• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Tulang Anak Tikus Betina Yang Induknya Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Selama 13–21 Hari Kebuntingan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkembangan Tulang Anak Tikus Betina Yang Induknya Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Selama 13–21 Hari Kebuntingan"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN TULANG ANAK TIKUS BETINA YANG

INDUKNYA DIBERI EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG

SELAMA 13

21 HARI KEBUNTINGAN

RIO TOPAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Perkembangan Tulang Anak Tikus Betina yang Induknya Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Selama 13–21 Hari Kebuntingan” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

RIO TOPAN. Perkembangan Tulang Anak Tikus Betina yang Induknya Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Selama 13–21 Hari Kebuntingan. Dibimbing oleh ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan PUDJI ACHMADI.

Tulang merupakan bagian dari sistem gerak yang menentukan performa dari hewan. Perkembangan tulang dimulai pada hari ke-10 kebuntingan pada saat organogenesis. Perkembangan tulang melalui proses proliferasi dan diferensiasi osteoblas yang diatur oleh growth factor seperti insulin like growth factor (IGF I dan II), bone morphogenic proteins (BMPs), fibroblast growth factor (FGF), dan flatelet-derived growth factor (PDGF) dan estrogen. Penelitian ini bertujuan menguji khasiat fitoestrogen pada akar purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap pertumbuhan tulang anak tikus betina. Penelitian ini menggunakan dua puluh ekor tikus bunting yang terdiri dari dua kelompok. Kelompok pertama terdiri atas sepuluh ekor tikus bunting yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng dengan dosis 25 mg/ml per 300 g bobot badan pada kebuntingan hari ke-13–21. Kelompok kedua terdiri atas sepuluh tikus bunting yang diberi air pada 13–21 hari kebuntingan sebagai kontrol. Anak tikus betina yang menjadi sampel diambil dari induk yang melahirkan anak dengan jumlah 8–9 ekor. Perkembangan tulang dari anak tikus diukur dari hari pertama kelahiran sampai dengan berusia tujuh minggu (49 hari). Hasil penelitian ini menyatakan bahwa, perkembangan tulang anak tikus betina yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng lebih panjang dibandingkan kelompok anak tikus kontrol.

Kata kunci: Fitoestrogens,purwoceng, tikus, dan tulang

ABSTRACT

RIO TOPAN. Bones Development of Female Pups During Administration of Extract Ethanol Purwoceng at 13rd–21st Days of Pregnancy. Supervised by ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS and PUDJI ACHMADI.

(5)

female pups were measured since the first day of delivery until seven weeks (49 days). The result of this research is female pups of purwoceng group had a longers bones than control group.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

PERKEMBANGAN TULANG ANAK TIKUS BETINA YANG

INDUKNYA DIBERI EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG

SELAMA 13

21 HARI KEBUNTINGAN

RIO TOPAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Alhamdulillahhirobbila’alamin puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia dan nikmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 sampai dengan Mei 2015 ini ialah khasiat ekstrak akar purwoceng, dengan judul Perkembangan Tulang Anak Tikus Betina yang Induknya Diberi Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Selama 13–21 Hari Kebuntingan.

Penulis menyampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Ibu Dr Drh Aryani Sismin Satyaningtijas MSc dan Bapak Drs Pudji Achmadi MSi selaku komisi pembimbing, yang senantiasa memotivasi dan membimbing penulis, kepada Bapak Edi, beserta staf Laboratorium Fisiologi Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB yang telah membantu kegiatan penelitian ini. Penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada ibu Semi Rahayu, ayah Joyo Suparto, serta kakak saya Ria Lestari dan Dedi Sopian atas segala dukungan, do’a-do’a disela-sela sujudnya, dan kasih sayangnya. Kepada teman-teman satu bimbingan skripsi Wahyu, Meycin, Enje, dan Maul. Penulis juga mengucapkan terimakasih atas do’a dan kasih sayang rekan-rekan satu perjuangan Ganglion terkhusus Citra Vetia Sari.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Hipotesis 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Purwoceng (Pimpinella alpina) 2

Klasifikasi dan Karakteristik Tikus Putih (Rattus norvegicus) 3

Tulang (Osteogenesis) 4

Estrogen 5

METODE 5

Tempat dan Waktu Penelitian 5

Alat dan Bahan 5

Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng 5

Tahap Persiapan Hewan 6

Tahap Perlakuan Hewan Coba 6

Tahap Pengamatan Hewan Coba 7

Analisis Statistik 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

SIMPULAN DAN SARAN 12

Simpulan 12

Saran 12

DAFTAR PUSTAKA 12

LAMPIRAN 16

(12)

DAFTAR TABEL

1 Nilai rataan panjang tulang anak tikus betina yang induknya diberi ekstrak etanol akar purwoceng selama hari 13 sampai dengan ke-21 kebuntingan

8

DAFTAR GAMBAR

1 Tanaman purwoceng 3

2 Tikus putih galur Sprague Dawley 3

3 Proses perkembangan tulang sejak masa embrional 4

4 Titik orientasi pengukuran panjang tulang 7

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil uji Duncan pada pengukuran panjang tulang kepala tikus 16 2 Hasil uji Duncan pada pengukuran panjang tulang punggung tikus 16 3 Hasil uji Duncan pada pengukuran panjang tulang kaki depan tikus 17 4 Hasil uji Duncan pada pengukuran panjang tulang kaki belakang

tikus

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tulang merupakan jaringan dengan konsistensi padat yang berfungsi sebagai penyusun kerangka dan tempat pembentukan sel-sel darah. Pada seekor hewan ada bermacam-macam bentuk tulang yaitu: tulang panjang, tulang pendek, tulang pipih, dan tulang tidak beraturan. Material tulang terdiri dari komponen penyusun yaitu bahan organik dan anorganik. Mineral seperti kalsium (Ca) dan fosfat (P) merupakan contoh dari materi anorganik, sedangkan komponen organik yaitu protein dan glikosamin (Sherwood 2004; Baron 2006). Tulang sudah terbentuk saat individu masih berada di dalam kandungan dan mengalami perkembangan setelah lahir dengan proses organogenesis (Theiler 1989).

