• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkawinan Semerga (Studi Etnografi Mengenai Merga Silima Masyarakat Karo di Desa Sugau, Kec. Pancur Batu, Kab. Deli Serdang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perkawinan Semerga (Studi Etnografi Mengenai Merga Silima Masyarakat Karo di Desa Sugau, Kec. Pancur Batu, Kab. Deli Serdang)"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

PERKAWINAN SEMERGA

(Studi Etnografi Mengenai Merga Silima Masyarakat Karo di Desa Sugau, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Dalam Bidang Antropologi

DISUSUN OLEH:

Gintarius Ginting

100905002

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015

(2)

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

“PERKAWINAN SEMERGA”

(Studi Etnografi Mengenai Merga Silima Masyarakat Karo di Desa Durin Pitu,

Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan

sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah

ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di

sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan

saya.

Medan, Februari2015

Penulis

Gintarius Ginting

(3)

ii ABSTRAK

Gintarius Ginting, 2015, Judul: Perkawinan Semerga (Studi Etnografi Mengenai

Merga Silima Masyarakat Karo di Desa Sugau, Kec. Pancur Batu, Kab. Deli

Serdang). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 128 halaman, 6 gambar, 3 bagan, dan 7 tabel.

Masyarakat Karo yang bermukim di Sumatra utara ada di wilayah kabupaten Karo, Langkat, Deli Serdang, Dairi, dan Aceh Tenggara. Ada 86 sub merga pada masyarakat Karo yang dikelompokkan kedalam merga silima(lima marga), yaitu Ginting, Sembiring, Perangin-angin, Tarigan, dan Karo-karo. Sifat perkawinan dalam masyarakat Karo adalah eksogami artinya harus mendapatkan jodoh di luar merganya dengan pengecualian pada merga Sembiring dan Perangin-angin yang menganut perkawinan eleutherogami terbatas, dimana merga ini diperbolehkan menikah dengan orang dalam merganya yang sama asalkan sub merganya berbeda, misalnya dalam merga perangin-angin sub merga Sebayang dan Bagun, sedangkan dalam merga sembiring sub merga Brahmana, Pelawi, Depari, dan Meliala.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana fenomena perkawinan semerga pada masyarakat Karo di desa Sugau. Dengan terjadinya perkawinan semerga maka telah terjadi perubahan nilai budaya merga silima, sangkep nggeluh, dan tutur siwaluah. Berangkat dari fenomena ini, penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana proses terjadinya perkawinan semerga dan bagaimana perubahan sangkep nggeluh dan tutur siwaluh terhadap keluarga yang melakukan perkawinan semerga.

Dengan demikian maka jenis penelitian ini adalah studi etnografi dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam menemukan data, peneliti tinggal di desa Sugau dan mengobservasi keadaan di desa Sugau. Adapun informan dalam penelitian ini adalah para pelaku perkawinan semerga, kepala desa, tokoh adat dan agama, kerabat, dan masyarakat desa Sugau.

Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat Karo di desa Sugau menganggap perkawinan semerga menjadi tabu. Namun, dilihat dari sudut pandang agama tidak tabu karena tidak ada laragan bagi orang yang semerga dilarang kawin. Perkawinan semerga didasarkan atas saling mencintai dan keinginan untuk membina keluarga. Perkawinan semerga tidak lagi mengikat kedua belah pihak keluarga ke dalam sistem kekerabatan sangkep nggeluh tetapi hanya mengikat orang yang melakukan perkawinan itu saja. Adat perkawinan semerga hanya bisa dilangsungkan jika beru istri diganti dengan beru ibu suami, pada waktu perjabun anak pertama dan mengket rumah simbaru. Pada akhirnya, perkawinan semerga dianggap tabu dan melanggar hukum adat perkawinan. Akan bergeser menuju penyesuaian hukum adat perkawinan yang baru yang lebih fleksibel dalam arena budaya mereka.

Kata Kunci: Kekerabatan, Merga Silima, Perkawinan, Sangkep Nggeluh

(4)

iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas

berkat, kasih dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan

penulisan skripsi dengan judul “PERKAWINAN SEMERGA” (Studi Etnografi

Mengenai Merga Silima masyarakat Karo di Desa Durin Pitu, Kec. Pancur Batu, Kab.

Deli Serdang). Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai

sarjana S1 Antropologi Sosial di Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Segala rasa bimbang, khawatir dan rasa tidak

mampu merupakan hal pertama yang dirasakan penulis. Namun, penulis tetap berdoa

dan memiliki keyakinan akan pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa hingga kini

skripsi ini telah selesai dengan baik.

Selama proses penulisan skripsi ini, saya banyak menerima bimbingan dan

masukan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penghargaan terbesar saya persembahkan kepada keluarga besar saya terutama orang

tua saya Thomas Ginting Suka dan ibu Surinta Br Karo-karo Sinuraya yang memenuhi

kebutuhan saya sehingga saya dapat menikmati fasilitas dalam dunia pendidikan

hingga saat ini. Biarlah kiranya Tuhan membalas semua yang telah diberikan kepada

saya. Semoga orang tua saya panjang umur, sehat selalu, lancar rezeki, dan bahagia

selamanya. Tidak lupa kepada kedua kakak saya Nampatia Br Ginting Suka dan Lili

Sari Br Ginting Suka yang telah ikut memenuhi kebutuhan saya selama kuliah.

Saya juga menyampaikan rasa terima kasih dengan tulus dan sebesar-besarnya

kepada Bapak Drs. Lister Brutu M.A., selaku pembimbing skripsi yang telah banyak

memberikan ilmu, arahan, motivasi, waktu, tenaga, serta perhatian, dan bimbingannya

(5)

iv

kepada mulai dari penyusunan proposal skripsi sampai akhirnya penyelesaian skripsi

ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr.R.Hamdani Harahap selaku

Dosen Penasehat Akademik saya. Saya juga mengucapkan teima kasih kepada Dekan

Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si., sebagai

seorang pemimpin dan pemberi kebijakan bagi seluruh Citivitas Akademika FISIP

USU.

Rasa terima kasih yang banyak juga saya berikan kepada Bapak Dr. Fikarwin

Zuska, selaku Ketua Departemen Antropologi yang dengan bijaksana memberikan

arahan dan koreksi bagi saya untuk menghasilkan sebuah skripsi yang berkualitas, dan

kepada Bapak Drs. Agustrisno, MSP., selaku Sekretaris Departemen Antropologi.

Kepada seluruh staf pengajar Departemen Antropologi FISIP USU yang telah

memberikan begitu banyak ilmu, wawasan serta pengetahuan baru bagi saya selama

proses belajar ini berlangsung. Demikian juga kepada Kak Nurhayati dan Kak Sofi

selaku staf administrasi Departemen Antropologi yang telah banyak memberikan

bantuan kepada saya dalam mengurus kelancaran administrasi selama perkuliahan.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dahlan Purba, Ibu M. Br.

Sinuraya, Bapak J.Sitepu, dan lainnya yang telah menjadi informan.

Pada kesempatan ini, saya juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan

kerabat mahasiswa Antropologi FISIP USU khususnya, angkatan 2010: my best

friends Helpi Yohana Simatupang, Debora Ginting, Mega Natalia, Candra Silalahi,

Simson Simanullang, Obrin Sianturi, dan Lina Manalu begitu banyak kenangan yang

kita lewati selama mahasiswa di FISIP USU. Tertawa bersama, sedih bersama, bahkan

berdebat sana sini untuk belajar, semua itu tidak akan pernah terlupakan. Berikut juga

dengan kerabat lainnya; Iyan, Mario, Eki, Julham, Andi, Nuri, Elsa, Jop, Efendi, dan

(6)

v

kerabat. Lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Terima kasih karena telah

menjadi teman seperjuangan saya selama menjadi mahasiswa di FISIP USU.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan anggota IMKA

Eguaninta FISIP USU khususnya Salmen Sembiring, Terangta Tarigan, Jopi

Sinulingga, Endang Br Ginting dan Ica Br. Ginting, Natanael Karo-karo dan seluruh

anggota IMKA Eguaninta FISIP USU terima kasih buat diskusi-diskusinya dan

motivasinya yang positif. Begitu banyak pengalaman yang telah kita lakukan dalam

pengabdian kepada masyarakat Karo semua pengalaman itu tidak akan pernah

terlupakan oleh kita dan semakin maju buat IMKA Eguaninta Fisip USU .

Buat sahabat terbaik saya Devina Br Karo-karo Kacaribu, yang telah berusaha

dan tidak penah lelah untuk mengingatkan, membantu, menghibur, memberikan

semangat serta motivasi untuk menginspirasi saya banyak hal dalam menyelesaikan

penulisan skripsi. Terima kasih buat semuanya kiranya Tuhan Yang Maha Esa

senantiasa memberikan kebahagian dan kesehatan bagi semua pihak yang telah

membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Medan, Februari 2015 Penulis

Gintarius Ginting

(7)

vi

RIWAYAT HIDUP

Gintarius Ginting Suka atau yang lebih

sering akrab dipanggil dengan sebutan Ginta, lahir

pada tanggal 10 desember 1992 di Kabanjahe

Kabupaten Karo. Anak pertama dari 3(tiga)

bersaudara dari pasangan T. Ginting Suka dan S.

