• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENCEMARAN LINTAS BATAS NEGARA, PERTANGGUNGJAWABAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA INTENASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENCEMARAN LINTAS BATAS NEGARA, PERTANGGUNGJAWABAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA INTENASIONAL"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

21 BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PENCEMARAN LINTAS BATAS NEGARA, PERTANGGUNGJAWABAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA

INTENASIONAL

2.1 Tinjauan Umum Kasus Pencemaran Minyak Mentah Lintas Batas Negara di Laut Timor

Berdasarkan ketentuan Pasal 193 United Nation Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 setiap negara mempunyai hak untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya, yang harus dilaksanakan sejalan dengan kebijakan lingkungan

nasionalnya dan kewajiban mereka tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan

laut. Dalam Pasal 3 Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992 juga menyatakan, negara

berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber dayanya sesuai dengan kebijakan

pembangunan lingkungannya sendiri, dan tanggung jawab untuk menjamin bahwa

kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam yurisdiksinya atau kendalinya tidak akan

menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan diluar batas

yurisdiksi nasionalnya.

Berdasarkan Deklarasi Stockholm 1972 (Stockholm Declaration) terdiri dari pembukaan dan 26 asas dan rencana aksi (action plan) yang terdiri dari 109 rekomendasi. Pada prinsipnya, Deklarasi Stockholm menyatakan bahwa manusia

memegang tanggung jawab untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan untuk

generasi sekarang dan mendatang dan negara-negara juga mempunyai hak berdaulat

untuk mengeksploitasi sumber daya mereka sendiri sesuai dengan kebijakan lingkungan

mereka sendiri dan tanggung jawab untuk memastikan bahwa aktivitas dalam yurisdiksi

(2)

22

lainnya atau kawasan di luar batas yurisdiksi nasional. Berdasarkan Pasal 1 ayat 4

UNCLOS tahun 1982, pencemaran lingkungan laut merupakan masuk atau

dimasukkannya zat dan energi ke dalam lingkungan laut, termasuk muara oleh kegiatan

manusia, yang mengakibatkan rusaknya sumber daya hayati dan kehidupan dilaut, yang

dapat mengancam kesehatan manusia, serta mengganggu kegiatan-kegiatan dilaut,

termasuk penangkapan ikan dan penggunaan laut lainnya yang sah serta menurunnya

kualitas air laut..

Kasus meledaknya ladang minyak mentah Montara milik sebuah perusahaan

pengelola ladang minyak PTT Exploitation and Production Australasia di wilayah perairan Australia pada tanggal 21 Agustus 2009, telah menimbulkan pencemaran di

Laut Timor, diperkirakan tumpahan minyak yang mencemari laut mencapai

300.000-400.000 barell perhari selama 74 hari. Pencemaran minyak mentah lintas batas di Laut

Timor telah menimbulkan kerugian, khususnya bagi para nelayan disekitar daerah

tumpahan minyak.1

Pencemaran lintas batas disebutkan sebagai Transfrontier Pollution “Pollution

of which the physical is wholly or in part situated within the territory of one state and

which has deleterious effects in the territory of another state” yaitu pencemar fisik yang

seluruhnya atau sebagian terletak dalam wilayah suatu negara dan yang memiliki efek

merusak di wilayah negara lain.2

1Didik Mohamad Sodik, op.cit, h.234. 2

Daud Silalahi, 2001, Hukum Lingkungan (Dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan Indonesia),

(3)

23

Yang tentunya pencemaran lingkungan laut lintas batas ini harus

dipertanggungjawabkan dan segera di lakukan langkah-langkah penanggulangan serta

pemugaran lingkungan agar pencemarannya tidak semakin meluas dan semakin

merusak lingkungan.

2.2 Tanggung Jawab Secara Mutlak

Pertanggungjawaban berasal dari kata majemuk tanggung jawab, yang berarti

keadaan wajib menanggung segala suatu berupa penuntutan, diperkarakan,

dipermasalahkan sebagai akibat sikap sendiri atau pihak lain.3 Tanggung jawab mutlak

(strict liability) merupakan prinsip pertanggungjawaban hukum (liability) yang telah

berkembang sejak lama, pada tahun 1868.4 Bertanggung jawab secara mutlak atau tanggung gugat secara mutlak merupakan salah satu jenis pertanggungjawaban perdata,

yakni pertanggungjawaban tanpa kesalahan (fault) dari tergugat.

