• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Sektor Ekonomi Basis dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (Periode Tahun 2005- 2012)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Sektor Ekonomi Basis dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (Periode Tahun 2005- 2012)"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN SEKTOR EKONOMI BASIS DALAM

MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN

ANTARKABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH

(PERIODE TAHUN 2005-2012)

DYAH AYU FAJAR PRABANINGRUM

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peranan Sektor Ekonomi Basis dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (Periode Tahun 2005-2012) adalah benar-benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2014

(4)

ABSTRAK

DYAH AYU FAJAR PRABANINGRUM. Peranan Sektor Ekonomi Basis dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (Periode Tahun 2005-2012). Dibimbing oleh MUHAMMAD FINDI A.

Penelitian ini menganalisis ketimpangan termasuk besarnya kesejahteraan sosial yang hilang akibat adanya ketimpangan tersebut serta mengidentifikasi sektor ekonomi basis yang berperan dalam mengurangi ketimpangan pendapatan tersebut beserta faktor-faktor yang memengaruhinya. Penelitian ini menggunakan periode analisis dari tahun 2005 sampai 2012 dengan menggunakan analisis indeks williamson, indeks atkinson, metode location quotient, dan regresi data panel melalui microsoft excel dan EViews 6. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah berada pada taraf tinggi. Sektor ekonomi basis yang berperan paling besar dalam mengurangi ketimpangan pendapatan tersebut yaitu sektor pertanian. Variabel luas panen tanaman bahan makanan (LP), luas lahan teririgasi (LI), jumlah penduduk (JP) berpengaruh positif dan signifikan. Namun untuk jumlah tenaga kerja sektor pertanian (JTK) berpengaruh positif namun tidak signifikan.

Kata Kunci: Ketimpangan pendapatan, Provinsi Jawa Tengah, regresi data panel, sektor ekonomi basis.

ABSTRACT

DYAH AYU FAJAR PRABANINGRUM. The Role of Economic Base Sector in Reducing the Imbalance of the Income between Regency/City in Province of Central Java (Periods of 2005-2012). Supervised by MUHAMMAD FINDI A.

This research analyze the imbalance with the enormity of social prosperity which lost that as the result of the imbalance impact and also to identify economic base sector which has role in reducing the imbalance and also the factors that influence into it. This research uses analyze periods start from 2005-2012 by using such us analysis indeks williamson, indeks atkinson, location quotient method and also use the panel data regression through microsoft excel and EViews 6. The result of this research shows that the income imbalance between a regency/city in Province of Central Java state in high scale. The most responsible economy base sector in reducing the income imbalance is the agriculture sector which is the wide of the plant harvest (LP), irrigation land (LI),the amount of the people (JP) has the positive impact and significant. In the other hand, the amount of the labors in agriculture sector (JTK) have the positive impact but not significant.

(5)

PERANAN SEKTOR EKONOMI BASIS DALAM

MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN

ANTARKABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH

(PERIODE TAHUN 2005-2012)

DYAH AYU FAJAR PRABANINGRUM

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(6)
(7)

Judul Skripsi : Peranan Sektor Ekonomi Basis dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah

(Periode Tahun 2005- 2012) Nama : Dyah Ayu Fajar Prabaningrum NIM : H14100044

Disetujui oleh

Dr. Muhammad Findi A, M.E. Pembimbing

Diketahui oleh

Dedi Budiman Hakim, Ph.D. Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Peranan Sektor Ekonomi Basis dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah (Periode Tahun 2005-2012)”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Tujuan penulisan skripsi ini yaitu untuk menganalisis besarnya ketimpangan pendapatan serta menganalisis sektor basis dan peranannya terhadap pengurangan ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni Bapak Eko Prabowo, Ibu Yuni Widyastuti, serta adik dari penulis yakni Dody Prabakusuma dan Rizky Ali Munawar, atas segala doa dan motivasi serta dukungan baik moril maupun materiil bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Muhammad Findi A, M.E. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan baik secara teknis, teoritis, maupun moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc Agr selaku dosen penguji utama dan Ranti

Wiliasih, M.Si selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas kritik dan saran yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini.

3. Para dosen, staff, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB yang telah memberikan ilmu, wawasan serta bantuan kepada penulis selama menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.

4. Teman-teman satu bimbingan Annisa Fitra, Desty, Hilman, dan Aprilia yang telah menjadi partner bertukar pikiran dan teman berbagi suka duka dalam penyusunan skripsi ini serta terima kasih untuk setiap kejutannya untuk penulis saat seminar hasil maupun sidang.

5. Sahabat penulis selama tiga tahun Zulfati Rahma, Nindya Shinta, dan Amalia yang telah menjadi partner bekerja sama dalam hal akademik serta tempat berkeluh kesah dan menjadi sandaran penulis saat senang maupun sedih serta Gina Ratna Suminar yang selalu memberikan dukungan dan masukan serta kebersamaannya.

6. Teman-teman terbaik TPB Tuty, Yola, Syafira serta teman-teman kosan Perwira 89 yang sangat kompak Hernita, Puti, Fira, Naya, Retno, Etri.

7. Teman-teman Ilmu Ekonomi 47 yang selalu memberikan keceriaan, warna selama tiga tahun kebersamaan serta masukan kepada penulis.

Semoga karya ini bermanfaat.

Bogor, April 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 6

TINJAUAN PUSTAKA 6

Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi 6

Ketimpangan Distribusi Pendapatan 7

Sektor Ekonomi Basis 9

Penelitian Terdahulu 10

Kerangka Pemikiran 12

Hipotesis Penelitian 14

METODE PENELITIAN 14 Jenis dan Sumber Data 14 Metode Analisis 14 GAMBARAN UMUM 21

Keadaan Geografis Provinsi Jawa Tengah 21

Wilayah Administratif Provinsi Jawa Tengah 22

Kondisi Perekonomian 23

HASIL DAN PEMBAHASAN 24 Analisis Ketimpangan Pendapatan 24 Analisis Social Welfare Loss 26 Analisis Location Quotient 27

Peranan Sektor Ekonomi Basis 31

Faktor-faktor yang Memengaruhi Sektor Ekonomi Basis 35

SIMPULAN DAN SARAN 41

Simpulan 41 Saran 41

DAFTAR PUSTAKA 43

LAMPIRAN 45

(10)

DAFTAR TABEL

1 Pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa tahun 2008-2011 1 2 PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut provinsi di

Pulau Jawa Tahun 2007-2011 2

3 PDRB Provinsi Jawa Tengah Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2003-2009 3 4 PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut

kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 4 5 Luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk kabupaten

dan kota di Provinsi Jawa Tengah 22 6 Peranan sektor-sektor perekonomian Provinsi Jawa Tengah Atas Dasar

Harga Konstan 2000 tahun 2008-2012 24 7 Indeks Atkinson dan persentase pertumbuhan Provinsi Jawa Tengah

tahun 2005-2012 27

8 Nilai LQ sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa Tengah Atas Dasar Harga Konstan 2000 periode 2005-2012 28 9 Sektor ekonomi basis kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah 30 10 Indeks ketimpangan pendapatan dengan dan tanpa sektor pertanian di

Provinsi Jawa Tengah 32

11 Indeks ketimpangan pendapatan dengan dan tanpa sektor industri pengolahan di Provinsi Jawa Tengah 33 12 Indeks ketimpangan pendapatan dengan dan tanpa sektor listrik, gas,

dan air bersih di Provinsi Jawa Tengah 33 13 Indeks ketimpangan pendapatan dengan dan tanpa sektor perdagangan,

hotel, dan restoran di Provinsi Jawa Tengah 34 14 Indeks ketimpangan pendapatan dengan dan tanpa sektor jasa-jasa di

Provinsi Jawa Tengah 35

15 Kontribusi sub sektor pertanian terhadap PDRB sektor pertanian di

Provinsi Jawa Tengah 36

16 Hasil pengujian uji Chow 37

17 Hasil pengujian uji Hausman 37

18 Nilai statistik model 38

19 Matriks korelasi parsial dengan metode deteksi Klein 38

20 Hasil estimasi model 40

DAFTAR GAMBAR

1 Kurva Kuznets “U-Terbalik” 8

2 Diagram alir kerangka pemikiran 13

3 Trend ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Nilai ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Jawa Tengah

tahun 2005 45

2 Nilai ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Jawa Tengah

tahun 2006 46

3 Nilai ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Jawa Tengah

tahun 2007 47

4 Nilai ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Jawa Tengah

tahun 2008 48

5 Nilai ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Jawa Tengah

tahun 2009 49

6 Nilai ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Jawa Tengah

tahun 2010 50

7 Nilai ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Jawa Tengah

tahun 2011 51

8 Nilai ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Jawa Tengah

tahun 2012 52

9 Hasil pengujian dengan model Pooled Least Square untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi

sektor pertanian 53

10 Hasil pengujian dengan model Fixed Effect untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi sektor pertanian 54 11 Hasil pengujian dengan model Random Effect untuk mengestimasi

faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi sektor pertanian 55 12 Hasil pengujian Chow Test untuk mengestimasi faktor-faktor yang

memengaruhi pertumbuhan ekonomi sektor pertanian 56 13 Hasil pengujian Hausman Test untuk mengestimasi faktor-faktor yang

(12)
(13)

Latar Belakang

Terciptanya masyarakat yang makmur dan sejahtera dapat dicapai dengan memanfaatkan potensi dan sumberdaya yang dimiliki masing-masing daerah. Dengan begitu pembangunan ekonomi di negara berkembang khususnya Indonesia yang pada hakekatnya bertujuan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menciptakan distribusi pendapatan yang merata, juga mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran serta menciptakan kesempatan kerja akan tercapai (Todaro 2006).

Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno 2006). Menurut Sukirno 2006 pembangunan ekonomi dapat juga diartikan sebagai serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan semakin banyak dan semakin berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi dan teknologi semakin meningkat. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan GDP tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak.

Tolakukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antarpenduduk, antardaerah dan antarsektor. Ini berarti bahwa untuk melihat pembangunan ekonomi suatu daerah, dapat dengan membandingkan pendapatan riil daerah yang bersangkutan dari tahun ke tahun dengan indikator yang digunakan adalah PDRB. Dari PDRB, kita dapat melihat seberapa jauh pembangunan telah berhasil menyejahterakan masyarakatnya, dengan kata lain tercipta pemerataan pendapatan. Berikut ini disajikan tabel pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa:

Tabel 1 Pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa tahun 2008-2011 (persen)

Provinsi 2008 2009 2010 2011 Rata-rata DKI Jakarta 6.23 5.02 6.50 6.71 6.11 Jawa Barat 6.21 4.19 6.20 6.48 5.77

Banten 5.77 4.71 6.08 6.43 5.74

Jawa Tengah 5.61 5.14 5.84 6.01 5.65

DI Yogyakarta 5.03 4.43 4.88 5.16 4.87 Jawa Timur 5.94 5.01 6.68 7.22 6.21 Sumber : BPS, 2011.

(14)

menempati urutan ketiga dan keempat dengan persentase rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 5.77 dan 5.74. Jawa Tengah terletak di antara provinsi besar lainnya di pulau Jawa, yaitu Jawa Timur dan Jawa Barat yang sebenarnya mempunyai potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang relatif tidak jauh berbeda. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa perbandingan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah dengan provinsi lainnya dari tahun ke tahun nilainya jauh lebih rendah dibandingkan Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Timur. Perbedaan inilah yang seharusnya dapat mendorong pemerintah untuk lebih mempercepat pembangunan dan pertumbuhan wilayah.

Ketimpangan distribusi pendapatan menggambarkan bahwa hanya sebagian kecil masyarakat yang menikmati sebagian besar pendapatan negara. Adanya ketimpangan distribusi pendapatan itu menyebabkan perbedaan yang sangat menonjol antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin sehingga masyarakat miskin terjerat dalam rantai kemiskinan

.

Penyebab ketidakmerataan antardaerah ini dapat disebabkan oleh perbedaan sumberdaya yang dimiliki, perbedaan sumberdaya manusia, dan perbedaan akses dalam modal (Kuncoro 2004).

Golongan masyarakat kaya yang merupakan sebagian kecil dari masyarakat keseluruhan menguasai hampir seluruh perekonomian. Hal ini menjadikan kelompok golongan ini dengan mudah masuk aktivitas ekonomi serta mempunyai pendidikan yang tinggi, kesehatan yang terjamin, keterampilan, dan keahlian khusus sehingga golongan masyarakat kaya dapat menikmati hidup yang lebih baik dengan memiliki hal-hal tersebut. Di sisi lain golongan masyarakat miskin yang tidak memiliki modal, skill yang cukup dan pendidikan yang tinggi, sulit masuk dalam aktivitas ekonomi dan memiliki posisi yang lemah dalam menghadapi golongan lain (Djojohadikusumo 1994). Berikut ini disajikan tabel PDRB per kapita di Pulau Jawa :

Tabel 2 PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Provinsi di Pulau Jawa tahun 2007-2011 (ribu rupiah)

Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata DKI Jakarta 36,054 37,665 39,083 41,015 43,389 39,441

Jawa Barat 6,718 6,985 7,156 7,451 7,828 7,227

Jawa Tengah 4,959 5,202 5,462 5,773 6,112 5,501

DI.Yogyakarta 5,444 5,643 5,845 6,064 6,345 5,868 Jawa Timur 7,840 8,236 8,602 9,101 9,737 8,703 Banten 6,619 7,877 8,037 8,283 8,624 7,888 Sumber : BPS, 2012.

(15)

masyarakat kaya dan masyarakat yang kurang mampu, karena distribusi pendapatan yang tidak merata akan menyebabkan kesejahteraan penduduk yang rendah.

Perumusan Masalah

Sektor ekonomi basis yang terdapat di antara sektor-sektor perekonomian akan menjadi penyumbang yang besar dalam PDRB suatu wilayah. Sektor ekonomi basis berperan penting dalam perekonomian yang diharapkan mampu menjadi promotor kegiatan usaha ekonomi lainnya karena dinilai mempunyai kontribusi dan potensi yang lebih baik dibanding sektor lainnya. Sektor ekonomi basis yang ada di suatu daerah diharapkan dapat menjadi sektor yang dapat diandalkan dan dapat menjadi penggerak sektor-sektor yang lain. Perlunya mengetahui sektor yang menjadi sektor ekonomi basis yaitu agar pembangunan ekonomi dapat terarah dengan mengembangkan potensi yang tepat.

Dalam Tabel 3 dapat dilihat bahwa PDRB Provinsi Jawa Tengah paling besar didominasi oleh tiga sektor, yaitu sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Ketiga sektor tersebut menyumbang PDRB terbesar di Jawa Tengah dan di ketiga sektor tersebut menjadi sektor ekonomi basis di Provinsi Jawa Tengah. Ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan bukan hanya terjadi di Jawa Tengah, melainkan juga terjadi antarkabupaten/kota di suatu provinsi. Begitu juga ketidakmerataan yang terjadi antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari nilai PDRB per kapita antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.

Tabel 3 PDRB Provinsi Jawa Tengah Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut lapangan usah tahun 2003-2009 (triliun rupiah)

Lapangan Usaha 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Pertanian 27,15 28,6 29,92 31,0 31,8 33,4 34,9

Pertambangan dan

Penggalian 1,29 1,33 1,45 1,67 1,78 1,85 1,95

Industri Pengolahan 41,34 43,99 46,1 48,18 50,8 53 1 54,13

Listrik, Gas dan Air

Bersih 0,98 1,06 1,17 1,25 1,34 1,4 1,48 Bangunan 6,9 7,44 7,96 8,44 9,05 9,64 10,3

Perdagangan, Hotel

dan Restoran 27,66 28,34 30,05 31,81 33,89 35,62 37,7

Pengangkutan dan

Komunikasi 6,21 6,51 6,98 7,45 8,05 8,65 9,26 Keuangan, Persewaan

dan Jasa Perusahaan 4,65 4,82 5,06 5,39 5,76 6,21 6,7

(16)

Tabel 4 dapat dilihat bahwa PDRB per kapita kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah sangatlah bervariasi. Permasalahannya adalah PDRB per kapita tersebut tidak merata di seluruh wilayah di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini terlihat dari nilai PDRB per kapita tertinggi diduduki oleh Kabupaten Kudus yaitu sebesar Rp 17,043,990. Kabupaten Grobogan merupakan kabupaten dengan nilai PDRB per kapita terendah yaitu sebesar Rp 2,671,936, sehingga Kabupaten Kudus memiliki PDRB per kapita mencapai delapan kali lebih tinggi dari PDRB per kapita Kabupaten Grobogan. Masih terdapat beberapa kabupaten termasuk Kabupaten Grobogan yang memiliki PDRB per kapita jauh dari rata-rata PDRB Provinsi Jawa Tengah yaitu sebesar Rp 5,633,939.5. Hal ini menunjukkan adanya gap yang mengindikasikan bahwa distribusi pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah belum merata sehingga ketimpangan pendapatan masih terjadi di Provinsi Jawa Tengah.

