HUBUNGAN BEBAN LALU LINTAS DAN STRUCTURAL NUMBER
TERHADAP PREDIKSI MULAINYA RETAK DAN
PERKEMBANGANNYA
(KAJIAN LITERATUR)TUGAS AKHIR
Diajukan untuk melengkapi syarat penyelesaian Pendidikan sarjana teknik sipil
06 0404 113
OLIM S.M. PURBA
BIDANG STUDI TRANSPORTASI
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
▸ Baca selengkapnya: strategi prediksi adalah
(2)ABSTRAK
Hubungan Beban Lalu Lintas dan Structural Number terhadap Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangannya
Olim S.M. Purba 06 0404 113
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011
Setelah jalan dibuka dan dilalui beban lalu lintas, tingkat pelayanan jalan akan mengalami penurunan fungsi dan struktur. Menurunnya tingkat pelayanan jalan ditandai dengan adanya kerusakan pada lapisan perkerasan jalan, kerusakan yang terjadi juga bervariasi, salah satunya adalah retak. Diperlukan suatu pemodelan untuk memprediksi kerusakan tersebut agar usaha pemeliharaan dan rehabilitasi jalan sesuai dengan biaya yang ada. Pemodelan tersebut dapat bersifat empiris, yaitu berdasarkan beban lalu lintas, kondisi iklim, struktur perkerasan, dan kondisi perkerasan di masa lalu. Pemodelan HDM-4 (Highway Development and Management) dan Sugeng Wiyono merupakan beberapa pemodelan yang bersifat empiris.
Tujuan studi ini adalah untuk mencari hubungan beban lalu lintas dan indeks tebal perkerasan terhadap prediksi mulainya retak dan perkembangannya serta membandingkan hasil prediksi antara pemodelan HDM-4 dan Sugeng Wiyono. Hasil aplikasi pemodelan menunjukkan bahwa beban lalu lintas terhadap prediksi mulainya retak dan perkembangannya berbanding lurus, sedangkan indeks tebal perkerasan berbanding terbalik.
Hasil perhitungan memperlihatkan dalam memprediksi mulainya retak pemodelan Sugeng Wiyono dalam memprediksi mulainya retak lebih cepat dibanding HDM-4. Sedangkan di dalam memprediksi perkembangan retak pada pemodelan HDM-4 jauh lebih cepat dibandingkan pemodelan Sugeng Wiyono. Dengan melakukan analisis regresi pada hasil prediksi, didapat persamaan mulainya retak, ICT = 6.44 + 1.41 SN – 4.088 YE4, dengan R2= 0.999. Begitu juga perkembangan retak dACA = 0.717 t 1.929 dengan R2 = 0.999.
Kata kunci:
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas kasih dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini dengan baik.
Tugas akhir ini disusun untuk melengkapi persyaratan menempuh ujian sarjana
pada Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
Adapun judul tugas akhir ini adalah “Hubungan Beban Lalu Lintas dan Indeks
Tebal Perkerasan terhadap Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangannya”.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama penulisan Tugas Akhir ini
banyak sekali bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan
hati, penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, untuk segala rahmat dan berkat-Nya.
2. Bapak Medis S Surbakti ST, MT sebagai dosen pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu dan pikiran ataupun masukan yang sangat
berharga dalam penyusunan/penulisan Tugas Akhir ini hingga selesai.
3. Bapak Prof.Dr.Ing. Johannes Tarigan sebagai ketua Departemen Teknik
Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Medan.
4. Bapak Ir. Syahrizal, MT sebagai sekretaris Departemen Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Medan.
5. Bapak Dosen Pembanding yang telah memberikan masukan dan waktunya
dalam penyelesaian Tugas akhir ini.
6. Istimewa untuk orang tua tercinta, Ir. G. Purba dan Dra. R. Sitanggang yang
senantiasa mencurahkan segenap kasih sayang dan segala dukungan yang
7. Untuk adik-adik penulis di dalam keluarga besar, Naria F.S Purba, Samuel
R.M Purba, dan Ramos J.M Purba, terima kasih atas cinta, doa dan
dukungannya kepada penulis.
8. Buat semua sahabat penulis (Gabe, Mi’un, Alexpolalo, Rikikemalauan,
Dion, Muek, Erckon, Guntur, Raymond, Paulus, VerTig, Attha, Afif,
Opung, Helmet, Dina, Boin, Gom2, Saud, Wale, Meiman, Lastri, Lae
Lamson, RicoMSi, RoSi, Josep, Sinar, Ajirbrother, AjirMyNameIsKhan,
TioMilanistiCopo) terkhususnya semua anak sub-jurusan Transportasi
beserta semua teman-teman dari stambuk yang lain yang tidak bisa
disebutkan namanya satu persatu, terimakasih atas segala doa dan
dukungannya.
Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari
sempurna, karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman serta referensi yang
penulis miliki. Untuk itu penulis mengharapkan saran-saran dan kritik demi
perbaikan pada masa-masa yang akan datang.
Medan, 2011
06 0404 113
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR NOTASI ... viii
BAB I PENDAHULUAN I.1 Umum ... 1
I.2 Latar Belakang ... 2
I.3 Tujuna ... 3
I.4 Pembatasan Masalah ... 3
I.5 Metodologi ... 4
I.6 Sistematika Penulisan ... 6
BAB II RETAK PADA PERKERASAN JALAN RAYA II.1 Kerusakan pada Jalan Raya... 7
II.2 Retak II.2.1 Umum ... 10
II.2.2 Jenis-jenis Retak II.2.2.1 Berdasarkan Bentuk Retak ... 19
II.2.2.2 Berdasarkan Penyebab Retak ... 23
II.2.2.3 Berdasarkan Tingkat Keparahan (Severity) ... 22
II.2.2.4 Berdasarkan Lokasi Retak ... 23
II.2.2.5 Berdasarkan Cara Berkembang Retak ... 23
II.3 Beban Lalu Lintas ... 24
II.4 Structural Number ... 27
BAB III PREDIKSI MULAINYA RETAK DAN PERKEMBANGANNYA III.1 Umum ... 33
III.3 Pemodelan Sugeng Wiyono ... 43
III.4 RTIM2 Model ... 46
III.3 Queiros – Geipot Model ... 47
III.3 Arizona DOT ... 48
III.3 Texas Flexible Pavement Design System ... 48
BAB IV APLIKASI PEMODELAN IV.1 Perencanaan Perkerasan Jalan Baru ... 50
IV.2 Pemodelan HDM-4 ... 54
IV.3 Hubugan Beban Lalu Lintas dan Structural Number terhadap Mulainya Retak dan Perkembangannya ... 56
IV.4 Perbandingan Hasil Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangannya Antara HDM-4 dan Persamaan Regresi ... 57
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan ... 59
V.2 Saran ... 60
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbandingan Structural Number dan Indeks Tebal
Perkerasan ... 35
Tabel 3.1 Jenis Retak dan Variabel Parameter ... 37
Tabel 3.2 Kondisi Cacat Permukaan ... 39
Tabel 3.3 Faktor Kalibrasi Retak ... 39
Tabel 3.4 Koefisien Pemodelan pada Time-base models ... 42
Tabel 3.5 Koefisien Pemodelan pada Traffic-base models ... 45
Tabel 3.6 Nilai Parameter Mulainya Retak ... 47
Tabel 3.7 Nilai Parameter untuk Perkembangan Retak ... 48
Tabel 4.1 Hasil Prediksi Mulainya Retak Menurut HDM-4 ... 54
Tabel 4.2 Hubungan Beban Lalu Lintas dan Structural Number terhadap Mulainya Retak dan Perkembangannya ... 55
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Bagan Alir Penelitian ... 5
Gambar 2.1 Retak Halus (Hair Cracks) ... 11
Gambar 2.2 Retak Tepi (Edge Cracks) ... 12
Gambar 2.3 Retak Sambungan Jalan (Lane Joint Cracks) ... 14
Gambar 2.4 Retak Sambungan Pelebaran (Widening Cracks) ... 15
Gambar 2.5 Retak Refleksi (Reflection Cracks) ... 16
Gambar 2.6 Retak Susut (Shrinkage Cracks) ... 17
Gambar 2.7 Retak Kulit Buaya (Alligator Cracks) ... 18
Gambar 2.8 Retak Selip (Slipage Cracks) ... 19
Gambar 2.9 Retak Struktural (Fatigue Cracking) ... 20
Gambar 2.10 Retak Melintang Akibat Suhu (Transverse Thermal Cracks) . 21 Gambar 2.11 Retak Refleksi (Reflection Cracking) ... 21
Gambar 2.12 Retak dengan Tingkat Keparahan Rendah... 22
Gambar 2.13 Retak dengan Tingkat Keparahan Sedang ... 22
Gambar 2.14 Retak dengan Tingkat Keparahan Tinggi ... 23
Gambar 2.15 Penyebaran Beban Roda ... 24
Gambar 2.16 Konfigurasi Beban As Standar ... 25