Pembentukan jaringan tulang diistilahkan dengan proses osifikasi. Tahap osifikasi terdiri dari dua proses yaitu osifikasi intramembranous dan osifikasi endokondrial (intracartilagenosa). Pada osifikasi intramembranous atau osifikasi primer terjadi diferensial mesenkim nonskeletal membentuk tulang dermal, contohnya pembentukan tulang dari membran fibrosa dikepala menutupi bakal otak. Tahapan osifikasi endokondrial (intracartilaginosa) terjadi perubahan tulang rawan hialin embrio menjadi lebih keras konsistensinya. Kedua proses tersebut berlangsung pada saat fetus berada di dalam uterus (Samuelson 2007).

Proses osifikasi melibatkan berbagai komponen sel penyusun tulang, yaitu osteosit, osteoblast, dan osteoklas. Proses proliferasi dan diferensiasi osteoblas dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan (growth factor) yang dihasilkan osteoblas. Beberapa growth factor yang berperan yaitu insulin like growth factor (IGF I dan II), bone morphogenis proteins (BMPs), fibroblast growth factor (FGF), dan platelete-derived growth factor (PDGF) (Chen et al. 2004; Asahina et al. 2007). Menurut Houfbauer et al. (1999) dan Ogita et al. (2008) growth factor mempengaruhi perkembangan tulang dengan bekerja secara autokrin dan parakrin, serta dipengaruhi oleh adanya hormon estrogen. Guyton dan Hall (2007) menyatakan bahwa sel osteoblas merupakan target utama dari hormon estrogen untuk melepaskan beberapa growth factor.

(14)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) pada tikus bunting usia ke-13 sampai dengan 21 hari terhadap pertumbuhan panjang tulang anak tikus betina.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai khasiat tanaman purwoceng (Pimpinella alpina) dengan metode yang diberikan pada tikus betina bunting terhadap anak tikus berjenis kelamin betina (Rattus norvegicus).

Hipotesis

Hipotesis yang dapat ditarik berdasarkan latar belakang diatas adalah: H0 : Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) selama hari

ke-13 sampai dengan ke-21 masa kebuntingan tidak berpengaruh terhadap perkembangan panjang tulang anak tikus (Rattus norvegicus) betina yang dilahirkan.

H1 : Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) selama hari

ke-13 sampai dengan ke-21 masa kebuntingan berpengaruh terhadap perkembangan panjang tulang anak tikus (Rattus norvegicus) betina yang dilahirkan.

TINJAUAN PUSTAKA

Purwoceng (Pimpinella alpina)

Purwoceng (Pimpinella alpina) telah lama dikenal sebagai salah satu tanaman obat khas Jawa Tengah. Purwoceng tumbuh subur di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah pada ketinggian 2000 sampai 3000 m dpl. Tumbuhan ini dapat digunakan sebagai tanaman obat terutama bagian akarnya. Menurut Darwati dan Roostika (2006) tanaman purwoceng terbukti secara empirik berkhasiat sebagai afrodisiak, yaitu khasiat suatu obat yang dapat meningkatkan atau menambah stamina. Dalam akar purwoceng mengandung bergapten, isobergapten, dan sphondin yang semuanya termasuk kedalam kelompok furanokumarin, selain itu di dalam akar purwoceng juga mengandung senyawa kumarin, saponin, sterol, alkaloid, dan beberapa macam senyawa gula (Darwati dan Roostika 2006). Balitro (2011) menyebutkan bahwa melalui uji fitokimia pada purwoceng didapatkan zat-zat yaitu alkaloid, tannin, flavonoid, triterfenoid, steroid, dan glikosida.

(15)

3 mempercepat pertambahan bobot badan, bobot ovarium cenderung meningkat, dan uterus tikus betina bunting serta meningkatkan rasio jumlah titik implantasi dan korpus luteum.

(Sumber: Darwati dan Roostika 2006)

Klasifikasi dan Karakteristik Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Tikus putih yang selama ini sering dijadikan sebagai penelitian telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, relatif sehat dan cocok untuk berbagai penelitian (Malole & Pramono 1989). Tikus yang sudah menyebar keseluruh dunia dan digunakan secara luas untuk penelitian di laboraturium ataupun sebagai hewan kesayangan eksotik adalah tikus putih yang berasal dari Asia Tengah dan tidak ada hubungannya dengan Norwegia seperti yang digunakan pada nama latinnya (Malole & Pramono 1989). Tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rattus norvegicus, galur Sprague Dawley.

(Sumber: Dokumen penulis)

Terdapat lima macam “basic stock” tikus putih (Albino Normay rat, Rattus norvegicus) yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan yaitu Long Evans, Osborne Mendel, Sherman, Sprague Dawley, dan Wistar. Sprague Dawley memiliki ciri-ciri berwarna albino putih, berkepala kecil, dan ekornya lebih panjang daripada badannya. Long Evans memiliki ukuran badan yang lebih kecil dibandingkan dengan Sprague Dawley dan memiliki warna gelap pada bagian atas kepala dan pada bagian depan tubuh. Wistar berkepala dengan ukuran yang besar dan memiliki ekor yang relative lebih pendek (Baker et al. 1980).

