21 BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PENCEMARAN LINTAS BATAS NEGARA, PERTANGGUNGJAWABAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA
INTENASIONAL
2.1 Tinjauan Umum Kasus Pencemaran Minyak Mentah Lintas Batas Negara di Laut Timor
Berdasarkan ketentuan Pasal 193 United Nation Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 setiap negara mempunyai hak untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya, yang harus dilaksanakan sejalan dengan kebijakan lingkungan
nasionalnya dan kewajiban mereka tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan
laut. Dalam Pasal 3 Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992 juga menyatakan, negara
berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber dayanya sesuai dengan kebijakan
pembangunan lingkungannya sendiri, dan tanggung jawab untuk menjamin bahwa
kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam yurisdiksinya atau kendalinya tidak akan
menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan diluar batas
yurisdiksi nasionalnya.
Berdasarkan Deklarasi Stockholm 1972 (Stockholm Declaration) terdiri dari pembukaan dan 26 asas dan rencana aksi (action plan) yang terdiri dari 109 rekomendasi. Pada prinsipnya, Deklarasi Stockholm menyatakan bahwa manusia
memegang tanggung jawab untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan untuk
generasi sekarang dan mendatang dan negara-negara juga mempunyai hak berdaulat
untuk mengeksploitasi sumber daya mereka sendiri sesuai dengan kebijakan lingkungan
mereka sendiri dan tanggung jawab untuk memastikan bahwa aktivitas dalam yurisdiksi
22
lainnya atau kawasan di luar batas yurisdiksi nasional. Berdasarkan Pasal 1 ayat 4
UNCLOS tahun 1982, pencemaran lingkungan laut merupakan masuk atau
dimasukkannya zat dan energi ke dalam lingkungan laut, termasuk muara oleh kegiatan
manusia, yang mengakibatkan rusaknya sumber daya hayati dan kehidupan dilaut, yang
dapat mengancam kesehatan manusia, serta mengganggu kegiatan-kegiatan dilaut,
termasuk penangkapan ikan dan penggunaan laut lainnya yang sah serta menurunnya
kualitas air laut..
Kasus meledaknya ladang minyak mentah Montara milik sebuah perusahaan
pengelola ladang minyak PTT Exploitation and Production Australasia di wilayah perairan Australia pada tanggal 21 Agustus 2009, telah menimbulkan pencemaran di
Laut Timor, diperkirakan tumpahan minyak yang mencemari laut mencapai
300.000-400.000 barell perhari selama 74 hari. Pencemaran minyak mentah lintas batas di Laut
Timor telah menimbulkan kerugian, khususnya bagi para nelayan disekitar daerah
tumpahan minyak.1
Pencemaran lintas batas disebutkan sebagai Transfrontier Pollution “Pollution
of which the physical is wholly or in part situated within the territory of one state and
which has deleterious effects in the territory of another state” yaitu pencemar fisik yang
seluruhnya atau sebagian terletak dalam wilayah suatu negara dan yang memiliki efek
merusak di wilayah negara lain.2
1Didik Mohamad Sodik, op.cit, h.234. 2
Daud Silalahi, 2001, Hukum Lingkungan (Dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan Indonesia),
23
Yang tentunya pencemaran lingkungan laut lintas batas ini harus
dipertanggungjawabkan dan segera di lakukan langkah-langkah penanggulangan serta
pemugaran lingkungan agar pencemarannya tidak semakin meluas dan semakin
merusak lingkungan.
2.2 Tanggung Jawab Secara Mutlak
Pertanggungjawaban berasal dari kata majemuk tanggung jawab, yang berarti
keadaan wajib menanggung segala suatu berupa penuntutan, diperkarakan,
dipermasalahkan sebagai akibat sikap sendiri atau pihak lain.3 Tanggung jawab mutlak
(strict liability) merupakan prinsip pertanggungjawaban hukum (liability) yang telah
berkembang sejak lama, pada tahun 1868.4 Bertanggung jawab secara mutlak atau tanggung gugat secara mutlak merupakan salah satu jenis pertanggungjawaban perdata,
yakni pertanggungjawaban tanpa kesalahan (fault) dari tergugat.
