• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Masa Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa pada Bagian Tengah Batang Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) B. Grimes) dan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penentuan Masa Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa pada Bagian Tengah Batang Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) B. Grimes) dan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN MASA TRANSISI KAYU JUVENIL KE KAYU DEWASA

PADA BAGIAN TENGAH BATANG SENGON (

Falcataria moluccana

(

Miq.) B. Grimes) DAN JABON (

Anthocephalus cadamba

Miq.)

NINDYA GITA UTAMI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penentuan Masa Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa pada Bagian Tengah Batang Sengon (Falcataria moluccana Miq.) dan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.), adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013

Nindya Gita Utami

(4)

ABSTRAK

NINDYA GITA UTAMI. Penentuan Masa Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa pada Bagian Tengah Batang Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) B. Grimes) dan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc.

Kayu sebagai sumberdaya hutan yang penting telah diproses dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan manusia yang terus meningkat. Untuk memenuhi permintaan kayu yang meningkat, pasokan kayu akan berasal dari jenis pohon cepat tumbuh yang ditanam di hutan tanaman dan hutan rakyat. Jenis pohon cepat tumbuh ini cenderung dipanen dalam rotasi pendek dan akan memiliki proporsi kayu juvenil yang tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik kayu juvenil dan menduga titik peralihan dari kayu juvenil ke kayu dewasa pada bagian tengah batang Sengon dan Jabon dalam rangka penggunaan kayu yang lebih tepat. Pendekatan model regresi tersegmentasi digunakan untuk menggambarkan perkembangan kayu juvenil ke kayu dewasa, dan prosedur non-linear pada persamaan polynomial orthogonal tingkat dua digunakan untuk mengidentifikasi titik mulai terbentuknya kayu dewasa. Dalam upaya menentukan masa transisi kayu juvenil ke kayu dewasa pada Sengon dan Jabon, dua pohon contoh berumur masing-masing 5, 6, dan 7 tahun diambil dari hutan rakyat di Sukabumi, Jawa Barat. Disk dengan ketebalan 5 cm diambil pada ketinggian 3,5 meter dari setiap pohon contoh sebagai sampel pengukuran panjang serat, MFA, kerapatan, dan kadar air. Kerapatan kayu diukur dari empulur hinga kulit dengan menggunakan metode gravimetri. Panjang serat dan MFA diukur pada setiap lingkaran tumbuh selebar 1 cm dari empulur hingga kulit menggunakan teknik maserasi dan mikrotom. Hasil analisis model regresi tersegmentasi pada bidang radial terhadap panjang serat dan MFA memperlihatkan bahwa kayu Sengon dan Jabon merupakan kayu muda hingga umur 7 tahun. Panjang serat dan MFA dapat dijadikan indikator utama untuk menentukan masa transisi kayu juvenil ke kayu dewasa, walaupun titik transisi bervariasi antar sifat. Proporsi kayu juvenil kayu Sengon dan Jabon berumur 7 tahun masing-masing mencapai 80-100% dan 100%.

Kata kunci: Sudut Mikrofibril, Kayu Juvenil

ABSTRACT

NINDYA GITA UTAMI. Determination of Juvenile and Mature Transition Point in The Midle for Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) B. Grimes) and Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Supervised by Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc.

(5)

objective of this research is to determine the characteristics of juvenile wood in order to use wood Jabon and Sengon properly. The approach of segmented regression model is used to describe the development of juvenile wood to mature wood while non-linear procedures at the level of two orthogonal polynomial equation is used to identify the starting point of the formation of mature wood. To determine the transition of juvenile to mature wood in Sengon and Jabon, samples of two trees with ages 5, 6 and 7 years are taken from the community forest in Sukabumi. Disk with a thickness of 5 cm is taken at a height of 3.5 meters from each sample tree for measuring fiber length, MFA, density and moisture content. Wood moisture content from pith to bark is measure by using gravimetric method. Fiber length and MFA are measured on each circle grows as wide as 1 cm from pith to bark by using maceration and microtome technique. That was an analysis of segmented regression model in radial to fibers and MFA, showing that Sengon and Jabon wood were young wood until the age of 7 years. Fiber length and MFA were the best indicator to determine the transition from juvenile to mature wood, although the transition point varied to their properties. The proportion of juvenile wood on Sengon and Jabon wood at the age of 7 years were respectively 80-100% and 100%.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Hasil Hutan

PENENTUAN MASA TRANSISI KAYU JUVENIL KE KAYU DEWASA

PADA BAGIAN TENGAH BATANG SENGON (

Falcataria moluccana

(

Miq.) B. Grimes) DAN JABON (

Anthocephalus cadamba

Miq.)

NINDYA GITA UTAMI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

Judul Skripsi : Penentuan Masa Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa pada Bagian Tengah Batang Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) B. Grimes) dan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)

Nama : Nindya Gita Utami NIM : E24090056

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M. Sc. NIP. 19660212 199103 1 002

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M. Sc. NIP. 19660212 199103 1 002

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Penentuan Masa Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa pada Bagian Tengah Batang Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) B. Grimes) dan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan di masa mendatang. Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat sebagai penunjang penelitian di lapangan dan semua pihak yang bersangkutan serta masyarakat luas.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M. Sc. sebagai pembimbing yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan saran selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

2. Keluarga yang telah memberikan do’a, nasehat, serta dukungan dan semangat

kepada penulis.

3. Teman-teman THH 46, Cucu Setiawati, Febrina Dellarose Boer, Novianti Sri Wahyuni, Dwi Premadha Lestari, dan Hafiyyan Sastranegara atas semangat

dan do’a yang telah diberikan kepada penulis

Bogor, Oktober 2013

(12)

DAFTAR ISI

PRAKATA x

DAFTAR ISI xi

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 25

Tujuan Penelitian 25

Manfaat Penelitian 25

TINJAUAN PUSTAKA 25

Sifat Anatomi Kayu 25

Kayu Juvenil dan Kayu Dewasa (Juvenile Wood and Mature Wood) 25

Dimensi Serat 4

Sudut Mikrofibril 25

Sifat Fisis Kayu 6

Kerapatan 6

Kadar Air 6

Penyusutan 7

Kayu Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) B. Grimes) 7 Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) 8

METODE 8

Bahan 8

Alat 9

Tempat dan Waktu Penelitian 10

Prosedur Analisis Data 10

Metode Penelitian 11

Pembuatan Contoh Uji 11

(13)

Pengukuran Panjang Serat dan Tebal Dinding Sel 12 Pengukuran Microfibril Angle (MFA) 12

Kerapatan 12

Kadar Air 13

Penyusutan Kayu 13

HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Dimensi Serat 13

Microfibril Angle (MFA) 17

Kerapatan 25

Kadar Air 25

Penyusutan Kayu 25

SIMPULAN DAN SARAN 25

Simpulan 25

Saran 25

DAFTAR PUSTAKA 25

LAMPIRAN 27

(14)

DAFTAR TABEL

1 Tabel Karakterisitik Pohon Sampel 9 2 Perkiraan Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa Berdasarkan

Panjang Serat dan Tebal Dinding Sel 17 3 Perkiraan Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa Berdasarkan Sudut

Mikrofibril 20

DAFTAR GAMBAR

1 Perubahan Kayu Juvenil Ke Kayu Dewasa dalam Konifer, Beberapa

Sifat Mengalami Kenaikan 3

2 Perubahan Kayu Juvenil Ke Kayu Dewasa dalam Konifer, Beberapa

Sifat Mengalami Penurunan 4 4 Perubahan Sudut Mikrofibril pada Kayu Juvenil Ke Kayu Dewasa

dalam Konifer 5

3 Kayu Juvenil dan Kayu Dewasa Dicirikan dengan Kenaikan Panjang Serat yang Kemudian Berangsur-Angsur Konstan saat Dewasa 5 5 Kerapatan yang Meningkat Secara Progresif Pada Bagian Juvenil,

