TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN SERTA STATUS GIZI PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID RAWAT INAP
RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA MEDAN
TAHUN 2011
SKRIPSI
OLEH :
NIM : 071000278
HENDRIK MANGASI TUA SIREGAR
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN SERTA STATUS GIZI PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID RAWAT INAP
RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA MEDAN
TAHUN 2011
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
OLEH :
NIM : 071000278
HENDRIK MANGASI TUA SIREGAR
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi dengan Judul :
TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN SERTA STATUS GIZI PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID RAWAT INAP
RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA MEDAN
TAHUN 2011
Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh :
NIM : 071000278
HENDRIK MANGASI TUA SIREGAR
Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 20 Desember 2011 dan
Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji
Ketua penguji
NIP. 19700212 199501 2 001 Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes
Penguji II
NIP. 19580315 198811 2 001 Dra. Jumirah, Apt, M.Kes
Penguji III
NIP. 19620529 198903 2 001 Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes
Medan, Januari 2012 Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara Dekan,
ABSTRAK
Kasus (penderita) skizofrenia paranoid merupakan kelompok terbesar (90%) gangguan jiwa di rumah sakit jiwa. Penatalaksanaan gizi merupakan tolak ukur pendukung tidak langsung yang sangat membantu penderita gangguan jiwa dalam mempertahankan fungsi optimal dan rasa sehat, sehingga memudahkan dalam terapi kejiwaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kecukupan energi dan protein serta status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2011.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien skizofrenia paranoid yang rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara pada bulan Juli 2011 yaitu 178 pasien, dan dijadikan sampel sebanyak 60 orang. Data jumlah konsumsi makanan diperoleh melalui metode penimbangan makanan dengan cara menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi selama satu hari. Status gizi dilihat dari hasil pengukuran berat badan yang menggunakan timbangan injak dan tinggi badan dengan menggunakan mikrotois. Data yang sudah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
Hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar pasien memiliki tingkat kecukupan energi (41,7%) dan protein (61,7%) kategori sedang. Namun masih ada tingkat kecukupan energi (28,3%) dan protein (15,0%) kategori kurang. Status gizi pasien skizofrenia paranoid sebagian besar pada kategori normal (78,3%). Namun masih ada diperoleh pasien dengan status gizi kurus (18,4%).
Disarankan bagi petugas rumah sakit yang bertugas mendistribusikan makanan kepada pasien supaya melakukan pendistribusian makanan setiap hari sesuai dengan angka kecukupan gizi pasien terutama kecukupan gizi berdasarkan jenis kelamin. Dimana angka kecukupan gizi pasien pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan.
ABSTRACT
Paranoid Schizophrenia disorder is the biggest group (90%) of mental problem found in mental hospital. Nutrient management is as an indirect supporting parameter and it is so useful to assist those mental sufferers in maintaining the optimum function and healthy feeling to facilitate the therapy. The objective of this research was to know sufficient energy protein and nutrient status of in-patient schizophrenia in Mental Hospital of North Sumatera province 2011.
This was descriptive research with cross sectional. The population was all paranoid schizophrenia patients in Mental Hospital of North Sumatera province on July 2011 for 178 patients and it was taken as the sample for 60 persons. The data on amount of food consumption was taken from food weighing method by noting and weighing all foods consumed for one day. Nutrient status can be seen from weight weighing using the weight tool using mikrotois. The collected data were analyzed descriptively and it was presented in frequency distribution table.
The results of research showed that some patients had sufficient energy (41,7%) and protein (61,7%) and it was categorized medium. However, some were with low nutrient, that is energy (28,35) and protein (15,0%). Nutrient status of paranoid schizophrenia were mostly categorized normal (78,3%). There were still with low nutrient status (18,4%).
It is suggested for the hospital officers to distribute the food for the patients in accordance with nutrient sufficiency based on the gender. Nutrient sufficiency for male was higher than female.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Hendrik Mangasi Tua Siregar
Tempat / Tanggal Lahir : Medan, 12 Juni 1972
Agama : Kristen Protestan
Status Perkawinan : Kawin
Alamat : Jln. Kopra I No. 24 P. Simalingkar
Riwayat Pendidikan
1. SD RK Makmur Medan : Tahun 1979-1985
2. SMP RK Makmur Medan : Tahun 1985-1988
3. SMA Sampali Medan : Tahun 1988-1991
4. SPAG Lubuk Pakam : Tahun 1991-1992
5. D-III Gizi Lubuk Pakam : Tahun 2000-2003
6. FKM USU Medan : Tahun 2007-2011
Riwayat Pekerjaan
1. Tahun 1996-sekarang : Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Rumah Sakit Jiwa Daerah
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan RahmatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa apa yang disajikan dalam skripsi masih terdapat kekurangan. Oleh
sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritikan yang sifatnya membangun yang
bermanfaat bagi skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah “Tingkat Kecukupan
Energi dan Protein serta Status Gizi Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan Tahun 2011”.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada
Ernawati Nasution, SKM., MKes selaku dosen pembimbing I dan Ferry, S.H., S.Si.,
AMG., DC.Nutri., M.Kes selaku dosen pembimbing II, yang telah banyak
meluangkan waktu dan pikiranya dalam memberikan petunjuk, saran dan bimbingan
kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak. Untuk itu, penulis dengan rasa hormat menyampaikan terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si selaku Ketua Departemen Gizi
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
3. Seluruh dosen dan pegawai administrasi di Fakultas Kesehatan Masyarakat
Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang
telah banyak memberikan masukan dan motivasi serta membantu dalam segala
urusan administrasi.
4. Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan, yang telah
memberikan dukungan dan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian
sehingga penelitian dapat selesai dengan baik.
5. Kepada istriku yang telah banyak memberikan dukungan moril selama penulis
mengikuti dan menyelesaikan perkuliahan ini dan buat anak-anakku tersayang
yang selalu memberikan keceriaan di rumah dan memberikan semangat dalam
menyelesaikan studi ini.
6. Sahabat-sahabatku di FKM USU terutama di Departemen Gizi Kesehatan
Masyarakat yang selalu mendukungku, sehingga menambah semangat bagi saya
dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya pada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah banyak memberikan bantuan dan dorongan semangat. Semoga Tuhan
Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memenuhi kehidupan Bapak, Ibu, dan
teman-teman sekalian. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
Medan, Januari 2012 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan
Abstrak ...
Abstract ...
Daftar Riwayat Hidup ... Kata Pengantar ... 2.1.1. Tingkat Kecukupan Energi ... 2.1.2. Tingkat Kecukupan Protein ... 2.1.3. Tingkat Kecukupan Karbohidrat ... 2.1.4. Tingkat Kecukupan Lemak ... 2.2. Tingkat Kecukupan Gizi yang Dianjurkan ... 2.3. Status Gizi ... 2.3.1. Pengertian Status Gizi ... 2.3.2. Penilaian Status Gizi ... 2.3.3. Masalah Gizi ... 2.4. Skizofrenia ...
2.4.1. Etiologi Skizofrenia ... 2.4.2. Kriteria Diagnostik Skizofrenia ... 2.4.3. Tipe-tipe Skizofrenia ... 2.4.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis ... 2.4.5. Prognosis ... 2.5. Konsumsi Pangan Penderita Skizofrenia ... 2.6. Kerangka Konsep Penelitian ...
BAB III METODE PENELITIAN
3.3. Populasi dan Sampel ... 3.4. Definisi Operasional ... 3.5. Aspek pengukuran ... 3.7 Pengolahan dan Analisis Data ...
3.7.1. Pengolahan Data ... 3.7.2. Analisis Data ...
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 4.2. Karakteristik Responden ...
4.3. Tingkat Kecukupan Energi dan Protein ...
4.3.1. Tingkat Kecukupan Energi ... 4.3.1. Tingkat Kecukupan Protein ... 4.4. Status Gizi ... 4.5. Status Gizi Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein ... 4.5.1. Status Gizi Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi ... 4.5.2. Status Gizi Berdasarkan Tingkat Kecukupan Protein ...