Br. Karo-karo Sinuraya. Saya telah menyelesaikan

pendidikan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 044842 Bertah pada tahun 2004 dan

merantau ke Saribudolok untuk menempuh Sekolah Menengah Pertama (SMP Swasta

Bunda Mulia Silimakuta ) Saribudolok selesai pada tahun 2007. Lalu saya merantau

lagi ke Medan untuk melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA Swasta

Budi Murni 2) Medan dan selesai pada tahun 2010. Kemudian melanjutkan

pendidikan S1 Program Studi Antropologi Sosial angkatan 2010 Fakultas Ilmu Sosial

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Berbagai kegiatan yang dilakukan selama masa studi adalah:

1. Peserta Inisiasi dalam kegiatan Penyambutan Mahasiswa Baru Departemen

Antropologi Sosial Tahun 2010 FISIP USU, dengan thema “Menjalin

Kebersamaan dalam Keanekaragaman untuk Mewujudkan Kekerabatan” yang

dilaksanakan di Parapat pada tanggal 01-03 Oktober 2010.

2. Panitia Inisiasi dalam kegiatan Penyambutan Mahasiswa Baru (PMB)

Departemen Antropologi Sosial FISIP USU pada tahun 2011.

(8)

vii

3. Mengikuti pelatihan “Training of Fasilitator” Angkatan II oleh Departemen

Antropologi Sosial FISIP USU, yang dilaksanakan di Wisma Syariah Harikita

pada tanggal 24-25 April 2012.

4. Mengikuti seminar dan diskusi publik “Kota-kota di Sumatera: Enam Kisah

Kewarganegaraan dan Demokrasi” pada tahun 2012.

5. Panitia Inisiasi dalam kegiatan Penyambutan Mahasiswa Baru (PMB)

Departemen Antropologi Sosial FISIP USU pada tahun 2012.

6. Mengikuti seminar dan diskusi publik “Seminar Nasional Sastra Kontemporer

dalam wacana” pada 30 Oktober 2013, Taman Budaya Sumatra Utara.

7. Memperoleh Penghargaan dari Dinas Kebudayaan Dan Parawisata Aceh pada

kegiatan “Penggelaran dan Pameran Seni Se-Sumatera (PPSS) XVI” pada 12

November 2013, Taman Budaya Aceh.

8. Pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Mahasiaswa Karo (IMKA FISIP USU)

pada tahun 2013-2014.

9. Menjabat sebagai Ketua Kepemudaan Partai Golkar Kec. Medan Tuntungan,

Tahun 2013- sampai sekarang.

10. Menjabat sebagai Wakil Ketua Sekretaris Jendral BABKI (Balai Adat Budaya

Karo Indonesia), Tahun 2013- sampai sekarang.

11. Menjabat sebagai wakil Ketua Urung Senembah Patumbak, tahun

2013-Sampai Sekarang.

12. Melakukan PKL II/magang di Dinas Pendapatan Kota Medan pada tahun

2014.

(9)

viii

KATA PENGANTAR

Judul Skripsi ini adalah “Perkawinan Semerga” (Etnografi merga silima di

desa Sugau Kec. Pancur Batu, Kab. Deli Serdang). Skripsi ini merupakan hasil tugas

akhir penulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial,

Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera

Utara.

Skripsi ini berisikan kajian analisis yang didasari pada observasi partisipasi

dan wawancara mengenai Fenomena perkawinan semerga yang terdapat dalam

masyarakat Karo yang melkaukan perkawinan semerga. Secara sistematis, kajian ini

berfokus pada bagaimana perkawinan semerga dapat terjadi pada Masyarakat Karo di

desa Sugau, Faktor dan alasan terjadinya perkawinan semerga di desa Sugau, dan

perubahan pada sangkep nggeluh dan tutur siwaluh dalam perkawinan semerga.

Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa perkawinan semerga didasarkan pada

adanya kesamaan pandangan, saling mencintai, dan adanya keinginan untuk membina

keluarga, sehingga perkawinan semerga menimbulkan perubahan pada kekerabatan

tutur sangkep nggeluh dan tutur siwaluh pada masyarakat Karo yang melakukan

perkawinan semerga.

Saya menyadari bahwa skripsi ini masih mengalami banyak kekurangan

karena bagi saya “tak ada gading yang tak retak”. Demikian juga tulisan ini yang

masih banyak mengalami kekurangan dan mungkin jauh dari kesempurnaan. Untuk itu

penulis sangat mengharapkan masukan berupa komentar, saran, maupun kritik dari

pembaca yang bersifat membangun demi memperbaiki skripsi ini ke arah yang lebih

(10)

ix

membangun. Demikian kata pengantar dari penulis, semoga skripsi ini bermanfaat

memberikan kontribusi demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Medan, Februari2015 Penulis

Gintarius Ginting

(11)

x DAFTAR ISI

PERNYATAAN ORIGINALITAS...i

ABSTRAK ...ii

UCAPAN TERIMA KASIH ...iii

RIWAYAT HIDUP ...vi

1.2. Tinjauan Pustaka ... 7

1.3. Rumusan Masalah ... 17

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 18

1.4.1. Tujuan ... 18

1.4.2. Manfaat Penelitian ... 18

1.5. Metode Penelitian ... 18

1.5.1. Data Primer ... 19

1.5.2. Data Sekunder ... 21

1.5.6. Analisis Data ... 21

1.6. Pengalaman Lapangan ... 22

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Sejarah Desa Sugau... 30

2.2. Letak dan Keadaan Geografis ... 32

2.3. Komposisi Penduduk ... 33

2.3.1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 33

2.3.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia ... 33

2.3.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 34

2.3.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 35

2.3.5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 36

2.3.6. Komposisi Penduduk Berdasaekan Perkawinan ... 37

2.4. Suku Bangsa... 37

2.5. Sarana Fisik ... 39

2.5.1. Pola Pemukiman ... 39

2.5.2. Sarana Jalan ... 40

2.5.3. Sarana Kesehatan ... 40

2.5.4. Sarana Pendidikan ... 41

BAB III ADAT ISTIADAT PERKAWINAN MASYARAKAT KARO 3.1. Makna Ertutur ... 42

3.2. Sangkep Nggeluh ... 44

3.2.1. Sukut ... 46

3.2.2. Anak Beru ... 47

3.2.3. Kalimbubu ... 48

(12)

xi

3.3. Fungsi ,Tugas, dan Hak Sangkep Nggeluh ... 53

3.3.1. Fungsi Sangkep Nggeluh ... 53

3.3.2. Tugas Sangkep Nggeluh ... 54

3.3.3. Hak Sangkep Nggeluh ... 56

3.4. Tutur Siwaluh... 57

3.5. Syarat-syarat Perkawinan pada Masyarakat Karo ... 58

3.6. Tahap-tahap Perkawinan pada Masyarakat Karo ... 64

3.6.1. Nangkih ... 65

3.6.2. Maba Belo Selambar/Nganting Manuk ... 66

3.6.3. Pasu-pasu ... 68

3.6.3. Kerja Nereh Empo/Pesta Adat Perkawinan ... 68

3.6.5. Mukul ... 71

3.6.6. Ngulihi Tudung/Ngulihi Bulang ... 72

3.7. Perkawinan Ideal Menurut Masyarakat Karo ... 74

3.8. Larangan Perkawinan Pada Masyarakat Karo ... 77

BAB IV PERKAWINAN SEMARGA DI DESA SUGAU 4.1. Fenomena Perkawinan Semarga di Desa Sugau ... 79

4.2. Alasan-alasan Perkawinan Semarga ... 87

4.2.1. J.Karo-karo Sitepu ... 87

4.2.2. M.Karo-karo Sinuraya ... 90

4.2.3. M. Br Karo-karo Gurusinga ... 93

4.2.4. S. Br Karo-karo Sinuraya ... 96

4.2.5. Nd. M. Br Tarigan Tua ... 98

4.3. Tanggapan Kepala Desa Mengenai Perkawinan Semarga ... 99

4.4. Tanggapan Tokoh Adat Mengenai Perkawinan Semarga ... 100

4.5. Pandangan Agama Mengenai Perkawinan Semarga ... 103

4.6. Keluarga/Kerabat Dekat dan Masyarakat Desa Sugau ... 106

4.7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkawinan Semarga ... 108

4.8. Perubahan Budaya Sangkep Nggeluh ... 112

4.8.1. Sukut ... 117

4.8.2. Kalimbubu ... 118

4.8.3. Anak Beru ... 120

4.9. Perubahan Budaya Tutur Siwaluh ... 120

BAB V KESIMPULAN 5.1. Kesimpulan ... 122

5.2. Saran ... 124

DAFTAR PUSTAKA ... 126 LAMPIRAN

1. Interview Guide 2. Daftar Nama Informan 3. Foto

(13)

xii

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Mencari Sistem Kekerabatan Dalam Masyarakat Karo………43 Bagan 2. Sekema Sistem Kekerabatan Sangkep Nggeluh………45 Bagan 3. Perkawinan yang Ideal pada Masyarakat Karo……….70

(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 33

Tabel 2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia ... 34

Tabel 3. Komposisi penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 35

Tabel 4. Komposisi penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 36

Tabel 5. Komposisi penduduk Berdasarkan Agama... 36

Tabel 6. Komposisi Penduduk Berdasarkan Perkawinan……….37

Tabel 7. Sarana Kesehatan ………...40

(15)

xiv

DAFTAR FOTO

Gambar 1. Peta lokasi penelitian………..……32

Gambar 1. Kalimbubu memberikan nasehat kepada anak beru………..48

Gambar 2. Sukut mendengarkan nasehat dari kalimbubu………66

Gambar 3. Acara mukul dalam adat perkawinan masyarakat Karo……….67

(16)

ii ABSTRAK

Gintarius Ginting, 2015, Judul: Perkawinan Semerga (Studi Etnografi Mengenai

Merga Silima Masyarakat Karo di Desa Sugau, Kec. Pancur Batu, Kab. Deli

Serdang). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 128 halaman, 6 gambar, 3 bagan, dan 7 tabel.