Gambar 2.17 Grafik kinerja perkerasan menurut jenis-jenis lapisan perkerasan ... 31
Gambar 3.1 Hubungan Mulainya Retak dan Perkembangannya ... 34
Gambar 4.1 Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangannya ... 55
Gambar 4.2 Hubungan Beban Lalu Lintas dan Structural Number terhadap Mulainya Retak dan Perkembangannya ... 55
DAFTAR NOTASI
a0,a1,a2
a
= Koefisien pemodelan
01
ACA = Luas retak yang berkembang (%) = koefisien pada Structural Number
CDS = Surface Condition Defect/ Kondisi cacat permukaan
CRP = Penghambat perkembangan retak selama adanya pemeliharaan
CRT = Cracking Retardation Time/ Lamanya hambatan retak akibat adanya
pemeliharaan
CRXt = Bertambahnya luasan retak pada waktu t
dACA = Perubahan bertahap pada area retak
ICA = Waktu mulainya retak (tahun)
ICX = Waktu mulai terjadinya retak (tahun)
IPt
IP
∆
= Indeks permukaan jalan hancur (minimum 1,5)
= Perbedaan antara initial design serviceability index (IP0
Kcia = Faktor kalibrasi mulainya retak
) dan design
terminal serviceability index (IPt)
Kcpa = Kalibrasi perkembangan retak
Kicx = Faktor mulai terjadinya retak
MR
NEci = Jumlah ESA sejak mulai terjadinya retak = Modulus resilien
S0
SCA = Minimum (ACA(100-ACA))
= Gabungan standard error untuk perkiraan lalu lintas dan kinerja
SNP = Structural Number of Pavement
t50
TCI = Waktu sejak terjadinya retak,dalam tahun = Waktu untuk 50 persen area retak
W18
8,16 kN
= Perkiraan jumlah beban lalu lintas dari beban sumbu standar ekivalen
YE4 = Beban lalu lintas (juta ESAL/lajur)
z = 1, jika TCI < t50
Za = 1, jika ACA < 50 persen, demikian juga sebaliknya ; lainnya z = -1
ZR
IP
∆
= Deviasi normal standar
= Perbedaan antara initial design serviceability index (IP0
terminal serviceability index (IPt)
) dan design
A t
δ = Fraksi tahun analisis
ABSTRAK
Hubungan Beban Lalu Lintas dan Structural Number terhadap Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangannya
Olim S.M. Purba 06 0404 113
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011
Setelah jalan dibuka dan dilalui beban lalu lintas, tingkat pelayanan jalan akan mengalami penurunan fungsi dan struktur. Menurunnya tingkat pelayanan jalan ditandai dengan adanya kerusakan pada lapisan perkerasan jalan, kerusakan yang terjadi juga bervariasi, salah satunya adalah retak. Diperlukan suatu pemodelan untuk memprediksi kerusakan tersebut agar usaha pemeliharaan dan rehabilitasi jalan sesuai dengan biaya yang ada. Pemodelan tersebut dapat bersifat empiris, yaitu berdasarkan beban lalu lintas, kondisi iklim, struktur perkerasan, dan kondisi perkerasan di masa lalu. Pemodelan HDM-4 (Highway Development and Management) dan Sugeng Wiyono merupakan beberapa pemodelan yang bersifat empiris.
Tujuan studi ini adalah untuk mencari hubungan beban lalu lintas dan indeks tebal perkerasan terhadap prediksi mulainya retak dan perkembangannya serta membandingkan hasil prediksi antara pemodelan HDM-4 dan Sugeng Wiyono. Hasil aplikasi pemodelan menunjukkan bahwa beban lalu lintas terhadap prediksi mulainya retak dan perkembangannya berbanding lurus, sedangkan indeks tebal perkerasan berbanding terbalik.
Hasil perhitungan memperlihatkan dalam memprediksi mulainya retak pemodelan Sugeng Wiyono dalam memprediksi mulainya retak lebih cepat dibanding HDM-4. Sedangkan di dalam memprediksi perkembangan retak pada pemodelan HDM-4 jauh lebih cepat dibandingkan pemodelan Sugeng Wiyono. Dengan melakukan analisis regresi pada hasil prediksi, didapat persamaan mulainya retak, ICT = 6.44 + 1.41 SN – 4.088 YE4, dengan R2= 0.999. Begitu juga perkembangan retak dACA = 0.717 t 1.929 dengan R2 = 0.999.
Kata kunci:
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Umum
Letak geografis, jumlah penduduk, dan tingkat pertumbuhannya yang tinggi di
Indonesia menyebabkan tingkat kebutuhan masyarakat juga meningkat serta akan diikuti
dengan berkembangnya kawasan baru hampir disetiap provinsi, bahkan sampai ke
kabupaten/kota. Hal ini selayaknya diikuti oleh pengembangan jaringan transportasi yang
memadai, baik darat, laut, maupun udara. Namun kenyataannya dengan segala keterbatasan,
hal tersebut belum bisa dipenuhi oleh pemerintah. Dalam kenyataannya, alokasi dana untuk
pemeliharaan jalan saja cukup besar dikeluarkan pemerintah setiap tahunnya, belum lagi
penambahan dan peningkatan ruas-ruas jalan baru dan prasarana transportasi lainnya.
Jalan raya adalah salah satu prasarana yang akan mempercepat pertumbuhan dan
pengembangan suatu daerah serta akan membuka hubungan sosial, ekonomi dan budaya antar
daerah. Didalam undang-undang Republik Indonesia No. 38 tahun 2004 tentang jalan,
disebutkan bahwa jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional mempunyai peranan
penting terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan.
Maka jalan ini sangatlah dibutuhkan oleh masyarakat di dalam melaksanakan aktivitas
sehari-hari.
Setelah jalan raya dibuka dan dilalui beban lalu lintas, tingkat pelayanan jalan akan
mengalami penurunan fungsi dan struktur sampai batas minimum yang bisa diterima.
Menurunnya tingkat pelayanan jalan ditandai dengan adanya kerusakan pada lapisan
perkerasan jalan, kerusakan yang terjadi juga bervariasi di setiap segmen jalan.
Kerusakan jalan dengan berbagai tingkatan sangat sering dijumpai pada berbagai
daerah saat ini. Permukaan jalan yang retak, amblas, beralur, bergelombang dan berlubang
jalan sangat merasakan dampak kerusakan ini dalam bentuk naiknya biaya operasi kenderaan,
ketidaknyamanan berkendara, banyaknya kecelakaan lalu lintas yang terjadi dan lain lain.
Kerugian yang diderita individu masyarakat tersebut pada akhirnya akan terakumulasi
menjadi kerugian ekonomi yang menyeluruh pada suatu daerah.
Penyebab utama kerusakan jalan secara umum dapat dikatakan antara lain: beban
kenderaan yang berlebih (overloading), mutu pelaksanaan pekerjaan yang tidak sesuai,
drainase yang tidak/kurang berfungsi dan perencanaan yang tidak tepat. Selain itu minimnya
biaya pemeliharaan jalan, keterlambatan pengeluaran anggaran serta prioritas penanganan
yang kurang tepat juga menjadi penyebab (Muis, 2010).
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2007), kerusakan yang terjadi pada
perkerasan lentur adalah mencakup semua kerusakan seperti: retak (cracking), distorsi
(distortion), cacat permukaan (disintegration), pengausan (polished aggregate), kegemukan
(bleeding or flushing), dan penurunan pada bekas penanaman utilitas (utility cut depression).
Permukaan perkerasan aspal cenderung untuk retak pada beberapa tahap umurnya di
bawah kombinasi beban lalu lintas dan lingkungan melalui satu atau lebih mekanisme yang
berbeda. Retak adalah suatu cacat permukaan yang memperlemah perkerasan dan
memungkinkan air meresap ke dalamnya sehingga meningkatkan perlemahan. Bila retak
mulai terjadi akibat kombinasi beban lalu lintas dan lingkungannya, maka penyebaran,
keparahan, dan intensitas dari retak tersebut akan berkembang cepat dan akhirnya dapat
menyebabkan disintegrasi pada lapis permukaan (Wiyono, 2010).
I.2 Latar Belakang
Keretakan pada lapis perkerasan merupakan suatu kriteria penting untuk penanganan
merupakan hal yang penting dalam keefektifan pada penentuan waktu dan biaya dalam
pemeliharaan jalan (Wiyono, 2010).
HDM-4 (Highway Development dan Management) yang diprakarsai Paterson (1987)
merupakan salah satu pemodelan memprediksi mulainya retak dan perkembangannya yang
didasarkan pada analisis empirik yang menggunakan beban lalu lintas dan structural number
sebagai variabel yang dapat diprediksi.
