• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Rasio Selter Lobster Yang Berbeda Terhadap Respons Stres Dan Kinerja Produksi Pendederan Lobster Pasir Panulirus Homarus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Rasio Selter Lobster Yang Berbeda Terhadap Respons Stres Dan Kinerja Produksi Pendederan Lobster Pasir Panulirus Homarus"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI RASIO SELTER : LOBSTER YANG BERBEDA

TERHADAP RESPONS STRES DAN KINERJA PRODUKSI

PENDEDERAN LOBSTER PASIR

Panulirus homarus

SUHAIBA DJAI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Rasio Selter : Lobster yang Berbeda terhadap Respons Stres dan Kinerja Produksi Pendederan Lobster Pasir Panulirus homarus adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2017

Suhaiba Djai

(4)

RINGKASAN

SUHAIBA DJAI. Evaluasi Rasio Selter : Lobster yang Berbeda terhadap Respons Stres dan Kinerja Produksi Pendederan Lobster Pasir Panulirus homarus. Dibimbing oleh EDDY SUPRIYONO dan KUKUH NIRMALA.

Lobster pasir (Panulirus homarus) merupakan salah satu jenis lobster air laut yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat sebab jumlah permintaan pasar yang tinggi baik pasar lokal maupun internasional. Kegiatan budidaya pembesaran lobster telah dilakukan dengan keramba jaring apung (KJA), namun kegiatan ini masih memiliki kelemahan yaitu rendahnya tingkat kelangsungan hidup. Rendahnya tingkat kelangsungan hidup disebabkan sifat kanibalisme lobster hingga menimbulkan kematian. Kanibalisme terjadi saat lobster moulting, selain itu benih yang tidak seragam dapat menyebabkan pula terjadinya kanibalisme. Salah satu untuk mengatasi kanibalisme yaitu dengan menyediakan selter yang berfungsi sebagai tempat persembunyian/berlindung lobster dalam media pemeliharaan. Hal ini diadaptasi sesuai habitat lobster pasir di alam yang memanfaatkan terumbu karang sebagai tempat berlindung. Penelitian ini bertujuan menganalisis rasio selter yang berbeda terhadap respons stres dan kinerja produksi pendederan lobster pasir

Panulirus homarus.

Metode penelitian menggunakan rancangan acak lengkap, dengan 4 perlakuan dan 2 ulangan, perlakuan yang digunakan yaitu rasio selter (a) 1 : 5, (b) 3 : 5, (c) 4 : 5 dan (d) 5 : 5. Lobster pasir yang digunakan berasal dari pengumpul benih di daerah Pelabuhan Ratu, Sukabumi dengan berat rata-rata 30,64±0,58 g/ekor, dan panjang rata-rata 100,11±1,42 mm/ekor yang dipelihara dengan kepadatan 23 ekor/bak dan lama pemeliharan selama 60 hari. Jenis pakan yang digunakan yaitu potongan ikan rucah dengan FR 3% bobot lobster, dan frekuensi pemberian pakan 1 kali sehari pada pukul 18.00 WIB.

Parameter kualitas air yang diuji selama pemeliharaan yaitu suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut (DO), amonia, nitrat dan nirit. Parameter respons stres yang digunakan untuk menganalisi tingkat stres lobster yaitu total hemocyte count (THC) dan kadar glukosa hemolymph. Parameter kinerja produksi yaitu frekuensi

moulting, rasio konversi pakan (FCR), bobot, laju pertumbuhan harian (LPH) dan tingkat kelangsungan hidup (TKH)).

Hasil penelitian menunjukkan kondisi kualitas air selama penelitian masih memenuhi standar untuk pertumbuhan lobster pasir. Perlakuan rasio selter 4 : 5 lebih efektif menekan tingkat stres lobster hal ini ditunjukkan oleh nilai THC dan kadar glukosa hemolymph selama penelitian dalam kondisi yang stabil. Serta menghasilkan kinerja pertumbuhan yaitu pertumbuhan bobot sebesar 57,28±0,15 g/ekor, LPH 0,94±0,04% dan TKH 91,31±2,60%.

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan dengan penggunaan rasio selter 4 : 5 pada pendederan lobster Panulirus homarus memberikan respons stres yang lebih baik, ditinjau dari respons THC, dan kadar glukosa hemolymph, selama penelitian mampu menekan tingkat stres dan menghasilkan tingkat pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang lebih baik dibanding perlakuan lainnya.

(5)

SUMMARY

SUHAIBA DJAI. Evaluation of the different Shelter Ratio towards Stress Responsse and Production Performance of Spiny Lobster Panulirus homarus. Supervised by EDDY SUPRIYONO and KUKUH NIRMALA.

Spiny lobster Panulirus. homarus is one of lobster species commonly cultivated by fish farmer concerning the high demand, both in the local and international market. Lobster grow out farming activities have been conducted in floating net cages (KJA); however, these activities still have a weakness that is low survival rate due to cannibalism which leads to lobster death. Cannibalism occurs when lobster molts. Moreover, a varied size of lobster seeds will also cause cannibalism. One effort to overcome the cannibalism is by providing shelter that serves as a hiding place in lobster culture tank. It is adapted to the natural habitat of spiny lobster utilizing coral reefs as a shelter. This study was aimed to analyze the effect of the ratio of shelter different lobster on the stress responsse and production performance of spiny lobster Panulirus homarus.

The research method used was a completely randomized design, with four treatments and two replications. Shelter ratios used were a) 1:5, (b) 3:5, (c) 4:5 and (d) 5:5. Spiny lobsters were obtained from lobster seed collectors in Pelabuhan Ratu, Sukabumi with an average weight of 30.64±0.58 g/lobster and an average length of 100.11±1.42 mm/lobster. Lobster seeds were then cultured at a density of 23 lobster/tank for 60 days and were fed once a day at 6 pm with a feeding rate of 3% using trash fish.

Water quality parameters were tested during maintenance such as temperature, salinity, pH, dissolved oxygen (DO), ammonia, nitrate, and nitrite. Stress responsse parameter used to analyze the lobster stress levels namely total hemocyte count (THC) and hemolymph glucose level. The parameters of production performance were molting frequency, feed conversion ratio (FCR), weight gain, daily growth rate (DGR) and survival rate (SR).

The results show that the water quality conditions throughout the study met the standard for the growth of spiny lobster. Treatment with shelter ratio of 4:5 gave the best result as indicated by stable stress responsse during the experiment such as total hemocyte count and hemolymph glucose level. Moreover, growth performances obtained were a weight gain of 57.28±0.15 g/lobster, a daily growth rate of 0.94±0.04%, and survival rate of 91.31±2.60 %.

Based on the study result, it is concluded that the use of shelter ratio of 4:5 in the nursery of Panulirus homarus lobster resulted in better stress responsse, in terms of the responsse of total hemocyte count and glucose level during the study. The treatment was also able to reduce the stress level and produce better growth rate and survival rate than other treatments.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

EVALUASI RASIO SELTER : LOBSTER YANG BERBEDA

TERHADAP RESPONS STRES DAN KINERJA PRODUKSI

PENDEDERAN LOBSTER PASIR

Panulirus homarus

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

(8)
(9)

Judul Tesis : Evaluasi Rasio Selter : Lobster yang Berbeda terhadap Respons Stres dan Kinerja Produksi Pendederan Lobster Pasir Panulirus homarus Nama : Suhaiba Djai

NIM : C151130521

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Eddy Supriyono, MSc Ketua

Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur

Dr Ir Widanarni, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dapat diselesaikan. Tema yang dipilih

dalam penelitian ini yaitu “ Evaluasi Rasio Selter : Lobster yang Berbeda terhadap Respons Stres dan Kinerja Produksi Pendederan Lobster Pasir Panulirus homarus

“ yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2015 ini sampai Januari 2016 di

Laboratorium Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Ancol Timur, Jakarta Utara.

Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Dr Ir Eddy Supriyono, MSc selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan tema dan fasilitas penelitian kepada penulis, serta memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian hingga penyelesaian tesis.

2. Dr Ir Kukuh Nirmala, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penyelesaian tesis.

3. Dr Ir Agus Oman Sudrajat, MSc sebagai dosen penguji tamu dan Ibu Dr Ir Widanarni, MSi sebagai komisi program studi yang telah banyak memberikan saran pada sidang ujian tesis.

4. Kukuh Adiyana, ST, MSi yang telah memberi fasilitas dan saran di lapangan selama penelitian, Bapak Mardi yang membantu selama penelitian, serta rekan-rekan Tim Riset Lobster 2015 atas bantuan dan kerja sama selama penelitian. 5. Ayahanda La Djai, ibunda Wandoliwu, kakak Sumana, Sairin, Suriyati, Salwia,

La ode Haerudin, Indah Jessica Nurhasana, serta adik Ahmad Syri Akbar dan Ahmad Faizin Alfareza yang selalu mencurahkan kasih sayang, do’a dan motivasi yang tiada henti kepada penulis.

6. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas penyediaan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) tahun 2013 sehingga penulis dapat melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

7. Teman-teman Ilmu Akuakultur 2013 Ega Aditya Prama, Rudiansyah, Aisyah Lukmini, Wiwi Hildayanti, Tuti Puji Lestari, Nurina, Tira Silvianti, Windu Sukendar, Kak Muthahharah Muchtar, Sophia, dan Ika Wahyuni Putri atas kebersamaan dalam menempuh studi.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2017

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 3

Hipotesis 3

2 METODE 3

Waktu dan Tempat 3

Rancangan Penelitian 3

Prosedur Penelitian 3

Parameter Penelitian 4

Analisis Data 6

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Hasil 6

Pembahasan 12

4 SIMPULAN DAN SARAN 18

Simpulan 18

Saran 18

DAFTAR PUSTAKA 18

LAMPIRAN 23

(12)

DAFTAR TABEL

1 Kisaran kualitas air selama pemeliharaan lobster pasir 8

DAFTAR GAMBAR

1 Nilai THC lobster pasir selama penelitian 8

2 Kadar glukosa hemolymph lobster pasir selama penelitian 9 3 Frekuensi moulting lobster pasir selama penelitian 9 4 Nilai rasio konversi pakan lobster selama penelitian 10

5 Bobot lobster pasir selama penelitian 11

6 Laju pertumbuhan harian lobster pasir selama penelitian 11 7 Tingkat kelangsungan hidup lobster pasir selama penelitian 12

DAFTAR LAMPIRAN

1 Denah bak pemeliharaan lobster pasir 24

2 Skema letak selter pada setiap perlakuan 25

3 Jenis selter paralon yang digunakan 25

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lobster air laut merupakan salah satu produk unggulan perikanan yang bernilai ekonomi tinggi. Permintaan lobster air laut di dunia mengalami peningkatan sekitar 15% per tahun (Jones 2010). Kenaikan permintaan pasar internasional dipengaruhi meningkatnya pasar ekspor ke negara Hongkong, Taiwan dan Jepang, sedangkan pasokan lobster di Indonesia tidak tersedia secara terus-menerus. Ketersediaan lobster di Indonesia diperoleh dari hasil penangkapan di alam, hasil tangkapan lobster mengalami penurunan, sesuai data penangkapan pada 2013 (16.482 ton/tahun), dan 2014 (10.086 ton/tahun) (KKP 2015). Selain itu kegiatan penangkapan yang terus-menerus menimbulkan penangkapan berlebih ( over-fishing), sehingga berdampak pada kapasitas induk (broodstock) sebagai penghasil benih untuk budidaya.

Diperlukan kegiatan budidaya untuk menjaga ketersediaan induk lobster di alam. Melalui kegiatan budidaya, diharapkan kebutuhan lobster untuk pasar ekspor maupun domestik akan terpenuhi, baik dalam jumlah, kualitas, maupun kontinuitas. Di Indonesia telah dilakukan kegiatan budidaya pembesaran lobster dengan keramba jaring apung (KJA) seperti di wilayah Nusa Tenggara Barat (Lombok), Jawa Barat (Pelabuhan Ratu) dan Yogyakarta (Pantai Gunung Kidul). Salah satu jenis lobster yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat adalah lobster pasir (Panulirus homarus), permintaan terhadap jenis lobster tersebut cukup tinggi baik pasar lokal maupun pasar internasional. Lobster pasir membutuhkan waktu 6 bulan pemeliharaan untuk mencapai ukuran jual (200-300 g) lebih cepat dibanding jenis lobster mutiara (Panulirus ornatus) yang memerlukan 9-10 bulan pemeliharan untuk mencapai ukuran jual, dan ketersedian benih lobster pasir lebih merata disetiap daerah (Suastika et al. 2008; Chau et al. 2008).

Pemeliharaan lobster dalam KJA masih memiliki kelemahan yaitu rendahnya tingkat kelangsungan hidup (40-50%) (Suastika et al. 2008). Rendahnya kelangsungan hidup disebabkan sifat kanibalisme lobster. Kanibalisme terjadi pada saat lobster moulting (post moulting) (Boot dan Kittaka 1994). Selain itu, Johnston

et al. (2006) menyatakan ukuran benih yang beragam dalam budidaya, dapat menyebabkan potensi terjadinya kanibalisme hingga menimbulkan kematian. Sifat kanibalisme lobster merupakan faktor penting yang menjadi perhatian oleh para pembudidaya. Upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi tingginya tingkat kanibalisme adalah dengan penggunaan selter pada wadah pemeliharaan. Selter diadaptasi dari habitat lobster di alam yang memanfaatkan terumbu karang sebagai tempat berlindung dari serangan predator dan saat lobster moulting (Eggleston et al. 1997; Fourzan dan Alvares 2001).

(14)

2

ekor/m2 menghasilkan kelangsungan hidup mencapai 84% dan laju pertumbuhan harian 0,77±0,014%/hari (Lesmana 2013). Menurut Lukito dan Prayugo (2003) penggunaan pipa PVC lebih dianjurkan baik di akuarium ataupun di kolam karena memiliki daya tahan yang lebih lama, tidak mudah pecah dan dapat dipotong sesuai ukuran lobster yang dipelihara apabila dibandingkan dengan batu bata atau mesh.

Respons stres merupakan salah satu variabel fisiologis yang mempengaruhi tingkat kesehatan, pertumbuhan, reproduksi, efisiensi pakan dan kelangsungan hidup lobster (Verghese et al. 2007). Respons stres dapat dievaluasi secara subjektif dengan menggunakan pengamatan tingkah laku atau secara kuantitatif dengan mengukur perubahan pada beberapa variabel fisologis seperti penggunaan oksigen, komposisi darah, pH, hormon, ion dan hemosit (Lorenzon et al. 2007). Menurut Jussila et al. (2001), salah satu parameter yang dapat digunakan sebagai indikator terjadinya stres pada krustasea dengan melihat Total Hemocyte Count (THC). Menurut Adiyana et al. (2014) dengan menggunakan jenis selter paralon pada pendederan benih lobster Panulirus homarus skala laboratorium secara indoor

dengan menggunakan sistem resirkulasi memberikan SR 65,26% dan menghasilkan respons stres yang lebih rendah.

Penelitian mengenai selter telah dilakukan, namun belum adanya informasi berapa jumlah selter yang optimal untuk budidaya lobster, sehingga perlu dilakukan kajian lebih lanjut. Penerapan rasio selter dalam budidaya lobster diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengatasi kanibalisme dan mampu menekan tingkat stres, sehingga dapat menghasilkan kinerja produksi yang optimal. Budidaya lobster dengan rasio selter dapat menjadi teknologi produksi yang efektif dan efisien baik produktivitas maupun kontinuitasnya.

Perumusan Masalah

Salah satu kendala dalam kegiatan budidaya lobster pasir P. homarus adalah rendahnya tingkat kelangsungan hidup, penyebab utama kematian lobster selama masa pemeliharaan adalah kanibalisme. Kanibalisme terjadi ketika lobster

moulting, selain itu ukuran benih yang tidak segaram dapat menyebabkan pula terjadinya kanibalisme. Upaya untuk membudidayakan lobster pasir dengan menggunakan selter merupakan salah satu solusi dalam mengurangi kematian. Penerapan selter telah dilakukan pada kegiatan pendederan secara indoor, namun belum ada informasi mengenai rasio selter, sehingga perlu dikaji lebih lanjut mengenai rasio selter lobster. Dengan aplikasi rasio selter diharapkan dapat meningkatkan kelangsungan hidup lobster, menghasilkan benih yang seragam dan adaptif, hingga siap ditebar pada kegiatan pembesaran dengan KJA.

Tujuan Penelitian

(15)

3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi teknologi pada kegiatan budidaya lobster pasir P. homarus skala pendederan secara indoor dengan penggunaan rasio selter.

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah pemeliharaan lobster dengan menggunakan rasio selter tertentu akan mengurangi tingkat stres sehingga meningkatkan kinerja produksi pendederan lobster pasir P. homarus.

2

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Januari 2016, pemeliharan dilakukan selama dua bulan di Laboratorium Ilmu Kelautan IPB, Jalan Pasir Putih 1 Ancol Timur – Jakarta Utara. Uji kadar glukosa hemolymph dilakukan di Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Uji kualitas air dilakukan di Laboratorium Lingkungan Budidaya Perairan IPB

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 2 ulangan. Jenis perlakuannya adalah rasio selter : lobster yaitu (A) 1 : 5, (B) 3 : 5, (C) 4 : 5, (C) 5 : 5 (Lampiran 1).

Rasio selter yang diterapkan pada penelitian ini merupakan modifikasi jumlah selter pipa PVC yang digunakan pada penelitian jenis selter, rasio selter yang digunakan 1 : 5. Diharapkan lobster dapat memanfaatkan selter yang disebar pada media pemeliharaan.