Masyarakat Karo yang bermukim di Sumatra utara ada di wilayah kabupaten Karo, Langkat, Deli Serdang, Dairi, dan Aceh Tenggara. Ada 86 sub merga pada masyarakat Karo yang dikelompokkan kedalam merga silima(lima marga), yaitu Ginting, Sembiring, Perangin-angin, Tarigan, dan Karo-karo. Sifat perkawinan dalam masyarakat Karo adalah eksogami artinya harus mendapatkan jodoh di luar merganya dengan pengecualian pada merga Sembiring dan Perangin-angin yang menganut perkawinan eleutherogami terbatas, dimana merga ini diperbolehkan menikah dengan orang dalam merganya yang sama asalkan sub merganya berbeda, misalnya dalam merga perangin-angin sub merga Sebayang dan Bagun, sedangkan dalam merga sembiring sub merga Brahmana, Pelawi, Depari, dan Meliala.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana fenomena perkawinan semerga pada masyarakat Karo di desa Sugau. Dengan terjadinya perkawinan semerga maka telah terjadi perubahan nilai budaya merga silima, sangkep nggeluh, dan tutur siwaluah. Berangkat dari fenomena ini, penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana proses terjadinya perkawinan semerga dan bagaimana perubahan sangkep nggeluh dan tutur siwaluh terhadap keluarga yang melakukan perkawinan semerga.

Dengan demikian maka jenis penelitian ini adalah studi etnografi dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam menemukan data, peneliti tinggal di desa Sugau dan mengobservasi keadaan di desa Sugau. Adapun informan dalam penelitian ini adalah para pelaku perkawinan semerga, kepala desa, tokoh adat dan agama, kerabat, dan masyarakat desa Sugau.

Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat Karo di desa Sugau menganggap perkawinan semerga menjadi tabu. Namun, dilihat dari sudut pandang agama tidak tabu karena tidak ada laragan bagi orang yang semerga dilarang kawin. Perkawinan semerga didasarkan atas saling mencintai dan keinginan untuk membina keluarga. Perkawinan semerga tidak lagi mengikat kedua belah pihak keluarga ke dalam sistem kekerabatan sangkep nggeluh tetapi hanya mengikat orang yang melakukan perkawinan itu saja. Adat perkawinan semerga hanya bisa dilangsungkan jika beru istri diganti dengan beru ibu suami, pada waktu perjabun anak pertama dan mengket rumah simbaru. Pada akhirnya, perkawinan semerga dianggap tabu dan melanggar hukum adat perkawinan. Akan bergeser menuju penyesuaian hukum adat perkawinan yang baru yang lebih fleksibel dalam arena budaya mereka.

Kata Kunci: Kekerabatan, Merga Silima, Perkawinan, Sangkep Nggeluh

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bangsa Indonesia memiliki banyak suku bangsa yang tersebar di seluruh

wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing suku bangsa tersebut

memiliki adat istiadat dan kebudayaan yang berbeda antara yang satu dengan yang

lain. Hal ini seperti yang dijelaskan Koenjaraningrat (1985:89) sebagai berikut;

“Keanekaragaman kebudayaan tidak saja menyebabkan perbedaan dalam gaya dan pola hidup, tetapi juga menyebabkan perbedaan– perbedaan terhadap nilai-nilai, pengertian atau makna peralihan tingkat sepanjang hidup yang dalam ilmu antropologi disebut “stage a long the life cycle” seperti masa bayi, masa penyapihan, masa remaja, masa pubertes, masa sesudah nikah, masa tua dan sebagainya”.

Masyarakat Karo adalah salah satu bagian dari berbagai suku bangsa di

Indonesia. Masyarakat Karo adalah suku bangsa yang berasal dari dataran tinggi

Kabupaten Karo, dan sebagian menyebar (merantau) ke seluruh pelosok tanah air.

Menurut Neumann dalam Martin Perangin-angin (1986:13) wilayah Karo adalah

seluruh wilayah yang luas, yang terlepas dari perbedaan-perbedaan antara suku, yang

menganggap dirinya termasuk ke dalam Karo. Seluruh perpaduan suku-suku Karo

diikat oleh suatu dialek yang dapat dimengerti dimana-mana dan hampir tidak ada

perbedaannya antara satu dengan yang lain. Masyarakat Karo bermukim di Kabupaten

Karo, Langkat, Deli Serdang, Simalungun, Dairi, dan Aceh Tenggara. Mereka

memiliki adat istiadat, bahasa, kesenian, dan tata pergaulan yang hampir sama

(Bangun,1986:148).

(18)

2

Pada masa sebelum masuknya Belanda ke tanah Karo, masyarakat Karo

terkenal dengan struktur (susunan) masyarakatnya yaitu kuta1

Masyarakat Karo yang pada umumnya masih memegang teguh nilai dan

norma-norma dari sangep nggeluh

. Sendi-sendi kehidupan

terutama mengenai pelaksanaan adat masih dipegang teguh oleh masyarakatnya

(Sitepu,1996:63). Namun, terjadinya perubahan dan perkembangan dalam

masyarakat, menimbulkan perbedaan golongan terutama dikaitkan dengan sejarah dan

keturunan suatu keluarga. Meskipun demikian tidak merupakan suatu ancaman bagi

kesatuan dan kekompakan masyarakat Karo karena hal itu mereka terima sebagai

suatu kenyataan. Dalam kehidupan sehari-hari adanya perbedaan itu tidak merupakan

suatu penonjolan kekuasaan atau mendapatkan perlakuan istimewa. Hal ini

disebabkan karena masih adanya ikatan lain yang cukup besar fungsinya seperti

hubungan keluarga dan adat yang berlaku.

2

. Pada masa sekarang ini hubungan kekerabatan

masyarakat Karo masih tetap merupakan suatu unsur yang penting dalam segala aspek

kehidupan. Jaman Tarigan (1980:2) mengatakan hubungan kekerabatan pada

masyarakat Karo berdasarkan merga3. Lebih lanjut Tarigan (1980:23) mengatakan

pada seminar gelemen4

“Merga Ginting terdiri dari Suka, Babo, Sugihen, Gurupatih, Anjartambun, Capah, Beras, Garamata, Jadibata, Munte, Manik, Sinusinga, Jawak, Saragih, Tumangger, Pase. Merga Karo-karo

merga silima, iket sitelu, tutur siwaluh merkomendasikan

pengunaan merga berdasarkan Gelemen Silima dan jumlah sub marga 86, yaitu:

1

Kuta (desa) dihuni oleh merga tertentu.Mereka ini disebut “si mateki kuta”(kelompok pendiri kampung).Untuk mendirikan kuta ini, si mateki kuta membawa serta anak beru, senina,dan kalimbubunya.anak beru dibawa pada waktu mendirikan kuta ini beserta keturunanya disebut anak beru si ngian rudang. Selanjutnya kalimbubu yang dibawa pada waktu pendirian kuta ini beserata keturunanya disebut kalimbubu si majek lulan.

2

Sangkep nggeluh adalah istilah kelompok kekerabatan pada masyarakat Karo

3

Merga adalah istilah yang dipaki masyarakat karo dalam menyebutkan nama merga, nama keturunan yang didapatkan menurut garis ayah dan untuk perempuan disebut beru

4

Gelemen adalah istilah kelompok-kelompok merga dalam suku Karo

(19)

3

terdiri dari Karo Sekali, Sinulinga, Surbakti, Barus, Sinukaban, Sinubulan, Ujung, Purba, Ketaren, Gurusinga, Kaban, Sinuhaji, Kemit, Bukit, Sinuraya, Kandibata, Samura, Sitepu, Kacaribu, Karo Biring. Merga Sembiring terdiri dari Sembiring si man biang: Keloko, Sinulaki, Kembaren, Sinupayung, Sembiring simantangken biang: Brahmana, Colia, Pandia, Depari, Guru kinayan, Pande Bayang, Meliala, Pelawi, Tekang, Muham, Depari, Busuk, Sinuhaji, Keling, Bunuhaji. Merga Tarigan terdiri dari Sibero, Silangit, Tua, Tambak, Tegor, Gersang, Gerneng, Gana-gana, Jampani, Tambun, Bondong, Pekan, Kahak, Purba. Merga Peranginangin terdiri dari Mano, Sebayang, Sinurat, Pinem, Namohaji, Sukatendi, Pincawan, Perbesi, Ulinjandi, penggurun, Uwir, Lakasa, Singarimbun, Kelit, Kacinambun, Bangun, Tanjung, Benjerang”.