Kemudian Berangsur-Angsur Stabil pada Saat Dewasa 6 6 Pohon Sengon (A) dan Jabon (B) masing-masing berumur 7 tahun 9 7 Kurva Model Analisis Transisi Juvenil ke Dewasa dengan

Menggunakan Regresi Tersegmentasi 11 8 Metode Pengambilan Contoh Uji (A) Batang Pohon, (B) Lempengan

(disk) setebal 5 cm, (C) Contoh Uji Kadar Air dan Susut

Longitudinal, (D) Contoh Uji Sayatan Maserasi, Mikrotom, dan

Kerapatan 11

9 Rata-Rata Pengukuran Panjang Serat dari Empulur hingga Kulit pada (A) Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon 14 10 Rata-Rata Pengukuran Tebal Dinding Sel dari Empulur hingga Kulit

pada (A) Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon 15 11 Contoh Serat pada Kayu Sengon Umur 6 Tahun Segmen (A) Dekat

Empulur (B) Tengah (C) Dekat Kulit 16 12 Rata-Rata Pengukuran Sudut Mikrofibril dari Empulur hingga Kulit

pada (A) Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon 18 13 Contoh Sudut Mikrofibril pada Kayu Jabon Umur 5 Tahun Segmen

(A) Dekat Empulur (B) Tengah (C) Paling Luar 19 14 Rata-Rata Pengukuran Kerapatan dari Empulur hingga Kulit pada

(A) Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon 21 15 Pengukuran Kadar Air dari Empulur hingga Kulit pada (A) Kayu

Sengon dan (B) Kayu Jabon 22 16 Pengukuran Susut Longitudinal dari Empulur hingga Kulit pada (A)

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur Pembuatan Sediaan Maserasi 27 2 Prosedur Pembuatan Sediaan Mikrotom 27 3 Profil Panjang Serat pada Kayu sengon dan Kayu Jabon 28 4 Profil Panjang Serat pada Kayu sengon dan Kayu Jabon 28 5 Profil Sudut Mikrofibril pada Kayu Sengon dan Kayu Jabon 30 6 Pengukuran Panjang Serat Kayu Sengon Umur 5 Tahun 31 7 Pengukuran Panjang Serat Kayu Sengon Umur 6 Tahun 31 8 Pengukuran Panjang Serat Kayu Sengon Umur 7 Tahun 31 9 Pengukuran Panjang Serat Kayu Jabon Umur 5 Tahun 31 10 Pengukuran Panjang Serat Kayu Jabon Umur 6 Tahun 31 11 Pengukuran Panjang Serat Kayu Jabon Umur 7 Tahun 31 12 Pengukuran Tebal Dinding Sel Kayu Sengon Umur 5 Tahun 31 13 Pengukuran Tebal Dinding Sel Kayu Sengon Umur 6 Tahun 31 14 Pengukuran Tebal Dinding Sel Kayu Sengon Umur 7 Tahun 31 15 Pengukuran Tebal Dinding Sel Kayu Jabon Umur 5 Tahun 40 16 Pengukuran Tebal Dinding Sel Kayu Jabon Umur 6 Tahun 41 17 Pengukuran Tebal Dinding Sel Kayu Jabon Umur 7 Tahun 42 18 Rata-Rata Pengukuran MFA Kayu Sengon Umur 5, 6, dan 7 Tahun 44

19 Rata-Rata Pengukuran MFA Kayu Jabon Umur 5, 6, dan 7 Tahun 44 20 Rata-Rata Kerapatan Kayu Sengon Umur 5, 6, 7 Tahun 45 21 Rata-Rata Kerapatan Kayu Jabon Umur 5, 6, dan 7 Tahun 46 22 Nilai Kadar Air Tiap Segmen Pada Kayu Sengon Umur 5, 6, dan 7

Tahun 47

23 Nilai Kadar Air Tiap Segmen pada Kayu Jabon Umur 5, 6, dan 7

Tahun 48

24 Nilai Susut Longitudinal Tiap Segmen pada Kayu Jabon Umur 5, 6,

dan 7 Tahun 49

25 Nilai Susut Longitudinal Tiap Segmen pada Kayu Jabon Umur 5, 6,

(16)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan terhadap kayu sebagai bahan bangunan dan bahan baku industri perkayuan semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Akan tetapi, kemampuan hutan sebagai penyuplai kayu cenderung menurun. Departemen Kehutanan (2009) menyatakan bahwa kebutuhan kayu bulat pada tahun 2008 adalah 46.316.073,15 m3 sedangkan jatah produksi tahunan kayu bulat nasional pada hutan alam tahun 2008 hanya 9,1 juta m3. Kondisi ini menunjukkan bahwa hutan alam tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan bahan baku kayu untuk keperluan industri perkayuan dalam negeri. Di sisi lain, Departemen Kehutanan (2011) mencatat bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia selama periode 2009 – 2010 adalah sebesar 832.126,9 hektar per tahun. Tingginya tingkat kerusakan hutan tersebut dikarenakan konversi kawasan hutan untuk perkebunan dan transmigrasi, pencurian kayu, penebangan liar (illegal logging)

dan kebakaran hutan. Belum optimalnya reboisasi juga mengakibatkan semakin luasnya hutan yang rusak.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi keterbatasan jumlah pasokan kayu antara lain dengan mamanfaatkan kayu yang berasal dari hutan tanaman. Kayu yang berasal dari hutan tanaman memiliki potensi yang cukup besar dan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kayu untuk berbagai keperluan tersebut. Namun, kayu yang dihasilkan dari hutan tanaman pada umumnya merupakan jenis kayu cepat tumbuh (fast growing species) seperti mangium, mahoni, rasamala, gmelina, sengon dan lain-lain. Jenis-jenis kayu tersebut relatif bermutu rendah karena selain berumur muda, juga mengandung banyak cacat seperti mata kayu, miring serat, cacat bentuk dan sebagainya (Abdurachman dan Hadjib 2006).

Kayu dari hutan tanaman pada umumnya ditebang saat berumur masih muda, sehingga kayu yang dihasilkan umumnya berdiameter kecil dan banyak menyandang kayu muda. Kayu dari hutan alam biasanya ditebang saat kayu sudah dewasa, Namun Bendtsen (1978) dalam Bowyer et al. (2003) menyatakan bahwa kayu juvenil (juvenil wood) memiliki berat jenis, panjang serat, kekuatan, tebal dinding sel, susut bidang transversal dan persentase kayu akhir (latewood) yang lebih rendah dibandingkan dengan kayu dewasa (mature wood). Akan tetapi kayu juvenil memiliki sudut fibril S-2, susut bidang longitudinal dan kadar air yang lebih tinggi daripada sifat kayu dewasa. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang struktur anatomi dan fisis kayu sengon dan jabon yang berdiameter kecil

(17)

2

Perumusan Masalah

Akhir-akhir ini banyak penggunaan struktural dari kayu-kayu berumur muda seperti 5, 6, atau 7 tahun. Bahkan kayu yang digunakan tersebut merupakan kayu cepat tumbuh (fast growing species) dan berdiameter kecil seperti kayu sengon (Falcataria moluccana (Miq.) B. Grimes) dan jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Penulis mencoba untuk melakukan penelitian terhadap kayu cepat tumbuh pada umur 5, 6, dan 7 tahun untuk melihat karakteristik yang dimiliki oleh kayu tersebut dalam rangka memanfaatkan kayu sengon dan jabon dengan baik.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui masa transisi juvenil ke dewasa pada bagian tengah kayu cepat tumbuh dari jenis kayu sengon (Falcataria moluccana (Miq.) B. Grimes) dan jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang karakteristik juvenil kayu cepat tumbuh pada kayu sengon (Falcataria moluccana (Miq.) B. Grimes) dan jabon (Anthocephalus cadamba

Miq.), sehingga pemanfaatan dan teknologi pengolahan dapat dilakukan sesuai dengan karakteristik yang dimiliki kayu tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA

Sifat Anatomi Kayu

Sifat anatomi suatu jenis kayu merupakan sifat yang objektif yang secara konstan terdapat di dalam kayu. Sifat-sifat objektif tersebut ada yang sudah jelas dilihat dan diamati hanya dengan mata telanjang atau hanya dibantu dengan menggunakan lup (dengan perbesaran 10 kali). Sifat ini disebut sifat makroskopis. Selanjutnya sifat-sifat objektif dari kayu baru jelas dilihat apabila dibantu dengan menggunakan mikroskop disebut sifat mikroskopis (Pandit dan Kurniawan 2008).