Bertolak dari pemodelan HDM-4 dalam memprediksikan retak yang menggunakan
beban lalu lintas dan structural number sebagai variabel yang mempengaruhinya, maka
dibuat suatu pemakaian dari pemodelan HDM-4 dengan memakai beberapa data dari
perencanaan perkerasan baru. Sehingga nantinya dapat dianalisis bagaimana bentuk
hubungan dan sensitivitas beban lalu lintas dan structural number terhadap prediksi mulainya
retak dan perkembangannya.
I.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui hubungan beban lalu lintas dan structural number terhadap mulainya
retak dan perkembangannya dari hasil prediksi HDM-4.
2. Mengetahui sensitivitas beban lalu lintas dan structural number pada keretakan jalan
yang terjadi.
I.4 Pembatasan Masalah
Agar penulisan ini dapat terarah dan sesuai dengan tujuan, maka diperlukan
1. Pemodelan prediksi retak berdasarkan analisis empirik dimana variabel yang
berpotensi untuk diprediksi adalah beban lalu lintas, kondisi iklim, struktur
perkerasan, dan kondisi perkerasan di masa lalu.
2. Pemodelan prediksi retak yang digunakan adalah pemodelan dari HDM-4.
3. Beban lalu lintas yang digunakan telah dikonversikan ke dalam beban gandar
standar yaitu 8.16 ton.
4. Structural number menggunankan acuan AASHTO.
5. Retak yang diprediksikan merupakan retak yang terjadi pada perkerasan lentur
dengan model perkerasan Asphalt Mix on Granular Base.
6. Retak yang diprediksi adalah retak struktural, retak yang terjadi akibat akumulasi
beban lalu lintas yang melewatinya.
7. Pada retak struktural yang dimodelkan adalah All Cracking, retak yang memiliki
lebar minimum 1 mm.
I.5 Metodologi
Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah studi literatur yaitu
mengumpulkan data - data yang berhubungan dengan tugas akhir ini yang bersumberkan
buku-buku dan referensi jurnal sebagai pendekatan teori maupun sebagai perbandingan untuk
mengkaji penelitian ini. Sehingga tingkat hasil akhir yang diperoleh tergantung dari
kelengkapan literatur yang ada.
Direncanakan suatu perkerasan baru untuk memprediksikan mulainya retak dan
perkembangan retak dengan rumus yang telah dimodelkan HDM-4. Metode perencanaan
perkerasan dilakukan dengan perhitungan langsung berdasarkan AASHTO dan memprediksi
hasil perhitungan dapat disimpulkan bagaimana hubungan beban lalu lintas dan structural
number terhadap mulainya retak dan perkembangannya.
Adapun sistematika penelitian digambarkan seperti bagan alir dibawah ini:
Gambar 1.1 Bagan Alir Penelitian Parameter Prediksi
Mulai
Perencanaan Perkerasan Baru
Analisis:
• Hubungan Beban Lalu Lintas dan Structural Number terhadap Hasil Prediksi
• Sensitivitas Beban Lalu Lintas dan Structural Number terhadap retak yang terjadi
I.6 Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada
perlu dilakukan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab ini menguraikan latar belakang, tujuan, pembatasan masalah, metodologi
penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II Retak Pada Perkerasan Jalan Raya
Bab ini menguraikan teori tentang kerusakan pada perkerasan jalan raya,
khususnya retak. Pada bagian ini juga menjelaskan definisi retak, jenis - jenis retak,
dan penyebabnya. Serta membahas teori tentang beban lalu lintas dan structural
number.
Bab III Prediksi Mulainya Retak dan Perkembangannya
Bab ini memaparkan model-model prediksi retak dan perkembangannya dari
HDM-4, Wiyono Sugeng, RTIM2, Queiroz, Arizona DOT, dan Texas DOT serta
parameter-parameter yang dibutuhkan dalam memprediksi terjadinya retak.
Bab IV Aplikasi Pemodelan
Bab ini menganalisa pemakaian model prediksi retak dan perkembangannya
dengan program HDM sehingga didapat bagaimana hubungan dan sensitivitas beban
lalu lintas dan structural number terhadap prediksi mulainya retak dan
perkembangannya.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan bab-bab
sebelumnya dan saran mengenai temuan-temuan penting untuk dijadikan
pertimbangan serta saran tindak lanjut terhadap hasil yang diperoleh dari penulisan
BAB II
RETAK PADA PERKERASAN JALAN RAYA
II.1 Kerusakan Pada Jalan Raya
Lapisan perkerasan sering mengalami kerusakan atau kegagalan sebelum mencapai
umur rencana. Kerusakan pada perkerasan dapat dilihat dari kegagalan fungsional dan
struktural.
Kegagalan fungsional adalah apabila perkerasan tidak dapat berfungsi lagi sesuai
dengan yang direncanakan dan menyebabkan ketidaknyamanan bagi pengguna jalan.
Sedangkan kegagalan struktural terjadi ditandai dengan adanya rusak pada satu atau lebih
bagian dari struktur perkerasan jalan yang disebabkan lapisan tanah dasar yang tidak stabil,
beban lalu lintas, kelelahan permukaan, dan pengaruh kondisi lingkungan sekitar (Yoder,
1975).
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2007), kerusakan pada konstruksi jalan
(demikian juga dengan bahu beraspal) dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
a. Air, yang dapat berasal dari hujan, sistem drainase jalan yang tidak baik, atau naiknya
air berdasarkan sifat kapilaritas air bawah tanah.
b. Iklim, di Indonesia yang termasuk beriklim tropis dimana suhu dan curah hujan yang
umumnya tinggi.
c. Lalu lintas, yang diakibatkan dari peningkatan beban (sumbu kendaraan) yang
melebihi beban rencana, atau juga repetisi beban (volume kendaraan) yang melebihi
volume rencana sehingga umur rencana jalan tersebut tidak tercapai.
d. Material konstruksi perkerasan, yang dapat disebabkan baik oleh sifat/ mutu material
e. Kondisi tanah dasar yang tidak stabil, yang mungkin disebabkan karena cara
pemadatan tanah dasar yang kurang baik, ataupun juga memang sifat tanah dasarnya
yang memang jelek.
Kerusakan yang terjadi pada perkerasan lentur adalah mencakup semua kerusakan
seperti:
1. Retak (cracks)
Berdasarkan bentuknya retak dibagi menjadi: meander, garis, blok, kulit buaya
dan parabola.
2. Perubahan bentuk (deformation)
Dikenal juga dengan istilah Distorsion. Kerusakan ini menyebabkan perubahan
bentuk permukaan perkerasan dari bentuk aslinya. Deformasi dapat dibedakan
atas: alur (rutting), keriting (corrugation), sungkur (shoving), amblas
(depression), dan jembul (upheaval).
3. Cacat permukaan (surface defect)
Kerusakan ini sering disebut dengan Disintegration. Kerusakan ini ditimbulkan
akibat pecahnya lapisan permukaan menjadi fragmen-fragmen kecil yang jika
dibiarkan akan menyebabkan kehancuran total seluruh perkerasan. Kerusakan ini
dikelompokan menjadi: delaminasi (delamination), kegemukan (bleeding),
pengausan (polishing), pelepasan butir (raveling), pengelupasan lapis perkerasan
(stripping), dan tambalan (patches).
4. Cacat tepi (edge defect)
Kerusakan ini terjadi pada pertemuan tepi permukaan perkerasan dengan bahu
jalan tanah (bahu tidak beraspal) atau juga pada tepi bahu jalan beraspal dengan
tanah sekitarnya. Bentuk kerusakan cacat tepi permukaan dibedakan atas gerusan
Umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul itu tidak disebabkan oleh satu faktor
saja, tetapi dapat merupakan gabungan dari penyebab yang saling kait-mengait. Sebagai
contoh adalah retak pinggir, pada awalnya dapat diakibatkan oleh tidak baiknya sokongan
dari damping. Dengan terjadinya retak pinggir, memungkinkan air meresap masuk ke lapis di
lubang-lubang disamping melemahkan daya dukung lapisan dibawahnya (Departemen
Pekerjaan Umum, 2007). Adapun gambar-gambar kerusakan jalan dapat dilihat pada
lampiran.
Sedangkan menurut Highway Development and Management (2001), kerusakan pada
perkerasan jalan terbagi ke dalam beberapa kategori, yaitu:
1. Kerusakan permukaan jalan
Pada kategori kerusakan permukaan jalan dibagi menjadi tiga bagian: • Retak (cracking)
• Lubang (potholing) • Pelepasan butir (raveling)
• Cacat tepi perkerasan (edge break)
2. Kerusakan deformasi
Pada kategori kerusakan deformasi dibagi menjadi dua bagian: • Alur (rutting)
• Ketidakrataan (roughness)
3. Kerusakan tekstur permukaan jalan
Pada kategori tekstur permukaan jalan dibagi menjadi dua bagian: • Kedalaman tekstur (texture depth)
• Kekesatan (skid resistance)
II.2 Retak
II.2.1 Umum
Retak adalah suatu gejala kerusakan/ pecahnya permukaan perkerasan sehingga akan
menyebabkan air pada permukaan perkerasan masuk ke lapisan dibawahnya dan hal ini
merupakan salah satu faktor yang akan membuat luas/ parah suatu kerusakan (Departemen
Pekerjaan Umum, 2007).
