• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daya Saing Ubi Kayu Olahan Kering Indonesia di Pasar Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Daya Saing Ubi Kayu Olahan Kering Indonesia di Pasar Internasional"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

DAYA SAING UBI KAYU OLAHAN KERING INDONESIA

DI PASAR INTERNASIONAL

DIAN NAHRO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Daya Saing Ubi Kayu Olahan Kering Indonesia di Pasar Internasional” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2014

(4)
(5)

ABSTRAK

DIAN NAHRO. Daya Saing Ubi Kayu Olahan Kering Indonesia di Pasar Internasional. Dibimbing oleh DWI RACHMINA.

Indonesia merupakan negara pengekspor ubi kayu terbesar ketiga di dunia, setelah Thailand dan Vietnam. Lebih dari 80 persen ubi kayu olahan kering Indonesia diekspor ke Cina. Produktivitas ubi kayu Indonesia terus meningkat dengan laju sekitar 5.22 persen/tahun, tetapi total volume ekspornya cenderung menurun dengan dengan laju -4.40 persen/tahun.

Penelitian ini bertujuan menganalisis perkembangan pangsa pasar ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia ke negara tujuan serta menganalisis keunggulan komparatif ubi kayu olahan kering Indonesia di pasar Internasional. Data yang digunakan berupa time series tahun 2004-2011. Alat analisis yang digunakan yaitu Revealed Comparative Advantage (RCA).

Pangsa pasar ubi kayu olahan kering Indonesia di Cina berkisar 1 hingga 8 persen (2001-2013), dengan laju pertumbuhan sebesar -8 persen/tahun. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia cenderung menurun. Saat ini, Indonesia hanya menguasai sekitar 1 persen pasar ubi kayu olahan kering di Cina. Pesaing terbesar ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia yaitu Thailand.

Ubi kayu Indonesia memiliki keunggulan komparatif di pasar internasional (2004-2011), dilihat dari nilai RCA yang lebih besar dari 1. Nilai RCA ubi kayu Indonesia berkisar antara 8.40 (2004) hingga 18.38 (2010).

Kata kunci: Ubi kayu, daya saing komparatif, RCA

ABSTRACT

DIAN NAHRO. The Competitiveness of Cassava Dried Indonesia in Internasional Trade. Supervised by DWI RACHMINA.

Indonesia is the third largest exporter of cassava dried in the world. More than 80 percent of Indonesia’s cassava dried product are exported to China. Inspite of the productivity of Indonesia cassava that is increasing in rate of 5.22 percent per year, the export volume has decreased in rate of -4.4 percent per year.

The purpose of this study is to analyze the market share behavior and the comparative advantage of Indonesia cassava dried product in the International market. The time series data used in this study and the Revealed Comparative Advantage (RCA) method used to analyze the data.

Market share of cassava dried Indonesia in China around 1 to 8 percent (2001-2013), with -8 percent/year growth rate. It means Indonesia market share has dropped. Currently, Indonesia cassava dried market share in China around 1percent. Thailand is the biggest competitor of cassava dried Indonesia

Cassava dried Indonesia has a comparative advantages in the international market (2004-2011), depend on RCA value which is more than 1. The RCA value of cassava dried Indonesia around 8.40 (2004) to18.38 (2010).

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

DAYA SAING UBI KAYU OLAHAN KERING INDONESIA

DI PASAR INTERNASIONAL

DIAN NAHRO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulai Mei 2014 dengan topik mengenai daya saing, yang berjudul Daya Saing Ubi Kayu Olahan Kering Indonesia di Pasar Internasional.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Dwi Rachmina, MSi selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan waktu, arahan, dan saran hingga selesainya skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr Ir Netti Tinaprila, MM selaku dosen evaluator kolokium , Bapak Dr Amzul Rifin, SP, MA selaku dosen penguji utama, serta Ibu Tintin Sarianti, SP, MM selaku dosen penguji akademik yang telah memberikan saran . Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, suami, serta seluruh keluarga dan teman-teman, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2014

(11)
(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 7

Ruang Lingkup Penelitian 8

TINJAUAN PUSTAKA 8

Bentuk Olahan Ubi Kayu 8

Daya Saing Olahan Ubi Kayu 9

Perkembangan Ubi Kayu di Asia 10

Metode Pengukuran Daya Saing 11

KERANGKA PEMIKIRAN 12

Kerangka Pemikiran Teoritis 12

Teori Daya Saing 12

Teori Perdagangan Internasional 12

Teori Keunggulan Absolut Adam Smith 14

Teori Keunggulan Komparatif David Ricardo 14

Teori Keunggulan Kompetitif 15

Teori Heckscher-Ohlin (H-O) 15

Kerangka Pemikiran Operasional 16

METODE PENELITIAN 18

Jenis dan Sumber Data 18

Metode Analisis dan Pengolahan Data 18 HASIL DAN PEMBAHASAN 19 Gambaran Umum Ubi Kayu 19 Kebutuhan Ubi Kayu dalam Negeri 20 Teknologi Peningkatan Produksi 21 Perkembangan Ekspor Ubi Kayu Indonesia 23

(13)

Perkembangan Pangsa Pasar Ekspor Ubi Kayu Indonesia

di Negara Tujuan 26

Daya Saing Ubi Kayu di Pasar Domestik 30 Keunggulan Komparatif Ubi Kayu Indonesia di Pasar Dunia 32

SIMPULAN DAN SARAN 36

Simpulan 36

Saran 36

DAFTAR PUSTAKA 37

LAMPIRAN 39

DAFTAR TABEL

1 Penggunaan ubi kayu di Indonesia Tahun 2007-2011 2 2 Luas panen, produktivitas dan produksi ubi kayu di Indonesia

Tahun 2007-2011 2

3 Luas panen, produktivitas dan produksi ubi kayu di lima

Provinsi di Indonesia 3

4 Nilai dan jumlah ekspor ubi kayu Indonesia tahun 2004-2011 5 5 Total volume ekspor ubi kayu primer di Thailand, Vietnam, dan

Indonesia tahun 2004-2011 7

6 Total ekspor tiga negara eksportir terbesar dunia tahun 2004-2011 20 7 Rekomendasi lokasi areal tanam dan potensi pengembangan

produksi ubi kayu 23

8 Perkembangan total ekspor ubi kayu Indonesia tahun 1989-2013 24 9 Negara tujuan ekspor ubi kayu Thailand tahun 2004-2011 25 10 Negara tujuan ekspor ubi kayu Vietnam tahun 2004-2008 26 11 Negara tujuan ekspor ubi kayu Indonesia tahun 2005-2013 27 12 Rata-rata volume ekspor, harga jual, dan laju pertumbuhan

ekspor ubi kayu Indonesia ke Cina tahun 1989-2013 27 13 Rata-rata volume ekspor, harga jual, dan laju pertumbuhan

ekspor ubi kayu Indonesia ke Korea tahun 1989-2013 28 14 Pangsa pasar ekspor ubi kayu di pasar Cina dari negara

eksportir terbesar tahun 2000-2013 29

15 Laju pertumbuhan pangsa pasar ubi kayu Indonesia di Cina

tahun 1989-2013 29

(14)

DAFTAR GAMBAR

1 Kurva perdagangan internasional 13

2 Kerangka pemikiran operasional 17

3 Share ekspor ubi kayu olahan kering terhadap total ekspor komoditi

pangan 30

4 Perkembangan pangsa pasar ubi kayu olahan kering Indonesia di Cina 33 5 Perkembangan impor ubi kayu olahan kering di Cina 33 6 Nilai ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia 34

DAFTAR LAMPIRAN

1 Negara tujuan ekspor ubi kayu Indonesia tahun 2013 39 2 Nilai ekspor komoditi ubi kayu di tiga negara eksportir

Terbesar dan dunia tahun 2004-2011 (US$) 40 3 Total ekspor komoditi pangan (beras, jagung, kedelai, ubi kayu,

Ubi jalar) di empat negara ekpsortir dan dunia tahun 2004-2011 (US$) 40 4 Nilai RCA tiga negara eksportir terbesar ubi kayu tahun 2004-2011 40 5 Varietas unggul ubi kayu yang telah dilepas di Indonesia

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) atau yang lebih dikenal dengan nama singkong, merupakan tanaman pangan yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Tanaman ini berasal dari Brazil, Amerika Selatan, menyebar ke Asia pada awal abad ke- 17. Kemudian menyebar ke Asia tenggara, termasuk Indonesia. Produsen terbesar ubi kayu dunia yaitu Nigeria, namun bukan merupakan negara pengekspor terbesar dunia. Thailand merupakan negara pengekspor ubi kayu kering terbesar dunia, disusul oleh Vietnam, Indonesia, dan Kosta Rika (FAO, 2011). Indonesia menempati urutan keempat sebagai produsen terbesar ubi kayu di dunia setelah Nigeria, Thailand, dan Brazil (FAO, 2011).

Menurut FAO (2011), ubi kayu mampu memenuhi kebutuhan pangan bagi lebih dari 500 juta penduduk dunia dan menjadi tumpuan hidup bagi berjuta-juta petani dan para pelaku bisnis ubi kayu dunia. Hampir 60 persen produksi ubi kayu berada di Nigeria, Thailand, Brazil, Indonesia, dan Kongo. Ubi kayu merupakan komoditi pangan yang penting dalam mengatasi kelaparan dan kemiskinan dunia terutama di negara-negara berkembang. Thailand merupakan negara yang berhasil mengubah image ubi kayu, menjadi komoditi yang penting di dunia. Terutama setelah China menggunakannya sebagai biofuel selain sebagai bahan pelengkap pangan.