Kayu Juvenil dan Kayu Dewasa (Juvenile Wood and Mature Wood)

(18)

jenis-3

jenis kayu cepat tumbuh saja, namun hampir semua jenis kayu mengandung bagian juvenil.

Pembentukan kayu juvenil ini dipengaruhi oleh umur dan tidak dipengaruhi oleh kecepatan tumbuhnya. Lamanya periode juvenil ini bevariasi menurut jenis pohon, tetapi kayu juvenil selalu terdapat pada riap tumbuh pertama. Kayu juvenil umumnya terbentuk dalam 5-20 lingkaran tumbuh pertama dengan lama pembentukan tergantung dari spesies (Bowyer et al. 2003).

Bendtsen (1978) dalam Bowyer et al. (2003) juga menyatakan bahwa kayu dalam lingkaran-lingkaran yang terbentuk pertama mempunyai berat jenis terendah, serat-serat terpendek, sudut fibril terbesar. Dalam lingkaran berikutnya dari pusat pohon, laju perubahan sebagian besar sifat-sifat tersebut sangat cepat dalam beberapa lingkaran pertama kemudian berangsur-angsur mengikuti ciri kayu dewasa. Karena perubahan yang berangsur-angsur tersebut, maka tidak jelas dimana pertumbuhan kayu juvenil berakhir dan pembentukan kayu dewasa dimulai. Kayu juvenil (juvenil wood) dicirikan memiliki berat jenis, panjang serat, kekuatan, tebal dinding sel, susut bidang transversal dan persentase kayu akhir

(latewood) yang lebih rendah dibandingkan dengan kayu dewasa (mature wood).

Perkembangan sifat-sifat tersebut dari empulur ke kulit disajikan pada Gambar 1.

Sudut mikrofibril S-2 disajikan pada Gambar 2 di bawah ini.

(19)

4

(Sumber : Bentsen (1978) dalam Bowyer et al. (2003))

Bowyer et al. (2003) menyatakan bahwa kayu juvenil memiliki kecenderungan untuk menghasilkan serat terpuntir yang lebih besar. Selain itu orientasi sudut mikrofibril pada lapisan dinding sekunder S-2 lebih besar dari kayu dewasa, sehingga penyusutan longitudinal kayu juvenil sangat besar dan berkurangnya penyusutan transversal yang sesuai. Dengan semua sifat ini, kayu juvenil umumnya tidak diinginkan apabila digunakan dalam produk kayu solid. Apabila kayu juvenil ini digunakan sebagai kayu solid untuk keperluan konstruksi besar, maka akan terjadi cacat yang disebut getas atau brashness. Cacat getas ini merupakan suatu kondisi abnormal pada kayu yang patah secara tiba-tiba tanpa memberikan peringatan pada beban yang lebih rendah.

Dimensi Serat

Dimensi serat (panjang serat dan tebal dinding sel) dapat menjadi salah satu parameter dalam menentukan batas terbentuknya kayu juvenil dan kayu dewasa dengan melihat variasi panjang serat dan tebal dinding sel mulai dari empulur hingga bagian kulit. Sel-sel pada kayu juvenil lebih pendek dibandingkan dengan kayu dewasa sehingga dapat dijadikan batas antara kayu juvenil dan kayu dewasa. Identifikasi kayu juvenil juga dapat dilihat dari tebal dinding sel yang berangsur-angsur mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh adanya persaingan antara pertumbuhan panjang internoidia, produksi jarum-jarum baru dan pertumbuhan xylem dan floem sangat keras pada awal pertumbuhan (dekat empulur). Akibatnya hasil fotosintesis yang diterima daerah kambium sangat minimum. Oleh karena itu, ketebalan dinding sel menjadi minimum. Setelah perkembangan tajuk berhenti, maka hasil fotosintesis yang diberikan kepada daerah kambium bertambah banyak dan dinding sel menjadi lebih tebal dan menjadi maksimum pada akhir musim tumbuh (Pandit 2006). Panjang serat dan tebal dinding sel mengalami kenaikan yang progresif sampai batas umur tertentu kemudian panjang serat tersebut mengalami sedikit fluktuasi dan konstan seperti tertera pada Gambar 3. Panjang serat yang mempunyai nilai konstan inilah batas kayu juvenilnya. Seperti yang dinyatakan oleh Bowyer et al (2007) bahwa panjang sel kayu dewasa mungkin mencapai tiga sampai empat kali panjang sel-sel kayu juvenil pada kayu daun jarum. Pada kayu daun lebar umumnya sel-sel serabut kayu dewasa hanya mencapai dua kali panjang sel serabut kayu juvenil.

(20)

5

Panjang serat Tebal dinding sel

(Sumber: Senft et al 1985 dalam Lowell 2012)

Sudut Mikrofibril

Sudut mikrofibril pada lapisan S2 di dalam dinding sel merupakan salah satu penentu utama dari sifat mekanis dalam kayu solid (Cave dan Walker 1994; Evans Ilic 2001 dalam Tabet 2010). Bowyer et al. 2007 menyatakan bahwa kayu juvenil memiliki kecenderungan untuk menghasilkan serat terpuntir yang lebih besar. Selain itu orientasi sudut mikrofibril pada lapisan dinding sekunder S-2 kayu juvenil lebih besar dibandingkan dengan kayu dewasa (Gambar 4). Sudut mikrofibril lebih besar di bagian pangkal pohon pada sejumlah lingkaran tahun dari empulur, menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian, dan sedikit meningkat pada puncak pohon. Selain dikarenakan faktor jenis pohonnya, sudut mikrofibril juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti nutrisi dan air (Donaldson 2008). Sudut mikrofibril yang rendah menyebabkan kekakuan yang rendah dan susut longitudinal yang tinggi.

Gambar 4 Perubahan Sudut Mikrofibril pada Kayu Juvenil Ke Kayu Dewasa dalam Konifer

(21)

6

Sifat Fisis Kayu

Sifat fisis kayu ialah karakteristik kuantitatif dan ketahanan terhadap pengaruh dari luar. Menurut Bowyer et al. (2003) sifat fisis kayu yang penting dan mempengaruhi sifat mekanis kayu adalah kadar air, kerapatan dan berat jenis. Kerapatan

Bowyer et al. 2007 menyatakan bahwa kerapatan kayu merupakan perbandingan antara massa atau berat kayu dengan volumenya yang dinyatakan dalam kg/m3 atau g/cm3. Kerapatan kayu didefinisikan sebagai jumlah bahan penyusun dinding sel kayu maupun zat-zat lain dimana bahan tersebut memberikan sifat kekuatan pada kayu. Keberadaan kayu juvenil dicirikan dengan kenaikan kerapatan dengan cepat kemudian mulai stabil ketika kayu sudah mencapai dewasa (Gambar 5).