Di dalam pendekatan mekanika retak diasumsikan ada bagian yang lemah pada setiap
material. Ketika pembebanan terjadi, ada konsentrasi tegangan yang lebih tinggi di sekitar
bagian tersebut, sehingga material tersebut tidak lagi memiliki distribusi tegangan yang
seragam dan terjadilah kerusakan/ retak pada bagian tersebut dan berkembang ke bagian yang
lainnya. Mekanika retak juga menggambarkan perkembangan retak tergantung pada sifat
material tersebut (Roque, 2010).
II.2.2 Jenis - jenis retak
Pengelompokan jenis-jenis kerusakan yang terjadi pada retak bermacam-macam,
seperti jenis retak berdasarkan bentuk retak, penyebab terjadinya kerusakan retak, tingkat
keparahan retak, lokasi retak, dan cara berkembangnya.
II.2.2.1 Berdasarkan bentuk retak
Departemen Pekerjaan Umum (2007) mengelompokkan jenis kerusakan retak
berdasarkan bentuknya menjadi:
1. Meander (meandering)
Yaitu retak yang terjadi berbentuk seperti sungai yang berkelok-kelok (meander).
Yang dimaksud retak halus adalah retak yang terjadi mempunyai lebar celah ≤ 3
mm. Sifat penyebarannya dapat setempat atau luas pada permukaan jalan.
Kemungkinan penyebab:
1. Bahan perkerasan/ kualitas material kurang baik.
2. Pelapukan permukaan.
3. Air tanah pada badan perkerasan jalan.
4. Tanah dasar/ lapisan dibawah permukaan kurang stabil.
Akibat lanjutan:
a. Meresapnya air pada badan jalan sehingga mempercepat kerusakan dan
menimbulkan ketidak-nyamanan berkendaraan.
b. Berkembang menjadi retak buaya (alligator cracks).
Gambar 2.1 Retak Halus (Hair Cracks)
2. Garis (line)
Yaitu retak yang terjadi berbentuk garis dan dapat berupa memanjang (longitudinal),
melintang (transverse), dan diagonal. Jenis kerusakan retak yang termasuk dalam
kerusakan ini adalah: retak tepi (edge cracks), retak pertemuan perkerasan dan bahu (edge
joint cracks), retak sambungan jalan (lane joint cracks), dan retak sambungan pelebaran
• Retak tepi (edge cracks)
Retak ini disebut juga dengan retak garis (lane cracks) dimana terjadi pada sisi
tepi perkerasan/ dekat bahu dan berbentuk retak memanjang (longitudinal cracks)
dengan atau tanpa cabang yang mengarah ke bahu. Retak ini dapat terdiri atas
beberapa celah yang saling sejajar.
Kemungkinan penyebab:
1. Bahan dibawah retak pinggir kurang baik atau perubahan volume akibat jenis
ekspansif clay pada tanah dasar .
2. Sokongan bahu samping kurang baik.
3. Drainase kurang baik.
4. Akar tanaman yang tumbuh di tepi perkerasan dapat pula menjadi sebab
terjadinya retak tepi.
Akibat lanjutan:
a. Kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan sehingga
mengganggu kenyamanan berkendaraan.
b. Retak akan berkembang menjadi besar yang diikuti oleh pelepasan butir pada
tepi retak.
• Retak pertemuan perkerasan bahu (edge joint cracks)
Sesuai dengan namanya retak ini umumnya terjadi pada daerah sambungan
perkerasan dengan bahu yang beraspal. Retak ini berbentuk retak memanjang
(longitudinal cracks) dan biasanya terbentuknya pada permukaan bahu beraspal.
Retak ini dapat terdiri atas beberapa celah yang saling sejajar.
Kemungkinan penyebab:
1. Perbedaan ketinggian antara bahu beraspal dengan perkerasan, akibat
penurunan bahu.
2. Penyusutan material bahu/ badan perkerasan jalan.
3. Drainase kurang baik.
4. Roda kendaraan berat yang menginjak bahu beraspal.
5. Material pada bahu yang kurang baik/ kurang memadai.
Akibat lanjutan:
a. Menimbulkan kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan
akibat meresapnya air pada badan jalan dan mengganggu kenyamanan
berkendaraan.
b. Berkembang menjadi besar yang diikuti oleh pelepasan butir pada tepi retak.
• Retak sambungan jalan (lane joint cracks)
Sesuai dengan namanya retak ini terjadi pada sambungan dua jalur lalu lintas dan
berbentuk retak memanjang (longitudinal cracks). Retak ini dapat terdiri atas
beberapa celah yang saling sejajar.
1. Ikatan sambungan kedua jalur yang kurang baik.
Akibat lanjutan:
a. Kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan dan akan
mengganggu kenyamanan berkendaraan.
b. Lepasnya butir pada tepi retak dan bertambah lebar.
Gambar 2.3 Retak Sambungan Jalan (Lane Joint Cracks)
• Retak sambungan pelebaran (widening cracks)
Bentuk retak ini adalah retak memanjang (longitudinal cracks) yang akan terjadi
pada sambungan antara perkerasan lama dengan perkerasan pelebaran. Retak ini dapat
terdiri atas beberapa celah yang saling sejajar dan akan meresapkan air pada lapisan
perkerasan.
Kemungkinan penyebab:
1. Ikatan sambungan yang kurang baik.
2. Perbedaan kekuatan/ daya dukung perkerasan pada jalan pelebaran dengan
jalan lama.
a. Menimbulkan kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan dan
akan mengganggu kenyamanan berkendaraan.
b. Lepasnya butir pada tepi retak sehingga kerusakan akan bertambah parah.
Gambar 2.4 Retak Sambungan Pelebaran (Widening Cracks)
3. Blok (block)
Yaitu retak yang saling berhubungan membentuk serangkaian blok, dengan bentuk
menyerupai persegi empat. Jenis kerusakan retak yang termasuk dalam kerusakan ini
adalah: retak refleksi (reflection cracks), dan retak susut (shrinkage cracks). • Retak refleksi (reflection cracks)
Kerusakan ini terjadi pada lapisan tambahan (overlay), dapat berbentuk
memanjang (longitudinal cracks), diagonal (diagonal cracks), melintang (transverse
cracks), ataupun kotak (blocks cracks) yang menggambarkan pola retakan perkerasan
dibawahnya. Retak ini dapat terjadi bila retak pada perkerasan lama tidak diperbaiki
secara benar sebelum pekerjaan pelapisan ulang (overlay) dilakukan.
1. Pergerakan vertikal/ horizontal di bawah lapis tambahan (lapisan overlay)
sebagai akibat perubahan kadar air pada tanah dasar yang ekspansif .
2. Perbedaan penurunan (settlement) dari timbunan/ pemotongan badan jalan
dengan struktur perkerasan.
Akibat lanjutan:
a. Kerusakan menyeluruh atau setempat pada perkerasan jalan dan akan
mengganggu kenyamanan berkendaraan.
b. Lepasnya butir pada tepi retak sehingga kerusakan akan bertambah parah.
Gambar 2.5 Retak Refleksi (Reflection Cracks)
• Retak susut (shrinkage cracks)
Retak yang terjadi tersebut saling bersambungan membentuk kotak besar dengan
sudut tajam atau dapat dikatakan suatu interconnected cracks yang membentuk suatu
seri blocks cracks. Umumnya penyebaran retak ini menyeluruh pada perkerasan jalan.
Kemungkinan penyebab:
1. Perubahan volume perkerasan yang mengandung terlalu banyak aspal dengan
penetrasi rendah.
Akibat lanjutan:
a. Retak ini akan menyebabkan meresapnya air pada badan jalan sehingga akan
menimbulkan kerusakan setempat atau menyeluruh pada perkerasan jalan dan
mengganggu kenyamanan berkendaraan.
b. Lepasnya butir pada tepi retak sehingga timbul lubang (potholes).
Gambar 2.6 Retak Susut (Shrinkage Cracks)
4. Kulit buaya (crocodile)
Yaitu retak yang berbentuk kulit buaya. Jenis yang termasuk dalam kerusakan ini
adalah: retak kulit buaya (alligator cracks). • Retak kulit buaya (crocodile cracks)
Istilah lain adalah chickenwire cracks, alligator cracks, polygonal cracks, dan
crazing. Lebar celah retak ≥ 3 mm dan saling berangkai membentuk serangkaian
kotak-kotak kecil yang menyerupai kulit buaya atau kawat untuk kandang ayam.