Ideologi-ideologi merga telah mempersatukan masyarakat Karo ke dalam

sitem kekerabatan sangkep nggeluh meskipun mereka tidak memiliki keterikatan

genelogis yang dapat ditelusur. Namun, ada dua hal penting yang mempengaruhi

hubungan sangkep nggeluh, yaitu kelahiran dan perkawinan. Kedua hal tersebut akan

menimbulkan hubungan genetika yang dapat diketahui jauh dekatnya hubungan

kekerabatan dalam masyarakat Karo itu sendiri. Sarjani Tarigan (2009:108)

mengatakan pada masyarakat Karo, perkawinan menjadi petanda bahwa seseorang

telah mempunyai hak untuk bicara dalam pertemuan adat maupun hak untuk

mengadakan upacara adat. Perkawinan juga merupakan saranan perluasan tali ikatan

antara kelompok kekerabatan sangkep nggeluh, yaitu sukut, kalimbubu dan anak beru.

Perkawinan merupakan kebutuhan seksual yang harus dipenuhi oleh setiap

manusia yang sudah dewasa untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya dan

meneruskan keturunan (Konentjaraningrat,1980:89-90). Perkawinan adalah moment

yang sangat penting dalam hidup seseorang karena akan dikenang sepanjang hidup.

Pernikahan menyatukan dua manusia menjadi satu keluarga. Pernikahan juga menyatukan

dua keluarga besar dalam jalinan persaudaraan. Dalam pernikahan, dilakukan beberapa

acara mulai dari ritual pernikahan atau acara–acara adat sampai dengan resepsi

(20)

4

pernikahan. Resepsi pernikahan yang identik dengan pesta pernikahan, baik itu secara

sederhana maupun pesta besar –besaran.

Perkawinan (perjabun) pada masyarakat Karo bersifat religius dengan

menganut sistem Eksogami, yakni seseorang harus kawin dengan orang-orang di luar

merganya(klan) kecuali pada merga Peranginangin dan merga Sembiring. Sifat

religius dalam perkawinan masyarakat Karo terlihat dengan adanya perkawinan yang

jujur, maka tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang berkawin saja, tetapi juga

mengikat kedua belah pihak keluarga termasuk arwah-arwah leluhur mereka (Prinst

2004:71).

Adanya larangan perkawinan semerga dalam masyarakat Karo, karena

masyarakat Karo menganggap bahwa orang yang semerga adalah satu nenek moyang

atau sedarah. Namun, ada pengecualian pada merga Peranginangin dan Sembiring.

Merga Peranginangin membagi merga tersebut menjadi dua kelompok merga besar

yakni Bangun dan Sebayang karena menurut apa yang diketahui oleh masyarakat

Karo bahwa kedua kelompok merga tersebut memiliki nenek moyang yang berbeda.

Merga Sembiring juga membagi merga tersebut menjadi dua kelompok berdasarkan

larangan makanan (si man biang dan si la man biang5

5

si man biang dan si la man biang adalah larangan pada kelopok merga sembiring yang yang bias memakan daging anjing dan kelompok yang dilarang memakan daging anjin

). Hal larangan perkawinan

semerga juga ditulis oleh Pdt. Surbakti di dalam buku bimbingan Permata GBKP,

Pdt.Surbakti (2008:64) mengatakan:

“Perkawinan semerga (sumbang atau incest) dalam masyarakat Karo merupakan suatu hal yang memalukan karena dianggap masih ada hubungan darah”

(21)

5

Larangan perkawinan semerga yang dilangsungkan oleh masyarakat Karo

dimaksudkan untuk menjaga kemurnian keturunan berdasarkan sistem kekerabatan

gelemen merga silima, sangkep nggeluh, tutur siwaluh pada masyarakat Karo.

Larangan perkawinan dalam masyarakat Karo tidak hanya pada merga tetapi juga

dalam kekerabatan sangkep nggeluh, misalnya dengan sepemeren adalah orang-orang

yang bersaudara ersenina,erturang6 karena ibu mereka bersaudara, atau beru7 ibu

mereka adalah sama. siperibanen adalah orang-orang yang bersaudara ersenina

karena istri mereka bersaudara sembuyak, atau beru istri mereka sama. Sipengalon

adalah persaudaraan yang timbul karena anak perempuan kita menikah kepada merga

tertentu, kalimbubu dari suami anak perempuan kita menjadi sipengalaon dengan kita.

Sendalanen adalah persaudaraan yang timbul karena ia menjadi menantu laki-laki dari

“mama”8, atau karena ia mengawini impal9

Masyarakat Karo sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya khususnya

dalam hal perkawinan (Prinst, 2004:71). Namun, kenyataannya pada masyarakat Karo

telah terjadi pelanggaran terhadap nilai dan norma-norma dalam budaya sangkep

nggeluh khususnya di desa Sugau, kecamatan Pancur Batu, kabupaten Deli Serdang.

Pelanggaran yang dilakukan itu adalah perkawinan semerga. Adapun yang melakukan

perkawinan semerga tersebut antara lain merga karo Sitepu dengan beru

Karo-karo Gurusinga, merga Karo-Karo-karo Gurusinga dengan beru Karo, merga Karo-Karo-karo (sepupu silang).

6

Senina adalah istilah pangilan kepada sesame Laki-laki yang mempunya merga yang sama dan pangilan kepada sesame perempuan jika beru mereka sama dan erturang adalah istilah pangilan kepad seorang laik-laki kepada perempuan dan sebaliknya jika merga laki-laki sama denga beru

siperempuan.

7

Beru adalah istilah yang sama dengan merga, merga digunakan untuk anak laki-laki sedangkan beru

untuk anak perempuan

8

Mama istilah pagilan kepada saudara laki-laki ibu atau pangilan kepada ayah istri kita

9 Impal adalah istilah yang dipakai oleh dalam masyarakat Karo untuk sapaan kepada mereka yang

sepupu silan dan bagi mereka yang berbeda merga.

(22)

6

Gurusinga dengan beru Karo-karo Sinuraya, merga Tarigan Tambak dengan beru

Tarigan Sibero, merga Karo-karo Sinuraya dengan beru Karo.

Pada masyarakat Karo, perkawinan semerga seorang pria dan seorang

perempuan adalah sebuah larangan keras, sebab perkawinan semerga itu sama dengan

menikahi saudara kandung sendiri. Dari penjelasan di atas perkawinan semerga

merupakan tindakan yang tidak sesuai peraturan-peraturan dalam budaya Karo

khususnya dalam perkawinan.

Pada masa sebelum masuknya Belanda ke tanah Karo dan pada masyarakat

Karo dataran tinggi (Kabupaten Karo), pasangan yang melakukan pelanggaran atas

ketetapan akan dihukum berat seperti pengusiran dari desa, tidak diakui sebagai

anggota merga, dilarang mengikuti upacara adat (Bangun,1986:24). Di desa

Kandibata, kecamatan Munthe seorang yang melakukan perkawinan semerga diusir

dari kampung dan disuruh tinggal di ladang dan konon di desa Serdang, kecamatan

Barusjahe orang yang melakukan perkawinan semerga akan dihukum mati dengan

dipengal kepalanya. Namun, berbeda di desa Sugau pasangan yang melakukan

perkawinan semerga tidak diberi sanksi walaupun perkawinan yang mereka lakukan

tidak sesuai dengan adat perkawinan masyarakat Karo. Hal ini menunjukkan bahwa

adat istiadat kebudayaan Karo yang asli diduga telah mengalami pergeseran nilai

budaya Karo pada masyarakat Sugau, kecamata Pancur Batu, kabupaten Deli

Serdang.

Wan Chaidir Barus, ketua Pemangku Adat Urung Senembah Patumbak

mengatakan:

“Masyarakat Karo yang tinggal di dataran tinggi adat istiadat asli tersebut lebih kuat, sedangkan di dataran rendah dipengaruhi

(23)

7

kebudayaan melayu dan agama islam”(Wawancara TV One dengan Wan Chidrin Barus,patumbak,11 November 2013).

Desa Sugau termasuk dataran rendah wilayah Karo dan dimanteki merga

Purba. Mayoritas suku dari penduduk yang ada di desa Durin Pitu adalah suku Karo,

Toba, dan Jawa. Sedangkan, mayoritas agama yang dianut Kristen Protestan (GBKP)

yang lainnya adalah Katholik, Pentakosta, dan Islam.

Fenomena tersebut membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh dan

mencatat mengenai bagaimana sebenarnya perkawinan semarga(sumbang) pada

masyarakat Karo di desa Sugau, kecamatan Pancur Batu, kabupaten Deli Serdang,

provinsi Sumatra Utara.

1.2. Tinjauan Pustaka

Menurut Roger M Keesing (1981:212), sistem kekerabatan bukan hanya

karena adanya ikatan perkawinan atau karena adanya hubungan keluarga, tetapi

karena adanya hubungan darah. Selain itu Keesing juga mengungkapkan bahwa kunci

pokok sistem perkawinan adalah kelompok keturunan (linege) dan garis keturunan

(descent). Angota kelompok keturunan saling berkaitan mempunyai nenek moyang

yang sama. Kelompok keturunan ini bersifat patrilinear atau matrilinear.