Selain sebagai bahan pangan, ubi kayu juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri dan pakan ternak. Ubinya mengandung air sekitar 60 persen, pati 23-35 persen, serta protein, mineral, serat, kalsium, dan fosfat. Pati ubi kayu digunakan sebagai bahan baku pangan maupun non pangan seperti kertas, tekstil, polywood, lem, dan alkohol. Pada awalnya ubi kayu dijadikan sebagai tanaman cadangan pangan apabila terjadi kelaparan. Namun, saat ini ubi kayu lebih banyak digunakan sebagai bahan baku berbagai produk pangan dan industri. Ubi kayu sangat potensial dijadikan salah satu komoditas utama sumber pangan dan energi terbarukan.

Ubi kayu memiliki beberapa keunggulan dibandingkan tanaman lainnya yaitu:

a. Ubi kayu dapat tumbuh pada lahan kering dan kurang subur. b. Lebih tahan terhadap hama dan penyakit.

c. Dapat dipanen sewaktu-waktu, sehingga dapat diolah menjadi beragam makanan utama maupun makanan ringan.

d. Ubi kayu merupakan sumber kalori yang cukup tinggi. e. Resiko kegagalan relatif kecil.

f. Biaya produksi relatif rendah. g. Hasil olahannya sangat bervariasi

(16)

2

persen. Sedangkan, laju pertumbuhan produksi ubi kayu Indonesia di tahun yang sama sekitar 4,80 persen (Tabel 1).

Tabel 1 Penggunaaan Ubi Kayu di Indonesia Tahun 2007-2011

Uraian 2007 2008 2009 2010 2011*)

A.Penggunaan (000 ton)

19 989 21 756 22 039 23 917 24 044

1. Pakan 400 435 441 478 481

2. Bibit - - - - -

3. Diolah untuk :

- makanan 15 156 14 553 12 231 12 315

- bukan makanan - - - -

4. Tercecer 426 463 469 509 512

5. Bahan Makanan 4 007 20 858 6 576 10 699 10 736 Sumber: Pusdatin, 2012

*)

: angka sementara

Produktivitas ubi kayu Indonesia periode 2007-2011 cenderung naik dengan laju 5.22 persen/tahun (Tabel 2). Hal tersebut dikarenakan teknik budidaya yang semakin baik serta penggunaan bibit unggul. Berdasarkan Tabel 2, laju pertumbuhan luas panen ubi kayu di Indonesia sebesar – 0.34 persen, menunjukkan kecenderungan menurun. Menurunnya luas panen ubi kayu nasional disebabkan oleh penggunaan lahan yang semakin terbatas karena harus bersaing dengan komoditi pangan lainnya.

Tabel 2 Luas panen, produktivitas dan produksi ubi kayu di Indonesia tahun 2007-2011

Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ton/Ha) Produksi (Ton)

2007 1 201 481 16.6 19 988 058

2008 1 204 933 18.1 21 756 991

2009 1 175 666 18.7 22 039 145

2010 1 183 047 20.2 23 918 118

2011 1 184 696 20.3 24 044 025

Laju(%/tahun) 5.22 4.80

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012

Ubi kayu dapat tumbuh hampir di seluruh wilayah Indonesia. Namun, pengembangannya dalam skala agribisnis memerlukan berbagai faktor pendukung yang terdapat pada masing-masing daerah (provinsi, kabupaten/kota). Faktor pendukung tersebut diantaranya luas areal panen, tersedia atau tidaknya perusahaan atau industri yang akan menampung dan mengolah ubi kayu, permintaan pasar, akses transportasi, tenaga kerja, dan lainnya. Hal tersebut sangat penting karena suatu daerah yang akan dialokasikan menjadi sentra produksi harus merupakan satu kesatuan dengan pembangunan daerah dan

(17)

3

diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat sekitar serta para pelaku agribisnis (Dirjen Tanaman Pangan, 2012).

Batasan provinsi sentra ubi kayu yaitu provinsi yang mempunyai rata-rata luas panen selama 5 tahun lebih dari 50 000 ha untuk Pulau Jawa dan lebih dari 25 000 ha untuk luar pulau Jawa. Provinsi yang merupakan sentra produksi ubi kayu diantaranya Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera Utara (Tabel 3). Lampung merupakan produsen ubi kayu terbesar Indonesia, berkontribusi sebesar 20 persen dari total produksi nasional. Luas panen dan produksi ubi kayu di Lampung cenderung meningkat berbeda dengan di Jawa yang semakin menurun. Sehingga Lampung menjadi andalan pemasok ubi kayu nasional. Saat ini, ubi kayu juga banyak dikembangkan di wilayah timur Indonesia seperti di Sulawesi (Kemenperin, 2013).

Berkembangnya industri-industri pengolahan berbahan baku ubi kayu di Lampung merupakan salah satu penyebab banyak petani yang membudidayakan ubi kayu. Selama ini petani ubi kayu di Lampung menjual produknya ke pabrik pengolahan ubi kayu terdekat. Sehingga, harga yang diterima petani sangat tergantung dengan harga beli pabrik. Petani tidak mempunyai posisi tawar dan fluktuasi harga menjadi risiko yang harus ditanggung petani.

Perkembangan harga rata-rata ubi kayu di tingkat nasional selama tahun 2010-Juni 2014 terus mengalami peningkatan. Rata-rata peningkatan harga ubi kayu pada tahun 2010 sebesar 1.43 persen, tahun 2011 sebesar 1.87 persen, tahun 2012 sebesar 0.90 persen dan tahun 2013 sebesar 0.99 persen. Peningkatan harga tertinggi terjadi di bulan November 2011 mencapai 14.46 persen. pada bulan Juni 2014 terjadi peningkatan harga ubi kayu sebesar 0.20 persen, menjadi Rp5 155 /kg. Harga rata-rata ubi kayu pada bulan Juni 2014, di 13 ibukota provinsi di Indonesia, berkisar antaraRp1 700/kg (Bandar Lampung, Lampung) hingga Rp5 994 /kg (Ternate, Maluku Utara) (Pusdatin, 2014).

Saat ini, terdapat 66 pabrik tapioka yang tersebar di wilayah sentra. Di Lampung, angka pertumbuhan produksi ubi kayu yang tertinggi tejadi pada 2003 sebesar 43.6 persen. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya luas panen ubi kayu. Hal ini terkait dengan peningkatan harga ubi kayu tahun sebelumnya. Sehingga, petani berusaha meningkatkan produksi ubi kayu (Balitkabi, 2010).

Tabel 3 Luas panen, produktivitas dan produksi ubi kayu di lima provinsi di Indonesia di tahun 2013

Provinsi Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/ha) Produksi (ton)

Sumatera Utara 37 929 288 1 091 711

Lampung 368 096 250 9 193 676

Jawa Barat 103 244 199 2 058 785

Jawa Tengah 173 195 202 3 501 458

Jawa Timur 199 407 202 4 032 081

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014

(18)

4

1. Rendahnya minat petani melakukan budidaya ubi kayu, dikarenakan rendahnya insentif yang diperoleh bila dibandingkan dengan komoditas lainnya.

2. Persaingan penggunaan sumber daya lahan dengan komoditas lain. 3. Pola tanam belum diterapkan dengan maksimal.

4. Rendahnya produktivitas di tingkat petani (rata-rata hanya mencapai 10-20 ton/Ha), sedangkan beberapa varietas unggul yang sudah dilepas mempunyai potensi produksi 20-40 ton/ha. Kesenjangan tersebut dikarenakan belum diterapkannya teknologi anjuran dengan sebaik-baiknya.

5. Kelembagaan atau kemitraan belum tumbuh dan berkembang. 6. Sistem pemasaran belum berjalan dengan baik.

Sebagian besar usahatani ubi kayu di Indonesia dilakukan oleh petani kecil dengan modal dan teknologi terbatas. Sehingga, perubahan harga yang terjadi akan memengaruhi usahatani mereka tahun berikutnya. Jika harga ubi kayu baik, luas panen musim berikutnya naik, begitu pun sebaliknya.

Pemanfaatan ubi kayu dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu sebagai bahan baku industri (tepung tapioka atau gaplek) dan sebagai pangan langsung. Ubi kayu sebagai pangan langsung harus memenuhi syarat utama, yaitu tidak mengandung racun HCN (< 50 mg per kg umbi basah). Sementara itu, umbi ubi kayu untuk bahan baku industri tidak disyaratkan adanya kandungan protein maupun ambang batas HCN, tapi yang diutamakan adalah kandungan karbohidrat yang tinggi (Muchtadi dan Sugiyono 1992).

Industri pengolahan ubi kayu merupakan salah satu cara untuk mengurangi susut produksi. Sebab, komoditi ini merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable), akan busuk dalam kurun waktu dua hingga lima hari setelah panen. Jika tidak mendapat perlakuan pasca panen yang baik, susut dari ubi kayu mencapai lebih dari 25 persen.

Ubi kayu dapat diolah langsung dari bentuk segarnya (ubi kayu segar), maupun diproses terlebih dahulu menjadi berbagai produk antara (setengah jadi). Ubi kayu yang diolah menjadi produk antara seperti tepung tapioka, tepung singkong (moccaf), gaplek dan oyek. Selain itu, ubi kayu dapat diolah menjadi keripik singkong yang merupakan makanan kudapan/cemilan populer.

