• Tidak ada hasil yang ditemukan

Amalgamasi pada Etnis Batak Karo (Studi Kasus pada Amalgamasi yang Terjadi antara Etnis Karo dengan Etnis Jawa, Batak Toba dan Melayu di Desa Tengah Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Amalgamasi pada Etnis Batak Karo (Studi Kasus pada Amalgamasi yang Terjadi antara Etnis Karo dengan Etnis Jawa, Batak Toba dan Melayu di Desa Tengah Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara)"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

DOKUMENTASI

Gambar 1:kantor Kepala Desa Tengah

(2)

Gambar 3: Peneliti bersama salah satu informan kunci bu Fransisca dengan anak dan ibu beliau.

(3)

Gambar 5: foto pernikahan Fransisca ginting dan Ardi Simbolon, salah satu

(4)

(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdusyani, 2002 .Sosiologi Skematika Teori dan Terapan, Jakarta : Bumi Aksara.

Ahmadi, abu, 2002 Psikologi Sosial, Jakarta: PT Rineka Cipta

Bagong, 2004, Sosiologi teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana. Bangun, Tridah, 1986, Manusia Batak Karo, Jakarta :Inti Idayu Press

Bangun,Tridah 1986, Adat Dan Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Karo, Jakarta:Kesain Blanks.

Bungin, H.M. Burhan.2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta, Predana Media Group. Dra. Kun maryati dan Juju Suryawati. Sosiologi. Penerbit, erlangga:Jakarta, Drs.j.b.a.f. major polka.Sosiologi suatu buku pengantar ringkas. Penerbit PT.

ikhtiar baru : Jakarta 1985

Hasyim, Umar. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai dasar Mnuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama. PT. Bina Ilmu: Surabaya 1979 Ihromi, T.O.1999.Sosiologi Keluarga.Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Jhonson Doley Paul,1986, Teori Sosiologo Klasik dan Modern. Jakarta PT. Gramedia.

Mulyana,Deddy dan Drs. Jalaluddin Rahmat.2004. Komunikasi antar budaya. Bandung, PT.Remaja Rosdakarya.

Narwoko,Dwi dan Bagong.2006. Sosiologi teks pengantar dan terapan Edisi keempat. Jakarta : kencana.

(6)

Setiadi,Elly dan Usman kolip. 2011. Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial. Jakarta. Kencana.

Soekanto Soerjono, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rajawali Press. Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta, Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia.

Sumber Lain :

Juli 2016 pukul 09.00WIB)

13.52WIB)

es pada hari senin, 15 Aguatus 2016, 16.05 WIB)

2016, jam 20.00 WIB)

(7)

September 2016. Jam 14.50 WIB)

Skripsi:

Harmonisasi interaksi antar Etnis di desa Baru Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang.Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatra Utara.

Jurnal:

(8)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian kualitatif yang bersifat studi kasus. Bogdan dan Taylor mendefinisikan bahwa metode penelitian kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang dapat diamati (Moleong,2005:4). Penelitian studi kasus adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam, mendetail dan komperensif (secara menyeluruh), latar belakang, status terakhir dan interaksi lingkungan yang terjadi pada suatu satuan sosial seperti individu, kelompok, lembaga, atau komunitas.

(9)

3.2. Lokasi Penelitian.

Lokasi penelitian berada di Desa Tengah Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Adapun alasan peneliti mengambil lokasi ini adalah karena di Kecamatan Pancur batu merupakan salah satu daerah yang masyarakatnya plural dimana individu yang menetap di daerah ini bermacam-macam suku dan agama yang saling membaur, mayoritas masyarakatnya adalah masyarakat batak karo, jawa, melayu, batak toba, Etnis tionghoa dan Tamil sebagai masyarakat pendatang dan dengan latar belakang agama yang berbeda yakni, bermayoritas agama Islam, Kristen protestan, Kristen khatolik, hindu, dan budha.

3.3. Unit Analisis

Unit analisis atau objek dalam penelitian adalah masyarakat yang beramalgamasi, dan keluarga inti dan kerabat. Informan dipilih atas pertimbangan dan kriteria tertentu yang telah ditetapkan oleh peneliti.

3.4.Informan

Informan adalah orang yang diwawancarai oleh peneliti. Informan merupakan orang yang diperkirakan menguasai dan memahami data informasi ataupun fakta dari suatu objek penelitian (Bungin, 2008:108). Adapun informan dalam penelitian ini di ambil dengan teknik Snowball sampling yaitu sebagai berikut:

Informan dibedakan atas dua jenis, yaitu informan kunci dan infroman biasa. a) informan kunci yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai

(10)

1) Keluarga perkawinan amalgamasi.

2) Keluarga perkawinan amalgamasi yang menikah berdasarkan adat Budaya Karo

3) Tokoh yang mengerti mengenai Adat Karo

b) Informan biasa merupakan sumber informasi sebagai data pendukung dalam menjelaskan keadaan adat istiadat masyarakat Batak Karo di desa Durin Pitu, Kecamatan Pancur Batu yang ditentukan sesuai dengan data yang diperlukan dalam penelitian. Kriterianya adalah sebagai berikut:

1) Keluarga dan kerabat dekat dari pasangan perkawinan Amalgamasi.

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Untuk mendapatkan data tersebut, maka peniliti memakai teknik pengumpulan data melalui:

1. Data primer

Data primer merupakan data pertama yang akan diperoleh di lapangan. Data primer diperoleh melalui:

(11)

b. Wawancara mendalam, yaitu wawancara atau tanya jawab secara mendalam kepada informan, disini peneliti akan berusaha mengambil informasi yang sebanyak-banyaknya guna memenuhi data-data yang diperlukan oleh peneliti dari peneliti seperti nama, usia, pendidikan , serta bagaimana fenomena Amalgamasi pada Batak Karo.

2. Data sekunder

Data sekunder atau pelengkap data merupakan data-data yang digunakan mendukung data primer. Dimana data dan informasi yang diperoleh secara tidak langsung melalui studi kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan data dan informasi dari buku-buku, jurnal, majalah, surat kabar, internet dan referensi lainnya yang dapat mendukung penelitian ini juga menggunakan dokumentasi,tape recorder dll.

3.6. Interpretasi Data

(12)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1. Sejarah Singkat Desa Tengah

Desa tengah adalah nama suatau wilayah di Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang ini yang menurut beberapa tokoh masyarakat desa Tengah adalah sebagai Ibukota Kecamatan Pancur Batu yang mana letaknya persis di tengah kota pancur batu dan menjadi wilayah yang strategis dimana menjadi pusat dan barometernya desa. Pada zaman dahulu yaitu sebelum tahun 1990 desa tengah masih menjadi dua Desa yaitu desa Sampak kuning dan Desa tengah yang di pimpin oleh dua kepala desa.

Pada tahun 1989 desa Tengah terbentuk pertama kalinya yang dipimpin oleh kepala desa Harlan Nur. Kemudian dari saat itulah Desa Sampak kuning berubah nama menjadi Desa Tengah dan berpindah ke wilayah Desa tengah yang sekarang. Di samping itu, penduduk di Desa Tengah berasal dari berbagai daerah yang berbeda-beda yang dimana mayoritas penduduk di desa ini berasal dari daerah Sumatera Utara sehingga tradisi-tradisi musyawarah untuk mufakat, gotong-royong dan kearifan lokal yang lain juga dilakukan oleh masyarakat sejak adanya desa tengah, dan hal tersebut secara efektif dapat menghindari benturan-benturan antar kelompok pada masyarakat di Desa Tengah.

(13)

buruh bangunan, buruh tani, petani sawah tadah hujan, perkebunan karet dan sawit dan sebagian kecil di sector in formal seperti, PNS, guru honorer, tenaga medis, dan TNI/POLRI.

4.1.2. Letak dan Batas Wilayah

Desa Tengah terletak di dalam wilayah Kecamatan Pancur batu Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara yang mempunyai luas wilayah +- 78,1 Ha, dan sebagaimana desa desa yang lain diwilayah Indonesia beriklim kemarau dan penghujan.Adapun yang menjadi batas-batas wilayah Desa Tengah berada di Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang ini adalah sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan Desa Lama dan Desa Baru, Kecamatan Pancur Batu,

A.Sebelah timur berbatasan dengan Desa Namo Simpur Kecamatan Pancurbatu,

B.Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Hulu dan Desa salam tani kecamatan pancurbatu,

C.Sebelah barat berbatasan dengan Desa Namorih Kecamatan Pancur Batu. 4.1.3. Gambaran Penduduk

(14)

berbeda-beda dimana mayoritas masayarakat di desa Tengah beragama Islam, Kristen Protestan, Krtisten Khatolik, Hindu dan Budha.

1. Gambaran penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin.

Gambaran penduduk di desa Tengah berdasarakan jenis kelamin dari dusun I-IV lebih banyak penduduk berkelamin perempuan dibandingkan jumlah penduduk berkelamin laki-laki. Berikut data yang diperoleh dari kantor kepala desa Tengah:

Table 4.1

Gambaran Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Dusun Laki-laki (%) Perempuan

Sumber : Kantor kepala Desa Tengah, tahun 2015

Dari data Tabel 4.1 di atas dapat diketahui bahwa penduduk di Desa Tengah memiliki jumlah penduduk sebanyak 2458 jiwa, berdasarkan jenis kelamin jumlah penduduk kelamin laki-laki lebih sedikit dari pada penduduk yang berejenis kelamin perempuan. Jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki di dusun I- dusun IV sebanyak 1212 jiwa dengan presentase sebesar 49,3%, sedangkan jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan di dusun I-dusun IV sebanyak 1246 jiwa dengan presentase sebesar 50,7%.

2. Gambaran Penduduk Berdasarkan Agama

(15)

beragama Islam dan sebagian penduduknya beragama Kristen Protestan, Kristen Khatolik, Budha, dan Hindu. Berikut data statistik yang diperoleh peneliti dari Kantor Kepala Desa Tengah

Tabel 4.2.

