggunaan seragam adalah untuk membentuk karakter sebagai seorang calon guru yang disiplin, taat dan tertib pada aturan, membentuk kewibawaan melalui pembiasaan

Dalam penulisan ilmiah ini akan dibahas mengenai pembuatan website Herlita Catering Service yang merupakan salah satu media informasi yang diberikan kepada masyarakat luas agar

sebuah upaya reduksi nilai non-tauhid adalah kisah lahirnya mahluk raksasa jahat Batara Kala -dari Rahim Dewi Uma- akibat dari karakter Batara Guru yang saat itu haus

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa: 1) kemampuan siswa kelas XI IPA SMA Negeri 9 Pontianak sebelum belajar menggunakan pembelajaran

Peneliti menggunakan analisis deskriptif, mengacu pada semiotik Roland Barthes untuk menjelaskan problem penelitian mengenai:1) Bagaimana implementasi Kode Etik

Our paper presents a new three object triangulation algorithm that works in the entire plane (except when the beacons and the robot are concyclic or collinear), and for any

program yang pernah disiarkan. Acara tersebut bisa disiarkan karena berbagai pertimbangan berdasarkan efisiensi waktu, tenaga, maupun biaya. Sehingga produksinya