Ubi kayu dalam bentuk olahan tepung misalnya tapioka, dapat diolah menjadi berbagai makanan ringan (snack food) modern, seperti aneka biskuit/crackers, bubur bayi instan, produk-produk olahan daging (bakso, sosis, nugget), tepung bumbu, dan sebagainya. Pati ubi kayu juga dapat dihidrolisis menjadi turunan-turunannya seperti dekstrin, maltodekstrin, sirup glukosa, high fructose syrup (HFS), sorbitol, dan sebagainya, yang digunakan dalam pembuatan/formulasi susu formula, bubur bayi instan, permen, jam/jelly, minuman ringan, saus, dan sebagainya (Supriadi, 2006).

(19)

5

Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Perpres No.5/2006 dan Undang-Undang Energi No.30/2007 tentang pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN), ubi kayu sebagai sumber protein nabati merupakan suatu kekuatan dalam bentuk dukungan pemerintah untuk mendorong pemasaran produk ubi kayu berupa bioetanol. Peran ubi kayu sebagai bahan baku sumber energi, telah meningkatkan persaingan konsumsi ubi kayu untuk pangan, pakan, dan energi (food, feed, fuel). Kebijakan Energi Nasional pemerintah menargetkan pada 2025 pemakaian BBN mencapai 5 persen dalam bauran energi nasional (energy mix).

Sektor industri olahan ubi kayu olahan kering (gaplek, pellet, dan lainnya) mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Selain sebagai sumber devisa negara karena Indonesia termasuk negara terbesar ketiga pengekspor ubi kayu kering, setelah Thailand dan Vietnam. Sektor ini juga berperan sebagai lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan petani, menambah kesempatan berwirausaha, serta meningkatkan daya saing produk baik di pasar domestik maupun internasional.

Laju pertumbuhan volume ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia sebesar -4,40 persen per tahun (Tabel 4). Hal tersebut mengindikasikan bahwa volume ekspor ubi kayu Indonesia cenderung menurun. Meskipun merupakan negara pengekpor terbesar ketiga, Indonesia masih mengimpor ubi kayu. Menurut Bayu Krisnamurthi, wakil menteri perdagangan, 98 persen impor ubi kayu Indonesia dalam bentuk tapioka, bukan dalam bentuk segar atau yang belum diproses. Sebab, industri pengolahan tepung Indonesia kualitasnya masih rendah. Belum memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan pengolahan makanan. Kapasitas produksi pabrik tapioka di Indonesia hanya 200 ribu ton per tahun. Hanya setengah dari itu yang memenuhi kriteria perusahaan pengolahan makanan. Selain itu, harga ubi kayu impor cenderung lebih murah dibandingkan domestik. Wujud ubi kayu yang diimpor pada tahun 2011 didominasi berupa pati ubi kayu sebesar 99,99 persen dari total volume impor Indonesia (UN Comtrade, 2012).

Tabel 4 Nilai dan jumlah ekspor dan impor ubi kayu 1) Indonesia tahun 2004-2011

Tahun Ekspor Impor

Nilai ($) Jumlah (kg) Nilai ($) Jumlah (kg)

2004 20 399 518 234 169 154 397 775 1 811 908

2005 25 441 429 229 789 042 67 285 52 826

2006 14 836 178 132 005 486 47 368 38 654

2007 31 301 226 209 669 155 49 630 44.6

2008 20 770 234 129 695 619 19 200 23

2009 25 229 759 168 061 997 335 557 1 902 964

2010 32 653 283 145 217 270 15 161 20 599

2011 29 529 600 105 331 423 21 915 5 648

Laju (%/tahun) 0.15 -4.40 2.04 1 034 152

Sumber : UN Comtrade, 2012 (diolah)

1)

(20)

6

Berdasarkan pemaparan di atas, Indonesia sebenarnya sangat berpotensi dalam memproduksi ubi kayu mengingat ketersediaan lahan kering yang belum diusahakan masih cukup luas, termasuk di wilayah Lampung. Namun, potensi tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Selain itu, potensi ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia masih terbuka, mengingat ubi kayu bersifat multiguna. Namun, Indonesia harus bersaing dengan negara lain seperti Thailand dan Vietnam yang mendominasi pasar ekspor ubi kayu kering dunia.

Hambatan perdagangan yang semakin rendah akibat dilakukannya beberapa perjanjian perdagangan bebas seperti AFTA (ASEAN Free Trade Agreement) dan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) mengharuskan ubi kayu kering Indonesia memiliki daya saing di pasar internasional. Melihat kecenderungan ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia yang menurun perlu dilakukan analisis daya saing ubi kayu olahan kering Indonesia di pasar internasional.

Perumusan Masalah

Permintaan ubi kayu semakin meningkat karena peranannya semakin strategis sebagai bahan baku berbagai sektor industri. Laju pertumbuhan permintaan ubi kayu domestik tahun 2007-2011 sekitar 4.80 persen/tahun. Sedangkan, laju produktivitasnya berkisar 5.22 persen/tahun. Berdasarkan data FAO terdapat tiga jenis produksi ubi kayu yang diekspor, salah satunya ubi kayu olahan kering (cassava dried) yang terdiri dari gaplek, pellet, dan lainnya. Empat negara pengekspor ubi kayu kering terbesar di dunia yaitu Thailand, Vietnam, Indonesia, dan Kosta Rika. Indonesia merupakan negara eksportir ubi kayu kering yang berada pada urutan ketiga dengan rata-rata volume ekspor periode 2004-2011 sebesar 169 242 ton.

Ubi kayu Indonesia yang diekspor dibedakan menurut kode HS (Harmonized System) sebagai berikut : (1) ubi kayu olahan kering (HS 071410) berupa ubi kayu kepingan kering (gaplek), ubi kayu dalam bentuk pellet, dan lain-lain; (2) ubi kayu olahan pati (HS 110814) berupa pati ubi kayu. Ekspor ubi kayu Indonesia pada tahun 2012, sebagian besar dalam bentuk ubi kayu olahan kering berupa gaplek sebesar 84.67 persen dan pati ubi kayu sebesar 15.33 persen dari total ekspor ubi kayu Indonesia (Pusdatin, 2013).

Pada tahun 2013, sebanyak 87 persen ubi kayu olahan kering Indonesia dieskpor ke Cina, kemudian 11 persen diekspor ke Korea (UN Comtrade, 2014). Indonesia juga mengimpor ubi kayu kering yang sebagian besar berasal dari Thailand. Menurut Bustanul Arifin, hal tersebut dikarenakan tingginya konsumsi ubi kayu dalam negeri, untuk bahan baku industri tepung dan bioethanol mencapai 28 juta ton per tahun. Angka tersebut belum termasuk kebutuhan untuk dikonsumsi. Pada tahun 2012, Indonesia mengimpor ubi kayu kering sebanyak 6 185 ton dari Thailand, atau 47 persen dari total impor. Kemudian dari China sebanyak 5 057 ton atau 38 persen, dan 2 048 ton atau 15 persen dari Vietnam (UN Comtrade, 2013).

(21)

7

Indonesia merupakan negara yang mengalami penurunan volume ekspor tertinggi dibandingkan negara pengekspor lainnya.

Laju rata-rata pertumbuhan volume ekspor negara pengekspor ubi kayu kering terbesar di dunia dari tahun 2004-2011 yakni Indonesia sebesar -4.40 persen per tahun, Thailand sebesar 0.93 persen per tahun, dan Vietnam sebesar 49.66 persen per tahun. Jadi, laju pertumbuhan ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia merupakan yang terendah (Tabel 5).

Tabel 5 Total volume ekspor ubi kayu kering di Thailand, Vietnam, dan Indonesia tahun 2004-2011

Tahun Volume Ekspor (ton)

Indonesia Thailand Vietnam

2004 234 169 5 019 012 749 666

2005 229 789 3 031 308 534 049

2006 132 005 4 213 878 1 040 655

2007 209 669 4 558 811 1 316 557

2008 129 696 2 882 846 753 335

2009 168 062 4 357 294 3 301 915

2010 145 217 4 273 380 1 700 440

2011 105 331 3 735 209 2 680 178

Laju (%/tahun) -4.40 0.93 49.66

Sumber : FAO, 2012

Mengapa volume ekpor ubi kayu Indonesia cenderung turun? apabila dilihat dari potensi alam yang dimiliki Indonesia, dan laju produktivitas yang positif, seharusnya volume ekspor ubi kayu Indonesia dapat stabil bahkan meningkat. Apakah ubi kayu olahan kering Indonesia memiliki daya saing komparatif di pasar internasional ?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis perkembangan pangsa pasar ekspor ubi kayu kering Indonesia di negara tujuan.

2. Menganalisis keunggulan komparatif ubi kayu kering Indonesia di pasar internasional.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :

1. Peneliti, merupakan proses pembelajaran sekaligus sebagai latihan dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama kuliah.

2. Kalangan akademis, sebagai referensi atau sumber informasi untuk penelitian lebih lanjut mengenai ubi kayu.

(22)

8

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang daya saing komparatif ubi kayu olahan kering Indonesia di pasar internasional. Klasifikasi yang digunakan adalah Harmonized System (HS) 071410 untuk cassava dried atau ubi kayu olahan kering. Data yang digunakan berupa time series dari tahun 2004-2011.