Tabel 4 PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 (rupiah)

No. Kabupaten/Kota

PDRB Per

Kapita No. Kabupaten/Kota

PDRB Per Kapita

1 Kab.Cilacap 15,151,260 19 Kab.Kudus 17,043,990

2 Kab.Banyumas 3,257,266 20 Kab.Jepara 4,160,397 3 Kab.Purbalingga 3,242,961 21 Kab.Demak 3,026,089 4 Kab.Banjarnegara 3,580,008 22 Kab.Semarang 6,426,370 5 Kab.Kebumen 2,740,467 23 Kab.Temanggung 3,625,860 6 Kab.Purworejo 4,696,902 24 Kab.Kendal 6,513,515 7 Kab.Wonosobo 2,690,479 25 Kab.Batang 3,584,419 8 Kab.Magelang 3,725,600 26 Kab.Pekalongan 4,138,309 9 Kab.Boyolali 4,956,964 27 Kab.Pemalang 2,967,912 10 Kab.Klaten 4,519,986 28 Kab.Tegal 2,815,768 11 Kab.Sukoharjo 6,443,471 29 Kab.Brebes 3,435,379 12 Kab.Wonogiri 3,514,313 30 Kota Magelang 10,337,809

13 Kab.Karanganyar 7,256,977 31 Kota Surakarta 11,269,881 14 Kab.Sragen 3,982,700 32 Kota Salatiga 5,724,888 15 Kab.Grobogan 2,671,936 33 Kota Semarang 14,843,950 16 Kab.Blora 2,779,331 34 Kota Pekalongan 8,004,723 17 Kab.Rembang 4,109,447 35 Kota Tegal 5,756,156

18 Kab.Pati 4,192,386 Rata-rata Propinsi

Jawa Tengah 5,633,939.5 Sumber: BPS, 2013.

(17)

pendapatan, dengan begitu pembangunan ekonomi untuk menuju kesejahteraan masyarakat yang layak dapat tercapai.

Berdasarkan pada penjelasan sebelumnya, seperti yang ada pada latar belakang dan perumusan masalah, dimana PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah yang dari tahun ke tahun terus meningkat tetapi PDRB per kapita kabupaten/kota masih terdapat yang lebih kecil dari PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah dan juga masih terdapat beberapa kabupaten/kota yang memiliki PDRB per kapita lebih besar dari PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah. Di sisi lain, PDRB per sektor perekonomian di Provinsi Jawa Tengah terus meningkat. Atas dasar gap yang terjadi tersebut sehingga akan dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu:

1. Berapa besar tingkat ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi

Jawa Tengah?

2. Bagaimana dampak ketimpangan antarkabupaten/kota terhadap kesejahteraan

sosial yang hilang (social welfare loss) di Provinsi Jawa Tengah?

3. Sektor apakah yang menjadi sektor ekonomi basis di Provinsi Jawa Tengah? 4. Apakah keberadaan sektor ekonomi basis berperan dalam mengurangi

ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah?

5. Faktor-faktor apa yang dapat meningkatkan pertumbuhan sektor ekonomi basis

sehingga dapat mengurangi ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis besarnya ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.

2. Menganalisis dampak ketimpangan antarkabupaten/kota terhadap kesejahteraan sosial yang hilang (social welfare loss) di Provinsi Jawa Tengah. 3. Mengidentifikasi sektor potensial yang dapat dikembangkan di Provinsi Jawa

Tengah.

4. Menganalisis peran sektor ekonomi basis dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.

5. Menganalisis faktor-faktor yang dapat meningkatkan pertumbuhan sektor ekonomi basis untuk mengurangi ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1. Bagi Pemerintah, sebagai bahan masukan bagi pemerintah atau pihak-pihak terkait yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan daerah.

(18)

3. Bagi Pembaca, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya bagi para pembaca yang dapat digunakan untuk menambah wawasan untuk penelitian selanjutnya.

4. Bagi Peneliti, sebagai tambahan pengetahuan dan sebagai pengaplikasian ilmu yang di dapat selama perkuliahan.

Ruang Lingkup Penelitian

Fokus penelitian ini menganalisis ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dengan periode tahun analisis 2005-2012. Alat analisis menggunakan lima alat analisis yaitu Indeks Williamson untuk menghitung ketimpangan pendapatan daerah. Analisis yang kedua menggunakan Indeks Atkinson untuk mengetahui dampak social welfare loss di Provinsi Jawa Tengah. Alat analisis selanjutnya yaitu dengan Location Quotient untuk mengidentifikasi sektor ekonomi basis di Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya menganalisis peranan sektor ekonomi basis yang berperan dalam mengurangi ketimpangan pendapatan daerah tanpa memasukkan nilai PDRB sektor tertentu kemudian membandingkan dengan ketimpangan pendapatan yang memasukkan nilai PDRB sektor tertentu.

Metode yang terakhir menggunakan regresi data panel untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan sektor ekonomi basis. Penelitian ini menggunakan variabel luas panen tanaman bahan makanan (LP), luas lahan teririgasi (LI), jumlah penduduk (JP), jumlah tenaga kerja sektor pertanian (JTK) yang berpengaruh terhadap PDRB sektor pertanian. Pengolahan alat analisis tersebut menggunakan microsoft excel 2010 dan EViews 6.

TINJAUAN PUSTAKA

Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi

Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi mempunyai keterkaitan satu sama lain. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan demikian, untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi akan digunakan formula berikut:

g = GDP GDP

GDP x 100

Setiap unsur dalam persamaan tersebut dinyatakan di bawah ini:

g = tingat (persentase) pertumbuhan ekonomi

(19)

Model pertumbuhan Neoklasik Solow berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang (diminishing return) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya di analisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya di analisis secara bersamaan atau sekaligus, Solow memakai asumsi skala hasil tetap (constant

return to scale). Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor residu untuk

menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan tinggi rendahnya pertumbuhan itu sendiri oleh Solow diasumsikan bersifat eksogen yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Model pertumbuhan Neoklasik Solow menggunakan fungsi produksi agregat standar, yaitu:

Y = AeμtKαL1-α

Y adalah produk domestik bruto, K adalah stok modal fisik dan modal manusia, L adalah tenaga kerja non terampil, A adalah suatu konstanta yang merefleksikan tingkat teknologi dasar, sedangkan eμ melambangkan konstanta tingkat kemajuan teknologi. Adapun simbol α melambangkan elastisitas output terhadap modal (atau persentase kenaikan GDP yang bersumber dari 1 persen penambahan modal fisik dan modal manusia). Hal itu biasanya dihitung secara statistik sebagai pangsa modal dalam total pendapatan nasional suatu negara. Karena α diasumsikan kurang dari 1 dan modal swasta diasumsikan dibayar berdasarkan produk marjinalnya sehingga tidak ada ekonomi eksternal, maka formulasi teori pertumbuhan Neoklasik ini memunculkan skala hasil modal dan tenaga kerja yang terus berkurang (diminishing returns). Menurut model pertumbuhan ini, pertumbuhan output selalu bersumber dari satu atau lebih dari tiga faktor yaitu kenaikan kuantitas dan kualitas tenaga kerja (melalui pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan pendidikan), penambahan modal (melalui tabungan dan investasi), serta penyempurnaan teknologi (Todaro 2006).

Pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi ditambah dengan perubahan. Artinya, ada tidaknya pembangunan ekonomi dalam suatu negara pada suatu tahun tertentu tidak saja diukur dari kenaikan produksi barang dan jasa yang berlaku dari tahun ke tahun, tetapi juga diukur dari perubahan lain yang berlaku dalam berbagai aspek kegiatan ekonomi seperti perkembangan pendidikan, perkembangan teknologi, peningkatan dalam kesehatan, peningkatan dalam infrastruktur yang tersedia dan peningkatan dalam pendapatan dan kemakmuran masyarakat (Sukirno 2006).

Pendapatan per kapita selalu digunakan untuk menggambarkan taraf pembangunan ekonomi yang dicapai berbagai daerah dan tingkat perkembangannya dari tahun ke tahun. Pengertian pendapatan per kapita itu sendiri adalah total pendapatan suatu daerah dibagi jumlah penduduk di daerah tersebut untuk tahun yang sama (Tarigan 2005).

Ketimpangan Distribusi Pendapatan

(20)

merata (ada yang kecil, sedang, dan besar) dikatakan wilayah tersebut terjadi ketimpangan dalam distribusi pendapatannya.

Teori ketimpangan distribusi pendapatan dapat dikatakan dimulai dari munculnya suatu hipotesis yang terkenal yaitu Hipotesis U terbalik (inverted U

curve) oleh Simon Kuznets tahun 1955. Kuznets berpendapat bahwa mula-mula

ketika pembangunan dimulai, distribusi pendapatan per kapita akan makin tidak merata, namun setelah mencapai suatu tingkat ketimpangan pendapatan tertinggi dari indeks gini, distribusi pendapatan makin merata. Kurva Kuznets dapat dihasilkan oleh proses pertumbuhan berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern.