Kerapatan

(Sumber : Bowyer et al, 2007)

Kadar Air

Panshin dan de Zeeuw (1980) mendefinisikan kadar air sebagai banyaknya air yang terkandung dalam kayu. Kadar air kayu sangat dipengaruhi oleh sifat higroskopis kayu. Air dalam kayu terdiri dari air bebas dan air terikat dimana keduanya secara bersama-sama menentukan kadar air kayu. Air yang terdapat dalam rongga sel kayu disebut sebagai air bebas (free water) sedangkan air yang terdapat di dalam dinding sel dinamakan air terikat (bound water). Kadar air segar dalam satu pohon bervariasi tergantung tempat tumbuh dan umur pohon. Kadar air kayu akan berubah sesuai dengan kondisi iklim tempat dimana kayu berada akibat dari perubahan suhu dan kelembaban udara. Sel penyusun padakayu juvenil merupakan sel-sel hidup yang masih mengalami proses pertumbuhan, hal ini menyebabkan kadar air pada kayu juvenil lebih tinggi dibandingkan kayu dewasa. Kayu dewasa terseusun oleh sel-sel mati atau memasuki proses akhir pertumbuhan, oleh karena itu kadar air akan mengalami penurunan yang berangsur-angsur dari juvenil ke dewasa (Bowyer et al. 2007).

(22)

7

Penyusutan Kayu

Dimensi kayu akan stabil pada saat kadar air di atas titik jenuh serat. Kayu akan mengubah dimensinya pada saat kayu kehilangan air dibawah titik tersebut. Dalam proses penyusutan kayu, bagian sel yang berperan adalah dinding sel terutama dinding sel sekunder. Dinding sel primer sangat tipis jika dibandingkan dengan dinding sel sekunder sehingga pengaruhnya kecil dan sering diabaikan. Menurut Haygreen dan Bowyer 1996, variasi dalam penyusutan contoh-contoh uji yang berbeda dari spesies yang sama dibawah kondisi yang sama terutama akibat dari tiga faktor yaitu (1) ukuran dan bentuk potongan, ini mempengaruhi orientasi serat dalam potongan dan keseragaman kandungan air di seluruh tebal, (2) kerapatan contoh uji, semakin tinggi kerapatan contoh uji semakin banyak kecenderungannya untuk menyusut dan (3) laju pengeringan contoh uji, di bawah kondisi pengeringan yang cepat, tegangan internal terjadi karena perbedaan penyusutan.

Kayu Sengon ( Falcataria moluccana (Miq.) B. Grimes)

Pohon sengon dengan nama botani Falcataria moluccana dari famili

Fabaceae memiliki nama daerah jeungjing, sengon laut (Jawa), tedehu pute (Sulawesi), rare, selawoku, selawaku merah, seka, sika, sika bot, sikas, tawa sela (Maluku), bae, bai wahogon, wai, wikkie (Irian Jaya) (Martawijaya et al 1989). Kayu ini tersebar di seluruh Jawa, Maluku, Sulawesi Selatan dan Irian Jaya. Tinggi pohon sengon dapat mencapai 40 meter dengan panjang batang bebas cabang 10-30 meter dan diameter 80 cm.

Ciri diagnostik kayu sengon dapat dilihat dari aspek warna yaitu memiliki warna kayu teras dan gubal yang sulit dibedakan yaitu putih kecoklatan atau kuning muda sampai coklat kemerahan. Memiliki tekstur agak kasar hingga kasar dengan arah serat berpadu dan kadang-kadang lurus, sedikit bercorak, kekerasan kayu agak lunak, dan beratnya ringan. Ciri anatomi kayu sengon yaitu memiliki pori berbentuk bulat sampai bundar telur, tata baur, soliter, dan gabungan pori yang terdiri dari 2-3 pori dan berjumlah 4-7 per mm2 dengan diameter tangensial sekitar 160-340 mikron dan bidang perforasi sederhana. Parenkima kayu sengon kebanyakan bertipe apotrakea baur yang terdiri atas 1-3 sel yang membentuk garis tangensial di antara jari-jari. Jari-jari umumnya sempit, terdiri atas 1-2 seri, jumlahnya 6-12 per mm arah tangensial, komposisi selnya homoselular, hanya terdiri atas sel-sel baring (Pandit dan Kurniawan 2008).

(23)

8

Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)

Tanaman ini memiliki nama botanis Anthocephalus cadamba Miq. dari famili Rubiaceae dan tersebar merata di seluruh Sumatera, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, seluruh Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Tinggi pohon dapat mencapai 45 meter dengan tinggi bebaas cabang mencapai 30 meter, dan diameter mencapai 160 cm. Batang lurus dan silindris, bertajuk lebar dengan cabang mendatar, berbanir sampai ketinggian 1,5 meter, kulit luar berwarna kelabu coklat sampai coklat, sedikit beralur dangkal (Martawijaya et al 1989).

Ciri umum jabon yaitu kayu teras berwarna putih sampai putih kekuningan. Batas antara kayu teras dengan kayu gubal tidak tegas. Kayu jabon memiliki corak polos dengan tekstur agak halus dan rata. Arah seratnya lurus kadang agak berpadu. Kayu ini memiliki permukaan agak mengkilap sampai mengkilap, memiliki kesan raba yang licin sampai licin dan tingkat kekerasannya agak lunak sampai agak keras (Martawijaya et al 1989).

Ciri anatomi yang dimiliki oleh kayu ini yaitu memiliki pori atau sel pembuluh yang tersebar baur, hampir seluruhnya berganda radial terdiri atas 2-3 pori kadang lebih atau bergerombol. Diameter pori agak kecil. Frekuensi porinya jarang sampai agak banyak, bidang perforasi sederhana. Parenkimanya bertipe apotrakea kelompok baur, berupa garis-garis tangensial pendek diantara jari-jari. Jari-jari sempit dan agak lebar, jumlahnya banyak dan ukurannya agak tinggi.

Anthocephalus cadamba memiliki berat jenis rata-rata 0,42 (0,29-0,56). Kayu ini termasuk kelas awet V kelas kuat III-IV. Biasanya digunakan sebagai bahan bangunan sementara, daun jendela, langit-langit, kotak, peti teh, pembungkus, kelom, barang kerajinan (termasuk mainan anak), korek api, sumpit makan (Mandang dan Pandit 1997).

METODE

Bahan

(24)

9

Gambar 6 Pohon Sengon (A) dan Jabon (B) masing-masing berumur 7 tahun Tabel 1 Tabel Karakterisitik Pohon Sampel

Jenis Pohon

Selain itu, bahan-bahan lain yang digunakan dalam pengamatan sifat-sifat anatomi kayu yaitu gliserin, gliserol, alkohol 10%, alkohol 30%, alkohol 50%,

Peralatan yang digunakan pada pengamatan sifat-sifat anatomi yaitu tabung reaksi, water bath, corong gelas, sarung tangan, masker, erlenmeyer, gelas ukur, gelas piala, kaca preparat, cover glass, mikroskop cahaya, cutter, Sliding Microtome American Opt., kuas, kamera, kaliper, fan, oven, timbangan elektrik, desikator, komputer, kalkulator, dan alat tulis.

(25)

10

Tempat dan Waktu Penelitian

Proses pengamatan sifat-sifat anatomi dan fisik kayu dilakukan di Laboratorium Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juli hingga bulan September 2012 dan bulan April hingga bulan Mei 2013.

Prosedur Analisis Data

Data pengukuran sudut mikrofibril dilakukan dengan menggunakan

software Motic Image Plus. Keseluruhan data yang diperoleh disajikan dalam bentuk grafik dengan menggunakan Microsoft Excel 2010.

Menurut Darmawan et al. 2013 bahwa pendekatan regresi tersegmentasi digunakan untuk menentukan karakteristik sifat anatomi kayu. Diasumsikan bahwa perkembangan radial dari panjang serat dan MFA dari empulur ke kulit dapat dijelaskan oleh dua fungsi, pertama, untuk fungsi kuadratik menggambarkan perkembangan kayu dimulai pada empulur dan yang kedua untuk menggambarkan tebentuknya kayu dewasa. Dengan regresi tersegmentasi, model polynomial orthogonal tingkat 2 (Persamaan (1)) dapat memperkirakan parameter titik potong antara kayu juvenil dan dewasa. Ketika umur transisi tidak diketahui, prosedur kuadrat terkecil digunakan untuk memperoleh perkiraan parameter regresi dan umur transisi. Model regresi polynomial orthogonal tingkat dua dapat dijelaskan sebagai berikut:

Yi = A + BXi + CXi2 + Ei (1) Dimana:

Yi merupakan variabel bebas untuk panjang serat dan MFA,

Xi merupakan jumlah segmen,

A merupakan intersep garis kayu juvenil, B dan C merupakan koefisien regresi, dan E merupakan faktor kesalahan.