TINJAUAN PUSTAKA

Bentuk Olahan Ubi Kayu

Ubi kayu dapat diolah langsung dari bentuk segarnya (ubi kayu segar), maupun diproses terlebih dahulu menjadi berbagai produk antara (setengah jadi). Ubi kayu diolah menjadi bahan setengah jadi seperti tepung tapioka, tepung singkong (moccaf), gaplek dan lainnya. Hal tersebut bertujuan untuk membuat ubi kayu bertahan lebih lama.

Bahan-bahan tersebut, khususnya tepung tapioka, sebagian besar diserap oleh industri pangan maupun non pangan. Teknologi tepung merupakan salah satu proses alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan karena lebih tahan lama disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis.

Ubi kayu mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi bahan pangan pokok selain beras. Saat ini, ubi kayu untuk konsumsi langsung sudah menjadi komoditas inferior. Ubi kayu dimanfaatkan untuk substitusi beras terutama di kalangan penduduk miskin di musim paceklik di mana harga beras relatif tinggi.

Gaplek sangat populer di daerah Jawa yang kekurangan air, sebagai bahan makanan pokok. Berdasarkan bentuknya gaplek dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu: 1) gaplek gelondong, 2) gaplek chips (irisan tipis), 3) gaplek pelet, 4) gaplek tepung dan 5) gaplek kubus. Pada umumnya gaplek gelondong dan pelet digunakan sebagai bahan baku pakan ternak, sedangkan gaplek dalam bentuk tepung digunakan sebagai bahan makanan. Gaplek dalam bentuk chips digunakan sebagai bahan industri pati, dekstrin, dan glukosa (Oramahi dalam Supriadi, 2006).

Ubi kayu dalam bentuk pati asli (native starch), pati ubi kayu (tapioka) dapat diolah menjadi berbagai makanan ringan (snack food) modern, seperti aneka biskuit/crackers, juga bubur bayi instan, produk-produk olahan daging (bakso, sosis, nugget), tepung bumbu, dan sebagainya. Pati ubi kayu juga dapat diproses menjadi bentuk lanjut menjadi pati termodifikasi (modified starch) yang dapat dijadikan bahan baku pembuatan makanan modern seperti makanan instan (instant food), permen, dan produk olahan daging seperti chicken nugget. Pati ubi kayu juga dapat dihidrolisis menjadi turunan-turunannya seperti dekstrin, maltodekstrin, sirup glukosa, high fructose syrup (HFS), serta sorbitol, yang digunakan dalam pembuatan susu formula, bubur bayi instan, permen, jam/jelly, minuman ringan, saus, dan sebagainya (Supriadi, 2006).

(23)

9

yang mengandung karbohidrat (pati) seperti ubi kayu. Keuntungan penggunaan bioetanol adalah mampu menurunkan emisi CO2 hingga 10 persen. Bioetanol adalah etanol yang diperoleh dari proses fermentasi bahan baku yang mengandung pati seperti ubi kayu. Sebagai bahan bakar, bioetanol dapat digunakan sebagai campuran (5–10 persen) BBM tanpa perlu memodifikasi mesin kendaraan dan bioetanol juga memilki kelebihan dibanding BBM karena sumbernya terbarukan dan memiliki nilai oktan tinggi sehingga proses pembakaran menjadi lebih sempurna (Puslitbang, 2014).

Varietas ubi kayu yang cocok dijadikan bahan baku pembuatan bioethanol yaitu Litbang UK 2, yang merupakan hasil penelitian Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Sebab, varietas ini mampu menghasilkan satu liter bioethanol hanya dengan 4.25 kg umbi. Berbeda dengan varietas lain yang membutuhkan lebih dari 5 - 6 kg umbi untuk jumlah yang sama. Berdasarkan perhitungan, Litbang UK 2 mampu menghasilkan rata-rata 100 ribu liter bioetanol untuk luasan satu hektar. Pada kondisi optimal potensinya mencapai sekitar 140 ribu liter/ha. Keunggulan lain yang dimiliki varietas ini adalah tahan terhadap hama penyakit. Litbang UK 2 tahan terhadap serangan tungau dan tahan terhadap penyakit busuk akar/umbi (Fusarium spp).

Ubi kayu dapat diolah menjadi tepung tapioka dan tepung mocaf (Modified Cassava Flour). Mocaf dapat dijadikan alternatif sebagai substitusi terigu yang banyak diimpor Indonesia. Menurut Media Data Riset (2010) pada tahun 2009, konsumsi tepung terigu nasional sebesar 4.6 juta ton. Adapun impor tepung terigu sebesasar 646.7 ribu ton atau 14.2 persen dari total konsumsi. Permintaan ini akan terus meningkat dan diperkirakan pada tahun 2014, konsumsinya mencapai 5.7 juta ton atau meningkat sebesar 7.4 persen.

Hasil penelitian Asmara dan Pradana (2011) menyatakan bahwa rata-rata total penerimaan usaha chips ubi kayu sebagai bahan baku mocaf di daerah penelitian yakni Kabupaten Trenggalek sebesar Rp1 847 186.67 dan rata-rata total biaya sebesar Rp1 696 003.56 sehingga diperoleh nilai R/C Ratio sebesar 1 089. Hal tersebut menggambarkan bahwa setiap Rp1 000 000 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp1 089 000. Sehingga, dapat dikatakan rata-rata usaha Agroindustri chips mocaf sudah mengguntungkan.

Daya Saing Olahan Ubi Kayu

Pada umumnya negara-negara berkembang meyakini bahwa sektor industri mampu mengatasi masalah perekonomian. Industri di bidang pertanian atau agroindustri bertujuan untuk menciptakan nilai tambah produk hasil pertanian, sehingga pendapatan petani menjadi lebih tinggi. Selain itu, kegiatan agroindustri dapat membuka lapangan kerja produktif serta menciptakan daya saing produk baik di pasar domestik maupun internasional. Porter (1998) mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan suatu negara untuk menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan melalui kegiatan perusahaan-perusahaannya dan untuk mempertahankan kualitas kehidupan yang tinggi bagi warga negaranya.

(24)

10

keanekaragaman produksi dan konsumsi pangan. Selain itu, adanya pengembangan agroindustri pangan juga dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan pendapatan petani serta berkembangnya perekonomian di pedesaan secara luas dan menghemat devisa.

Kelebihan produksi dalam negeri akan mendorong terjadinya ekspor. Pengertian ekspor menurut Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 182/MPP/Kep/4/1998 tentang ketentuan umum di bidang ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dan jasa dari daerah kepabeanan suatu negara. Adapun daerah kepabeanan sendiri didefinisikan sebagai wilayah Republik Indonesia yang meliputi darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklisif dan landas kontinen yang didalamnya berlaku Undang-Undang No.10 ahun 1995 tentang Kepabeanan.

Produksi ubi kayu Indonesia tidak diekspor dalam bentuk segar tetapi dalam bentuk olahan kering (gaplek, pelet, dan lain-lain) serta olahan berupa pati ubi kayu. Selama 1990-2009 ekspor ubi kayu kering maupun pati ubi kayu cenderung menurun. Pasar ekspor ubi kayu dikuasai oleh Thailand sebesar 81 persen, Vietnam 14 persen dan Indonesia 3 persen. Importir terbesar ubi kayu yaitu Cina, yang menyerap sebesar 85 persen dari total ekspor gaplek dunia (Saliem, 2011). Maka, dapat disimpulkan bahwa daya saing ubi kayu Indonesia semakin menurun. Pesaing terbesar ubi Indonesia adalah Thailand yang merupakan eksportir ubi kayu terbesar dunia.

Harga ekspor Indonesia berperan sebagai leader dalam pergerakan harga di Cina, Uni Eropa, Thailand, dan Malaysia. Hal tersebut membuat posisi tawar Indonesia dalam penentuan harga ubi kayu di pasar dunia cukup kuat dan harga ubi kayu kering Indonesia relatif stabil (Asriani, 2010).

Perkembangan Ubi Kayu di Asia

Ubi kayu mempunyai peran mendasar bagi petani di daerah yang memiliki marjinal dengan ekonomi rendah. Tanaman ini dijadikan sumber kalori yang murah dan mudah didapat, meskipun sebagian besar penduduk Asia mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok. Baik sektor industri maupun konsumen memperoleh manfaat dari produk olahan berbahan baku ubi kayu. Devisa suatu negara bertambah dengan adanya ubi kayu sebagai komoditi ekspor. Ubi kayu sangat berperan menggerakkan perekonomian suatu negara.

Saat ini, ubi kayu di Asia merupakan tanaman komersial. Ubi kayu lebih dominan dimanfaatkan untuk keperluan sektor industri, baik pangan maupun non pangan. Meskipun ubi kayu relatif baru dikenal oleh masyarakat Asia dibandingkan dengan beras, tetapi saat ini ubi kayu telah menjadi komoditi ekpor unggulan di beberapa negara di Asia (Thailand dan Vietnam). Ubi kayu pertama kali diperkenalkan di Filiphina oleh bangsa Spanyol, hingga sampai ke Indonesia pada awal abad ke-19. Saat itu, sentra produksi ubi kayu yaitu di Jawa dan Malaysia hingga usai perang dunia ke-2. Indonesia merupakan produsen terbesar ubi kayu di wilayah Asia hingga akhir 1970 (FAO, 2000).