BAB V PEMBAHASAN
5.1. Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Pasien Skizofrenia Paranoid ... 5.2. Status Gizi Pasien Skizofrenia Paranoid ...
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan ... 6.2. Saran ...
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Kategori Ambang Batas IMT Untuk Indonesia ...
Tabel 4.1 Standar Gizi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara ...
Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 ...
Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 ...
Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kecukupan Protein di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 ...
Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi dengan Menggunakan Indikator Indeks Massa Tubuh di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 ...
Tabel 4.6. Distribusi Status Gizi Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 ...
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian ...
ABSTRAK
Kasus (penderita) skizofrenia paranoid merupakan kelompok terbesar (90%) gangguan jiwa di rumah sakit jiwa. Penatalaksanaan gizi merupakan tolak ukur pendukung tidak langsung yang sangat membantu penderita gangguan jiwa dalam mempertahankan fungsi optimal dan rasa sehat, sehingga memudahkan dalam terapi kejiwaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kecukupan energi dan protein serta status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2011.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien skizofrenia paranoid yang rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara pada bulan Juli 2011 yaitu 178 pasien, dan dijadikan sampel sebanyak 60 orang. Data jumlah konsumsi makanan diperoleh melalui metode penimbangan makanan dengan cara menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi selama satu hari. Status gizi dilihat dari hasil pengukuran berat badan yang menggunakan timbangan injak dan tinggi badan dengan menggunakan mikrotois. Data yang sudah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
Hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar pasien memiliki tingkat kecukupan energi (41,7%) dan protein (61,7%) kategori sedang. Namun masih ada tingkat kecukupan energi (28,3%) dan protein (15,0%) kategori kurang. Status gizi pasien skizofrenia paranoid sebagian besar pada kategori normal (78,3%). Namun masih ada diperoleh pasien dengan status gizi kurus (18,4%).
Disarankan bagi petugas rumah sakit yang bertugas mendistribusikan makanan kepada pasien supaya melakukan pendistribusian makanan setiap hari sesuai dengan angka kecukupan gizi pasien terutama kecukupan gizi berdasarkan jenis kelamin. Dimana angka kecukupan gizi pasien pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan.
ABSTRACT
Paranoid Schizophrenia disorder is the biggest group (90%) of mental problem found in mental hospital. Nutrient management is as an indirect supporting parameter and it is so useful to assist those mental sufferers in maintaining the optimum function and healthy feeling to facilitate the therapy. The objective of this research was to know sufficient energy protein and nutrient status of in-patient schizophrenia in Mental Hospital of North Sumatera province 2011.
This was descriptive research with cross sectional. The population was all paranoid schizophrenia patients in Mental Hospital of North Sumatera province on July 2011 for 178 patients and it was taken as the sample for 60 persons. The data on amount of food consumption was taken from food weighing method by noting and weighing all foods consumed for one day. Nutrient status can be seen from weight weighing using the weight tool using mikrotois. The collected data were analyzed descriptively and it was presented in frequency distribution table.
The results of research showed that some patients had sufficient energy (41,7%) and protein (61,7%) and it was categorized medium. However, some were with low nutrient, that is energy (28,35) and protein (15,0%). Nutrient status of paranoid schizophrenia were mostly categorized normal (78,3%). There were still with low nutrient status (18,4%).
It is suggested for the hospital officers to distribute the food for the patients in accordance with nutrient sufficiency based on the gender. Nutrient sufficiency for male was higher than female.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Skizofrenia merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya
kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku dimana individu tidak mampu
menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan.
Pengertian seseorang tentang penyakit skizofrenia berasal dari apa yang diyakini
sebagai faktor penyebabnya yang berhubungan dengan biopsikososial (Stuart &
Sundeen, 1998). Angka penderita skizofrenia di Indonesia cukup memprihatinkan.
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT), tahun 1995
ditemukan 185 per 1000 penduduk dewasa menunjukan adanya masalah kesehatan
jiwa. Angka perbandingan ini jauh melebihi batas yang ditetapkan WHO, yaitu 1 - 3
per 1000 penduduk (Hasanat, dkk, 2004).
Skizofrenia merupakan salah satu masalah kesehatan jiwa yang serius,
ditandai dengan kehilangan kontak pada kenyataan (psikosis), halusinasi, khayalan
(kepercayaan yang salah), pikiran yang abnormal dan mengganggu kerja dan fungsi
sosial. Prevalensi penderita skizofrenia pada tahun 2006 di Amerika Serikat
dilaporkan bervariasi antara 1 sampai 1,5% (Luana, 2007). Sementara prevalensi
penderita skizofrenia di Indonesia pada tahun 2006 adalah 0,3 sampai 1% dan
biasanya timbul pada usia sekitar 18 sampai 45 tahun. Apabila penduduk Indonesia
sekitar 200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 2 juta jiwa menderita skizofrenia
Kasus skizofrenia paranoid adalah kelompok terbesar (90%) dari penderita
skizofrenia di rumah sakit jiwa. Penatalaksanaan gizi dalam gejala masalah mental
dan neurologi jarang dilakukan. Mengingat hampir semua penyakit tersebut
merupakan penyakit jangka panjang, maka penatalaksanaan gizi merupakan tolak
ukur pendukung tidak langsung yang sangat membantu penderita dalam
mempertahankan fungsi optimal dan rasa sehat, sehingga memudahkan dalam terapi
kejiwaan. Kebutuhan zat gizi seperti energi, protein, lemak dan lainnya dalam kondisi
stres fisik maupun psikologis seperti depresi, dan masalah emosi lainnya akan
meningkat (Stewart, 2007).
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu
pusat pelayanan bagi pasien penderita skizofrenia yang memiliki jumlah pasien
penderita skizofrenia paling banyak di Kota Medan. Dari hasil survei awal diketahui
bahwa jumlah penderita skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera
Utara terus mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata jumlah
pasien penderita skizofrenia yang dirawat setiap bulannya selama tahun 2009 yaitu
sebanyak 260 pasien, sementara pada tahun 2010 rata-rata jumlah pasien naik
menjadi 460 pasien, dan sebagian besar pasien (70%) berasal dari golongan miskin.
Pada umumnya pasien skrizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Provinsi Sumatera Utara hanya mendapatkan makanan yang disediakan dari rumah
sakit dan jarang mendapatkan makanan tambahan dari keluarga yang
skizofrenia di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor diketahui bahwa pada
umumnya tingkat kecukupan energi penderita skizofrenia ada pada kategori normal,
sementara tingkat kecukupan protein ada pada kategori defisit berat, dan secara
keseluruhan status gizi pasien penderita skizofrenia umumnya berada pada kategori
kurus 24%, normal 68%, dan gemuk 8%. Sementara hasil survei Wasingun (1998)
dalam Eka (2009), tentang pengukuran status gizi dengan menggunakan metode
indeks masa tubuh diperoleh bahwa 40% penderita skizofrenia yang dirawat inap di
RSJ Prof. dr. Soeroyo Magelang menderita kurang energi kronis (IMT kurang dari
18,5). Menurut Almatsier, (2005), status gizi kurang atau yang lebih sering disebut
undernutrition merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk
lebih sedikit dari energi yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi
yang masuk lebih sedikit dari anjuran kebutuhan individu.
Berdasarkan latar belakang di atas dan mengacu kepada penelitian di daerah
lain pada pasien skizofrenia paranoid, sehingga penulis tertarik untuk meneliti tingkat
kecukupan energi dan protein serta status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap
di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Medan tahun 2011.
1.2. Perumusan Masalah
Bagaimana tingkat kecukupan energi dan protein serta status gizi pasien
Skizofrenia paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Pemerintah Provinsi
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat kecukupan energi dan protein serta status gizi
pasien Skizofrenia paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Sumatera Utara tahun 2011.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui tingkat kecukupan energi dan protein pasien Skizofrenia
paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun
2011.