Dari pertimbangan teoritis tersebut, dapat dihipotesiskan bahwa: y=a+bx+cx2 jika x < x0, persamaan y dan x adalah kuadrat

y=p jika x0≥ x, persamaan adalah konstan,

dimana xo adalah jumlah segmen saat kayu berubah dari juvenil ke kayu dewasa, p adalah panjang serat/MFA saat kayu berubah dari kayu juvenil ke kayu dewasa. Persamaan polynomial orthogonal tingkat dua diperoleh dengan menggunakan Microsoft Excel 2010. Kurva kuadratik dan kurva konstan pada Gambar 7, memiliki titik potong di X0. Turunan pertama dari persamaan

polynomial orthogonal tingkat dua terhadap X akan sama dengan X0. Turunan

(26)

11

Gambar 7 Kurva Model Analisis Transisi Juvenil ke Dewasa dengan Menggunakan Regresi Tersegmentasi

Metode Penelitian

Pembuatan Contoh Uji

Contoh uji diambil dari pohon lurus dengan umur yang berbeda yakni 5, 6, dan 7 tahun dan dipotong pada bagian tengah tepatnya pada ketinggian 3,5 meter dari permukaan tanah. Contoh uji diambil kira-kira setebal 5 cm berbentuk lempengan (disk) (Gambar 8).

Gambar 8 Metode Pengambilan Contoh Uji (A) Batang Pohon, (B) Lempengan (disk) setebal 5 cm, (C) Contoh Uji Kadar Air dan Susut Longitudinal, (D)

(27)

12

Pengamatan Sifat-Sifat Kayu Juvenil dan Kayu Dewasa

Pengukuran Panjang Serat dan Tebal Dinding Sel

Pengukuran dimensi serat dilakukan dengan membuat sediaan maserasi. Dimensi sel serabut yang diukur adalah panjang sel serabut. Contoh uji berbentuk persegi panjang diambil dari masing-masing lempengan kayu (disk) mulai dari bagian dekat empulur hingga ke bagian kulit. Selanjutnya contoh uji dibagi menjadi segmen dengan ukuran yang sama yakni 5 cm x 1,5 cm x 1 cm dan diberi nomor mulai dari empulur hingga kulit (Gambar 8). Segmen pertama merupakan sampel kayu yang diambil dari bagian dekat empulur, selanjutnya segmen kedua, ketiga, dan seterusnya sampai kulit. Setelah itu dilanjutkan dengan pemisahan serat dengan membuat slide maserasi pada masing-masing segmen. Slide maserasi dibuat dengan menggunakan metode Schulze (Husein 2004), seperti yang tertera di Lampiran 1. Penentuan panjang serat dan tebal dinding sel dilakukan dengan mengukur sebanyak 30 serat dari masing-masing bagian (segmen). Kemudian hasil pengukuran panjang 30 serat dirata-ratakan untuk memperoleh panjang serat rata-rata tiap segmen.

Pengukuran Microfibril Angle (MFA)

Contoh uji persegi panjang diambil dari disk dan dipotong menjadi segmen dengan ukuran 5 cm x 1,5 cm x 1 cm dari empulur hingga kulit dan diberi nomor mulai dari empulur hingga kulit (Gambar 8). Setelah itu dilanjutkan dengan pembuatan slide mikrotom pada bidang tangensial. Slide mikrotom dibuat dengan menggunakan Sliding Microtome American Opt. Setelah dilakukan pemotongan slide mikrotom, slide dicuci dengan menggunakan metode Schulze

dengan metode seperti yang tertera di Lampiran 2. Penentuan microfibril angle

dilakukan dengan mengukur sebanyak 5 serat dimana setiap seratnya dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Sayatan mikrotom diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 45 x 10 serta 5 kali digital zoom camera merk CANON A2300. Setelah dilakukan pemotretan, dilakukan pengukuran sudut microfibril dengan menggunakan software Motic Image Plus, kemudian hasil pengukuran sudut dirata-ratakan untuk memperoleh sudut microfibril rata-rata setiap segmen.

Kerapatan

Profil kerapatan dari bagian empulur ke bagian kulit diukur pada bidang radial dari contoh uji kayu berbentuk persegi panjang berukuran 5 cm x 1,5 cm x 1 cm menggunakan metode Archimedes yang dianalisis menggunakan software

(28)

13 Kadar Air

Disk setebal 5 cm dipotong menjadi contoh uji berbentuk persegi panjang melalui empulur (Gambar 8). Contoh uji tersebut dipotong dengan ukuran 5 cm x 2 cm x 2 cm dari empulur hingga kulit. Kemudian contoh uji diberi nomor urut. Kayu basah kemudian ditimbang berat awal (berat basah), kemudian contoh uji dioven pada suhu 103 ± 2º C hingga beratnya konstan. Setelah selesai dioven, contoh uji dimasukkan ke dalam desikator sampai suhunya stabil kemudian ditimbang sebagai berat kering tanur. Kadar air diukur secara gravimetri.

Penyusutan Kayu

Contoh uji kerapatan dan kadar air digunakan juga dalam menentukan susut kayu. Disk setebal 5 cm dipotong menjadi contoh uji berbentuk persegi panjang melalui empulur (Gambar 8). Contoh uji tersebut dipotong dengan ukuran 5 cm x 2 cm x 2 cm dari empulur hingga kulit. Kemudian contoh uji diberi nomor urut. Contoh uji diukur panjang bagian longitudinal dengan menggunakan kaliper sehingga diperoleh dimensi awal. Contoh uji dioven pada suhu 103 ± 2o C selama 24 jam. Contoh uji dikeluarkan dari oven kemudian diadakan pengukuran panjangnya kembali sehingga diperoleh dimensi akhir.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dimensi Serat

(29)

14

Gambar 9 Rata-Rata Pengukuran Panjang Serat dari Empulur hingga Kulit pada (A) Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon

Profil pengukuran tebal dinding sel kayu sengon dan jabon disajikan pada Lampiran 4. Selanjutnya rata-rata tebal dinding sel tiap segmen dari bagian empulur hingga bagian kulit disajikan pada Gambar 10. Hasil penelitian pada Gambar 10 memperlihatkan bahwa tebal dinding sel tertipis terdapat pada bagian yang dekat empulur baik untuk kayu sengon maupun kayu jabon. Tebal dinding sel mengalami kenaikan secara tajam di awal-awal segmen kemudian meningkat secara perlahan dibagian dekat kulit. Frekuensi pembelahan sel inisial fusiform secara antiklinal yang semakin cepat pada daerah dekat empulur menghasilkan sel-sel yang lebih pendek dan dinding sel yang tipis. Pembelahan antiklinal berlangsung lebih cepat pada masa awal pertumbuhan sehingga sel-sel kayu yang terbentuk lebih pendek, sedangkan sel-sel yang terbentuk pada akhir pertumbuhan lebih panjang dan tebal karena pembelahan antiklinal berlangsung lebih lambat. Hal inilah yang menyebabkan tebal dinding sel yang dihasilkan pada bagian dekat empulur lebih tipis (Pandit dan Kurniawan 2008).