Prosedur Penelitian

Persiapan Wadah

Penelitian ini menggunakan bak plastik berukuran (1 x 1 x 1) m3 dengan dengan volume air laut 800 liter/bak, yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi. Penyuplai oksigen menggunakan aerator jenis diffuser sebanyak 2 titik aerasi pada setiap bak. Di sekeliling dinding bak pemeliharaan dipasang waring. Selter yang digunakan pada penelitian ini berupa susunan paralon yang terbuat dari bahan

polyvinyl chloride (PVC), yang berwarna putih dengan panjang 25 cm dan berdiamater 5,5 cm bentuk selter dapat dilihat pada lampiran (Lampiran 2).

Persiapan Benih

(16)

4

100,11±1,42 mm/ekor. Benih diperoleh dari pengumpul benih di daerah Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Benih lobster diaklimatisasi selama tujuh hari pada bak aklimatisasi berukuran (4 x 1 x 1,1) m3, dengan ketinggian air 35 cm. Selama proses aklimatisasi lobster diberi pakan ikan rucah 3% dari biomassa.

Pemeliharaan

Benih lobster yang telah diaklimatisasi disortir untuk mendapatkan lobster yang sehat, tidak cacat dan bobotnya yang seragam. Selanjutnya benih ditebar pada masing-masing bak perlakuan dengan padat tebar 23 ekor/perlakuan. Masa pemeliharaan dalam penelitian ini selama 60 hari. Selama penelitian, pakan diberikan sebanyak 3% dari bobot tubuh, dengan frekuensi pemberian pakan satu kali sehari pada pukul 18.00 WIB. Pakan yang digunakan selama penelitian berupa pakan ikan rucah, yang terdiri dari beberapa jenis ikan. Ikan ini didapat langsung dari nelayan. Ikan yang digunakan sebagai pakan berupa daging (tidak termasuk kepala, ekor dan isi dalam).

Selama pemeliharaan pengamatan kualitas air dilakukan setiap hari selama penelitian, meliputi: suhu, salinitas, DO, dan pH. Untuk nitrat, nitrit, dan amonia dilakukan setiap 10 hari. Pengamatan respons stres dan pengukuran bobot dilakukan sampling setiap 10 hari. Tingkat kelangsungan hidup diamati pada akhir penelitian.

Parameter Penelitian

Parameter Respons Stres

Total Hemocyte Count (THC)

Pemeriksaan THC hemolymph lobster dilakukan sebagai indikator stres, pengamatan THC dilakukan pada hari ke 0, 10, 20, 30, 40, 50, dan hari ke-60. Teknik pengambilan sampel hemolymph yaitu menggunakan syringe yang telah dibilas dengan anti koagulan. Penambahan anti koagulan dilakukan untuk analisis THC dengan perbandingan 2 : 1 (0,2 mL anti koagulan untuk 0,1 mL hemolymph).

Hemolymph lobster diambil pada bagian kaki jalan belakang dekat abdomen lobster. Pengitungan THC menggunakan hemasitometer. Analisis THC dilakukan secara

in-situ mengacu pada metode Blaxhall dan Daisley (1973). Pengitungan THC dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

THC = rata-rata jumlah sel x

� � x faktor pengencer

Kadar Glukosa Hemolymph

(17)

5 kadar glukosa hemolymph lobster pasir dengan menggunakan metode GOD-PAP. Analisis kadar glukosa hemolymph mengacu pada Barham dan Trinder (1972); Teucher et al. (1971). Penghitungan kadar glukosa hemolymph dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

KG = 100 x ∆ �

[mg/dl]

Keterangan:

KG = Kadar glukosa hemolymp (mg/dl).

∆A sampel = Absorbansi sampel

∆A STD = Absorbansi standar

Parameter Kinerja Produksi

Frekuensi Moulting

Frekuensi moulting dihitung untuk mengetahui total lobster moulting

selama pemeliharaan. Frekuensi moulting dihitung dengan cara pengamatan langsung karapas lobster yang lepas dari tubuh lobster pada media pemeliharaan setiap perlakuan.

Rasio Konversi Pakan

Rasio konversi pakan (FCR) dihitung pada akhir penelitian. FCR dihitung untuk mengetahui total pakan yang digunakan untuk membentuk biomassa lobster saat panen. Rasio konversi pakan dihitung dengan menggunakan persamaan (Effenfie 1979):

� = �

Keterangan:

FCR = Rasio konversi pakan F = Jumlah pakan (g)

Bt = Biomasa lobster pada akhir penelitian (g) B0 = Biomasa lobster awal penelitian (g)

Laju Pertumbuhan Harian

Laju pertumbuhan bobot harian (LPH) dihitung untuk mengetahui persentase pertambahan bobot lobster setiap harinya. LPH dihitung dengan menggunakan persamaan (Effenfie 1979):

(18)

6

Keterangan;

LPH = Laju pertumbuhan harian (%)

Wt = Berat rata-rata pada akhir pemeliharaan (g) W0 = Berat rata-rata pada awal pemeliharaan (g) t = Periode penelitian (hari)

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup (TKH) dihitung untuk mengetahui presentase dari jumlah total lobster yang hidup hingga akhir pemeliharaan. TKH dihitung dengan menggunakan persamaan (Effenfie 1979):

� =� �

Keterangan:

TKH = Tingkat kelangsungan hidup (%) Nt = Jumlah udang akhir (ekor) N0 = Jumlah udang awal (ekor)

Parameter Kualitas Air

Pengukuran kualitas air dilakukan dari awal penelitian sampai akhir penelitian yang meliputi; suhu, salinitas, pH dan oksigen terlarut (dissolved oxygen/DO) dilakukan setiap hari secara in-situ. Analisis laboratorium dilakukan pada hari ke-0,10, 20, 30, 40, 50 dan 60 yang meliputi amonia, nitrat dan nitrit Pengukuran kualitas air mengacu pada metode APHA (1999).

Analisis Data

Data hasil pengukuran parameter respons stres dan kinerja produksi ditabulasi dengan program software Microsoft Exel 2013. Uji ANOVA dianalisis dengan menggunakan software SPSS Versi 22 dengan tingkat selang kepercayaan 95%. Perlakuan yang berbeda nyata diuji lanjut dengan uji lanjut Duncan. Untuk parameter kualitas air dianalisis secara deskriptif.

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

(19)

7 Kinerja produksi meliputi; frekuensi moulting, rasio konversi pakan, pertumbuhan bobot, laju pertumbuhan harian dan tingkat kelangsungan hidup.

Kualitas Air

Hasil pengamatan kualitas air selama pemeliharaan lobster pasir yang meliputi suhu, salinitas, pH dan DO menunjukkan kondisi yang cenderung homogen pada semua perlakuan. Secara keseluruhan, kondisi suhu, salinitas, dan pH media selama masa pemeliharaan masing-masing berkisar 26,5 – 29,6 oC, 29,5

– 34,5 ppt, dan 7,6 – 8,8. Kondisi DO selama pemeliharaan mengalami fluktuasi yaitu berkisar 4,5 – 8,8 mg/L.

Kondisi amonia cenderung homogen pada hari ke-10 hingga ke-30. Selanjutnya, meningkat pada hari ke-40, dan kembali mengalami penurunan pada hari ke-50 hingga akhir penelitian. Secara keseluruhan nilai amonia berkisar antara 0,002-0,061 mg/L. Kondisi nitrit dan nitrat untuk semua perlakuan cenderung berfuktuasi. Secara keseluruhan konsentrasi nitrit dan nitrat berkisar 0,001-0,012 dan 0,001-0,290 mg/L. Kisaran kualitas air selama masa pemeliharaan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kisaran kualitas air selama masa pemeliharaan lobster pasir

Respons Stres

Respons Total Hemocyte Count (THC)

Konsentrasi THC lobster pasir pada berbagai perlakuan mengalami fluktuasi. Konsentrasi THC selama penelitian 12,00±3,50 – 32,85±5,75 x 104 sel/mL. Awal penelitian nilai THC 12,00±0,0 x 104 sel/mL semua perlakuan, hari ke-10 perlakuan rasio selter : lobster 1 : 5 dan 4 : 5 mengalami peningkatan dan untuk rasio selter : lobster 3 : 5 dan 5 : 5 mengalami penurunan, namun nilai THC pada hari ke-10 sampai hari ke-50 tidak memberikan nilai yang beda nyata terhadap semua perlakuan (p>0,05). Nilai THC pada akhir penelitian (hari ke-60) menunjukan nilai

(20)

8

yang beda nyata terhadap semua perlakuan (p<0,05). Gambaran respons THC selama penelitian disajikan pada Gambar 1.