Dalam tanggung gugat secara mutlak ini, unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan
oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Pihak tergugatlah yang
nantinya akan membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan dan dapat
membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup tersebut bukan
disebabkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya, sehingga dirinya terbebas
dari kewajiban membayar ganti kerugian. Tanggung gugat secara mutlak ini timbul secara, “langsung” dan “seketika” pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan
3 Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, h. 1139.
4 Harjasoemantri, Koesnadi. 1998. Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak). Paper presented at the Lokakarya
Legal Standing & Class Action, Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Hal 1. Dalam jurnal Ade Risha Riswanthi, Tanggung jawab Mutlak (strict liability) dalam Penegakan Hukum Perdata Lingkungan di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
24
lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan
berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.5 Pengembangan teori strict liability ini berawal pada tahun 1868. Pada saat kasus yang terjadi di Inggris, antara Rylands vs. Fletcher, memperkenalkan pertama kalinya
teori ini.6 Beberapa perundang-undangan di Indonesia, sebelum berlakunya UUPLH juga memasukkan prinsip tanggung gugat secara mutlak ini, yaitu:
1. Undang-Undang Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 1982 (UULH);
Menurut UULH prinsip tanggung gugat aecara mutlak ini akan dilaksanakan secara selektif dan bertahap di bidang lingkungan hidup berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Pengaturannya dinyatakan dalam Pasal 21 UULH bahwa: "Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak atau pencemar pada saat terjadinya perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang pengaturannya diatur dalam, peraturan perundang-undangan yang bersangkutan".
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEE), selanjutnya disebut UUZEEI;
Sama halnya dengan UULH, UUZEEi ini pun juga menganut prinsip strict
liability dalam kaitannya dengan pencemaran lingkungan laut dan/atau perusakan
sumber daya alam di wilayah ZEE Indonesia.
3. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978 tentang Pengesahan International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage (CLC, 1969);
5Hendrik Salmon, 2014, Eksistensi dan Fungsi Prinsip Strict Liability Dalam Penegakan Hukum Lingkungan,
http://fhukum.unpatti.ac.id/artikel/hukum-tata-negara/292-eksistensi-dan-fungsi-prinsip-strict-liability-dalam-penegakan-hukum-lingkungan, diakses pada tanggal 12 Maret 2015.
6 Ibid.
25
Konvensi ini merupakan hasil sidang internasional dari Legal Conference on
Marine Pollution Damage di Brussel pada tanggal 29 November 1969, di mana
Pemerintah kita juga ikut menanda-tanganinya dan oleh karena itu kemudian konvensi tersebut di ratifikasi oleh Presiden dengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978. Konvensi ini berisikan mengenai pengaturan tanggung jawab perdata terhadap pencemaran laut oleh minyak.
2.3. Tanggung Jawab Negara
Tanggung jawab negara muncul akibat adanya suatu tindakan-tinadkan,
keadaan-keadaan, atau prinsip-prinsip yang tidak sah secara internasional serta
merugikan kedaulatan negara lain.7 Akibat hal tersebut, negara yang merasa dirugikan memiliki kewenangan untuk menuntut haknya. Karena dalam hukum internasional,
suatu negara berdaulat tidak tunduk pada negara berdaulat lainnya. negara mempunyai
kedaulatan penuh atas apa yang ada dalam wilayah teritorialnya. Namun tidaklah
berarti bahwa negara itu dapat menggunakan kedaulatan dengan seenaknya. Dalam
hukum internasional telah mengatur bahwa jika suatu negara menyalahgunakan
kedaulatannya itu dapat dimintai suatu pertanggungjawaban atas tindakan dan
kelalaiannya.8
Penyebab penting timbulnya tanggung jawab negara dipengaruhi oleh beberapa faktor,9 antara lain:
7 JG Starke, 2004, Pengantar Hukum Internasional 1 edisi sepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat JG Starke I), h. 391.
8 Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge University Press, Cambridge, (selanjutnya diseingkat Malcolm N. Shaw I), 1997. h. 541.
26
1. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara
tertentu.
2. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum
internasional yang melahirkan tanggung jawab negara.
3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar
hukum atau kelalaian.
2.3.1 Pengertian Tanggung Jawab Negara
Tanggung jawab negara merupakan keadaan menanggung konsekuensi dimana
negara telah melakukan tindakan yang salah menurut hukum internasional atau
melanggar kewajiban internasionalnya, yang memiliki kewajiban utama untuk
memberikan reparasi penuh, dan mengakhiri tindakannya yang salah. Serta, bagaimana
implementasi dari pertanggungjawaban Negara dan pelanggulangannya agar kesalahan
tersebut tidak terulang kembali dikemudian hari.10
Tanggung jawab negara adalah prinsip-prinsip yang mengatur kapan dan
bagaimana negara yang bertanggung jawab atas pelanggaran kewajiban internasional.
Aturan tanggung jawab negara menentukan secara umum, ketika kewajiban telah
dilanggar maka akan ada konsekuensi hukum dari pelanggaran itu.11 Menurut Hukum Internasional, tanggung jawab negara dalam hal negara bersangkutan merugikan negara
10 Silvia Borelli, 2012, State Responsibility, in Oxford Bibliographies in International Law(ed. Tony Carty.
Oxford University Press, 2012)
http://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780199796953/obo-9780199796953-0031.xml diakses pada tanggal 28 Februari 2015.
11 Lihat Draft Articles on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, Report of the ILC on the Work of its Fifty-third Session,UN GAOR, 56th Sess, Supp No 10, p 43, UN Doc A/56/10 (2001)
27
lain dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang salah secara hukum internasional
(internationally wrongful act), dapat berupa:
- melakukan (action) atau
- tidak melakukan (omission) sesuatu
Tanggung jawab negara timbul akibat adanya perbuatan negara yang melanggar
kewajiban internasional, yang mana tindakan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan
dan merupakan tindakan yang salah menurut hukum internasional.12
2.3.2 Teori Pertanggungjawaban Negara
Terdapat dua macam teori pertanggungjawaban negara,13 yaitu :
Teori Resiko (Risk Theory)
Teori resiko melahirkan prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability atau
strict liability) atau tanggung jawab objektif (objective responsibility), yaitu
bahwa suatu negara mutlak bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang
menimbulkan akibat yang sangat membahayakan (harmful effects of
untra-hazardous activities) walaupun kegiatan itu sendiri adalah kegiatan yang sah
menurut hukum. Contohnya, Pasal II Liability Convention 1972 (nama resmi
konvensi ini adalah Convention on International Liability for Damage caused by
Space Objects of 1972) yang menyatakan bahwa negara peluncur (launching
12 Daniel Bodansky dan John R. Crook, 2002, Symposium: The ILC’s State Responsibility Articles, The American Journal of International Law, Vol. 96;773, h. 773.
28
state) mutlak bertanggung jawab untuk membayar kompensasi untuk kerugian di
permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam penerbangan yang
ditimbulkan oleh benda angkasa miliknya.
Teori Kesalahan (Fault Theory)
Teori kesalahan melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective
responsibility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault),
yaitu bahwa tanggung jawab negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika
dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu.
2.3.3 Bentuk Pertanggungjawaban Negara
Pada tahun 1974 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
membentuk komisi hukum internasional (International Law Commission/ILC), yang melakukan studi dan kodifikasi mengenai tanggung jawab negara sejak tahun 1953,
yang akhirnya rampung melalui Resolusi 56/83 Majelis Umum PBB pada tahun 2001. Hasil studi ILC ini berbentuk, “Draft Articles on the Responsibility of States for
Internationally Wrongful Acts”14
Adapun bentuk-bentuk pertanggungjawaban menurut Draft Articles
Responsibility of States for Internastionally Wrongful Acts, International Law
Commissions 2001, sebagai berikut :
- Pasal 35 menyatakan bahwa, suatu negara yang telah melakukan tindakan yang
salah secara internasional, bertanggung jawab dan wajib untuk membayar ganti
14Hendrik Salmon, 2014, Eksistensi dan Fungsi Prinsip Strict Liability Dalam Penegakan Hukum Lingkungan,
http://fhukum.unpatti.ac.id/artikel/hukum-tata-negara/292-eksistensi-dan-fungsi-prinsip-strict-liability-dalam-penegakan-hukum-lingkungan, diakses pada tanggal 12 Maret 2015.