(25)

11

permintaan pati untuk bahan baku industri; (3) dilakukannya beberapa perjanjian perdagangan internasional yang mempermudah ekspor.

Menurut FAO (2000), tren produksi ubi kayu di Asia dibagi ke dalam tiga periode:

1. Sebelum 1960-an. Perdagangan ubi kayu didominasi dalam bentuk pati. Luas areal tanam mengalami peningkatan tiap tahunnya.

2. Periode 1960-1970. Pasar ekspor ubi kayu didominasi dalam bentuk gaplek untuk pakan ternak, terutama untuk diekspor ke Eropa. India dan Indonesia, periode ini meningkatkan produksi ubi kayu sebagai upaya menangani produksi beras yang menurun.

3. Periode 1980-1990. Luas areal panen cenderung konstan, begitu juga dengan Indonesia. Bahkan, luas areal panen ubi kayu di Indonesia cenderung menurun. pada periode ini penggunaan pupuk sudah mulai diaplikasikan dalam usahatani ubi kayu di Indonesia, yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas. Di periode ini, volume ekspor Thailand cenderung meningkat.

Metode Pengukuran Daya Saing

Analisis daya saing dapat dilakukan dengan berbagai metode. Suprehatin (2006) melakukan analisis daya saing ekspor nenas segar Indonesia menggunakan metode analisis regresi data panel. Analisis ini memasukkan peubah-peubah yang diduga secara signifikan berpengaruh terhadap daya saing (pangsa pasar) ekspor nenas segar Indonesia ke pasar Internasional.

Selain menggunakan metode analisis regresi data panel, sistem Berlian Porter (Porter’s Diamond Theory) juga dapat digunakan sebagai metode analisis daya saing, seperti yang dilakukan oleh Wulandari (2013). Teori Berlian Porter dapat digunakan untuk mengetahui daya saing suatu komoditi berdasarkan kondisi dari komponen-komponen yang saling mendukung dan saling menguatkan di suatu negara terkait dengan komoditas tersebut.

Constant Market Share (CMS) juga dapat digunakan sebagai alat analisis, seperti yang dilakukan oleh Hermanto et al (2011). CMS digunakan untuk mengukur kinerja suatu komoditi di pasar dunia. Sedangkan, untuk menjelaskan struktur input output di tingkat usahatani menggunakan Policy Analysis Market (PAM).

Herfindahl Index (HI) dan Concentration Ratio (CR) digunakan untuk menggambarkan struktur dan pangsa pasar yang dimiliki oleh suatu komoditas (Wulandari, 2013). Kemudian dilakukan analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk menganalisis keunggulan komparatif ubi jalar Indonesia jika dibandingkan dengan negara produsen lainnya.

Hafni (2011), Kalaba (2012), Wulandari (2013) menggunakan Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk mengetahui daya saing komparatif suatu komoditi. Hafni (2011) menggunakan metode Export Product Dinamic (EPD) dan Intra-Industry Trade (IIT) serta pendekatan gravity model untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor pisang Indonesia ke negara tujuan.

(26)

12

apakah suatu negara dapat merebut pasar di luar negeri (dalam arti dapat mengalahkan negara-negara pesaingnya) atau posisinya semakin lemah di pasar ekspor ataupasar domestik. Terakhir, metode yang digunakan adalah Seemingly Unrelated Regression (SUR) yang merupakan analisis regresi untuk membangun persamaan garis lurus dan menggunakan persamaan tersebut untuk membuat perkiraan. Dengan mengunakan alat analisis regresi dapat diketahui variabel-variabel yang mempengaruhi pola perubahan daya saing ekspor produk kakao Indonesia.

Metode yang dijadikan acuan dalam penelitian ini yaitu Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk mengetahui apakah ubi kayu kering Indonesia memiliki keunggulan komparatif atau tidak. Hal itu serupa dengan yang dilakukan oleh Hafni (2011), Kalaba (2012) dan Wulandari (2013). Analisa ini dikembangkan oleh International Trade Centre sebagai analisa RCA yang menganalisa arus perdagangan, indikator keunggulan komparatif yang bertujuan untuk mengukur spesialisasi. Spesialisasi suatu negara merupakan indikasi tentang bagaimana suatu negara mengalokasikan sumber daya untuk berbagai industri, di bawah asumsi total perdagangan yang seimbang.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Teori Daya Saing

Porter (1998) mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan suatu negara untuk menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan melalui kegiatan perusahaan-perusahaannya dan untuk mempertahankan kualitas kehidupan yang tinggi bagi warga negaranya. Jadi, dapat dikatakan bahwa daya saing adalah kemampuan suatu komoditi untuk diterima di pasar Internasional akibat adanya keunggulan baik komparatif maupun kompetitif.

Esterhuizen et al, 2008 (dalam PSE Litbang, 2014) mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan suatu sektor industri, atau perusahaan untuk bersaing dengan sukses untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan di dalam lingkungan global selama biaya imbangannya lebih rendah dari penerimaan sumber daya yang digunakan.

Teori Perdagangan Internasional

(27)

13

sementara mereka melakukan perdagangan untuk memperoleh barang dan jasa lain yang tidak diproduksinya.Perdagangan internasional merupakan hubungan kegiatan ekonom antar negara yang diwujudkan dengan adanya proses pertukaran barang dan jasa atas dasar suka rela dan saling menguntungkan.

Perdagangan Internasional terbagi menjadi dua bagian yaitu impor dan ekspor, yang biasanya disebut sebagai perdagangan ekspor impor. Perdagangan internasional berada dalam lingkup komoditi dalam pertukaran barang, dengan adanya perbedaan alam di tiap negara.

Gambar 1 Kurva perdagangan internasional Sumber : Salvatore, 1997 (diolah)

Keterangan :

P1 = harga domestik di negara A tanpa perdagangan internasional P3 = harga domestik di negara B tanpa perdagangan internasional

Qa = jumlah yang diperdagangkan di negara A tanpa perdagangan internasional Qb = jumlah yang diperdagangkan di negara B tanpa perdagangan internasional X = jumlah yang diekspor oleh negara A

M = jumlah yang diimpor oleh negara B

P* = harga di pasar internasional setelah perdagangan internasional Q* = jumlah yang diperdagangkan di pasar internasional

Negara A akan memproduksi dan konsumsi sebesar Qa dengan harga yang berlaku sebesar P1. Sedangkan, negara B akan berproduksi dan berkonsumsi sebesar Qb dengan harga yang berlaku sebesar P3. Setelah hubungan perdagangan berlangsung diantara kedua negara tersebut, harga relatif komoditi X akan berkisar pada P1 dan P3. Seandainya harga yang berlaku diatas P1, maka negara A akan memasok komoditi X lebih banyak daripada permintaan domestik. Kelebihan produksi itu selanjutnya diekspor ke negara B. Jika harga yang berlaku lebih rendah daripada P3, maka negara B akan mengalami peningkatan permintaan. Sehingga, produksi domestik tidak dapat memenuhi permintaan tersebut. Hal ini akan mendorong negara B untuk mengimpor kekurangan kebutuhannya dari negara A.

Hanya pada harga P2 kuantitas impor yang diminta negara B akan sama dengan yang kuantitas ekspor ditawarkan oleh negara A. Sehingga, terbentuklah

X

(28)

14

Q*. Maka, P2 merupakan harga relatif ekuilibrium setelah berlangsung perdagangan diantara kedua negara tersebut.

Teori Keunggulan Absolut Adam Smith

Menurut Adam Smith, perdagangan antar dua negara didasarkan pada keunggulan absolut (absolute advantage). Jika sebuah negara lebih efisien daripada negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut. Melalui proses ini, sumber daya di kedua negara dapat digunakan dalam cara yang paling efisien. Output kedua komoditi yang diproduksi akan meningkat.

Sebagai contoh, lahan Indonesia merupakan lahan yang efisien untuk menanam pisang, namun kurang efisien jika dipakai menanam gandum. Sedangkan, Amerika merupakan tempat yang baik untuk menanam gandum. Dengan demikian, Indonesia memiliki keunggulan absolut terhadap Amerika dalam menanam pisang, namun memiliki kerugian absolut dalam komoditi gandum. Hal sebaliknya terjadi pada Amerika.

Menurut Adam Smith semua negara dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan dan dengan tegas menyarankan untuk menjalankan kebijakan yang dinamakan laissez-faire, yaitu suatu kebijakan yang menyarankan sesedikit mungkin intervensi pemerintah terhadap perekonomian. Melalui perdagangan, sumber daya dunia dapat didayagunakan secara efisien dan memaksimumkan kesejahteraan dunia.

Teori Keunggulan Komparatif David Ricardo

David Ricardo dikenal melalui teorinya “keunggulan komparatif

(comparative adavantage)”. Menurut Ricardo (dalam Salvatore, 1997),

perdagangan internasional dapat saja terjadi, meskipun sebuah negara kurang efisien dibanding negara lain dalam memproduksi kedua komoditi, namun masih dapat melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua negara tersebut.

Sebagai contoh, Inggris memiliki kerugian absolut baik dalam memproduksi kain maupun gandum bila dibandingkan dengan Amerika. Sebaliknya, Amerika memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi kain maupun gandum dibanding Inggris. Menurut hukum keunggulan komparatif, kedua negara tersebut akan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut terkecil dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut terbesar.

(29)

15

Teori ini merupakan yang sering digunakan di dalam banyak penelitian empiris mengenai kinerja ekspor.