Gambar 1 Tanaman purwoceng

(16)

4

Tulang (Osteogenesis)

Tulang mengalami perkembangan yaitu perubahan ukuran dan konsistensinya selama masa embrional sampai tahap dewasa. Pada tulang dengan bentuk panjang atau biasa disebut dengan tulang pipa, didalamnya terjadi proses pembentukan sel-sel darah merah. Secara anatomis tulang memiliki dua bagian yaitu epifise dan diafise. Perkembangan tulang panjang terjadi dibagian epifisi yaitu pada bagian kedua ujungnya.

(Sumber: Science source 2015)

Jaringan tulang secara berkala mengalami perbaharuan berupa proses remodeling. Proses ini terjadi secara kompleks yang melibatkan resopsi tulang diikuti pembentukan tulang baru. Remodeling tulang dilakukan untuk pengaturan homeostatis kalsium, memperbaiki jaringan yang rusak akibat pergerakan fisik, kerusakan minor akibat faktor stress, dan pembentukan kerangka pada masa pertumbuhan (Hill dan Orth 1998; Fernandez et al. 2006). Pada perkembangan tulang remodeling melibatkan osteoblas dan osteoklas melalui mekanisme signal parakrin dan autokrin. Osteoklas berfungsi dalam meresopsi tulang, sedangkan osteoblas menghasilkan matriks organik (protein kolagen dan nonkolagen) dan mengatur proses mineralisasi pembentuk dari osteoid. Osteoklas berkembang dari hematopoietic stem cells, sedangkan osteoblas berkembang dari osteoprogenitor yang tedapat dibagian dalam periosteum dan sumsum tulang (Orwoll 2003). Berdasarkan hasil penelitian Djuwita et al. (2012) proliferasi dan diferensiasi osteoblas menjadi osteosit dapat diinduksi dengan pemberian ekstrak batang Cissus quadrangula (Salibs.) dengan konsentrasi 0.6 mg/ml ke dalam medium kultur.

Metabolisme tulang melibatkan banyak faktor, namun demikian estrogen merupakan salah satu faktor yang cukup potensial terhadap pengaturan masa tulang (Monologas et al. 2002; Gennari et al. 2004). Pada tahap embrional sel osteoprogenitor yang merupakan jaringan penghubung memiliki kemampuan untuk melakukan mitosis. Sel ini berfungsi sebagai sumber sel baru dari osteoblas dan osteoklas (Compston 2002). Menurut Bord et al. (2001) dan McDougal et al. (2002) estrogen dapat meningkatkan aktivitas osteogenesis. Mahmudati (2011) melaporkan tentang peran estrogen atau fitoestrogen pada metabolisme tulang usia menopause dan menyimpulkan bahwa estrogen berpengaruh terhadap proses pembongkaran tulang dengan cara menghambat pematangan osteoklas sehingga bisa menghambat resopsi tulang.

(17)

5 Estrogen

Estrogen merupakan hormon golongan steroid yang memiliki fungsi untuk pertumbuhan dan diferensiasi organ reproduksi, selain itu juga merupakan faktor penting dalam pemeliharaan kesehatan tulang (Enmark et al. 1997). Estrogen dapat meningkatkan osteogenesis (Bord et al. 2001; McDougal et al. 2002). Hormon ini juga bekerja menekan aktivitas resopsi tulang sehingga dapat menghambat proses kerapuhan tulang. Aktivitas antiresoptif tersebut dapat pula dihasilkan melalui kerja estrogen pada osteoblas, yang secara tidak langsung mempengaruhi aktivitas osteoklas. Estrogen terbukti dapat mengurangi laju penurunan masa tulang dan risiko fraktur pada wanita yang mengalami osteoporosis. Menurut Sihombing et al. (2012) terapi sulih hormon yang digunakan untuk mengganti defisiensi estrogen ialah fitoestrogen, progesteron, selain itu juga kalsium dan vitamin D.

Aksi biologi estrogen dapat mempengaruhi faktor pertumbuhan yaitu insulin like growth factor 1 (IGF-1) sehingga terjadi reaksi silang antara IGF-1 dengan estrogen (Kato et al. 2000). Faktor pertumbuhan tersebut berperan pada proses proliferasi dan diferesiasi osteoblas. Insulin like growth factor 1 terdapat pada ekstrak tulang dari berbagai spesies dan diketahui sebagai salah satu mitogenik yang jumlahnya cukup banyak, baik pada fetus maupun tulang dewasa. Estrogen memiliki beberapa target organ dalam kerjanya yaitu: endometrium (Matsuzaki et al. 1999), uterus, oviduk, servik dan vagina (Wang et al. 2006), tulang, otak, pembuluh darah dan jantung, sistem imun, kulit, ginjal, dan paru (Wierman 2007).

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Februari 2015 sampai dengan Mei 2015 di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus, serbuk gergaji, ekstrak purwoceng, etanol 70%, NaCl 0.9%, dan akuades. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang tikus (kotak plastik dan kawat kasa berukuran 30 × 20 × 20 cm), botol minum tikus, spoit 1 cc, sonde lambung tikus, gelas objek, mikroskop, pewarna Giemsa, timbangan analitik digital, pipet, cotton swab, kapas, kain saring, kertas label, tabung Erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, pompa vacum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, oven, wadah porselin, termometer.

Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng

(18)

6

dipotong-potong untuk kemudian dihaluskan menggunakan blender hingga menjadi serbuk. Serbuk hasil blender kemudian ditimbang sebanyak 350 g kemudian direndam dalam 3.5 l etanol 70% sebagai zat pelarut selama 24 jam. Dilakukan pengadukan selama proses perendaman dalam 2 jam sekali. Hasil dari perendaman kemudian disaring dengan kain saring untuk diambil filtratnya.