29
rugi kerugian. Seperti, membangun kembali keadaan dan situasi yang ada
seperti sediakala.
- Pasal 36 ayat 1 menyatakan bahwa, negara bertanggung jawab untuk
mengkompensasi kerusakan yang demikian ditimbulkan.
- Pasal 37 ayat 1 menyatakan bahwa, atas kesalahannya, negara bertanggung
jawab untuk memberikan keputusan. Pada Pasal 37 ayat 2 menyatakan bahwa,
Keputusan dapat berupa pengakuan atas pelanggaran, ungkapan penyesalan,
permintaan maaf resmi atau modalitas lain yang sesuai.
- Pasal 48, negara-negara selain injured states dapat mengajukan tuntutan pertanggungjawaban pada negara lain dalam dua hal :
a. Kewajiban yang dilanggar dimiliki suatu kelompok negara termasuk
negara yang mengajukan tuntutan tersebut, ditetapkan untuk
perlindungan kepentingan kelompok tersebut;
b. Kewajiban yang dilanggar dimiliki oleh seluruh masyarakat
internasional keseluruhan.
2.3.4Pengecualian dari Pertanggungjawaban Negara
Adapun beberapa pengecualian yang tidak dapat dimintakan tanggung jawab
negara. yakni “Pembelaan” (Defences) dan “Pembenaran” (Justification). Menurut rancangan konvensi tentang tanggung jawab negara yang dibuat oleh ILC tahun 1970
dan 1980, yang termasuk dalam katagori pembelaan adalah persetutujuan antara kedua
belah pihak, self defence dan force majeur sedangkan yang termasuk pembenaran adalah state necessary dan distress. Yang diatur dalam Pasal 20-26 Draft ILC antara lain:
30
- Persetujuan, dalam Pasal 20;Tindakan yang dilakukan sebuah negara
kepada negara lain sepanjang disepakati dalam suatu persetujuan bersama,
tidak dapat dikatakan melakukan tindakan salah menurut hukum
internasional.
- Self defence, Pasal 21 dan 22; Tindakan bela diri tidak dianggap salah
secara internasional asal dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Piagam
PBB. Begitu juga tindakan balasan (counter measure) tidak dianggap sebagai tindakan salah secara internasional.
- Force majeur, Pasal 23; Sebuah tindakan negara yang melanggar kewajiban
internasional tidak dapat dimintakan tanggung jawab apabila tindakan
tersebut dilakukan karena; adanya kekuatan yang tidak dapat ditolak, diluar
kontrol negara mencegah atau menanggulanginya, tidak ada unsure
kesengajaan, serta tidak memungkinkan melaksanakan kewajiban.
- State Necessary, Pasal 25; Tindakan yang diambil negara untuk melindungi
kepentingan dirinya dengan tidak membahayakan negara lain dan
masyarakat internasional secara keseluruhan.
- Distress, Pasal 24; Tindakan negara yang diambil pada situasi sulit dimana
negara harus menentukan untuk menyelematkan dirinya atau masyarakat
yang berada di bawah tanggung jawabnya.
2.4 Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa Internasional
Hukum internasional memiliki tujuan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa
internasional secara adil bagi para pihak yang bersengketa dengan kaedah dan prosedur
31
Hague 1899 dan 1907 untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional secara
damai dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dirumuskan di San
Fransisco tahun 1945. Dengan tujuan pokok untuk mempermudah penyelesaian
sengketa antar negara secara damai.15
2.4.1 Penyelesaian Sengketa Internasional
Istilah sengketa-sengketa internasional (international dispute) mecakup bukan saja sengketa-sengketa antar negara-negara, melainkan juga kasus-kasus lain yang
berada dalam lingkup pengaturan internasional yakni, beberapa katagori sengketa
tertentu antara negara disatu pihak dan individu-individu, badan-badan korporasi
serta bakan-badan bukan negara dipihak lain, yang mempunyai akibat pada
hubungan para pihak yang bersengketa.16
2.4.2 Macam-macam Penyelesaian sengketa Internasional
Pada umumnya metode-metode penyelesaian sengketa digolongkan dalam dua
katagori17 yaitu;
- Penyelesaian sengketa secara damai, yaitu apabila para pihak telah dapat
menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat, dan
- Penyelesaian sengketa secara paksa, yaitu apabila solusi yang dipakai
melalui kekerasan.