Gambaran Penduduk Berdasarkan Agama

No. Agama Jiwa Presentase

1. Islam 1248 51

2. Kristen Protestan 1025 41

3. Kristen Khatolik 73 3

4. Hindu 42 2

5. Budha 70 3

Jumlah 2458 100

Sumber: kantor kepala Desa Tengah, tahun 2015

Dari data Tabel 4.2 di atas maka di ketahui bahwa komposisi penduduk berdsarkan Agama di desa Tengah bermayoritas Agama Islam yaitu sebanyak 1248 jiwa dengan presentase 51% dengan kata lain setengah dari penduduk di Desa Tengah beragama Islam, kemudian di susul dengan penduduk yang beragama Kristen Protestan sebanyak 1025 jiwa dengan presentase 41%, di susul dengan banyaknya penduduk yang beragama Kristen Khatolik 73 jiwa dengan presentase 3%, kemudian penduduk beragama Budha sebanyak 70 jiwa dengan presentase 3%, dan yang terkecil atau paling sedikit dari penduduk desa Tengah yang beragama Hindu yaitu sebanyak 42 jiwa dengan presentase 2%.

3. Gambaran Penduduk Berdasarkan Etnis

(16)

Tabel 4.3.

Gambaran Penduduk Berdasarkan Etnis

No. Etnis Jiwa Presentase

Sumber: kantor kepala Desa Tengah, januari 2015

Dari data Tabel 4.3 di atas dapat di ketahui bahwa komposisi penduduk berdasarkan Etnis di Desa Tengah bahwa mayoritas penduduknya adalah Etnis Karo sebesar 1234 jiwa dengan presentase 50,2%, diikuti dengan penduduk beretnis Batak sebesar 481 jiwa dengan presentase 19,6%, selanjutnya Etnis Lainnya sebesar 367 jiwa dengan presentase 14,9%, selanjutnya Etnis Jawa dengan jumlah penduduk sebesar 299 jiwa dengan presentase 12,2%, dan yang terakhir adalah Etnis Melayu sebesar 77 jiwa dengan presentase 3,1%

4. Gambaran Penduduk berdasarkan Usia

Gambaran penduduk di Desa Tengah mayoritas berada pada usia kerja, dimana usia kerja itu adalah usia dari 15-50 tahun, sedangkan selebihnya di desa ini banyak bermukim oleh masyarakat yang usia non produktif yakni usia 60-75 tahun. Berikut data statistik yang di peroleh peneliti dari kantor kepala desa:

Tabel 4.4

Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia

(17)

Dari data Tabel 4.4 di atas dapat diketahui bahwa komposisi penduduk berdasarkan usia di desa tengah berjumlah 2458 jiwa. Dengan jumlah penduduk terbanyak di usia 15-29 tahun sebesar 706 jiwa dengan presentase 28,7% , kemudian di susul oleh penduduk pada usia 30-44 tahun sebesar 690 jiwa dengan presentase 28,0%, selanjutnya penduduk pada usia 45-59 tahun sebesar 450 dengan presentase` 18,2%, kemudian di susul lagi oleh penduduk usia 0-14 tahun dengan banyak penduduk di umur ini sebesar 362 jiwa dengan presentase 14,7%, selanjutnya di susul dengan jumlah penduduk di usia 60-74 tahun sebesar 198 jiwa dengan presentase 8,0%, dan yang terakhir yan merupakan jumlah paling trekecil penduduk menurut usia 75 tahun keatas yaitu sebesar 59 jiwa dengan presentase 2,4 %.

5. Gambaran Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Berdasarkan tingkat pendidikan, masyarakat di Desa Tengah terdiri dari tingkat pendidikan pra sekolah sampai ke tingkat pendidikan sarjana. Berikut data statistik yang diperoleh peneliti dari Kantor Kepala Desa Tengah:

Tabel 4.5

Gambaran Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan NO. Tingkat Pendidikan Jiwa Presentase

Sumber : kantor kepala Desa Tengah, tahun 2015

(18)

dengan presentase sebesar 39,76%, selanjutnya di susul dengan tingkat pendidikan penduduk di tingkat SD sebanyak 577 jiwa dengan presentase 28,21% selanjutnya tingkat pendidikan SLTA sebanyak 361 jiwa dengan presentase 17,65%, di susul lagi dengan tingkat pendidikan sarjana sebanyak 178 jiwa dengan presentase 8,70%, selanjutnya pada tingkat pendidikan Diploma (D3) sebanyak 79 jiwa dengan presentase 3,87%, dan pada tingkat pendidikan pasca Sarjana sebanyak 20 jiwa dengan presentase 0,98%, dan yang terakhir tingkat pra sekolah sebanyak 17 jiwa dengan presentase 0,83%.

6. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan.

Desa Tengah merupakan desa perdagangan, karena letaknya yang sangat dekat dengan pusat pasar, maka sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai pedagang. Berikut data statistik penduduk berdasarkan jenis pekerjaannya:

Tabel 4.6

Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan.

No. jenis pekerjaan jumlah (KK) Presentase

1. Petani 7 1

Sumber: kantor kepala Desa Tengah tahun 2015

(19)

pedagang sebanyak 192 KK dengan presentase 31%, selanjutnya disusul lagi penduduk yang berkerja sebagai PNS sebanyak 89 KK dengan presentase 15%, di susul dengan penduduk pensiunan sebanyak 76 KK dengan presentase 13%, kemudian di susul dengan penduduk yang berkerja sebagai Polri sebanyak 29 KK dengan presentase 5%, diikuti dengan penduduk yang berkerja sebagai Buruh sebanyak 10 KK dengan presentase 2%, dan yang paling terkecil adalah jumlah penduduk yang bekerja sebagai petani sebanyak 7 KK dengan presentase 1 %. Hal ini disebabkan karena pola penggunaan lahan di Desa Tengah sebahagian besar lahan digunakan untuk lahan perkantoran dan sebagian tempat lagi untuk tempat berdagang (pajak) dan sebagiannya laki digunakan untuk tempat tinggal, dan sebahagian warga mempunyai tempat untuk bercocok tanam.

4.1.4. Gambaran umum Desa Tengah

Penduduk di desa ini banyak bekerja sebagai wiraswasta dan pedagang dikarenakan wilayah desa ini yang paling banyak terdapat tempat jual-beli seperti pajak dan warung makan, sebagian penduduk juga bercocok tanam bekerja sebagai petani, dan memiliki sampingan pekerjaan sebagai peternak ayam, kerbau, lembu dan itik.

Tabel 4.7

Sarana dan Prasarana Desa

No. Sarna/Prasarana Jumlah/Volume Keterangan

1. Balai desa 1 Dusun I

Sumber: kantor kepala Desa Tengah tahun 2015

(20)

polisi, rutan, sekolah, dan pasar yabg menjadi pusat perdagangan dikecamatan Pancur Batu dan sarana jalan raya yang di lalui transportasi umum seperti angkot dan becak dan berbagai kendaran –kendaraan beroda dua sampai beroda empat lainnya sehingga mempermudahkan masyarakat di Desa Tengah untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari.

4.2. Profil Informan

1. Sudaryono

Informan ini adalah salah satu informan kunci yang melakukan perkawinan campuran (Amalgamasi). Pak Sudaryono beretnis Jawa ini seorang laki-laki yang berperawakan tinggi besar, kulit sawomatang, telah berusia 48 tahun, agama Islam, pendidikan terakhirnya SMP , bertempat tinggal di dusun I dan kesehariannya bekerja sebagai wiraswasta menjadi salah satu staf di kantor kepala desa tengah.

Pak Sudaryono sejak kecil sudah bertempat tinggal di desa tengah, orang tuanya berasal dari Solo, karena pekerjaan orang tuanyayang mengharuskan mereka pindah ke desa tengah sehingga pak Sudaryono ikut pindah ke Desa Tengah bersama orang tuanya dan beliau dibesarkan di Desa Tengah. Walaupun merupakan pendatang di Desa tengah pak Sudaryono mengaku sangat nyaman tinggal di desa ini dan tidak memiliki niat untuk pindah ke Solo atau kembali ke daerah asalnya. Di tambah lagi di desa tengah ini beliau menemukan pujaan hatinya, dan membangun sebuah keluarga bersama seorang wanita yang merupakan penduduk asli di Desa Tengah.

(21)

perempuan. Mereka bertempat tinggal di Desa Tengah tepatnya di dusun I. Istrinya beretnis Karo yang sudah bertempat tinggal lama di desa tengah, bu Ulina bukit beragama Islam, walapun menurut pendapat pak Sudaryono, ayah istrinya adalah seorang mualaf karena menikah dengan istri keduanya, yaitu ibu mertua pak sudaryono sendiri. Awal pertemuan mereka di mulai dari tahap pengenalan, dimana pak Sudaryono mengaku berkenalan dengan istrinya di sebuah balai desa, pada saat itu istrinya berjualan di sebuah warung kopi tidak jauh dari balai desa, dan pak sudaryono sering mampir di warung kopi tersebut bersama teman-temannya yang lain. Kemudian teman-teman-temannya memperkenalkan pak sudaryono dengan istrinya, dari perkenalan tersebut mereka merasa nyaman satu sama lain sehingga mereka memutuskan untuk meneruskan hubungan mereka kejenjang yang lebih serius.

Menurut pak Sudaryono, ia dan istrinya menikah secara agama Islam dan menggunakan adat Karo danJawa. Tetapi, karena istri pak Sudaryono beretnis Karo, ia mengaku telah diberikan sebuah merga dari pihak keluarga istrinya yaitu Ginting, melalui prosesi adat Karo.

(22)

dapat mengatasi perbedaan itu dan tidak menimbulkan sebuah konflik atau masalah. Mereka hidup rukun sampai saat ini dan mengaku akan terus mempertahakan keutuhan keluarganya.

2. Hendri Keliat

Informan ini adalah seorang laki-laki yang berperawakan sedang, berambut klimis, dan murah senyum serta berkulit putih ini berumur 38 tahun yang bekerja sebagai wiraswasta dan pendidikan terakhirnya adalah SMA. Pak Hendri Keliat bersuku Karo dan beragama Kristen Protestan. Beliau merupakan warga asli di daerah ini yang sudah bertempat tinggal sejak tahun 1982 yang pada saat itu Desa Tengah masih dibagi menjadi dua desa.

