• Tidak ada hasil yang ditemukan

10. Drs S. Alamsyah Sebayang

4.5. Sistem Kekerabatan dan Perkawinan pada Etnis Karo

Perkawinan menurut etnis karo ialah ikatan lahir batin, mendapatkan keturunan, memperkuat tali kekerabatan dan hak waris jatuh kepada anak laki-laki langsung, tidak akhirnya kepada orang lain, walau masih saudara senenek misalnya. Demikian juga bila ditinjau secara sosiologis maka tujuan perkawinan bagi etnis Karo adalah guna memperoleh pengakuan dari kerabatnya dan masyarakat sekitar tempat kejadian, dimana upacar perkawinan berlangsung.

Sesuai dengan tujuan perkawinan diatas, dalam adat istiadat masyarakat Batak Karo telah digarsikan suatu aturan yang berkaitan dengan “siapa boleh kawin dengan siapa dan siapa yang tidak boleh dikawini.” Dalam tatanan adat msyarakat Batak Karo, telah di gariskan beberapa aturan berupa larangan kawin (pembatasan jodoh). Aturan –aturan tersebut antara lain seorang laki-laki dan gadis yang sekuturan margaa, sama sekali tidak dapat dibenarkan kawin, kecuali cabang anak marga Peranginangin Sebayang dapat kawin dengan marga lain dari margaa induk marga Peranginangin, misalnya marga Bangun dan marga Singarimbun diperbolehkan dengan marga Sebayang dimana marga ini sama-sama anak cabang dari marga induk Peranginangin, demikian juga dengan seluruh anak cabangdari marga Peranginangin lain. Beberapa cabang induk marga Sembiring juga ada yang dapat dibenarkan saling kawin, misalnya antara Sembiring Meilala dengan Sembiring Gurukinayan. Kecuali lainnya yang sudah merupakan tradisi bagi masyarakat Batak Karo adalah laki-laki atau gadis dari marga Sebayang tidak dibenrkan kawin dengan marga Sitepu dari induk marga Karo-karo. Jadi walaupun mereka ini berbeda marga tetapi mereka tidak boleh saling kawin, hal ini sudah ada sejak zaman nenek moyang orang karo.

Sistem kekerabatan dan perkawinan begitu memnetukan keberlangsungan tatanan adat- istiadat struktur sosialnya secara harmonis. Dalam mempertahankan perkawinan yang ideal masyarakat Batak Karo memiliki tradisi yaitu, si pemuda atau si gadis wajib menikahi impal-nya (pasangan idealnya). Aturan main dalam perkawinan ideal masyarakat Batak Karo adalah pernikahan sepupu-silang.

Salah satu syarat pernikahan sepupu-silang ini ialah pasangan ideal atau impal si pria adalah harus anak perempuan dari saudara laki-laki ibu. Sementara

impal bagi si gadis adalah anak laki-laki dari saudara perempuan ayah. Larangan berlaku bila si pria ingin menikahi anak perempuan dari saudara perempuan ayah, hal ini lantaran anak dari saudara perempuan ayah dianggap sebagai turang impal atau dianggap tabu di kawini. Alasannya karena masyarakat karo menghindari dari hubungan timbal-balik atay saling tukar pada arah pertukaran gadis di tiap klen. Hal ini nantinya berkiatan dengan benda yang dipertukarkan saat ritual perkawinan, serta hak dan kewajian yang ditanggung oleh kelompok kerabat dalam kehidupan sosialnya sehar-hari.

Bagan: Perkawinan yang ideal pada masyarakat Karo

Demikianlah bahwa perkawinan ideal pada masyarakat karo adalah perkawinan yang dilakukan dnegan cross-cousin (cross-cousin dari matrilateral) dan tidak pernah dilakukan dengan cross-cousin dari pihak ayah, karena dianggap masih sedarah. Pandangan bahwa saudara laki laki ibunya (impal) merupakan

Kakek dan Nenek (Bulang ras Nini)

Ayah dan Ibu (Bapa ras Nande)

Anak laki-laki

Anak perempuan

Paman dan Bibik (Mama ras Mami)

Menikah

Anak

laki-laki Anak

pasangan yang ideal juga tercermin dalam kehidupan sehari-hari mereka, misalya orang-orang tua melontarkan godaan terhadap seorang gadis dengan mengatakan bahwa orang tersebut akan mengawinkan anaknya dengan gadis itu. Bahkan kalua orang ingin mempermainkan gadis kecil supaya mennagis, mereka menggukan cara menakut-takuti bahwa impalnya yang merupakan pasnagan idealnya ingin kawin dengan orang lain.