Koentjaraningrat (1974:113) berpendapat bahwa suatu kelompok adalah

kesatuan individu yang diikat oleh sekurang kurangnya 6 unsur, yaitu:

1. Sistem norma-norma yang mengatur tingkah laku warga kelompok.

2. Rasa kepribadian kelompok yang disadari semua warganya.

3. Interaksi yang intensif antar warga kelompok.

4. Sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antar warga kelompok.

(24)

8

5. Pemimpin yang mengatur kegiatan-kegiatan kelompok.

6. Sistem hak dan kewajiban terhadap harta produktif

Koentjaraningrat (1974:114) juga membedakan 3 kategori kekerabatan

berdasarkan fungsi-fungsinya sosialnya, yaitu:

1. Kelompok kekerabatan berkorporasi, biasanya mempunyai ke-6 unsur

tersebut. Istilah “berkorporasi” umumnya menyangkut unsur 6 tersebut yaitu

adanya hak bersama atas sejumlah harta.

2. Kelompok kekerabatan tidak memiliki unsur 6 tersebut, terdiri dari banyak

anggota, sehingga interaksi yang terus menerus dan intensif tidak mungkin

lagi, tetapi hanya berkumpul kadang-kadang saja.

3. Kelompok kekerabatan menurut adat, biasanya tidak memiliki unsur pada

yang ke 4, 5 dan 6 bahkan 3. Kelompok-kelompok ini bentuknya sudah

semakin besar, sehingga warganya seringkali sudah tidak saling mengenal.

Rasa kepribadian sering kali juga ditentukan oleh tanda-tanda adat tersebut.

Koentjaraningrat (1974:115) juga mengelompokan kekerabatan ke dalam

beberapa golongan, yaitu:

1. Kindret yakni, berkumpulnya orang-orang saling membantu melakukan

kegiatan-kegiatan bersama saudara, sepupu, kerabat isteri, kerabat yang lebih

tua dan muda. Dimulai dari seorang warga yang memprakarsai suatu kegiatan.

Bisanya hubungan kekerabatan ini dimanfaatkan untuk memperlancar bisnis

seseorang.

2. Keluarga luas yakni, kekerabatan ini terdiri dari lebih dari satu keluarga inti.

Terutama di daerah pedesaan, warga keluarga luas umumnya masih tinggal

berdekatan, dan seringkali bahkan masih tinggal bersama-sama dalam satu

(25)

9

rumah. Kelompok kekerabatan berupa keluarga luas biasanya dikepalai oleh

anggota pria yang tertua. Dalam berbagai masyarakat di dunia, ikatan keluarga

luas sedemikian eratnya, sehingga mereka tidak hanya tinggal bersama dalam

suatu rumah besar, tetapi juga merupakan satu keluarga inti yang besar.

3. Keluarga ambilineal kecil yakni, terjadi apabila suatu keluarga luas

membentuk suatu kepribadian yang khas, yang disadari oleh para warga.

Kelompok ambilineal kecil biasanya terdiri dari 25-30 jiwa sehingga mereka

masih saling mengetahui hubungan kekerabatan masing-masing.

4. Klen kecil yakni, kelompok kekerabatan yang terdiri dari beberapa keluarga

luas keturunan dari satu leluhur. Ikatan kekerabatan berdasarkan hubungan

melalui garis keturunan pria saja (patrilineal), atau melalui garis keturunan

perempuan saja (matrilineal), jumlah sekitar 50-70 orang biasanya mereka

masih saling mengenal dan bergaul dan biasanya masih tinggal dalam satu

desa.

5. Klen besar yakni, kelompok kekerabatan yang terdiri dari semua keturunan

dari seorang leluhur, yang diperhitungkan dari garis keturunan pria atau

perempuan, sosok leluhur yang menurunkan para warga klen besar

berpuluh-puluh generasi yang lampau iru sudah tidak jelas lagi dan seringkali sudah di

anggap keramat. Jumlah yang sangat besar menyebabkan mereka sudah tidak

mengenal kerabat-kerabat jauh.

6. Frati yakni, gabungan antara patrilineal maupun matrilineal, dan dari

kelompok klen setempat (keln kecil ataupun bagian klen besar). Namun

penggabungannya tidak merata.

(26)

10

7. Paroh masyarakat, kelompok kekerabatan gabungan klen seperti frati, tetapi

yang selalu merupakan separoh dari suatu masyarakat.

Suatu kelompok atau kekerabatan yang besar adalah klen diterjemahkan

marga sebuah kelompok kekerabatan keturunan yang anggota-angotanya bisa

diurutkan pada suatu leluhur pria atau perempuan tetapi tidak tahu secara pasti

hubungan genologis yang menghubungkan mereka dengan sah leluhur pria atau

perempuan tersebut klen terbagi dua yaitu klen kecil dan klen besar.

Edward bruner dalam (T.O.Ihromi, 2006:159) menemukan kasus di Tapanuli

bahwa Marga adalah kelompok kekerabatan yang meliputi orang-orang yang

mempunyai kakek bersama atau yang percaya bahwa meraka adalah keturunan dari

seorang kakek bersama menurut perhitungan garis patrilinear, angota satu marga

dilarang kawin karena marga adalah kelompok yang eksogam. Jadi semua orang yang

semarga adalah orang yang berkerabat dan dengan orang lain marganya dapat juga

dicari kaiatan kekerabatan, karena mungkin saja mereka mempunyai hubungan

kekerabatan dengan bibi, paman atau saudara lain, melalui hubungan perkawinan.

Orang luar atau bukan kerabat, yang mula-mula dipersepsikan sebagai suatu golongan

besar yang tidak dibeda-bedakan, sehubungan dengan pengalaman-pengalaman

pergaulan sosial, hubungan pekerjaan dan hal-hal lain yang dapat dianggap sebagai

salah satu indikator dari derajat kemodrenan-lambat laun mengalami penghalusan dan

satuan besar yang tadinya kabur itu disadari oleh orang Batak Toba sebagai

golongan-golongan yang berbeda-beda.

Dalam Bab 1 Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang

diundangkan tanggal 2 Janwari 1974, penegertian Perkawinan adalah ikatan lahir

batin antara seorang peria dan sseorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan

(27)

11

membentuk keluarga yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa10

1. Perkawinan memberikan ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan

kepada anak-anak.

. Menurut Koentjaraningrat (1980:90) mengungkapkan:

“Dipandang dari sudut kebudayaan manusia, maka Perkawinan merupakan pengaturan kelakuan manusia yang bersangkutpaut dengan kehidupan seksnya . Karena, menurut pengertian masyarakat, perkawinan menyebabkan seorang laki-laki tidak boleh melakukan hubungan seks dengan sembarangan perempuan lain, tetapi hanya dengan satu atau beberapa tertentu dalam dalam masyarakat yaitu perempuan yang sudah di saluhkan sebagai istrinya”.

Suparlan (1986:30) mengatakan bahwa perkawinan merupakan hubungan

antara laki-laki dan perempuan yang dilakukan secara sah oleh masyarakat yang

bersangkutan dan berdasarkan atas peraturan-peraturan perkawinan yang berlaku

dalam masyarakat tersebut. Perkawinan tidak hanya menunjukkan adanya hubungan

seksual saja, tetapi juga melibatkan hubungan–hubungan antara kerabat dari

masing-masing pasangan tersebut.

Dari sebuah perkawinan diharapkan terjadinya proses regenerasi dan juga

penerusan tradisi masyarakat melalui keluarga yang dibentuk oleh mereka yang

melaksanakan perkawinan tersebut. Dalam hal regenerasi dapat dilakukan dengan

cara menarik garis keturunan dari sistem kekeluargaan yang diatur oleh masyarakat

adat (Koencaraningrat,1883:40).

Menurut Warsani Salim S.H (1978:147), perkawinan mempunyai beberapa

fungsi,yaitu:

2. Perkawinan memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup.

10

September 2014

(28)

12

3. Perkawinan dapat dianggap sebagai alat untuk meneruskan garis keturunan

(pada masyarakat yang ber-clan dan yang organisasi clanya masih kuat sekali,

perkawinan biasanya merupakan urusan keluarga luas, yang melaksanakan

hal-hal yang perlu, menyediakan calon yang baik,dsd).

4. Perkawinan dapat pula menjadi alat untuk mengedarkan harta benda dan

kekayaan.

5. Perkawian dapat menjadi alat pengikat antara satuan-satuan kekerabatan

tertentu.

Sumbang atau incest muncul apabila adat eksogami dalam suatu masyarakat

dilarang. Dengan demikian, sumbang yang terjadi didalam suatu masyarakat yang

berdasarkan adat eksogami keluarga inti adalah persetubuhan antara dua orang

saudara kandung, atau antara ayah atau ibu dengan anaknya. Dalam banyak

masyarakat di dunia sumbang merupakan dosa besar, yang bahkan dapat diancam

dengan hukuman mati, hukuman buang (Koentjaraningrat 1997:97).

Perkawinan semarga adalah suatu penyimpangan dalam masyarakat

berdasarkan adat yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Penyimpangan

merupakan prilaku yang sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan

di luar batas toleransi (Sunarto)11

Masyarakat Karo mengenal 5 besar merga dan terdiri dari beberapa sub

merga. Keputusan Hasil Kongres Kebudayaan Karo 3 Desember 1995 di Sebayak . Oleh sebab itu, pelanggaran atas ketentuan ini akan

dihukum berat, seperti pengusiran dari kampung (desa), tidak diakui sebagai anggota

marga dan dilarang mengikuti upacara adat.