0

Nomor segmen dari empulur hingga kulit 5 tahun

Nomor segmen dari empulur hingga kulit

5 tahun 6 tahun 7 tahun A. Kayu Sengon

(30)

15

Gambar 10 Rata-Rata Pengukuran Tebal Dinding Sel dari Empulur hingga Kulit pada (A) Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon

0,00

Nomor segmen dari empulur hingga kulit

5 tahun

Nomor segmen dari empulur hingga kulit

5 tahun 6 tahun 7 tahun

A. Kayu Sengon

(31)

16

(A) (B)

(C)

Gambar 11 Contoh Serat pada Kayu Sengon Umur 6 Tahun Segmen (A) Dekat Empulur (B) Tengah (C) Dekat Kulit

Hasil analisis terhadap kurva pada gambar 9 dengan polynomial orthogonal tingkat dua diperoleh hasil bahwa kayu juvenil pada kayu sengon umur 5, 6, dan 7 tahun sepenuhnya merupakan kayu juvenil. Selanjutnya kayu juvenil pada jabon umur 5, 6, dan 7 tahun masing-masing terjadi hingga segmen 26, 30, dan 31. Hal ini mengindikasikan bahwa seluruh kayu jabon pada umur 5, 6, dan 7 tahun merupakan kayu juvenil. Pada gambar 10, hasil analisis terhadap kurva dengan polynomial orthogonal tingkat dua diperoleh hasil bahwa kayu juvenil pada kayu sengon umur 5, 6, dan 7 tahun sepenuhnya merupakan kayu juvenil. Selanjutnya kayu juvenil pada jabon umur 5, 6, dan 7 tahun masing-masing terjadi hingga segmen 26, 19, dan 22. Hasil pada Tabel 2 mengindikasikan bahwa periode kayu juvenil dan terbentuknya kayu dewasa ini berbeda-beda tergantung pada jenis kayu. Proporsi kayu juvenil yang terbentuk dalam suatu batang berhubungan dengan laju pertumbuhan jenis kayunya. Batang yang tumbuh cepat akan memiliki proporsi kayu juvenil yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan batang yang tumbuh lambat pada awal daur pertumbuhannya.

753,4 µm

823 µm

(32)

17

Tabel 2 Perkiraan Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa Berdasarkan Panjang Serat dan Tebal Dinding Sel

Jenis

(33)

18

Gambar 12 Rata-Rata Pengukuran Sudut Mikrofibril dari Empulur hingga Kulit pada (A) Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon

0

Nomor segmen dari empulur hingga kulit

5 tahun

Nomor segmen dari empulur hingga kulit 5 tahun

6 tahun

7 tahun

A. Kayu Sengon

(34)

19

(A) (B)

(C)

Gambar 13 Contoh Sudut Mikrofibril pada Kayu Jabon Umur 5 Tahun Segmen (A) Dekat Empulur (B) Tengah (C) Paling Luar

(35)

20

Tabel 3 Perkiraan Transisi Kayu Juvenil ke Kayu Dewasa Berdasarkan Sudut Mikrofibril

MFA sangat berpengaruh terhadap sifat anisotropic kayu. Sudut mikrofibril yang besar dapat menyebabkan penyusutan pada arah longitudinal menjadi bertambah besar (Panshin 1980, Tsoumis 1991, Bowyer 2007). MFA yang besar pada kayu juvenil dipengaruhi oleh adanya aktifitas xilem sekunder yang dihasilkan oleh daerah-daerah kambium yang masih aktif pada awal pertumbuhan karena kayu juvenil tersusun oleh sel yang pendek dan berangsur-angur mengalami pertumbuhan panjang sehingga MFA akan tertarik dan semakin mengecil selama fase pertumbuhan. Informasi ini penting karena erat hubungannya dengan stabilitas dimensi kayu sebagai bahan baku.

Untuk mengurangi proporsi kayu juvenil dalam kayu dapat dilakukan dengan tidak memberikan pupuk, irigasi atau perlakuan silvikultur lainnya pada awal pertumbuhan yang merupakan periode pembentukan kayu juvenil. Hal ini dikarenakan pohon yang tumbuh secara cepat pada awal daur pertumbuhan pohon akan memiliki proporsi kayu juvenil yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pohon yang tumbuh secara lambat pada awal daur pertumbuhan.

Kerapatan

(36)

21

Gambar 14 Rata-Rata Pengukuran Kerapatan dari Empulur hingga Kulit pada (A) Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon

Hasil pada Gambar 14 mengindikasikan bahwa nilai kerapatan baik pada kayu sengon maupun kayu jabon mengalami kenaikan dari empulur hingga kulit. Hasil ini mendukung temuan Bowyer et al (2007) bahwa kerapatan akan meningkat dari empulur ke arah kulit kemudian akan mencapai nilai yang hampir konstan. Nilai kerapatan yang meningkat secara linear dari empulur hingga ke kulit menunjukkan adanya sedikit variasi (Gambar 14). Secara visual, nilai kerapatan pada Gambar 14 masih mengalami peningkatan hingga ke bagian kulit, dan belum tercermin nilai kerapatan yang hampir konstan di bagian dekat kulit. Analisis polynomial orthogonal tingkat dua mengindikasikan bahwa kerapatan tidak cocok untuk menentukan transisi antara kayu juvenil dan kayu dewasa. Hal ini karena nilai simpangan baku yang rendah dan titik transisi yang besar. Nilai kerapatan kayu jabon lebih besar dibandingkan dengan kayu sengon tiap segmennya. Variasi nilai kerapatan suatu kayu tergantung dari umur, posisi dalam

0,0

Nomor segmen dari empulur hingga kulit

5 tahun

Nomor segmen dari empulur hingga kulit

5 tahun 6 tahun 7 tahun

A. Kayu Sengon

(37)

22

suatu pohon, kondisi tempat tumbuh, dan susunan genetik dalam pohon tersebut (Bowyer et al 2007).

Kadar Air

Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam kayu (Panshin dan de Zeeuw 1980). Selanjutnya Haygreen dan Bowyer (1996) mendefinisikan kadar air sebagai berat air yang dinyatakan sebagai persen terhadap berat kayu bebas air atau berat kering tanurnya. Air merupakan unsur alami yang terdapat di semua bagian pohon yang hidup. Di dalam kayu, kadar air kayu berkisar antara 40 sampai 200%. Keragaman kadar air ini dapat terjadi antar spesies, bahkan antar bagian dari pohon yang sama. Pengukuran kadar air dilakukan dalam kondisi basah (green moisture content). Hasil pengukuran kadar air pada setiap segmen disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15 Pengukuran Kadar Air dari Empulur hingga Kulit pada (A) Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon

0,0

Nomor segmen dari empulur hingga kulit

5 tahun

Nomor segmen dari empulur hingga kulit

5 tahun 6 tahun 7 tahun

A. Kayu Sengon

(38)

23

Hasil pada Gambar 15 memperlihatkan bahwa kadar air basah kayu sengon umur 5 tahun yang memiliki nilai tertinggi sebesar 126,66% pada bagian dekat empulur, sedangkan yang nilai yang terendah terdapat pada bagian dekat kulit sebesar 50,80%. Kadar air basah kayu sengon umur 6 tahun yang memiliki nilai tertinggi sebesar 88,47% pada bagian dekat empulur, sedangkan yang nilai yang terendah terdapat pada bagian dekat kulit sebesar 43,70%. Kadar air basah kayu sengon umur 7 tahun yang memiliki nilai tertinggi sebesar 80,27% pada bagian dekat empulur, sedangkan yang nilai yang terendah terdapat pada bagian dekat kulit sebesar 43,94%. Kadar air basah kayu jabon umur 5, 6, dan 7 tahun yang memiliki nilai tertinggi berturut-turut terdapat pada bagian dekat empulur sebesar 167,80%; 130,80%; dan 115,45%, sedangkan kadar air basah kayu jabon umur 5, 6, dan 7 tahun yang memiliki nilai terendah berturut-turut terdapat pada bagian dekat kulit sebesar 84,48%; 81,56%; dan 77,28%. Nilai kadar air kayu jabon lebih tinggi dibandingkan dengan kayu sengon. Perbedaan nilai kadar air basah ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor terkait kondisi tempat tumbuh dimana pohon berada seperti tingkat kesuburan tanah, persaingan, dan iklim. Pohon yang tumbuh di tanah-tanah yang subur, dengan tingkat persaingan yang rendah dan iklim yang cocok akan menghasilkan kayu dengan nilai kadar air yang lebih tinggi karena porsi lumen atau rongga sel yang lebih banyak (Haygreen dan Bowyer 1996).