Filtrat hasil penyaringan disimpan kedalam tabung Erlenmeyer, sedangkan ampasnya dilakukan perendaman kembali seperti tahap sebelumnya untuk mendapatkan hasil filtrat yang sama. Filtrat hasil penyaringan pertama dan kedua ditampung kedalam tabung Erlenmeyer berukuran 5 l. Filtrat tersebut kemudian diuapkan mengunakan rotary evaporator Buchi dengan suhu 48 °C pada kecepatan putaran permenit sebesar 60 rpm. Penguapan tersebut bertujuan untuk menguapkan bahan pelarut yaitu etanol 70%. Kandungan air pada hasil penguapan juga diuapkan dengan cara memasukkan bahan kedalam oven pengering pada suhu 45 °C selama 48 jam untuk menguapkan airnya. Hasil pengeringan tadi adalah ekstrak kental berwarna coklat. Ekstrak kental bisa disimpan di dalam botol kaca steril dan dapat diencerkan kembali dengan akuades jika ingin diujikan pada hewan coba sesuai dosis perlakuan. Dosis pada penelitian ini mengunakan larutan ekstrak etanol akar purwoceng sebesar 25 mg/ml per 300 g bobot badan tikus.

Tahap Persiapan Hewan

Tikus yang digunakan sebagai hewan coba dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) dengan galur Sprague Dawley sebanyak dua puluh ekor betina dan dua puluh ekor jantan. Tikus dipelihara di dalam kotak plastik berukuran 30 cm × 20 cm × 20 cm dengan kawat penutup yang dilengkapi dengan botol minum diatasnya. Serutan kayu diberikan sebagai alas tikus dengan ketebalan 2 cm. Pengantian sekam dan pencucian kandang dilakukan sebanyak satu kali dalam seminggu. Periode aklimatisasi ini dilakukan selama 3 minggu dengan melakukan pemeriksaan feses terhadap adanya cacing. Jika pada feses ditemukan adanya indikasi telur cacing maupun cacing dewasa, maka tikus tersebut ditukar dengan yang sehat. Pemeriksaan menggunakan metode preparat natif, yaitu dengan meneteskan NaCl fisiologis diatas gelas objek dan menambahkan beberapa bagian feses yang akan diperiksa kemudian diamati dibawah mikroskop. Tikus dikandangkan secara individu dengan pemberian pakan dan minum ad libitum.

Tikus kemudian dikawinkan untuk mendapatkan betina bunting yang akan digunakan sebagai perlakuan. Tikus jantan dikawinkan secara alamiah dengan seekor betina di dalam satu kandang yang sama. Pada hari selanjutnya dilakukan pengulasan vagina pada tikus betina. Jika pada ulasan vagina tersebut didapatkan banyak spermatozoa, maka pada hari tersebut diindikasikan telah terjadi perkawinan. Tikus betina bunting dikandangkan secara individu dengan pemberian pakan sebanyak 10% dari BB dan minum ad libitum.

Tahap Perlakuan Hewan Coba

(19)

7 yang masing-masing terdiri dari sepuluh ekor tikus bunting yang akan diberi ekstrak etanol akar purwoceng pada hari ke-13 sampai dengan hari kelahiran, sedangkan kelompok kontrol dicekok air mineral. Pemberian air mineral tersebut bertujuan agar kedua kelompok tersebut mendapatkan perlakuan yang sama, sehingga tingkat stres antara kedua kelompok sama. Ekstrak etanol akar purwoceng diberikan dengan dosis 25 mg/ml per 300 g bobot tikus betina. Dosis yang diberikan mengacu pada penelitian Nasihun (2009) mengenai kajian pengaruh ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina Molk) terhadap peningkatan indikator vitalitas pria dengan studi eksperimental pada tikus jantan Sprague Dawley. Tikus yang telah melahirkan kemudian dilakukan sexing untuk membedakan anak jantan dan betina. Anak tikus betina yang diukur panjang tulangya adalah anak yang lahir dari induk dengan jumlah rataan anak sebanyak 8–9 ekor per induk, bobot lahir berkisar antara 5–6 g, dan rasio perbandingan jumlah rasio antara jantan dengan betina yang mendekati.

Tahap Pengamatan Hewan Coba

Pengamatan dilakukan pada anak tikus yang berkelamin betina dengan cara mengukur panjang tulang kepala, tulang punggung, kaki depan, dan kaki belakang. Jumlah anak yang diamati sebanyak 9 ekor. Pengukuran dilakukan pada hari pertama kelahiran anak sampai dengan minggu ketujuh dengan pengulangan satu kali dalam seminggu. Pengukuran dikakukan dengan cara mengukur kepala dari huruf X sampai huruf Y, punggung mulai dari huruf q sampai huruf z, kaki depan a1 sampai a2, dan kaki belakang b1 sampai b2 (Hrapkiewicz dan Medina

1998).

(Sumber: Hrapkiewicz dan Medina 1998)

Keterangan gambar: X= hidung ;Y= os occipital ;Q= os atlas ; Z= os sacrum ; a1 = bagian proximal os scapula ; a2 = bagian distal kaki depan ; b1 = bagian proximal os femur ; b2 = bagian distal kaki belakang.

Analisis Statistik

Hasil parameter yang diukur dinyatakan dengan rataan dan simpangan baku. Perbedaan antar kelompok perlakuan diuji secara statistik dengan analisis sidik

(20)

8

ragam (ANOVA-Analysis of Variance) dan dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel dan Torrie 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) pada anak tikus betina terhadap panjang tulang disajikan pada Tabel 1. Secara umum pertumbuhan tulang dari anak tikus yang induknya dicekok ekstrak etanol akar purwoceng dengan dosis 25 mg/ml per 300 g BB selama hari ke-13 sampai dengan ke-21 kebuntingan lebih panjang dibandingkan tikus kontrol yang hanya diberi air. Dalam penelitian ini parameter panjang tulang kepala dilakukan pengukuran dari hidung sampai os occipital melalui os temporal, tulang punggung yaitu dari os atlas sampai os sacrum, kaki depan diukur dari os scapula bagian proximal sampai os phalanx 1 bagian distal, dan kaki belakang dari os femur bagian proximal sampai ke os phalanx 1 bagian distal (Hrapkiewicz dan Medina 1998).