15Chotib dkk, 2007, Kewarganegaraan Menuju Masyarakat Madani 2, Yudhistira Grahalia Indonesia, h.112. 16
Huala Adolf, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya
disingkat Huala Adolf I), h.3. 17JG Starke, Op Cit , h.645-646.
32
2.4.2.1 Penyelesaian Sengketa Secara Damai
Demi menjaga perdamaian, keamanan dan keadilan dunia internasional
tidak sampai terganggu, sangat dianjurkan untuk menyelesaikan sengketa secara
damai. Hukum Internasional membedakan penyelesaian sengketa internasional
secara damai atas sengketa yang bersifat politik dan sengketa yang bersifat
hukum. Sengketa politik merupakan sengketa dimana suatu negara mendasarkan
tuntutannya atas pertimbangan non yuridik, seperti kepentingan-kepentingan
atas dasar politik atau kepentingan nasional lainnya. Sedangkan sengketa
hukum adalah sengketa dimana suatu negara mendasarkan sengketa atau
tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian atau
yang telah diakui oleh hukum intenasional.18
Penyelesaian sengketa secara damai dapat dibagi menjadi dua, yaitu
melalui jalur politik/non litigasi atau jalur hukum/litigasi. Penyelesaian sengketa
melalui jalur politik dapat berupa: negosiasi, mediasi dan jasa baik,
penyelidikan/pencarian fakta, konsiliasi dan penyelesaian dibawah naungan
organisasi PBB. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui jalur hukum dapat
melalui: Arbitrase dan Mahkamah Internasional.
Penyelesaian sengketa secara damai pada awalnya dicantumkan dalam
Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-sengketa Secara Damai
18 Boer Mauna, 2011, Hukum Internasional Pengertian Peran dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, h.195.
33
yang di tanda tangani di Den Haag 18 Oktober 1907,19 yang kemudian dikukuhkan seperti tertuang dalam Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB menyatakan
“All Members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not
endangered,” merupakan prinsip untuk menyelesaikan perselisihan antar
negara anggota PBB secara damai agar terjaganya ketertiban dan kedamaian
dunia internasional.
Dalam Artikel 2 ayat (4)Piagam PBB menyatakan “All Members shall
refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other
manner inconsistent with the Purposes of the United Nations,” yaitu prinsip
untuk tidak menggunakan jalan kekerasan serta suatu negara tidak
mengintervensi kedaulatan negara lain. Dalam Artikel 33 Piagam PBB
menyatakan “The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other
peaceful means of their own choice.” Dimana negara-negara yang bersengketa
dapat menyelesaikan sengketanya secara damai, serta memiliki kebebasan untuk
34
memilih prosedur penyelesaiannya sesuai kesepakatan bersama para pihak yang
bersengketa.20
A. Metode Penyelesain Sengketa Secara Politik:
Negosiasi
Negosiasi adalah perundingan yang diadakan secara langsung antara
para pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui dialog
tanpa melibatkan pihak ketiga. Merupakan cara penyelesaian sengketa
yang paling penting dan banyak ditempuh, serta efektif dalam
penyelesaian sengketa internasional21 Sampai permulaan abad ke-20 cara ini adalah satu-satunya yang dipakai.22 Dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya dan setiap
penyelesaiannya didasarkan pada kesepakatan atau konsensus para
pihak.
Mediasi dan Jasa Baik
Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga.Ia bisa
negara, organisasi internasional atauindividu guna mendorong para
pihak yang bertikai agar mencapai penyelesaiannya.23 Dengan
20 Ibid, h. 194.
21 Huala Adolf I, op.cit, h. 26.
22Boer Mauna, op.cit, h.196.