Kadar Glukosa Hemolymph

Kadar glukosa hemolymph berfuktuasi. Kadar glukosa hemolymph normal (sebelum perlakuan) 40,06±0,00 mg/dL. Pada hari ke-20 kadar glukosa hemolymph

pada semua perlakuan mengalami penurunan dengan kisaran 3,74±0,22-11,52±0,22 mg/dL, pada hari ke-30 kadar glukosa hemolymph meningkat semua perlakuan dengan kisaran kadar glukosa hemolymph 10,04±0,19-20,38±0,22 mg/dL. Hari ke-40 kadar glukosa hemolymph pada perlakuan rasio selter : lobster 3 : 5 sebesar 23,18±0,44 mg/dL dan rasio selter : lobster 4 : 5 sebesar 11,04±0,14 mg/dL mengalami peningkatan sedangkan rasio selter : lobster 1 : 5 dan 5 : 5 mengalami penurunan sebesar 18,07±0,00 dan 11,67±0,00 mg/dL. Hari ke-50 semua perlakuan mengalami penurunan kadar glukosa hemolymph. Hari ke -60 perlakuan rasio selter : lobster 1: 5 dan 3 : 5 kembali mengalami penurunan kadar glukosa

hemolymph, namun pada perlakuan rasio selter : lobster 4 : 5 dan 5 : 5 kembali mengalami kenaikan sebesar 10,48±0,94 dan 16,22±1,41 mg/dL. Selama penelitian kadar glukosa hemolymph memberikan nilai beda nyata pada semua perlakuan (p<0,05). Grafik kadar glukosa hemolymph selama penelitian disajikan pada Gambar 2.

Gambar 1 Nilai THC lobster pasir selama penelitian. Perlakuan rasio selter : lobster (A) 1 : 5, (B) 3 : 5, (C) 4 : 5, dan (D) 5 : 5. Huruf superscript

(21)

9

Kinerja Produksi

Frekuensi Moulting

Selama penelitian lobster mengalami moulting. Frekuensi moulting lobster selama penelitian pada perlakuan rasio selter : lobster 4 : 5 sebanyak 16,8±3,54 ekor/bulan, rasio selter : lobster 3 : 5 sebanyak 15,3±4,94 ekor/bulan, rasio selter : lobster 5 : 5 sebanyak 13,5±1,41 ekor/bulan dan terendah perlakuan rasio selter : lobster 1 : 5 sebanyak 9,5±2,82 ekor/bulan. Frekuensi moulting selama masa pemeliharaan disajikan pada Gambar 3.

Gambar 2 Kadar glukosa hemolymph lobster pasir selama penelitian. Perlakuan rasio selter : lobster (A) 1 : 5, (B) 3 : 5, (C) 4 : 5, dan (D) 5 : 5. Huruf

superscript yang berbeda dalam grafik menunjukkan beda nyata (p<0,05)

Gambar 3 Frekuensi moulting lobster pasir selama penelitian dangan perlakuan rasio selter : lobster (A) 1 : 5, (B) 3 : 5, (C) 4 : 5, dan (D) 5 : 5. Huruf

(22)

10

Rasio Konversi Pakan (FCR)

FCR lobster selama masa pemeliharaan pada setiap perlakuan adalah perlakuan rasio selter : lobster 1 : 5 sebesar 9,93±0,98, rasio selter : lobster 3 : 5 sebesar 5,85±0,35, rasio selter : lobster 4 : 5 sebesar 8,33±0,22 dan rasio selter : lobster 5 : 5 sebesar 5,09±0,94. Nilai FCR selama penelitian disajikan pada Gambar 4.

Pertumbuhan Lobster

Awal penelitian bobot rata-rata lobster pasir sebesar 30,64±0,58 g/ekor. Bobot lobster pada semua perlakuan meningkat. Akhir penelitian bobot rata-rata tertinggi pada perlakuan rasio selter : lobster 4 : 5 sebesar 57,28±0,15 g/ekor, perlakuan rasio selter : lobster 1 : 5 bobot rata-rata 55,83±2,18 g/ekor, perlakuan rasio selter : lobster 3 : 5 sebesar 55,97±1,06 g/ekor dan yang rendah dengan bobot rata-rata 52,26±1,52 g/ekor terdapat pada perlakuan rasio selter : lobster 5 : 5. Selama pemeliharaan bobot lobster cenderung konstan dan memiliki pertumbuhan yang relatif kecil. Bobot lobster pasir selama penelitian disajikan pada Gambar 5. Gambar 4 Nilai rasio konversi pakan (FCR) lobster selama penelitian

danganperlakuan rasio selter : lobster (A) 1 : 5, (B) 3 : 5, (C) 4 : 5, dan (D) 5 : 5. Huruf superscript yang berbeda dalam grafik menunjukkan beda nyata (p<0,05).

9,93±0,98b

5,83±0,35a

8,33±0,22b

5,09±0,94a

0 2 4 6 8 10 12

A B C D

F

C

R

(23)

11

Laju Pertumbuhan Harian (LPH)

LPH selama penelitian berkisar 0,79±0,04 - 0,94±0,04%/hari. LPH tertinggi pada perlakuan rasio selter : lobster 4 : 5 yaitu 0,94±0,04%/hari dan rasio selter : lobster 3 : 5 berkisar 0,90±0,03%/hari, untuk perlakuan rasio selter : lobster 1 : 5 berkisar 0,89±0,07%/hari dan terendah pada perlakuan rasio selter : lobster 5 : 5 yaitu 0,79±0,04%/hari. Penggunaan rasio selter tidak memberikan laju pertumbuhan harian yang beda nyata terhadap semua perlakuan (p>0,05). LPH lobster pasir disajikan pada Gambar 6.

Gambar 5 Bobot lobster pasir selama penelitian dangan perlakuan rasio selter :

Gambar 6 Laju pertumbuhan harian (LPH) lobster pasir dengan perlakuan rasio selter : lobster (A) 1 : 5, (B) 3 : 5, (C) 4 : 5, dan (D) 5 : 5. Huruf

(24)

12

Tingkat Kelangsungan Hidup (TKH)

Hasil TKH lobster pada saat panen adalah tertinggi terdapat pada perlakuan rasio selter : lobster 4 : 5 sebesar 91,30±2,60%, rasio selter : lobster 3 : 5 sebesar 89,13±3,07% , rasio selter : lobster 5 : 5 dan terendah terdapat pada perlakuan rasio selter : lobster 1 : 5 sebesar 82,61±0,00%. TKH lobster pasir P. homarus selama penelitian disajikan pada Gambar 7.

Pembahasan

Kualitas Air

Budidaya lobster pasir harus memperhatikan kualitas air sama seperti budidaya komoditas lainnya karena lobster akan tumbuh dengan baik jika berada pada kondisi lingkungan sesuai dengan kemampuan hidupnya. Beberapa parameter kualitas air yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah suhu, salinitas, DO, pH, amonia, nitrit dan nitrat.

Suhu air merupakan faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi laju metabolisme, pertumbuhan dan kelangsungan hidup krustasea (Guan et al. 2003). Perubahan suhu air diikuti perubahan suhu tubuh organisme. Apabila terjadi penurunan suhu lingkungan akan menurunkan suhu tubuh, sehingga laju metabolisme akan menurun pula. Kondisi suhu selama penelitian masih sesuai untuk pertumbuhan lobster, karena berada pada rentang suhu 26,5-29,6 oC hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Phillips dan Kittaka (2000) menyatakan pada suhu sebesar 28 ºC dapat mempercepat pertumbuhan juvenil P. homarus dengan panjang karapas sebesar 60 mm dalam waktu 18 bulan.

Salinitas media selama penelitian berkisar 30-34 ppt. Lobster merupakan salah satu dari filum krustasea yang mempunyai rentan salinitas yang cukup luas, menurut Radhakrishnan dan Vijayakumaran (2000) beberapa jenis lobster seperti Gambar 7 Tingkat kelangsungan hidup lobster pasir selama penelitian, dengan

(25)

13

P. homarus dapat bertahan pada salinitas 15-55 ppt dan P. polyphagus 5-55 ppt pada fase puerulus. Selanjutnya Phillips dan Kittaka (2000) menyatakan juvenil lobster P. polyphagus dan P. cygnus dapat hidup pada kisaran salinitas masing-masing sebesar 17-50 dan 25-45 ppt. Selama penelitian kondisi salinitas berkisar 30-34 ppt dengan salinitas tersebut masih sesuai dengan kehidupan lobster pasir. Salinitas optimum untuk pertumbuhan yang baik dan kelangsungan hidup lobster berduri pada umumnya 28-35 ppt (Drengstig dan Bergheim 2013).