Teori Keunggulan Kompetitif

Menurut Ricardo (dalam Salvatore, 1997), keunggulan kompetitif dapat diartikan sebagai “segala sesuatu yang dapat dilakukan dengan jauh lebih baik oleh sebuah perusahaan jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan saingan”. Keunggulan kompetitif (Competitive Advantage) merupakan alat untuk mengukur daya saing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Sedangkan menurut Porter (1990), keunggulan kompetitif suatu negara sangat tergantung pada tingkat sumber daya yang dimilikinya. Berdasarkan sumber daya lokal yang dimiliki suatu negara, dapat dilihat apakah suatu negara mempunyai keunggulan kompetitif atau tidak. Keunggulan kompetitif dibuat dan dipertahankan melalui suatu proses internal yang tinggi. Perbedaan dalam struktur ekonomi nasional, nilai, kebudayaan, kelembagaan, dan sejarah menentukan keberhasilan kompetitif.

Keunggulan kompetitif suatu negara ditentukan oleh empat faktor yang harus dimiliki suatu negara untuk bersaing secara global. Keempat faktor tersebut adalah kondisi faktor sumber daya (factor condition), kondisi permintaan (demand condition), industri terkait dan industri pendukung (related and supporting industry), persaingan, struktur, dan strategi perusahaan (firm strategy, structure,and rivarly). Keempat faktor penentu tersebut didukung oleh faktor eksternal yang terdiri atas peran pemerintah (goverment) dan terdapatnya kesempatan (chance events). Secara bersama-sama faktor tersebut membentuk suatu sistem yang berguna dalam peningkatan keunggulan daya saing, sistem tersebut dikenal dengan “The National Diamond”.

Teori Heckscher-Ohlin (H-O)

Teori Heckscher dan Ohlin (H-O) termasuk dalam kelompok teori modern. Teori H-O disebut juga sebagai factor proportion theory atau teori ketersediaan faktor. Dasar pemikiran teori ini adalah bahwa perdagangan internasional, misalnya antara Indonesia dan Jepang, terjadi karena biaya alternatif (opportunity cost) berbeda antara kedua negara tersebut. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan dalam jumlah faktor produksi (tenaga kerja, modal, dan tanah) yang dimiliki oleh kedua negara tersebut. Indonesia memiliki tanah yang lebih luas dan tenaga kerja yang jauh lebih banyak, namun memiliki modal yang lebih kecil dibandingkan Jepang.

(30)

16

proses produksinya lebih padat tenaga kerja dan tanah daripada sektor industri manufaktur.

Oleh sebab itu, paling tidak secara teori, Indonesia memiliki keunggulan atas Jepang dalam menghasilkan komoditi pertanian. Jadi menurut teori H-O, struktur perdagangan luar negeri dari suatu negara tergantung pada ketersediaan dan intensitas pemakaian faktor-faktor produksi dan yang terakhir ini ditentukan oleh teknologi. Suatu negara akan berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor barang-barang yang input (faktor produksi) utamanya lebih banyak di negara tersebut dan sebaliknya.

Asumsi-asumsi pokok teori H-O sebagai berikut:

a. Di dunia hanya tedapat dua negara saja (Negara 1 dan Negara 2), dua komoditi (komoditi X dan Y), dan dua faktor produksi (tenaga kerja dan modal).

b. Kedua negara tersebut memiliki dan menggunakan metode atau tingkat teknologi produksi yang persis sama.

c. Komoditi X secara umum bersifat padat karya, sedangkan komoditi Y secara umum bersifat padat modal.

d. Kedua komoditi tersebut sama-sama diproduksi berdasarkan skala hasil yang konstan, dan hal ini sama-sama terjadi di kedua negara.

e. Spesialisasi produksi yang berlangsung di kedua negara sama-sama tidak lengkap atau tidak menyeluruh, artinya masing-masing negara tetap memproduksi kedua komoditi itu sekaligus, meskipun dalam komposisi berbeda.

f. Terdapat kompetisi sempurna dalam pasar produk (tempat perdagangan kedua komoditi) dan juga dalam pasar faktor (yakni tempat bertemunya kekuatan penawaran dan permintaan atas berbagai faktor produksi, yang dalam teori ini dibatasi pada modal dan pasar tenaga kerja). Harga semata-mata dibentuk oleh kekuatan pasar.

g. Terdapat mobilitas faktor yang sempurna dalam ruang lingkup masing-masing negara. Namun, tidak ada mobilitas faktor antarnegara/internasional.

h. Sama sekali tidak ada biaya transportasi, tarif, dan berbagai bentuk hambatan perdagangan antar kedua negara.

Kerangka Pemikiran Operasional

Permintaan ubi kayu semakin meningkat tiap tahunnya, baik di sektor pangan maupun industri. Sektor industri ubi kayu mempunyai peranan dalam perekonomian Indonesia, yaitu sebagai sumber devisa juga sebagai lapangan kerja produktif. Indonesia merupakan negara eksportir ubi kayu terbesar ketiga di dunia setelah Thailand dan Vietnam. Ekspor ubi kayu Indonesia didominasi berupa olahan kering. Negara tujuan ekspor ubi kayu Indonesia diantaranya Belanda, Jerman, Cina, dan Korea. Sebagian besar ekspor Indonesia diserap oleh Cina.

(31)

17

Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk mengetahui keunggulan komparatif ubi kayu olahan kering Indonesia jika dibandingkan dengan negara produsen lain, seperti Thailand dan Vietnam .

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Operasional

Keterangan :

- Indonesia merupakan negara pengekspor ubi kayu terbesar ketiga di dunia

- Volume ekspor ubi kayu Indonesia periode 2004-2013 berfluktuasi bahkan cenderung turun

- Produktivitas ubi kayu Indonesia meningkat setiap tahunnya

-Analisis Daya Saing

Rekomendasi untuk meningkatkan ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia

= ruang lingkup penelitian Keunggulan Komparatif - Nilai ekspor ubi

kayu olahan kering Indonesia - Nilai total ekspor

komoditi pangan Indonesia - Nilai total ekspor

ubi kayu olahan kering dunia - Nilai total ekspor

komoditi pangan dunia

(32)

18

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data deret waktu mulai dari tahun 2004-2011. Hal ini dikarenakan, dalam rentang waktu tersebut sudah terlihat fluktuasi volume ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia (HS 071410) dengan trend menurun. Sumber data berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanian (Deptan), Pusat Data dan Informasi (Pusdatin), FAO (Food and Agriculture Organization), UN Comtrade (United Nations Commodity of Trade), dan sumber lain yang terkait dengan objek penelitian.

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jumlah produksi ubi kayu Indonesia, nilai ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia, total nilai ekspor ubi kayu olahan kering di dunia, negara-negara importir dan eksportir ubi kayu olahan kering di dunia, nilai ekspor komoditas pangan Indonesia, dan total nilai ekspor komoditas pangan dunia. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei-Juni.

Metode Analisis dan Pengolahan Data

Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui keunggulan komparatif ubi kayu olahan kering Indonesia di pasar dunia dengan menggunakan RCA (Revealed Comparative Advantage) menggunakan alat bantu Microsoft Office Excel 2010. Analisis deskriptif dilakukan untuk merumuskan suatu kebijakan yang tepat setelah melihat daya saing komparatif ubi kayu Indonesia di pasar Internasional.

Revealed Comparative Advantage (RCA)

Keunggulan komparatif dari komoditas tertentu di suatu negara dapat dianalisis menggunakan RCA (Revealed Comparative Advantage) yang bertujuan untuk membandingkan pangsa pasar ekspor sektor tertentu suatu negara dengan pangsa pasar sektor tertentu negara atau produsen lainnnya, serta menunjukkan daya saing industri suatu negara. Menurut Hady (2004), tujuan penggunaan indeks RCA dalam penelitian yaitu ingin mengetahui keunggulan komparatif suatu komoditi di suatu negara. Sehingga, untuk mengetahui apakah ubi kayu Indonesia memiliki keunggulan komparatif diantara negara-negara lain di pasar internasional serta untuk mengukur daya saing industri di Indonesia, digunakan alat analisis RCA. Formula RCA dirumuskan sebagai berikut:

Xij / Xj

(33)

19

Dimana :

Xij = nilai ekspor komoditas ubi kayu olahan kering Indonesia Xj = total nilai ekspor komoditas pangan Indonesia

Xiw = nilai ekspor komoditas ubi kayu olahan kering dunia Xw = total nilai ekspor komoditas pangan dunia

Jika, nilai RCA komoditas suatu negara lebih besar dari 1, maka negara tersebut memiliki keunggulan komparatif atau berdaya saing kuat. Namun, apabila nilai RCA kurang dari 1, maka negara tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif atau mempunyai daya saing yang lemah. Semakin tinggi nilai RCA maka daya saing suatu negara akan semakin kuat.

Keuntungan menggunakan metode ini yaitu dapat melihat keunggulan intrinsik ekspor komoditi tertentu, dan konsisten dengan perubahan produktivitas. Sedangkan, kekurangan metode RCA yakni pengaruh dari kebijakan perdagangan pemerintah di suatu negara tidak terlihat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Ubi Kayu

Ubi kayu merupakan sumber karbohidrat ketiga setelah padi dan jagung di negara tropis. Permintaan ubi kayu terus meningkat baik dalam bentuk segar maupun olahan. Produksi ubi kayu dunia sekitar 250 juta ton per tahun (UNCTAD, 2014). Afrika merupakan produsen ubi kayu terbesar di dunia, lebih dari 50 persen berasal dari benua ini. Ubi kayu di Afrika sebagian besar digunakan sebagai pangan pokok.