2. Untuk mengetahui status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap Rumah
Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2011.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi instalasi gizi Rumah
Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tentang tingkat kecukupan energi dan
protein serta status gizi pasien, sehingga dapat menyesuaikan hidangan sesuai dengan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kecukupan Gizi
Perbandingan antara konsumsi zat gizi (energi dan protein) dengan keadaan
gizi seseorang biasanya dilakukan perbandingan pencapaian konsumsi zat gizi
individu tersebut berdasarkan angka kecukupan gizi (AKG) (Supariasa, dkk., 2002).
2.1.1. Tingkat Kecukupan Energi
Energi merupakan asupan utama yang sangat diperlukan oleh tubuh.
Kebutuhan energi yang tidak tercukupi dapat menyebabkan protein, vitamin, dan
mineral tidak dapat digunakan secara efektif. Untuk beberapa fungsi metabolisme
tubuh, kebutuhan energi dipengaruhi oleh BMR (Basal Metabolic Rate), kecepatan
pertumbuhan, komposisi tubuh dan aktivitas fisik. Energi yang diperlukan oleh tubuh
berasal dari energi kimia yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi. Energi
diukur dalam satuan kalori. Energi yang berasal dari protein menghasilkan 4
kkal/gram, lemak 9 kkal/gram, dan karbohidrat 4 kkal/ gram (Baliwati, 2004).
Hasil penelitian Salmawati (2006) pada pasien penderita skizofrenia di Rumah
Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor diketahui bahwa pada umumnya tingkat
kecukupan energi penderita skizofrenia ada pada kategori normal, sementara tingkat
kecukupan protein ada pada kategori defisit berat, dan secara keseluruhan status gizi
pasien penderita skizofrenia umumnya berada pada kategori kurus 24%, normal 68%,
dan gemuk 8%. Standar tingkat kecukupan energi yang digunakan di Rumah Sakit
Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara mengacu kepada Direktorat Kes. Jiwa Depkes,
2.1.2. Tingkat Kecukupan Protein
Protein merupakan zat gizi yang paling banyak terdapat dalam tubuh. Fungsi
utama protein adalah membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Fungsi
lain dari protein adalah menyediakan asam amino yang diperlukan untuk membentuk
enzim pencernaan dan metabolisme, mengatur keseimbangan air, dan
mempertahankan kenetralan asam basa tubuh (Almatsier, 2005).
Sumber makanan yang paling banyak mengandung protein berasal dari bahan
makanan hewani, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sedangkan
sumber protein nabati berasal dari tempe, tahu, dan kacang-kacangan. Catatan Biro
Pusat Statistik (BPS) pada tahun 1999, menunjukkan secara nasional konsumsi
protein sehari rata-rata penduduk Indonesia adalah 48,7 gram sehari. Anjuran asupan
protein berkisar antara 10 – 15% dari total energi (Almatsier, 2005). Standar tingkat
kecukupan protein yang digunakan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera
Utara mengacu kepada Direktorat Kes. Jiwa Depkes, R.I., tahun 1986, yaitu 60 gr.
2.1.3. Tingkat Kecukupan Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi kehidupan manusia yang
dapat diperoleh dari alam, sehingga harganya pun relatif murah (Djunaedi, 2001).
Sumber karbohidrat berasal dari padi-padian atau serealia, umbi-umbian,
kacangkacangan dan gula. Sumber karbohidrat yang paling banyak dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia sebagai makanan pokok adalah beras, singkong, ubi, jagung,
talas, dan sagu. Karbohidrat menghasilkan 4 kkal / gram. Angka kecukupan
55-75% konsumsi energi total berasal dari karbohidrat kompleks. Karbohidrat yang
tidak mencukupi di dalam tubuh akan digantikan dengan protein untuk memenuhi
kecukupan energi. Apabila karbohidrat tercukupi, maka protein akan tetap berfungsi
sebagai zat pembangun
2.1.4. Tingkat Kecukupan Lemak
Lemak merupakan cadangan energi di dalam tubuh. Lemak terdiri dari
trigliserida, fosfolipid, dan sterol, dimana ketiga jenis ini memiliki fungsi terhadap
kesehataan tubuh manusia. Konsumsi lemak paling sedikit adalah 10% dari total
energi. Lemak menghasilkan 9 kkal/ gram. Lemak relatif lebih lama dalam sistem
pencernaan tubuh manusia. Jika seseorang mengonsumsi lemak secara berlebihan,
maka akan mengurangi konsumsi makanan lain. Berdasarkan PUGS, anjuran
konsumsi lemak tidak melebihi 25% dari total energi dalam makanan sehari-hari.
Sumber utama lemak adalah minyak tumbuh-tumbuhan, seperti minyak kelapa,
kelapa sawit, kacang tanah, jagung, dan sebagainya. Sumber lemak utama lainnya
berasal dari mentega, margarin, dan lemak hewan (Almatsier, 2005).
2.2. Tingkat Kecukupan Gizi yang Dianjurkan
Angka kecukupan gizi yang dianjurkan merupakan suatu ukuran kecukupan
rata-rata zat gizi setiap hari untuk semua orang yang disesuaikan dengan golongan
umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh untuk mencapai tingkat kesehatan
yang optimal dan mencegah terjadinya defisiensi zat gizi (Depkes, 2005). Angka
pangan yang seimbang yang disesuaikan dengan pengeluaran energi pada kelompok
umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas fisik. Angka Kecukupan Protein
(AKP) merupakan rata-rata konsumsi protein untuk menyeimbangkan protein agar
tercapai semua populasi orang sehat disesuaikan dengan kelompok umur, jenis
kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas fisik. Kecukupan karbohidrat sesuai dengan pola
pangan yang baik berkisar antara 50-65% total energi, sedangkan kecukupan lemak
berkisar antara 20-30% total energi (Hardinsyah dan Tambunan, 2004).
Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan bagi Bangsa Indonesia (per
orang per hari) dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Angka Kecukupan Gizi Rata-rata yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia (Per Orang Per Hari)
No. Umur Energi (kkal) Protein (gr)
2.3. Status Gizi
Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat
dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh.
Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi
lebih. Status gizi normal merupakan suatu ukuran status gizi dimana terdapat
keseimbangan antara jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh dan energi yang
dikeluarkan dari luar tubuh sesuai dengan kebutuhan individu. Energi yang masuk ke
dalam tubuh dapat berasal dari karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi lainnya. Status
gizi normal merupakan keadaan yang sangat diinginkan oleh semua orang (Almatsier,
2005).
Status gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition merupakan
keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari energi
yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi yang masuk lebih sedikit
dari anjuran kebutuhan individu. Status gizi lebih (overnutrition) merupakan keadaan
gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari
jumlah energi yang dikeluarkan. Hal ini terjadi karena jumlah energi yang masuk
melebihi kecukupan energi yang dianjurkan untuk seseorang, akhirnya kelebihan zat
gizi disimpan dalam bentuk lemak yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi
gemuk (Almatsier, 2005).
Hasil survei Wasingun (1998) dalam Eka (2009), tentang pengukuran status
skizofrenia yang dirawat inap di RSJ Prof. dr. Soeroyo Magelang menderita kurang
energi kronis (IMT kurang dari 18,5).
2.3.1. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi merupakan penjelasan yang berasal dari data yang
diperoleh dengan menggunakan berbagai macam cara untuk menemukan suatu
populasi atau individu yang memiliki risiko status gizi kurang maupun gizi lebih.
Antropometri merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang berhubungan
dengan ukuran tubuh yang disesuaikan dengan umur dan tingkat gizi seseorang. Pada
umumnya antropometri mengukur dimensi tubuh dan komposisi tubuh seseorang.
Metode antropometri sangat berguna untuk melihat ketidakseimbangan energi dan
protein. Akan tetapi, antropometri tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi
zat-zat gizi yang spesifik (Supariasa, 2002).