Perbedaan panjang tulang pada kedua kelompok tikus ini mulai terlihat pada minggu ke-3 yaitu pada tulang kepala, minggu ke-4 pada kaki depan serta kaki belakang, dan minggu ke-5 pada tulang punggung. Data yang dihasilkan pada tulang kepala menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) pada minggu ke-3, 5, 6, dan 7. Pada tulang punggung menunjukkan hasil perbedaan yang nyata (P<0.05) pada minggu ke-5, 6, 7 dan pada kaki depan hasil perbedaan nyata Tabel 1 Nilai rataan panjang tulang anak tikus betina yang induknya diberi ekstrak

etanol akar purwoceng selama hari ke-13 sampai dengan ke-21

(21)

9 (P<0.05) terjadi pada minggu ke-4 dan 5. Kaki belakang menunjukkan hasil perbedaan yang nyata (P<0.05) pada minggu ke-4 dan 6.

Pertumbuhan tulang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, hormonal, diantaranya hormon pertumbuhan dan genetik (Rabbie dan Hagg 2003). Nutrisi termasuk salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tulang sejak prenatal. Protein merupakan jenis nutrisi yang mempengaruhi pertumbuhan tulang dengan cara menghambat diferensiasi seluler, merubah kecepatan sintesis unsur pokok matriks tulang yaitu protein kolagen dan nonkolagen yang masing-masing mempunyai peranan spesifik pada pembentukan tulang (Roughead 1991). Kekurangan protein akan menyebabkan perubahan pada timbunan asam amino, hal tersebut mengakibatkan hambatan reaksi sintesis protein sehingga menimbulkan hambatan juga dalam pembentukan matriks organik tulang (Roughead 1991). Tulang juga mengalami proses kalsifikasi, pada tahap ini mineral kalsium dan fosfor diendapkan di dalam mariks tulang. Jika terdapat hambatan dalam pembentukan matriks organik, maka akan terjadi hambatan juga dalam proses kalsifikasi tulang, sehingga terjadi penurunan kadar mineral tulang. Penyerapan mineral kalsium untuk meningkatkan masa dari tulang juga dipengaruhi oleh ketersediaan vitamin D di dalam tubuh (Jones et al. 2002). Tikus pada penelitian ini diberi pakan yang seragam untuk kelompok perlakuan dan kelompok kontrol guna meminimalisir perbedaan nilai parameter yang disebabkan faktor nutrisi dari pakan.

Proses pembentukan tulang atau osteogenesis dapat diklasifikasikan menjadi dua cara, yaitu osifikasi intramembranous dan osifikasi endokhondrial. Proses pembentukan tulang secara langsung dinamakan osifikasi intramembranous sedangkan proses pembentukan tulang yang diawali dari tulang rawan disebut osifikasi endokhondrial atau osifikasi intrakartilagos (Samuelson 2007). Bentuk tulang yang dibentuk pada osifikasi intramembranous adalah tulang-tulang pipih sedangkan osifikasi endokhondrial adalah tulang-tulang panjang. Osifikasi intramembranous terjadi selama pembentukan tulang tengkorak, os mandibula, dan os clavikula. Hasil pengukuran panjang tulang mengindikasikan bahwa tulang kepala pada anak tikus mengalami pertumbuhan lebih awal. Hal tersebut sesuai dengan bentuk tulang tengkorak yaitu tulang pipih dan mengalami osifikasi intramembranous yang memiliki pusat osifikasi menyebar ke beberapa arah membentuk trabecular (Jazrawi et al. 1998). Pada tulang kaki depan dan belakang yang terdiri dari tulang panjang mengalami osifikasi secara endokhondrial. Pada proses osifikasi endokhondrial dikenal pusat osifikasi primer pada diafisis dan pusat osifikasi sekunder di epifisis (Samuelson 2007). Pemanjangan tulang hanya berlangsung pada perbatasan antara diafisis dan epifisis. Hal ini dikarenakan hanya sel-sel kartilago dibagian inilah yang mampu berproliferasi. Osifikasi pertama kali terjadi didiafisis yaitu pusat osifikasi primer pada masa embrionik. Osifikasi sekunder berlangsung pada minggu-minggu setelah fetus lahir (Moore et al. 1990).

(22)

10

pada masa embrional. Sel osteoblas berperan pada pembentukan dan proses mineralisasi pada tulang. Sel ini menyintesis kolagen dan glycosaminoglycans (GAGs) dari matriks tulang. Osteoblas yang terbenam di dalam matriks tulang akan berubah menjadi sel osteosit. Osteosit akan tetap terhubung oleh osteblas maupun osteosit yang lainnya. Osteoklas berperan pada proses resorpsi tulang dan merupakan prekursor monosit atau makrofag. Tulang mengalami dua proses utama yaitu pertumbuhan (modeling) dan regenerasi (remodeling). Modeling mengarah ke proses perubahan ukuran dan bentuk tulang yang berlangsung sampai usia dewasa, sedangkan remodeling terjadi secara terus menerus dengan pengantian komponen tulang yang sudah lama (old bone) dengan yang baru (new bone) (Monologas 2000). Aktivitas seluler pada tulang untuk melakukan modeling dan remodeling dipengaruhi oleh hormon estrogen (Houfbauer et al. 1999; Ogita et al. 2008).