Hal yang berbeda terjadi di Asia, dimana produksi ubi kayu digunakan sebagai bahan baku industri dan bahan bakar alternatif. Asia memberikan kontribusi olahan ubi kayu sekitar sepertiga dari produksi dunia, sebanyak 60 persen diproduksi oleh Thailand (UNCTAD, 2014). Produk olahan ubi kayu berupa pati maupun tepung terus meningkat, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan berkembangnya sektor industri. Olahan pati maupun tepung berasal dari jenis ubi kayu yang sama, hanya proses produksinya yang berbeda. Beberapa olahan ubi kayu yakni :

(a) Tepung ubi kayu, yang diperoleh dari pengeringan akar yang telah dipotong-potong, kemudian digiling. Di Brazil, 70-80 persen dari produksi singkong digunakan untuk membuat tepung.

(34)

20

(c) Etanol , yang produksinya diprediksi akan meningkat sebesar 50 persen pada tahun 2020. Namun, penggunaan ubi kayu untuk biofuel masih rendah. Sehingga, peranannya perlu ditingkatkan seperti yang telah dilakukan oleh Cina, menggunakan ubi kayu sebagai pengganti jagung.

(d) Pakan ternak, ubi kayu dapat dijadikan campuran pakan ternak seperti yang dilakukan di Cina.

Berdasarkan Tabel 6, dapat dilihat bahwa ketiga eksportir ubi kayu terbesar dunia memberikan sumbangan ekspor lebih dari 90 persen dari total ekspor dunia. Thailand berkontribusi sebesar 67 persen dari total ekspor dunia. Vietnam sebesar 25 persen. Sedangkan, Indonesia sebesar 3 persen. Thailand merupakan eksportir terbesar ubi kayu di dunia.

Tabel 6 Total ekspor tiga negara eksportir terbesar dunia tahun 2004-2011

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 (...dalam ribu ton...)

Dunia 6 672 4 114 5 594 6 786 4 010 7 960 6 380 6 682 Thailand 5 019 3 031 4 214 4 559 2 883 4 357 4 273 3 735 Vietnam 750 534 1 041 1 317 753 3 302 1 700 2 680

Indonesia 234 230 132 210 130 168 145 105

Lainnya 669 319 207 700 244 133 262 162

% 3 negara

terhadap dunia 90 92 96 90 94 98 96 98

Sumber : FAO, 2012 (diolah)

Kebutuhan Ubi Kayu dalam Negeri

Ubi kayu banyak dimanfaatkan untuk bahan pangan, pakan, dan bahan baku industri (pangan dan kimia). Jumlah penduduk yang terus meningkat dan semakin berkembangnya industri peternakan serta industri berbahan baku ubi kayu dipastikan akan mendorong kebutuhan ubi kayu meningkat secara tajam. Menurut Suryadi (2013) sebagian besar produksi ubi kayu di Indonesia, digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (85-90 persen), sedangkan sisanya diekspor dalam bentuk gaplek, chips dan tepung tapioka. Pemanfaatan terbesar ubi kayu di Indonesia yaitu untuk bahan pangan sekitar 58 persen, bahan baku industri 28 persen, ekspor dalam bentuk gaplek sekitar 8 persen, pakan sekitar 2 persen, sedangkan sisanya 4 persen digunakan sebagai limbah pertanian (Suryadi, 2013).

Hal tersebut mendorong pemerintah untuk terus meningkatkan produksi ubi kayu sebagai bahan pangan alternatif, mendukung ketahanan pangan nasional. Pada industri pakan, ubi kayu digunakan dalam bentuk pellet maupun limbah industri ubi kayu (onggok). Meskipun pemanfaatan ubi kayu di sektor pakan hanya 2 persen, tetapi usaha peternakan meningkat dengan laju pertumbuhan 12.9 persen/tahun untuk ternak pedaging dan 18 persen/tahun untuk ternak petelur.

(35)

21

asam laktat, sorbitol, dan lainnya). Pencanangan bio-ethanol sebagai sumber energi alternatif terbarukan berupa Gasohol-10 (campuran premium dengan 10 persen etanol), dimana 8 persen keperluan etanol berasal dari ubi kayu dan peningkatan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) sebesar 7 persen/tahun akan lebih memacu kebutuhan ubi kayu.

Teknologi Peningkatan Produksi

Kebutuhan ubi kayu yang terus meningkat setiap tahunnya dengan laju sekitar 4.80 persen/tahun, mendorong pemerintah untuk terus meningkatkan produktivitas ubi kayu dalam negeri. Produktivitas ubi kayu Indonesia tergolong rendah. Pada tahun 2011, hanya sebesar 20.3 ton/Ha, lebih rendah dibandingkan potensi hasil beberapa varietas unggul yang bisa mencapai 30-40 ton/Ha. Rendahnya produktivitas ubi kayu diantaranya disebabkan oleh: (a). sebagian besar petani masih menggunakan varietas lokal yang umumnya produktivitasnya rendah, (b). kualitas bibit yang digunakan seringkali kurang baik, (c). ubi kayu sebagian besar diusahakan di lahan kering yang seringkali kesuburannya lebih rendah dibanding lahan sawah, (d). pengelolaan tanaman dilakukan secara sederhana dengan masukan (input) sekedarnya.

Secara umum, peningkatan produksi ubi kayu dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas (intensifikasi), terutama pada daerah-daerah sentra produksi, dan perluasan areal tanam/panen (ekstensifikasi) ke daerah pengembangan baru di lahan kering dan lahan tidur terutama di luar Jawa. Menurut Wargiono (2007) dalam Balitkabi (2011) untuk memenuhi kebutuhan ubi kayu perlu peningkatan produksi yang tumbuh secara berkelanjutan 5-7 persen/tahun. Hal tersebut dapat dicapai melalui peningkatan produktivitas 3-5 persen/tahun dan perluasan areal 10-20 persen/tahun.

1. Intensifikasi

a. Varietas unggul baru (VUB).

VUB merupakan teknologi produksi yang sangat strategis sebagai upaya meningkatkan produksi ubi kayu. Varietas unggul baru sebaiknya mempunyai karakter sesuai dengan kebutuhan petani dan mudah diterima petani. Hingga tahun 2009, Badan Litbang Pertanian telah melepas 10 varietas unggul ubi kayu (Lampiran 5). Pelepasan varietas unggul ubi kayu di Indonesia tergolong lambat, karena selama ini ubi kayu belum mendapat prioritas, serta umur panennya yang panjang (8–10 bulan).

(36)

22

b. Teknologi Budidaya pendukung

Selain varietas, teknologi budidaya pendukung akan membantu masing-masing varietas untuk menghasilkan sesuai dengan potensi hasilnya. Jarak tanam atau populasi tanaman per hektar merupakan komponen teknologi yang paling pertama mendapat perhatian para petani, sebab mudah dipahami dan diterapkan, serta sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman.

b.1 Jarak tanam

Jarak tanam ubi kayu yang sesuai sangat ditentukan antara lain oleh sistem tanam, pola pertumbuhan tanaman dan tingkat kesuburan lahan. Pada sistem monokultur, penanaman ubi kayu dapat dilakukan pada jarak tanam 100 cm x 100 cm atau 100 cm x 80 cm. Ubi kayu dengan pola percabangan di bawah (misal varietas Darul Hidayah) umumnya ditanam dengan jarak yang lebih lebar (125 cm x 125 cm).

Pada tanah yang kurang subur (daerah Lampung) untuk mendapatkan hasil yang tinggi per satuan luas, ubi kayu dapat ditanam dengan jarak tanam yang lebih rapat. Dengan demikian, meskipun hasil per tanaman lebih rendah tapi karena populasinya tinggi hasil umbi per satuan luas menjadi lebih tinggi pula.

b.2 Pemupukan

Ubi kayu merupakan tanaman yang daya adaptasi lebih baik dibanding tanaman pangan lainnya (toleran kekeringan, toleran masam, toleran kadar Al -dd yang lebih tinggi, mampu mengekstrak hara yang lebih efektif). Kemampuan adaptasi tanaman ubi kayu yang baik menyebabkan tanaman ini dapat tumbuh dan menghasilkan meskipun diusahakan pada lahan suboptimal maupun marjinal.

Jumlah hara yang diambil untuk setiap ton umbi yang dihasilkan adalah lebih kurang 6,5 kg N, 2,24 P205 dan 4,32 kg K20. Hara yang terangkut dari dalam tanah tersebut perlu diganti melalui tindakan pemupukan organik dan anorganik (Howeler, 2002) dalam Balitkabi (2011). Oleh karena itu, dalam jangka panjang produktivitasnya pada lahan suboptimal/marjinal juga akan cepat menurun apabila dalam pengusahaannya tanpa disertai dengan pemupukan yang seimbang dengan hara yang diekstraksi.

Pemupukan sangat diperlukan untuk memperoleh hasil ubi kayu yang tinggi , mengingat tanaman ini banyak dibudidayakan pada lahan yang tanahnya mempunyai kesuburan sedang sampai rendah seperti tanah Alfisol (Mediteran), Oxisol (Latosol), dan Ultisol (Podsolik). Karena relatif banyak membutuhkan hara N dan K, ubi kayu tanggap terhadap pemupukan unsur hara tersebut.