11

hppt://books-googel,co.id-/perkawinansemargadalammasyarakatindonesia,/;hfadsbfas-vbbkdciesndo.id.ed, diakses 12 September 2014

(29)

13

International Hotel Berastagi ditetapkan pengunaan merga berdasarkan Merga Silima,

yaitu :

1. Merga Ginting (16 sub merga)

2. Merga Karo-karo (20 sub merga)

3. Merga Perangin-angin (18 sub merga)

4. Merga Tarigan (14 sub merga)

5. Merga Sembiring (18 sub merga)

Menurut Sempa Sitepu (1996:34), perkembanganya dan pertumbuhan merga

dirasakan memiliki nilai dan manfaat yang cukup besar. Adapun nilai dan manfaat

merga itu dari hasil kajian ialah sebagai berikut:

“Merga membuat seseorang angota masyarakat Karo dihargai, disegani dan dihormati, merga sebagai tanda pengenal bagi angota masyarakat Karo, merga sebagai tanda garis keturunan seseoragn dalam masyarakat Karo, merga bagian atau unsur yang terdapat dalam hak pemilihan dan pewarisan pada suku Karo dan merga menunjukan posisi atau sangkut paut keluarga dan lingkungan secara langsung maupun tidak lagsung.

Sistem kekerabatan orang Karo menempatkan posisi seorang secara pasti sejak

dilahirkan hinga meningal kedalam 3 posisi yang disebut sangkep nggeluh. Menurut

Darwin Prinst (2004:43), sangkep nggeluh adalah bagian dari masyarakat Karo yang

merupakan landasan bagi sistem kekerabatan dan semua kegiatan khususnya kegiatan

yang bertalian dengan pelaksanaan adat-istiadat dan interaksi pada masyarakat Karo.

sangkep nggeluh ini didukung oleh tiga aktor yang dikenal dengan kalimbubu, sukut,

dan anak beru. Hal ini maka setiap individu masyarakat Karo terikat kepada sangkep

nggeluh. Melalui sangkep nggeluh masyarakat Karo saling berkerabat, baik

berkerabat karena hubungan darah (seketurunan), maupun berkerabat karena

(30)

14

hubungan perkawinan (perjabun). Adapun nilai-nilai yang dominan yang terdapat di

dalam sangkep nggeluh adalah nilai gotong royong dan kekerabatan juga berfungsi

sebagai pengendali sosial.

Sukut dalam kekeluargaan suku Karo dimaksudkan sukut tersebut sembuyak

dan senina.

a) Sembuyak artinya saudara kandung; satu perut dalam satu ayah dan satu ibu.

b) Senina artinya saudara; karena satu nenek, dalam hal ini dari pihak ayah dan

satu marga.

Kalimbubu adalah kelompok pemberi dara bagi keluarga (merga) tertentu.

Dalam hal kehidupan sehari-hari, sering disebut juga dibata ni idah (Tuhan yang

kelihatan). Di dalam perkawinan, kalimbubu adalah pihak keluarga perempuan yang

dikawinkan. Dalam hal ini, bila pihak mereka kawin dengan seorang perempuan,

maka keluarga pihak perempuan itu adalah kalimbubu mereka. Hal itu disebabkan

adanya perkawinan tersebut maka nenek, ayah, dan anak-anaknya semua telah masuk

jadi golongan kalimbubu.

Anak beru berarti anak perempuan dan di dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat Karo dikenal sebagai kelompok yang mengambil istri dari keluarga

(marga) tertentu. Di dalam perkawinan anak beru adalah keluarga laki-laki yang

kawin atau mengambil anak perempuan suatu keluarga. Contoh adalah keluarga

merga Ginting menikah dengan perempuan keluarga merga Sembiring, maka

keluarga merga Ginting akan menjadi anak beru keluarga merga Sembiring.

Tutur Siwaluh merupakan pengembangan fungsi dari sangkep nggeluh. tutur

siwaluh terdiri dari;

(31)

15

1. Puang Kalimbubu ialah semua kalimbubu dari kalimbubu itu sendiri dengan

berbagai tingkatannya.

2. Kalimbubu ialah kelompok pemberi dari bagi keluarga merga tertentu.

3. Sembuyak artinya saudara kandung; satu perut dalam satu ayah dan satu ibu.

4. Senina artinya saudara; karena satu nenek, dalam hal ini dari pihak ayah dan

satu merga.

5. Senina sepemeren ialah saudara karena ibu bersaudara.

6. Senina seperibanen ialah saudara karena istri bersaudara.

7. Anak beru ialah anak perempuan dan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat

Karo.

8. Anak beru menteri ialah (menteri asal katanya minteri) yaitu anak beru dari

anak beru itu sendiri.

Marse singarimbun dalam Bangun Teridah (1986:121) mengatakan

masyarakat Karo sangat menyetujui perkawinan cross-cousin pihak ibu (cross-cousi

dari matrilateral) hal itu merupakan tanda bahwa keluarga dari pasangan tersebut

mempunyai hubungan yang baik antara anak beru dengan kalimbubu, karena begitu

idealnya perkawinan seorang laki-laki dengan Impalnya, sehingga seorang perempuan

atau ibu merasa mempunyai kewajiban moral untuk berusaha agar salah satu anak

laki-lakinya menikah dengan salah seorang anak perempuan saudara laki-lakinya.

Alasan bagi orang tua untuk mempertemukan anak laki-lakinya dengan impalnya agar

hubungan kekerabatan antara keluarga tetap terpelihara, saling menghormati di mana

sang menantu menganggap mertua adalah orang tuanya sendiri, agar menatu tidak

khawatir menyampaikan persoalan dan masalah yang timbul dalam rumah tangga.

Orang tua dan mertua sendiri ikut serta dalam membantu kesejahtraan rumah tangga

(32)

16

anaknya tanpa selalu jauh mencampuru urusan rumah tangga anaknya, suami istri ini

adalah kelompok keluarga yang dekat, karena ada hubungan darah, maka biasanya

mereka mampu mengendalikan diri untuk menciptakan kerukunan rumah tangga

walaupun sering terjadi masalah dalam perjalanan hidup mereka.

Menurut Darwin Prinst (2004:75), ada beberapa syarat perkawinan pada

masyarakat suku Karo, yaitu:

1. Tidak berasal dari satu merga, kecuali merga Perangin-angin dan

merga Sembiring.

2. Bukan menurut adat, dilarang untuk berkawin ertutur (bersaudara)

sipemeren, dan erturang impal.

3. Sudah dewasa, dalam hal ini tidak mengukur kedewasaan seseorang

tidak dikenal batas usia yang pasti, tetapi berdasarkan pada

kemampuan untuk bertangung jawab untuk memenuhi kebutuhan

keluarga. Untuk laki-laki, hal ini diukur dengan telah mampu membuat

peralatan rumah tangga, peralatan bertani dan telah mengetahui

peraturan adat berkeluarga (Meteh Mehuli12). Sedangkan, untuk

perempuan hal ini diukur dengan telah akal baik ,telah mengetahui

adat (Meteh Ertutur13

Lebih lanjut lagi menurut Darwin Prinst (2004:75), ada beberapa fungsi dalam

perkawinan masyarakat Karo, antara lain: ).

1. Melanjutkan hubungan kekeluargaan.

12

Meteh Mehuli istilah yang dipakai masyarakat karo untuk mengambarkan seseorang yang bepilaku baik.

13

Meteh Ertutur istilah dalam basar karo untuk menyatakan sopan santun dalam berbicara dengan saudara dan mengetahui sistem kekerabatan dalam suku karo.

(33)

17

2. Menjalin hubungan kekeluargaan, apabila sebelumnya belum ada hubungan

kekeluargaan.

3. Melanjutkan keteraturan dengan lahirnya anak laki-laki dan perempuan.

4. Menjaga kemurnian suatu keturunan.

5. Menghindari berpindahnya harta kekayaan kepada keluarga lain.

6. Mempertahankan atau memperluas hubungan kekeluargaan

Pembatasan jodoh dalam perkawinan masyarakat di dunia ada

larangan-larangan yang harus dipatuhi dalam memilih jodoh. Di dalam masyarakat Karo,

seseorang itu dilarang kawin dengan saudara sekandungnya (eksogami keluarga inti),

sepemeren, seperibanen, sipengalon, sendalanen dan juga seseorang dilarang kawin

dengan sesame marga (eksogami marga). Misalnya seorang laki-laki bermerga

Ginting kawin dengan merga Ginting karena mereka adalah sedarah, walupun mereka

tidak saling kenal.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan

masalah dalam penelitian ini adalah fenomena perkawinan semerga pada masyarakat

Karo di Desa Sugau. Pokok permasalahan ini akan dijabarkan ke dalam 2(dua)

pertanyaan penelitian yaitu:

1. Bagaimana peroses perkawinan semerga bisa terjadi pada bangsa suku Karo di

desa Sugau?

2. Bagaimana perubahan pada budaya Sangkep nggeluh dan Tutur Siwalu dalam

perkawinan Semarga?

(34)

18 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah:

1. Untuk mengetahui fenomena terjadinya perkawinan semerga di desa Sugau.

2. Mengetahui faktor dan alasan penyebab terjadinya perkawinan semerga di

desa Sugau.

3. Mengetahui perubahan pada budaya Sangkep nggeluh dan Tutur Siwalu dalam

perkawinan semarga.