Indeks antropometri adalah pengukuran dari beberapa parameter. Indeks
antropometri bisa merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap satu atau lebih
pengukuran atau yang dihubungkan dengan umur dan tingkat gizi. Salah satu contoh
dari indeks antropometri adalah Indeks Massa Tubuh (IMT) atau yang disebut dengan
Body Mass Index (Supariasa, 2002).
IMT merupakan alat sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa
khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka
mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia
harapan hidup yang lebih panjang. IMT hanya dapat digunakan untuk orang dewasa
IMT =
Dua parameter yang berkaitan dengan pengukuran Indeks Massa Tubuh terdiri
dari (Supariasa, 2002):
1. Berat Badan
Berat badan merupakan salah satu parameter massa tubuh yang paling sering
digunakan dan dapat mencerminkan jumlah dari beberapa zat gizi seperti protein,
lemak, air, dan mineral. Untuk mengukur Indeks Massa Tubuh, berat badan
dihubungkan dengan tinggi badan.
2. Tinggi Badan
Tinggi badan merupakan parameter ukuran panjang dan dapat merefleksikan
pertumbuhan skeletal (tulang).
Indeks Massa Tubuh diukur dengan cara membagi berat badan dalam satuan
kilogram dengan tinggi badan satuan meter kuadrat (Supariasa, 2002).
Berat badan (kg)
Tinggi badan (m) x tinggi badan (m)
Untuk mengetahui status gizi seseorang maka ada kategori ambang batas IMT
yang digunakan, seperti yang terlihat pada tabel 2.1. yang merupakan ambang batas
IMT untuk Indonesia.
Tabel 2.1. Kategori Ambang Batas IMT Untuk Indonesia
Kategori IMT (kg/m2)
Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,1-18,4
Normal 18,5-25,0
Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1-27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat ≥ 27,1
2.3.2. Masalah Gizi 1. Masalah Gizi Kurang
Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi
baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang
digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan
otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin.
Gizi kurang merupakan suatu keadaan yang terjadi akibat tidak terpenuhinya asupan
makanan. Gizi kurang dapat terjadi karena seseorang mengalami kekurangan salah
satu zat gizi atau lebih di dalam tubuh (Almatsier, 2005).
Akibat yang terjadi apabila kekurangan gizi antara lain menurunnya
kekebalan tubuh (mudah terkena penyakit infeksi), terjadinya masalah dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan, kekurangan energi yang dapat menurunkan
produktivitas tenaga kerja, dan sulitnya seseorang dalam menerima pendidikan dan
pengetahuan mengenai gizi (Sediaoetama, 2008).
Gizi kurang merupakan salah satu masalah gizi yang banyak dihadapi oleh
negara-negara yang sedang berkembang. Hal ini dapat terjadi karena tingkat
pendidikan yang rendah, pengetahuan yang kurang mengenai gizi dan perilaku belum
sadar akan status gizi. Contoh masalah kekurangan gizi, antara lain KEP (Kekurangan
Energi Protein), GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium), Anemia Gizi Besi
2. Masalah Gizi Lebih
Status gizi lebih merupakan keadaan tubuh seseorang yang mengalami
kelebihan berat badan, yang terjadi karena kelebihan jumlah asupan energi yang
disimpan dalam bentuk cadangan berupa lemak. Ada yang menyebutkan bahwa
masalah gizi lebih identik dengan kegemukan. Kegemukan dapat menimbulkan
dampak yang sangat berbahaya yaitu dengan munculnya penyakit degeneratif, seperti
diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan ginjal dan masih
banyak lagi (Sediaoetama, 2008).
Masalah gizi lebih ada dua jenis yaitu overweight dan obesitas. Batas IMT
untuk dikategorikan overweight adalah antara 25,1 – 27,0 kg/m2, sedangkan obesitas
adalah ≥ 27,0 kg/m2. Kegemukan (obesitas) dapat terjadi mulai dari masa bayi,
anak-anak, sampai pada usia dewasa. Kegemukan pada masa bayi terjadi karena adanya
penimbunan lemak selama dua tahun pertama kehidupan bayi. Bayi yang menderita
kegemukan maka ketika menjadi dewasa akan mengalami kegemukan pula.
Kegemukan pada masa anak-anak terjadi sejak anak tersebut berumur dua tahun
sampai menginjak usia remaja dan secara bertahap akan terus mengalami kegemukan
sampai usia dewasa. Kegemukan pada usia dewasa terjadi karena seseorang telah
mengalami kegemukan dari masa anak-anak (Soerjodibroto, 1993).
2.4. Skizofrenia
Menurut Morel (dalam Coleman, dkk, 1980) menggunakan istilah demence
precoce atau gangguan mental dini untuk melukiskan bentuk psikosis tertentu yang
kasus yang terjadi pada seorang pemuda yang ditandai adanya kemunduran/
keruntuhan fungsi intelek yang gawat sekali. Berikutnya Kraeplin (dalam Coleman,
dkk, 1980) mensistematiskan istilah tersebut menjadi dementia praecox yang
merupakan kamerosotan otak (dementia) yang diderita oleh orang muda (praecox)
yang pada akhirnya dapat menyebabkan kekaburan keseluruhan kepribadian.
Kraeplin percaya bahwa halusinasi, delusi dan tingkah laku yang aneh pada penderita
skizofrenia dapat dikatakan sebagai kelainan fisik atau suatu penyakit. Pada akhirnya
Eugen Bleuler (dalam Coleman, dkk, 1980) memperkenalkan istilah skizofrenia atau
.jiwa yang terbelah., sebab gangguan ini ditandai dengan disorganisasi proses
berpikir, rusaknya koherensi antara pikiran dan perasaan, serta berorientasi diri
kedalam dan menjauh dari realitas yang intinya terjadi perpecahan antara intelek dan
emosi.
Sesuai dengan perkembangannya pengertian skozofrenia semakin meluas,
seperti yang diberikan oleh Kaplan dan Sadock (1994) bahwa skozofrenia adalah
sebagai suatu gangguan dengan etiologi tidak diketahui yang ditandai oleh gejala
psikotik yang secara berarti mengganggu fungsi dan menyangkut gangguan dalam
perasaan, berpikir dan berperilaku. Gangguan ini kronik dan umumnya memiliki fase
prodromal, fase aktif dengan delusi, halusinasi atau keduanya dan suatu fase residual
dimana gangguan itu mungkin dalam keadaan remisi.
Halgin dan Whitbourne (1995) menyatakan skizofrenia merupakan gangguan
akibat suatu rangkaian simptom seperti gangguan dalam isi pikiran, bentuk pikiran,
persepsi, afeksi, kepekaan diri, motivasi, tingkah laku dan fungsi interpersonal.
peristiwa regresi atau penarikan diri yang narsistik akibat kelemahan struktur ego
karena faktor psikogen atau somatik. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh
Cameron dan Rychlak (1985) yaitu gangguan skizofrenia adalah usaha regresi untuk
melarikan tension dan kecemasan dengan cara mengabaikan hubungan realitas objek
interpersonal dan membentuk delusi dan halusinasi. Defenisi yang lebih rinci
mengenai skizofrenia bersumber dari Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa Indonesia (PPDGJ-III) yang mengemukakan bahwa gangguan
skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan gangguan dasar pada
kepribadian, terjadi distorsi khas proses pikir, kadangkadang mempunyai perasaan
bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, paham yang
kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, efek abnormal yang tidak terpadu dengan
situasi nyata/sebenarnya dan autisme.