Koefisien Gini

Pendapatan Nasional Bruto Per Kapita

Gambar 1 Kurva Kuznets “U-Terbalik” Sumber: Todaro, 2006.

Menurut Todaro (2006), pemerataan yang lebih adil di negara berkembang merupakan suatu kondisi atau syarat yang menunjang pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, semakin timpang distribusi pendapatan di suatu negara akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan pendapatan antardaerah, tergantung dari besarnya jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap penerima pendapatan dalam daerah tersebut, baik itu golongan masyarakat maupun wilayah tertentu dalam daerah tersebut. Perbedaan jumlah pendapatan yang diterima itu menimbulkan suatu distribusi pendapatan yang berbeda, sedangkan besar kecilnya perbedaan tersebut akan menentukan tingkat pemerataan pendapatan (ketimpangan pendapatan) daerah tersebut. Oleh karena itu, ketimpangan pendapatan ini tergantung dari besar kecilnya perbedaan jumlah pendapatan yang diterima oleh penerima pendapatan.

Timpang atau tidaknya pendapatan daerah dapat diukur melalui distribusi penerimaan pendapatan antar golongan masyarakat ataupun antarwilayah tertentu dimana pendapatan yang diterima wilayah tersebut terlihat pada nilai PDRB per kapitanya. Ketimpangan pendapatan lebih besar terjadi di negara-negara yang baru memulai pembangunannya, sedangkan bagi negara maju atau lebih tinggi tingkat pendapatannya cenderung lebih merata atau tingkat ketimpangannya rendah. Keadaan ini diilustrasikan, bahwa negara-negara maju secara keseluruhan memerlihatkan pembagian pendapatan yang lebih merata dibandingkan dengan negara-negara dunia ketiga yakni negara-negara yang tergolong sedang berkembang.

(21)

Teori Ekonomi Basis

Dalam teori ekonomi basis, perekonomian di suatu daerah dibagi menjadi dua sektor utama, yaitu sektor ekonomi basis dan sektor ekonomi nonbasis. Sektor ekonomi basis adalah sektor yang mengekspor barang dan jasa ataupun tenaga kerja ke tempat-tempat di luar batas perekonomian daerah yang bersangkutan. Di samping barang, jasa, dan tenaga kerja, ekspor sektor ekonomi basis dapat juga berupa pengeluaran orang asing yang berada di daerah tersebut terhadap barang-barang yang tidak bergerak, seperti tempat-tempat wisata, peninggalan sejarah, museum dan sebagainya. Adapun sektor ekonomi nonbasis adalah sektor yang menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di dalam batas-batas daerah itu sendiri. Sektor ini tidak mengekspor barang, jasa, maupun tenaga kerja sehingga luas lingkup produksi dan daerah pasar sektor nonbasis hanya bersifat lokal (Glasson dalam Priyarsono et al. 2007).

Konsep ekonomi basis berguna untuk menganalisis dan memprediksi perubahan dalam perekonomian regional. Selain itu konsep ekonomi basis juga dapat digunakan untuk mengetahui suatu sektor pembangunan ekonomi dan kegiatan basis, yang dapat melayani pasar ekspor. Pengertian sektor ekonomi basis (sektor unggulan) pada dasarnya harus dikaitkan dengan suatu bentuk perbandingan, baik itu perbandingan berskala internasional, regional maupun nasional. Dalam kaitannya dengan lingkup internasional, suatu sektor dikatakan unggul jika sektor tersebut mampu bersaing dengan sektor yang sama dengan negara lain. Suatu sektor dapat dikategorikan sebagai sektor unggulan di lingkup nasional apabila sektor di wilayah tertentu mampu bersaing dengan sektor yang sama yang dihasilkan oleh wilayah lain di pasar nasional atau domestik (Wijaya 2001).

Menurut Tarigan 2005, metode untuk memilah kegiatan basis dan kegiatan nonbasis adalah sebagai berikut: a) Metode langsung. Metode langsung dilakukan dengan survei langsung kepada pelaku usaha kemana mereka memasarkan barang yang diproduksi dan dari mana mereka membeli bahan-bahan kebutuhan untuk menghasilkan produk tersebut. Kelemahan metode ini yaitu: pertanyaan yang berhubungan dengan pendapatan data akuratnya sulit diperoleh, dalam kegiatan usaha sering tercampur kegiatan basis dan nonbasis. b) Metode tidak langsung. Metode ini dipakai karena rumitnya melakukan survei langsung ditinjau dari sudut waktu dan biaya. Metode ini menggunakan asumsi, kegiatan tertentu diasumsikan sebagai kegiatan basis dan kegiatan lain yang bukan dikategorikan basis adalah otomatis menjadi kegiatan basis.

(22)

dianggap nonbasis. Apabila porsi basis dan nonbasis tidak begitu kontras maka porsi itu harus ditaksir. Untuk menentukan porsi tersebut harus dilakukan survei lagi dan harus ditentukan sektor mana yang surveinya cukup dengan pengumpulan data sekunder dan sektor mana yang membutuhkan sampling pengumpulan data langsung dari pelaku usaha.

Priyarsono et al. ( 2007) mengemukakan bahwa metode terakhir yang lazim digunakan dalam studi empirik yaitu metode LQ (Loqation Quotient). Metode LQ membandingkan antara pendapatan (tenagakerja) di sektor i pada daerah bawah terhadap pendapatan (tenagakerja) total semua sektor di daerah bawah dengan pendapatan (tenagakerja) di sektor i pada daerah atas terhadap pendapatan (tenagakerja) semua sektor di daerah atasnya. Secara matematis nilai LQ dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

  // Dimana:

Sib = pendapatan (tenagakerja) sektor i pada daerah bawah Sb = pendapatan (tenagakerja) total semua sektor daerah bawah Sia = pendapatan (tenagakerja) sektor i pada daerah atas

Sa = pendapatan (tenagakerja) total semua sektor pada daerah atas

Jika hasil perhitungan dengan menggunakan rumus di atas menghasilkan nilai LQ>1 maka sektor i dikategorikan sebagai sektor basis. Nilai LQ yang lebih dari satu tersebut menunjukkan bahwa pangsa pendapatan (tenagakerja) pada sektor i di daerah bawah lebih besar dibanding daerah atasnya dan output pada sektor i lebih berorientasi ekspor. Sebaliknya, apabila nilai LQ<1 sektor i diklasifikasikan sebagai sektor nonbasis.

Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai ketimpangan pendapatan pernah dilakukan oleh (Ponco 2008) untuk mengidentifikasi sektor-sektor basis yang berpotensi menggunakan alat analisis Location Quotient dan menganalisis ketimpangan antar wilayah yang terjadi di Provinsi Papua dengan menggunakan Indeks Williamson. Identifikasi sektor basis dan analisis ketimpangan antar wilayah dilakukan dengan melibatkan peran sektor pertambangan dan tanpa melibatkan peran sektor pertambangan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini bahwa selain sektor pertambangan (LQ=6.02) dan pertanian (LQ=1.01 dan LQ=2.56), sektor basis di Provinsi Papua yaitu sektor bangunan (LQ=1,93), sektor pengangkutan dan komunikasi (LQ=1.68), serta sektor jasa-jasa (LQ=1.67). Berdasarkan hasil analisis ketimpangan antarwilayah, Provinsi Papua pada satu sisi mengalami ketimpangan antar wilayah tingkat menengah (Indeks Williamson 0.4 – 0.69), dan pada sisi lain mengalami ketimpangan antar wilayah yang sangat tinggi (Indeks Williamson>1).

(23)

tumbuh lebih cepat dari daerah kaya. Hasil analisis data panel dengan menggunakan software EViews 6 menunjukkan bahwa PDRB kabupaten/kota di Jawa Barat dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh PAD, PDRB per pekerja, pengeluaran pembangunan pemerintah kabupaten/kota, persentase penduduk yang tamat SMA dan dipengaruhi secara negatif oleh pangsa sektor pertanian terhadap PDRB.

Mardiana (2012) mengidentifikasi trend dan tingkat ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota yang terjadi di Provinsi Jawa Timur menggunakan Indeks Williamson, kemudian mengidentifikasi daerah relatif tertinggal dan memacu pertumbuhan ekonomi agar dapat mengurangi ketimpangan antar wilayah menggunakan alat analisis Klassen Typology, serta menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah miskin agar dapat mengejar ketertinggalan dengan menggunakan metode data panel.