1.4.2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ada dua yaitu secara akademis dan secara praktis. Secara

akademis adalah menambah kekhasan, keilmuan, dan kepustakaan bidang antropologi

untuk dijadikan sebuah kajian dan pembelajaran sekaligus memperkaya literatur

mengenai perkawinan semerga pada masyarakat Karo dan suku bangsa yang lain.

Secara praktis, peneliti ini diharapkan dapat dijadikan informasi tentang sistem

kekerabatan marga silima, sangkep nggeluh, tutur siwaluh di dalam perkawinan

semerga, memberikan informasi mengenai semerga serta memberikan bahan dan

masukan khususnya untuk masyarakat Karo.

1.5. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data dan gambaran yang

mendalam tentang perubahan merga silima, sangkep nggeluh, dan tutur siwaluh,

penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi etnografi.

Etnografi merujuk pada defenisi Spradley (1997:3). Yang merupakan pekerjaan untuk

mendekripsikan suatau budaya yang bertujuan untuk memahami suatu pandangan

(35)

19

hidup dari sudut pandang penduduk asli. Defenisi ini juga sejalan dengan pendapat

Malinoski bahwa tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk asli,

hubungan dengan kehidupan untuk mendapatkan pandangan mengenai dunia. Untuk

mendeskripsikan hal tersebut, maka peneliti melkukan penelitian lapangan

sebagiamana cara untuk memperoleh dara primer dan data sekunder.

Melalui pendekatan ini, nantinya diharapkan dapat membantu dalam

menggali informasi sebanyak mungkin di lapangan, sehingga didapatkan data yang

diinginkan. Tentunya dengan observasi dan wawancara.

1.5.1. Data Primer

Data primer adalah salah satu data yang diperoleh dari observasi (pengamatan)

dan wawancara lapangan:

1. Observasi partisipasi.

Dalam observasi partisipasi, pengamatan yang dilakukan melibatkan peneliti

secara langsung dalam kegiatan di lapangan yakni dengan cara ikut berpartisipasi

dalam melakukan kegiatan subjek penelitian. Salah satunya ikut serta dalam kegiatan

adat (Mengket Rumah Mbaru14, Nurunken Kalak Mate15, Acara perjabun16

2. Wawancara mendalam

dan

sebagainya) yang akan dilakukan subjek penelitian dan lain sebagainya.

Wawancara mendalam merupakan suatu cara mengumpulkan data atau

informasi dengan cara bertatap muka atau berkomunikasi langsung dengan informan.

14

Mengket Rumah Mbaru adalah upacara yang diadakan oleh mayarakat karo saat hendak memasuki rumah yang baru. Acara ini akan melibatkan keluarga Sanggkep Nggeluh. Upacara ini tergolong sebagai peseta suak cita dan mulia, kareana upacara ini menggambarkan kesuksesaan tuan umah.

15

Nurunken Kalak Mate adalah Upacaara kematian pada masyarakat karo yang dihadiri oleh seluruh keluarga, dimana dalam upacara ini semua tingkata akan meberikan kata turut berduka cita dan nasehat-nasehat.

16

Acara perjabub adalah acara adat pernikahan pada masyarakat Karo

(36)

20

Teknik wawancara digunakan untuk mendapatkan keterangan dan penjelasan yang

lebih mendalam secara lisan dari informan. Wawancara mendalam ini akan dibantu

dengan pedoman wawancara agara lebih terarah. Sebelum melakukan wawancara,

peneliti terlebih dahulu membuat janji dengan informan dan menentukan lokasi

dilakukannya wawancara. Adapun informan yang digunakan dalam wawancara dalam

penelitian ini adalah:

Informan pangkal yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemuka adat

Karo didesa Sugau disini peneliti mewawancarai masyarakat Karo desa Sugau yang

mengetahui adat perkawinan pada masyarakay dan keturunan dari pematek kuta disini

yang diwawancarai peneliti adalah orang yang paling dituakan dalam merga Purba,

Tokoh agama yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah masyarakat Karo yang

memeiliki jabatan sebagai pengurus dalam agama mereka seperti Pendeta, Pertua,

Diaken dan tokoh agama islam, pemerhati budaya karo disini adalah orang-orang

yang memeberikan sebagaian waktunya untuk menulis mengenai kebudayaan

masyarakat Karo, dan kerabat dekat yang di wawancarai adalah para kalimbubu, anak

beru, sukut dan anak pelaku perkawinan semerga. Selanjutnya, informasi yang

didapat dijadikan sebagai pebanding dan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi

yang dibutuhkan selanjutnya.

Informan pokok (Utama) yang digunakan dalam penelitian ini adalah delapan

keluarga yang melakukan perkawinan semerga di Desa Sugau. Namun, hanya lima

keluarga yang bersedia di wawancarai oleh peneliti dan Kepala desa Sugau dijadikan

sebagai informan pokok kareana bagai masyarakat di desa Sugau yang ingin menikah

maka pernikahan itu harus diketahu dan mendapatkan ijin dari kepala desa dan salah

satu pelaku perkawinan semerga adalah kerabat dari beliau. Sehinga informan dipilih

(37)

21

karena mereka telah mengalami perkawinan semarga sehingga dan mengetahu

fenomena perkawian semerga, peneliti menganggap objek penelitian paham benar

mengenai masalah peneliti yang dilakukan. Informan biasa yang digunakan dalam

penelitian ini adalah masyarakat penduduk desa Sugau. Mereka telah mengikuti

perkawinan semarga yang telah dilakukan subjek penelitian.

1.5.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumentasi yang ada pada

Kantor Camat, Kepala Desa, buku kepustakaan, artikel, surat kabar, jurnal, internet,

dan lain-lain. Data tersebut digunakan sebagai perlengkapan dan penyempurnaan hasil

dari observasi dan wawancara.

Selama proses pengumpulan data penelitian akan menggunakan rekaman, baik

suara, video dan catatan lapangan (fieldnote), untuk membantu mendokumentasikan

hal-hal yang diteliti untuk memperkecil kemungkinan ada bagian dari pengumpulan

data yang terlewatkan.

1.5.3. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu peroses pengaturan data yang diorganisir dalam

suatu bentuk atau kategori. Data yang diperoleh dari lapangan akan peneliti analisis

secara kualitatif (Moleong)17

17

. Dalam hal ini peneliti melakukan pengelompokan data

ke dalam kategori-kategori tertentu dan mencari cara hubungan-hubungan data

tersebut. Peroses analisia data ini diawali dengan cara mengumpulkan data-data dari

lapangan berupa dasil observasi maupun wawancara serta data-data yang diperoleh

dari studi kepustakaan yang mengambarkan fenomenan parkawinan semerga pada

masyarakat Karo di desa Sugau, Kce. Pancur Batu, Kab. Deli Serdang.

(38)

22

Kemudian peneliti mengatorikan data tersebut berdasarkan kategori-kategori

yang terkandung dalam data tersebut. Kemudian hasil analisis tersebut dipaparkan

dalam laporan hasil penelitian berupa skripsi.

1.6. Pengalaman Lapangan

Hari pertama (22 oktober 2014), peneliti mulai kelapangan dengan tujuan

untuk mengantarkan surat izin penelitian ke desa Sugau. Hal pertama yang dilakukan

peneliti dengan mendatangi kantor Kepala Desa Sugau. Namun, di dalam kantor

tersebut peneliti tidak menemukan satu orang pun berada dalam kantor tersebut.

Sehingga peneliti menanyakan kepada warga yang berdekatan rumahnya dengan

kantor Kepala Desa. Warga itu berkata kepada peneliti:

“Kepala Desanya sedang pergi ke kantor kecamatan, dan biasanya beliau tidak kembali lagi kekantor jika sudah jam 12.00 WIB”

Peneliti merasa kecewa karena telalu siang untuk pergi kekantor Kepala Desa.

Peneliti memutuskan untuk melanjutkan penelitian kerumah Kepala Desa. Karena

peneliti menduga bahwa keluarga dari Kepala Desa masih berada di rumah. Ketika

peneliti sampai didusun II Durin Pitu. Peneliti menanyakan alamat rumah Kepala

Desa kepada warga. Warga menyarankan peneliti untuk menjumpai sekretaris yang

bernama Josep Barus (32 tahun), karena beliau sedang berada di jambur. Sesampainya

peneliti di jambur, peneliti langsung menyapa sekretaris tersebut. Peneliti

memberikan surat izin lapangan tersebut. Beliau mengatakan kepada peneliti bahwa

alamat penelitian salah. Ternyata peneliti membuat alamat di desa Durin Pitu.

Sedangkan nama desa secara administrasi adalah Desa Sugau. Namun masyarakat

desa sering menyebut desa ini dengan desa Durin Pitu atau desa Simpang Durin Pitu.

(39)

23

Peneliti menyampaikan tujuannya datang ke desa Sugau. Sehingga beliau

menyuruh peneliti untuk datang pada hari senin tanggal 27 oktober 2014. Josep Barus

memberikan alasan kepada peneliti mengapa datang pada hari senin. Josep Barus

mengatakan.