23 Malcolm N. Shaw, 2008, Hukum Internasional, cet. VI, Cambridge University Press, terjemahan Derta Sri Widowatie dkk, Nusa Media, Bandung, (selanjutnya disingkat Malcolm N. Shaw II), h.1022.
35
kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupa mendamaikan para pihak
dengan memberikan saran penyelesaian sengketa. Jika usulan tersebut
tidak diterima, mediator masih dapat tetap melanjutkan fungsi
mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Karena itu, salah satu
fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian),
mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati para pihak serta membuat
usulah-usulan yang dapat mengakhiri sengketa.
Jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui keikutsertaan jasa
pihak ketiga24. Pihak ketiga berupaya agar parapihak menyelesaikan sengketanya dengan berunding. Yang berfungsi mempertemukan para
pihak sedemikianrupa sehingga mereka mau bertemu, duduk bersama
dan bernegosiasi. Keikutsertaan pihak ketiga dalam suatu penyelesaian
sengketamerupakan atas permintaan para pihak atau atas
inisiatifnyamenawarkan jasa-jasa baiknya guna menyelesaikan
sengketa.25
Penyelidikan/Pencarian fakta
Suatu sengketa kadangkala mempersoalkan konflik para pihakmengenai
suatu fakta. Meskipun suatu sengketa berkaitan dengan hakdan
24 Huala Adolf I, op.cit, h. 30. 25Malcolm N. Shaw II, loc.cit.
36
kewajiban, namun seringkali permasalahan muncul padaperbedaan
pandangan para pihak terhadap fakta yang menentukan hakdan
kewajiban tersebut. Penyelesaian sengketa bergantung kepada
penguraian fakta-fakta yang tidak disepakati para pihak. Oleh sebab itu,
dengan memastikan kedudukan fakta yangsebenarnya dianggap sebagai
dasar penting dari prosedurpenyelesaian sengketa. Dengan demikian
para pihak dapatmemperkecil masalah sengketanya dengan
menyelesaikannya melaluisuatu Pencarian Fakta mengenai fakta-fakta
yang menimbulkanpersengketaan.26
Konsiliasi
Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa yang menggabungkan
cara inquiry dengan mediasi tetapi berbentuk secara formal yang melibatkan pihak ke-3 yang netral dan tidak memihak dalam
penyeledikan fakta yang ada. Yang terpenting dari cara konsoliasi ini
adalah keinginan/persetujuan dari para pihak yang bersengketa dalam
menyelesaikan sengketa mereka. Usulan dari pihak ketiga juga menjadi
ujung tombak dalam cara ini, di sini pihak ketiga dituntut untuk
memberikan usulan yang bersifat menyelesaikan sengketa yang terjadi
tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum. Komisi-komisi Konsiliasi
37
diatur dalam Konvensi The Hague 1899 dan 1907 untuk Penyelesaian Sengketa-sengketa Internasional.27
Penyelesaian dibawah naungan organisasi PBB
Organisasi PBB yang dibentuk tahun 1945 telah mengambil alih
sebagian tanggung jawab untuk menyelesaikan sengketa internasional
dalam kaitan ini tanggung jawab penting beralih ke tangan Majelis
Umum dan Dewan Keamanan. Yang menjadi kepanjangan tangan PBB
adalah Sekjen PBB karena berkompetensi dan bersikap netral. Prinsip
netral ini menjadi jaminan untuk menyelesaikan sengketa agar tidak
menjurus menjadi lebih serius kedepannya. Perlu persetujuan kedua
belah pihak bersengketa tentunya untuk menggunakan mekanisme
penyelesaian sengketa melalui Sekjen PBB.28
B. Metode Penyelesain Sengketa Secara Hukum:
Penyelesaian sengketa melalui jalur hukum atau judicial settlement juga dapat
menjadi pilihan bagi subyek hukum internasional yang bersengketa satu sama
lain. Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali
menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya
yang dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan penyelesaian sengketa jalur
27 J.G. Starke II, Op Cit, h. 673.
38
hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing pihak
yang bersengketa.
