• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemekaran Kecamatan Terhadap Efektifitas Pelayanan Publik (Studi Pada Kecamatan Depati VII Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Pemekaran Kecamatan Terhadap Efektifitas Pelayanan Publik (Studi Pada Kecamatan Depati VII Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi)."

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMEKARAN KECAMATAN TERHADAP

EFEKTIFITAS PELAYANAN PUBLIK

(Studi Kasus pada Kecamatan Depati VII Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi)

DI SUSUN OLEH:

050903042

Selty Setiami Rohmi

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...i

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR TABEL ... iv

ABSTRAK ... v

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ... 1

I.2 Perumusan Masalah ... 4

I.3 Tujuan Penelitian ... 4

I.4 Manfaat Penelitian ... 5

I.5 Kerangka teori ... 5

I.5.1 Otonomi Daerah... 5

I.5.1.1 Pengertian dan Kedudukan Otonomi Daerah ... 5

I.5.1.2 Prinsip Otonomi Daerah ... 12

I.5.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Otonomi Daerah ... 13

I.5.2 Pemekaran Kecamatan ... 14

I.5.3 Efektifitas Pelayanan Publik... 16

I.5.3.1 Pengertian Efektifitas ... 16

I.5.3.2 Pengertian Pelayanan Publik ... 18

I.5.3.3 Makna dan Tujuan Pelayanan Publik ... 19

I.5.3.4 Bentuk-Bentuk Pelayanan Publik ... 20

I.5.3.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelayanan Publik ... 21

I.5.3.6 Prinsip-Prinsip Pelayanan Publik... 23

I.5.4 Kinerja Organisasi Pelayanan Publik ... 25

I.6 Standar Pelayanan Minimum ... 30

I.6.1 Pengertian Standar Pelayanan Minimum ... 30

I.6.2 Jenis Standar Pelayanan Minimum ... 32

I.6.3 Prinsip Standar Pelayanan Minimum ... 32

I.7 Hipotesis ... 33

I.8 Defenisi Konsep... 33

(3)

I.10 Sistematika Penulisan ... 36

BAB II METODE PENELITIAN II.1 Bentuk Penelitian... 38

II.2 Lokasi Penelitian ... 38

II.3 Populasi dan Sampel ... 38

II.3.1 Populasi ... 38

II.3.2 Sampel ... 38

II.4 Teknik Pengumpulan Data ... 40

II.5 Teknik Pengumpulan Skor ... 41

II.6 Teknik Analisa Data ... 42

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN III.1 Gambaran Umum Kecamatan Depati VII ... 44

III.1.1 Sejarah Terbentuknya Kecamatan Depati VII ... 44

III.1.2 Lokasi dan Keadaan Geografis ... 46

III.1.3 Wilayah dan Pemerintahan ... 46

III.2. Monografoi Desa Penelitian ... 48

BAB IV PENYAJIAN DATA IV.1 Pemekaran Kecamatan ... 51

IV.2 Karakteristik Responden ... 54

IV.3 Data Variabel Penelitian ... 57

IV.3.1 Pemekaran Kecamatan (X) ... 57

IV.3.1 Urgensi dan Relevansi (X) ... 57

IV.3.1.1 Prosedur ... 61

IV.3.2.1 Implikasi ... 62

IV.3.2 Efektifitas Pelayanan Publik (Y) ... 66

IV.3.2.1 Transparansi ... 66

IV.3.2.2 Akuntabilitas ... 67

IV.3.23 Kondisional ... 69

IV.3.2.4 Partisipatif ... 70

IV.3.2.5 Kesamaan Hak ... 72

(4)

BAB IV ANALISA DATA

V.1 Pemekaran Kecamatan ... 75

V.2 Efektifitas Pelayanan Publik ... 77

V.3 Pengaruh Pemekaran Kecamatan Terhadap Efektitas-

Pelayanan Publik di Kecamtan Depati VII Kabupaten Kerinci ... 80

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1 Kesimpulan ... 86

VI.2 Saran ... 87

(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.1 Garafik Regresi Linear ... 84

DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Monografi Desa Penelitian ... 49

Tabel 3.2 Sarana dan Prasarana Desa Penelitian ... 50

Tabel 4.1 Data Pribadi Responden Beradasarkan Jenis Kelamin ... 55

Tabel 4.2 Data Pribadi Responden Beradasarkan Usia... 55

Tabel 4.3 Data Pribadi Responden Beradasarkan Jeni Pekerjaan ... 56

Tabel 4.4 Data Pribadi Responden Beradasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir ... 57

Tabel 4.5 Dukungan Masyarakat Terhadap Kebijakan Pemekaran Kecamatan Yang Telah Dilaksanakan Oleh Pemerintahan kabupaten Kerinci ... 58

Tabel 4.6 Pendapat Masyarakat Mengenai Guna Kebijakan Pemekaran ... 59

Tabel 4.7 Pendapat Masyarakat Tentang Kebijakan Pemekaran Kecamatan Apakah Merupakan Suatu Kebutuhan Bagi Masyarakat Kecamatan Depati VII Saat Ini ...59

Tabel 4.8 Tingkat Kemudahan Bagi Masyarakat Dalam Berurusan Dengan Pihak Kecamatan Setelah Pemekaran Dilaksanakan ...60

Tabel 4.9 Pendapat Masyarakat Mengenai Persyaratan Yang Diberikan Pihak Kecamatan Untuk Mengurus Keperluan Administrasi ...61

Tabel 4.10 Pendapat Masyarakat Mengenai Rantai Birokrasi Setelah Adanya Pemekaran Kecamatan ...62

Tabel 4.11 Hambatan-Hambatan Yang Justru Menyulitkan Masyarakat Ketika Hendak Berurusan Dengan Pihak Kecamatan Setelah Pemekaran Kecamatan Dilaksanakan ...63

Tabel 4.12 Tingkat Fokus Kecamatan Terhadap Masyarakat Setelah Pemekaran ...64

Tabel 4.13 Tingkat Pelayanan Yang Diberikan Oleh Pihak Kecamatan Setelah Dilaksanakannya Pemekaran Kecamatan ...65

(6)

Tabel 4.15 Transparansi (Keterbukaan) Pihak Aparat Kecamatan

Dalam Pemberian/Penyediaan Pelayanan Kepada Masyarakat...66

Tabel 4.16 Kejelasan Rincian Tarif/Biaya Yang DiberikanPihak Kecamatan67

Kepada Masyarakat Yang Berurusan Ke Kantor Kecamatan ...67

Tabel 4.17 Penguluran Waktu Yang Dilakukan Oleh Pihak Kecamatan

Dalam Menyelesesaikan Tugas Pelayanana Publik ...68

Tabel 4.18 Sikap Pihak Kecamatan Dalam Memberikan Pelayanan

Kepada Masyarakat ...69

Tabel 4.19 Kemampuan Pelayanan Yang Diberikan Oleh Pihak Kecamatan

Dalam Menyesuaikan Dengan Kondisi Yang Ada Pada Saat itu

(Misalkan Dalam Kondisi Tanggap Darurat) ...70

Tabel 4.20 Undangan Dari Pihak Kecmatan Kepada Masyarakat

Untuk Mengikuti Suatu Forum Yang Diadakan Oleh Pihak Kecamatan

(Musrembang Misalnya) Yang Bertujuan Untuk

Menampung Aspirasi Masyarakat ...71

Tabel 4.21 Tindak Diskriminasi Yang Dilakukan Oleh Pihak Kecamatan

Kepada Masyarakat Yang Hendak Berurusan

Dengan Pihak Kecamatan ...72

Tabel 4.22 Pemenuhan Persyaratan Administrasi Oleh Masyarakat

Yang Ditetapakan Pihak Kecamatan ...73

Tabel 4.23 Pendapat Masyarakat Mengenai Kemampuan Pihak Kecamatan

Dalam Memenuhi Kebutuhan Masyarakat,

Misalnya Dalam Penyaluran ASKESKIN, RASKIN dll ...74

(7)

PENGARUH PEMEKARAN KECAMATAN TERHADAP EFEKTIFITAS PELAYANAN PUBLIK

(Studi Pada Kecamatan Depati VII Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi) ABSTRAK

Selty Setiami RohmiAsimayanti

Pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pelayanan yang tidak dapat dipisahkan dari diri setiap individu. Keinginan mendapatkan pelayanan yang baik tidak memandang kaya atau miskin, tua maupun muda. Semua lapisan menginginkan diberi pelayanan yang terbaik. Hal ini lah yang mendasari keinginan masyarakat Kecamatan Depati VII untuk melakukan pemekaran. Masyarakat merasa pelayanan yang diberikan oleh kecamatan terdahulu tidak lagi dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan keinginan masyarakat yakni cepat tanggap akan keperluan masyarakat. Terlalu luasnya cakupan wilayah kerja membuat aparat kecamatan lamban dalam menanggapi keinginan masyarakat yang datang ke kecamatan untuk mengurus berbagai keperluan. Sebagian masyarakat merasa terabaikan karena lama menunggu antrian tapi urusannya tidak dapat diselesaikan aparat kecamatan dengan cepat. Oleh karena itu, bersama beberapa tokoh masyarakat yang sekarang tergabung dalam Kecamatan Depati VII mengajukan permohonan untuk diadakannya pemekaran kecamatan dengan harapan setelah pemekaran ini dilaksanakan pelayanan publik di kecamatan akan semakin membaik.