Menurut Balitro (2011) kandungan bahan aktif pada purwoceng yaitu alkaloid, tannin, flavonoid, triterfenoid, steroid, dan glikosida. Glover dan Assinder (2006) menyatakan bahwa alkaloid dan flavonoid memiliki sifat estrogenik yang dapat mempercepat pertumbuhan. Flavonoid yang bersifat estrogenik dapat berperan dengan menduduki reseptor estrogen di dalam tubuh dan menimbulkan efek seperti estrogen. Reseptor estrogen di dalam tubuh ada dua macam yaitu reseptor estrogen alfa (REα) dan reseptor estrogen beta (REβ). Steroid yang terkandung di dalam purwoceng dapat berperan sebagai prekursor hormon testosteron, yang kemudian diubah menjadi estrogen oleh enzim aromatase (Johnson dan Everitt 1984). Kandungan substrat mirip estrogen yang terdapat didalam suatu tumbuhan biasa diistilahkan fitoestrogen (Glover dan Asinder 2006). Berdasarkan hasil penelitian Mustafa (2011) pemberian ekstrak sipatah-patah yang mengandung fitoestrogen dengan dosis 750 mg/kgBB/hari peroral mulai umur 30 hari selama 150 hari dapat meningkatkan kualitas mikrostruktur dan fisiologi tulang yang ditandai dengan peningkatan densitas dari osteoblas dan menekan densitas osteoklas. Fitoestrogen melakukan kerja yang sama dengan estrogen di dalam tubuh dengan cara menduduki reseptor estrogen. Aksi reseptor estrogen terjadi melalui dua mekanisme yaitu: mekanisme genomik dan mekanisme nongenomik (Losel et al. 2003; Bjornstrom 2005). Aksi genomik terjadi pada reseptor estrogen yang berada di dalam nukleus, contoh terjadinya reaksi ini adalah pada sel osteoblas dalam mempengaruhi aktivitas osteogenesis (Almeida et al. 2006; Windahl et al. 2006). Aksi biologi estrogen genomik maupun nongenomik dapat mengaktivasi faktor pertumbuhan lain yaitu insulin like growth factor (ILGF 1) sehingga terjadi reaksi silang antara IGF 1 dengan estrogen (Kato et al. 2000). Insulin like growth factor 1 berperan pada proses proliferasi dan diferensiasi osteoblas yang terdapat pada fetus maupun tulang dewasa. Adanya pemberian fitoestogen menyebabkan meningkatnya jumlah osteoblas dari anak tikus, yang secara makrokopis menyebabkan meningkatnya ukuran panjang tulang pada kelompok tikus perlakuan.

(23)

11 Perkembangan embrio hari ke-14 terjadi pemisahan pada bagian jari-jemari tangan. Hari kebuntingan ke-15 terjadi pemisahan antara os metacarpale dengan os phalanx. Perbedaan juga mulai terlihat antara os tibia, os tallus, os calcaneus, os cuboid, dan os metatarsale pada kaki belakang, sedangkan pada kaki depan terjadi pada os radius, os scaphoid-lumbar, dan metacarpale III. Tulang tengkorak mengalami osifikasi diawali pada bagian os temporal . Perkembangan embrio hari ke-16 pada kaki depan jari ke-2 sampai dengan 5 merapat secara pararel antar satu dengan yang lainnya. Panjang ekstrimitas pada saat ini berkisar 14 sampai dengan 18 mm. Pada hari ke-17 proses osifikasi dari os vertebrae mulai terjadi pada bagian thoraks. Sumbu pada bagian pusat dari tubuh akan segera terlihat pada tahap ini. Pada hari ke-18 terjadi pengabungan menuju arah pusat dari os supraocipitale. Semua tahapan osifikasi tubuh telah terbentuk semua pada hari ke-19. Osifikasi pada bagian thoraks mengalami perkembang yang sempurna pada tahap ini. Pada kaki depan dan kaki belakang semua oss phalanx terbentuk. Oss metacarpale dan os metatarsale sudah terbentuk juga sebelumnya (Theiler 1989). Pemberian senyawa estrogenik pada tahap awal perkembangan tulang dapat mempengaruhi proses perkembangan seluler berupa modeling dari tulang tersebut. Menurut Kim et al. (1998) ikatan antara isoflavon dan reseptor β akan mengakibatkan terjadinya diferensiasi osteoblas melalui aktivitas transforming growth factor β (TGF-β). Transforming growth factor β berperan sebagai mediator untuk menarik sel osteoblas ke lubang tulang yang telah diserap oleh osteoklas. Kandungan isoflavon yang ada pada purwoceng mampu mengikat reseptor β dalam osteoblas dan menstimulasi proliferasi osteoblas (Yamaguchi 2002; Song et al. 2011). Transforming growth factor β merupakan merupakan salah satu protein yang berfungsi sebagai faktor pertumbuhan yang berperan dalam proliferasi, determinan, diferensiasi, motilitas, dan kematian sel. Kerja enzim tirosin kinase juga akan dipengaruhi oleh adanya Transforming growth factor β sehingga meningkatkan pertumbuhan dan diferensiasi sel (Massague 1998). Mekanisme perubahan dari osteoblas karena paparan dari fitoestrogen pada penelitian ini secara makroskopik terlihat dengan meningkatnya ukuran dari tulang anak tikus pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol.

(24)

12

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) dengan dosis 25 mg/ml per 300 g BB selama hari ke-13 sampai dengan ke-21 hari kebuntingan dapat meningkatkan perkembangan ditandai dengan peningkatan ukuran panjang tulang anak tikus betina yang dilahirkan sampai usia dewasa kelamin.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melakukan pemeriksaan mikroskopik pada tulang tikus yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina).