Arbitrase
Hukum internasional telah mengenal arbitrase sebagai alternatif
penyelesaian sengketa, dan cara ini telah diterima oleh umum sebagai
cara penyelesaian sengketa yang efektif dan adil. Para pihak yang ingin
bersengketa dengan menggunakan metode arbitrase dapat menggunakan
badan arbitrase yang telah terlembaga, atau badan arbitrase ad hoc.
Peradilan arbitrase jauh berbeda dengan pengadilan intern suatu Negara
karena bentuknya yang non-institusional.29 Meskipun dianggap sebagai penyelesaian sengketa internaisonal melalu jalur hukum, keputusan yang
dihasilkan oleh badan arbitrase tidak dapat sepenuhnya dijamin akan
mengikat masing-masing pihak, meskipun sifat putusan arbitrase pada
prinsipnya adalah final dan mengikat.
Dalam Pasal 38 Konvensi Den Haag 1907 menyatakan tujuan arbitrase
internasional adalah menyelesaikan sengketa antara negara oleh
hakim-hakim pilihan mereka dan atas dasar ketentuan-ketentuan hukum.
Penyelesaian melalui arbitrase ini berarti bahwa Negara-negara harus
melaksanakan keputusan dengan itikad baik.30
Mahkamah Internasional
29 Boer Mauna, op.cit, h..228. 30 Ibid, h.229.
39
Pengadilan internasional dan pengadilan internasional regional yang
hadir untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa internasional.
Misalnya International Court of Justice (ICJ), International Criminal
Court (ICC), International Tribunal on the Law of the Sea (ITLOS),
European Court for Human Rights, dan lainnya. Pengadilan
internasional telah dikenal sejak Liga Bangsa-Bangsa (LBB), yaitu
melalui Permanent Court of International Justice (PCIJ). Setelah bubarnya LBB pasca Perang Dunia II, maka tugas dari PCIJ diteruskan
oleh ICJ sejalan dengan peralihan dari LBB kepada PBB. Penyelesaian
sengketa internasional melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan
kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada
lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak untuk memilih hakim,
memilih hukum dan hukum acara yang digunakan. Tetapi dengan
bersengketa di pengadilan internasional, maka para pihak akan
mendapatkan putusan yang mengikat masing-masing pihak yang
bersengketa.31
2.4.2.2 Penyelesaian Sengketa Dengan Secara Paksa
Apabila negara-negara tidak mecapai kesepakatan untuk menyelesaikan
sengketa mereka secara bersahabat maka, cara pemecahan yang mungkin adalah
40
dengan melalui kekerasan cara paksa.32 Prinsip-prinsip dari cara penyelesaian melalui kekerasan adalah:
Perang dan Tindakan Bersenjata non Perang
Perang adalah untuk menahlukan negara lawan dan untuk membebankan
syarat-syarat penyelesaian, dimana negara yang ditaklukannya itu tidak
memiliki alternatif lain selain mematuhinya.
Retorsi
Retorsi adalah penggunaan perbuatan tidak bersahabat dan merugikan,
oleh suatu negara, tetapi tidak melanggar hukum, yang merupakan
istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap
aktivitas Negara lain yang merugikan.33 Balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat
antara lain sebagai berikut:
- Merenggangnya hubungan diplomatic;
- Pencabutan previllage diplomatic;
- Pengusiran atau kontrol restriktif terhadap orang asing;
- Restriksi ekonomi (fiskal dan bea);
- Larangan perjalanan.
Intervensi
32 J.G. Starke II, op.cit, h. 679-685.
41
Intervensi merupakan cara penyelesaian sengketa di mana terdapat
campur tangan pihak ketiga yang berupaya agar para pihak yang
bersengketa mau menyelesaikan sengketa mereka secara damai.34 Intervensi sebenarnya dilarang, tetapi kadangkala dibenarkan dalam hal :
- Bila intervensi itu diminta oleh negara yang membutuhkan
intervensi;
- Bila intervensi itu dilakukan untuk kepentingan kemanusiaan.