Adapun yang menjadi rumusan permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana Pengaruh Pemekaran Kecamatan Terhadap Efektifitas Pelayanan Publik Pada Kantor Kecamatan Depati VII Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi dengan tujuan untuk mengetahui adakah pengaruh pemekaran kecamatan terhadap efektifitas pelayanan public, untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemekaran kecamatan terhadap efektifitas pelayanan publik di Kantor Kecamatan Depati VII, serta untuk mengetahui bagaimana pengaruh pemekaran kecamatan terhadap pelayanan publik di Kecamatan Depati VII.. Bentuk penelitian ini adalah asosiatif dengan analisa kuantitatif dengan maksud untuk mencari pengaruh antara variabel independent (bebas) dengan variabel dependen (terikat). Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Deapati VII Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebarkan kuisioner, wawancara dan observasi.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara pemekaran kecamatan dengan efektifitas pelayanan publik di Kecamatan Depati VII. Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan koefisien korelasi diperoleh rhitung sebesar 0,69 yang berarti

terdapat hubungan antara variabel pemekaran kecamatan (X) dengan variabel efektifitas pelayanan publik (Y), dan tingkat hubungannya adalah kuat. Dari perhitungan determinasi diketahui bahwa pengaruh pemekaran kecamatan terhadap efektifitas pelayanan publik adalah sebesar 47,61 %. Pengaruh pemekaran kecamatan terhdap efektifitas pelayanan publik adalah positif yang dapat diuji melalui rumus Y= 511,49 + 4,25X. Artinya apabila nilai variabel X (pemekaran kecamatan) dinaikkan sebanyak satu satuan, maka nilai variabel Y (efektifitas pelayanan publik) akan meningkat pula.

(8)

PENGARUH PEMEKARAN KECAMATAN TERHADAP EFEKTIFITAS PELAYANAN PUBLIK

(Studi Pada Kecamatan Depati VII Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi) ABSTRAK

Selty Setiami RohmiAsimayanti

Pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pelayanan yang tidak dapat dipisahkan dari diri setiap individu. Keinginan mendapatkan pelayanan yang baik tidak memandang kaya atau miskin, tua maupun muda. Semua lapisan menginginkan diberi pelayanan yang terbaik. Hal ini lah yang mendasari keinginan masyarakat Kecamatan Depati VII untuk melakukan pemekaran. Masyarakat merasa pelayanan yang diberikan oleh kecamatan terdahulu tidak lagi dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan keinginan masyarakat yakni cepat tanggap akan keperluan masyarakat. Terlalu luasnya cakupan wilayah kerja membuat aparat kecamatan lamban dalam menanggapi keinginan masyarakat yang datang ke kecamatan untuk mengurus berbagai keperluan. Sebagian masyarakat merasa terabaikan karena lama menunggu antrian tapi urusannya tidak dapat diselesaikan aparat kecamatan dengan cepat. Oleh karena itu, bersama beberapa tokoh masyarakat yang sekarang tergabung dalam Kecamatan Depati VII mengajukan permohonan untuk diadakannya pemekaran kecamatan dengan harapan setelah pemekaran ini dilaksanakan pelayanan publik di kecamatan akan semakin membaik.

Adapun yang menjadi rumusan permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana Pengaruh Pemekaran Kecamatan Terhadap Efektifitas Pelayanan Publik Pada Kantor Kecamatan Depati VII Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi dengan tujuan untuk mengetahui adakah pengaruh pemekaran kecamatan terhadap efektifitas pelayanan public, untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemekaran kecamatan terhadap efektifitas pelayanan publik di Kantor Kecamatan Depati VII, serta untuk mengetahui bagaimana pengaruh pemekaran kecamatan terhadap pelayanan publik di Kecamatan Depati VII.. Bentuk penelitian ini adalah asosiatif dengan analisa kuantitatif dengan maksud untuk mencari pengaruh antara variabel independent (bebas) dengan variabel dependen (terikat). Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Deapati VII Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebarkan kuisioner, wawancara dan observasi.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara pemekaran kecamatan dengan efektifitas pelayanan publik di Kecamatan Depati VII. Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan koefisien korelasi diperoleh rhitung sebesar 0,69 yang berarti

terdapat hubungan antara variabel pemekaran kecamatan (X) dengan variabel efektifitas pelayanan publik (Y), dan tingkat hubungannya adalah kuat. Dari perhitungan determinasi diketahui bahwa pengaruh pemekaran kecamatan terhadap efektifitas pelayanan publik adalah sebesar 47,61 %. Pengaruh pemekaran kecamatan terhdap efektifitas pelayanan publik adalah positif yang dapat diuji melalui rumus Y= 511,49 + 4,25X. Artinya apabila nilai variabel X (pemekaran kecamatan) dinaikkan sebanyak satu satuan, maka nilai variabel Y (efektifitas pelayanan publik) akan meningkat pula.

(9)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan

Pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pelayanan yang tidak dapat dipisahkan dari

diri setiap individu. Keinginan mendapatkan pelayanan yang baik tidak memandang kaya atau

miskin, tua maupun muda. Semua lapisan menginginkan diberi pelayanan yang terbaik.

Pelayanan publik pada dasarnya diberikan melalui beberapa organisasi birokrasi

pemerintah. Karena pemerintahlah yang memiliki hak untuk memonopoli atau menyediakan

barang atau jasa publik kepada setiap warga negara mulai dari seorang warga negara itu lahir

sampai akhir hayatnya.

Paradigma baru mengenai organisasi pelayanan publik pada dasarnya berasal dari

tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas dari waktu ke waktu.

Tuntutan tersebut semakin berkembang seiring dengan tumbuhnya kesadaran bahwa warga

negara memiliki hak untuk dilayani dan kewajiban bagi pemerintah untuk dapat memberikan

pelayanan, karena pada hakekatnya pemerintahan memang memberi pelayanan pada rakyatnya.

Paradigma baru mengenai pelayanan publik tersebut menuntut perubahan dalam orientasi

pelayanan, dari yang suka mengatur berubah menjadi yang suka melayani.

Semenjak diberlakukannya UU pemerintah Daerah No. 22 Tahun 1999 yang kemudian

direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah daerah secara terus-menerus meningkatkan

pelayanan publik. Seiring dengan hal itu tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang

berkualitas terus meningkat dari waktu ke waktu. Tututan tersebut semakin berkembang seirama

dengan tumbuhnya kesadaran bahwa warga negara memiliki hak untuk dilayani dan kewajiban

pemerintah daerah untuk dapat memberikan pelayanan. Tantangan yang dihadapi dalam

pelayanan publik adalah bukan hanya menciptakan sebuah pelayanan yang efisien, namun juga

(10)

yang dilayani, atau dengan kata lain bagaimana menciptakan pelayanan yang adil dan

demokratis.

Beberapa hal di atas menjadi salah satu latar belakang masyarakat Kecamatan Depati VII

yang menginginkan terjadinya pemekaran kecamatan. Alasan lain pemekaran kecamatan di

Kecamatan Depati VII terjadi karena adanya tuntutan dan keluhan dari masyarakat yang

disampaikan kepada kepala desa dan tokoh-tokoh masyarakat di desa masing-masing.

Sebelumnya masyarakat Kecamatan Depati VII ini tergabung dalam Kecamatan Air hangat.

Kecamatan Air Hangat, terlalu luas cakupan wilayah kerjanya sehingga ada beberapa masyarakat

merasa terabaikan karena begitu banyak yang mengantri untuk mengurus keperluannya ke kantor

kecamatan. Terabaikan disini misalnya ada sebagian masyarakat yang sudah mengantri lama

menunggu begitu sampai gilirannya pegawai sudah istarahat atau sibuk mengerjakan

berkas-berkas lain sehingga kepentingan masyarakat yang sudah mengantri tadi terabaikan dan harus

kembali datang esok harinya. Selain itu, ada beberapa masyarakat desa yang mengeluhkan terlalu

jauhnya jarak desa mereka ke kantor kecamatan dan hal itu terkadang membuat mereka malas

atau kurang bersemangat berurusan kekantor kecamatan karena belum tentu sampai disana urusan

mereka dapat diselesaiakan saat itu juga (Wirnadi, 17 Juli 2009/17.20 WIB)

Namun tidak hanya itu saja yang menjadi alasan pemekaran kecanatan ini dirasa perlu.