(23)

Menurut pak Hendri walaupun awalnya berbeda suku dan agama dengan istrinya, tetapi sejauh ini tidak ada perdebatan antara istrinya dan dia sendiri, begitu juga dengan pihak keluarganya, sangat menyayangi dan menganggap bu Maria seperti anak kandungnya sendiri. Bu Maria juga sudah memposisikan dirinya sebagai “orang karo” yang dimana hal itu ditunjukkan dari sikapnya yang malah lebih sering menghadiri acara adat sanak saudara dari pihak suaminya dan juga beliau sangat taat beribadah ke gereja. Mereka tetap hidup rukun dan saling menghormati satu sama lain.

3. Muhammad Nasir

Informan ini adalah salah satu pasangan perkawinan campuran yang merupakan salah satu informan kunci. Perawakan informan ini, berperawakan tinggi, kurus, berkulit gelap. Informan ini berusia 65 tahun, beretnis Melayu,beragama Islam,dan berasal dari Desa Tengah dusun II. Informan merupakan pendatang di desa Tengah yang di awali dari orang tua beliau yang pindah dan bekerja di desa Tengah.

(24)

Pernikahan mereka melalui pernikaahan agama saja. Menurut cerita informan, pernikahaannya belum di lakukan secara adat dikarenakan pada saat itu terkendala biaya adat yang membutuhkan banyak uang, ujarnya. Sementara, pada saat itu saya masih perlu uang untuk biaya kebutuhan sehari- hari makanya saya undur niatan untuk mengadati pernikahan saya dengan istri karena mertua saya menginginkan hal yang sama juga, tetapi lambat laun mertua saya dapat mengerti dengan kondisi tersebut. Menurutnya, marga diberikan kepadanya dari mertua pak Nazir yaitu marga Ginting, tetapi saya tidak pernah memakai marga itu karena saya merasa belum di adati secara adat jadi belum sah saya menjadi orang karo, ujarnya. Walaupun tidak diadati dalam adat Karo, pak nasir mengaku sangat mengerti tentang adat Karo, informan sering diminta untuk menngurus pernikahan adat Karo warga di sekitar rumahnya, saya sering diminta untuk membicarakan tentang adat perkawinan suku Karo dari tetangga saya. Keahlian itu di dapatnya dari masyarakat sekitar yang bersuku Karo sehingga lambat laun saya dapat mengerti bagaimana adat suku Karo, dari mulai perkawinan, orang meninggal yang di adati dan juga bahasanya, saya dapat berbahasa karo dengan fasih, ujarnya.

4. Modesta Rumapae

(25)

Awal perkenalan mereka pada saat bu Modesta dan Bp Fery Surbakti sama sama tinggal di Jakarta, saat itu bu Modesta kuliah dan pak Fery bekerja, di awali hubungan pertemanan dan kemudian berpacaran mereka akhirnya memutuskan menikah. Keluarga saya tidak setuju awalnya saat saya menikah dengan suami saya, karena dia orang karo, bapak saya dulu maunya saya selesaikan kuliah dulu dan menikah dengan pariban saya, tapi lama kelamaan keluarga menyetujui hubungan kami” ujar bu Modesta. Informan pindah ke Desa Tengah bertempat tinggal di Desa Tengah selama 12 tahun, dulunya infoman tinggal di Percut sei tuan dan pindah ke Desa Tengah dikarenakan menikah dengan warga asli Desa Tengah yang bernama Bp Fery Surbakti. “Saya pindah ke sini 12 tahun yang lalu, dikarenakan ikut suami, karena suami orang sini”, ujarnya. Pernikahan informan dulunya dilakukan secara agama Khatolik dan secara adat Karo dan Batak.Saya di kampung suami saya diberi marga br Perangin-angin, dan suami saya diberi marga dari etnis Batak yaitu marga Sihombing.

(26)

bahasa Batak, dirumah kami komunikasi pakai bahasa Karo dicampur bahasa Indonesia.

Informan mengaku dalam perbedaan tersebut tidak menjadi persoalan bagi keluarganya, baik antara dirinya dengan Bp Fery Surbakti selaku suaminya tidak ada masalah dan sebaliknya, mereka tetap saling menghormati adat satu sama lain. Saya sering menghadiri upacara adat perkawinan ataupun adat Karo lainnya dari pihak keluarga suami saya, sebisa mungkin saya pasti hadiri, dan beradaptasi dengan ketentuan adat mereka yang menurut saya memiliki banyak sekali perbedaan dari budaya saya, tapi sampai saat ini saya rasa tidak ada masalah dengan itu, begitu juga dengan suami saya, dia juga sangat meghormati Adat istiadat dari suku saya. Informan juga mengaku sebisa mungkin akan terus saling menghormati dan terus mempelajari budaya pasangannya agar dapat terhindar dari konflik dan kesalahpahaman, ujarnya.

5. Irawati Simanjuntak

Informan ini merupakan salah satu informan kunci yang menjadi pasangan perkawinan berbeda etnis di dusun III desa Tengah. Usianya 25 tahun, berperawakan tinggi berisi, berambut lurus dan kulit sawomatang, beragama Kristen Protestan, pendidikan terakhirnya SMA dan bekerja sebagai ibu rumah tangga.

(27)

Bu Irawati yang merupakan pendatang di desa ini, pindahan dari Jakarta semenjak menikah dengan Bp effendi informan ikut pindah dan menetap di Desa tengah. Dulunya mereka mengaku bertemu dan saling kenal diJakarta, saat itu saya kerja diJakarta dan bertemu dengan dia, lalu kami berkenalan dan mulai berpacaran. Setelah memutuskan menikah kami pindah ke Desa Tengah dan menempati rumah orang tua suami saya. Dan kami tidak ada rencana pindah lagi ke Jakarta, dan akan menetap disini selamanya.

Pernikahan kami dilakukan secara agama Kristen Protestan, belum dilakukan secara adat, tetapi kami berdua memiliki niatan untuk mengadatinya nanti, sedang dalam proses untuk kesana ujarnya. Menurut Bp. Effendi, memang harus di adati karena dalam adat karo itu penting biar ada nanti tempat kami di mata keluarga. Mereka mengaku banyak sekali terdapat perbedaan dalam pernikahan yang berlatar belakang berbeda etnis ini, awalnya orang tua saya tidak setuju saya menikah dengan orang karo, tetapi karena saya tetap ngotot akhirnya mereka menerima juga, asalkan masih satu agama.

Dalam menyatukan perbedaan kami hanya saling meghormati budaya satu sama lain, saya sering juga mewakili suami saya untuk menghadiri pesta adat karo dari keluarganya, begitu juga sebaliknya. Banyak hal yang berbeda saya bandingkan dari suku Karo dengan suku saya yaitu Batak, dari sisi Bahasa dan cara hidup, tetapi sejauh ini saya juga malah lebih lancar berbahasa Karo sekarang.

6. Ringgit br Ginting

(28)

mandailing yaitu Bp Zainal Nasution. Informan Berperawakan sedikit gemuk, dan berambut panjang ikal, berkulit sawo matang ini berusia 63 tahun, beragama Islam, pendidikan terakhirnya SMP, dan merupakan pensiunan dari PNS dulunya informan bekerja dipuskesmas desa.

Menikah di tahun 1988 silam mereka telah dikarunia satu anak yang juga sudah berkeluarga. Awal petemuan kami dulu suami saya berjualan didepan puskesmas tempat saya bekerja, dan kami sering berjumpa, setelah itu berpacaran karena saling mencintai kami memutuskan untuk menikah. Pernikahan kami dilakukan secara agama islam dan dengan adat Karo, suami saya sudah di adatati dan diberikan marga yaitu Karo-karo. Suami saya merasa senang karena diberikan marga dan tidak ada pernolakan atau pun permasalahan dari pihak keluarga suami, karena ibunya (mertua) saya juga orang Karo.

Informan mengaku perbedaan dalam keluarga yang berbeda suku ini memang butuh banyak penyesesuaian dari masing-maasing keluarga, tetapi sejauh ini mereka dapat menerima satu sama lain etnis pasangannya. “Ya tidak ada masalah, malah sekarang suami saya lebih lancer berbahasa Karo dari saya sendiri. Dan anak saya juga lebih mengerti bahasa Karo karena mungkin mengikuti bahasa ibu sejak kecil.

7. Dewi sartika

(29)

Informan pindah ke Desa Tengah setelah menikah dengan suaminya yang bernama Bp Sejahtera Kaban yang merupakan warga asli di Desa Tengah. Pertemuan mereka awalnya hubungan pertemanan, karena mereka pada saat itu sama sama berjualan dipasar pancur batu. Kami berkenalan awalnya dipasar karena sering ketemu karena sesama pedagang kami muali dekat dan berpacaran. Bp Sejahtera Kaban yang notabene adalah beragama Kristen dan beretnis Karo memutuskan untuk menikahi Dewi Sartika yang pada saat itu beurmur 19 tahun, karena selama tahap pacaran saya merasa ada kecocokan jadi saya memutuskan menikahi dia walaupun saya sadar agama kami berbeda. Tetapi, karena saya cinta saya memutuskan untuk masuk ke Agama Islam mengikuti agama istri saya. Awalnya memang ditolak oleh keluarga saya, tetapi lambat laun keluarga dapat mengerti, karena mereka berfikir itu sudah menjadi pilihan saya.

Pernikahan mereka dilakukan secara agama Islam dan sudah berjalan selama 11 tahun dikaruniai tiga orang anak lelaki. Perbedaan dengan latar belakang agama dan etnis yang berbeda membuat mereka saling melengkapi masing-masing perbedaan yang ada. Saya juga mulai mengenal agama Islam masih baru jadi saya juga belum terlalu mengerti ujar Bp Sejahtera Kaban. Yang terpenting istri saya mendidik agama yang baik kepada anak-anak saya, dan dia juga dapat menerima keadaan saya, sekrang juga dia sudah fasih berbahasa Karo karena sering mengahdiri acara adat Karo dari pihak keluarga kami.