2.4.1. Etiologi Skizofrenia
Skizofrenia merupakan gangguan yang tidak ditimbulkan oleh satu factor saja,
setiap subtipe mempunyai sebab-sebab sendiri. Davidoff (1991) mengulas beberapa
penemuan yang menonjol mengenai penyebab gangguan skizofrenia.
a. Keterlibatan faktor keturunan
Secara umum dapat dikatakan semakin dekat hubungan genetiknya dengan
pasien, maka semakin besar pula kemungkinannya untuk menderita gangguan
tersebut. Hal ini sering disebut concordant, yaitu anak kembar dari satu telur
mempunyai kemungkinan tiga sampai enam kali lebih besar untuk sama-sama
b. Faktor lingkungan
Beberapa penelitian menyatakan bahwa ibu yang terlalu melindungi,
hubungan perkawinan orang tua yang kurang sehat, kesalahan dalam pola komunikasi
diantara anggota keluarga dapat menimbulkan skizofrenia. Skizofrenia tidak diduga
sebagai suatu penyakit tunggal tetapi sebagai sekelompok penyakit dengan ciri-ciri
klinik umum.
c. Teori biologik dan genetik
Penelitian keluarga (termasuk penelitian kembar dan adopsi) sangat
mendukung teori bahwa faktor genetik peran penting dalam transmisi skizofrenia atau
paling tidak memberi suatu sifat kerawanan dan juga dapat menjadi penyebab
peningkatan insidens dari sindrom mirip-mirip skizofrenia (gangguan kepribadian
skizoafektif, skizotipik dan lainnya) yang terjadi dalam keluarga.
d. Hipotesis neurotransmitter
Penelitian terakhir memperlihatkan adanya kelebihan reseptor dopaminergik
dalam susunan syaraf pusat (SSP) penderita skizofrenik. Pada hakekatnya neuroleptik
diduga efektif karena kemampuannya memblokir reseptor dopaminergik. Penelitian
mengenai skizofrenik yang tidak di obati juga mengungkapkan suatu kelebihan dari
reseptor dopaminergik yang secara langsung berlawanan dengan teori bahwa temuan
ini berhubungan dengan pemberian neuroleptik.
e. Pencetus psikososial
Stressor sosiolingkungan sering menyebabkan timbulnya serangan awal dan
kekambuhan skizofrenia serta dapat diduga sebagai suatu terobosan kekuatan
pengendalian. Tiga tindakan emosi yang dinyatakan (EE) di lingkungan rumah:
komentar kritis, permusuhan dan keterlibatan emosional yang berlebihan terbukti
menyebabkan peningkatan angka kekambuhan skizofrenia.
Etiologi atau penyebab skizofrenia yang lebih rinci dijelaskan oleh Kaplan
dan Sadock (1997) sebagai berikut:
a. Model diatesis-stress
Suatu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan
lingkungan adalah model diatesis-stress. Model ini merumuskan bahwa seseorang
mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh suatu
pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress akan memungkinkan perkembangan
gejala skizofrenia.
b. Faktor biologis
Semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofiologis untuk
daerah tertentu di otak termasuk sistem limbik, korteks frontalis dan ganglia basalis.
Ketiga daerah tersebut saling berhubungan sehingga disfungsi pada salah satu daerah
tersebut mungkin melibatkan patologi primer di daerah lainnya sehingga menjadi
suatu tempat potensial untuk patologi primer pasien skizofrenik.
c. Genetika
Penelitian klasik awal tentang genetika dari skizofrenia dilakukan di tahun
1930-an yang menemukan bahwa seseorang kemungkinan menderita skizofrenia jika
anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia adalah berhubungan dengan
d. Faktor psikososial
Klinisi harus mempertimbangkan faktor psikologis yang dapat mempengaruhi
skizofrenia karena para ahli telah membuktikan bahwa terapi obat saja tidak cukup
untuk mendapatkan perbaikan klinis yang maksimal. Secara historis telah
diperdebatkan bahwa suatu faktor psikososial secara langsung dan secara kausatif
berhubungan dengan perkembangan skizofrenia.
2.4.2. Kriteria Diagnostik Skizofrenia
Kriteria diagnostik skizofrenia yang dikemukakan oleh Halgin dan
Whithbourne (1995) adalah sebagai berikut:
a. Gangguan pada isi pikiran
Delusi atau kepercayaan salah yang mendalam merupakan gangguan pikiran
yang paling umum dan sering dihubungkan dengan skizofrenia. Delusi ini mencakup
delusi rujukan, penyiksaan, kebesaran, cinta, kesalahan diri, kontrol, nihil atau dosa
dan pengkhianatan. Delusi lain berkenan dengan kepercayaan irasional mengenai
suatu proses berpikir, seperti percaya bahwa pikiran bisa disiarkan, dimasuki yang
lain atau hilang dari alam pikirannya karena paksaan dari orang lain atau objek dari
luar. Delusi somatik meliputi kepercayaan yang salah dan aneh tentang kerja tubuh,
misalnya pasien skizofrenia menganggap bahwa otaknya sudah dimakan rayap.
b. Gangguan pada bentuk pikiran, bahasa dan komunikasi
Proses berpikir dari pasien skizofrenia dapat menjadi tidak terorganisasi dan
tidak berfungsi, kemampuan berpikir mereka menjadi kehilangan kohesivitas dan
logika, cara mereka mengekspresikan ide dalam pikiran dan bahasa dapat menjadi
penderita gangguan pikiran. Contoh umum gangguan berpikir adalah inkoheren,
kehilangan asosiasi, neologisme, blocking dan pemakaian kata-kata yang salah.
c. Gangguan persepsi halusinasi
Halusinasi adalah salah satu simpton skizofrenia yang merupakan kesalahan
dalam persepsi yang melibatkan kelima alat indera kita, walaupun halusinasi tidak
begitu terikat pada stimulus yang di luar tetapi kelihatan begitu nyata bagi pasien
skizofrenia. Halusinasi tidak berada dalam control individu, tetapi terjadi begitu
spontan walaupun individu mencoba untuk menghalanginya.
d. Gangguan afeksi (perasaan)
Pasien skizofrenia selalu mengekspresikan emosinya secara abnormal
dibandingkan dengan orang lain. Secara umum, perasaan itu konsisten dengan
keadaan emosi, tetapi reaksi yang ditampilkan tidak sesuai dengan perasaannya.
e. Gangguan psikomotor
Pasien skizofrenia kadang akan berjalan dengan aneh dan cara yang
berantakan, memakai pakaian aneh atau membuat mimik yang aneh atau pasien
skizofrenia akan memperlihatkan gangguan katatonik stupor (suatu keadaan di mana
pasien tidak lagi merespon stimulus dari luar, mungkin tidak mengetahui bahwa ada
orang di sekitarnya), katatonik rigid (mempertahankan suatu posisi tubuh atau tidak
mengadakan gerakan) dan katatonik gerakan (selalu mengulang suatu gerakan tubuh).
f. Gangguan kemampuan hubungan interpesonal
Pasien skizofrenia mengalami kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan
orang lain karena ketidakmampuan mengontrol keadaan emosi dan karena keanehan
bagian terpenting kesempatan dari hubungan dengan realita menjadi hilang. Ada juga
pasien skizofrenia yang mengadakan isolasi dengan sendirinya. Isolasi sosial akan
selalu menyebabkan kerusakan dalam hubungan sosial, setelah sekian lama mereka
akan ditolak dan diperlakukan jauh kedalam alam fantasi dan delusi.
g. Gangguan kepekaan diri
Pasien skizofrenia selalu bingung akan identitas keberadaan mereka dan
mereka tidak begitu pasti akan keberadaan diri mereka yang benar atau tidak dan
selalu bertanya-tanya keberadaan dirinya yang pasti.
h. Gangguan motivasi
Pasien skizofrenia mungkin akan mendapatkan bahwa dirinya tidak
termotivasi yang dikarenakan kekurangan dorongan atau interest (keinginan) dalam
mengikuti suatu kejadian tingkah laku atau karena adanya ambivalensi dalam suatu
pemilihan.