DAFTAR PUSTAKA

Almeida A, Han L, Brien CAO, Kousteni S, Monologas SC. 2006. Classical genotropic versus kinase regulated of gene transcription by the estrogen receptor alfa. Endocrinology. 147(4): 1986–1996.

Anggraini W. 2008. Fitoestrogen sebagai alternatif alami terapi sulih hormon untuk pengobatan osteoporosis primer pada wanita pascamenopouse. M I Kedokteran Gigi. 23(1): 27–29.

Asahina AH, Yamazaki Y, Uchida M, Shinohara Y, Honda MJ, Kagami H, Ueda M. 2007. Effective bone engineering with peritoneum-derived cells. J Dental Res. 86(1): 79–83.

Baker DEJ, Lindsey JR, Weisborth SH. 1980. The laboratory rat: Research Application Vol 2. London (GB): Academic Pr Inc.

Balitro. 2011. Laporan Hasil Uji Fitokimia Purwoceng. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor (ID).

Baron R. 2006. Anatomy and ultrastruktur of bone histogenesis, growth and remodeling [Internet].[Diunduh 2015 May 10]. Tersedia pada: http://www.endotext.org.

Bjornstrom L dan Sjoberg M. 2004. Estrogen receptor dependent activation of AP-1 via non genomic signaling. Biomed Central. 2: 1–3.

Bord S, Horner A, Beavan S, Compson J. 2001. Estrogen receptor alfa and beta are differentially expressed in developing human bone. Journal of Clinical Endocrinology and Metabol. 86(5): 2309–2314.

Chen D, Zhao M, Mundy GR. 2004. Bone morphogenetic proteins. Growth Factors. 22: 233–241.

Compston JE. 2001. Sex steroid and bone. Physiol Rev. 81: 419–447.

(25)

13 Deftos. 2002. Calcium and phosphate homeostatis [Internet]. [Diunduh 2015 May

10]. Tersedia pada: http://www.endotext.org.

Djuwita I, Irma AP, Adi W, Mustafa S. 2012. Proliferasi dan diferensiasi sel tulang tikus dalam media kultur in vitro yang mengandung ekstrak batang Cissus quadrangula Salisb. (sipatah-patah). J Med Vet Indones. 6(2): 75– 80.

Enmark E, Huikko Mp, Grandien KLS, Lagercrantz J, Fied G, Nordenskjold, Gustafsson JA. 1997. Human estrogen receptor beta gene structure, chromosomal localization, and expression patten. The Journal of Clinical Endokrinologi and Metabolisme. 62(12): 4258–4265.

Fernandez, Gracia MAA, Pingarron MC, Jarez LB. 2006. Physiological bases of bane regeneration II. The remodeling process. Med, Oral Patol, Cir, Bucal. 11: 151–157.

Gennari L, Nuti R, Bilezekian JP. 2004. Aromatase activity and bone homeostatis in men. J Clin Endokrinol Metab. 89: 58898–5907.

Glover A dan Asinder SJ. 2006. Acute exposure of adult male rats to dietary phytoestrogen reduces fecundity and alters epididymal steroid hormone receptor expression. J Endocrinol. 189: 565–573.

Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed ke-11. Irawati, Ramadhani D, Indriyani F, Dany F, Nuryanto I, Rianti SSP, Resmisari T, Suyono YJ, penerjemah; Rachman LQ, Hartanto H, Novrianti A, Wulandari N, editor. Jakarta (ID): EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical physiology, 11th ed.

Hill PA, Orth . 1998. Bone remodeling. British Journal of Orthodontic. 25: 101– 107.

Houfbauer LC, Khosla S, Dunstn CR, Lacey DL, Spelsberg TC, dan Riggs BL. 1999. Estrogen stimulates gene expression and protein production of osteoprotegin in human osteoblastic cells. Endocrinology. 140: 4367– 4370.

Hrapkiewicz K, Medina L. 1998. Cinical Laboratory Animal Medicine: An Introduction. Iowa State University Press: State Avenue.

Jazrawi L, Majeska R, Klein M, Kagel E, Stromberg L, Einhorn T. 1998. Bone and cartilage formation in an experimental model of distraction osteogenesis. J Orthop Traum. 12: 111–116.

Johnson M, Everitt B. 1984. Essential Reproduction. 2nd Ed.London (GB): William Clowes Limited.

Jones DH, Kong YY, Penninger JM. 2002. Role of RANKL and RANK in bone loss and arthritis. Ann Rheum Dis. 2: 1132–1141.

Karsenty G. 2009. Transcriptional control of osteoblast differentiation: The skeletal system. 1: 2005–2018.

Kato S, Masuhiro Y, Watanabe M, Kobayashi Y, Takeyama K, Endok H, Yanagisawa J. 2000. Molecular mechanis of a cross-talk between estrogen and growth factor signaling pathways. Genes to Cell. 5: 593–601.

(26)

14

Losel RM, Falkeinstein E, Feuring M, Schultz A, Tillman HM, Haseroth KR, Wehlin. 2003. Nongenomic steroid action; Controversies, questions, and answers. Physiol Rev. 83: 965–1016.

Mahmudati N. 2011. Kajian biologi molekuler peran estrogen/fitoestrogen pada metabolisme tulang usia menopause. Didalam: Seminar Nasional VII Pendidikan Biologi. Malang (ID): Universitas Muhammadiyah Malang pr. Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Pengunaan Hewan-Hewan Percobaan di

Laboraturium. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Bioteknologi-Institut Pertanian Bogor.