Dalam tanggung gugat secara mutlak ini, unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan

oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Pihak tergugatlah yang

nantinya akan membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan dan dapat

membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup tersebut bukan

disebabkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya, sehingga dirinya terbebas

dari kewajiban membayar ganti kerugian. Tanggung gugat secara mutlak ini timbul secara, “langsung” dan “seketika” pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan

3 Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, h. 1139.

4 Harjasoemantri, Koesnadi. 1998. Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak). Paper presented at the Lokakarya

Legal Standing & Class Action, Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Hal 1. Dalam jurnal Ade Risha Riswanthi, Tanggung jawab Mutlak (strict liability) dalam Penegakan Hukum Perdata Lingkungan di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Udayana.

(4)

24

lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan

dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan

berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.5 Pengembangan teori strict liability ini berawal pada tahun 1868. Pada saat kasus yang terjadi di Inggris, antara Rylands vs. Fletcher, memperkenalkan pertama kalinya

teori ini.6 Beberapa perundang-undangan di Indonesia, sebelum berlakunya UUPLH juga memasukkan prinsip tanggung gugat secara mutlak ini, yaitu:

1. Undang-Undang Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 1982 (UULH);

Menurut UULH prinsip tanggung gugat aecara mutlak ini akan dilaksanakan secara selektif dan bertahap di bidang lingkungan hidup berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Pengaturannya dinyatakan dalam Pasal 21 UULH bahwa: "Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak atau pencemar pada saat terjadinya perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang pengaturannya diatur dalam, peraturan perundang-undangan yang bersangkutan".

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

(ZEE), selanjutnya disebut UUZEEI;

Sama halnya dengan UULH, UUZEEi ini pun juga menganut prinsip strict

liability dalam kaitannya dengan pencemaran lingkungan laut dan/atau perusakan

sumber daya alam di wilayah ZEE Indonesia.

3. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978 tentang Pengesahan International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage (CLC, 1969);

5Hendrik Salmon, 2014, Eksistensi dan Fungsi Prinsip Strict Liability Dalam Penegakan Hukum Lingkungan,

http://fhukum.unpatti.ac.id/artikel/hukum-tata-negara/292-eksistensi-dan-fungsi-prinsip-strict-liability-dalam-penegakan-hukum-lingkungan, diakses pada tanggal 12 Maret 2015.

6 Ibid.

(5)

25

Konvensi ini merupakan hasil sidang internasional dari Legal Conference on

Marine Pollution Damage di Brussel pada tanggal 29 November 1969, di mana

Pemerintah kita juga ikut menanda-tanganinya dan oleh karena itu kemudian konvensi tersebut di ratifikasi oleh Presiden dengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978. Konvensi ini berisikan mengenai pengaturan tanggung jawab perdata terhadap pencemaran laut oleh minyak.

2.3. Tanggung Jawab Negara

Tanggung jawab negara muncul akibat adanya suatu tindakan-tinadkan,

keadaan-keadaan, atau prinsip-prinsip yang tidak sah secara internasional serta

merugikan kedaulatan negara lain.7 Akibat hal tersebut, negara yang merasa dirugikan memiliki kewenangan untuk menuntut haknya. Karena dalam hukum internasional,

suatu negara berdaulat tidak tunduk pada negara berdaulat lainnya. negara mempunyai

kedaulatan penuh atas apa yang ada dalam wilayah teritorialnya. Namun tidaklah

berarti bahwa negara itu dapat menggunakan kedaulatan dengan seenaknya. Dalam

hukum internasional telah mengatur bahwa jika suatu negara menyalahgunakan

kedaulatannya itu dapat dimintai suatu pertanggungjawaban atas tindakan dan

kelalaiannya.8

Penyebab penting timbulnya tanggung jawab negara dipengaruhi oleh beberapa faktor,9 antara lain:

7 JG Starke, 2004, Pengantar Hukum Internasional 1 edisi sepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat JG Starke I), h. 391.

8 Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge University Press, Cambridge, (selanjutnya diseingkat Malcolm N. Shaw I), 1997. h. 541.

(6)

26

1. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara

tertentu.

2. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum

internasional yang melahirkan tanggung jawab negara.

3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar

hukum atau kelalaian.