Penyusutan Kayu

(39)

24

Gambar 16 Pengukuran Susut Longitudinal dari Empulur hingga Kulit pada (A) Kayu Sengon dan (B) Kayu Jabon

Penyusutan kayu pada kayu sengon dan jabon mengalami penurunan dari bagian dekat empulur hingga pada bagian dekat kulit. Pada kayu sengon penyusutan tertinggi terjadi di bagian dekat empulur pada umur 5 tahun yaitu sebesar 1,03%, sedangkan yang memiliki nilai terendah terdapat pada bagian dekat kulit pada umur 7 tahun sebesar 0,08%. Pada kayu jabon penyusutan tertinggi terjadi di bagian dekat empulur pada umur 5 tahun yaitu sebesar 1,79%, sedangkan yang memiliki nilai terendah terdapat pada bagian dekat kulit pada umur 7 tahun sebesar 0,10%. Perbedaan nilai susut longitudinal ini disebabkan oleh ciri anatomis kayu, termasuk adanya jaringan jari-jari, penoktahan rapat pada dinding radial, dominasi kayu musim panas dalam arah tangensial, dan perbedaan dalam jumlah zat dinding sel secara radial banding tangensial (Pandit dan

Nomor segmen dari dekat empulur hingga kulit

5 tahun

Nomor segmen dari dekat empulur hingga kulit

5 tahun 6 tahun 7 tahun

B. Kayu Jabon

(40)

25

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan pada data hasil pengukuran terhadap panjang serat, MFA, dan kerapatan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil pengukuran panjang serat dan tebal dinding sel, kayu sengon dan jabon dengan umur 5, 6, dan 7 tahun sepenuhnya merupakan kayu juvenil. 2. Berdasarkan hasil pengukuran sudut mikrofibril, kayu sengon dan kayu jabon

dengan umur 5, 6, dan 7 tahun sepenuhnya merupakan kayu juvenil.

3. Nilai kerapatan yang menunjukkan kenaikan secara linear sehingga tidak dapat dipergunakan untuk menentukan masa transisi kayu juvenil ke kayu dewasa. 4. Nilai kadar air dan penyusutan mengalami penurunan secara linear sehingga

tidak dapat dipergunakan untuk menentukan masa transisi kayu juvenil ke kayu dewasa.

5. Panjang serat dan MFA merupakan indikator yang baik untuk menentukan terbentuknya kayu dewasa.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui masa transisi kayu juvenil pada umur yang berbeda.

2. Pemanfaatan kayu sengon dan jabon dengan umur tebang 5, 6, dan 7 tahun memiliki kandungan kayu juvenil yang tinggi sehingga tidak dianjurkan untuk penggunaan struktural.

3. Perlu dilakukan penelitian teknik silvikultur yang sesuai untuk mengurangi kayu juvenil dan mempercepat pembentukan kayu dewasa.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman dan Hadjib N. 2006. Pemanfaatan Kayu Hutan Rakyat Untuk Komponen Bangunan. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan. Bogor. hlm 130-148

Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2003. Forest Product and Wood Science : An Introduction. Iowa State Press. Ames, Iowa.

Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2007. Forest Product and Wood Science : An Introduction. Iowa State Press. Ames, Iowa.

Darmawan W, Nandika D, Rahayu I, Fournier M, Marchal R. 2013.

(41)

26

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2009. Statistik 2008. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2012. Statistik 2011. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan.

Donaldson L. 2008. Microfibril angle: Measurement, Variation, and Relationship-A Review. IRelationship-AWRelationship-A journal vol 29 (4), 2008: 345-386

Haygreen JG dan JL. Bowyer.1996.Hasil Hutan dan Ilmu Kayu.Gajah Mada University Press.

Husein N. 2004. Anatomi Kayu Palele (Castanopsis javanica).Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis vol 2 no 2.

Lowel EC. 2012. Wood Quality: The Effects of Planting Density and Thinning. Portland: Pacific Northwest Research Station USDA Forest Service.

Mandang YI, Pandit IKN. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Bogor: Yayasan PROSEA Bogor dan Pusat Diklat Pegawai dan SDM Kehutanan.

MartawijayaA, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid 2.Bogor: Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan.

Pandit IKN. 2006. Varibilitas Sifat Dasar Kayu. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Pandit IKN, Kurniawan D. 2008. Anatomi Kayu : Struktur Kayu, Kayu Sebagai

Bahan Baku dan Ciri Diagnostik Kayu Perdagangan Indonesia. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Panshin AJ, Zeeuw C de. 1980. Textbook of Wood Technology, Fourth Edition. NewYork :Mc Graw Hill Book Company.

Tabet TA. 2010. Estimation Of The Cellulose Microfibril Angle In Acacia Mangium Wood Using Small Angle X-Ray Scattering. Journal of Agricultural Science vol 2 no 4.

(42)

27 LAMPIRAN

Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Sediaan Maserasi

a. Pembuatan contoh kayu berukuran 5 cm x 1,5 cm x 1 cm dipotong menjadi sebesar batang korek api sebanyak empat buah dari setiap contoh uji.

b. Potongan-potongan sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian diberi sedikit KClO3 dan ditambahkan sedikit larutan HNO3 50% sampai

potongan kayu terendam dan ditutup dengan alumunium foil. Pemberian potasium klorat (KClO3) yang sedikit ini disebabkan fungsinya yang

hanya sebagai katalisator (memperbaiki dan mempercepat reaksi).

c. Tabung reaksi dipanaskan beberapa menit sampai mendidih dan warnamya menjadi putih kekuning-kuningan (serat kayu telah terurai).

d. Tabung reaksi dan isi didinginkan beberapa menit pada suhu kamar dan dipindahkan ke kertas saring.

e. Serat yang telah dipindah dicuci beberapa kali dengan aquades sampai bebas asam. Adapun indikasinya adalah kertas lakmus tidak berubah warna bila ditempelkan pada contoh uji yang telah dicuci.

f. Serat yang telah bebas asam dipindahkan ke tabung film, kemudian diberi safranin 2% sebanyak 6 tetes. Fungsi safranin adalah untuk pewarnaan serat sehingga memudahkan saat dilakukan pengukuran. Didiamkan 6 – 8 jam.

g. Zat warna dibuang dan dilakukan penghilangan air (dehidrasi) dengan cara memberikan alkohol berturut-turut 10%, 30%, 50%, 70%, 90% dan 100% masing-masing selama 2 menit.

h. Sesudah dehidrasi, serabut yang terlepas dipindahkan ke kaca preparat, tutup dengan cover glass, kemudian dilanjutkan dengan pengamatan dengan menggunakan mikroskop cahaya.

Lampiran 2 Prosedur Pembuatan Sediaan Mikrotom

a. Pembuatan penampang dimulai dengan pemotongan contoh sampel kayu dengan ukuran kurang lebih 5 cm x 1,5 cm x 1 cm.

b. Potongan contoh uji dibersihkan dan diberi tanda.

c. Potongan contoh uji dimasukkan ke dalam larutan gliserin dan alkohol 96% dengan perbandingan 1:1.

d. Rendam contoh uji selama waktu yang dibutuhkan. Semakin lama rendaman semakin bagus.

e. Angkat contoh uji, cuci dengan air, dan tiriskan, kemudian sayat dengan menggunakan Sliding Microtome American Opt. dengan ketebalan 25-30 µm.

f. Cuci contoh uji dengan larutan Schulze (6 gram KClO3 + 100 ml HNO3

35%) selama 15 menit

g. Lakukan dehidrasi pada contoh uji selama masing-masing 5 menit pada alkohol 50%, 60%, 70%, 80%, dan 90%.

h. Letakkan contoh uji ke kaca preparat, teteskan dengan Iodide + HNO3

(43)

28

i. Foto sudut mikrofibril yang terlihat kemudian ukur dengan menggunakan software Motic Image Plus.