2.4.3. Tipe-tipe Skizofrenia
Tipe skizofrenia menurut ICD-X dan PPDGJ III meliputi:
a. Skizofrenia Paranoid (F2.0)
Skizofrenia jenis ini yang paling sering dijumpai di negara manapun. Gambaran
klinis didominasi oleh waham yang secara relatif stabil, sering kali bersifat paranoid
diserta oleh halusinasi, terutama halusinasi pendengaran. Gangguan-gangguan afektif,
dorongan kehendak (volition) dan pembicaraan serta gejala-gejala katatonik tidak
b. Skizofrenia Hebefrenik (F20.1)
Suatu bentuk skizofrenia dengan perubahan afektif yang jelas dan secara
umum juga dijumpai waham dan halusinasi yang bersifat mengambang serta
terputusputus (flagmentar), perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat
diramalkan serta umumnya mannerisme. Suasana perasaan (mood) pasien dangkal
dan tidak wajar (inappropriate) sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan
puas diri (self satisfied), senyum sendiri (self-absorbed smilling) atau sikap yang
angkuh dan agung (lofty manner). Proses pikir mengalami disorganisasi dan
pembicaraan tak menentu serta inkoheren. Ada kecenderungan tetap menyendiri
(solitary) dan perilaku tampak hampa tujuan dan hampa perasaan.
c. Skizofrenia Katatonik (F20.2)
Gangguan psikomotor yang menonjol merupakan gambaran yang penting dan
dominan serta dapat bervariasi antara kondisi ekstrim seperti hiperkinesis dan stupor
atau antara sifat penurut yang otomatis dan negativisme. Sikap dan posisi tubuh yang
dipaksakan dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang lama. Episode kegelisahan
disertai kekerasan (violent) mungkin merupakan gambaran keadaan ini yang
menyolok.
d. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated) (F20.3)
Kondisi-kondisi yang memenuhi kriteria diagnostik umum untuk skizofrenia
tetapi tidak sesuai dengan subtipe paranoid, hebefrenik dan katatonik atau
memperlihatkan gejala lebih dari satu sub tipe tanpa gambaran predominasi yang
e. Depresi Pasca-Skizofrenik (F20.4)
Suatu episode depresif yang mungkin berlangsung lama dan timbul sesudah
suatu serangan penyakit skizofrenia. Beberapa gejala skizofrenik harus tetap ada
tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya. Gangguan depresif ini disertai
oleh suatu peningkatan resiko bunuh diri.
f. Skizofrenia Residual (F20.5)
Suatu stadium kronis dalam perkembangan gangguan skizofrenia, di mana
telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal (terdiri dari satu atau lebih episode
dengan gejala psikotik yang memenuhi kriteria umum untuk skizofrenia) ke stadium
lebih lanjut yang ditandai secara khas oleh gejala-gejala negatif jangka panjang
walaupun belum tentu ireversibel.
g. Skizofrenia Simpleks (F20.6)
Suatu kelainan yang tidak lazim ada perkembangan yang bersifat perlahan
tetapi progresif mengenai keanehan tingkah laku, ketidakmampuan untuk memenuhi
tuntutan masyarakat dan penurunan kinerja secara menyeluruh, tidak terdapat waham
dan halusinasi. Ciri-ciri negatif yang menonjol adalah afek yang menumpul,
hilangnya dorongan kehendak dan bertambahnya kemunduran sosial.
h. Skizofrenia lainnya (F20.8)
Termasuk skizofrenia senestopatik, gangguan skizofreniform yang Tak
Tergolongkan. Tidak termasuk gangguan skizofrenia akut, skizofrenia siklik,
skizofrenia laten.
i. Skizofrenia YTT (F20.9)
2.4.4. Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Perjalanan penyakit skizofrenia yang dijelaskan oleh Kaplan dan Sadock
(1997) bahwa suatu pola gejala premorbid mungkin merupakan tanda pertama dari
penyakit, walaupun gejala biasanya dikenali secara retrospektif. Secara karakteristik,
gejala dimulai pada masa remaja diikuti dengan perkembangan gejala prodromal
dalam beberapa hari sampai beberapa tahun. Onset gejala yang mengganggu terlihat
disesuaikan oleh suatu perubahan sosial atau lingkungan seperti pindah sekolah,
pengalaman dengan kematian sanak saudara. Sindroma prodromal (fase awal
penyakit) dapat berlangsung selama satu tahun atau lebih sebelum onset gejala
psikotik yang jelas.
Setelah episode psikotik yang pertama, pasien memiliki periode pemulihan
yang bertahap yang dapat diikuti oleh lamanya periode fungsi yang relatif normal,
tetapi relaps biasanya terjadi jika pola umum dari penyakit yang ditemukan dalam
lima tahun pertama setelah diagnosis biasanya memperkirakan perjalanan yang
diikuti pasien. Masing-masing relaps psikosis diikuti oleh pemburukan lebih lanjut
pada fungsi dasar pasien.
Perjalanan klasik skizofrenia adalah satu eksaserbasi dan remisi. Perbedaan
utama antara skizofrenia dan gangguan mood adalah pasien skizofrenia gagal untuk
kembali ke fungsi dasar setelah masing-masing relaps. Seringkali suatu depresi pasca
psikotik yang dapat diobservasi secara klinis mengikuti suatu episode psikotik dan
kerentanan pasien skizofrenik terhadap stress biasanya selama hidup.
Gejala positif cenderung menjadi parah dengan berjalannya waktu, tetapi
dapat meningkat keparahannya. Walaupun kira-kira sepertiga dari semua pasien
skizofrenik mempunyai eksistensi sosial yang marginal atau terintegrasi, sebagian
besar memiliki kehidupan yang ditandai oleh tidak adanya tujuan, inaktivitas,
perawatan di rumah sakit yang sering dan tinggal di lingkungan perkotaan,
tunawisma dan kemiskinan.
2.4.5. Prognosis
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa lebih dari periode 5 sampai 10
tahun setelah perawatan psikiatrik pertama kali di rumah sakit karena skizofrenia,
hanya kira-kira 10% sampai 20% pasien dapat digambarkan memiliki hasil yang baik,
lebih dari 50% pasien dapat digambarkan memiliki hasil yang buruk dengan
perawatan di rumah sakit yang berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan mood
berat dan usaha bunuh diri. Rentang angka pemulihan yang dilaporkan di dalam
literatur adalah 10% sampai 60% dan perkiraan yang beralasan adalah bahwa 20%
sampai 30% dari semua pasien skizofrenia mampu menjalani kehidupan yang agak
normal. Kira-kira 20% sampai 30% dari pasien terus mengalami gejala yang sedang
dan 40% sampai 60% dari pasien terus terganggu secara bermakna oleh gangguannya
selama seumur hidupnya (Kaplan dan Sadock, 1997).
Gambaran yang menunjukkan prognosis baik dan buruk dalam skizofrenia
(Kaplan dan Sadock, 1997) digambarkan di bawah ini.
a. Skizofrenia prognosis baik
Berkaitan dengan onset lambat, faktor pencetus yang jelas, onset akut, riwayat
gangguan depresif), menikah, riwayat keluarga gangguan mood, sistem pendukung
yang baik dan gejala positif.
b. Skizofrenia prognosis buruk
Berkaitan dengan onset muda, tidak ada faktor pencetus, onset tidak jelas,
riwayat sosial, seksual dan pekerjaan pramorbid yang buruk, perilaku menarik diri,
austistik, tidak menikah, bercerai, atau janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia,
sistem pendukung yang buruk, gejala negatif, tanda dan gejala neurologist, riwayat
trauma prenatal, tidak ada remisi dalam tiga tahun, sering relaps dan riwayat
penyerangan.
2.5. Konsumsi Pangan Penderita Skizofrenia
Almatsier, (2005 ) menyatakan bahwa beberapa penyakit kronis berat, stress
akut dan operesi berat dapat mengakibatkan keadaan gizi kurang atau buruk sehingga
akan menghambat penyembuhan penyakit. Hal itu juga dapat terjadi pada penderita
skizofrenia jika tidak mendapat perhatian dan pertolongan yang sesuai dan cepat.
Bahkan jika konsumsi makannya tidak terkontrol akan mengakibatkan berbagai
macam masalah gizi diantaranya adalah kurang energi protein (KEP) yang akan
berpengaruh pada status gizinya.
Hasil penelitian Salmawati (2006) pada pasien penderita skizofrenia di Rumah
Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor diketahui bahwa pada umumnya tingkat
kecukupan energi penderita skizofrenia ada pada kategori normal, sementara tingkat
penderita skizofrenia berada pada kategori normal (68%), dan ada beberapa yang
memiliki status gizi kategori gemuk (8%).