2.3.1 Pengertian Tanggung Jawab Negara

Tanggung jawab negara merupakan keadaan menanggung konsekuensi dimana

negara telah melakukan tindakan yang salah menurut hukum internasional atau

melanggar kewajiban internasionalnya, yang memiliki kewajiban utama untuk

memberikan reparasi penuh, dan mengakhiri tindakannya yang salah. Serta, bagaimana

implementasi dari pertanggungjawaban Negara dan pelanggulangannya agar kesalahan

tersebut tidak terulang kembali dikemudian hari.10

Tanggung jawab negara adalah prinsip-prinsip yang mengatur kapan dan

bagaimana negara yang bertanggung jawab atas pelanggaran kewajiban internasional.

Aturan tanggung jawab negara menentukan secara umum, ketika kewajiban telah

dilanggar maka akan ada konsekuensi hukum dari pelanggaran itu.11 Menurut Hukum Internasional, tanggung jawab negara dalam hal negara bersangkutan merugikan negara

10 Silvia Borelli, 2012, State Responsibility, in Oxford Bibliographies in International Law(ed. Tony Carty.

Oxford University Press, 2012)

http://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780199796953/obo-9780199796953-0031.xml diakses pada tanggal 28 Februari 2015.

11 Lihat Draft Articles on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, Report of the ILC on the Work of its Fifty-third Session,UN GAOR, 56th Sess, Supp No 10, p 43, UN Doc A/56/10 (2001)

(7)

27

lain dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang salah secara hukum internasional

(internationally wrongful act), dapat berupa:

- melakukan (action) atau

- tidak melakukan (omission) sesuatu

Tanggung jawab negara timbul akibat adanya perbuatan negara yang melanggar

kewajiban internasional, yang mana tindakan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan

dan merupakan tindakan yang salah menurut hukum internasional.12

2.3.2 Teori Pertanggungjawaban Negara

Terdapat dua macam teori pertanggungjawaban negara,13 yaitu :

Teori Resiko (Risk Theory)

Teori resiko melahirkan prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability atau

strict liability) atau tanggung jawab objektif (objective responsibility), yaitu

bahwa suatu negara mutlak bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang

menimbulkan akibat yang sangat membahayakan (harmful effects of

untra-hazardous activities) walaupun kegiatan itu sendiri adalah kegiatan yang sah

menurut hukum. Contohnya, Pasal II Liability Convention 1972 (nama resmi

konvensi ini adalah Convention on International Liability for Damage caused by

Space Objects of 1972) yang menyatakan bahwa negara peluncur (launching

12 Daniel Bodansky dan John R. Crook, 2002, Symposium: The ILC’s State Responsibility Articles, The American Journal of International Law, Vol. 96;773, h. 773.

(8)

28

state) mutlak bertanggung jawab untuk membayar kompensasi untuk kerugian di

permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam penerbangan yang

ditimbulkan oleh benda angkasa miliknya.

Teori Kesalahan (Fault Theory)

Teori kesalahan melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective

responsibility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault),

yaitu bahwa tanggung jawab negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika

dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu.

2.3.3 Bentuk Pertanggungjawaban Negara

Pada tahun 1974 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

membentuk komisi hukum internasional (International Law Commission/ILC), yang melakukan studi dan kodifikasi mengenai tanggung jawab negara sejak tahun 1953,

yang akhirnya rampung melalui Resolusi 56/83 Majelis Umum PBB pada tahun 2001. Hasil studi ILC ini berbentuk, “Draft Articles on the Responsibility of States for

Internationally Wrongful Acts”14

Adapun bentuk-bentuk pertanggungjawaban menurut Draft Articles

Responsibility of States for Internastionally Wrongful Acts, International Law

Commissions 2001, sebagai berikut :

- Pasal 35 menyatakan bahwa, suatu negara yang telah melakukan tindakan yang

salah secara internasional, bertanggung jawab dan wajib untuk membayar ganti

14Hendrik Salmon, 2014, Eksistensi dan Fungsi Prinsip Strict Liability Dalam Penegakan Hukum Lingkungan,

http://fhukum.unpatti.ac.id/artikel/hukum-tata-negara/292-eksistensi-dan-fungsi-prinsip-strict-liability-dalam-penegakan-hukum-lingkungan, diakses pada tanggal 12 Maret 2015.

(9)

29

rugi kerugian. Seperti, membangun kembali keadaan dan situasi yang ada

seperti sediakala.