DO di perairan dimanfaatkan oleh seluruh jasad hidup organisme akuatik untuk respirasi, pertumbuhan, perkembangbiakan, proses metabolisme dan untuk dekomposisi bahan organik. DO dapat berasal dari proses fotosintesis, proses difusi, dan dari aliran air yang masuk ke badan perairan. DO adalah bahaya umum dalam budidaya krustasea (Jiang et al. 2005). Penurunan konsentrasi DO juga dapat menghambat kinerja metabolisme, pertumbuhan dan moulting, serta memiliki efek negatif pada sistem kekebalan tubuh lobster dan dapat menurunkan resistensi terhadap penyakit. Kisaran DO selama penelitian yaitu 4,4-8,8 mg/L. Kisaran nilai DO media pemeliharaan masih sesuai untuk syarat pertumbuhan lobster pasir. Hal ini sesuai dengan pernyataan Vijayakumaran et al. (2010); Mojjada et al. (2012) bahwa kondisi DO perairan yang optimal untuk budidaya udang karang > 3,4 mg/L. Nilai pH selama penelitian berkisar 7,6-8,6. Menurut Boyd dan Tucker (1998), nilai pH yang disarankan untuk kegiatan akuakultur berkisar antara 6,5-9, sedangkan pH yang optimum untuk biota laut berkisar antara 7,5-8,5. Krustasea pada perairan payau umumnya mempunyai nilai toleransi pH yang lebih luas. Penelitian pada udang penaeidae menunjukkan pH yang optimum untuk pertumbuhan berkisar antara 5,5-8,5. Menurut Wickins dan Lee (2002), nilai pH yang disarankan untuk lobster clawed dan lobster spiny masing-masing sebesar 7,8-8,2 dan 8,0-8,5. Secara keseluruhan nilai pH selama penelitian masih sesuai untuk menunjang kehidupan lobster

Amonia ialah produk akhir katabolisme protein, diproduksi oleh pengurai bahan organik. Dalam budidaya udang, dengan konsentrasi amonia yang tinggi dapat menyebabkan perubahan imunologi dan histologi (Chang et al. 2015). Romano dan Zeng (2013) menyatakan peningkatan konsentrasi ammonia pada media budidaya krustasea berkaki sepuluh menyebabkan perubahan keseimbangan asam-basa, osmoregulatory, imunologi, serta adanya perubahan histologi. Nilai amonia selama penelitian berkisar 0,002-0,061 mg/L. Secara keseluruhan konsentrasi amonia masih memenuhi syarat untuk kehidupan lobster. Pada budidaya lobster J. edwardsii dan lobster spiny menggunakan sistem resirkulasi dengan konsentrasi amonia disarankan tidak lebih dari 0,1 mg/L (Phillips dan Kittaka (2000); Wickins dan Lee (2002).

Nitrit adalah polutan yang paling umum dalam sistem budaya. Nitrit terbentuk dari amonia dan dapat terakumulasi dalam sistem perairan sebagai akibat dari ketidakseimbangan aktivitas bakteri nitrifikasi: Nitrosomonas sp. dan

(26)

14

Nitrat nitrogen diperairan merupakan hasil dari proses oksidasi nitrogen secara sempurna melalui proses nitrifikasi yang melibatkan bakteri, diantaranya bakteri Nitrosomonas yang mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan bakteri

Nitrobacter yang mengoksidasi nitrit menjadi nitrat. Proses oksidasi nitrogen menjadi nitrat menurut Boyd dan Tucker (1998) sebagai berikut.

2NH3 + 3O2 2NO2- + 2H+ 2H2O (dengan bantuan bakteri Nitrosomonas) 2NO2- + O2 2NO3- (dengan bantuan bakteri Nitobakter)

Nilai nitrat pada media selama penelitian berkisar 0,0 – 0,299 mg/L. Secara keseluruhan konsentrasi nitrat selama penelitian masih sesuai untuk kehidupan lobster. Pada budidaya lobster J. edwardsii dan budidaya lobster spiny

menggunakan sistem resirkulasi, konsentrasi nitrat yang disarankan sebaiknya kurang dari 100 mg/L (Phillips dan Kittaka 2000; Wickins dan Lee 2002).

Respons Stres

Salah satu faktor fisiologi untuk menentukan kesehatan lobster adalah mengetahui respons stres pada lobster. Respons stres adalah reaksi fisiologis normal terhadap perubahan kondisi lingkungan seperti parameter kualitas air diantaranya kandungan oksigen, pH, salinitas, suhu, keberadaan racun (Evans 2003). Stres berpengaruh pada sistem kekebalan ikan melalui jalur metabolik (Hastuti et al. 2004; Yeh et al. 2010; Leland et al. 2013). Total hemocyte count (THC) adalah salah satu parameter yang dapat digunakan sebagai indikator terjadinya stres pada krustasea (Celi et al. 2015; D’Agaro et al. 2014; Arifin et al. 2014; Adiyana et al. 2014; Rustam et al. 2013). Sehingga dalam mengukur respons stres pada lobster dilakukan dengan cara mengukur nilai THC.

THC berperan penting dalam sistem imun krustasea. Komposisi hemolymph

diukur dan dapat digunakan sebagai penilaian kesehatan krustasea melalui karakteristik dan aktivitas sistem pertahanan terhadap agen infeksius yang diperankan oleh hemosit (Gunanti et al. 2009). Nilai THC selama penelitian terlihat konstan pada awal penelitian sampai hari ke-30, kenaikan nilai THC pada perlakuan rasio selter 3 : 5 dihari ke-40 dikarenakan respons lobster pasir terhadap media pemeliharaan yang diduga akibat dari kondisi lingkungan dimana adanya akumulasi sisa pakan saat lobster moulting, tetapi hal tersebut tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap semua perlakuan (p>0,05), menurut Leland et al. (2013) peningkatan kosentrasi THC dalam rentan waktu yang singkat mengindikasikan adanya respons stres pada krustasea.

(27)

15

D’Agaro et al. (2014) dan Johansson et al. (2000) peran hemosit dalam sistem kekebalan tubuh antara lain: (1) menghancurkan partikel asing dalam haemacoel

melalui fagositosis, enkapsulasi, agregat nodulasi, melanisasi, sitotoksitas, dan komunikasi antara sel; (2) memiliki andil dalam penanganan luka lewat reaksi seluler dan mengawali proses koagulasi dengan membawa dan melepaskan sistem proPO (prophenoloxidase); (3) terlibat dalam pembentukan dan perombakan molekul-molekul penting dalam hemolymph, seperti α2-Makroglobulin, aglutinin, dan peptida anti mikroba. Terlihat pada grafik (Gambar 1) pada akhir penelitian konsentrasi THC mengalami penurunan ini mengindikasikan bahwa dengan pemberian selter dapat menekan stres pada media pemeliharaan. Dengan rasio selter 4 : 5 dapat menekan stres, hal ini dilihat konsentrasi THC lebih rendah dibanding perlakuan lainnya, dari hasil analisis ragam memberikan pengaruh yang berbeda terhadap perlakuan lain (p<0,05).

Konsentrasi glukosa hemolymph meningkat disebabkan oleh stres akibat perlakuan yang diberikan (Adiyana et al. 2014). Peningkatan glukosa darah atau hiperglisemia menunjukkan ikan mengalami stres saat transportasi (Abreu et al. 2008; Supriyono et al. 2010). Pada awal penelitian kadar glukosa mencapai 40,06±0,00 mg/dL. Hal ini disebabkan benih lobster mengalami stres pada saat

handling awal untuk ditebar pada kolam pemeliharaan. Semakin tinggi konsentrasi glukosa mengindikasikan meningkatnya level stres. Hiperglisemia merupakan indikator terjadinya stres awal, karena tingkat glukosa sangat sensitif terhadap hormon stres (Saydmohammed dan Pal 2009).

Stres dapat terjadi karena adanya perubahan kondisi lingkungan yang baru (perubahan suhu, air dan perpindahan kolam), Chung et al. (2010) melaporkan bahwa, dalam menghadapi kondisi lingkungan yang mempengaruhi kondisi fisiologi dan menyebabkan stres krustasea pada umumnya dengan memanfaatkan energi dari proses glikolisis yang diatur oleh crustacean hyperglycemic hormone

(CHH). CHH berfungsi meningkatkan kadar glukosa hemolymph, konsentrasi laktat dalam mobilisasi cadangan glikogen intraselular, metabolisme karbohidrat, lipid, proses reproduksi, osmoregulasi dan moulting (Stentiford et al. 2001; Elwood et al. 2009; Aparicio-Simon et al. 2010; Wanlem et al. 2011).

(28)

16

Kinerja Produksi

Langkah awal pertumbuhan lobster ditandai dengan terjadinya pergantian kulit (moulting). Moulting merupakan proses pelepasan kutikula lama dan membentuk kutikula baru. Proses ini biasanya diikuti dengan pertumbuhan yang akan mengalami pertambahan panjang, lebar dan bobot (Fujaya et al. 2011). Frekuensi moulting dari lobster dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, musim, penyinaran dan habitat (Comeau dan Savoie 2001).