2.6. Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap dapat dipengaruhi oleh
tingkat kecukupan energi dan tingkat kecukupan protein. a. Tingkat kecukupan energi
b. Tingkat kecukupan protein
BAB III
METODE PENELITIAN
1.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan desain penelitian cross sectional,
yang bertujuan untuk mengetahui kecukupan energi dan protein serta status gizi
pasien Skizofrenia paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Sumatera Utara tahun 2011.
3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera
Utara. Alasan pemilihan lokasi ini karena Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Sumatera Utara merupakan salah satu pusat pelayanan bagi pasien penderita
skizofrenia yang memiliki jumlah pasien penderita skizofrenia paling banyak di Kota
Medan, dan sebagian besar pasien (70%) berasal dari golongan miskin.
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai dengan November 2011.
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien skizofrenia paranoid yang
rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara pada bulan Juli
3.3.2. Sampel
Riduwan (2008) menyatakan “untuk menentukan berapa minimal sampel
yang dibutuhkan jika ukuran populasi diketahui, dapat digunakan rumus sebagai
berikut :
Keterangan: N = Jumlah populasi
d = Presisi absolut yang dinginkan = (0,1)
n = Jumlah sampel yang akan diteliti
Berdasarkan rumus tersebut diperoleh jumlah sampel (n) sebagai berikut :
( )
2Jadi, jumlah sampel sebesar 60 orang. Teknik sampling yang digunakan pada
penelitian ini adalah simple random sampling. Dimana masing-masing pasien
skizofrenia paranoid diberi nomor urut sesuai dengan abjad nama atau urutan nomor.
Dengan kertas gulungan yang berisi nomor-nomor pasien skizofrenia paranoid,
3.4.Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer
1. Kecukupan energi dan protein diperoleh melalui metode penimbangan makanan
dengan cara menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi pasien
skizofrenia paranoid selama satu hari (1 x 24 jam). Adapun langkah-langkah
pelaksanaan penimbangan makanan :
a. Menimbang dan mencatat bahan makanan yang dikonsumsi dalam gram.
b. Jumlah bahan makanan yang dikonsumsi sehari, kemudian dianalisis dengan
menggunakan DKBM (Daftar Komposisi Bahan Makanan).
c. Membandingkan hasilnya dengan Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG).
2. Status gizi pasien dilihat dari hasil pengukuran berat badan yang menggunakan
timbangan injak dan tinggi badan dengan menggunakan mikrotois.
3.4.2. Data Sekunder
Data sekunder terdiri atas umur pasien, suku, agama, dan tingkat pendidikan
pasien serta gambaran letak geografis rumah sakit yang diperoleh dari Rumah Sakit
Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan.
3.6. Definisi Operasional
1. Tingkat kecukupan energi adalah jumlah energi yang dikonsumsi oleh pasien
skizofrenia paranoid dalam sehari (1 x 24 jam) dibandingkan dengan angka
kecukupan energi pasien.
2. Tingkat kecukupan protein adalah jumlah protein yang dikonsumsi oleh pasien
skizofrenia paranoid dalam sehari dibandingkan dengan angka kecukupan protein
3. Status gizi adalah keadaan gizi pasien skizofrenia paranoid yang dapat ditentukan
dengan indikator dari berat badan, umur dan jenis kelamin.
3.7. Aspek Pengukuran a. Tingkat Kecukupan Energi
Tingkat kecukupan energi dibandingkan dengan standar gizi yang digunakan
di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara yang mengacu kepada
Direktorat Kes. Jiwa Depkes, R.I., tahun 1986, yaitu sebesar 2500 kkal.
Berdasarkan Buku Pedoman Petugas Gizi Puskesmas, Depkes, RI., (1990)
dalam Supariasa, dkk., (2002), maka pengkategorian tingkat kecukupan energi dibagi
menjadi 4 (empat), yaitu :
− Baik : ≥ 100% AKG
− Sedang : >80 – 99% AKG
− Kurang : 70 – 80% AKG
− Defisit : < 70% AKG
b. Tingkat Kecukupan Protein
Tingkat kecukupan protein dibandingkan dengan standar gizi yang digunakan
di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara yang mengacu kepada
Direktorat Kes. Jiwa Depkes, R.I., tahun 1986, yaitu sebesar 60 gram.
Berdasarkan Buku Pedoman Petugas Gizi Puskesmas, Depkes, RI., (1990)
dalam Supariasa, dkk., (2002), maka pengkategorian tingkat kecukupan protein
− Baik : ≥ 100% AKG
− Sedang : >80 – 99% AKG
− Kurang : 70 – 80% AKG
− Defisit : < 70% AKG
c. Status gizi
Untuk menentukan klasifikasi status gizi digunakan IMT sebagai batas
ambang kategori. Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut :
IMT =
Di bawah ini adalah kategori ambang batas IMT berdasarkan Depkes, 1994
dalam Supariasa, dkk, (2002) :
Tabel 3.2. Kategori Ambang Batas IMT Untuk Indonesia
Kategori IMT (kg/m2)
Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,1-18,4
Normal 18,5-25,0
Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1-27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat ≥ 27,1
Sumber : Depkes, 1994 dalam Supariasa, 2002
3.7 Pengolahan dan Analisis Data 3.7.1 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Editing
Untuk melakukan pengecekan isi kuesioner apakah kuesioner sudah diisi dengan
b. Coding
Merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk
bilangan, agar memudahkan menganalisis data dalam bentuk kuantitatif.
c. Processing
Setelah data dikoding maka selanjutnya melakukan entri data dari kuesioner ke
dalam program komputer.
d. Cleaning
Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di entri
apakah ada kesalahan atau tidak.
e. Tabulating
Tabulating adalah penyusunan data dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan
presentase.
3.7.2 Analisis Data
Data dianalisis secara univariat, yaitu untuk menggambarkan tingkat
kecukupan energi dan tingkat kecukupan protein dan status gizi pasien Skizofrenia
paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara dengan
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara merupakan satu-satunya
Rumah Sakit Jiwa Pemerintah yang ada di Provinsi Sumatera Utara, yang memiliki
kemampuan pelayanan diklasifikasikan Kelas ”A” dengan sifat kekhususannya
dikategorikan dengan tipe ”B”. Selain melaksanakan pelayanan kesehatan jiwa,
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara juga menyelenggarakan
pendidikan. Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara juga merupakan
Rumah Sakit Jiwa rujukan bagi Rumah Sakit Jiwa lain yang ada di Provinsi Sumatera
Utara dan bagi rumah sakit rumah sakit umum yang ada di Pulau Sumatera.
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara terletak di Jalan Letjend
Jamin Ginting KM 10, dengan luas bangunan 9.410 m2. Kapasitas yang dimiliki oleh
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara terdiri dari 450 tempat tidur. Jenis
pelayanan yang diberikan yaitu : UGD, rawat jalan, rawat inap, rehabilitasi,
Gangguan Mental Organik, anak remaja, geriatri, Kesehatan gigi dan mulut,
Kesehatan Jiwa Masyarakat (KJM), Psikologi, Fisioterapi, Brain Mapping,
Pemeriksaan Rekam Otak, pemeriksaan Napza, laboratorium klinik, apotik, askes dan
pelayanan poli umum. Seiring dengan meningkatnya orang yang menderita gangguan
jiwa rata-rata rawat jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara
baru rawat inap. BOR lebih 100% (saat ini 471 orang sedang opname) dan UGD 4
orang perhari (pelayanan di luar jam kerja).