Hasil perhitungan tingkat ketimpangan di Provinsi Jawa Timur termasuk taraf tinggi karena nilainya antara 0.52-0.58. Berdasarkan Klassen Typology terdapat enam kabupaten/kota yang masuk daerah maju dan pertumbuhan cepat, sembilan kabupaten/kota yang masuk dalam daerah berkembang cepat, dua kabupaten/kota masuk daerah maju tapi tertekan, dan 21 kabupaten/kota masuk daerah relatif tertinggal. Berdasarkan analisis regresi data panel mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi daerah relatif tertinggal, kualitas pendidikan, kualitas kesehatan, jumlah pekerja, tabungan dan anggaran pembangunan signifikan berpengaruh terhadap laju PDRB di daerah relatif tertinggal.

Retnosari (2006) juga melakukan penelitian tentang ketimpangan tetapi studi kasusnya Provinsi Jawa Barat yang menganalisa pengaruh ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur dengan rasio gini terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat pada kurun waktu 1992-2004 serta menganalisa pengaruh variabel lain terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan populasi Jawa Barat berpengaruh negatif yang signifikan, investasi dalam negeri periode sebelumnya berpengaruh positif yang signifikan, investasi luar negeri periode sebelumnya berpengaruh negatif yang tidak signifikan, pengeluaran pemerintah Jawa Barat berpengaruh positif yang signifikan, ketimpangan distribusi pendapatan penduduk Jawa Barat berpengaruh positif yang signifikan, dummy otonomi daerah berpengaruh positif yang signifikan, dan dummy krisis ekonomi berpengaruh negatif yang signifikan.

Purnamasyari (2010) melakukan penelitian dengan studi kasus yang sama yaitu Provinsi Jawa Barat. Penelitiannya mengukur tingkat kesenjangan pendapatan serta menganalisa trend kesenjangan yang terjadi antar kabupaten/kota dengan menggunakan Indeks Williamson, kemudian menganalisis konvergensi pendapatan agar dapat diketahui kecenderungan pola pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota menggunakan alat analisis data panel dan Klassen

Typology , dan mengestimasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten/kota menggunakan analisis data panel.

(24)

tergolong dalam kesenjangan taraf tinggi dengan nilai indeks ketimpangan antara 0.61 sampai 0.69.

Berdasarkan analisis konvergensi mutlak, terjadi kecenderungan konvergensi dimana daerah miskin memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dari daerah kaya begitupun berdasarkan analisis konvergensi bersyarat, terjadi kecenderungan konvergensi setelah variabel kesehatan dimasukkan ke dalam analisis, dengan pengaruhnya berbanding lurus terhadap pertumbuhan pendapatan per kapita. Berdasarkan Klassen Typology, selama periode analisis kondisi terbaik terjadi pada tahun 2002 dengan kabupaten/kota yang termasuk daerah maju dan pertumbuhan cepat sebanyak 18.18 persen dari jumlah total kabupaten/kota. Kondisi terburuk terjadi pada tahun 2007 dengan kabupaten/kota yang termasuk daerah kurang berkembang sebanyak 63.64 persen dari jumlah total kabupaten/kota di Jawa Barat. Berdasarkan analisis regresi data panel, jumlah penduduk berpengaruh positif secara signifikan terhadap PDRB, pangsa sektor pertanian terhadap PDRB dan pangsa sektor industri terhadap PDRB berpengaruh negatif secara signifikan terhadap PDRB. Variabel indeks pendidikan dan indeks kesehatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap PDRB.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu: menggunakan metode LQ dan Indeks Williamson tidak hanya untuk mengetahui sektor basis dan mengetahui adanya ketimpangan pendapatan. Penelitian ini menyempurnakan penelitian sebelumnya yaitu mengetahui peran dari sektor basis yang sudah diketahui melalui metode LQ serta menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan sektor basis yang paling berperan dengan menggunakan metode regresi data panel.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan metode analisis regresi data panel untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan analisis data panel untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan sektor ekonomi basis yang paling berperan mengurangi ketimpangan pendapatan di Jawa Tengah. Penelitian ini juga menambahkan Indeks Atkinson yang digunakan untuk mengetahui besarnya kesejahteraan yang hilang akibat adanya ketimpangan pendapatan. Kemudian penelitian ini juga menggunakan data yang menyertakan sektor migas. Hal- hal di atas yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.

Kerangka Pemikiran

(25)

Dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan pemerataan maka penting suatu daerah untuk mengetahui sektor lokal yang potensial atau sektor ekonomi basis pada daerah tersebut yang ditujukan untuk mengurangi adanya ketimpangan pendapatan pada daerah tersebut. Untuk dapat mengetahui sektor-sektor ekonomi yang potensial di Provinsi Jawa Tengah, maka dilakukan analisis dengan menggunakan Location

Quotient. Perlu untuk mengetahui peran dari sektor ekonomi basis yang sudah ada

untuk mengurangi ketimpangan pendapatan dengan cara mengitung ketimpangan pendapatan dengan menggunakan Indeks Williamson tanpa memasukkan nilai PDRB masing-masing sektor ekonomi basis dalam perhitungan tersebut. Nilai Indeks Williamson yang diperoleh akan dibandingkan dengan besarnya nilai Indeks Williamson yang memasukkan nilai PDRB sektor ekonomi basis.

Sektor ekonomi basis yang berperan dalam mengurangi ketimpangan pendapatan dapat dilihat pada indeks ketimpangan yang tidak memasukkan PDRB sektor ekonomi basis menunjukkan nilai yang lebih besar dari indeks ketimpangan dengan memasukkan PDRB sektor basis. Dari sektor-sektor ekonomi basis yang sudah didapat melalui Location Qoetient dan sudah dianalisis peranan dari sektor-sektor ekonomi basis tersebut, sehingga akan terlihat satu sektor-sektor basis yang mempunyai peranan paling besar dalam mengurangi ketimpangan pendapatan. Sektor ekonomi basis yang mempunyai peranan paling besar tersebut akan di analisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan sektor tersebut dengan menggunakan regresi data panel. Diharapkan agar sektor tersebut semakin tumbuh dan terus berperan dalam mengurangi ketimpangan pendapatan. Diagram alir kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Keterangan : Alur Penelitian

Metode Analisis

Gambar 2 Diagram alir kerangka pemikiran Kondisi Perekonomian

Jawa Tengah

Analisis Ketimpangan Pendapatan Indeks

Williamson

Peran Sektor Ekonomi Basis

terhadap Ketimpangan

Location Quotient

IW tanpa

dan dengan

basis

Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Sektor

Ekonomi Basis

Regresi Data Panel Analisis Social

Welfare Loss Indeks

(26)

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang digunakan merupakan dugaan tanda koefisien variabel-variabel bebas terhadap variabel-variabel terikatnya. Dalam analisis faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi sektor pertanian, hipotesis yang digunakan adalah:

1. Luas panen tanaman bahan makanan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian.

2. Luas lahan teririgasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian.

3. Jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian.

4. Jumlah tenaga kerja sektor pertanian berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian.

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder periode tahun 2005-2012 yang mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten dan kota yang dianalisis berjumlah 35, terdiri dari 29 kabupaten dan enam kota. Data yang diperlukan meliputi: (1) Jumlah penduduk per kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, (2) PDB per sektor di Indonesia, (3) PDRB per sektor di Provinsi Jawa Tengah, (4) PDRB per sektor masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.

Data lain yang digunakan adalah (5) jumlah tenaga kerja sektor pertanian tahun 2008-2012, (6) luas panen tanaman bahan makanan tahun 2008-2012, (7) luas lahan teririgasi tahun 2008-2012, (8) PDRB sektor pertanian masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2008-2012.

Sumber data tersebut diperoleh dari: BPS Pusat, BPS Provinsi Jawa Tengah, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, jurnal, buku, dan literatur lainnya yang mendukung.

Metode Analisis Data

Analisis Ketimpangan Pendapatan

Ketimpangan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dapat diketahui menggunakan Indeks Williamson dengan rumusan sebagai berikut:

(27)

Dimana: IW = Indeks Williamson

Yi = PDRB per kapita di kabupaten i

= PDRB per kapita rata-rata di Provinsi Jawa Tengah fi = Jumlah penduduk di kabupaten i

n = Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah

Apabila Indeks Williamson semakin mendekati nol maka menunjukkan ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang semakin kecil, sebaliknya apabila angka Indeks Williamson menunjukkan semakin jauh dari nol maka menunjukkan ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah yang semakin melebar.

Terdapat kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah ketimpangan berada pada taraf rendah, sedang, atau tinggi. Menurut Oshima dalam Soetopo 2009, kriteria tersebut sebagai berikut:

a. Ketimpangan taraf rendah apabila indeks ketimpangan kurang dari 0.35. b. Ketimpangan taraf sedang apabila indeks ketimpangan antara 0.35-0.5. c. Ketimpangan taraf tinggi apabila indeks ketimpangan lebih dari 0.5.