Lampiran 3 Profil Panjang Serat pada Kayu sengon dan Kayu Jabon

Jumlah Segmen dari Empulur hingga Kulit

Jumlah Segmen dari Empulur hingga Kulit

Jumlah Segmen dari Empulur hingga Kulit

Jumlah Segmen dari Empulur hingga Kulit

Jumlah Segmen dari Empulur hingga Kulit

Jumlah Segmen dari Empulur hingga Kulit

(44)

29

Lampiran 4 Profil Tebal Dinding Sel pada Kayu sengon dan Kayu Jabon

0

Nomor segmen dari empulur hingga kulit

Nomor segmen dari empulur hingga kulit

Nomor segmen dari empulur hingga kulit

Nomor segmen dari empulur hingga kulit

Nomor segmen dari empulur hingga kulit

Nomor segmen dari empulur hingga kulit

(45)

30

Lampiran 5 Profil Sudut Mikrofibril pada Kayu Sengon dan Kayu Jabon

Jumlah Segmen dari Empulur hingga Kulit

Jumlah Segmen dari Empulur hingga Kulit

Jumlah Segmen dari Empulur hingga Kulit

Jumlah Segmen dari Empulur hingga Kulit

Jumlah Segmen dari Empulur hingga Kulit

Jumlah Segmen dari Empulur hingga Kulit

(46)

31

(47)

32

(48)

33

(49)

34

(50)

35

(51)

36

(52)

37

(53)

38

(54)

39

(55)

40

(56)

41

(57)

42

(58)

43

Lampiran 18 Rata-Rata Pengukuran MFA Kayu Sengon Umur 5, 6, dan 7 Tahun

Segmen Umur

(59)

44

Lampiran 19 Rata-Rata Pengukuran MFA Kayu Jabon Umur 5, 6, dan 7 Tahun

Segmen Umur

(60)

45

Lampiran 20 Rata-Rata Kerapatan Kayu Sengon Umur 5, 6, 7 Tahun

Segmen Umur

(61)

46

Lampiran 21 Rata-Rata Kerapatan Kayu Jabon Umur 5, 6, 7 Tahun

Segmen Umur

(62)

47

Lampiran 22 Nilai Kadar Air Tiap Segmen Pada Kayu Sengon Umur 5, 6, dan 7 Tahun

UMUR SEGMEN BB BKU BKT KA

5 tahun

1 4,62 2,91 2,54 81,45 2 6,96 3,87 3,40 104,83 3 7,96 3,99 3,51 126,66 4 6,10 3,84 3,38 80,80 5 4,89 3,69 3,24 50,80

6 tahun

1 9,98 6,17 5,41 84,30 2 12,27 7,41 6,51 88,47 3 10,76 6,74 5,91 81,89 4 8,70 6,58 5,78 50,63 5 7,69 6,09 5,35 43,70

7 tahun

(63)

48

(64)

49

Lampiran 24 Nilai Susut Longitudinal Tiap Segmen Pada Kayu Sengon Umur 5, 6, dan 7 Tahun

Umur Segmen Waktu penyusutan Persentase

1 2 3 4 5 Penyusutan

5 tahun

1 5,35 5,34 5,02 5,00 5,29 1,03 2 5,42 5,42 5,42 5,41 5,37 0,83 3 5,42 5,42 5,42 5,41 5,38 0,65 4 5,42 5,42 5,41 5,41 5,40 0,37 5 5,52 5,52 5,52 5,52 5,51 0,18

6 tahun

1 5,03 5,03 5,03 5,03 4,99 0,89 2 5,04 5,04 5,03 5,04 5,01 0,69 3 5,09 5,09 5,09 5,08 5,06 0,59 4 5,17 5,17 5,17 5,17 5,16 0,29 5 5,21 5,21 5,21 5,21 5,21 0,10

7 tahun

(65)

50

Lampiran 25 Nilai Susut Longitudinal Tiap Segmen Pada Kayu Jabon Umur 5, 6, dan 7 Tahun

Umur Segmen Waktu penyusutan Persentase

(66)

51

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang, Bandar Lampung pada tanggal 20 Juni 1991 dari ayah Gito Trie Prabowo dan ibu H. Virda Liawati. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2009 penulis yang lulus dari SMA YP UNILA, Bandar Lampung diterima masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) yang kemudian diterima di Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Teknologi Peningkatan Mutu Kayu terpilih sebagai bidang keahlian penulis pada tahun 2011.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Koperasi Mahasiswa IPB periode tahun 2009-2010, dan sebagai anggota aktif divisi kewirausahaan Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) pada tahun. 2010-2012. Penulis juga aktif sebagai panitia diberbagai acara salah satunya sebagai sekretaris acara Pendidikan Dasar III Koperasi Mahasiswa IPB tahun 2009, anggota divisi carbon footprint IPB Green Living Movement tahun 2011, anggota divisi dana dan usaha Himasiltan Goes to Village tahun 2010, anggota dana dan usaha Himasiltan Dare to Care tahun 2012, dan sebagai komisi disiplin pada Masa Perkenalan Departemen Hasil Hutan (KOMPAK DHH 2011).

Pada tahun 2011 penulis melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) yang bertempat di Sancang Timur dan Gunung Papandayan, Jawa Barat. pada tahun 2012 penulis melaksanakan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Jawa Barat. Bulan Februari hingga April 2013 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang di Raisa House of Excellence, Jepara, Jawa Tengah. Selama masa kuliah penulis menerima beasiswa PPA dari tahun 2011 hingga 2012. Penulis juga aktif dalam kegiatan olahraga di Forester Cup dan memperoleh juara II pada cabang basket putri tahun 2011.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian dan menyelesaikan

Gambar

Gambar 1 Perubahan Kayu Juvenil Ke Kayu Dewasa dalam Konifer, Beberapa
Gambar 3 Kayu Juvenil dan Kayu Dewasa Dicirikan dengan Kenaikan Panjang
Gambar 6 Pohon Sengon (A) dan Jabon (B) masing-masing berumur 7 tahun
Gambar 7 Kurva Model Analisis Transisi Juvenil ke Dewasa dengan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan visualisasi Peta Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) di wilayah Kelurahan Lowokwaru berbasiskan mobile SIG dilakukan menggunakan data spasial berupa

Beberapa langkah berikut bisa menjadi alternatif ketika menghadapi tantrum ketiga tipe tantrum anak khususnya tantrum yang bersumber dari kurangnya keterampilan

Dari hasil analisis keeratan hubungan menunjukkan nilai odd ratio (OR) 0.024 yang berarti bahwa responden dengan indeks massa tubuh (IMT) yang berlebih mempunyai

Hal ini yang membuat penulis tertarik untuk meneliti tentang proses pembelajaran alat musik piano pada siswa tingkat dasar ( preparatory ), dengan menggunakan

Saran yang dapat disampaikan yaitu koperasi perlu meningkatkan pengetahuan anggota tentang koperasi dengan menyelenggarakan pelatihan tentang perkoperasian, koperasi

Aset tetap dan persediaan Perusahaan dan Anak Perusahaan, telah diasuransikan terhadap risiko kebakaran dan risiko lainnya berdasarkan suatu paket polis tertentu dengan

Percobaan ini dilakukan untuk mendapatkan perlakuan benih dan perendaman akar bibit dengan agens hayati yang efektif mengendalikan Xoo pada benih, bibit, tanaman,

Pengaruh peran suami dalam melakukan Pijat Oksitosin terhadap Kelancaran ASI pada Ibu Nifas Berdasarkan tabel 10 tabulasi silang Pengaruh Peran Suami Dalam Melakukan