8. Fransisca

(30)

pendidikan terakhirnya yaitu Diploma dari Universitas Medicom Sumatera Utara. Informan beragama Kristen Protestan dan bekerja sebagai ibu rumah tangga.

Infroman menikah dengan Bp Ardi Simbolon yang beretnis Batak, awal mula perkenalan mereka di Medan, saya dulu bekerja di salah satu perusahaan bio gas dimedan dan suami saya kebutulan supervisor saya dikantor, kami dekat dan kemudian berpacaran. Namun, hubungan kami tidak direstui oleh ibu saya, karena ibu saya mau saya tetap bekerja di perusahaan tersebut, karena peraturan di perusahaan tidak memperbolehkan karyawannya menikah. Karena menikah dengan Bp Ardi, maka informan pun berhenti dari pekerjaannya, begitu juga dengan suaminya. Dan mereka pun berdua memutuskan keluar dari kantornya bersamaan

Pernikahan mereka sudah berlangusng dua tahun dan dikaruniai satu orang anak perempuan. Pernikahaan mereka dilangsungkan secara agama dikampung halaman Bp Ardi sihombing, iya saat itu kan orang tua saya tidak setuju, jadi saya kawin lari dengan suami saya dan melangsungkan pernikahan di kampung halamannya yaitu di Brandan Pangkalan susu. Informan mengaku diberikan marga dari pihak suami yaitu marga Simamora, dan pemberian marga itu sebelumnya tidak diketahui oleh orang tua saya, karena sewaktu saya menikah orang tua saya tidak hadir karena tidak menyetujui hubungan kami.

(31)

9. Ana Bangun

Informan juga merupakan informan kunci yang menjadi pasangan Amalgamasi. Perempuan berwajah oriental, bekulit agak gelap dan berambut keriting ini sudah berusia 57 tahun, pendidikan terakirnya yaitu dibangka SMA beliau berasal dari dusun II dan merupakan warga asli di Desa Tengah, saya sudah dari kecill tinggal disini, orang tua saya juga orang sini.

Pernikahan informan yang sudah berjalan selama 35 tahun ini dikaruniai satu orang anak yang juga sudah berkeluarga. Pernikahannya dengan lelaki yang merupakan warga pendatang yang bernama Bp J.Sitangang. awal mula pertemuan mereka yang dimana Bp J sitanggang bekerja di desa Tengah dulunya beliau merupakan warga Siantar. Kami kenal disini saat suami saya bekerja disini kami sering ketemu dan menemukan kecocokan lalu kami memutuskan menikah. Perniakhan mereka sudah di adati menurut adat Karo dan Batak, saya sudah diberi marga dari pihak suami saya yaitu Situmorang, sedangkan suami saya juga sudah diberikan marga di Karo yaitu bermarga Ginting.

(32)

banyak perbedaan, keluarga saya kebetulan memang adat Karonya sangat kental jadi saya dibesarkan dari keluarga yang memang sangat beradat jadi untuk mempelajari adat suami saya pun saya dengan senang hati mempelajarinya dengan ikhlas, bahkan anak saya juga menikah dengan suku lain bukan karo, tapi saya tetap membayar uang adat anak saya kepada kalimbubu saya di Karo walaupun anak saya tidak menikah dengan orang karo agar tetap menghargai keluarga saya dan menjaga nama baik keluarga sayadi suku Karo.

10. Drs S. Alamsyah Sebayang

Informan ini termasuk informan kunci ia mengetahui adat istiadat Batak Karo dan menjadi pemuka adat di desa Tengah. Informan ini berperawakan tinggi besar, rambut memutih, kulit sawomatang, ramah, usianya 61 tahun, beragama Islam. Pendidikan terakhir S1 disalah satu perguruan tinggi dimedan, pekerjaan sehari-harinya pensiuan PNS dan mempunyai lima orang anak.

(33)

keluarga yang bersangkutan secara adat. Hal itu dilakukan untuk mempertahankan dan melestarikan adat budaya Karo di setiap keluarga/rumah tangga yang baru. 4.3. Keluarga /Kerabat Dekat

Pada masyarakat batak karo, segala hubungan kekerabatan baik berdasarkan pertalian darah maupun hubungan perkawinan dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis kekerabatan, yaitu, Kalimbubu (pemberi Gadis), Senina (saudara), dan Anak beru (penerima gadis). Ketiga jenis kekerabbatan ini biasa disebut dengan istilah dalikan sitelu (tungku yang berkaki tiga) atau telu sendalanen (tiga seiring), ataupun snagkep sitelu (tiga yang legkap/tri tunggal).

Dalam masyarakat Batak Karo, ketiga jenis kekerabatan ii tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya karena ketiga-tiganya mempunyai fungsi yang berbeda-beda dimana kesemuannya itu saling mendukung dan saling melengkapi satu sama lain. Apabila ada salah satu dari ketiga jenis kekerabatan ini hilang maka hubungan kekerabatan/kekeluargaan dalam masyarakat Batak Karo sama dengan pincang.

Disetiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Batak Karo baik dalam perkawinan, memasuki rumah baru dan kemalangan (kematian), ketiga jenis kekerabatan ini diharuskan untuk hadir dalam acara tersebut karena tanpa ketiganya acara peradatan dalam masyarakat karo tidak dapat terlaksanakan.

(34)

4.4. Orang Tua Dari Pasangan Perkawinan Campuran

Setiap pasnagan muda/mudi yang sepakat untuk bersama dan menikah tentunya akan membutuhkan sebuah persetujuan atau dapat disebut restu dari orang tua masing-masing pasangan yang berlatar beakang memiliki adat yang berbeda

Menurut mereka, perkawinan yang telah dilakukan oleh anak-anak mereka adalah pilihan dari anak mereka masing-masing, saya merasa mereka sudah dewasa dan tau mana yang baik dan mana yang tidak bagi kehidupan mereka, kita sebagai orang tua hanya dapat mengarahkan yang baik dan memberikan nasehat, tapi jika mereka sudah yakin dan menentukan pilihannya sendiri saya sebagai orang tua hanya dapat mendoakan. Menurut informan, perkawinan yang berbeda etnis yang dilakukan anak aaknya memang mendapati sedikit ketidak relaan. Saya memang menyetujui pernikahan mereka asalkan mereka dapat bahgaisa dan hidup rukun, tetapi jika boleh jujur saya inginnya anak saya menikah dengan yang semarga karna akan tetap terjaga silsilah keluarga, tapi jika itu sudah menjadi pilihannya saya hanya berharap keluarga mereka dapat menjadi keluaarga yang hidup rukun dan bahagia.

4.5. Sistem Kekerabatan dan Perkawinan pada Etnis Karo

(35)

Sesuai dengan tujuan perkawinan diatas, dalam adat istiadat masyarakat Batak Karo telah digarsikan suatu aturan yang berkaitan dengan “siapa boleh kawin dengan siapa dan siapa yang tidak boleh dikawini.” Dalam tatanan adat msyarakat Batak Karo, telah di gariskan beberapa aturan berupa larangan kawin (pembatasan jodoh). Aturan –aturan tersebut antara lain seorang laki-laki dan gadis yang sekuturan margaa, sama sekali tidak dapat dibenarkan kawin, kecuali cabang anak marga Peranginangin Sebayang dapat kawin dengan marga lain dari margaa induk marga Peranginangin, misalnya marga Bangun dan marga Singarimbun diperbolehkan dengan marga Sebayang dimana marga ini sama-sama anak cabang dari marga induk Peranginangin, demikian juga dengan seluruh anak cabangdari marga Peranginangin lain. Beberapa cabang induk marga Sembiring juga ada yang dapat dibenarkan saling kawin, misalnya antara Sembiring Meilala dengan Sembiring Gurukinayan. Kecuali lainnya yang sudah merupakan tradisi bagi masyarakat Batak Karo adalah laki-laki atau gadis dari marga Sebayang tidak dibenrkan kawin dengan marga Sitepu dari induk marga Karo-karo. Jadi walaupun mereka ini berbeda marga tetapi mereka tidak boleh saling kawin, hal ini sudah ada sejak zaman nenek moyang orang karo.

Sistem kekerabatan dan perkawinan begitu memnetukan keberlangsungan tatanan adat- istiadat struktur sosialnya secara harmonis. Dalam mempertahankan perkawinan yang ideal masyarakat Batak Karo memiliki tradisi yaitu, si pemuda atau si gadis wajib menikahi impal-nya (pasangan idealnya). Aturan main dalam perkawinan ideal masyarakat Batak Karo adalah pernikahan sepupu-silang.

(36)

impal bagi si gadis adalah anak laki-laki dari saudara perempuan ayah. Larangan berlaku bila si pria ingin menikahi anak perempuan dari saudara perempuan ayah, hal ini lantaran anak dari saudara perempuan ayah dianggap sebagai turang impal atau dianggap tabu di kawini. Alasannya karena masyarakat karo menghindari dari hubungan timbal-balik atay saling tukar pada arah pertukaran gadis di tiap klen. Hal ini nantinya berkiatan dengan benda yang dipertukarkan saat ritual perkawinan, serta hak dan kewajian yang ditanggung oleh kelompok kerabat dalam kehidupan sosialnya sehar-hari.

Bagan: Perkawinan yang ideal pada masyarakat Karo

Demikianlah bahwa perkawinan ideal pada masyarakat karo adalah perkawinan yang dilakukan dnegan cross-cousin (cross-cousin dari matrilateral) dan tidak pernah dilakukan dengan cross-cousin dari pihak ayah, karena dianggap masih sedarah. Pandangan bahwa saudara laki laki ibunya (impal) merupakan

Kakek dan Nenek (Bulang ras Nini)

Ayah dan Ibu

(Bapa ras Nande)

Anak laki-laki

Anak perempuan

Paman dan Bibik

(Mama ras Mami)

Menikah

Anak

laki-laki Anak

(37)

pasangan yang ideal juga tercermin dalam kehidupan sehari-hari mereka, misalya orang-orang tua melontarkan godaan terhadap seorang gadis dengan mengatakan bahwa orang tersebut akan mengawinkan anaknya dengan gadis itu. Bahkan kalua orang ingin mempermainkan gadis kecil supaya mennagis, mereka menggukan cara menakut-takuti bahwa impalnya yang merupakan pasnagan idealnya ingin kawin dengan orang lain.