Analisis Dampak Social Welfare Loss

Anthony Barnes Atkinson adalah ekonom Inggris yang mengembangkan ukuran ketimpangan pendapatan yaitu Indeks Atkinson. Ukuran ini mampu menangkap perubahan atau pergerakan pada segmen-segmen yang berbeda dari distribusi pendapatan. Indeks Atkinson menjadi lebih sensitif untuk berubah ketika mencapai nilai mendekati satu. Sebaliknya, ketika mendekati nol Indeks Atkinson menunjukkan bahwa lebih sensitif ke perubahan batas atas distribusi pendapatan. Penghitungan indeks Atkinson dimulai dengan konsep EDE (Equally

Distributed Equivalent). EDE adalah level pendapatan dimana jika pendapatan

tersebut dihasilkan oleh setiap individu dalam distribusi pendapatan, maka semua individu tersebut dimungkinkan untuk mencapai level kesejahteraan yang sama.

Indeks Atkinson menggunakan parameter ketimpangan yang dilambangkan dengan ε. Indeks Atkinson dihitung dengan menggunakan parameter ketimpangan ε yang bervariasi dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran kebijakan mana yang paling tepat untuk meminimalisir dampak ketimpangan regional terhadap kesejahteraan masyarakat.

(28)

mengindikasikan kesenjangan yang sangat tinggi dan social welfare loss sebesar 100 persen.

Perhitungan Indeks Atkinson adalah sebagai berikut:

1

 

   

     ,         

 

  

  ,

1

Dimana:

A(ε) = Indeks Atkinson

Yi = PDRB per kapita kabupaten/kota Yede = Level pendapatan EDE

ε = Parameter ketimpangan n = Jumlah kabupaten/kota

= Rata-rata PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah

Analisis Location Quotient (LQ)

Metode Location Quotient merupakan metode yang digunakan untuk melihat apakah suatu sektor perekonomian merupakan sektor ekonomi basis atau ekonomi nonbasis, dengan cara menghitung perbandingan antara pendapatan di sektor i pada daerah bawah terhadap pendapatan total semua sektor di daerah bawah dengan pendapatan di sektor i pada daerah atas terhadap pendapatan total semua sektor di daerah atas.

Secara matematis nilai LQ dapat dirumuskan sebagai berikut:

  //

Dimana:

Sib = pendapatan (tenagakerja) sektor i pada daerah bawah Sb = pendapatan (tenagakerja) total semua sektor daerah bawah Sia = pendapatan (tenagakerja) sektor i pada daerah atas

Sa = pendapatan (tenagakerja) total semua sektor daerah atas

(29)

Analisis Peranan Sektor Ekonomi Basis Terhadap Ketimpangan Pendapatan

Hendra (2004) menyatakan bahwa cara yang harus dilakukan untuk melihat peranan sektor basis terhadap ketimpangan pendapatan antar daerah yaitu dengan menghitung ketimpangan pendapatan dengan Indeks Williamson tanpa memasukkan nilai PDRB masing-masing sektor basis dalam perhitungan tersebut. Kemudian nilai Indeks Williamson yang diperoleh akan dibandingkan dengan besarnya nilai Indeks Williamson dengan memasukkan nilai PDRB sektor basis.

Apabila setelah sektor basis dikeluarkan dari perhitungan dan tingkat ketimpangan yang diperoleh lebih besar daripada nilai indeks ketimpangan yang memasukkan nilai PDRB sektor basis, maka artinya sektor basis berperan mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah. Besarnya pengurangan ketimpangan dihitung dari selisih kedua nilai dalam satuan persen.

Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Sektor Basis

Analisis Location Quotient yang dilakukan akan dapat mengetahui sektor basis di Provinsi Jawa Tengah kemudian sektor-sektor basis tersebut akan diuji peranannya dengan menggunakan Indeks Williamson. Di antara sektor-sektor basis tersebut yang mempunyai peran paling besar dalam mengurangi ketimpangan pendapatan akan di analisis faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan sektor tersebut. Hal ini dilakukan agar sektor tersebut dapat lebih tumbuh dan lebih berperan setelah mengetahui faktor-faktor yang mendukung.

Untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian di Provinsi Jawa Tengah dapat menggunakan analisis regresi data panel. Data panel merupakan kombinasi data

cross section dengan time series. Data cross section adalah data yang

dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu, sedangkan data time

series adalah data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu

(Gujarati 2006). Menurut Gujarati (2006), keunggulan penggunaan data panel memberikan banyak keuntungan diantaranya sebagai berikut :

1. Data panel mampu menyediakan data yang lebih banyak, sehingga dapat memberikan informasi yang lebih lengkap. Sehingga diperoleh degree of

freedom (df) yang lebih besar sehingga estimasi yang dihasilkan lebih baik.

2. Dengan menggabungkan informasi dari data time series dan cross section dapat mengatasi masalah yang timbul karena ada masalah penghilangan variabel (omitted variable).

3. Data panel mampu mengurangi kolinearitas antar variabel.

4. Data panel lebih baik dalam mendeteksi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak mampu dilakukan oleh data time series murni dan cross

section murni.

5. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. Sebagai contoh, fenomena seperti skala ekonomi dan perubahan teknologi. 6. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregat individu,

(30)

Dalam pendekatan Data panel terdapat 3 pendekatan metode, yaitu metode

Pooled Least Squared (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect

Model (REM).

1. Pooled Least Squared (PLS)

Pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data panel adalah dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa atau sering disebut

Pooled Least Squared (PLS) dimana menggabungkan (pooled) seluruh data

time series dan cross section dan kemudian mengestimasi model dengan

menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS).

N adalah jumlah unit cross section (individu) dan T adalah jumlah periode waktunya. Estimasi pada pendekatan ini diasumsikan bahwa setiap unit individu memiliki intersep dan slope yang sama (tidak ada perbedaan pada dimensi kerat waktu), sehingga pada regresi panel ini data yang dihasilkan akan berlaku untuk setiap individu.

2. Fixed Effect Model (FEM)

Metode data panel dengan Fixed Effect Model (FEM) mengasumsikan bahwa perbedaan mendasar antar individu dapat diakomodasikan melalui perbedaan intersepnya, namun intersep antar waktu sama (time invariant). Fixed effect maksudnya bahwa koefisien regresi (slope) tetap antar individu dan antar waktu. Intersep setiap individu merupakan parameter yang tidak diketahui dan akan diestimasi.

Menurut Juanda (2009), dalam membedakan intersep dapat digunakan peubah

dummy, sehingga metode ini juga dikenal dengan model Least Square

Dummy Variable (LSDV).

3. Random Effect Model

Random Effect Model (REM) digunakan untuk mengatasi kelemahan model

efek tetap yang menggunakan dummy variabel, sehingga model mengalami ketidakpastian. Penggunaan dummy variabel akan mengurangi derajat bebas

(degree of freedom) yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari

parameter yang diestimasi. REM menggunakan residual yang diduga memiliki hubungan antar waktu dan antar individu. Sehingga REM mengasumsikan bahwa setiap individu memiliki perbedaan intersep yang merupakan variabel random.

Pengujian Model Penelitian

Pemilihan model yang digunakan dalam sebuah penelitian perlu dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efisien. Keputusan untuk memilih jenis model yang digunakan dalam analisis panel didasarkan pada dua uji, yakni uji Chow dan uji Hausman. Uji Chow digunakan untuk memutuskan apakah menggunakan Pooled Least Squared

(PLS) atau Fixed Effect Model (FEM). Keputusan untuk menggunakan Fixed

(31)

1. Uji Chow

Uji Chow (uji F-statistik) adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled Least Square atau Fixed Effect model. Sebagaimana yang diketahui bahwa terkadang asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkan setiap unit cross section memiliki perilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:

H0 : α1 = α2 = …= αi (intersep sama) maka model Pooled Least Square H1 : sekurang-kurangnya ada 1 intersep yang berbeda maka model Fixed

Effect

Dasar penolakan terhadap Hipotesa Nol (H0) adalah dengan menggunakan F-statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow:

 

1

Dimana:

ESS1 = Residual Sum Square hasil pendugaan model pooled least square

ESS2 = Residual Sum Square hasil pendugaan model fixed effect

N = Jumlah data cross section T = Jumlah data time series K = Jumlah variabel penjelas

Statistic Chow Test mengikuti distribusi F-statistik dengan derajat bebas (N –

1, NT – N – K) jika nilai Chow Statistics (F-stat) hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penerimaan terhadap Hipotesa Nol sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, dan begitu juga sebaliknya. Pengujian ini disebut sebagai Chow Test karena kemiripannya dengan Chow Test yang digunakan untuk menguji stabilitas parameter (stability test).