“Nanti hari senin aja datang ke sini lagi, agar saya mendata dulu berapa jumlah warga yang melakukan perkawinan semarga dan saya juga menyampaikan surat ini kepada kepala desa”(wawancara, 25 Oktober 2014)

Pada tanggal 27 oktober 2014, peneliti datang kembali ke desa Sugau dan

peneliti langsung menuju ke rumah Kepala Desa. Peneliti mendapati kepala desa

Dahlan Purba (48 tahun) sedang sarapan dengan keluarga, sehingga beliau mengajak

peneliti untuk sarapan bersama, namun peneliti mengatakan bahwa dia sudah sarapan

dari Kota Medan. Sesudah beliau siap sarapan, beliau menjumpai peneliti. Peneliti

menyampaikan tujuannya datang ke desa Sugau. Lalu beliau menanyakan surat izin

penelitian lapangan kepada peneliti. Peneliti mengatakan bahwa surat izin penelitian

sudah terlebih dahulu beliau sampaikan kepada sekretaris desa pada hari sabtu tanggal

25 Oktober 2014. Beliau mengatakan kepada peneliti bahwa beliau belum menerima

surat dari sekretaris desa.

Beliau menanyakan kembali apa tujuan peneliti datang ke desa Sugau. Peneliti

menceritakan tujuanya untuk meneliti sistem kekerabatan pada masyarakat Karo yang

melakukan perkawinan semerga. Peneliti merasa sangat senang berbicara dengan

Kepala Desa karena beliau sangat ramah. Peneliti merasakan data dari Kepala Desa

sudah mulai mendalam. Sudah sekitar 1 jam berlalu pembicaraan dengan beliau,

beliau mengajak peneliti untuk berbicara di warung kopi.

(40)

24

Sesampainya di kedai kopi, peneliti merasa sangat senang karena beliau begitu

ramah terhadap pendatang. Beliau memberikan minum kepada peneliti. Ketika

peneliti sedang berbicara dengan beliau, datanglah Jonatan Purba (52 tahun) abang

kandung dari beliau. Jonatan Purba menanyakan kepada beliau siapa yang sedang

minum bersama beliau. Beliau berkata;

“Enda mahsiswa arah USU nari, penelitian tena jenda mengenai kalak perkawinan semarga bas kuta enda”(ini mahasiswa dari USU yang ingin melakukan penelitian di desa kita mengenai perkawinan semarga”(wawancara dengan D. Purba 27 Oktober 2014)

Jonatan purba mengajak peneliti untuk berbicara dan ertutur. Jonatan Purba

mengatakan kepada peneliti agar peneliti memangil dia sebagai bengkila/kila18

Karena peneliti tertarik dengan apa yang dikatakan Jonatan Purba, maka

peneliti semakin semangat untuk melakukan penelitian. Setelah sekitar 1 jam peneliti ,

karena dari ayahnya sampai dengan keluarganya telah menjadi anak beru dari merga

ginting. Jonatan Purba memberikan tanggapan mengenai perkawinan semerga yang

ada di desa Sugau ini. Tanggapan Jonatan Purba yang paling disukai peneliti adalah

ketika beliau berkata kepada peneliti.

“orang-orang yang melakukan perkawinan semerga tidak memiliki rasa malu, kadang-kadang mereka merasa bangga menunjukkan kalau dia telah menikah dengan turangnya meskipun sebagian masyarakat dulu belum bisa menerima mereka. Namun, karena keluarga mereka tidak melakukan apa-apa, sehingga masyarakat tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka yang melakukan perkawinan semerga jarang sekali terjadi keributan dalam keluarga ini” (wawancara 27 Oktober 2014)

Peneliti menayakan apa sebab dari hal tersebut, Jonatan Purba mengatakan:

“karena mereka takut jika terjadi masalah dalam keluarga ini maka tidak ada keluarga yang mau menjadi penengah dalam masalah keluarga tersebut”(wawancara 27 Oktober 2014).

18 Bengkila/kila adalah suami dari saudara permpuan ayah beserta seluruh saudaranya dan juga untuk

anak beru yang satu tingkatan dengan ayah

(41)

25

berbicara dengan Kepala Desa. Beliau menyuruh peneliti untuk pergi kantor Kepala

Desa untuk menjumpai sekretaris desa untuk mengambil data-data yang diperlukan

oleh peneliti. Dari hasil wawancara dengan Dahlan Purba dan Jonatan Purba, peneliti

belum mendapatkan data yang memadai.

Pada sore hari, peneliti sangat percaya diri untuk melakukan penelitian

selanjutnya. Peneliti kembali datang ke rumah Dahlan Purba dan berharap agar beliau

mangantar peneliti pergi ke rumah pelaku perkawinan semerga. Sesampainya di

rumah Modal Gurusinga (52 tahun) pelaku perkawinan semerga, beliau langsung

kembali ke rumahnya.

Peneliti menyampaikan tujuan datang ke rumah informan. Pertama kali

peneliti melihat informan, peneliti merasa kurang nyaman, karena beliau selalu

menunjukan sikap yang kurang menerima peneliti, peneliti menganggap Modal

Gurusinga tersinggung dari perkataan peneliti. Hal ini terlihat sejak istri beliau

menanyakan apa tujuan kedatangan peneliti. Modal Gurusinga mengatakan:

“Ini ada mahasiswa datang dan ingin berbicara dengan kita. karena kita berbeda dengan masyarakat Karo yang lainnya, terutama karena kita malakukan perkawinan semarga”(wawancara 27 Oktober 2014).

Setelah beberapa menit wawancara berjalan, informan tetap berbicara yang

kurang mengenakan kepada peneliti. Sehingga peneliti merasa masih takut untuk

melakukan wawancara yang lebih mendalam. Jam terus berputar menunjukkan waktu

sudah larut malam, dan peneliti pun ingin pulang ke Medan.

Pada tanggal 28 Oktober 2014, pagi-pagi sekali informan pergi ke desa Sugau

untuk melanjutkan kembali penelitian. Namun melihat situasi hari senin dimana salah

seorang informan perkawinan semerga yang tidak suka dengan peneliti, sehingga

(42)

26

peneliti merasa malas untuk pergi malakukan penelitian dengan informan yang

lainnya.

Pada sore hari, informan mendapat SMS dari salah satu sahabatnya.

Sahabatnya ini mengajak informan untuk pergi ke desa sekitar kecamatan Pancur

Batu untuk membeli satu ekor anak anjing. Sehingga peneliti mengajak sahabatnya

pergi ke desa tempat penelitiannya. Setelah sesampainya di desa, peneliti lebih

dahulu mengajak sahabatnya untuk melakukan penelitian ke rumah Santi br Sinuraya.

Sesampainya dirumah dan bertemu dengan Santi br Sinuraya, peneliti langsung

mengungkapkan apa tujuan peneliti datang kerumah informan. Informan ini sangat

ramah dan baik sehingga peneliti pun merasa sangat nyaman dalam melakukan

wawancara. Sehingga wawancara yang berlangsung terarah. Sekitar jam 21.00 WIB

hujan turun sehingga peneliti tidak dapat pulang. Informan mengatakan:

“Tidur disini aja dulu, besok pagi aja pulang ke Medan, hujannya sangat deras”(wawancara,28 oktober 2014)

Pada tanggal 29 Oktober 2014 sekitar jam 09:00 WIB, ketika Santi Br

Sinuraya lekas pergi keladang untuk bekerja, peneliti melihat suami informan sedang

membawa sisa-sisa makanan yang banyak. Peneliti menanyakan untuk apa sisa-sisa

makanan tersebut. Informan mengatakan:

“Banyak anjing kita diladang dan sekitar satu bulan yang lalu salah satu induk anjing kita melahirkan lagi”(wawancara,29 oktober 2014)

Pada sore hari, peneliti datang bersama sahabatnya, dimana sahabat peneliti

tersebut sedang mencari seekor anak anjing. Peneliti pun ikut ke ladang untuk melihat

anak anjing tersebut. Peneliti merasa sangat senang karena informan memberikan

salah satu anak anjingnya kepada peneliti tanpa biaya dari peneliti.

Gambar

Gambar 1 Lokasi penelitian
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja tahapan-tahapan prosesi upacara adat perkawinan Gayo di desa Umang Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah, juga

Penelitian ini terkait kepercayaan masyarakat terhadap praktik magis di Situs Pancur Gading Desa Deli Tua Kecamatan Namorambe Kabupaten Deli Serdang.. Situs ini selain

Ketertarikan peneliti untuk meniliti “Amalgamasi pada etnis Karo di Desa Tengah”, di awali karena pelaksanaannya Amalgamasi yang terjadi di Desa Tengah antara Etnis karo dengan

PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT TERHADAP TRADISI PERKAWINAN “DANDANG REBUTAN PENCLOK’AN” (Studi Kasus di Desa Tanjunggunung Kec.

Orang tua pada masyarakat karo di desa Suka Dame juga menentang pernikahan dini, namun tetap banyak di jumpai mereka yang menikah dini di desa ini.. Adapun tujuan penelitian

Imam Gampong berpendapat tentang perkawinan di bawah umur di Desa Kute Lot Kecamatan Kebayakan Kabupaten Aceh Tengah lebih baiknya tidak dilakukan karena

Orang tua pada masyarakat karo di desa Suka Dame juga menentang pernikahan dini, namun tetap banyak di jumpai mereka yang menikah dini di desa ini.. Adapun tujuan penelitian

Keluarga merupakan salah satu agen sosialisasi yang utama di masyarakat.. Selain itu, keluarga juga merupakan institusi yang paling penting