2.Ekstensifikasi (Perluasan areal tanam/panen)

Saat ini, luas panen ubi kayu berkisar 1.2 –1.5 juta hektar. Di sisi lain, lahan kering berupa tegalan, maupun ladang yang belum dimanfaatkan masih luas. Pada beberapa daerah sentra produksi ubi kayu juga masih terdapat lahan tidur yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan.

(37)

masing-23

masing sekitar 3.1 juta hektar, 6.2 juta hektar, 0.8 juta hektar dan 1.2 juta hektar sangat potensial sebagai daerah pengembangan ubi kayu, terutama pada daerah beriklim basah (Balitkabi, 2011).

Selain mengembangkan ubi kayu pada lahan yang baru, peningkatan luas areal tanam ubi kayu juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan pada perkebunan atau hutan industri yang tanaman utamanya masih berumur 1- 3 tahun. Di Lampung, ubi kayu banyak diusahakan pada perkebunan karet atau kelapa sawit muda. Di Jawa Timur, ubi kayu banyak ditanam brsama dengan jati muda. Di lahan tadah hujan di Jawa Timur dan Jawa Tengah, ubi kayu banyak ditanam secara tumpangsari dengan tanaman pangan lain seperti padi gogo, jagung, kacang-kacangan atau sayuran.

Tabel 7 Rekomendasi lokasi areal tanam dan potensi pengembangan produksi ubi kayu

Provinsi Nilai LQ Produktivitas (ton/ha) yang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia. Hal tersebut didukung oleh keadaan iklim Indonesia, sehingga tanaman ini dapat tumbuh hampir di seluruh wilayah Indonesia. Saat ini, permintaan ubi kayu baik dalam bentuk segar maupun olahan terus meningkat. Perkembangan sektor industri dan pengembangan biofuel menjadi pemicu hal tersebut.

Indonesia berada dalam peringkat ketiga sebagai pengekspor ubi kayu setelah Thailand dan Vietnam. Perkembangan ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia mengalami fluktuasi, bahkan cenderung menurun. Meskipun produksi dalam negeri terus meningkat.

(38)

24

Rata-rata volume ekspor ubi kayu olahan kering Indonesia menurun drastis pasca krisis moneter menjadi 16 840 ton/tahun, dengan laju 85 persen/tahun. Hal tersebut merupakan imbas dari krisis moneter. Banyak industri pengolahan yang gulung tikar. Selain itu, Indonesia mempunyai pesaing baru yaitu Vietnam. Volume ekpsor Vietnam terus meningkat, bahkan sejak tahun 2002 pangsa pasar Indonesia beralih ke Vietnam (Tabel 8).

Tabel 8 Perkembangan total ekspor ubi kayu Indonesia tahun 1989-2013

Periode Rata-rata volume

Sumber : UN Comtrade, 2014 (diolah)

Harga rata-rata ekspor Indonesia pasca krisis moneter mengalami penurunan yang cukup tinggi, sebesar 14 persen dari 107.65 (US$/ton) menjadi 94.65 (US$/ton). Hal tersebut dikarenakan munculnya supplier baru, yaitu Vietnam yang menawarkan harga lebih rendah. Kemudian, pasca krisis ekonomi, harga ekspor ubi kayu Indonesia naik sebesar 57 persen dibandingkan periode sebelumnya. Permintaan yang semakin meningkat dan terbatasnya jumlah penawaran menjadi penyebab hal tersebut. Laju pertumbuhan ubi kayu Indonesia pasca krisis ekonomi tutun menjadi 43 persen/tahun.

Gambaran Umum Ekspor Ubi Kayu di Negara Pengekspor Terbesar

1. Thailand

Di Thailand, ubi kayu merupakan komoditi pangan yang penting setelah padi. Ubi kayu disini lebih dikembangkan sebagai bahan baku industri, yang berorientasi ekspor. Sebanyak 68 pesen ubi kayu Thailand diekspor dan sisanya digunakan untuk kebutuhan domestik. Ubi kayu yang digunakan sebagai bahan baku ethanol sebanyak 5 persen, sebanyak 8 persen digunakan untuk kebutuhan pellet dalam negeri, sebanyak 32 persen merupakan pellet yang diekspor, sebanyak 19 persen digunakan untuk bahan baku industri tepung dalam negeri dan 36 persen merupakan olahan tepung yang diekspor. Thailand memiliki beberapa varietas ubi kayu. Namun, hampir semua variates merupakan jenis ubi kayu pahit, yang digunakan sebagai bahan baku industri pakan dan pati. Rayong 1 merupakan varietas unggulan. Varietas lokal ini dikeluarkan pada tahun 1975 dengan produktivitas sebesar 14 ton/Ha. Sejak 1960, penggunaan ubi kayu sebagai bahan baku pakan dan pati semakin meningkat, terutama untuk ekspor (Piyachomkwan, 2011).

(39)

25

bahan baku lainnya untuk memproduksi pakan senyawa pada peternakan dengan skala besar (Poramacom, 2013).

Thailand mulai mengekspor ubi kayu pada pertengahan 1960, dengan tujuan pasar Eropa dalam bentuk kepingan dan pellet. Pada tahun 1989, ekspor ubi kayu ke Eropa menurun drastis sebanyak 9 juta ton, akibat perubahan kebijakan perdagangan di Eropa. Kemudian, Cina menjadi tujuan utama ekspor Thailand (Tabel 9).

Ada beberapa hal yang mendasari pergeseran tersebut, diantaranya :

1. Perbedaan kebutuhan. Ubi kayu di pasar Eropa digunakan untuk bahan baku industri pakan. Sehingga, Thailand harus mengekspor dalam bentuk pellet. Bentuk dan ukuran menjadi penting, agar memudahkan mencampur dengan bahan lainnya. Sedangkan, Cina menggunakan ubi kayu untuk kebutuhan pembuatan ethanol. Bentuk dan ukuran bukanlah prioritas, tetapi kandungan patinya. Chip yang diminta Cina harus memiliki kandungan pati sebesar 67 persen, lebih tinggi dibandingkan yang diminta Eropa sebesar 65 persen. 2. Jarak Thailand ke Cina lebih dekat dibandingkan ke Eropa. Hal ini

berpengaruh pada biaya transportasi.

3. Memproduksi chips lebih mudah dibandingkan memproduksi pellet, teknologi yang digunakan pun relatif lebih mudah.

Tabel 9 Negara tujuan ekspor ubi kayu Thailand tahun 2004-2011

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata (%/tahun)

Belgia 3 0 2 1 0 0 0 0 0.75

Korea 2 0 0 0 16 2 0 0 2.50

Cina 56 91 90 64 44 96 98 99 79.75

Belanda 17 1 0 18 17 0 0 0 6.63

Spanyol 19 7 4 10 14 0 0 0 6.75

Lainnya 3 1 4 7 9 2 2 1 3.63

Sumber : UN Comtrade, 2012 (diolah)

Pada 2004-2011, ubi kayu olahan kering Thailand sebagian besar diekspor ke Cina. Rata-rata volume ekspor ke Cina sekitar 80 persen dari total ekspor. Kemudian Belanda dan Spanyol meyerap masing-masing sekitar 7 persen dari total ekspor Thailand. Selain itu, Korea menyerap 2.5 persen dari total ekspor ubi kayu Thailand.

Pada 2008, ekspor ubi kayu kering ke Cina menurun sebesar 20 persen. Sedangkan, ekspor ke Korea meningkat sebesar 16 persen dan ke Spanyol meningkat sebesar 4 persen. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan harga ekspor yang cukup tinggi antara Korea dan Cina. Harga ekspor ke Korea sebesar US$ 181/ton. Sedangkan, harga ekspor ke Cina hanya US$ 164/ton atau lebih rendah 9 persen.

Gambar

Tabel 1 Penggunaaan Ubi Kayu di Indonesia Tahun 2007-2011
Tabel 3 Luas panen, produktivitas dan produksi ubi kayu di lima provinsi di Indonesia di tahun 2013
Tabel 4 Nilai dan jumlah ekspor dan impor ubi kayu 1) Indonesia tahun 2004-2011
Tabel 5 Total volume ekspor ubi kayu kering di Thailand, Vietnam, dan Indonesia tahun 2004-2011
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis menunjukkan bahwa pada responden dengan pengetahuan tentang menggosok gigi yang kurang proporsi skor plak kurang lebih besar (79,8%) dibandingkan dengan yang skor

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menilai tingkat serangan serangga hama gudang, menilai beberapa faktor fisik penyimpanan beras yang

[r]

Setelah dilakukan seleksi kandidat serta pemodelan diperoleh hasil nilai Exp (B) atau disebut juga Odds Ratio (OR) dari yang paling besar sebagai berikut : Variabel

yang berjudul “ Keberadaan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Di Dusun Ranurejo, Desa Sumberanyar, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo Tahun 1932-1985 ”. Skripsi

Oksigen terlarut merupakan faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme-organisme

Kegiatan refleksi yaitu kegiatan yang dilakukan untuk mengemukakan kembali apa yang sudah dilakukan. Pada tahap ini guru pelaksana tindakan dan guru pengamat

Mengkonsumsi wortel Aceh ternyata mempuyai nilai efektivitas yang lebih baik (p- value &lt; 0,05) dibandingkan mengonsumsi wortel Medan terhadap perubahan debris indeks