Selain menginginkan adanya perbaikan peningkatan efektifitas pelayanan publik masyarakat juga

berharap pemekaran kecamatan ini juga dapat mempermudah penyaluran dana pembangunan

walaupun dana yang diberikan tidak terlalu besar. Sebelumnya dana pembangunan sering di

fokuskan ke ibu kota kecamatan saja dan desa-desa di sekitar ibu kota kecamatan sehingga timbul

kecemburuan sosial pada masyarakat di desa-desa lainnya. (Azmal, 20 Januari 2009/11.30 WIB)

Berlakunya Undang-Undang Otonomi membuka kesempatan kepada setiap daerah untuk

mengembangkan daerahnya dan mendapatkan hak otonom seperti membentuk provinsi baru,

(11)

kabupaten, atau kecamatan induknya. Salah satu contohnya yaitu adanya pemekaran kecamatan

di Kabupaten Kerinci yang semula berjumlah 9 (sembilan) kecamatan setelah adanya pemekaran

menjadi 12 (tujuh belas) kecamatan. Banyak kalangan meragukan apakah dengan adanya

otonomi daerah maka dengan sendirinya pemerintahan daerah akan memberikan layanan yang

baik atau malah sebaliknya.

Efektifitas merupakan unsur pokok dalam aktivitas untuk mencapai tujuan dan sasaran

yang telah ditetapkan dalam perencanaan dengan pencapaian sasaran dan tujuan yang akan

dicapai. Secara sederhana efektifitas dapat diartikan sebagai bentuk penyelesaian yang telah

ditentukan sebelumnya. Agar organisasi tetap dihargai keberadaannya karena efektifitas

pelayanan publiknya yang sangat baik, maka organisasi tersebut harus memperhatikan kedudukan

tugas dan fungsi organisasi dalam menghadapi lingkungan yang cenderung berubah-ubah.

Pelayanan publik menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan

khalayak masyarakat ramai yang memiliki keaneka ragaman kepentingan dan tujuan. Salah satu

dari filosofi otonomi daerah sebenarnya adalah semakin mendekatkan pelayanan yang baik dan

lebih efektif kepada masyarakat. (Tjandra dkk, 2005:2)

Jika tingkat kekecewaan masyarakat pengguna jasa terhadap pelayanan yang diberikan

oleh birokrasi masih relatif tinggi, maka hal ini akan menunjukkan bahwasanya kinerja pelayanan

aparat birokrasi belum sepenuhnya mampu mewujudkan nilai-nilai akuntabilitas, responsivitas,

dan efisiensi pelayanan.

Karena hal-hal tersebut diatas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai “Pengaruh Pemekaran Kecamatan Terhadap Efektifitas Pelayanan Publik” dengan

(12)

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi pokok

permasalahan dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana Pengaruh Pemekaran Kecamatan

Terhadap Efektifitas Pelayanan Publik Pada Kantor Kecamatan Depati VII Kabupaten Kerinci

Provinsi Jambi”.

I.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui adakah pengaruh pemekaran kecamatan terhadap efektifitas pelayanan

publik.

2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemekaran kecamatan terhadap efektifitas

pelayanan publik di Kantor Kecamatan Depati VII.

3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pemekaran kecamatan terhadap pelayanan publik

di Kecamatan Depati VII.

I.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis bermanfaat untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berfikir

dalam menganalisa permasalahan tentang efektifitas pelayanan publik.

2. Bagi Pemerintah Kecamatan Depati VII dapat dijadikan sebagai acuan dalam rangka

meningkatkan efektifitas pelayanan publik.

3. Bagi FISIP-USU bermanfaat dalam memperkaya bahan refrensi ilmiah di bidang Ilmu

(13)

I.5.Kerangka Teori

Kerangka teori diperlukan untuk memudahkan penelitian, sebab ia merupakan pedoman

berfikir bagi peneliti. Oleh karena itu, seorang peneliti harus terlebih dahulu menyusun suatu

kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana ia menyoroti

masalah yang dipilihnya. Selanjutnya, menurut Singarimbun dan Effendi (1989: 37), teori adalah

serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu

fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.

Dalam penelitian ini yang menjadi kerangka teorinya adalah:

I.5.1. Otonomi Daerah

I.5.1.1. Pengertian dan Kedudukan Otonomi Daerah

Istilah otonomi berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu autos (sendiri), dan nomos

(peraturan) atau undang. Oleh karena itu, otonomi berarti peraturan sendiri atau

undang-undang sendiri, yang selanjutnya berkembang menjadi pemerintah sendiri (Salam, 2004:88).

Dalam terminologi ilmu pemerintahan dan hukum administrasi negara, kata otonom ini sering

dihubungkan dengan otonomi daerah dan daerah otonom. Oleh karena itu akan dibahas

pengertian otonomi, otonomi daerah dan daerah otonomi.

Otonomi daerah sendiri memiliki beberapa pengertian menurut UU No. 5 tahun 1974,

Wayong (1975), Thoha (1985) dan Fernandez (1992) dalam Salam, (2004:88) yaitu:

1. Kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus sedaerah dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, dan pemerinthan sendiri.

2. Pendewasaan politik rakyat lokal dan proses menyejahterakan rakyat.

3. Adanya pemerintahan lebih atas memberikan atau menyerahkan sebagian urusan rumah tangganya kepada pemerintah bawahnya. Sebaliknya pemerintah bawahan yang menerima sebagian urusan tersebut telah mampu melaksanakan urusan tersebut.

(14)

Demikian juga daerah otonom memiliki beberapa pengertian, Lian Gie (1968), Riwu

Kaho (1998), Sujamto (1991), mendefinisikan daerah otonom dalam Salam, (2004:89) adalah

sebagai berikut:

1. Daerah yang mempunyai kehidupan sendiri yang tidak bergantung pada satuan organisasi lain.

2. Daerah yang mengemban misi tertentu, yaitu dalam rangka meningkatkan keefektifan dan efisiensi penyelenggaraan pemerintah di daerah di mana untuk melaksanakan tugas dan kewajiban itu daerah diberi hak dan wewenang tertentu.

3. Daerah yang memiliki atribut, mempunyai urusan tertentu (urusan rumah tangga daerah) yang diserahkan oleh pemerintah pusat; urusan rumah tangga itu diatur dan diurus atas inisiatif dan kebijakan daerah itu sendiri; memiliki aparat sendiri yang terpisah dari pemerintah pusat;memiliki sumber keuangan sendiri.

Menurut Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah adalah

hak, wewenang, dan kewajiban daerah mengatur dan mengurus pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Daerah Otonom

atau disebut juga dengan daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari beberapa pengertian tentang otonomi, otonomi daerah, dan daerah otonomi diatas,

disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Tujuan yang hendak dicapai dalam pemberian otonomi kepada daerah adalah

meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, di mana

pelimpahan kewenangan oleh pemerintahan pusat kepada daerah mengandung

konsekuensi yang berupa hak, wewenang, dan kewajiban bagi rumah tangganya sendiri

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Dalam penyerahan otonomi kepada daerah, harus dilihat kemampan riil daerah tersebut

(15)

daerah secara horizontal) harus mampu memperhitungkan sumber-sumber pembiayaan

atau kemampuan rill daerah.

3. Pada dasarnya otonomi daerah adalah urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan

kepada daerah untuk diselenggarakan menjadi urusan ruamah tangga daerah.

4. Bahwa desentralisasi merupakan suatu sistem pemerintahan di mana urusan-urusan

pemerintah pusat diserahkan penyelenggaraannya kepada satuan-satuan organisasi

pemerintahan di daerah-daerah yang disebut daerah otonom.

Proses peralihan dari sistem dekosentrasi ke sistem desentralisasi disebut pemerintah

daerah dengan otonomi. Otonomi adalah penyerahan urusan pemerintah kepada pemerintah

daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi pemerintahan. Tujuan otonomi

adalah mecapai efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat serta bertujuan

menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan kepada

masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah, dan meningkatkan daya saing daerah dalam

proses pertumbuhan. (Widjaja, 2005:17)

Menurut Rasyid (dalam Salam, 2004:10), ada beberapa keuntungan yang dapat diraih

melalui kebijakan desentralisasi di lingkungan organisasi pemerintahan dari sudut pandang Ilmu

Administrasi Negara. Pertama, lebih mendekatkan pengambilan keputusan dengan masyarakat

yang menjadi sasarannya sehingga operasionalisasi keputusan dapat lebih realistik, efektif dan

efisien. Kedua, meringankan beban organiasi pada level yang lebih tinggi sehingga dapat

menggunakan waktu, energi dan perhatiannya ke sasaran permasalahan yang lebih srategik.