Dalam masyarakat khususnya batak karo sendiri berupapaya untuk mensosialisasikan adat istiadatnya kepada anak-anaknya dalam sistem perkawinan adat agar sesuai dengan harapan masyarakat batak karo. Misalnya, cara ertutur (kenalan) hingga menemukan suatu ikatan hubungan kekerabatan diantara mereka. Contph, sorang laki-laki marga Tarigan bebera Ginting berkenalan dengan seorang perempuan yang berbere Br Ginting berbere Karo, maka berdasarkan system kekerabatan dqalam maasyarakat Batak Karo hubungan kekerabatan diantara mereka adalah impal. Setiap orang tua akan mensosialisasikan pada anak-anaknya bahwa orang yang dapat mereka nikahi adalah mereka yang masuk dalam tutur impal walaupun bukan impal kandung. Sama seperti yang dikemukakan informan:

“Perkawinan yang paling sesuai dengan adat Batak Karo yaitu perkawinan impal yang sesuai dengan rakut sitelu” (Bp. Drs S. Alamsyah Sebayang, lai-laki umur 61 tahunWawancara September 2016)

Hal yang sama juga dikemukakan oleh informan berikut:

“Perkawinan yang baik itu adalah perkawinan yang tidak melanggar adat istiadat Batak Karo yitu perkawinan impal” (Bp. Joseph Gurusinga, laki-laki 68 tahun. Wawancara Oktober 2016. )

(38)

“………..Perkawinan yang menurut adat yaitu perkawinan berdasarkan Impal agar masih terjaga adat istiadat kita, pelaksanannya yaitu kayak nungkuni (mbaba belo selambar/meminang), ngantik manuk (membawa luah/muduri) dan pesta adat. “( Bu Ana Bangun. Perempuan 57 tahun. Wawancara oktober 2016).

Jika hal tersebut di langgar, maka artinya relasi klen kalimbubu-anak beru (kerabat pemberi gadis-kerabat penerima gadis) akan berubah tiap generassi dan melahirkan struktur sosial lain pada masyarakat Karo. Hubungan kalimbubu-anakberu di mengerti sebagai relasi antar dua klen karena perkawinan yang terjadi antara pria-gadis lintas klen.Bagi masyarakat Karo perkawinan seperti disebutkan di atas dianggap sesuai dengan keteraturan alam (natural order of things) ini tercermin dalam ritual perkawinan sepupu-silang yang matrilateral. Disamping itu, masyarakat Karo juga melarang pernikahan saudara sekandung (senina) dan kerabat kain yang termasuk katefori senina-senina (kerabat dekat). Kategori senina ini dilihat dari keturunan satu ayah atau satu kakek (Ahimsa-Putra, 1986). Larangan lainnya ialah ketika terjadi suatu situasi dimana seorang pemuda A hendak menikahi gadis B yang saudara pria sekandungnya telah menikahi saudara perempuan sekandung si pemuda A.

(39)

penyeleaian pertikaian. Apabila aturan ini diabaikan maka akana terjadi ialah kekacauan dalam masyrakat Karo.

A. Unsur dari sangkep sitelu ini adalah sebagai berikut:

1. Kalimbubu, ialah kelompok pihak pemberi wanita dan sangat dihormati dalam system kekerabatan masyarakat karo. Masyarakat karo meyakini bahwa kalimbubu adalah pembawa berkat sehingga kalimbubu itu disebut juga dengan Dibata Ni Idah (Tuhan yang Nampak). Sikap menentang dan menyakiti hati kalimbubu sangat dicela.

Kalimbubu dapat dibagi atas 2 yaitu: a. Kalimbubu berdasarkan tutur

1. Kalimbubu Bena-bena disebut juga kalimbubu tua adalah kelompok keluarga pemberi gadis kepada keluarga tertentu yang dianggap sebagai keluarga pemberi anak gadis awal dari keluarga itu. Dikategorikan kalimbubu Bena-bena, karena kelompok ini telah berfungsi sebagai pemberi dara (gadis) sekurang-kurangnya tiga generasi.

2. Kalimbubu Simanjek Lulang adalah golongan kalimbubu yang ikut mendirikan kampung. Status kalimbubu ini selamanya dan diwariskan secara turun menurun.

b. Kalimbubu erdasarkan kekerabatan (perkawinan)

(40)

b. Kalimbubu I Perdemui atau kalimbubu si erkimbang, adalah pihak kelompok dari mertua, bapak mertua beserta seluruh senina dan sembuyaknya dengan ketentuan bahwa si pemberi wanita ini tidak tergolong kepada tipe Kalimbubu Bena-bena dan kalimbubu Si Mada Dareh.

c. Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu yaitu pihak subklen pemberi anak dara terhadap kalimbubu tersebut.

d. Kalimbubu senina, golongan kalimbubu ini berhubungan erat dengan jalur senina dari kalimbubu yang bersangkutan, perannya adalah sebagai juru bicara bagi kelompok subklen kalimbubu yang bersangkutan.

e. Kalimbubu Sendalanen/Sepengalon, golongan kalimbubu ini berhubungan erat dengan kekerabatan dalam jalur kalimbubu dari senina sendalanen, sepengalon pemilik pesta.

2.Anak Beru adalah pihak pengambil anak dara atau penerima anak gadis untuk diperistri. Anak beru itu diumpamakan sebagai yudikatif, kekuasaan peradilan. Hal ini maka nakberu disebut pula hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam keluarga kalimbubunya, tugasnyalah mendamaikan perselisihan tersebut.

Anak beru di bagi atas dua yaitu: 1. Anak beru berdasarkan tutur

(41)

b. Anakberu Taneh adalah penerima wanita pertama, ketika sebuah kampung selesai didirikan.

2. Anakberu berdasarkan kekerabatan

a. Anakberu Jabu (Cekoh Baka tutup, dan Cekoh Baka Buka). Cekoh Baka artinya orang yang langsung boleh mengambil barang simpanan kalimbubunya. Dipercaya dan diberi kekuasaan seperti ini karena dia merupakan anak kandung saudara perempuan ayah.

b. Anakberu Langkip adalah penerima wanita yang menciptakan jalinan keluarga yang pertama karena di atas generasinya belum pernah mengambil anak wanita dari pihak kalimbubunya yang sekarang. Anakberu ini disebut juga anakberu langsung karena dia lngsung mengawini anak wanita dari keluarga teretentu.

c. Anakberu menteri adalah anakberu dari anakberu. Fungsinya menjaga penyimpangan-penyimpangan adat baik dalam bermusyawarah maupun ketika acara adat sedang berlangsung. Anakberu menteri ini memberi dukungan kepada kalimbubu yaitu anakberu dari pemilik acara adat.

3. Senina /sembuyak, hubungan perkerabatan senina disebabkan seklen atau hubungan laina yang berdasarkan kekerabatan

Senina dapat dibagi dua:

1. Senina berdasarkan tutur yaitu senina semerga. Mereka bersaudara karena saty klen (merga)

(42)

a. Senina Siparibanen, mereka yang berkerabat karena ibu mereka saling bersaudara, sehingga mereka mempunyai bebere (beru clan /ibu yang sama)

b. Senina Sepengalon (sindalanen), persaudaraan karena pemberi wanita yang berbeda merga dan berada dalam kaitan wanita yang sama. Atau mereka yang bersaudara karena satu subclan (beru) istri mereka sama. Tetapi, dibedakan berdasarkan jauh dekatnya hubungan mereka dengan clan istri. Dalam musyawarah adat mereka tidak akan memberikan tanggapan atau pendapat apabila tidak diminta.

c. Senina Secimbangen, (untuk wanita) mereka yang bersenina karena suami mereka sesubclan (bersembuyak).

4.6. Amalgamasi pada Etnis Karo

Masyarakat karo memegang teguh ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam adat istiadatnya yang sudah tertanam dan terus bertahan didalam masyarakat karo itu sendiri. Amalgamasi yang terjadi di Desa Tengah antara Etnis Karo dengan pendatang menimbulkan sikap dari masyarakat karo mengenai perkawinan beda budaya yang terjadi. Dimana, dalam masyarakat karo terdapat ketentuan-ketentuan Adat Perkawinan bagi Etnis Karo yang menikah dengan Etnis lain, hal ini dilakukan untuk mempertahankan adat dan menjaga silsilah marga keluarga.

(43)

cara pandang mengenai sebuah perkawinan. Hal ini sesuai dengan pendapat informan yang merupakan salah satu tokohadat yang mengerti tentang adat Karo, berikut wawancara dengan infroman:

“Perkawinan lintas budaya tersebut sudah tidak dapat dielakkan lagi karena mengingat dizaman modern ini, kita tidak bisa lagi bertahan dalam posisi berdasarkan kesukuan saja, karena persentuhan dan pergaulan lintas suku di desa Tengah ini khusunya, dan lintas bangsa di negara ini pada umumnya, tidak bisa dihindari jika kita ingin mencapai kemajuan. Oleh sebab itu perkawinan Amalgamasi itu sah-sah saja dalam suku karo dan sama sekali tidak dilarang dalam kaidah adat suku karo. Namun, dalam pelaksanannya guna kelancaran tata cara perkawinan menurut budaya karo, pihak laki-laki/perempuan yang melakukan perkawinan dengan secara adat Karo maka sebaiknya pihak laki-laki/perempuan itu diberikan marga/beru, yang biasanya dirembukkan dengan keluarga yang bersangkutan secara adat.” (Drs.S.Alamsyah Sebayang, laki-laki, 61 tahun, oktober 2016)

Bukan hal yang mudah utuk terjadinya perkawinan campur (amalgamasi) di tengah-tengah masyarakat yang memiliki banyak perbedaan kebudayaan. Apalagi penduduk yang berkubudayaan tersebut memiliki rasa cinta dan hormat dengan kebudayaannya masing-masing khusunya masyarakat Karo dodesa Tengah. Otomatis masyarakat tersebut juga berharap agar keturunannya tetap mewarisi kebudayaan yang dimilikinyaa.