2. Uji Hausman

Uji Hausman adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan kita dalam memilih apakah menggunakan model fixed effect atau model random

effect. Seperti yang kita ketahui bahwa penggunaan model fixed effect

mengandung suatu unsur trade off yaitu hilangnya derajat bebas dengan memasukkan variabel dummy. Namun, penggunaan metode random effect juga harus memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat. Dalam pengujian ini dirumuskan hipotesis yaitu :

H0 : E ( it xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat H1 : E ( it xit) ≠ 0 atau FEM adalah model yang tepat

Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman dan membandingkannya dengan Chi Square. Statistik Hausman dirumuskan dengan:

( ~χ2

(k) Dimana:

(32)

Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 tabel, cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model

fixed effect, begitu juga sebaliknya.

Uji Pelanggaran Asumsi

Uji pelanggaran asumsi dilakukan dalam rangka menghasilkan model yang efisien, visible dan konsisten. Uji pelanggaran asumsi dilakukan dengan mendeteksi gangguan waktu (time-related disturbance), gangguan antara individu atau antar sektor ekonomi, dan gangguan akibat keduanya.

1. Multikolinearitas

Multikolinearitas terjadi jika pada suatu model regresi tak satu pun variabel bebas mempunyai koefisien regresi dari OLS (Ordinary Least Square) yang signifikan secara statistik, walaupun nilai R2 tinggi. Indikasi multikolinearitas tercermin dari nilai t dan F-statistik hasil regresi. Jika banyak koefisien parameter dari t statistik diduga tidak signifikan sementara F hitungnya signifikan, maka patut diduga ada multikolinearitas. Cara mengatasi masalah multikolinearitas antara lain dilakukan dengan menambah jumlah data atau mengurangi jumlah data observasi, menambah atau mengurangi jumlah variabel independennya yang memiliki hubungan linear dengan variabel lainnya, mengkombinasikan data cross section dan time series, mengganti data, dan mentransformasi variabel.

2. Autokorelasi

Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa tidak ada autokorelasi atau korelasi serial antara sisaan (εt). Dengan pengertian lain, sisaan menyebar bebas atau Cov (εi,εj) = E(εi,εj) = 0 untuk semua i=j, dan dikenal juga sebagai bebas serial (serial independence). Jika antar sisaan tidak bebas atau E(εi,εj) = 0 untuk i=j maka dapat dikatakan terjadi autokorelasi. Adanya autokorelasi menyebabkan model tidak lagi efisien, standar error bias ke bawah, meskipun model tetap konsisten. (Juanda 2009). Untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai

Durbin-Watson (DW) dalam EViews. Untuk mengetahui ada atau tidaknya

autokorelasi, maka dilakukan dengan membandingkan DW-statistik dengan DW-tabel. Berikut adalah selang statistik Durbin Watson beserta keputusannya:

4 – dL < DW < 4 maka terdapat autokorelasi negatif 4 – dU < DW < 4 – dL maka hasil tidak dapat ditentukan DU < DW < 4-DU maka tidak ada autokorelasi

DL < DW < dU maka hasil tidak dapat ditentukan 0 < DW < dL maka terdapat autokorelasi positif 3. Heteroskedastisitas

(33)

cross section, namun data juga terjadi pada data time series. Terdapatnya heteroskedastisitas menyebabkan model menjadi tidak efisien, meskipun penduga tidak bias dan konsisten. Adanya heteroskedastisitas menyebabkan dugaan parameter koefisien regresi dengan metode Ordinary Least Squared

(OLS) tetap tidak bias, masih konsisten tapi standar errornya bias ke bawah

dan penduga OLS tidak lagi efisien (Juanda 2009). Heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan beberapa metode pengujian, salah satu diantaranya yaitu uji

white, yaitu dengan membandingkan jumlah observasi yang dikalikan R2-nya

(obs*R2) dengan χ2 (Chi-Squared)-tabel, bila nilai obs*R2 lebih besar dari χ2 maka terdapat heterokedesitas pada model. Pengolahan data panel dengan menggunakan EViews 6, heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan metode

General Least Square (GLS). Dengan membandingkan nilai Sum Square

Resid pada Weighted Statistics dengan Sum Squared Resid pada Unweighted

statistics, maka model tidak melanggar asumsi heteroskedastisitas.

Model Perumusan Model untuk Analisis Data

Penelitian menggunakan regresi data panel dan diasumsikan dipengaruhi oleh variabel-variabel yang telah ditetapkan. Secara sistematis, model regresi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi sektor pertanian di Provinsi Jawa Tengah yaitu:

PTNit = α0 + β1LPit + β2LIit + β3JPit + β4JTKit +μit Dimana:

PTN = PDRB sektor pertanian di Provinsi Jawa Tengah

LP = Luas panen sub sektor tanaman bahan makanan di Provinsi Jawa

Tengah

LI = Luas lahan teririgasi di Provinsi Jawa Tengah JP = Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah

JTK = Jumlah tenaga kerja sektor pertanian di Provinsi Jawa Tengah μt = komponen error

GAMBARAN UMUM

Keadaan Geografis Provinsi Jawa Tengah

Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi di Pulau Jawa yang diapit oleh dua provinsi besar yaitu Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Barat. Jawa Tengah terletak antara 5°40´ dan 8°30´ Lintang Selatan dan antara 108°30´ dan 111°30´ Bujur Timur (termasuk Pulau Karimunjawa).

Sebelah Utara : Laut Jawa

Sebelah Timur : Provinsi Jawa Timur Sebelah Barat : Provinsi Jawa Barat

(34)

Wilayah Administrasi dan Penduduk Provinsi Jawa Tengah

Tabel 5 Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah

Kabupaten/Kota Luas Daerah (km2)

Jumlah

Penduduk Kepadatan Penduduk per km

2

Kab. Cilacap 2138.51 1679864 786

Kab. Banyumas 1327.59 1603037 1207

Kab. Purbalingga 777.65 877489 1128

Kab. Banjarnegara 1069.74 890962 833

Kab. Kebumen 1282.74 1181678 921

Kab. Purworejo 1034.82 708483 685

Kab. Wonosobo 984.68 771447 783

Kab. Magelang 1085.73 1219371 1123

Kab. Boyolali 1015.07 953317 939

Kab. Klaten 655.56 1153047 1759

Kab. Sukoharjo 466.66 848718 1819

Kab. Wonogiri 1822.37 946373 519

Kab. Karanganyar 772.2 838762 1086

Kab. Sragen 946.49 875283 925

Kab. Grobogan 1975.85 1339127 678

Kab. Blora 1794.4 847125 472

Kab. Rembang 1014.1 608548 600

Kab. Pati 1491.2 1219993 818

Kab. Kudus 425.17 807005 1898

Kab. Jepara 1004.16 1144916 1140

Kab. Demak 897.43 1091379 1216

Kab. Semarang 946.86 968383 1023

Kab. Temanggung 870.23 730720 840

Kab. Kendal 1002.27 926325 924

Kab. Batang 788.95 728578 923

Kab. Pekalongan 836.13 861366 1030

Kab. Pemalang 1011.9 1285024 1270

Kab. Tegal 879.7 1421001 1615

Kab. Brebes 1657.73 1770480 1068

Kota Magelang 18.12 120447 6647

Kota Surakarta 44.03 509576 11573

Kota Salatiga 52.96 177480 3351

Kota Semarang 373.67 1629924 4362

Kota Pekalongan 44.96 290347 6458

Kota Tegal 34.49 244632 7093

Total 32544.12 33270207 1022

(35)

Secara administratif Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 kabupaten dan enam kota dengan Kota Semarang sebagai ibukota provinsi. Berdasarkan Tabel 5, luas wilayah Jawa Tengah sebesar 3.25 juta hektar atau sekitar 25.04 persen dari luas Pulau Jawa (1.70 persen dari luas Indonesia). Luas yang ada terdiri dari 922 ribu hektar (30.47 persen) lahan sawah dan 2.26 juta hektar (69.53 persen) bukan lahan sawah.

Jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 yaitu sebesar 33.270.207 jiwa. Kabupaten Brebes mempunyai jumlah penduduk yang paling besar yaitu 1.770.480 jiwa, diikuti oleh Kabupaten Cilacap 1.679.864 jiwa dan Kota Semarang 1.629.924 jiwa. Kabupaten/kota yang mempunyai jumlah penduduk paling sedikit adalah Kota Magelang 120.447 jiwa. Rata-rata kepadatan jumlah penduduk Jawa Tengah adalah 1022 jiwa per km2. Kepadatan penduduk di kota pada umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan kepadatan penduduk di kabupaten. Kota Surakarta memiliki kepadatan penduduk tertinggi yaitu 11.573 jiwa/km2, sedangkan kepadatan penduduk paling rendah adalah Kabupaten Blora 472jiwa/km2.