Ketiga, membina kemampuan bertanggung jawab demi para penerima wewenang pada tingkat

yang lebih rendah, sehingga secara langsung menciptakan iklim kaderisasi yang lebih empirikal

dan sistematika. Keempat, dengan kewenangan yang diterimanya, kebanggan para pengambilan

(16)

merasa dipercaya oleh pemerintah yang lebih tinggi. Kebanggan ini bisa menjadi landasan bagi

tertanamnya sikap dedikasi di kalangan aparatur di daerah.

Otonomi daerah pada dasarnya bukanlah tujuan, melainkan alat bagi terwujudnya

cita-cita, keadilan, demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Kebijakan otonomi daerah yang berorientasi

kepada kepentingan rakyat tidak akan pernah terwujud apabila pada saat yang sama agenda

demokratisasi tidak berlangsung.

Dalam penjelasan UU No. 32 Tentang Otonomi Daerah diterangkan bahwa sesuai dengan

amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah

berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan

tugas pembantuan. Pemberian otonomi has kepada daerah diarahkan untuk mempercepat

terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran

serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan

daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan

kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Hakikat dan tujuan pemberian otonomi daerah, salah satunya, adalah mendekatkan

pemerintah pada pelayanan public. Persoalannya sejauhmana pemerintah darah sudah

memberikan pelayanan public yang prima sesuai dengan tujuan dari kebijakan otonomi daerah

tersebut. Untuk dapat memberikan pelayanan public yang prima paling tidak tergantung pada dua

faktor. Pertama, dukungan aparat birokrasi dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayan

masyarakat. Kedua, faktor kepemimpinan kepala daerah yang mendotong dan memacu agar

aparaturnya bekerja maksimal sebagai abdi masyarakat dengan melakukan inovasi-inovasi untuk

menggerkan roda pemerintahan (Romli, 2007:71-72).

Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai,

(17)

penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Di samping itu diberikan pula standar,

arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi.

Bersamaan itu Pemerintah wajib memberikan fasilitasi yang berupa pemberian peluang

kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat

dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi sebagai daerah otonomi daerah (Widjaja,

2005:10), yaitu sebagai berikut:

Pertama, adanya kesiapan SDM Aparatur yang berkeahlian. Kedua, adanya sunber dana yang

pasti untuk membiayai berbagai urusan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat

sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah. Ketiga, tersedianya fasilitas pendukung

pelaksanaan Pemerintahan daerah. Keempat, bahwa otonomi daerah yang diterapkan adalah

otonomi daerah dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dampak pemberian otonomi ini tidak hanya terjadi pada organisasi/administratif

pemerintah daerah, tetapi berlaku pula pada masyarakat (publik) dan badan atau lembaga swasta

dalam berbagai bidang. Demikian pula dengan otonomi ini terbuka kesempatan bagi pemerintah

daerah secara langsung membangun kemitraan dengan publik dan pihak swasta.

Oleh karena itu, otonomi daerah adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang

berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat. Dengan demikian desentralisasi sebenarnya menjelma menjadi

otonomi mayarakat setempat untuk memecahkan berbagai masalah dan pemberian pelayanan

yang bersifat lokalitas (daerah setempat) demi kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan.

Tujuan utama dari desentralisasi ini adalah disatu pihak membebaskan pemerintah pusat

dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga pemerintah pusat

berkesempatan mempelajari, memahami, merespon, berbagai kecenderungan global dan

(18)

lebih mampu berkosentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis.

Dilain pihak, dengan desentralisasi maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang

signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas daerah akan terpacu, sehingga kapanilitasnya

dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat.

Desentralisasi merupakan simbol adanya trust (kepercayaan) dari pemerintah pusat

kepada daerah. Hal ini akan dengan sendirinya mengembalikkan harga diri pemerintah dan

masyarakat daerah. Kalau dalam sistem yang sentralistik, pemerintah daerah dapat berbuat

banyak dalam mengatasi berbagai masalah, dalam sistem otonomi ini mereka ditantang untuk

secara kreatif menemukan solusi-solusi dari berbagai masalah yang dihadapi.

Menurut Sumaryadi (2005:64), tujuan pemberian otonomi daerah mengemukan tiga hal

yang lebih desentralistik, yaitu sbb:

1. Pembangunan masyarakat sebagai pengadaan pelayanan masayarakat

Pembangunan masyarakat identik dengan peningkatan pelayanan dan pemberian fasilitas social seperti kesehatan, gizi, pendidikan dan sanitasi yang secara keseluruhan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2. Pembangunan masyarakat sebagai upaya terencana mencapai tujuan social yang kompleks dan bervariasi.

Pembangunan masyarakat dapat diartikan sebagai tujuan sosial yang sukar diukur seperti keadilan, pemerataan, peningkatanbudaya kedamaian dan sebagainya.

3. Pembangunan social sebagai upaya terencana untuk meningkatan kemampuan manusia berbuat.

Pembanguanan disini merupakan derivasi dari paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia/ rakyat (people centered 4evelopment)

Pada masa sebelumnya, banyak masalah terjadi di daerah yang tidak tertangani secara

baik karena keterbatasan wewenang pemerintah daerah di bidang itu; misalnya berkenaan dengan

hal perizinan investasi, kerusakan lingkungan, alokasi anggaran dari dana subsidi pemerintah

pusat, penetapan prioritas pembagunan, penyusunan organisasi pemerintahan yang sesuai

kebutuhan daerah, pengangkatan dalam jabatan struktural, perubahan batas wilayah administrasi,

pembentukan kecamatan, kelurahan dan desa, serta pemilihan kepala daerah. (Syaukani dkk,

(19)

Dengan berlakunya UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang merupakan

hasil revisi dari UU No. 22 Tahun 1999, kewenangan-kewenangan tersebut didesentralisasikan ke

daerah. Artinya pemerintah dan masyarakat di daerah dipersilahkan mengurus rumah tangganya

sendiri secara bertanggungjawab. Pemerintah pusat tidak lagi mempatron, apalagi mendominasi

kepentingan di daerah. Hal ini dibuktikan dengan dilimpahkannya segala urusan kepada

pemerintah daerah kecuali yang menyangkut hukum dan perundang-undangan, agama,

pertahanan dan keamanan, kebijakan dan politik luar negeri serta kebijakan fiskal.

Osborne dan Gabler dalam Hessel (2004:12-12) mengemukakan ada 4 keunggulan

lembaga yang terdesentralisasi, yakni:

(1) lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel dari pada yang tersentralisasi

karena lembaga tersebut dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan

pelanggan yang berubah; (2) lembaga terdesentralisasi jauh lebih efektif dari pada tersentralisasi;

(3) lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih inovatif dari pada tersentralisasi; dan (4) lembaga

yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak dan besar

produktivitasnya.

I.5.1.2. Prinsip Otonomi Daerah

Dalam undang-undang Otonomi daerah No 32 tahun 2004 disebutkan bahwa prinsip

otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dan prinsip otonomi yang

nyata dan bertanggungjawab. Yang dimaksud dengan otonomi yang seluas-luasnya dalam arti

daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah diluar yang

menjadi urusan Pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk

memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang

bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Prinsip otonomi yang nyata adalah suatu prinsip bahwa urusan pemerintahan

(20)

berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.

Otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraanya harus

benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yakni memberdayakan daerah.

I.5.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Otonomi Daerah

Banyak faktor dan variabel yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi

daerah. Tidak sedikit pula pakar yang mengidentifikasikan faktor-faktor dan variabel-variabel

yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah itu.

Pada umumnya faktor-faktor dan atau variabel-variabel yang mempengaruhi keberhasilan

pelaksanaan otonomi daerah adalah kemampuan sumber daya (aparat maupun masyarakat),

sumber daya alam, kemampuan keuangan (finansial), kemampuan manajemen, kondisi sosial

budaya masyarakat, dan karakteristik ekologis.

Kaho (dalam Salam, 2004:108) mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi

dan sangat menentukan penelenggaraan otonomi daerah antara lain dengan:

1. Sumber daya manusia dan kemampuan aparatur serta partisipasi masyarakat. 2. Keuangan yang stabil.

3. Peralatan yang lengakap.

4. Organisasi dan manajemen yang baik.

Paramitha (dalam Salam, 2004:109) membagi variabel yang memperanguhi keefektifan

organisasi ke dalam dua kelompok . Pertama, kelompok variabel sumber daya yang terdiri dari

varabel besarnya organisasi dan pembagian kerja. Kedua, kelompok variabel struktural yang

terdiri dari variabel struktur yang terdiri dari variabel sentralisasi, kerumitan, formalisasi,

komunikasi, dan koordinasi.

Fernandez (dalam Salam, 2004:109) menyatakan bahwa tugas atau fungsi manajerial,

institusi, penbiayaan atau keuangan, dan kemampuan aparat pemerintahan daerah merupakan

(21)

I.5.2. Pemekaran Kecamatan

Kecamatan adalah pembagian wilayah administratif d

at

Februari 2009/20.15). Dalam konteks otonomi daerah di Indonesia, kecamatan merupakan

perangkat daerah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang mempunyai wilayah

kerja tertentu dan dipimpin oleh Camat.