Umumnya daerah dimana terjadi retak kulit buaya tidak luas. Jika daerah dimana
terjadi retak kulit buaya luas, mungkin hal ini disebabkan oleh repetisi beban
lalulintas yang melampaui beban yang dapat dipikul oleh lapisan permukaan tersebut.
1. Bahan perkerasan/ kualitas material kurang baik.
2. Pelapukan permukaan.
3. Air tanah pada badan perkerasan jalan.
4. Tanah dasar/ lapisan dibawah permukaan kurang stabil.
Akibat lanjutan:
a. Kerusakan setempat/ menyeluruh pada perkerasan.
b. Berkembang menjadi lubang akibat dari pelepasan butir-butir.
Gambar 2.7 Retak Kulit Buaya (Alligator Cracks)
5. Parabola (crescent)
Yaitu retak yang berbentuk parabola. Jenis yang termasuk dalam kerusakan ini
adalah: retak selip (slipage cracks). • Retak selip (slipage cracks)
Kerusakan ini sering disebut dengan parabolic cracks, shear cracks, atau crescent
shaped cracks. Bentuk retak lengkung menyerupai bulan sabit atau berbentuk seperti
jejak mobil disertai dengan beberapa retak. Kadang-kadang terjadi bersama dengan
terbentuknya sungkur (shoving).
1. Ikatan antar lapisan aspal dengan lapisan dibawahnya tidak baik yang
disebabkan kurangnya aspal/ permukaan berdebu
2. Pengunaan agregat halus terlalu banyak.
3. Lapis permukaan kurang padat/ kurang tebal
4. Penghamparan pada temperature aspal rendah atau tertarik roda penggerak
oleh mesin penghampar aspal/ mesin lainnya.
Akibat lanjutan:
a. Kerusakan setempat atau menyeluruh pada perkerasan jalan dan akan
mengganggu kenyamanan berkendaraan.
b. Lepasnya butir pada tepi retak sehingga timbul lubang (potholes).
Gambar 2.8 Retak Selip (Slipage Cracks)
II.2.2.2 Berdasarkan penyebab retak
Menurut Mamlouk (2006) berdasarkan penyebab terjadinya kerusakan retak, retak
dibagi menjadi 3 bagian:
1. Retak struktural (structural cracking)
Retak struktural yang disebut juga sebagai retak lelah (fatigue cracking) adalah
disebabkan oleh pembebanan yang berulang dari roda kendaraan. Jenis retak ini
umumnya dimulai sebagai retak longitudinal pendek di jalan dan berkembang menjadi
retak berpola kulit buaya (retak saling berhubungan). Jenis retak ini terjadi karena
aksi lentur yang berulang pada perkerasan saat beban diberikan. Hal ini
menghasilkan tegangan tarik yang akhirnya membuat retak pada bagian bawah
lapisan aspal. Retak secara bertahap merambat ke bagian atas lapisan dan kemudian
berkembang dan saling berhubungan. Jenis kerusakan ini akhirnya akan menyebabkan
[image:31.595.221.441.293.443.2]hilangnya integritas struktural dari sistem perkerasan.
Gambar 2.9 Retak Struktural (Fatigue Cracking)
2. Retak melintang akibat suhu ( transverse thermal cracking)
Retak ini terjadi karena perubahan suhu pada material perkerasan jalan. Karena
material ini digerus berulang akibat gaya gesekan dengan material lain, tegangan tarik
berkembang dalam material perkerasan. Jika tegangan tarik melebihi kekuatan
tegangan tarik material, maka retak thermal akan berkembang seperti Gambar 2.10.
Retak thermal biasanya terjadi dalam arah melintang dan tegak lurus dari arah arus
lalu lintas. Jenis retak ini biasanya memiliki jarak yang sama. Retak ini adalah jenis
retak yang tidak berhubungan dengan beban lalu lintas dan retak ini dimulai saat
ke musim dingin. Dalam beberapa kasus, retak yang kecil dapat tertutup selama
[image:32.595.221.441.130.277.2]musim panas. Dalam kasus lain, lebarnya retak meningkat dari tahun ke tahun.
Gambar 2.10 Retak Thermal (Transverse Thermal Cracking)
3. Retak refleksi (reflection cracking)
Retak refleksi merupakan retak di bawah lapisan yang bisa terjadi overlay. Retak
refleksi sering terjadi di aspal overlay pada perkerasan beton dan cement treated basis.
Mereka juga terjadi ketika retak pada lapisan aspal yang lama tidak benar diperbaiki
sebelum dioverlay. Retak refleksi memiliki beberapa bentuk tergantung pada pola
retak di lapisan bawahnya.
[image:32.595.220.438.513.673.2]II.2.2.3 Berdasarkan tingkat keparahan (severity)
Menurut Metropolitan Transportation Commission (1986) berdasarkan tingkat keparahan,
retak dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
• Ringan (low)
Kerusakan yang ditandai dengan serangkaian retak halus yang saling terhubung tanpa
[image:33.595.246.414.249.388.2]ada retakan yang pecah.
Gambar 2.12 Retak dengan Tingkat Keparahan Rendah • Sedang (medium)
Kerusakan yang ditandai dengan serangkaian retak yang terhubung membentuk
kotak-kotak kecil dan pola retak sudah cukup kelihatan jelas karena sudah terdapat
retak yang mulai pecah.
[image:33.595.269.392.541.710.2]• Berat (high)
Kerusakan yang ditandai dengan serangkaian retak menyerupai kulit buaya yang
keseluruhan retaknya sudah pecah sehingga jika dibiarkan dapat menyebabkan
[image:34.595.247.414.185.322.2]terjadinya alur bahkan lubang pada jalan.
Gambar 2.14 Retak dengan Tingkat Keparahan Berat
II.2.2.4 Berdasarkan lokasi retak
Berdasarkan lokasi retak, NDLI (1995) membagi retak menjadi dua bagian, yaitu:
• Retak pada tepi
Retak pada tepi ini sama halnya dengan edge break, retak ini terjadi pada pertemuan
tepi permukaan perkerasan dengan bahu jalan tanah (bahu tidak beraspal) atau juga
pada tepi bahu jalan beraspal dengan tanah sekitarnya. • Retak pada wheel path
Retak yang terjadi pada lintasan roda (wheel path), yang umumnya retak akibat
pembebanan berulang dari kendaraan yang melintasi jalan tersebut.
II.2.2.5 Berdasarkan cara berkembang retak
Berdasarkan cara berkembangnya, NDLI (1995) membagi dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
Top-down cracks (TDC) adalah retak memanjang dan/ atau melintang yang dimulai
pada permukaan perkerasan aspal dan berkembang ke bawah. Menurut Kuennen
(2009), retak ini biasanya terjadi akibat segregasi campuran aspal dan sifat
viscoelastic aspal sebagai pengikat yang rentan terhadap perubahan suhu yang
ekstrim.
Retak dari bawah ke atas (bottom-up cracking)
Kuennen (2009) menyebutkan bahwa bottom-up cracking atau fatigue cracking
adalah hasil dari perkembangan tegangan pada lapis pondasi perkerasan aspal yang
menyebabkan lapis pondasi retak dan merambat ke atas. Retak ini diakibatkan
repetisi beban lalu lintas dan bisa berupa kumpulan retak kecil yang saling
berhubungan.
II.3 Beban Lalu Lintas
Suatu lapisan lentur yang terdiri dari beberapa lapis yaitu lapisan permukaan berasal
dari aspal hotmix, base dan sub-base, dan sub-grade. Pada saat menerima beban roda lapisan
perkerasan melentur dan pada lapisan bekerja tegangan-tegangan tekan maupun tarik. Karena
beban roda tersebut terjadi berulang-ulang, maka tegangan-tegangan tersebut juga berulang.
Lapisan permukaan merupakan suatu lapisan yang bound (terikat), sehingga lapisan
tersebut dapat menahan gaya tekan tarik. Umumnya karena lapisan permukaan ini dapat
mendukung tegangan tekan yang lebih besar daripada tegangan tarik, maka tegangan tarik di
bagian bawah lapisan biasanya lebih menentukan dalam umur tekanan terhadap beban
berulang.
Pada lapisan base, sub-base, dan sub-grade, lapisan umumnya terdiri dari bahan
granular (berbutir) yang lepas. Bahan seperti ini dapat menahan tekan tetapi dapat dianggap
praktis tidak dapat menahan tegangan tarik. Jadi lapisan ini hanya menahan beban tekan saja
dan deformasi yang terjadi dianggap hanya akibat beban tekan pada permukaan lapisan saja.
Pada AASHO Road Test di Negara bagian Illinois USA, telah dilakukan pengujian
bermacam-macam jenis dan struktur perkerasan jalan, lentur maupun kaku, untuk diketahui
kekuatannya. Pengujian tersebut dilakukan dengan menggunakan as 18.000 lbs (8,16 ton)
pada as beroda tunggal ganda pada Gambar 2.14. Dengan beban tersebut dapat diketahui
jumlah repetisi yang dapat ditanggung oleh bermacam-macam struktur perkerasan sampai
[image:36.595.89.523.487.653.2]pada tingkat kerusakan yang ditinjau.