- Pasal 36 ayat 1 menyatakan bahwa, negara bertanggung jawab untuk

mengkompensasi kerusakan yang demikian ditimbulkan.

- Pasal 37 ayat 1 menyatakan bahwa, atas kesalahannya, negara bertanggung

jawab untuk memberikan keputusan. Pada Pasal 37 ayat 2 menyatakan bahwa,

Keputusan dapat berupa pengakuan atas pelanggaran, ungkapan penyesalan,

permintaan maaf resmi atau modalitas lain yang sesuai.

- Pasal 48, negara-negara selain injured states dapat mengajukan tuntutan pertanggungjawaban pada negara lain dalam dua hal :

a. Kewajiban yang dilanggar dimiliki suatu kelompok negara termasuk

negara yang mengajukan tuntutan tersebut, ditetapkan untuk

perlindungan kepentingan kelompok tersebut;

b. Kewajiban yang dilanggar dimiliki oleh seluruh masyarakat

internasional keseluruhan.

2.3.4Pengecualian dari Pertanggungjawaban Negara

Adapun beberapa pengecualian yang tidak dapat dimintakan tanggung jawab

negara. yakni “Pembelaan” (Defences) dan “Pembenaran” (Justification). Menurut rancangan konvensi tentang tanggung jawab negara yang dibuat oleh ILC tahun 1970

dan 1980, yang termasuk dalam katagori pembelaan adalah persetutujuan antara kedua

belah pihak, self defence dan force majeur sedangkan yang termasuk pembenaran adalah state necessary dan distress. Yang diatur dalam Pasal 20-26 Draft ILC antara lain:

(10)

30

- Persetujuan, dalam Pasal 20;Tindakan yang dilakukan sebuah negara

kepada negara lain sepanjang disepakati dalam suatu persetujuan bersama,

tidak dapat dikatakan melakukan tindakan salah menurut hukum

internasional.

- Self defence, Pasal 21 dan 22; Tindakan bela diri tidak dianggap salah

secara internasional asal dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Piagam

PBB. Begitu juga tindakan balasan (counter measure) tidak dianggap sebagai tindakan salah secara internasional.

- Force majeur, Pasal 23; Sebuah tindakan negara yang melanggar kewajiban

internasional tidak dapat dimintakan tanggung jawab apabila tindakan

tersebut dilakukan karena; adanya kekuatan yang tidak dapat ditolak, diluar

kontrol negara mencegah atau menanggulanginya, tidak ada unsure

kesengajaan, serta tidak memungkinkan melaksanakan kewajiban.

- State Necessary, Pasal 25; Tindakan yang diambil negara untuk melindungi

kepentingan dirinya dengan tidak membahayakan negara lain dan

masyarakat internasional secara keseluruhan.

- Distress, Pasal 24; Tindakan negara yang diambil pada situasi sulit dimana

negara harus menentukan untuk menyelematkan dirinya atau masyarakat

yang berada di bawah tanggung jawabnya.

2.4 Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa Internasional

Hukum internasional memiliki tujuan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa

internasional secara adil bagi para pihak yang bersengketa dengan kaedah dan prosedur

(11)

31

Hague 1899 dan 1907 untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional secara

damai dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dirumuskan di San

Fransisco tahun 1945. Dengan tujuan pokok untuk mempermudah penyelesaian

sengketa antar negara secara damai.15

2.4.1 Penyelesaian Sengketa Internasional

Istilah sengketa-sengketa internasional (international dispute) mecakup bukan saja sengketa-sengketa antar negara-negara, melainkan juga kasus-kasus lain yang

berada dalam lingkup pengaturan internasional yakni, beberapa katagori sengketa

tertentu antara negara disatu pihak dan individu-individu, badan-badan korporasi

serta bakan-badan bukan negara dipihak lain, yang mempunyai akibat pada

hubungan para pihak yang bersengketa.16

2.4.2 Macam-macam Penyelesaian sengketa Internasional

Pada umumnya metode-metode penyelesaian sengketa digolongkan dalam dua

katagori17 yaitu;

- Penyelesaian sengketa secara damai, yaitu apabila para pihak telah dapat

menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat, dan

- Penyelesaian sengketa secara paksa, yaitu apabila solusi yang dipakai

melalui kekerasan.