Menurut PP No. 19 Tahun 2008 Bab I pasal (1) pembentukan kecamatan adalah

pemberian status pada wilayah tertentu sebagai kecamatan di kabupaten/kota. Kecamatan

dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan Peraturan Daerah berpedoman pada Peraturan

Pemerintah. Pembentukan Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 PP No.19 2008

harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.

Syarat administratif pembentukan kecamatan adalah: (PP No.19 Th 2008 pasal 3)

a. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan minimal 5 (lima) tahun;

b. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan yang akan dibentuk menjadi kecamatan minimal 5 (lima) tahun;

c. Keputusan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau nama lain untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk kelurahan di seluruh wilayah kecamatan baik yang menjadi calon cakupan wilayah kecamatan baru maupun kecamatan induk tentang persetujuan pembentukan kecamatan;

d. Keputusan Kepala Desa atau nama lain untuk desa dan Keputusan Lurah atau nama lain untuk kelurahan di seluruh wilayah kecamatan baik yang akan menjadi cakupan wilayah kecamatan baru maupun kecamatan induk tentang persetujuan pembentukan kecamatan; e. Rekomendasi Gubernur.

Syarat fisik kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 PP No. 19 Th 2008

meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan. Persyaratan

teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 PP No. 19 Th 2008 meliput i:

a. jumlah penduduk; b. luas wilayah;

c. rentang kendali penyelenggaraan pelayanan pemerintahan; d. aktivitas perekonomian;

(22)

Dalam PP RI No 129 tahun 2000 pasal 2 disebutkan pembentukan daerah atau disebut

juga dengan pemekaran bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan

melalui:

a. Pengangkatan pelayanan terhadap masyarakat

b. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi

c. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah

d. Percepatan pengelolaan potensi daerah

e. Pengangkatan kecamatan dan ketertiban

f. Pengangkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah

Dikeluarkannya UU No.32 tahun 2004 memberikan wewenang kepada daerah untuk

mengurusi wilayahnya sendiri sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini mengingat bahwa sebenarnya

yang mengetahui segala permasalahan yang terjadi di daerah adalah pemerintah daerah, bukan

pemerintah pusat.

Semakin meningkatnya volume kegiatan di bidang pemerintahan, pelayanan, dan

kemasyarakatan serta dengan meningkatnya komposisi jumlah penduduk, luas wilayah yang

cukup, dan memiliki sarana/prasarana yang memadai sebagai prasyarat pendirian kecamatan,

maka Pemerintahan Kabupaten Kerinci merasa siap untuk mengeluarkan kebijakan pemekaran

kecamatan.

Menurut Kastorius Sinaga (dalam Wahyudi dkk, 2002:18) pemekaran wilayah setidaknya

harus menjawab tiga isu pokok, diantaranya:

(23)

alam yang dimiliki daerah itu. Cara berfikir seperti ini yang sangat mengkhawatirkan dan berpotensi mengundang terjadinya proses pemiskinan.

b. Prosedur; apakah prosedur pemekaran wilayah ini akan berbelit-belit karena rantai birokrasi yang mengurus persoalan seperti ini juga cukup panjang.

c. Implikasi; yakni sejauhmana pemekaran wilayah memberi dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat dan secara politis berimplikasi terhadap terpilihnya identitas etnik dan agama. Selain itu, potensi terjadinya konflik horizontal berkaitan dengan ide pemekaran wilayah itu. Diluar pihak yang memberikan dukungan, pasti ada pihak-pihak tertentu yang tidak menyetujui ide pemekaran itu.

I.5.3. Efektifitas Pelayanan Publik I.5.3.1. Pengertian Efektifitas

Dalam setiap organisasi efektifitas merupakan unsur pokok aktivitas untuk mencapai

tujuan atau sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan kata lain suatu efektifitas disebut

efektif apabila tercapai tujuan atau sasaran yang telah ditetntukan sebelumnya. Hal ini sesuai

dengan pendapat dari ahli Handayaningrat (1984:16) yang mengatakan “efektifitas adalah

pengukuran dalam arti tercapainya tujuan yang ditentukan sebelumnya.”

Efektifitas merupakan unsur pokok aktivitas dalam orgnasasi yang telah ditetapkan

sebelumnya. Bila dilihat dari aspek keberhasilan pencapaian tujuan maka efektifitas adalah yang

memfokuskan pada tingkat pencapaian terhadap tujuan organisasi publik (Nurmandi, 1999:193).

Tingkat pelayanan dan derajat kepuasaan masyarakat merupakan salah satu ukuran

efekfitas. Ukuran ini tidak mempertimbangkan berapa biaya, tenaga dan waktu yang digunakan

dalam memberikan pelayanan, tetapi lebih menitik beratkan pada tercapainya tujuan organisasi

pelayanan publik. Senada dengan pendapat tersebut Sters dan Etzioni (dalam Kasim, 1993:11)

mengatakan bahwa efektifitas suatu organisasi tergantung pada seberapa jauh organisasi tersebut

berhasil dalam pencapaian tujuannya.

Ditinjau dari ketetapan waktu maka menurut Siagian (2002:171) efektifitas adalah

tercapainya berbagai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya tepat pada waktunya dengan

(24)

kegiatan. Untuk melengkapi pengertian efektifitas secara mendasar Sinugan (1992:15)

menjelaskan konsep efektifitas berdasarkan pendapat para ahli dalam 4 kelompok, yakni:

1. efektifitas berkaitan dengan hubungan antara teori organisasi.

2. menganggap efektifitas sebagai perbandingan/tingkatannya dimana sasaran yang dikemukan dapat dianggap tercapai.

3. untuk memahami efektifitas adalah efektifitas eksternal atau perbandingan antara evaluasi lingkungan satu unit output dan evaluasi satu unit input.

4. kemampuan sistem untuk tetap berlangsung, beradaptasi dan berkembang tanpa memperdulikan tujuan-tujuan khusus yang akan dicapai.

Selanjutnya pendapat Sarwito (1987:45) menyatakan “efektifitas sebagai suatu yang

berhasil guna yaitu pelayanan bercorak maupun mutu dan kegunannya benar-benar sesuai dengan

kebutuhan.” Dari pendapat para ahli di atas maka dapat disiimpulkan bahwa efektifitas

berhubungan dengan pelayanan yang bercorak maupun mutunya dengan kebutuhan masyarakat

setempat.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dilihat 3 hal yang menonojol dalam unsur efektifitas,

yakni:

1. pencapai tujuan, yaitu suatu kegiatan dikatakan efektif apabila dapat mencapai tujuan

/sasaran yang telah ditentukan sebelumnya.

2. ketetapan waktu, suatu kegiatan dikatakan efektif apabila penyelesaian atau tercapai

tujuan sesuai atau bertepatan dengan waktu yang telah ditentukan.

3. manfaat, suatu kegiatan dikatakan efektif apabila kegiatan itu memberi hasil.

Menurut Siagian (2003:17), efektifitas sebagai orientasi kerja menyoroti 4 hal:

a. Sumber daya, dana, sarana dan prasarana yang dapat digunakan oleh

organisas/perusahaan yang jumlahnya sudah ditentukan dan dibatasi.

b. Jumlah dan mutu pelayanan jasa yang diberikan sudah ditentukan sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai.

c. Batas waktu dalam penyelesaian pekerjaan sasuai dengan apa yang telah ditentukan sebelumnya.

(25)

I.5.3.2. Pengertian Pelayanan Publik

Secara sederhana pelayanan berarti melayani suatu jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat

disegala bidang. Menurut KEPMENPAN 81/93, pelayanan adalah suatu bentuk kegiatan

pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik pusat, di daerah, BUMN dan BUMD

dalam bentuk barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh

penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelaksanaan

ketentuan peraturan perundang-undangan (KEPMENPAN NO.63/ KEP/M.MPAN/7/2003).

Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa pelayanan adalah suatu usaha

untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain.

Pelayanan merupakan usaha apa saja yang mempertinggi kepuasaan pelanggan dalam hal

ini adalah masyarakat. Selain itu, membangun kesan yang dapat memberikan citra positif dimata

pelanggan karena jasa pelayanan yang diberikan dengan biaya yang terkendali/ terjangkau bagi

pelanggan (masyarakat) yang membuat pelanggan terdorong/termotivasi untuk bekerja

sama/berperan aktif dalam pelaksanaan pelayanan yang baik.

I.5.3.3. Makna dan Tujuan Pelayanan Publik

Pelayanan masyarakat (publik) memang merupakan fungsi paling mendasar dari

keberadaan pemerintah dimanapun. Namun pelayanan publik tidak akan pernah terwujud tanpa

sejumlah prasyarat lain seperti adanya peluang dan kesempatan yang sama bagi semua unsur

masyarakat, rasa aman dan tegaknya supremasi hukum, serta adanya saling percaya di antara

pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Karena itu fungsi pemerintah, baik pusat maupun daerah

mencakup fungsi-fungsi stabilitas, distribusi dan pelayanan public sekaligus.