Dalam masyarakat khususnya batak karo sendiri berupapaya untuk mensosialisasikan adat istiadatnya kepada anak-anaknya dalam sistem perkawinan adat agar sesuai dengan harapan masyarakat batak karo. Misalnya, cara ertutur (kenalan) hingga menemukan suatu ikatan hubungan kekerabatan diantara mereka. Contph, sorang laki-laki marga Tarigan bebera Ginting berkenalan dengan seorang perempuan yang berbere Br Ginting berbere Karo, maka berdasarkan system kekerabatan dqalam maasyarakat Batak Karo hubungan kekerabatan diantara mereka adalah impal. Setiap orang tua akan mensosialisasikan pada anak-anaknya bahwa orang yang dapat mereka nikahi adalah mereka yang masuk dalam tutur impal walaupun bukan impal kandung. Sama seperti yang dikemukakan informan:

“Perkawinan yang paling sesuai dengan adat Batak Karo yaitu perkawinan impal yang sesuai dengan rakut sitelu” (Bp. Drs S. Alamsyah Sebayang, lai-laki umur 61 tahunWawancara September 2016)

Hal yang sama juga dikemukakan oleh informan berikut:

“Perkawinan yang baik itu adalah perkawinan yang tidak melanggar adat istiadat Batak Karo yitu perkawinan impal” (Bp. Joseph Gurusinga, laki-laki 68 tahun. Wawancara Oktober 2016. )

“………..Perkawinan yang menurut adat yaitu perkawinan berdasarkan Impal agar masih terjaga adat istiadat kita, pelaksanannya yaitu kayak nungkuni (mbaba belo selambar/meminang), ngantik manuk (membawa luah/muduri) dan pesta adat. “( Bu Ana Bangun. Perempuan 57 tahun. Wawancara oktober 2016).

Jika hal tersebut di langgar, maka artinya relasi klen kalimbubu-anak beru (kerabat pemberi gadis-kerabat penerima gadis) akan berubah tiap generassi dan melahirkan struktur sosial lain pada masyarakat Karo. Hubungan kalimbubu-anakberu di mengerti sebagai relasi antar dua klen karena perkawinan yang terjadi antara pria-gadis lintas klen.Bagi masyarakat Karo perkawinan seperti disebutkan di atas dianggap sesuai dengan keteraturan alam (natural order of things) ini tercermin dalam ritual perkawinan sepupu-silang yang matrilateral. Disamping itu, masyarakat Karo juga melarang pernikahan saudara sekandung (senina) dan kerabat kain yang termasuk katefori senina-senina (kerabat dekat). Kategori senina ini dilihat dari keturunan satu ayah atau satu kakek (Ahimsa-Putra, 1986). Larangan lainnya ialah ketika terjadi suatu situasi dimana seorang pemuda A hendak menikahi gadis B yang saudara pria sekandungnya telah menikahi saudara perempuan sekandung si pemuda A.

Kedua larangan itu diterapkan secara ketat dan tidak boleh dilanggar sama sekali untuk menjaga pranata dan relasi sosial yang fundamental dalam masyarakat Karo. Yitu Sangkep Sitelu. Sangkep sitelu atau tiga yang utuh ini terdiri dari unsur kelompok anakberu-senina-kalimbubu yang berfungsi sebagai media pemersatu dalam pertalian kekerabtan Etnis Karo. Ketiga unsur dalam sangkep sitelu menjadi kunci dasar penggerak kehidupan adat dan system ini mewujud secara fungsional dalam upacara adat seperti perkawinan, kematian, dan

penyeleaian pertikaian. Apabila aturan ini diabaikan maka akana terjadi ialah kekacauan dalam masyrakat Karo.

A. Unsur dari sangkep sitelu ini adalah sebagai berikut:

1. Kalimbubu, ialah kelompok pihak pemberi wanita dan sangat dihormati dalam system kekerabatan masyarakat karo. Masyarakat karo meyakini bahwa kalimbubu adalah pembawa berkat sehingga kalimbubu itu disebut juga dengan Dibata Ni Idah (Tuhan yang Nampak). Sikap menentang dan menyakiti hati kalimbubu sangat dicela.