Provinsi Jawa Tengah memiliki sarana penunjang untuk menunjang kegiatan perekonomian dan investasi, di antaranya untuk transportasi udara tersedia Bandara Achmad Yani di Kota Semarang, Bandara Tunggul Wulung di Kabupaten Cilacap, Bandara Dewadaru di Kabupaten Jepara dan Bandara Adi Sumarmo di Kota Solo yang menjadi bandara utama di provinsi ini. Bandara Adi Sumarmo melayani penerbangan domestik dan internasional.

Transportasi laut di provinsi ini tersedia Pelabuhan Pekalongan di Kota Pekalongan dan Pelabuhan Tanjung Emas yang terletak di Kota Semarang, yang melayani pelayaran nasional dan internasional. Selain itu di provinsi ini juga tersedia kawasan industri yang dapat meningkatkan perekonomian, seperti Kawasan Industri Terboyo, Kawasan Industri Tugu Wijayakusuma dan Tanjung Emas Export Processing Zone yang berada di Kota Semarang.

Kondisi Perekonomian

PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) merupakan salah satu indikator untuk melihat kondisi perekonomian suatu daerah. Dilihat dari besarnya PDRB di Provinsi Jawa Tengah, sektor perekonomian yang menyumbang PDRB paling besar adalah sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor pertanian.

Sektor industri pengolahan merupakan sektor penggerak perekonomian Jawa Tengah, pembangunan sektor ini harus menjadi prioritas pembangunan daerah. Dikarenakan sektor ini merupakan sektor yang memberikan kontribusi yang terbesar dalam pembentukkan PDRB Jawa Tengah dari tahun 2008-2012. Pada tahun 2008 peranan sektor ini sebesar 31.68 persen dan tahun 2009 peranan sektor ini turun menjadi 30.82 persen. Pada tahun 2010 dan 2011 peranan sektor industri pengolahan kembali meningkat menjadi 32.83 persen dan 33.06 persen. Selanjutnya pada tahun 2012 nilainya kembali menurun menjadi 32.73 persen.

(36)

PDRB terbesar ketiga sebesar 17.41 persen. Sektor listrik, gas, dan air bersih menyumbang PDRB paling kecil hanya 1.12 persen.

Tabel 6 Peranan sektor-sektor perekonomian Provinsi Jawa Tengah Atas Dasar Harga Konstan 2000 tahun 2008-2012 (persen)

Sumber: BPS, 2013 (diolah).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Ketimpangan Pendapatan AntarKabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah

PDRB per kapita di sejumlah kabupaten/kota seperti Kabupaten Cilacap, Kabupaten Kudus, dan Kota Semarang yang sangat tinggi menyebabkan adanya ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah. Tingginya PDRB per kapita di sejumlah kabupaten/kota tersebut disebabkan oleh keberadaan beberapa industri yang menyumbang PDRB pada kabupaten/kota tersebut. Berdasarkan data PDRB di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Kudus, dan Kota Semarang terlihat bahwa PDRB di ketiga kabupaten/kota tersebut didominasi oleh sektor industri pengolahan.

Di Kabupaten Cilacap pada tahun 2006 sumbangan industri pengolahan terhadap PDRB Kabupaten Cilacap sebesar sebelas miliar rupiah dari 20 miliar rupiah total PDRB Kabupaten Cilacap. Nilai tersebut terbagi dalam industri migas sekitar 9.9 miliar rupiah dan industri nonmigas sekitar 1.5 miliar rupiah yang terbagi beberapa di antaranya industri makanan, minuman, tembakau, tekstil, barang kayu dan hasil hutan, industri kertas, industri pupuk.

Kabupaten Kudus pada tahun 2006 juga sumbangan PDRB kabupaten tersebut didominasi oleh sektor industri pengolahan yaitu sebesar enam miliar rupiah dari total PDRB 10 miliar rupiah. Industri pengolahan di Kota Semarang sebenarnya bukan menjadi penyumbang terbesar di PDRB kota tersebut, namun PDRB di kota tersebut didominasi oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Di sisi lain, Kota Semarang memiliki beberapa industri yang cukup berperan di antaranya industri garmen, perusahaan manufaktur tekstil PMA.

Lapangan Usaha 2008 2009 2010 2011 2012

Pertanian 19.96 19.89 18.69 17.87 17.41

Pertambangan dan Penggalian 1.10 1.11 1.12 1.11 1.12 Industri Pengolahan 31.68 30.82 32.83 33.06 32.73 Listrik, Gas dan Air Bersih 0.84 0.84 0.86 0.85 0.86

Bangunan 5.75 5.86 5.89 5.91 5.96

Perdagangan, Hotel dan Restoran 21.23 21.50 21.42 21.73 22.16 Pengangkutan dan Komunikasi 5.16 5.27 5.24 5.37 5.45 Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan 3.71 3.81 3.76 3.79 3.89

(37)

Besarnya ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dapat dihitung dengan menggunakan Indeks Williamson (IW). Indeks Williamson tersebut dapat dihitung dengan menggunakan data PDRB per kapita dengan migas yang diperoleh dengan cara membagi PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 dengan jumlah penduduk di kabupaten/kota tersebut setiap tahunnya. Adapun hasil perhitungan Indeks Williamson di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Trend ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2012

Sumber: BPS, 2013 (diolah).

Trend ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa

Tengah digambarkan dalam sebuah grafik dalam Gambar 3 yang diperoleh dari perhitungan nilai Indeks Williamson. Grafik dalam Gambar 3 menunjukkan nilai ketimpangan pendapatan yang berfluktuasi dari tahun ke tahun yang mencerminkan adanya perbedaan tingkat ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Tengah.

Nilai Indeks Williamson yang semakin mendekati nol menggambarkan tingkat ketimpangan yang rendah atau pemerataan yang baik. Sementara, apabila nilai Indeks Williamson semakin mendekati satu menggambarkan tingkat ketimpangan yang tinggi. Serta nilai Indeks Williamson dikategorikan ke dalam ketimpangan taraf tinggi apabila nilainya melebihi 0.5.

Secara keseluruhan selama tahun analisis yaitu dari tahun 2005 sampai tahun 2012, tingkat ketimpangan paling tinggi terjadi pada tahun 2005 dengan Indeks Williamson sebesar 0.752. Sementara tingkat ketimpangan paling rendah terjadi pada tahun 2012 dengan nilai Indeks Williamson sebesar 0.713. Seperti yang terlihat pada gambar di atas, trend ketimpangan pendapatan tersebut cenderung menurun meskipun terjadi peningkatan pada tahun 2008. Hasil akhir analisis trend ketimpangan menunjukkan nilai sebesar 0.713 pada akhir tahun analisis 2012. Nilai tersebut menunjukkan penurunan yang cukup konsisten apabila dibandingkan dengan tahun awal analisis yaitu 0.752 pada tahun 2005.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketimpangan pendapatan antarkabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah termasuk dalam karakteristik

0.71 0.715 0.72 0.725 0.73 0.735 0.74 0.745 0.75 0.755

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

IW

Tahun

Gambar

Tabel 1 Pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa tahun 2008-2011 (persen)
Tabel 2 PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan  2000 menurut Provinsi di                Pulau Jawa tahun 2007-2011 (ribu rupiah)
Tabel 3  PDRB Provinsi Jawa Tengah Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut                lapangan usah tahun 2003-2009 (triliun rupiah)
Tabel 4  PDRB per kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menganalisis pengaruh indeks pembangunan manusia , tingkat pertumbuha ekonomi, tenaga kerja dan jumlah penduduk terhadap ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa

Tinggi rendahnya nilai Indeks Williamson mengandung arti bahwa ketimpangan rata-rata produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita antar daerah atau

Hasil penelitian tentang Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Wilayah Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Timur adalah (1) Pola hubungan

Ketimpangan yang terjadi antar daerah Sumatera Utara berada pada level sedang.Sektor pertanian memberikan kontribusi paling besar dalam perekonomian Sumatera Utara sebagai

Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengetahui besarnya ketimpangan pendapatan antar daerah Sumatera Utara, (2) menganalisis kontribusi Sektor Pertanian terhadap

Ketimpangan yang terjadi antar kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan dengan meggunakan Indeks Williamson menunjukan ketimpangan yang cenderung semakin menurun

Hasil penelitian tentang Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Wilayah Kebijakan Pembangunan di Provinsi Jawa Timur adalah (1) Pola hubungan

Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengetahui besarnya ketimpangan pendapatan antar daerah Sumatera Utara, (2) menganalisis kontribusi Sektor Pertanian terhadap