Demikian dengan penduduk local (si manteki kuta) di Desa Ttengah yang hingga saat ini tetap menunjang nilai kebudayaan Karo. Masyarakat berharap keturunan mereka juga tetap menjaga kebudayaan mereka. Hal ini yang sama juga ditekankan dalam perkawinan mereka berharap anak-anak mereka menikah dengan seseorang yang seagama dan memiliki suku yang sama dengannya. Berikut hasil wawancara dengan informan:

(44)

me e, je kari aku kuakap bulung gadong enca ia entabeh kapna manok. Emaka penghianat ningen man kalak karo si empo man kalak. E baci rutang kita man adat, e pe man galaren bas adat.” (Budi Ginting)

(Artinya, “dari dulu jika menikah memang dilarang kalau menikah dengan orang yang bukan bersuku karo juga, itu sama aja seperti menikah dengan sama marga, itu tidak diperbolehkan. Kalau orang karo ini menikah dengan orang yang bukan suku karo, apabila ada pesta adat di Karo nanti itu seperti tidak ada saudara kita disana. Apabila tidak saling menegerti itu pasti akan sulit, kalua nanti saya rasa daun ubi itu enak, ya menurut dia ayam yang enak. Maka dari itu, penghianat dulu dibilang sama orang yang nikahi suku lain, makanya jika itu terjadi harus dibayar denda sama adat”).

Sejak dulu sampai sekarang penduduk si manteki kuta mengharapkan anak mereka menikah dengan sesesorang yang sebudaya saja. Menikah dengan orang yang berasal dari kebudayaan lain dianggap suatu penghianatan terhadap budaya Karo itu sendiri. Mereka memandang jika anak mereka menikah atau menikahi seseorang yang berasal dari etnis lain dengannya maka barang warisan dan kekerabatan keluarga akan hilang. Seiring berjalannya waktu dan zaman sudah semakin modern, kondisi penolakan terhadap pernikahan dengan suku lain justru semakin memudar dalam penduduk si manteki kuta di Desa Tengah kecamatan Pancur Batu. Berikut hasil wawancara dengan informan:

“Ini zaman bukan zaman sitinurbaya lagi. Sudah bebas memilih orang yang kita sukaa. Kalau dirasa sudaah cocok, satu keyakinan, bisa lah kita carik makan udah bisalah itu orang apapun dia kalua sama kita tinggal disini pasti nanti dia juga samanya kayak orang-orang sini. Bisanya belajar. Sekarang sinikan udah banyak pun orang kawin sama orang Jawa, Batak atau suku lain lagi, kami lihatnya orang tu akur-akur mereka sampek anak merekapun udahnya besar-besar, memang sebelum mereka nikah dibuat marga si perempuan ataupu n silaki-laki yang mau menikahbiar ada orang Karo keluarganya disini.” (Bp Fery Surbakti).

(45)

yang berbeda dengan kebudayaan sendiri hanya mungkin tercapai dalam suatu akomodasi. Apabila toleransi tersebut mendorong terjadinya komunikasi, maka factor tersebut mempercepat asimilasi. Sikap saling menghargai terhadap kebudayaan yang didukug oleh masyarakat yang lain dimana masing-masing mengikuti kelemahan-kelmahannya, kelebihan-kelebihannya akan mendekatkan masyarakat-masyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan-kebudyaan tersebut. apabila ada prasangka, maka hal demikian akan menjadi penghambat bagi berlangsungnya suatu proses amalgamasi tersebut.

4.6.1. Pencantuman Budaya Pada Pasangan Amalgamasi Dalam Etnis Karo.

Di dalam masyarakat Karo perkawinan lintas budaya (Amalgamasi) memiliki ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaanya di dalam perkawinan menurut Adat Karo, dimana ketentuan-ketentuan tersebut sudah di atur dan dijaga kelestariannya sejak zaman nenek moyang dahulu. Etnis Karo yang menikah dengan Etnis pendatang secara Adat harus memenuhi tata cara perkawinan beda budaya dalam suku Karo yaitu dengan “pemberian marga” pada pihak laki-lai/perempuan dari Etnis lain tersebut, bahkan arti pemberian marga/pencantuman budaya terhadapnya ini juga sebagai tanda bahwasanya si pelaku Amalgamasi tersbut sudah di anggaap sebagai keluarga di dalam masyarakat Karo itu sendiri. Menurut Robert R.Bell dalam (ihromi 1999:91) yang berjudul bunga rampai sosiologi keluarga menyatakan ada 3 jenis hubungan keluarga yakni:

1. Kerabat dekat (Conventional Kin)

(46)

2. Kerabat Jauh (discretionary kin)

Kerabat jauh terdiri atas individu yang terkait dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi, perkawinan, tetapi ikatan keluarga lebih lemah daruipada kerabat dekat. Anggota kerabat jauh kadang-kadang tidak menyadari akan adanya hubungan keluarga tersebut. huungan yang terjadi diantara mereka biasanya karena kepentingan pribadi dan bukan karena adanya kewajiban sebagai anggota keluarga. Biasanya mereka terdiri atas paman, bibi, keponakan dan sepupu.

3. Orang yang dianggap kerabat (fictive kin)

Seseorang yang dianggap kerabat karena adanya suatu hubungan yang khusus, misalnya hubungan antara seseorang yang diberikan marga dalam perkawinan amalgamasi dengan kerabat pasangannya tersebut. berikut wawancara infroman mengena pencantuman marga /budaya pada prosesi perkawinann Amalgamasi pada Etnis Karo:

(47)

singkat sebagai penegasan. Selanjutnya sebagai penguat dan perkokoh pengesahan marga ini, kepada anakberu marga Ginting juga diberikan oleh calon pengantin laki-laki yang sudah sah bermarga Ginting tersebut sejenis pisau/parang sebagai symbol sudah bertambahnya marga ginting yang harus diayomi, dilayani, dan dilindungi oleh pihak anak beru.5.Pada beberapa acara seperti ini, ada juga diberikan sejumlah uang yang disebut “batunna” yaitu sebagai pembuktian atau penguat untuk menjadi bukti konkrit oleh sembuyak-kalimbubu dan anakberu yang berupa “uang” dari keluarga calon pengantin laki-laki kepada marga Ginting yang sudah menjadi keluarga/ sembuyaknya, kepada marga Tarigan dan rombongannya serta kepada rombongan anak beru Ginting. Beginilah tata cara yang paling sederhana menyangkut pengesahan seseorang menjadi penyandang salah satu marga suku Karo. Pada beberapa kejadian atau prosesi adat dpaat juga dilakukan lebih komplit dan lebih ramai pesertanya” (S.A Sebayang, laki-laki, 61 tahun, Oktober 2016).

Berdasarkan wawancara dengan salah satu tokoh adat Karo diatas, bahwasanya perkawinan Amalgamasi pada pasangan yang berasal dari budaya karo dengan suku lain sebelum memutuskan untuk menikah secara adat, melewati suatu prosesi adat Karo yaitu “pemberian marga” kepada si pasangan yang beretnis lain tersebut. marga/beru yang diberikan oleh pihak pengantin pria/wanita sesuai dengan ketentuan Marga/ beru yang seharusnya sesuai dengan silsilah kalimbubu-anakberu dan sembuyak dalam adat Karo. Hal ini dilakukan demi mempersatu “rangkut sitelu” dalam adat Karo.

(48)

tersebut harus membayar denda kepada adat karena sudah menikah dengan seseorang yang bukan dari suku karo yang disebut “utang adat”. Dalam hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh informan berikut:

“ waktu aku nikah sama suamiku dulu, kami kan beda suku nak, jadi mamakku dulu bayar uang adat ke kalimbubu ku, supaya itulah penghargaan bagi mereka, kan aku seharusnya kawin sama anaknya, jadi dibayar utang adat itu ke dia supaya tetap ada ikatan keluarga antara kami, anakku pun dulu yang paling besar, kawin dia sama orang batak juga, utang adatnya tetap kubayar sama kalimbubu kami, itu mesti dilakukan kalo kita beradat kan harus gituu.” (Ana Bangun, Septemer 2016).

Berdasarkan wawancara di atas dengan bu Ana Bangun bahwasanya terlihat perkawinan bagi masyarakat karo tidak semata hanya mengawinkan antara mempelai laki-laki dan perempuan, tetapi memiliki makna sosial yang lebih mendalam, yaitu untuk mengawinkan keluarga besar dari kedua belah pihak. Disinilah berkembang sesuatu ikatan kekeluargaan dari keluarga inti (nuclear family) menajdi keluarga besar (extended family). Perkawinan yang begitu sacral, penting dan berat karena mempertemukan dua keluarga sehingga diadakan lah pesta.

Pelaksanaan pesta perkawinan antara etnis pendatang dengan etnis Karo memiliki suatu keunikan. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu informan yang mengalami amalgamasi, maka dalam proses acara perkawinan, acara tersebut dilangsungkan dengan mengguakan dua tema budaya. Misalnya saja dalam pesta perkawinan Hendri Keliat dengan Maria.

Berikut hasil wawancara dengaan informan:

(49)

sembilanan sampai makan sianglah siap itu pakai baju melayu karna kan adat istriku, terus alat musiknya pakai music karo aja, satu keyboard, sama adalah music modernnya. Tapi untuk acara selanjutnya it uterus ikuti adat abang, adat karo. Kayak makan dikamar itu, terus ebberapa hari kemudian datang jemput baju kerumah perempuan gitu, ngasih makan anak beru juga habis pesta.” (Hendri Keliat).