Gambar 2.16 Konfigurasi Beban As Standar
Beban as standar pada Gambar 2.16 dikenal dengan nama Standard Single Axle Load.
Untuk beban-beban as lain yang besarnya 18.000 lbs maka digunakan prinsip beban ekivalen
Untuk menghitung tebal perkerasan, umumnya digunakan unit (satuan) beban as
standar 8,16 ton di atas melintas satu kali menghasilkan DF = 1. Biasanya satuan untuk
perancangan tidak disebut dalam Damage Factor tetapi dalam Equivalent Standard Axle
Load (ESAL).
Di Indonesia Muatan Sumbu Terberat (MST) yang resmi diberlakukan adalah 8,0 ton
tekanan sumbu gandar tunggal. Diambilnya besaran (angka) 8,0 ton sebagai batasan muatan
sumbu terberat untuk sumbu tunggal tersebut didasarkan atas daya pengrusak (damage
factor) terhadap perkerasan yang bernilai satu (1); sebagai akibat yang ditimbulkan muatan
sumbu tadi. Sebagaimana diketahui bahwa tekanan gandar tunggal sebesar 8,16 ton atau
18.000 lbs (dibulatkan menjadi 8,0 ton) mempunyai nilai daya pengrusak perkerasan
(damage factor) sebesar satu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa besarnya batasan
muatan ganda ditentukan berdasarkan ketentuan nilai damage factor harus = 1 untuk standar
muatan gandar yang dimaksud.
Ketentuan muatan sumbu terberat yang sudah ditetapkan masih terbatas pada sumbu
tunggal saja (MST 8000 kg). Meskipun demikian untuk jenis sumbu yang lain, yaitu sumbu
ganda dan sumbu tiga (triple), besarnya muatan maksimum dapat dihitung dengan pedoman
bahwa nilai damage factor dari beban sumbu yang bersangkutan harus sama dengan satu.
Untuk menghitung besarnya damage factor tiap-tiap jenis muatan sumbu kendaraan
dapat dipergunakan rumus sebagai berikut:
Damage factor sumbu tunggal : DF-tgl =
4
16 , 8
P
(2.1)
Damage factor sumbu ganda : DF-tdm = 0,086
4
16 , 8
P
(2.2)
Damage factor sumbu triple : DF-trpl = 0,053
4
16 , 8
P
Dengan menggunakan rumus-rumus di atas serta batasan nilai damage factor = 1,
maka akan diperoleh batasan beban maksimum untuk setiap jenis sumbu sebagai berikut:
• MST sumbu tunggal = 8,15 ton, dibulatkan menjadi 8 ton.
• MST sumbu tandem = 15,09 ton, dibulatkan menjadi 15 ton.
• MST sumbu triple = 20,34 ton, dibulatkan menjadi 20 ton.
Ketentuan MST tersebut di atas berlaku untuk dual wheel atau ban dobel. Untuk
single wheel atau ban tunggal yang biasanya terdapat pada sumbu tunggal saja, besarnya
MST sumbu tunggal- ban tunggal adalah sekitar 5,5 ton (Muis, 1993). Beberapa contoh
perhitungan beban lalu lintas dapat dilihat pada lampiran.
II.4 Structural Number
Structural Number (SN) adalah indeks yang diturunkan dari analisis lalu lintas,
kondisi tanah dasar, dan lingkungan yang dapat dikonversi menjadi tebal lapisan perkerasan
dengan menggunakan koefisien relatif yang sesuai untuk tiap-tiap jenis material
masing-masing lapis struktur perkerasan (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002).
Nilai structural number (SN) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
( )
(
)
(
)
( )
8.07 log 32 . 2 1 1094 40 . 0 log 20 . 0 1 log 36 . 9 log 10 19 . 5 0 10 10 0 1810 + × −
+ + − ∆ + − + × × × = R t R M SN IP IP PSI SN S Z W (2.4) Dimana: W18 Z
= Perkiraan jumlah beban lalu lintas dari beban sumbu standar ekivalen 8,16 kN
S0
PSI
∆
= Gabungan standard error untuk perkiraan lalu lintas dan kinerja
= Perbedaan antara initial design serviceability index (IP0
M
) dan design terminal
serviceability index (IPt)
R
IP
= Modulus resilien
t
Structural number (SN) juga dapat ditentukan dengan nomogram di bagian lampiran. = Indeks permukaan jalan hancur (minimum 1,5)
Structural number (SN) berbeda dengan Indeks Tebal Perkerasan (ITP) yang
umumnya dipakai di Indonesia, berikut adalah beberapa perbedaan antara structural number
dan Indeks Tebal Perkerasan:
Persamaan nilai structural number (SN) adalah persamaan 2.4, yaitu:
( )
(
)
(
)
( )
8.07 log 32 . 2 1 1094 40 . 0 log 20 . 0 1 log 36 . 9 log 10 19 . 5 0 10 10 0 1810 + × −
+ + − ∆ + − + × × × = R t R M SN IP IP PSI SN S Z W
Sedangkan untuk persamaan nilai Indeks Tebal Perkerasan (ITP) adalah:
( )
(
)
(
)
(
3.0)
372 . 0 log 1 1094 40 . 0 log 20 . 0 1 log 36 . 9 log 19 . 5 0 10 10 18
10 + + −
+ + − ∆ + − + ×
= FR DDT
ITP IP IP PSI ITP W t (2.5) Dimana: W18
ITP = Indeks Tebal Perkerasan
= Perkiraan jumlah beban lalu lintas dari beban sumbu standar ekivalen 8,16 kN
FR = Faktor Regional yang besarnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dimana jalan
tersebut berada
PSI
∆ = Perbedaan antara initial design serviceability index (IP0) dan design terminal
DDT = Daya Dukung Tanah Dasar yang besarnya merupakan nilai korelasi dengan nilai
[image:40.595.78.544.183.601.2]CBR.
Tabel 2.1 Perbandingan Structural Number dan Indeks Tebal Perkerasan
Indeks Tebal Perkerasan (ITP) Structural Number (SN)
Parameter daya dukung tanah dasar
dinyatakan dalam DDT, yang dikonversikan
terhadap nilai CBR.
Parameter daya dukung tanah dasar
dinyatakan dalam modulus resilien (Mr) yang
dapat diperoleh dengan pemeriksaan
AASHTO T-274 atau korelasi dengan CBR
Faktor regional, adalah parameter yang
dipergunakan untuk perbedaan kondisi lokasi
Parameter ini tidak dipergunakan lagi, diganti
dengan parameter yang lain.
Ada beberapa parameter baru:
- Reliabilitas
- Simpangan baku
- Koefisien Drainase
ITP= a1D1 + a2D2 + a3D3 SN= a1D1 + a2D2m2 + a3D3m3
Tebal perkerasan dalam satuan centimeter
(cm)
Tebal perkerasan dalam satuan inci (inch)
Didesain untuk umur rencana 10 tahun Didesain untuk umur rencana 20 tahun
Pada pemodelan prediksi HDM-4 (2001) dan Wiyono (2010), nilai structural number
(SN) yang dipakai untuk memprediksi kerusakan jalan merupakan modified structural
number (SNC) yaitu structural number yang dimodifikasi dengan adanya penambahan
structural number dari sub-grade, yang merupakan fungsi dari CBR sub-grade. Berikut
P
erfor
m
anc
e
SNC = SN + SNSG (2.6)
SN = a1 D1 + a2 D2 m2 + a3 D3 m3
SNSG = 3.51 (log
(2.7)
10 CBR) – 0.85 (log10 CBR)2
Dimana:
– 1.43 (2.8)
SNC = Modified structural number
SN = Structural number dari AASHTO
a1,a2,a3
D
= Koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan
1, D2, D3
m
= Tebal masing-masing perkerasan
2, m3
SNSG = Structural number of Sub-grade = Koefisien drainase
Adapun nilai koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan dan koefisien drainase dapat
dilihat pada lampiran.
Walaupun nilai structural number (SN) pada perkerasan sama, bukan berarti
perlakuan atau kinerja perkerasan juga sama. Kinerja perkerasan, dalam hal ini retak (crack)
dan alur (rut) yang terjadi juga tergantung pada jenis-jenis lapisan perkerasan yang ada. Di
bawah ini adalah beberapa kinerja perkerasan menurut jenis-jenis lapisan perkerasan:
a.
Riding Quality (RQ) Thin seal
Base
Rut
Sub-base Crack
P
erfor
m
anc
e
P
erfor
m
anc
e
P
erfor
m
anc
e
P
erfor
m
anc
e
b.
RQ
Thin seal Concrete base
Rut Cement Treatment Sub-base (CTSB) Crack
Time
c.
RQ
Thin seal CTB Crack
CTSB Rut
Time
d.