Tujuan dari pelayanan publik adalah memuaskan dan atau sesuai dengan keinginan

(26)

yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Kualitas/mutu pelayanan adalah

kesesuaian antara harapan dan keinginan dengan kenyataan.

Hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang

merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Asas pelayanan

Publik adalah: (Tjandra dkk, 2005:11)

a. Transparan

Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan

disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

b. Akuntabilitas

Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c. Kondisonal.

Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap

berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas.

d. Partisipatif.

Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan

memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

e. Kesamaan Hak.

Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama gender dan status

ekonomi.

f. Keseimbangan Hak dan Kewajiban

Pemberian dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban

masing-masing pihak.

Pelayanan juga dapat diberi makna dalam kata respek. Respek dalam kegiatan pelayanan

(27)

dalam menyajikan pelayanan hendaknya menambahkan sesuatu yang tidak dapat dinilai dengan

uang, dan itu adalah ketulusan dan integritas.

Kualitas pelayanan berhasil dibangun apabila pelayanan yang diberikan kepada

pelanggan mendapatkan pengakuan dari pihak-pihak yang dilayani. Pengakuan ini bukan dari

aparatur tetapi dari customer/pelanggan dan dalam hal ini adalah masyarakat.

I.5.3.4. Bentuk-Bentuk Pelayanan Publik

Pemerintah melalui lembaga dan segenap aparaturnya bertugas menyediakan dan

menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Adapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat

pemerintah terdiri dari berbagai macam bentuk.

Menurut Moenir (1992:190) bentuk pelayanan ada tiga macam, yaitu:

1. Pelayanan dengan lisan.

Pelayanan dengan lisan ini dilakukan oleh petugas-petugas bidang hubungan masyarakat, bidang pelayanan informasi, dan bidang-bidang lainnya yang bertugas memberikan pejelasan atau keterangan kepada masyarakat mengenai berbagai fasilitas layanan yang tersedia.

Agar layanan lisan berhasil sesuai dengan yang diharapkan, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku pelayanan yaitu:

a. Memahami benar masalah-masalah yang termasuk dalam bidang tugasnya.

b. Mampu memberikan penjelesan mengenai apa saja yang diperlukan dengan lancar, singkat, tetapi cukup jelas sehingga memuaskan bagi mereka yang ingin memperoleh kejelasan mengenai sesuatu.

c. Bertingkah laku dengan sopan dan ramah tamah.

d. Meski dalam keadaan sepi, tidak berbincang dan bercanda dengan sesama pegawai karena menimbulkan kesan tidak disiplin dan melalaikan tugas.

2. Pelayanan melalui tulisan.

Dalam bentuk tulisan, layanan yang diberikan dapat berupa pemberian penjelasan kepada masyarakat dengan penerangan berupa tulisan suatu informasi mengenai hal atau masalah yang sedang terjadi.

Pelayanan melalui tulisan terdiri dua macam, yaitu:

a. Pelayanan yang berupa petunjuk, informasi, dan yang sejenis ditujukan pada orang-orang yang berkepentingan agar memudahkan mereka dalam berurusan dengan instansi atau lembaga.

b. Pelayanan berupa reaksi tertulis atas permohonan, laporan, keluhan, pemberitahuan, dan lain sebagainya.

3. Pelayanan berbentuk perbuatan.

(28)

Dalam KEPMENPAN No. 63 TAHUN 2003, pelayanan publik dibagi berdasarkan tiga

kelompok, yaitu:

1. Kelompok pelayanan administratatif, yaitu bentuk pelayanan yang menghasilkan berbagai macam dokumen resmi yang dibutuhkan oleh masyarakat atau publik, misalnya status kewarganegaraan, sertifikasi kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan lain-lain. Dokumen-dokumen tersebut antara lain KTP, akte kelahiran, buku pemilikan kendaraan bermotor, STNK, dan lain-lain.

2. Kelompok pelayanan barang yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih, dan lain-lain.

3. Kelompok pelayanan jasa, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan publik, misalnya pendidikan, pelayanan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, dan lain-lain.

I.5.3.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelayanan Publik

Menurut Moenir (1992:82) terdapat faktor-faktor yang mendukung pelayanan, yaitu:

1. Faktor Kesadaran

Yaitu suatu proses berfikir melalui metode renungan, pertimbangan dan perbandingan, sehingga menghasilkan keyakinan, ketenangan, ketetapan hati dan keseimbangan dalam jiwa sebagai pangkal tolak untuk perbuatan dan tindakan yang akan dilakukan kemudian. Dengan kata lain, faktor kesadaran disini merupakan kesadaran para pejabat serta petugas yang berkecimpung dalam kegiatan pelayanan. Kesadaran para pegawai pada segala tingkatan terhadap tugas yang menjadi tanggungjawabnya dapat membawa dampak yang sangat positif terhadap organisasi ini akan menjadi kesungguhan dan disiplin melaksanakan tugas, sehingga hasilnya dapat diharapkan melalui standar yang telah ditetapkan. Faktor kesadaran berfungsi sebagai acuan dasar yang akan melandasi pada perbuatan/tindakan berikutnya.

2. Faktor Aturan

Aturan adalah perangkat penting dalam segala tindakan dan perbuatan orang. Oleh karena peranan aturan demikian besar dalam hidup bermasyrakat maka dengan sendirinya aturan harus dibuat, dipatuhi dan diawasi sehingga dapat mencapai sasaran sesuai dengan maksudnya. Aturan dalam organisasi yang menjadi landasan kerja pelayanan. Aturan ini mutlak kebenarannya agar organisasi dan pekerjaan dapat berjalan teratur dan terarah, oleh karena itu harus dipahami oleh organisasi yang berkepentingan/bersangkutan. Setiap aturan pada akhirnya menyangkut langsung ataupun tidak langsung kepada orang, maka masalah manusia serta sifat kemanusiaannya harus menjadi pertimbangan utama. Pertimbangan pertama manusia sebagai subyek aturan ditujukan kepada hal-hal yang penting, yaitu:

(29)

b) Pengetahuan dan pengalaman, dengan pengetahuan dan pengalaman dapat dimiliki pandangan jauh kedepan sehingga aturan yang dibuat dapat menjangkau waktu yang cukup panjang karena dapat mengantisipasi segala sesuatu yang berada antara 5-10 tahun yang akan datang.

c) Kemampuan bahasa, dalam beberapa hal bahasa tulis mampu menerjemahkan secara lengkap kehendak atau fikiran. Bahasa yang digunakan dalam suatu aturan hendaklah bahasa yang sudah cukup dikenal dalam masyarakat baik arti maupun fungsinya. Susunan kalimatnya hendaknya mudah dicerna, sederhana, dan dapat menggambarkan secara lengkap apa yang dikehendaki.

d) Pemahaman oleh pelaksana, petugas pelaksana yang kelak akan terlibat langsung dengan aturan itu, berhadapan dengan orang, haruslah memahami terlebih dahulu maksud dan arti aturan itu. Sebab petugas itulah yang akan berhadapan langsung dengan orang yang berkepentingan, sehingga ia harus mampu memberikan penjelasan serta pelayanan yang tepat dan cepat.

e) Disiplin dalam pelaksanaan, disiplin adalah suatu bentuk ketaatan terhadap aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang telah ditetapkan. Adapun yang dimaksud dengan disiplin disini adalah ketaatan terhadap aturan tertulis dan lebih ditekankan pada pelaksanaan aturan oleh pejabat atau petugas yang secara langsung bertanggungjawab atas pelaksanaan aturan itu.

3. Faktor Organisasi

Merupakan alat serta sistem yang memungkinkan berjalannya mekanisme kegiatan pelayanan dalam usaha pencapaian tujuan. Organisasi yang dimaksud disini ialah mengorganisir fungsi pelayanan baik dalam bentuk struktur maupun mekanismenya yang akan berperan dalam mutu dan kelancaran pelayanan.

4. Faktor Pendapatan

Yaitu pendapatan pegawai yang berfungsi sebagai pendukung pelaksanaan pelayanan. Pendapatan merupakan seluruh penerimaan seseorang sebagai imbalan atas tenaga dan/atau fikiran yang telah dicurahkan untuk orang lain atau badan/organisasi, baik dalam bentuk uang, aturan maupun fasilitas, dalam jangka waktu tertentu. Pendapatan yang cukup akan memotivasi pegawai dalam melaksanaan pekerjaan dengan baik.