15Chotib dkk, 2007, Kewarganegaraan Menuju Masyarakat Madani 2, Yudhistira Grahalia Indonesia, h.112. 16

Huala Adolf, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya

disingkat Huala Adolf I), h.3. 17JG Starke, Op Cit , h.645-646.

(12)

32

2.4.2.1 Penyelesaian Sengketa Secara Damai

Demi menjaga perdamaian, keamanan dan keadilan dunia internasional

tidak sampai terganggu, sangat dianjurkan untuk menyelesaikan sengketa secara

damai. Hukum Internasional membedakan penyelesaian sengketa internasional

secara damai atas sengketa yang bersifat politik dan sengketa yang bersifat

hukum. Sengketa politik merupakan sengketa dimana suatu negara mendasarkan

tuntutannya atas pertimbangan non yuridik, seperti kepentingan-kepentingan

atas dasar politik atau kepentingan nasional lainnya. Sedangkan sengketa

hukum adalah sengketa dimana suatu negara mendasarkan sengketa atau

tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian atau

yang telah diakui oleh hukum intenasional.18

Penyelesaian sengketa secara damai dapat dibagi menjadi dua, yaitu

melalui jalur politik/non litigasi atau jalur hukum/litigasi. Penyelesaian sengketa

melalui jalur politik dapat berupa: negosiasi, mediasi dan jasa baik,

penyelidikan/pencarian fakta, konsiliasi dan penyelesaian dibawah naungan

organisasi PBB. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui jalur hukum dapat

melalui: Arbitrase dan Mahkamah Internasional.

Penyelesaian sengketa secara damai pada awalnya dicantumkan dalam

Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-sengketa Secara Damai

18 Boer Mauna, 2011, Hukum Internasional Pengertian Peran dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, h.195.

(13)

33

yang di tanda tangani di Den Haag 18 Oktober 1907,19 yang kemudian dikukuhkan seperti tertuang dalam Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB menyatakan

“All Members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not

endangered, merupakan prinsip untuk menyelesaikan perselisihan antar

negara anggota PBB secara damai agar terjaganya ketertiban dan kedamaian

dunia internasional.

Dalam Artikel 2 ayat (4)Piagam PBB menyatakan “All Members shall

refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other

manner inconsistent with the Purposes of the United Nations,” yaitu prinsip

untuk tidak menggunakan jalan kekerasan serta suatu negara tidak

mengintervensi kedaulatan negara lain. Dalam Artikel 33 Piagam PBB

menyatakan “The parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall, first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other

peaceful means of their own choice.” Dimana negara-negara yang bersengketa

dapat menyelesaikan sengketanya secara damai, serta memiliki kebebasan untuk

(14)

34

memilih prosedur penyelesaiannya sesuai kesepakatan bersama para pihak yang

bersengketa.20

A. Metode Penyelesain Sengketa Secara Politik:

Negosiasi

Negosiasi adalah perundingan yang diadakan secara langsung antara

para pihak dengan tujuan untuk mencari penyelesaian melalui dialog

tanpa melibatkan pihak ketiga. Merupakan cara penyelesaian sengketa

yang paling penting dan banyak ditempuh, serta efektif dalam

penyelesaian sengketa internasional21 Sampai permulaan abad ke-20 cara ini adalah satu-satunya yang dipakai.22 Dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya dan setiap

penyelesaiannya didasarkan pada kesepakatan atau konsensus para

pihak.

Mediasi dan Jasa Baik

Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga.Ia bisa

negara, organisasi internasional atauindividu guna mendorong para

pihak yang bertikai agar mencapai penyelesaiannya.23 Dengan

20 Ibid, h. 194.

21 Huala Adolf I, op.cit, h. 26.

22Boer Mauna, op.cit, h.196.

23 Malcolm N. Shaw, 2008, Hukum Internasional, cet. VI, Cambridge University Press, terjemahan Derta Sri Widowatie dkk, Nusa Media, Bandung, (selanjutnya disingkat Malcolm N. Shaw II), h.1022.

(15)

35

kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupa mendamaikan para pihak

dengan memberikan saran penyelesaian sengketa. Jika usulan tersebut

tidak diterima, mediator masih dapat tetap melanjutkan fungsi

mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Karena itu, salah satu

fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian),

mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati para pihak serta membuat

usulah-usulan yang dapat mengakhiri sengketa.

Jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui keikutsertaan jasa

pihak ketiga24. Pihak ketiga berupaya agar parapihak menyelesaikan sengketanya dengan berunding. Yang berfungsi mempertemukan para

pihak sedemikianrupa sehingga mereka mau bertemu, duduk bersama

dan bernegosiasi. Keikutsertaan pihak ketiga dalam suatu penyelesaian

sengketamerupakan atas permintaan para pihak atau atas

inisiatifnyamenawarkan jasa-jasa baiknya guna menyelesaikan

sengketa.25

Penyelidikan/Pencarian fakta

Suatu sengketa kadangkala mempersoalkan konflik para pihakmengenai

suatu fakta. Meskipun suatu sengketa berkaitan dengan hakdan

24 Huala Adolf I, op.cit, h. 30. 25Malcolm N. Shaw II, loc.cit.

(16)

36

kewajiban, namun seringkali permasalahan muncul padaperbedaan

pandangan para pihak terhadap fakta yang menentukan hakdan

kewajiban tersebut. Penyelesaian sengketa bergantung kepada

penguraian fakta-fakta yang tidak disepakati para pihak. Oleh sebab itu,

dengan memastikan kedudukan fakta yangsebenarnya dianggap sebagai

dasar penting dari prosedurpenyelesaian sengketa. Dengan demikian

para pihak dapatmemperkecil masalah sengketanya dengan

menyelesaikannya melaluisuatu Pencarian Fakta mengenai fakta-fakta

yang menimbulkanpersengketaan.26

Konsiliasi

Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa yang menggabungkan

cara inquiry dengan mediasi tetapi berbentuk secara formal yang melibatkan pihak ke-3 yang netral dan tidak memihak dalam

penyeledikan fakta yang ada. Yang terpenting dari cara konsoliasi ini

adalah keinginan/persetujuan dari para pihak yang bersengketa dalam

menyelesaikan sengketa mereka. Usulan dari pihak ketiga juga menjadi

ujung tombak dalam cara ini, di sini pihak ketiga dituntut untuk

memberikan usulan yang bersifat menyelesaikan sengketa yang terjadi

tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum. Komisi-komisi Konsiliasi

(17)

37

diatur dalam Konvensi The Hague 1899 dan 1907 untuk Penyelesaian Sengketa-sengketa Internasional.27

Penyelesaian dibawah naungan organisasi PBB

Organisasi PBB yang dibentuk tahun 1945 telah mengambil alih

sebagian tanggung jawab untuk menyelesaikan sengketa internasional

dalam kaitan ini tanggung jawab penting beralih ke tangan Majelis

Umum dan Dewan Keamanan. Yang menjadi kepanjangan tangan PBB

adalah Sekjen PBB karena berkompetensi dan bersikap netral. Prinsip

netral ini menjadi jaminan untuk menyelesaikan sengketa agar tidak

menjurus menjadi lebih serius kedepannya. Perlu persetujuan kedua

belah pihak bersengketa tentunya untuk menggunakan mekanisme

penyelesaian sengketa melalui Sekjen PBB.28

B. Metode Penyelesain Sengketa Secara Hukum:

Penyelesaian sengketa melalui jalur hukum atau judicial settlement juga dapat

menjadi pilihan bagi subyek hukum internasional yang bersengketa satu sama

lain. Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali

menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya

yang dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan penyelesaian sengketa jalur

27 J.G. Starke II, Op Cit, h. 673.

(18)

38

hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing pihak

yang bersengketa.

Arbitrase

Hukum internasional telah mengenal arbitrase sebagai alternatif

penyelesaian sengketa, dan cara ini telah diterima oleh umum sebagai

cara penyelesaian sengketa yang efektif dan adil. Para pihak yang ingin

bersengketa dengan menggunakan metode arbitrase dapat menggunakan

badan arbitrase yang telah terlembaga, atau badan arbitrase ad hoc.

Peradilan arbitrase jauh berbeda dengan pengadilan intern suatu Negara

karena bentuknya yang non-institusional.29 Meskipun dianggap sebagai penyelesaian sengketa internaisonal melalu jalur hukum, keputusan yang

dihasilkan oleh badan arbitrase tidak dapat sepenuhnya dijamin akan

mengikat masing-masing pihak, meskipun sifat putusan arbitrase pada

prinsipnya adalah final dan mengikat.

Dalam Pasal 38 Konvensi Den Haag 1907 menyatakan tujuan arbitrase

internasional adalah menyelesaikan sengketa antara negara oleh

hakim-hakim pilihan mereka dan atas dasar ketentuan-ketentuan hukum.