AC > 100 mm RQ
Rut Sub-base
Crack
Time
e.
RQ Concrete
Sub-base
Crack
Rut
[image:42.595.99.511.70.741.2]Time
Sesuai pada pembatasan masalah, untuk prediksi mulainya retak dan
BAB III
PREDIKSI MULAINYA RETAK DAN PERKEMBANGANNYA
III.1 Umum
Salah satu tantangan yang paling mendalam yang dihadapi para manajemen dan
teknisi perkerasan adalah pengembangan dari kinerja atau pemodelan prediksi kerusakan.
Beberapa model prediksi kinerja yang telah diajukan selama bertahun-tahun, beberapa
diantaranya adalah model yang sederhana dan model yang lebih kompleks. Ralph Haas dalam
NordFou (2010) mengelompokan banyaknya pemodelan prediksi kinerja ke dalam
kelas-kelas yang mengindikasikan teori dasar mereka sebagai berikut
a.
:
Empiris, di mana variabel tertentu yang diukur atau diperkirakan seperti lendutan,
akumulasi beban lalu lintas dan sebagainya yang berhubungan dengan
pengurangannya nilai layanan (serviceability) atau beberapa ukuran lainnya dari
kerusakan jalan dan usia perkerasan, biasanya dilakukan melalui pendekatan analisis
regresi
b.
.
Mekanistik - Empiris, di mana respon tertentu dihitung, seperti regangan tanah dasar,
tegangan dan regangan lapisan perkerasan dan lain-lain, bersama dengan variabel lain
seperti akumulasi beban lalu lintas, yang berhubungan dengan pengurangannya nilai
layanan atau beberapa ukuran lainnya dari kerusakan jalan dengan melalui pendekatan
analisis regresi atau model yang dikalibrasi (yaitu koefisien yang ditentukan) dengan
analisis regresi
c.
.
Subjektif, berdasarkan pengalaman di mana pengurangan nilai layanan atau ukuran
kerusakan lainnya dibandingkan dengan umur perkerasan jalan yang diperkirakan,
dan dengan kombinasi variabel yang berbeda menggunakan model proses transisi
Paterson (1987) melakukan prediksi kinerja perkerasan dan kerusakan jalan dengan
pendekatan analisis empirik dimana variabel yang berpotensi untuk diprediksi adalah beban
lalu lintas, kondisi iklim, struktur perkerasan, dan kondisi perkerasan di masa lalu. Retak
yang merupakan salah satu jenis kerusakan, dimana di dalam prediksinya dibagi menjadi dua
fase yaitu retak inisiasi (crack initiation) dan perkembangannya (crack progression)
Retak inisiasi dan retak progres memiliki perbedaan fisik dan perlu dimodelkan secara
terpisah. Retak inisiasi adalah suatu proses yang menunjukkan mulainya retak pada suatu
bagian perkerasan jalan, sementara retak progress adalah suatu proses kelanjutan retak
[image:45.595.223.438.361.560.2]inisiasi yang terjadi sampai berkembang dan melebarnya retak tersebut (Wiyono, 2005).
Gambar di bawah menunjukkan hubungan mulainya retak dan perkembangannya.
Gambar 3.1 Grafik Hubungan Mulainya Retak (Initiation) dan Perkembangannya
(Progression)
Sumber: HDM-4 (2001)
Di dalam memprediksi retak, Paterson (1987) dan Wiyono (2010) membagi prediksi
retak menjadi tiga kategori berdasarkan penyebabnya seperti yang telah dijelaskan pada bab
1. Retak Struktural (Structural cracking)
2. Retak Melintang Akibat Suhu (Transverse thermal cracking)
3. Retak Refleksi (Reflection cracking)
Pada pembatasan masalah, aplikasi pemodelan prediksi retak yang hanya dipakai
adalah retak struktural karena retak struktural memiliki parameter-parameter yang lebih
banyak dan lebih kompleks dibanding jenis retak yang lainnya seperti pada tabel di bawah
[image:46.595.80.544.299.448.2]ini.
Tabel 3.1 Jenis Retak dan Variabel Parameter
Distress
mode
Distress
Type
Pavement
strength
Materials
properties
Traffic
loading
Environment
Cracking
Structural
Reflection
Transverse Thermal
Sumber: HDM-4 (2001)
III.2 Pemodelan HDM-4 (Highway Development and Management)
HDM-4 (Highway Development and Management) merupakan suatu sistem
manajemen perkerasan yang digunakan Bank Dunia dalam membantu pengembangan dan
rehabilitasi jalan di beberapa negara. HDM-4 membuat pemodelan prediksi kerusakan jalan
untuk menentukan kapan dan bagaimana mereka melakukan rehabilitasi pada kerusakan yang
telah terjadi sesuai dengan biaya yang ada. Salah satu pemodelan kerusakan tersebut adalah
retak. HDM-4 membaginya menjadi dua model yaitu mulainya retak (inisiasi) dan
Di dalam HDM-4, mulainya retak dan perkembangannya dibagi dua kelas, yaitu All
cracking (lebar retak minimum 1 mm) dan Wide cracking (lebar retak lebih besar 3mm atau
terjadinya spalling atau pecahan) (Paterson, 2001). Di dalam aplikasi pemodelan HDM-4
yang dipakai hanyalah retak dengan kelas All cracking.
Prediksi mulainya retak
HDM-4 (2001) mendefinisikan inisiasi sebagai waktu dimana retak mulai berkembang
melebihi 0.5 persen dari area jalan. Persamaan yang digunakan HDM-4 untuk
memprediksikan mulainya retak sebagai berikut:
+
+ ×
= CRT
SNP YE a SNP a a
CDS K
ICA cia 0 1 2 2
2 4
exp (3.1)
ICA = Waktu mulainya retak (tahun)
CDS = Surface Condition Defect/ Kondisi cacat permukaan
SNP = Modified structural number
YE4 = Beban lalu lintas (juta ESAL/lajur)
Kcia = Faktor kalibrasi
CRT = Cracking Retardation Time/ Lamanya hambatan retak akibat adanya
pemeliharaan ( umumnya 3 tahun)
Tabel 3.2 Kondisi Cacat Permukaan
Surface Condition Defect CDS
Dry (brittle)
Normally 10% less than
optimum binder content
0.5
Normal Optimum binder content 1.0
Rich (soft)
Normally 10% more than
optimum binder content
1.5
Sumber: HDM-4 (2001)
Tabel 3.3 Faktor Kalibrasi Retak
Route
Crack Initiation – Kcia Crack Progression – Kcpa
Avg Min Max avg min Max
Cirebon – Kuningan 0.5 0.3 0.7 1.1 0.6 1.6
Cirebon – Losari 0.8 0.8 0.8
Tangerang – Merak 0.7 0.5 0.9
Sumber: Morosiuk (1997)
Di beberapa negera telah melakukan studi dan menerapkan pemodelan HDM-4
dengan beberapa nilai kalibrasi (Kcia) dan koefisien pemodelan (a0,a1,a2
a
). Seperti di Amerika
Serikat dengan studi di Washington State Transportation Center (Li, 2004), India (Shankar,
2007), dan Malaysia (Morosiuk, 1999). Di dalam pemodelan prediksi mulainya retak ketiga
negara tersebut sama-sama memakai koefisien pemodelan yang sama yaitu:
0 = 4.21, a1 = 0.14, dan a2
Sehingga persamaan tersebut menjadi seperti berikut: = -0.17 + − × = CRT SNP YE SNP CDS K
ICA cia 2
2 4 17 . 0 14 . 0 exp 21 .
[image:48.595.111.514.348.503.2] Prediksi perkembangan retak
Secara umum persamaan yang digunakan untuk memprediksikan besarnya
perkembangan retak yang terjadi adalah sebagai berikut:
(
)
× × × × × + − = z z a a t YE SNP SCA SCA
CDS CRP K
dACA a a a
A A A cpa 1 1 1 2 1
0 δ 4 (3.3)
ACA = Luas retak yang berkembang (%)
a0,a1,a2
CRP = Penghambat perkembangan retak selama adanya pemeliharaan = Koefisien pemodelan
SCA = minimum (ACA(100-ACA))
Kcpa = Kalibrasi perkembangan retak
A t
δ
= Pertambahan waktu (tahun) dalam time-base models atauPertambahan beban lalu lintas (juta ESAL) pada traffic-base models.
Perkembangan retak dimulai pada saat
δ
tA >0 atauACAA >0Paterson (1987) membagi prediksi perkembangan retak menjadi dua model, yaitu
time-base models dan traffic-base models. Time-base models merupakan fungsi dari waktu
dan varibel bebas structural number atau beban lalu lintas, sedangkan traffic-base models
merupakan fungsi beban lalu lintas dan structural number. Umumnya kedua model ini
memiliki perbedaan yang kecil, dan time-base models lebih banyak dipakai karena dapat
diaplikasi pada beberapa jenis permukaan jalan.