Fase moulting merupakan fase yang kritis bagi lobster, karena pada fase ini lobster dalam kondisi paling lemah dan lapisan cangkang luarnya belum mengeras sehingga sangat rentan terhadap infeksi penyakit maupun serangan lobster lainnya dan predator. Selain rentan terhadap penyakit dan predator, pada fase moulting, lobster juga sangat rentan terhadap perubahan lingkungan, baik itu perubahan yang terjadi di dalam lingkungan media budidaya maupun perubahan yang terjadi karena faktor perubahan cuaca. Menurut Fourzan dan Alvares (2001); Chau et al. (2008) menyatakan lobster secara alami memilih tempat untuk berlindung, baik dari predator maupun kontak langsung dari lobster lain pada saat moulting sehingga tidak terjadi kanibalisme bahkan kematian. Selanjutnya Irvin dan Williams (2008) mengemukakan telah dilakukan beberapa penelitian krustasea, dengan menyediakan tempat perlindungan/selter dapat meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup selama tahap budidaya. Dari hasil penelitian rasio selter : lobster 4 : 5 selama masa pemeliharaan lebih sering melakukan moulting.

Pertumbuhan yang baik disebabkan proses metabolisme dalam tubuh yang berjalan baik pula. Pertumbuhan lobster sangat berpengaruh terhadap efisiensi pakan yang dikonsumsi oleh lobster tersebut. Efisiensi pakan ini menunjukan pemanfaatan pakan oleh lobster untuk pertumbuhan (diwakili oleh penambahan bobot tubuh) berbanding dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Menurut Effendy

et al. (2004) ada beberapa faktor yang mempengaruhi konversi pakan, yaitu spesies (kebiasaan makan dan ukuran), kualitas air (oksigen, suhu, pH dan amonia), dan pakan (kualitas dan kuantitas).

Nilai FCR (Gambar 7) tertinggi pada rasio selter 1 : 5 sebesar 9,24±0,98, 4 : 5 (8,33±0,22), 3 :5 (5,83±0,35) dan terendah pada rasio selter 5 : 5 sebesar 5,08±0,94. Phillips dan Kittaka (2000) menyatakan, penggunaan pakan basah pada juvenil lobster menghasilkan FCR 3-9. Dan selanjutnya menurut Priyambodo dan Sarfin (2009) bahwa lobster yang di budidayakan pada KJA selama pemeliharaan memiliki FCR mencapai 12 : 1 sampai 15 : 1 dengan menggunakan jenis pakan ikan segar. Hal ini menunjukkan bahwa untuk pertumbuhan lobster membutuhkan pakan yang banyak untuk menunjang pertumbuhan. Hasil penelitian lainnya melaporkan: beberapa faktor yang mempengaruhi FCR adalah jenis pakan, usia lobster, ukuran tubuh, salinitas dan suhu (Lesmana 2013).

(29)

17 diekspresikan dengan perubahan jumlah atau ukuran sel penyusun jaringan tubuh dalam jangka waktu tertentu. Pertumbuhan dapat terjadi karena meningkatnya biomassa sebagai proses tranformasi materi dari energi pakan menjadi masa tubuh. Pertumbuhan bobot tubuh pada krustasea terjadi secara berkala yaitu setelah

moulting (Bianchini dan Ragonese 2007).

Pertumbuhan lobster berdasarkan bobot mengalami kenaikan hingga akhir pemeliharaan, namun pertumbuhan relatif kecil terlihat pada grafik (Gambar 5). Johnston et al. (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan yang cukup tinggi pada puerulus lobster Panulirus cynus (2,21±0,11 gram) pada kurun waktu 30-60 hari menunjukkan tingginya transformasi pemanfaatan pakan menjadi massa tubuh. Pada hewan krustasea pemanfaatan energi yang berasal dari pakan, biasanya tidak secara langsung dialihkan untuk pertumbuhan panjang dan bobot. Khususnya seperti lobster, diduga energi lebih banyak dialihkan pada aktivitas moulting, perbaikan organ tubuh (seperti kaki jalan atau antena yang patah, telson yang rusak, mata yang lepas), osmoregulasi, reproduksi, dan homeostasis. Pemberian selter pada media budidaya dapat meningkatkan pertumbuhan bobot lobster yang lebih tinggi, ini didukung pula oleh laju pertumbuhan harian lobster selama pemeliharaan, seperti yang dikemukakan oleh Chau et al. (2008) bahwa lobster secara alami memiliki tempat penampungan/selter untuk perlindungan baik dari predator dan dari sifat kanibalisme pada saat moulting, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan biomassa.

Tingkat Kelangsungan Hidup

Selter berfungsi sebagai tempat persembunyian yang aman bagi lobster yang mengalami moulting sehingga terhindar dari serangan lobster lain, melindungi lobster dari sinar matahari langsung dan sebagai tempat istirahat. Tingkat kelangsungan hidup lobster menentukan jumlah produksi yang diperoleh dari kegiatan budidaya. Tingkat kelangsungan hidup tertinggi pada perlakuan dengan rasio selter 4 : 5 sebesar 91,31±2,60% dan teredah pada perlakuan dengan rasio selter 1 : 5 sebesar 82,61±1,60% terlihat pada grafik (Gambar 8). Tingginya tingkat kelansungan hidup lobster pada penelitian ini disebabkan penggunaan selter pada media budidaya, menurut Johnston et al. (2006) selter sangat penting dalam habitat alami lobster berduri, dan telah terbukti dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang baik.

(30)

18

menghasilkan respons stres yang stabil dibanding perlakuan lainnya.

Selama penelitian terlihat, dengan pemberian rasio selter yang berbeda dan kepadatan lobster yang sama telah memberikan hasil penelitian yang cukup baik dilihat dari TKH, LPH, bobot lobster serta respons stres yang baik pula. Namun kepadatan lobster yang digunakan untuk skala pendederan masih dapat ditingkatkan, sehingga perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai kepadatan yang optimum dan tingkah laku lobster pasir.

4

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penggunaan selter pada media budidaya dapat memberikan pertumbuhan yang lebih baik. Rasio selter : lobster 4 : 5 merupakan yang terbaik karena dapat menekan stres hal ini didukung dengan bobot 57,28±0,15 g/ekor, laju pertumbuhan harian 0,94% dan kelangsungan hidup 91, 31% yang lebih tinggi dengan perlakuan lainnya.

Saran

Rasio selter : lobster 4 : 5 dapat diaplikasikan pada kegitan budidaya. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kepadatan optimum terkait dengan rasio selter, respons fisiologi lainnya serta tingkah laku lobster. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana interaksi yang ditimbulkan antar variabel selama berlangsungnya stres pada lobster.

DAFTAR PUSTAKA

Abreu, JS, Sanabaria OAI, Goncalves FD, Urbinati EC. 2008. Stress responsses of juvenile matrinxã (Brycon amazonicus) after transport in a closed system under different loading densities. Cienc. Rural. 38(5):1413-1417.

Adiyana K, Supriyono E, Junior MZ, Thesiana L. 2014. Aplikasi teknologi selter terhadap respons stress dan kelangsungan hidup pada pendederan lobster pasir

Panulirus homarus. Jurnal Kelautan Nasional. 9(1): 1-9.

[APHA] American Public Health Association. 1999. Standard Methods for The Examination of Water and Waste Water. 20th Edition. Washington DC (US): APHA Press.

Aparicio-Simon B, Pinon M, Racotta R, Racotta IS. 2010. Neuroendocrine and metabolic responsses of pasific whiteleg shrimp Litopenaeus vannamei exposed to acute handling stress. Aquaculture. 289:308-314.

Arifin Y, Supriyono E, Widanarni. 2014. Total Hemosit, Glukosa, dan Survival Rate Udang Mantis Harpiosquilla raphide pascatransportasi dengan dua sistem yang berbeda. Jurnal Kelautan Nasional. 9(2):1-9.

(31)

19 Bianchini ML, Ragonese S. 2007. Growth of Slipper Lobsters of the Genus Scyllarides. Di dalam: The Biology and Fisheries of the Slipper Lobster. Crustacean issues 17. Boca Raton (US): CRC Press. Hlm 199-219.

Blaxhall PC, Daishley KW. 1973. Routine haematological methods for use with fish blood. Journal of Fish Biology. 5:577-581.

Booth JD, Kittaka J. 1994. Growth of Juvenile Spiny Lobster. In B.F. Phillips and Kittaka J. (Ed). Spiny Lobster Mangemen. Oxford: Blackwell Science. Cages in Gujarat, India. Marine Biological Assey, India. 52:316-319.

Boyd CE, Tucker CS. 1998. Pond Aquaculture Water Quality Management. New York (US): Springer Science+Business Media. 1-711.

Celi M, Filiciotto F, Vazzana M, Arizza V, Maccarrone V, Ceraulo M, Mazzola S, Buscaino G. 2015. Shipping noise affecting immune responsses of European spiny lobster Palinurus elephas. Can. J. Zool. 93:113-121.