5. Faktor Kemampuan-Ketrampilan

Yaitu kemampuan dan ketrampilan petugas dalam melaksanakan pekerjaan. Ada tiga kemampuan yang harus dimiliki, yaitu kemampuan manejerial, kemampuan teknis, dan kemampuan membuat konsep. Dengan kemampuan dan ketrampilan yang memadai maka pelaksanaan tugas/pekerjaan dapat dilakukan dengan baik, cepat dan memenuhi keinginan semua pihak, baik manajemen itu sendiri maupun masyarakat.

6. Faktor Sarana

Yaitu segala jenis peralatan, perlengakapan kerja dan fasilitas lain berfungsi sebagai alat utama/pembantu dalam pelaksanaan pekerjaan, dan juga berfungsi sosial dalam rangka kepentingan orang-orang yang sedang berhubungan dengan organisasi kerja itu. Sarana ini meliputi peralatan, perlengkapan, alat bantu, dan fasilitas lain yang melengkapi seperti fasilitas komunikasi. Fungsi sarana pelayanan tersebut antara lain;

a) mempercepat proses pelaksanaan pekerjaan, sehingga dapat menghemat waktu; b) meningkatkan produktivitas, baik barang maupun jasa;

c) kualitas produk yang lebih baik/terjamin;

d) ketepatan susunan dan stabilitas ukuran terjamin; e) lebih mudah/sederhana dalam gerak para pelakunya;

(30)

g) menimbulkan perasaan puas pada orang-orang yang berkepentingan sehingga dapat mengurangi sifat emosional mereka.

I.5.3.6. Prinsip-Prinsip Pelayanan Publik

Dalam memberikan pelayanan, maka pihak-pihak pemberi pelayanan harus

memperhatikan prinsip-prinsip yang terkadung dalam pelayanan itu sendiri. Moenir (2001:40)

menyatakan bahwa sebagai pihak yang ingin memperoleh pelayanan yang baik dan memuaskan,

wujud pelayanan yang didambakan masyarakat ialah:

a. Adanya kemudahan dalam pengurusan kepentingan dengan pelayanan cepat dalam arti tanpa hambatan yang kadang kala dibuat-buat.

b. Memperoleh pelayanan secara wajar tanpa gerutu, sindirian, untaian kata lain semacam itu yang nadanya mengarah pada permintaan sesuatu, baik dengan alasan untuk dinas atau alasan untuk kesejahteraan.

c. Mendapat perlakuan yang sama dalam pelayanan terhadap kepentingan yang sama, tertib dan tidak pandang bulu.

d. Mendapatkan pelayanan yang jujur dan terus terang, artinya apabila ada hambatan karena suatu masalah yang tidak dapat dielakkan hendaknya diberitahukan, sehingga orang tidak menunggu sesuatu yang tidak menentu.

Berdasarkan KEPMENPAN No.63 Tahun 2003 tentang Pedoaman Umum Pelayanan

Publik, dinyatakan bahwa “hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada

masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintahan sebagai abdi

masyarakat.” Pernyataan tersebut menguatkan peranan pemerintah sebagai instansi yang

berkewajiban pemberi pelayanan yang prima kepada masyarakat karena pada dasarnya,

konsumen/masyarakat adalah warga negara yang harus dipenuhi hak-haknya tidak terkecuali

sehingga pemerintah sebagai instansi yang memberikan pelayanan publik harus dapat

memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Berdasarkan kondisi nyata, terdapatnya pedoman pelayanan publik tersebut belum dapat

menjamin bahwa hak-hak masyarakat terpenuhi, buktinya masih banyak terdapat

penyelewengan-penyelewangan dalam pelaksanaan kewajiban memberikan pelayanan kepada

masyarakat sehingga masyarakat tidak mendapat pelayanan yang prima atau masyarakat

(31)

I.5.4. Indeks Kepuasan Masyarakat

Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No Kep./25/M.PAN/2/2004

tentang Indek Kepuasan Masyarakat, menyatakan bahwa: “Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM)

adalah data dan informasi tentang tingkat kepuasan masyarakat yang diperoleh dari hasil

pengukuran secara kuantitatif dan kualitaif atas pendapat masyarakat dalam memperoleh

pelayanan dari aparatur penyelenggara pelayanan public dengan membandingkan antara

harapan dan kebutuhannya”.

Untuk mengetahui kepuasan masyarakat atau pelanggan dapat dilakukan melalui

pengukuran kepuasan masyarakat atau pelanggan, untuk dapat mengetahui sampai sejauh mana

pelayanan telah mampu memenuhi harapan atau dapat memberikan pelayanan kepada pelanggan,

maka organisasi harus mengetahui tingkat harapan pelanggan atau suatu atribut tertentu. Harapan

pelanggan ini selanjutnya akan dibandingkan dengan kinerja aktualnya, sehingga dari sini akan

diperoleh indeks kepuasan pelanggan yang mencerminkan kualitas pelayanan yang diterima oleh

pelanggan.

Menurut Kep./25/M.PAN/2/2004 tersebut terdapat 14 unsur yang “relevan, valid dan

reliable”, sebagai unsur minimal yang harus ada sebagai dasar pengukuran indeks kepuasan

masyarakat, yaitu:

1. Prosedur Pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada

masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.

2. Persyaratan Pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk

mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya.

3. Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan

pelayanan.

4. Kedislipinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan pelayanan

terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku.

5. Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggungjawab

petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.

6. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan yang dimiliki

petugas dalam memberikan atau menyelesaiakan pelayanan kepada masyarakat.

7. Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang

(32)

8. Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan

golongan/status masyarakat yang dilayani.

9. Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan

pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati.

10. Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang yang telah ditetapkan oleh unit pelayanan.

11. Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan.

12. Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan ketentuan

yang telah ditetapkan.

13. Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi

dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepeda penerima pelayanan.

14. Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit pelayanan

ataupun sarana yang digunakan sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.

Hal pokok yang perlu dicapai guna memuaskan pelanggan adalah melaui peningkatan

kualitas pelayanan. Kualitas Pelayanan (service quality) adalah “sebagai hasil persepsi dari

perbandingan antara harapan dengan kinerja actual layanan” (http://indeks.php_files.com/

9-9-2009/ 12.23 WIB) Sedangkan menurut Parasuraman (http:indeks.php_files.com/ 9-9-9-9-2009/ 12.23

WIB) diartikan sebagai “seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan para pelanggan

atas layanan yang mereka terima”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kualitas pelayanan

adalah merupakan ukuran penilaian menyeluruh atas tingkat suatu layanan yang baik.

Terciptanya kualitas pelayanan tentunya akan menciptakan kepuasan terhadap pengguna

pelayanan, yang pada akhirnya akan dapat mencapai tujuan pemerintah yaitu mensejahterakan

masyarakat. Hal pokok yang perlu dicapai guna memuaskan pelanggan adalah melalui

peningkatan kualitas pelayanan. Kualitas Pelayanan (service quality) adalah “sebagai hasil

persepsi dari perbandingan antara harapan dengan kinerja aktual layanan”.

I.5.5. Kinerja Organisasi Pelayanan Publik

Moeljarto (dalam Tjandra, 2005:44) menyatakan bahwa:

(33)

lingkungannya. Pengaruh lingkungan dapat dilihat dari dua segi: pertama, lingkungan eksternal yang umumnya menggambarkan kekuatan yang berada di luar organisasi seperti faktor organisasi politik, ekonomi dan sosial, kedua, adalah lingkungan internal yaitu faktor-faktor dalam organisasi yang menciptakan iklim organisasi dimana berfungsinya kegiatan mencapai tujuan.”

Sejalan dengan pendapat tersebut Higgins (1985) (dalam Tjandra, 2005:44) menyatakan

bahwa:

“Ada dua kondisi yang dapat mempengaruhi kinerja organisasi, yaitu kapabilitas organisasi yaitu konsep yang dipakai untuk menunjuk pada kondisi lingkungan internal yang terdiri atas dua faktor stratejik yaitu kekuatan dan kelemahan. Kekuatan adalah situasi dan kemampuan internal yang bersifat positif, yang memungkinkan organisasi memiliki keuntungan stratejik dalam mencapai sasarannya; sedangkan kelemahannya adalah situasi dan ketidakmampuan internal yang mengakibatkan oragnisasi tidak dapat mencapai sasarannya. Kedua faktor tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi.”

Faktor yang perlu diperhitungkan dalam melihat kemampuan internal organisasi antara

lain: struktur organisasi, sumberdaya baik dana maupun tenaga, lokasi, fasilitas yang dimiliki,

integritas seluruh karyawan dan integritas kepemimpinan. Kondisi kedua adalah lingkungan

eksternal, yang terdiri atas dua faktor stratejik, yaitu peluang dan ancaman atau tantangan.

Peluang sebagai situasi dan faktor-faktor eksternal yang membantu organisasi mencapai atau

bahkan bisa melampaui pencapaian sasarannya. Dalam mengamati lingkungan eksternal, ada

beberapa sektor yang peka secara stratejik, artinya bisa menciptakan peluang, atau sebaliknya

merupakan ancaman.