Penyelesaian melalui arbitrase ini berarti bahwa Negara-negara harus

melaksanakan keputusan dengan itikad baik.30

Mahkamah Internasional

29 Boer Mauna, op.cit, h..228. 30 Ibid, h.229.

(19)

39

Pengadilan internasional dan pengadilan internasional regional yang

hadir untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa internasional.

Misalnya International Court of Justice (ICJ), International Criminal

Court (ICC), International Tribunal on the Law of the Sea (ITLOS),

European Court for Human Rights, dan lainnya. Pengadilan

internasional telah dikenal sejak Liga Bangsa-Bangsa (LBB), yaitu

melalui Permanent Court of International Justice (PCIJ). Setelah bubarnya LBB pasca Perang Dunia II, maka tugas dari PCIJ diteruskan

oleh ICJ sejalan dengan peralihan dari LBB kepada PBB. Penyelesaian

sengketa internasional melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan

kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada

lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak untuk memilih hakim,

memilih hukum dan hukum acara yang digunakan. Tetapi dengan

bersengketa di pengadilan internasional, maka para pihak akan

mendapatkan putusan yang mengikat masing-masing pihak yang

bersengketa.31

2.4.2.2 Penyelesaian Sengketa Dengan Secara Paksa

Apabila negara-negara tidak mecapai kesepakatan untuk menyelesaikan

sengketa mereka secara bersahabat maka, cara pemecahan yang mungkin adalah

(20)

40

dengan melalui kekerasan cara paksa.32 Prinsip-prinsip dari cara penyelesaian melalui kekerasan adalah:

Perang dan Tindakan Bersenjata non Perang

Perang adalah untuk menahlukan negara lawan dan untuk membebankan

syarat-syarat penyelesaian, dimana negara yang ditaklukannya itu tidak

memiliki alternatif lain selain mematuhinya.

Retorsi

Retorsi adalah penggunaan perbuatan tidak bersahabat dan merugikan,

oleh suatu negara, tetapi tidak melanggar hukum, yang merupakan

istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap

aktivitas Negara lain yang merugikan.33 Balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat

antara lain sebagai berikut:

- Merenggangnya hubungan diplomatic;

- Pencabutan previllage diplomatic;

- Pengusiran atau kontrol restriktif terhadap orang asing;

- Restriksi ekonomi (fiskal dan bea);

- Larangan perjalanan.

Intervensi

32 J.G. Starke II, op.cit, h. 679-685.

(21)

41

Intervensi merupakan cara penyelesaian sengketa di mana terdapat

campur tangan pihak ketiga yang berupaya agar para pihak yang

bersengketa mau menyelesaikan sengketa mereka secara damai.34 Intervensi sebenarnya dilarang, tetapi kadangkala dibenarkan dalam hal :

- Bila intervensi itu diminta oleh negara yang membutuhkan

intervensi;

- Bila intervensi itu dilakukan untuk kepentingan kemanusiaan.

Referensi

Dokumen terkait

mendapatkan judul lalu dikonsultasikan ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari dosen pembimbing 2 serta dosen pembimbing 1, yang telah dipilih dengan

Bagian meatusacusticus externus pada badak Sumatera relatif kurang terbentuk tetapi badakSumatera hanya memiliki porus acusticus externa yang besar berupa lubangpada dinding

Halaman form Jenis Adat Halaman ini akan tampil jika administrator memilih form input Jenis Adat yang ada pada menu sebelah atas halaman administrator, pada halaman

Ketentuan mengenai pembagian harta warisan untuk keluarga yang menganut agama yang berbeda yaitu orang yang non-Islam tidak akan mendapat bagian warisan dari

Kebijakan Mitigasi Risiko Operasional Sistem Pembayaran yang.. Diselenggaraka oleh Bank

Setelah dianalisis dengan menggunakan uji gain, dimana nilai pada siklus I dengan siklus II terdapat 20 peserta didik yang berada pada indeks gain sedang, ini

Berdasarkan hasil evaluasi dari model pengukuran bahwa 56 indikator valid dalam pengukuran setiap variabel latennya dapat digunakan dalam membentuk model

Untuk menjalankan bisnis bunga potong, saat ini didukung dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat terutama jejaring sosial seperti sosial media yang