Chang Z, Chiang P, Cheng W, Chang C. 2015. Ecotoxicology and environmental safety impact of ammonia exposure on coagulation in white shrimp, Litopenaeus vannamei. Ecotoxicology and Environmental Safety. 118:98–102.

Chau NM, Ngoc NTB, Nhan LT. 2008. Effect of different types of shelter on growth and survival of Panulirus ornatus juveniles. Proceedings of an international symposium held at Nha Trang, Vietnam: 132:85-88.

Chung JS, Zmora N, Katayama H, Tsustsui. 2010. Crustacean hyperglycemic hormone (CHH) neuropeptidesfamily: Functions, titer, and binding to target tissues. General and Comparative Endocrinology. 166(3): 447–454.

Comeau M, Savoie F. 2001. Growth increment and molt frequency of the American lobster (Homarus americanus) in the Southwestern Gulf of St. Lawrence.

Journal of Crustacean Biology. 21(4): 923–936.

Drengstig A, Bergheim A. 2013. Commercial land-based farming of European lobster (Homarus gammarus L.) in Recirculating Aquaculture System (RAS) using a single cage approach. Journal of Aquacultural Engineering. 53:14–18.

D’Agaro E, Sabbioni V, Messina M, Tibaldi E, Bongiorno T, Tulli F, Lippe G,

Fabbro A, Stecchini M. 2014. Effect of Confinement and starvation on stress parameters in the American lobster Homarus americanus. Journal of Animal Science. 13(3530):891-896.

Effendie ML. 1979. Metode Biologi Perikanan. Bogor (ID): Yayasan Dewi Sri. Effendy S, Alexander R, Akbar T. 2004. Peningkatan hemosit benur udang windu

Penaeus monodon Fab. pascaperendaman ekstrak ragi roti Saccharomyces cerevisiae pada konsentrasi yang berbeda. Jurnal Sains dan Teknologi. 14(2):46-53.

Eggleston DB, Lipcius RN, Grover JJ. 1997. Predator and shelter-size effects on coral reef fish and spiny lobster prey. Marine Ecology Progress Series. 149(1– 3): 43–59.

Ekawati AW, Nursyam H, Widjayanto E, Marsoedi. 2012. Diatomae Chaetoceros ceratosporum dalam formula pakan meningkatkan respons imun seluler udang windu Penaeus monodon. J. Exp. Life Sci. 2(1):20-28.

Elwood RW, Barr S, Patterson L. 2009. Pain and stress in crustaceans. Applied Animal Behaviour Science. 118(3–4), 128–136.

(32)

20

Fujaya Y, Aslamyah S, Usman Z. 2011. Respons molting, pertumbuhan, dan mortalitas kepiting bakau Scylla olivacea yang disuplementasi vitomolt melalui injeksi dan pakan buatan. Ilmu Kelautan. 16(4):211-218.

Forzan PB, Alvarez EL. 2001. Effects of artificial shelter (Casita) on the abudance and biomassa of juvenile spiny lobster Panulirus argus in habitat-limited tropical reef lagoon. Marine Ecology Progress Series. 221:221-232.

Fotedar S, Evans L, Jones. 2006. Effect of holding duration on the immune system of wastern rock lobster Panulirus cygnus. Comparative Biochemistry and Physiologi. Part A 143(2006):479-487.

Guan Y, Yu Z, Li C, 2003. The effects of temperature on white spot syndrome infections in Marsupenaeus japonicus. J. Invertebr. Pathol. 83:257–260.

Gunanti, Maharani, Sunarti, Triastuti J, Juniastuti T. 2009. Kerusakan dan jumlah hemosit udang windu (Penaeus monodon Fab.) yang mengalami zoothamniosis.

Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 1(1):21-29.

Hastuti S, Supriyono E, Mokoginta I, Subandiyono. 2003. Responss glukosa darah ikan gurami (Osphronemus gouramy, LAC) terhadap stres perubahan suhu lingkungan. Jurnal Akuakultur Indonesia. 2(2):73-77.

Hastuti S, Mokoginta I, Dana D, Sutardi S. 2004. Resistensi terhadap stres dan responss imunitas yang diberi pakan mengandung kromium-ragi. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 11(1):15-21.

Irvin SJ, Williams KC. 2008. Comparison of the growth and survival of Panulirus ornatus seed lobster held in individual or communal cages. Proceedings of an international symposium held at Nha Trang, Vietnam: 132:89-95

James PJ, Tong L, Paewai M. 2002. Effect of stocking density and shelter on growth and mortality of early juvenile Jasus edwardsii held in captivity. Journal of Marine and Freshwater Research. 52:1413-1417.

Jiang L, Pan L, Bo F. 2005. Effect of dissolved oxygen on immune parameters of the white shrimp Litopenaeus vannamei. Fish & Shellfish Immunology. 18(2):185–188.

Jones CM. 2010. Tropical spiny lobster aquaculture development in Vietnam, Indonesia and Australia. Journal of Marine Biological Assay India. 52(2):304-315.

Johansson MW, Keyser P, Sritunyalucksana K, Soderhall K. 2000. Crustacean haemocytes and haematopoiesis. Aquaculture. 191:45-52.

Johnston D, Melville-Smith R, Hendriks B, Maguire GB, Phillips B. 2006. Stocking density and shelter type for the optimal growth and survival of western Rock lobster Panulirus cygnus George). Journal of Aquaculture. 260:114–127. Jussila JS. McBride, Jago J, Evans LH. 2001. Hemolim clotting time as an

indicator of stres in western Rock lobster (Panulirus cygnus George). Journal of aquaculture. 199:185–193.

[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2015. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2015. Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. Jakarta (ID): KKP. Lukito, A. dan S. Prayugo. 2007. Panduan Lengkap Lobster Air Tawar,

(33)

21 Leland JC, Butcher PA, Broadhurst MK, Paterson BD, Myaer DG. 2013. Damage and physiological stress to juvenile eastern rock lobster (Sagmariasus verreauxi) discarded after trapping and hand collection. Fisheries Research. 137:63–70. Lesmana D. 2013. Evaluasi Pemanfaatan Kompartemen di Keramba Jaring Apung

Terhadap Tingkat Stres dan Pertumbuhan Lobster Pasir Panulirus Homarus. [Tesis]. Bogor (ID) Institut Pertanian Bogor.

Lorenzon S, Giulianini PG, Martinis M, Ferrero EA. 2007. Stres effect of different temperatures and air exposure during transport on physiological profiles in the American lobster Homarus americanus, Journal of Comparative Biochemistry and Physiology. Part A147:94–102.

Lorenzon S, Giulianini PG, Libralato S, Martinis M, Ferrero EA. 2008. Stres effect of two different transport sistems on the physiological profiles of the crab

Cancer pagurus. Aquaculture. 278 (2008):156–163.

Mojjada SK, Joseph I, Koya KM, Sreenath KR. Dash G, Sen S, Fofandi MD, Anbarasu M, Bhint HM, Pradeep S, Shiju P, Rao GS. 2012. Capture based aquaculture of mud spiny lobster, Panulirus polyphagus (Herbst, 1793) in open sea floating net cage off Veraval, north-west coast of India. Indian J. Fish.

59(4):29-34.

Phillips BF, Kittaka J, 2000. Spinny Lobster: Fisheries and Culture. Osney Mead (GB): Blackwell Science. 105-120.

Priyambodo B, Sarfin. 2009. Lobster Aquaculture Industry in Eastern Indonesia: Present Status and Prospects ornatus population. In: Williams KC. (Ed). Spiny lobster aquaculture in the Asia–Pacific region. Proceedings of an international symposium held at Nha Trang, Vietnam, 9–10 December 2008. ACIAR Proceedings No. 132. Australian Centre for International Agricultural Research: Canberra. 162:36-45.

Radford CA, Marsden ID. Davison, Taylor HH. 2005. Haemolymph glucose concentrations of juvenile rock lobsters, Jasus edwardsii, feeding on different carbohydrate diets. Comparative Biochemistry and Physiology. Part A 140 (1) 241– 249.

Radhakrishnan EV, Vijayakumaran M. 2000. Marine fisheris Research and Management. Indian Council of Agricultural Research. 12(5)753-764.

Rustam, Hartinah, Jusoff K, Hadijah ST, Ilmiah. 2013. Characteristics of Haemolymphs Juvenile Tiger Prawn, Penaeus monodon (Fabricius) Reared in Ponds. World Applied Sciences Journal (Natural Resource Research and Development in Sulawesi Indonesia). 26:82-88.

Romano N, Zeng C. 2013. Toxic effects of ammonia, nitrite, and nitrate to decapod crustaceans a review on factors influencing their toxicity, physiological consequences, and coping mechanisms. Reviews in Fisheries Science, 21(1):1– 21.