Beranjak dari teori asimilasi yang dinyatakan oleh Koentjarangningrat bahwa dalam peristiwa seperti ini biasanya golongan minoritas yang berubah dan menyesesuaikan diri dengan golongan mayoritas sehingga sifat-sifat khas dari kebudayaan lambat laun beruah dan menyatu dengan kebudayaan golongan mayoritas. Hal tersebut relevan dengan hasil wawanara dengan salah satu informan di desa Tengah berdasarkan penjelasan Bp. Hnedri Keliat dapat kita lihat bahwa, istrinya yang merupakan pendatang mengalami perubahan dalam budayanya, mereka juga terlihat cenderung mendominasi kebudayaan Karo itu sendiri. Misalnya dalam acra pelaksaan pesta perkawinan pendatang dengan si manteke kuta berbeda dengan yag umumnya, pesta dilaksanakan dengan menggunakan tema budaya campuran, adanya pembagian waktu dalam penggunaan tema tersebut misalnya dari pagi sampai siang acara pesta dilaksanakan dengan adat karo dan siang sampai selesai dengan tema adat lain yaitu melayu, misalnya saja dalam iringan music diteumakan paduan yang lebih cenderung ke music campuran contohnya seperti ditemukannya lagu hare-hare dimana lagu di Inida yang diaransemen kemusik melayu namun di nyanyiakan dengan Bahasa Karo.

(50)

serta sajian makanan yang dihidangkan juga cenderung berkombinasi dengan dua budaya yang bersatu namun masih terlihat lebih mendominankan adat karonya sendiri.

4.6.2. Bentuk-bentuk Amalgamasi di Desa Tengah

Berdasarkan data yang dikumpulkan penulis di lapangan, dalam masyarakatt multi kultural di Desa Tengah meliputi tiga etnis dominan yang berlainan yakni etnis Kro, Jawa , Batak toba dengan Melayu. Kawin campur antar suku yang berbeda tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, yakni sebagai berikut:

4..6.2.1. Amalgamasi etnis Karo dengan etnis Jawa.

Perkawinan antara etnis Karo dengan etnis Jawa di Desa Tengah sudah terjadi dalam tempo waktu yang lama. Orang Jawa yang menikah dengan penduduk asli di Desa Tengah terdiri dari berbagai latar belakang, seperti yang diungkapkan oleh pak Sudaryono:

“Saya menikah dengan penduduk asli di desa ini karena dulu saya ikut orangtua saya pidah ke sini karena orang tua saya bertransmigrasi kesini karena pekerjaan, jadi saya sebenarnya dibesarkan disini, karena saya sudah lama tinggal disini jadi saya banyak bergaul dengan masyarakat karo di desa ini dan kebetulan saya bertemu dengan orang karo yang menjadi istri saya sekarang karena merasa cocok kemudian memutuskan untuk menikah.(pak Sudaryono,

(51)

yang berbeda antara etnis Karo sebagai etnis asli di desa ini, dan etnis Jawa sebagai etnis pendatang tentunya memiliki banyak perbedaan khususnya bagi keluarga amalgamasi. Berikut wawancara dengan salah satu narasumber yang beretnis Karo beramalgamasi dengan etnis Jawa:

“memang sulit untuk menyesuaikan diri awalnya karena kebiaaan disini sangat berbeda dari tempat asal saya ditambah lagi suami saya masuk agama saya juga, jadi kami saling belajar pelan-pelan dari mulai perbedaan kebiasaan beribadah, dia tentunya belum terbiasa untuk sholat atau ibadah lainnya. Kadang ya saya ingatkan juga cuman kan namanya orang udah dari dulu dia Kristen pasti agak janggal lah rasanya kalau mau sholat. Kalau nikah dengan yang berbeda suku pasti banyak perbedaan apalagi kalau tinggal di daerah yang bukan asal kita, kayak aku ginilah mau ngomong pun sama orang sini dulu susah, karena mereka ngomong pakai Bahasa karo, kalau pun pakai Bahasa Indonesia pasti dicampurnya pakai Bahasa karo, belum lagi makanannya orang sini kalau masak terlalu pedas, tajam kali rasa masakannya, biasanya di rumah kan saya makannya manis-manis, suami saya sukanya yang pedas-pedas, jadi musti belajar lagilah kalau masak.( bu Dewi Sartika

Dari wawancara di atas dapat disimpulkan bahwasanya terjadi perkawinan amalgamasi yang berbeda agama antara etnis Karo dengan etnis Jawa, hal ini terjadi karena mayoritas etnis Karo di Desa Tengah beragama Kristen sedangkan etnis Jawa beragama Islam. Amalgamsi yang dilakukan bu Dewi Sartika dengan suaminya yang beretnis Karo, dengan latar belakang agama mereka yang berbeda menyebabkan penyesuaian diri suami bu Dewi sartika ke agama istrinya yaitu Islam. Di samping itu, untuk menyatukan perbedaa dari mulai Bahasa dan makanan yang dilakukan bu Dewi tidak hanya kepada keluarganya tetapi juga ke lingkungan tempat tinggalnya, karena beliau sebagai orang pendatang di desa ini. Amalgamasi yang dilakukan antara etnis Karo dengan etnis Jawa di des Tengah, malalui suatu ikatan perkawinan yang berdasarkan agama dan adat, berikut wawancara singkat dengan salah satu narasumber:

(52)

Perkawinan campur antara suku karo dengan suku jawa di desa tengah terjadi disebabkan oleh karena masing-masing mereka yang menikah dengan latar belakang suku dam budaya yang berbeda tersebut tidak melandaskan perkawinannya kepada budaya melainkan karena unsur suka sama suka, transmigrasi dan saling ketergantungan kepada satu mata pencaharian dengan adanya perbedaan latar belakang tersebut maka dalam upacara pernikahan antara suku karo dan suku jawa di desa tengah dilakukan menggunakan adat karo dan ada juga yang mengguna

kan adat Jawa tergantung dari kesepakatan masing- masing pihak yang menikah.Perbedaan adat, Bahasa, agama dan perilaku antara etnis Karo dengan etnis Jawa di Desa Tengah dapat dilihat dalam table berikut:

Tabel 4.8 Amalgamasi Etnis Karo Dan Etnis Jawa Amalgamasi

antara:

etnis Karo etnis Jawa adat dan budaya memilki adat yang

kuat, dan

mempertahankan adatnya

fleksible, dan adat tidak terlalu kuat

agama tidak terlalu kuat (megikuti agama pasangannya)

memiliki kepercayaan agama yang kuat dan mayoritas Islam

Bahasa tetap memakai Bahasa Karo

memakai Bahasa karo dan Bahasa Indonesia perilaku bicara dengan nada

keras

tidak ada eksen “medok” lagi, lemah lembut

4.6.2.2.Amalgamasi etnis Karo dengan etnis Melayu

(53)

datang dan bermukim di Desa Tengah. Berikut wawancara dengan salah satu narasumber pendatang yang beretnis Melayu:

“saya pindah ke desa tengah karena pekerjaan, dulu tinggal dimedan, dan pindah kesini karena kerja di balai Desa Tengah sebagai sekertaris desa, tinggal disini sudah dari umur 20an, keluarga besar masih dimedan, cuman saya kan sudah punya keluarga sendiri disini, jadi ya ga balek kemedan lagi, kebetulan alm istri saya asli orang sini, jadi keluarganya udah anggap saya seperti anak sendiri lah,desa ini pun sudah seperti kampung halaman sendiri untuk saya,” (pak Nazir, Oktober 2016).

Berdasarakan wawancara dengan narasumber di atas terlihat bahwa amalgamasi keluarga pak Nazir dengan istrinya yang beretnis Karo di awali karena perpindahannya ke Desa Tengah, faktor menetap disuatu wilayah dengan kurun waktu yang lama seperti pak Nazir tersebut dapat memicu terjadinya Amalgamasi antar etnis pada masyarakat multi kultural. Di samping itu juga proses penyesuaian etnis Karo dengan Melayu dan sebaliknya sebagaimana halnya yang dialami pak Nazir tentunya melewati proses penganalan dan adaptasi antar budaya yang berbeda juga, dari sisi Bahasa, sikap dan juga budaya etnis Karo di Desa Tengah berikut wawancara dengan beliau:

“saya memang cepat berbaur orangnya, jadi mudah aja lah untuk bergaul dengan orang-orang sini, Bahasa karo saya fasih sekali, karena kan kawan kawan semua orang karo, sampek adat karo pun saya faham, sering malah orang minta tolong ke saya untuk mengadati nikahan anaknya, tapi kalau ditanya orang sampe sekarang saya selalu bilang saya ini orang melayu, karenaa dlu nikah sm istri tidak di adati, jadi sebenarnya belum sah saya jadi orang karo” (pak Nasir, Oktober 2016)

(54)

walaupun Bahasa yang digunakannya sehari-hari adalah Bahasa Karo, tetapi kebiasaan dan budaya Melayu masih tertanam di dalam dirinya yaitu sifat bawaan suku Melayu yang biasanya mudah dalam melakukan penyesesuaian terhadap suku mana pun, karena etnis Melayu merupakan etnis pertama yang ada di Indonesia dan yang paling banyak tersebar di provinsi Sumatra Utara pada umumnya.

Amalgamasi yang dilakukan antara etnis Karo dengan etnos Melayu juga bukan hanya berlatarbelakang budaya yang berbeda saja tetapi juga agama yang berbeda pada awalnya, sesuai dengan wawancara dengan salah satu narasumber berikut:

“dari kecil saya sudah tinggal disini, dan di asuh ole nenek saya, orang tua saya sudah meninggal, dulu sebelum menikah saya Islam, cuman sekarang sudah ikut suami pindah agama Kristen, suami kan orang Karo dan keluarganya taat sekali sm adat dan agama, jadi saya pun diberi marga di karo, dan masuk kejamaat gereja suami saya, puji Tuhan lama lama bisa terbiasa jugaa sekarang, tidak terasa sudah 10 tahun usia pernikahan kami” (bu Maria, Oktober2016).