Time-base models
Luas area retak pada awal mulainya retak, CRit atau ACA adalah
[
b b]
bci
it z z zabt z z
CR =(1− )50+ . . . + 0.5 +(1− )50 1 (3.4)
b a
t b b
. / ) 5 . 0 50 (
Dimana:
CRit
a
= Luas retak pada awal mulainya retak
0,a1
t
= Koefisien permodelan pada tabel 3.4
ci
z = 1, jika tci < t
= Waktu mulainya retak (tahun)
50
t
, demikian juga sebaliknya
50
Pertambahan luas retak pada pertambahan
= Waktu pada saat mencapai 50% luas area retak
A t
∆ adalah
[
]
itb b it
it zz zzab t SCR SCR
CR = ∆ + −
∆ . . . 1 (3.6)
Dimana:
it CR
∆ = Pertambahan luas retak selama pertambahan ∆tA
A t
∆ = Pertambahan waktu (tahun)
SCRit = Minimum (CRit , 100- CRit
zz = 1, jika CR
)
Tabel 3.4 Koefisien Pemodelan pada Time-base models
Cracking class and surfacing
Model Estimates
a0 a1
All Cracking
Asphalt Concrete
Surface Treatment
Cemented Base
Asphalt Overlays
Reseals and Slurry Seals
1.84
1.76
2.13
1.07
2.41
0.45
0.32
0.36
0.28
0.34
Wide Cracking
Asphalt Concrete
Surface Treatment
Cemented Base
Asphalt Overlays
Reseals and Slurry Seals
2.94
2.50
3.67
2.58
3.4
0.56
0.25
0.38
0.45
0.35
Sumber: Paterson (1987)
Berikut ini adalah beberapa pemodelan memprediksi perkembangan retak berdasarkan
time-base models di beberapa negara, Amerika Serikat dengan studi di Washington State
Transportation Center (Li, 2004), India (Shankar, 2007), dan Malaysia (Morosiuk, 1999).
a. Amerika Serikat
(Li, 2004) telah mengaplikasikan HDM-4 dengan menyesuaikannya dengan
beberapa ketentuan-ketentuan WSDOT (Washington State of Department
Transportation). Seperti, WSDOT menentukan retak dari jalan yang dilintasi roda
mengasumsikan luas jalan yang dilintasi roda adalah 50 persen dari total luas jalan.
Karena definisi WSDOT, ACA tidak pernah lebih besar dari 100 persen, ACA di
HDM-4 tidak pernah lebih besar dari 50 persen, sehingga:
SCA = ACAa
Dan rumus perkembangan retak menurut WSDOT yang telah disesuaikan dengan
HDM-4 menjadi:
(
)
+ −
=k ACAa ACAa
dACA cpa 0,28
1 28 , 0 2996 ,
0 (3.7)
Dimana:
ACAa = maksimal (ACA, 0.5)
dACA = perubahan bertahap dari ACA (%)
ACA = luas area retak pada saat mulainya retak(%)
Kcpa = factor kalibrasi untuk All cracking
b. India
Di India (Shankar, 2007) telah melakukan studi kasus pada beberapa jalan di
India, dengan memakai pemodelan perkembangan retak sebagai berikut:
(
)
× × + − × = t SCA SCA
CDS CRP k
dACA cpa A 0,45
1 45 , 0 45 , 0 84 ,
1 δ (3.8)
Dimana:
dACA = perubahan bertahap pada area retak
kcpa = faktor kalibrasi untuk retak progress
CRP = hambatan perkembangan retak karena adanya pemeliharaan
A t
SCA = minimum (ACAa, (100-ACAa)
ACAa = area retak pada tahun analisis
c. Malaysia
Di Malaysia (Morosiuk, 1999) model yang digunakan untuk memprediksi
perkembangan retak adalah sebagai berikut:
(
)
[
z t SCA SCA]
z k
dACA= cpa× a 0,3× a × a + 0,28 3,57 − (3.9)
Dimana:
dACA = perubahan bertahap pada area retak selama waktu t
t
a
a
ACAa = area retak pada saat mulainya tahun analisis (%) = fraksi tahun analisis
Kcpa = factor kalibrasi
SCA = minimum (ACAa, (100-ACAa)
Za = 1, jika ACA < 50 persen, demikian juga sebaliknya
Traffic-base models
Sama halnya dengan time-base models, traffic-base models juga memakai persamaan
yang sama tetapi variabel waktu mulainya retak (tci) disubstitusikan dengan jumlah
ESAL pada mulainya retak (NEci). Dan koefisien pemodelan (a0,a1) juga berbeda,
koefisien ini memakai structural number untuk menentukan nilai a0.
[
b b]
bci
it z zzabNE z z
CR =(1− )50+ . . . + 0.5 +(1− )50 1
Adapun
persamaan tersebut menjadi:
(3.10)
Dimana:
CRit
a
= Luas retak pada awal mulainya retak
NEci
z = 1, jika tci < t
= Jumlah ESAL pada mulainya retak (juta ESAL)
50
t
, demikian juga sebaliknya
50
Pertambahan luas retak pada pertambahan
= Waktu pada saat mencapai 50% luas area retak
A t
∆ adalah
[
]
itb b it
it zz zzab t SCR SCR
CR = ∆ + −
∆ . . . 1 (3.11)
Dimana:
it CR
∆ = Pertambahan luas retak selama pertambahan ∆tA
A t
∆ = Pertambahan jumlah ESAL (juta ESAL)
SCRit = Minimum (CRit , 100- CRit
zz = 1, jika CR
)
[image:54.595.122.506.431.550.2]it 50; demikian juga sebaliknya ≤
Tabel 3.5 Koefisien Pemodelan pada Traffic-base models
Type of pavement surface
Model Estimates
a0 a1
Asphalt Surfacing
Surface Treatments
3330 SN
1530 SN
-4.65
0.25
-2.51
0.25
Sumber: Paterson (1987)
III.3 Pemodelan Sugeng Wiyono
Sugeng Wiyono memprediksi mulainya retak dan perkembangannya menggunakan
suatu aplikasi model simulasi lalu lintas. Metode simulasi lalu lintas yang dipakai adalah
metode “cellular automata” yang didasarkan pada pendekatan individual kendaraan.
Dalam metode ini jalan dibagi dalam cel-cel, setiap lajur/lane terisi 2 cel. Panjang
kendaraan menggunanakan satuan cel/dt, sedangkan sifat-sifat lalulintas yang lain seperti
reaction time, agresivitas sopir, inspection, overtaking, avoiding crashes dan lain-lain
berdasarkan hasil study. Setiap kendaraan yang melalui titik pengamatan (Observation
Point/OP) akan dihitung ESA-nya berdasarkan rumus, selanjutnya ESA setiap kendaraan
tersebut akan diakumulasikan sebagai CESA. Dari simulasi secara empiris kerusakan jalan
khususnya keretakan perkerasan jalan lentur didapatkan :
Prediksi mulainya retak
Persamaan prediksi mulainya retak menurut studi Sugeng Wiyono hampir sama
dengan HDM-4 tetapi Sugeng Wiyono tidak memakai variabel cacat permukaan (CDS) dan
penghambat mulainya retak (CRT) serta memiliki nilai kalibrasi yang berbeda.
×
= 2
1 0
4 SNC
YE a e a K
ICX ICX (3.12)
Dimana:
ICX = waktu mulai terjadinya retak,
YE4 = ESA per tahun,
SNC = nilai struktur perkerasan,
KICX
a
= faktor mulai terjadinya retak,
0, a1
Tabel 3.6 Nilai Parameter Mulainya Retak
Tipe Perkerasan
a0 a1 Kicx
Hasil Studi Paterson (1987) Hasil Studi Paterson (1987) Hasil Studi Paterson (1987) Asphalt Mix on
Asphalt Pavement
(AMAP)
9.48 8.61 -25.8 -24.4 0.75 to 2 0.5 to 2.5
Asphalt Mix on Stabilisation Base (AMSB)
9.17 8.61 -25.1 -24.4 0.43 0.5 to 1.3
Asphalt Mix on Granular Base
(AMGB)
8.8 8.61 -24.8 -24.4 0.49 -
Sumber: Wiyono (2005)
Prediksi perkembangan retak
Demikian juga prediksi perkembangan retak studi Sugeng Wiyono sama dengan
HDM-4 yang berdasarkan traffic-base models. Tetapi pada faktor kalibrasi memiliki nilai
yang berbeda.
( )
[
1( )
1]
11
1
0 0.5 1 50
50
1 a a a
ci
t z z za a NE z z
CRX = − + + + − ( 3.13)
Dimana:
CRXt = bertambahnya luasan retak pada waktu t,
TCI = waktu sejak terjadinya retak,dalam tahun
NEci = jumlah ESA sejak mulai terjadinya retak
z = 1, jika TCI < t50