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara mempunyai visi yaitu
menjadikan pelayanan kesehatan jiwa dan fisik yang terbaik secara profesional untuk
kepuasan masyarakat. Untuk mewujudkan visi tersebut, Rumah Sakit Jiwa Daerah
Provinsi Sumatera Utara mempunyai misi :
1. Melaksanakan pelayanan kesehatan jiwa dan fisik yang terpadu
2. Meningkatkan upaya pencegahan dan penaggulangan gangguan jiwa dan masalah
psikososial di masyarakat
3. Menyediakan dan mengembangkan fasilitas pendidikan, pelatihan dan penelitian
dalam bidang pelayanan kesehatan jiwa
4. Meningkatkan upaya profesionalisme dan Sumber Daya Manusia (SDM) melalui
pengembangan ilmu filosofi, keterampilan dan etika profesi.
Untuk menjalankan operasionalnya, Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Sumatera Utara didukung oleh lebih kurang 240 orang tenaga tetap dan 20 tenaga
honorer, yang terdiri dari 18 orang tenaga medis (dokter spesialis jiwa dan dokter
umum), 112 orang tenaga paramedis dengan berbagai macam latar belakang
Gambar 4.1. Struktur Organisasi Rumah Sakit
Cara pengelolaan pemberian makanan bagi pasien Rumah Sakit Jiwa Daerah
Provinsi Sumatera Utara dengan system terpusat (sentralisasi). Makanan yang
disediakan oleh instalasi gizi di hitung sesuai dengan standar gizi untuk rumah sakit
jiwa. Di bawah ini adalah standar gizi yang digunakan di rumah sakit jiwa yang
Tabel 4.1. Standar Gizi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara
No. Komponen Volume Energi
Sumber : Direktorat Kes. Jiwa Depkes, R.I., 1986
4.2. Karakteristik Responden
Karakteristik responden yang dinyatakan dalam penelitian ini meliputi jenis
kelamin dan umur, seperti yang terlihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011
No. Kelompok Dari tabel 4.2. diketahui bahwa mayoritas responden berumur antara 31-40
tahun yaitu sebanyak 43 orang, dengan perempuan sebanyak 31 orang (72,1%) dan
4.3. Tingkat Kecukupan Energi dan Protein
Tingkat kecukupan energi dan protein diperoleh dengan metode penimbangan
makanan dengan cara menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi
pasien skizofrenia paranoid selama 1 kali 24 jam.
4.3.1. Tingkat Kecukupan Energi
Tingkat kecukupan energi adalah jumlah energi yang dikonsumsi oleh
responden dalam sehari dibandingkan dengan angka kecukupan energi responden.
Dari hasil penelitian diperoleh tingkat kecukupan energi responden yang dapat dilihat
pada tabel 4.3.
Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011
No Tingkat Kecukupan Energi Jumlah Persentase
1. Baik 17 28,3
2. Sedang 25 41,7
3. Kurang 17 28,3
4. Defisit 1 1,7
Total 60 100,0
Dari hasil penelitian ditemukan masih ada juga responden yang tingkat
kecukupan energinya pada kategori kurang (28,3%) dan defisit (1,7%). Rata-rata
konsumsi energi pasien skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi
Sumatera Utara, yaitu 1.988 kalori.
4.3.1. Tingkat Kecukupan Protein
Tingkat kecukupan protein adalah jumlah protein yang dikonsumsi oleh
responden dalam sehari dibandingkan dengan angka kecukupan protein responden.
Dari hasil penelitian diperoleh tingkat kecukupan protein responden yang dapat
Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Kecukupan Protein di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011
No Tingkat Kecukupan Protein Jumlah Persentase
1. Baik 14 23,3
2. Sedang 37 61,7
3. Kurang 9 15,0
4. Defisit 0 0,0
Total 60 100,0
Berdasarkan Tabel 4.4. diketahui bahwa mayoritas responden memiliki
tingkat kecukupan protein pada kategori sedang yaitu sebanyak 37 orang (61,7%),
namun masih ada responden yang tingkat kecukupan proteinnya pada kategori kurang
(15,0%). Rata-rata konsumsi protein pasien skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Jiwa
Daerah Provinsi Sumatera Utara, yaitu 52,8 gr.
4.4. Status Gizi
Status gizi responden dilihat dari hasil pengukuran berat badan yang
menggunakan timbangan injak dan tinggi badan dengan menggunakan mikrotois atau
dilakukan secara antropometri dengan menggunakan indeks BB/TB2 yang dikenal
dengan Indeks Massa Tubuh (IMT=kg/m2
Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi dengan Menggunakan Indikator Indeks Massa Tubuh di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011
).
No. Status Gizi Jumlah Persentase
1. Gemuk 2 3,3
2. Normal 47 78,3
3. Kurus 11 18,4
Total 60 100,0
Dari tabel 4.5. dapat dilihat bahwa sebagian besar status gizi responden
menurut indikator Indeks Massa Tubuh (IMT) berada pada kategori normal yaitu
sebesar 78,3%. Namun masih ada responden dengan status gizi kurus yaitu sebesar
4.5. Status Gizi Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein
Status gizi merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat
keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari makanan
yang dikonsumsi.
4.5.1. Status Gizi Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi
Distribusi status gizi berdasarkan tingkat kecukupan energi dapat dilihat pada
tabel 4.6.
Tabel 4.6. Distribusi Status Gizi Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 No. Tingkat
Dari tabel 4.6. diketahui bahwa semakin rendah tingkat kecukupan energi
maka persentase status gizi kurang semakin tinggi. Diperoleh sebesar 12,0% status
gizi kurus dari 25 orang dengan tingkat kecukupan energi kategori sedang, sebesar
41,2% kurus dari 17 orang dengan tingkat kecukupan energi kategori kurang, dan
100,0% kurus dengan tingkat kecukupan energi defisit.
4.5.2. Status Gizi Berdasarkan Tingkat Kecukupan Protein
Distribusi status gizi berdasarkan tingkat kecukupan protein dapat dilihat
Tabel 4.7. Distribusi Status Gizi Berdasarkan Tingkat Kecukupan Protein di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011 No. Tingkat
Kecukupan Protein
Status Gizi
n %
Gemuk Normal Kurus
N % n % n %
1. Baik 2 14,3 12 85,7 0 0,0 14 100,0
2. Sedang 0 0,0 31 83,8 6 16,2 37 100,0
3. Kurang 0 0,0 4 44,4 5 55,6 9 100,0
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa status gizi kurus tidak
ditemukan pada tingkat kecukupan protein baik. Namun semakin rendah tingkat
kecukupan protein maka persentasi status gizi kurus semakin tinggi. Diperoleh
sebesar 16,2% status gizi kurus dari 37 orang dengan tingkat kecukupan protein
kategori sedang, dan sebesar 55,6% status gizi kurus dari 9 orang dengan tingkat
BAB V PEMBAHASAN
5.1. Tingkat Kecukupan Energi dan Proten Pasien Skizofrenia Paranoid
Dari hasil penelitian diketahui bahwa masih ada pasien skizofrenia paranoid
yang rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara dengan tingkat
kecukupan energinya pada kategori kurang (28,3%) dan defisit (1,7%). Demikian
juga dengan pasien dengan tingkat kecukupan protein kategori kurang ada sebesar
15,0%. Namun secara keseluruhan tingkat kecukupan energi (41,7%) dan protein
(61,7%) pasien mayoritas pada kategori sedang.
Hasil tersebut di atas tidak sejalan dengan penelitian Salmawati (2006) pada
pasien penderita skizofrenia paranoid di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor,
dimana diketahui bahwa pada umumnya tingkat kecukupan energi penderita
skizofrenia paranoid ada pada kategori normal, sementara tingkat kecukupan protein
ada pada kategori defisit berat, dan secara keseluruhan status gizi pasien penderita
skizofrenia paranoid umumnya berada pada kategori kurus 24%, normal 68%, dan
gemuk 8%.
Belum tercukupinya asupan energi dan protein bagi pasien skizofrenia
paranoid yang rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara
dikarenakan pendistribusian makanan dari rumah sakit belum memperhitungkan
jumlah makanan dan gizi yang harus dikonsumsi oleh pasien setiap hari. Hal tersebut
diketahui dari hasil penelitian dengan melakukan penimbangan makanan yang