Matsuzaki, Fukaya T, Suzuki T, Murakam T, Sasono H, Yajima A. 1999. Estrogen receptor alfa and beta mRNA expression in human endometrium throught menstrual cycle. Molecular Human Reproduction. 5(6): 559–564. Messague J. 1998. TGF-β signal transduction. Annu Rev Biochem. 67: 753–791. McDougal KRM, Peri MJ, Gibson HI, Bright JM, Colley SM, Hodgin JB,

Smithies O, Tobias JH. 2002. Estrogen induce osteogenesis in intac female mice lacking ER beta. J Physiol Endocrinol Metab. 283: 817–823.

Monologas SC, Kousteni, Jilka. 2002. Sex steroid and bone. Recent in Hormon Research. 57: 385–409.

Moore RN, Moyer BA, Dubois LM. 1990. Skeletal maturation and craniofacial growth. J Am Orthod. 98(1): 33–40.

Mustafa S, Nurhidayat, Sigit K, Priosoeryanto BP, Manalu W. 2011. Kualitas tulang tikus betina normal yang diberi ekstrak sipatah-patah pada masa pertumbuhan. J Sains Vet. 12 (2): 113–119.

Nasihun T. 2009. Pengaruh pemberian ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina Molk) terhadap peningkatan indikator vitalitas pria (studi eksperimental pada tikus jantan Sprague Dawley. J Sains Medika. 1(1): 53–62.

Ogita M, Rached MT, Dworakowski, Bilezikian JP, Kousteni. 2008. Differentiation and proliferation of perioteal osteoblast progenitors are differentially regulated by estrogens and intermittent parathyroid hormone administration. Endocrinology. 149(11): 5713–5723.

Orwoll ES. 2003. Toward an expanded understanding of the role of the periosteum in skeletal health. J Bone Miner Res. 18: 949–954.

Rabbie ABM, Hagg U. 2003. Factors regulating mandibular condylar growth. J Am Orthod Dentofac Orthop. 122(4): 401–410.

Roughead ZK, Kunkel ME. 1991. Effect of diet on bone matrix constituents. J Am Nutr. 10(3): 242–248.

Samuelson DA. 2007. Text Book of Veterinary Histology. China (CN): Elsevier. Satyaningtijas AS et al. 2014. Kinerja reproduksi tikus bunting akibat pemberian

(27)

15 Steel RD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principles and Procedures of Statistics.

Theiler K. 1989. The House Mouse: Atlas of Embriogenic Development. New York (US): Springer-Verlag.

Wang CY, Zhang ZT, Shen P, Loggie BW, Chang YC, Deuel TF. 2006. A varian of estrogen receptor hER36; transduction of estrogen and antiestrogen-dependent membrane initiated motogenic signaling. PNAS. 103(24): 9063–9068.

Weirman ME. 2007. Sex steroid effects at target tissue: Mechanism in action. Ad Physol Educ. 31: 26–33.

Windahl SH, Galien R, Lacroix PC, Morvan F, Lepes HL, Neqeu F, Home WC, Rigon MR, Baron R. 2006. Bone protection by estrin occure trough non tissue selective activation of androgen receptor. J Clint Invest. 116: 2500– 2509.

(28)

16

LAMPIRAN

Tabel 2 Hasil uji Duncan pada pengukuran panjang tulang kepala tikus Faktor_

(29)

17

Tabel 4 Hasil uji Duncan pada pengukuran panjang kaki depan kepala tikus Faktor_

(30)

18

K-M4 9 4.0556

K-M5 9 4.5778

P-M4 9 4.5889

P-M5 9 4.8556 4.8556

K-M6 9 5.2667 5.2667

K-M7 9 5.5556 5.5556

P-M6 9 5.7000 5.7000

P-M7 9 5.8778

(31)

19

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1 Tanaman purwoceng
Gambar 2 Proses perkembangan tulang sejak masa embrional (Sumber: Science source 2015)
Gambar 4  Titik orientasi pengukuran panjang tulang
Tabel 1 Nilai rataan panjang tulang anak tikus betina yang induknya diberi ekstrak etanol akar purwoceng selama  hari ke-13 sampai dengan ke-21 kebuntingan
+3

Referensi

Dokumen terkait

PERAN MOTIVASI KERJA DALAM MEMEDIASI PENGARUH PRAKTIK KERJA INDUSTRI DAN PRESTASI AKADEMIK TERHADAP KESIAPAN KERJA STUDI KASUS PADA SISWA KELAS XI AKUNTANSI DI SMK PALEBON

Maka saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah (1) Guru seni musik dapat menggunakan media iringan MIDI dalam proses pembelajaran vokal untuk meningkatkan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pengetahuan dan sikap remaja tentang keamanan makanan jajanan antara sebelum dan sesudah pendidikan dengan media

uji coba skala kecil ini dilakukan dengan memberikan angket tanggapan terhadap modul kimia berbasis masalah yang bertujuan untuk mengetahui kesiapan produk sebelum diuji cobakan

Pada era saat ini jaminan kesehatan sangat penting untuk masyarakat yang ada di indonesia nantinya diharaapkan semua warga indonesia sedah memiliki jaminan kesehatan jaminan

Untuk saat ini yang menjadi masalah utama pada keluarga Bapak I Dewa Nyoman Kerug pada masalah pendapatan yang tidak mencukupi karena Bapak I Dewa Nyoman Kerug

Pada tahun 2012 atau sebelum dibukanya Jalan Lingkar Selatan, Kecamatan Pati termasuk kedalam golongan macet karena karakteristik tingkat LOS rata-rata pada kelas E yang artinya

Dari uraian di atas, penulis selaku kepala sekolah melakukan terobosan untuk menyikapi sekaligus memperbaiki pola-pola pemikiran yang salah dengan memberikan