Dari hasil wawancara di aats dapat dilihat bahwa pernikahan bu Maria yang beretnis Melayu dengan suaminya yang beretnis Karo bukan hanya berlatarbelakang budaya yang berbeda tetapi juga agama yang berbeda, walaupun pada akhornya bu Maria memutuskan untuk ikut masuk agama suaminya yaitu Kristen Protestan. Dalam hal ini penyesesuain dilakukan bu Maria dimulai dari sisi agama dengan cara ikut aktif dalam jemaat gereja suaminya, dan banyak mengikuti upacara adat Karo.

(55)

Tabel 4.9 Amalgamasi Etnis Karo Dan EtnisMelayu Amalgamasi

antara

etnis Karo dengan etnis Melayu

adat dan budaya kuat dan

mempertahankan adat

hampir sudah mengikuti budaya Indonesia pada umumnya

agama beragama Islam beragama Islam

Bahasa menggunakan Bahasa

karo sehari-hari

mmakai Bahasa Karo sehari-hari

perilaku gaya bicara spontan, dan tidak rapi

gaya bicara sopan, dan rapi

4.6.2.3.Amalgamasi etnis Karo dengan etnis Batak Toba

Perkawinan campur etnis Karo dengan etnis batak toba merupakan suatau bentuk peleburan dua budaya yang berbeda dan sama-sama memiliki adat dan kepercayaan yang sangat kuat. Dimana individu beretnis Batak Toba juga memiliki marga yang telah dimilikinya sejak kecil yang diperoleh dari silsilah (keturunan) demikian halnya juga dengan etnis Karo. Terdapat kesulitan- kesulitan bagi keluarga amalgamasi yang beretnis Batak Toba dengan etnis Karo dalam menyesesuaikan perilaku dan kebiasaan masing-masing pasangan khususnya dalam hal adat dan budaya. Berikut wawancara dengan salah satu keluarga amalgamasi yang beretnis Karo dengan Batak Toba:

(56)

kalau orang batak ini kawin sm orang karo kalo diadati mesti dikasih marga, sama halnya juga sm kami pun gitu mesti dikasih marga, tapi untunglah lama lama mereka jadi setuju karna diliatnya kami berumah tangga baik-baik saja, Cuma ya karna hal itu jadi kami belum di adati secaea adat masing-masing, hanya secara agama Kristen saja” (bu Modesta Rumapae, Oktober 2016).

Dapat dilihat dari wawancara di atas dengan salah satu narasumber beretnis Batak Toba yang menikah dengan etnis Karo, penerimaan masing-masing dari keluarga tidak terlalu baik jika dibandingkan dengan etnis Karo yang menikah dengan etnis Jawad an Melayu, karena adat dan budaya etnis Batak toba dan etnis Karo sama-sama kuat dan saling mempertahankan budaya masing-masing. Tetapi, hal tersebut tidak memperngaruhi keharmonisan keluarga amalgamasi bu Modesta Rumapae dengan suaminya, mereka tetap saling menerima perbedaan dan hidup rukun.

Disamping itu pula, terdapat perbedaan bahasa, perilaku, adat, dan kebiasaan yang sangat bertolak belakang antara etnis Karo dengan etnis Batak Toba, berikut wawancara dengan salah satu narasumber:

(57)

Dalam wawancara di atas dapat dilihat bagaimana awal dari penyesesuaian yang dilakukan oleh bu Ana dengan suaminya yang beretnis Batak Toba. Dimana, usaha beliau dalam emmpelajari adat suaminya dengan cukup sering mengikuti acara adat batak dan mempelajari tata cara pemakaian ulos di Batak Toba. Meskipun terdapat banyak perbedaan dalam perkawinan campur antara etnis Batak Toba dengan etnis karo tetapi keluarga yang melakukan amalgamasi menerima masing-masing perbedaan tersebut, dan saling memahami satu sama lain, hal tersebut dapat disimpulkan dari wawancara di atas.

Perbedaan adat, Bahasa, agama dan perilaku antara etnis Karo dengan etnis Batak Toba di Desa Tengah dapat dilihat dalam table berikut:

Tabel 4.10 Amalgamasi Etnis Karo Dan EtnisBatak Toba amalgamasi

agama Kristen Kristen

perilaku bicara dengan

suara lebih rendah,

gengsian, irit

bicara dengan nada tinggi, pkerja keras.

4.7. Pola Adaptasi keluarga amalgamasi di Desa Tengah.

(58)

pribadi (Gerungan,1991:55). Menurut Suparlan, adaptasi itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan kehidupan. Dalam proses kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat, individu tidak dapat begitu saja melakukan tindakan yang dianggap sesuai dengan dirinya, karena individu tersebut mempunyai lingkungan diluar dirinya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan social. Dan lingkungan ini mempunyai aturan dan norma-norma yang membatasi tingkah laku individu tersebut.

Penyesesuaian diri terhadap lingkungan fisik sering disebut dengan istilah adaptasi dan penyesesuaian diri dengan lingkungan sosial disebut dengan adjustment. Adaptasi lebih bersifat fisik, dimana orang berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, karena hal ini lenih banyak berhubungan dengan diri orang tersebut. Tingkah lakunya tidak saja harus menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik, tetapi juga dengan lingkungan sosialnya (adjustment).

(59)

untuk dijalankan oleh keduanya, sehingga pria bertindak sebagai suami dan seorang wanita bertindak sebagai istri dengan sebagaimana mestinya.

4.7.2. Penyesuaian Bahasa

Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi dengan individu atau masyarakat yang dimana dilakukan individu dalam menyesesuaikan dirinya dengan lingkungannya.

(60)

berAmalgamasi dalam penyesesuaian dirinya dalam Bahasa yang sering digunakan pasangannya:

“ saya memang bukan orang karo, tapi kerna istri saya itu orang karo dan saya tinggal diwilayah karo, saya pelan pelan menyesesuaikanlah cara cakap ke orang sini, kadang pakai Bahasa Indonesia, kadang saya campur-campur dengan Bahasa karo sitik-sitik hehehe” (Muhammad Nazir, September 2016).

Hal yang serupa juga disampaikan informan ini:

“kalok aku dulu dek, mau cakap pun segan sama mertua, kerna mertuaku ga tau dia Bahasa Indonesia, mau ngomong pun susah, jadi takut salam paham aku pun udah lama tinggal disini lama-lama bisa lah kumengerti Bahasa karo, walaupun masih susah aku kalo balas orang ngomong, tapi aku ngertilah aku yang dibilangnya” (Modesta Rumapae, September 2016)

Berdasarkan wawancara dengan informan di atas yang merupakan Etnis pendatang di desa Tengah yang menikah dengan Etnis Karo di desa ini, proses penyesuaian Bahasa yang dilakukan oleh pak Muhammad Nazir dengan Ibu Modesta Rumapae yang beretnis Batak dan Melayu ini di dalam keluarganya, demi tercipta suatu kesesuaian dan dapat diterima dengan baik oleh pasangannya, keluarganya, maupun lingkungannya.

4.7.3. Penyesuaian Prilaku

(61)

yang baru tentunya menemukan banyak perbedaan-perbedaan dan kecanggungan-kecanggungan. Hal ini seperti yang diperoleh dari wawancara oleh salah satu informan berikut:

“ awalnya aku itu heran pas dengar mama (mertua laki-laki”) ngomong, dia kayak marah-marah disamping aku ndak tau dia ngomong apa hahha, rupanya nada bicaranya aja yang kayak orang marah, itupun aku tau pas udah lama, awalnya kalo ngomong sama dia aku takut kali, kusangka dia marah soalnya, memang orang karo ini suaranya besar-besar kalo ngomong, ga selo lah gitu dia ngomongnya walaupun baek-baek maksudnya,jadi sekarang kalo ngomong aku agak tegaslah sekarang, ya namanya orang jawa ya dek, kadang ngomong pelan, orang sini ga dengar, jadi mesti kuat-kuat juga hahha” (Sudaryono, Oktober 2016).

Berdasarkan wawancara dengan infroman tersebut, dapat dilihat perilaku pak Sudaryono yang beretnis Jawa juga merupakan etnis pendatang di Desa Tengah. Beliau yang dimana cenderung lemah-lembut dalam berbicara, dan berbicara dengan nada yang rendah menyesuaikan perilakunya dalam berbicara dengan keluarga/mertuanya yang beretnis Karo yang cenderung berbicara dengan nada yang tinggi. Hal ini menimbulkan penyesesuain perilaku bagi Etnis pendatang terhadap budaya aslinya dengan budaya dilingkungan tempat tinggalnya. Demi menghindari suatu perbedaan dari dirinya dengan penduduk setempat maupun keluarganya.

Gambar

Gambar
Gambar 3: Peneliti bersama salah satu informan kunci bu Fransisca dengan anak
Gambar 5: foto pernikahan Fransisca
Gambar 6: Pernikahan Hendri Keliat dan Maria dengan Adat Karo.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir 1.12 Menganalisa gaya listrik, kuat medan listrik, 1.12.1 Menyimpulkan besaran fisis (gaya listrik, kuat keilmuan yang mendukung

Mikroorganisme Hari ke-1. Hari ke 2 Hari

Pengaturannya dinyatakan dalam Pasal 21 UULH bahwa: "Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak

Hasil yang diharapkan dari kurva CBR adalah ketebalan lapisan-lapisan perkerasan di atas sub-grade sesuai dengan jenis-jenis tanah atau material yang digunakan untuk perkerasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kawasan Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat, dapat diambil kesimpulan yaitu: Jumlah jenis burung yang didapatkan di

Dalam hal ini perkembangan kasus KDRT di Kabupaten Sumenep tahun 2015- 2019 mengalami peningkatan, peningkatan yang tinggi itu terjadi pada tahun 2018, namun kepolisian dapat

Dari grafik lama waktu penyelesaian KTI mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan tingkat akhir di STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta didapatkan hasil dengan presentase

on an increase in the sintering temperature for both dense HA/TCP and HA/TCP-CNTs composite. However linear shrinkage at sintering temperatures of 1100 o C for HA/TCP-CNTs