Saydmohammed M, Pal AK. 2009. Anesthetic effect of eugenol and menthol on handling stress in Macrobrachium rosenbergii. Aquaculture. 298(1–2):162–167. Stentiford GD, Chang ES, Chang SA, Neil. 2001. Carbohydrate dynamics and the crustacean hyperglycemic hormone (CHH): effects of parasitic infection in Norway lobsters (Nephrops norvegicus). General and Comparative Endocrinology. 121:13–22.

(34)

22

International Agricultural Research. Canberra (AU): ACIARSADI Report. 8-15.

Supriyono E, Budiyanti, Budiardi T. 2010. Respons fisiologi benih ikan kerapu macan Ephinephelus fuscoguttatus terhadap penggunaan minyak sereh dalam transportasi tertutup dengan kepadatan tinggi. IJMS. 15(2): 103-112.

Teucher, A., P. Richterich, and Schweiz. 1971. Med. Wschr, 101:345-390

Verghese B., Radhakrishnan EV. Padhi A. 2007. Effect of environmental parameters on immune responsse of the Indian spiny lobster, Panulirus homarus

(Linnaeus, 1758). Fish & Shellfish Immunology. 23(5):928–936.

Vijayakumaran V, Anbarasu M, Kumar TS. 2010. Moulting and growth in communal and indivi-dual rearing of the spiny lobster, Panulirus homarus. J. Mar. Biol. Ass. India. 52(2):274-281.

Wanlem S, Supamattaya K, Tantikitti C, Prasertsan P, Graidist P. 2011. Expression and applications of recombinant crustacean hyperglycemic hormone from eyestalks of white shrimp (Litopenaeus vannamei) against bacterial infection.

Fish & Shellfish Immunology. 30:877-885.

Wickins JF, Lee DOC. 2002. Crustacean Farming Ranching and Culture. Blackwell Science Ltd.

(35)

23

(36)

24

Lampiran 1. Denah bak pemeliharaan lobster pasir

Keterangan:

1. Tandon outlet Saluran inlet

2. Filter Saluran distribusi 3. Tandon inlet Saluran outle

(37)

25 Lampiran 2. Skema letak selter pada setiap perlakuan

Kerangan: (A) Perlakuan 1 : 5, (B) Perlakuan (3 : 5), (C) Perlakuan (4 : 5), (D) Perlakuan (5 : 5).

Lampiran 3 Jenis selter paralon yang digunakan

Selter jenis PVC, panjang 25 cm dan dimensi selter 5,5 cm D

A B

(38)

26

Lampiran 4. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan respons stres lobster

A. Total Hemocyte Count (THC)

ANOVA

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

THC0 Between Groups 0,000 3 0,000 - -

Within Groups 0,000 4 0,000

Total 0,000 7

THC10 Between Groups 46,409 3 15,470 0,939 0,501

Within Groups 65,919 4 16,480

Total 112,328 7

THC20 Between Groups 4,202 3 1,401 0,958 0,494

Within Groups 5,846 4 1,461

Total 10,048 7

THC30 Between Groups 11,284 3 3,761 0,959 0,493

Within Groups 15,692 4 3,923

Total 26,976 7

THC40 Between Groups 214,694 3 71,565 1,015 0,474

Within Groups 282,053 4 70,513

Total 496,747 7

THC50 Between Groups 7,534 3 2,511 1,548 0,333

Within Groups 6,491 4 1,623

Total 14,025 7

THC60 Between Groups 18,048 3 6,016 14,371 0,013

Within Groups 1,675 4 0,419

Total 19,723 7

Uji Duncan

THC H10

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05 1

D 2 3,4500

B 2 4,6350

C 2 7,0350

A 2 9,7350

(39)
(40)

28

A 2 8,3800

Sig. 0,128 0,094 0,105

B. Kadar glukosa hemolymph lobster pasir

ANOVA

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

KG0 Between Groups 0,000 3 0,000 - -

Within Groups 0,000 4 0,000

Total 0,000 7

KG20 Between Groups 62,714 3 20,905 870,114 0,000

Within Groups 0,096 4 0,024

Total 62,810 7

KG30 Between Groups 146,553 3 48,851 2033,336 0,000

Within Groups 0,096 4 0,024

Total 146,649 7

KG40 Between Groups 172,810 3 57,603 946,644 0,000

Within Groups 0,243 4 0,061

Total 173,053 7

KG50 Between Groups 15,211 3 5,070 137,691 0,000

Within Groups 0,147 4 0,037

Total 15,359 7

KG60 Between Groups 214,809 3 71,603 5960,714 0,000

Within Groups 0,048 4 0,012

Total 214,857 7

Uji Duncan

Kadar glukosa H20

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05

1 2 3 4

D 2 3,7350

C 2 6,7800

A 2 8,2500

B 2 11,5150

(41)

29 Kadar glukosa H30

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05

1 2 3 4

C 2 9,0250

B 2 14,9350

A 2 18,2000

D 2 20,3800

Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000

Kadar glukosa H40

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05

1 2 3 4

D 2 11,6700

A 2 13,0700

C 2 19,1400

B 2 23,1800

Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000

Kadar glukosa H50

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05

1 2 3 4

D 2 10,5850

C 2 11,5150

B 2 13,0700

A 2 14,1600

Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000

Kadar glukosa H60

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05

1 2 3 4

B 2 5,7600

A 2 7,6300

D 2 8,2200

C 2 18,9850

(42)

30

Lampiran 5. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan kinerja produksi lobster

(43)

31 Bobot lobster pasir

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05

1 2

D 2 52,2550

A 2 55,6600 55,6600

B 2 55,9700 55,9700

C 2 57,2750

Sig. 0,075 0,355

Frekuensi moulting lobster pasir

Perlakuan N Subset for alpha = 0,05

1 2

A 2 19,0000

D 2 27,0000 27,0000

B 2 30,5000

C 2 33,5000

Sig. 0,080 0,136

FCR lobster pasir

Perlakuan N Subset of alpha=0,05

1 2

D 2 5,0850

B 2 5,8250

C 2 8,3250

A 2 9,2400

(44)

32

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 02 Februari 1988 di Lapadaku, Kab. Muna, Kota Kendari, Prov. Sulawesi Tenggara dari bapak La Djai dan ibu Wandoliwu. Penulis adalah anak kelima dari lima bersaudara. Penulis menempuh pendidikan sarjana pada Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Halu Oleo Kendari tahun 2006 dan lulus pada tahun 2010. Selanjutnya, pada tahun 2013 penulis melanjutkan studi dengan menempuh Program Magister pada program studi Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Program Magister ditempuh melalui program Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) yang diberikan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Riste Teknologi dan Pendidikan Tinggi (KEMERISTEKDIKTI).

Tugas akhir pendidikan magister (S2) diselesaikan oleh penulis dengan menyusun tesis yang berjudul “Evaluasi Rasio Selter : Lobster terhadap Respons Stres dan Kinerja Produksi Pendederan Lobster Pasir Panulirus homarus. Penulis juga telah melakukan publikasi ilmiah dengan judul “ Respons Total Hemocyte Count (THC) dan Kadar Glukosa Hemolymph Lobster Pasir Panulirus homarus

Gambar

Tabel 1. Kisaran kualitas air selama masa pemeliharaan lobster pasir
Gambar 1  Nilai THC lobster pasir selama penelitian. Perlakuan rasio selter :
Gambar 2   Kadar glukosa
Gambar 4 Nilai rasio konversi pakan (FCR) lobster selama penelitian
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kriteria pencapaian tujuan pembelajaran siswa pada hasil test uji coba lapangan pencapaian tujuan pembelajaran siswa pada soal no 1 hasil tes adalah sebesar 80%,

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan hidayah-Nya, sehingga dapat penyusunan skripsi dengan judul Penggunaan Model Group Investigation

Sedangkan skor rata-rata terendah pada indikator 2 (I-2) membangun keterampilan dasar sebesar 2,23. Untuk membandingkan kemampuan berpikir kritis siswa pada kedua

Kemampuan siswa dalam menguasai pesan yang disampaikan ketika berkomunikasi pada kelas eksperimen menunjukkan kategori Sering yaitu berkisar sebanyak 75% siswa yang

Hasil dari penelitian ini dapat meningkatkan profesionalisme guru dalam proses pembelajaran, yaitu dengan menerapkan metode pembelajaran diskusi yang mana antara peserta

pengrajin kain Songket di Desa Bukit Batu adalah sebagai penelitian yang dilakukan menemukan bahwa kehidupan sosial di Desa Bukit Batu sangat sarat dengan

Jika pembiasaan yang diberikan kepada anak tidak diskriminatif, maka akan terbentuk pribadi-pribadi yang baik sehingga mampu berinteraksi dengan harmonis, karena pembiasaan

Selain itu peneliti juga mempertimbangkan komposisi dan kesesuaian logo dengan konsep perancangan, maka desain yang telah terpilih akan digunakan sebagai logo LAXMI