Steers, 1980 (dalam Tjandra, 2005:45) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyokong

keberhasilan akhir suatu organisasi dapat dikemukan dalam empat kelompok umum adalah:

(34)

variasi dalam pengetahuan teknis yang dipakai untuk menunjang kegiatan menuju sasaran.

b. Karakteristik lingkungan, mencakup dua aspek yaitu: pertama adalah lingkungan eksternal, yaitu semua kekuatan yang timbul diluar batas-batas organisasi dan mempengaruhi keputusan serta tindakan di dalam organisasi (contoh: kondisi ekonomi dan pasar, peraturan pemerintah), yang kedua adalah lingkungan intern, yang sebagai iklim organisasi meliputi macam-macam atribut lingkungan kerja (contoh: pekerja sentries, orientasi pada prestasi) yang sebelumnya telah ditujukan mempunyai hubungan dengan segi-segi tertentu dari efektifitas, khususnya atribut-atribut yang diukur pada tingkat individual (contoh: sikap kerja, prestasi).

c. Karakteristik pekerja, perhatian harus diberikan kepada perbedaan individual antara para pekerja dalam hubungannya dengan efektifitas. Pekerja yang berlainan mempunyai pandangan, tujuan, kebutuhan dan kemampuan yang berbeda-beda, variasi sifat manusia ini sering menyebabkan perilaku orang berbeda satu sama lain, walaupun mereka ditempatkan di satu lingkungan kerja yang sama. Lagi pula perbedaan-perbedaan individual ini dapat mempunyai pengaruh yang langsung terhadap dua proses yang penting, yang dapat berpengaruh nyata terhadap efektifitas. Yaitu rasa keterkaitan terhadap organisasi atau jangkauan identifikasi para pekerja dengan majikannya, dan prestasi kerja individual. Tanpa rasa keterkaiatan dan prestasi, efektifitas adalah mustahil. d. Kebijakan dan praktek manajemen, peranan manajemen dalam prestasi organisasi,

meliputi variasi gaya kebijakan dan praktek kepemimpinan dapat memperhatikan atau merintangi pencapaian tujuan. Peran manajer memainkan peran sentral dalam keberhasilan suatu perusahaan melalui perencanaan, koordinasi, dan memperlancar kegiatan yang ditujukan ke arah sasaran. Adalah kewajiban mereka untuk menjamin bahwa struktur organisasi konsisten dengan menguntungkan untuk teknologi dan lingkungan yang ada. Lagi pula adalah tanggungjawab mereka untuk menetapkan suatu sistem imbalan yang pantas sehingga para pekerja dapat memuaskan kebutuhan dan tujuan pribadinya sambil mengejar sasaran organisasi. Dengan makin rumitnya proses teknologi dan makin rumit dan kejamnya keadaan lingkungan, peranan manajemen dalam mengkoordinasi orang dan proses demi kerberhasilan organisasi tidak hanya bertambah sulit, tapi juga menjadi semakin penting artinya.

Secara lebih luas Steers (1981), mengemukakan 4 (empat) variabel yang mempengaruhi

keberhasilan suatu organisasi, yaitu karakteristik organisasi, karakteristik lingkungan,

karakteristik pekerja, karakteristik kebijaksanaan dan praktik manajemen. Karakterisik organisasi

terdiri dari variabel struktur organisasi (desentralisasi, spesialisasi, formalisasi, rentang kendali,

besarnya unit kerja) dan variabel teknologi organisasi (operasi, bahan dan pengetahuan).

Karakteristik lingkungan terdiri dari variabel lingkungan ektern

Sementara itu Joedono (1974) (dalam Tjandra, 2005:47) mengatakan bahwa faktor-faktor

yang mempengaruhi kinerja sebuah organisasi antara lain meliputi: (1) faktor kualitas SDM, (2)

(35)

Penilaian kinerja merupakan suatu kegiatan yang sangat penting karena dapat digunakan

sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai misinya. Untuk organisasi publik,

informasi mengenai kinerja tetentu sangat berguna untuk menilai seberapa jauh pelayanan yang

diberikan oleh organisasi itu untuk memenuhi harapan dan memuaskan pengguna jasa. Dengan

melakukan penilaian terhadap kinerja, maka upaya untuk memperbaiki kinerja bisa dilakukan

secara lebih terarah dan sistematis. Informasi mengenai kinerja bisa dilakukan secara lebih

terarah dan sistematis. Informasi mengenai kinerja juga penting untuk menciptakan tekanan bagi

para pejabat penyelenggara pelayanan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi.

Dengan adanya informasi mengenai kinerja, maka benchmarking dengan mudah bisa dilakukan

dan dorongan untuk memperbaiki kinerja bisa diciptakan.

Penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan menggunakan

indikator-indikator yang melekat pada birokrasi itu, seperti efisiensi dan efektifitas tetapi harus

dilihat juga indokator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna

jasa, akuntabilitas, dan responsivitas. Penilaian kinerja dari sisi pengguna jasa menjadi sangat

penting karena birokrasi publik sering kali memiliki alternatif sumber pelayanan. Dalam

pelayanan diselenggarakan oleh pasar, dengan menggunakan jasa yang memiliki pilihan sumber

pelayanan, pengguna pelayanan bisa mencerminkan kepuasan terhadap pemberi layanan. Dalam

pelayanan oleh birokrasi publik, penggunaan pelayanan oleh publik sering tidak ada

hubungannya sama sekali dengan kepuasannya terhadap pelayanan.

Menurut Dwiyanto (2006:50), ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk

mengukur kinerja birokrasi publik:

1. Produktivitas

Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektifitas pelayanan. Produktivitas pada umunya dipahami sebagai rasio antara input dengan

output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang luas dengan

(36)

2. Kualitas Layanan

Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik. Dengan demikian, kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan sering kali dapat diperoleh dari media massa atau diskusi publik. Akibat akses terhadap informasi mengenai kepuasan masyarakat terhadap kualitas layanan relatif sangat tinggi, maka bisa menjadi satu ukuran kinerja organisasi publik yang mudah dan murah dipergunakan. Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik.

3. Responsivitas

Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas di sini menunjukkan pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang rendah ditunjukkan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek pula.

4. Responsibilitas

Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit. Oleh sebab itu, rseponsibilitas bisa saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas.

5. Akuntabilitas

Akuntabilitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Dalam konteks ini, konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.

Zeithaml, Parasuraman, dan Berry (dalam Dwiyanto, 2006:53) mengemukakan bahwa

kinerja pelayanan publik yang baik dapat dilihat melalui beberapa indikator yang sifatnya fisik.

Penyelenggaraan pelayanan publik yang baik dapat dilihat melalui beberapa aspek fisik

pelayanan yang diberikan, seperti tersedianya gedung pelayanan representatif, fasilitas pelayanan

berupa televisi ruang tunggu yang nyaman, peralatan pendukung yang memiliki teknologi

(37)

seragam dan aksesoris, serta berbagai fasilitas kantor pelayanan yang memudahkan akses

pelayanan bagi masyarakat.

Dalam konteks kinerja birokrasi pelayanan publik di Indonesia, pemerintah melalui

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (KEPMENPAN) Nomor 81 Tahun 1995

telah memberikan berbagai rambu-rambu pemberian pelayanan kepada birokrasi publik secara

baik. Berbagai prinsip keterbukaan, efisiensi, ekonomis, dan keadilan yang merata merupakan

prinsip-prinsip pelayanan yang harus diakomodasi dalam pemberian pelayanan publik di

Indonesia. Prinsip kesederhanaan, mempunyai maksud bahwa prosedur atau tata cara pemberian

pelayanan publik harus didesain sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan pelayanan kepada

masyar

Gambar

Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Proses  Pengadaan  Lahan  dimulai  setelah  tahap  M.O.U  Kerjasama  dengan  Pemda  dan  Industri  Pupuk  mencapai  Draft  Final,  yang  direncanakan  mulai 

Selanjutnya setelah nama tokoh wayang tersebut diklik akan mengeluarkan pop up seperti yang ditunjukan Gambar 5b, pop up ini terdapat nama wayang, gambar wayang, serta info

Menimbang, bahwa terlepas dari ketentuan-ketentuan formil sebagaimana terurai di atas, dalam perkara aquo, disamping ada kepentingan hukum Para Pemohon, juga

Dengan ini, saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya

Bahwa menyangkut perolehan suara ke 4 (empat) pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati sebagaimana Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Mappi Nomor

Lembaga Pemasyarakatan sebagai sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang merupakan bagian akhir sistem peradilan pidana, dan

Dampak dari terjadinya eutrofikasi adalah kualitas air situ Babakan rendah sekali (buruk) sehingga Spirulina tidak tumbuh dengan baik dan subur. Data hasil

Dalam hal ini peran fungsi dan tanggung jawab perawat psikiatri dalam meningkatkan derajat kesehatan jiwa, dalam kaitannya dengan menarik diri adalah