Kalimbubu dapat dibagi atas 2 yaitu: a. Kalimbubu berdasarkan tutur

1. Kalimbubu Bena-bena disebut juga kalimbubu tua adalah kelompok keluarga pemberi gadis kepada keluarga tertentu yang dianggap sebagai keluarga pemberi anak gadis awal dari keluarga itu. Dikategorikan kalimbubu Bena-bena, karena kelompok ini telah berfungsi sebagai pemberi dara (gadis) sekurang-kurangnya tiga generasi.

2. Kalimbubu Simanjek Lulang adalah golongan kalimbubu yang ikut mendirikan kampung. Status kalimbubu ini selamanya dan diwariskan secara turun menurun.

b. Kalimbubu erdasarkan kekerabatan (perkawinan)

a. Kalimbubu Simupus/Simada Dareh adalah pihak pemberi wanita terhadap generasi ayah, atau pihak klen (semarga) dari ibu kandung (paman kandung)

b. Kalimbubu I Perdemui atau kalimbubu si erkimbang, adalah pihak kelompok dari mertua, bapak mertua beserta seluruh senina dan sembuyaknya dengan ketentuan bahwa si pemberi wanita ini tidak tergolong kepada tipe Kalimbubu Bena-bena dan kalimbubu Si Mada Dareh.

c. Puang kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu yaitu pihak subklen pemberi anak dara terhadap kalimbubu tersebut.

d. Kalimbubu senina, golongan kalimbubu ini berhubungan erat dengan jalur senina dari kalimbubu yang bersangkutan, perannya adalah sebagai juru bicara bagi kelompok subklen kalimbubu yang bersangkutan.

e. Kalimbubu Sendalanen/Sepengalon, golongan kalimbubu ini berhubungan erat dengan kekerabatan dalam jalur kalimbubu dari senina sendalanen, sepengalon pemilik pesta.

2.Anak Beru adalah pihak pengambil anak dara atau penerima anak gadis untuk diperistri. Anak beru itu diumpamakan sebagai yudikatif, kekuasaan peradilan. Hal ini maka nakberu disebut pula hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam keluarga kalimbubunya, tugasnyalah mendamaikan perselisihan tersebut.

Anak beru di bagi atas dua yaitu: 1. Anak beru berdasarkan tutur

a. Anakberu tua adalah pihak penerima anak wanita dalam tingkatan nenek moyang yang secara bertingkat terus menerus minimal tiga generasi.

b. Anakberu Taneh adalah penerima wanita pertama, ketika sebuah kampung selesai didirikan.

2. Anakberu berdasarkan kekerabatan

a. Anakberu Jabu (Cekoh Baka tutup, dan Cekoh Baka Buka). Cekoh Baka artinya orang yang langsung boleh mengambil barang simpanan kalimbubunya. Dipercaya dan diberi kekuasaan seperti ini karena dia merupakan anak kandung saudara perempuan ayah.

b. Anakberu Langkip adalah penerima wanita yang menciptakan jalinan keluarga yang pertama karena di atas generasinya belum pernah mengambil anak wanita dari pihak kalimbubunya yang sekarang. Anakberu ini disebut juga anakberu langsung karena dia lngsung mengawini anak wanita dari keluarga teretentu.

c. Anakberu menteri adalah anakberu dari anakberu. Fungsinya menjaga penyimpangan-penyimpangan adat baik dalam bermusyawarah maupun ketika acara adat sedang berlangsung. Anakberu menteri ini memberi dukungan kepada kalimbubu yaitu anakberu dari pemilik acara adat.

3. Senina /sembuyak, hubungan perkerabatan senina disebabkan seklen atau hubungan laina yang berdasarkan kekerabatan

Senina dapat dibagi dua:

1. Senina berdasarkan tutur yaitu senina semerga. Mereka bersaudara karena saty klen (merga)

a. Senina Siparibanen, mereka yang berkerabat karena ibu mereka saling bersaudara, sehingga mereka mempunyai bebere (beru clan /ibu yang sama)

b. Senina Sepengalon (sindalanen), persaudaraan karena pemberi wanita yang berbeda merga dan berada dalam kaitan wanita yang sama. Atau mereka yang bersaudara karena satu subclan (beru) istri mereka sama. Tetapi, dibedakan berdasarkan jauh dekatnya hubungan mereka dengan clan istri. Dalam musyawarah adat mereka tidak akan memberikan tanggapan atau pendapat apabila tidak diminta.

c. Senina Secimbangen, (untuk wanita) mereka yang bersenina karena suami mereka sesubclan (bersembuyak).