• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik bioekologi rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Laut Kabupaten Brebes

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik bioekologi rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Laut Kabupaten Brebes"

Copied!
210
0
0

Teks penuh

(1)

(

Portunus pelagicus

) DI PERAIRAN LAUT

KABUPATEN BREBES

SUNARTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakteristik Bioekologi Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Laut Kabupaten Brebes, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Sunarto

(4)
(5)

pelagicus) in Brebes Waters. Under direction of DEDI SOEDHARMA, ETTY RIANI, and SULAEMAN MARTASUGANDA.

Blue swimming crab (Portunus pelagicus) is commercial and exported product from Indonesia. It is usefull to make it as sustainable resource, so the research should conduct to analysis bioecology characteristic. The research was conduct from April 2008 through March 2009 in Brebes district waters with survey method. The objective of the research was to analysis biology and ecology characteristic and its relationship on crab distribution as base of sustainable fisheries management. Samples was collected by capture gear was called garok

(mini beam trawl-like). In the present research, analyzed ecologycal data covered substrat texture, Carbon-organic content, Nitrogen-total content, orthoposfat (P2O5) content, pH value, salinity and water themperature. Also analyzed

biological data covered morfology, anatomy, growth, reproductive performance, age assessment, length infinity, size at first maturity and legal size. Ecological data analyzed descriptively through performance of substate texture, organic content and water quality and also the parameters relationship each other. Principle Component Analysis (PCA) used to know ecology parameters relationship. Reproduction performance analized descriptively, whereas growth used regression analysis and von Bertalanffy growth formula (VBGF) from FISAT software. The result points that substrate fraction don’t give effect on crab size distribution. Ranges of male crab carapace length are 22 mm to 75 mm, while female crab carapace length are 21 mm-74 mm. Weight range male crab are 10.12 g-234.13 g, while female crab are 6.53 g to 253.24 g. This conditions demonstrate there is variation of old structure on crab population and crab which is caught is not from same cohort. Sex ratio demonstrated that number of female crab more than male along a year. Almost long a year, male crab dominated by ovarian stage I. The female crab on ovarian stage V (berried female) found out long a year. Spawning occure long a year with peak season on April and September. Generally male crab have weight increases faster than length in other hand female crab have length increases faster than weight increases. Male crab have bigger size than female. Size at first maturity for male crab is 63 mm, while female crab is 48 mm. The legal size of blue swimming crab is 65 mm. Base on ELEFAN analysis resulted that length infinity (L) is 81.10 mm for male and 81.38 for female with growth coefficient are 1.20 and 0.78 for male and female respectively. Base on VBGF resulted that maximum length occur at 5.66 and 5.63 year old for male and female respectively. From Battacharya method found there are two size class that are on mean length 47.5 mm and 59.5 mm. Result from FISAT analysis pointed that total mortality value (Z) was 2.52, natural mortality (M) was 1.53, fishing mortality (F) was 0.98. Fishing exploitation rate (E) was 0.391, indicated that fishing effort still in the range allowable catch. Substrat texture class was dominated by sandy loam. Carbon-organic content range of 1.08-4.79 %, Nitrogen-total was 0.07-0.51 % and Orthophosfat (P2O5) was

(6)
(7)

SUNARTO. Karakteristik Bioekologi Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Laut Kabupaten Brebes. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA, ETTY RIANI, dan SULAEMAN MARTASUGANDA.

Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis penting karena permintaannya tinggi dan merupakan komoditas ekspor yang memiliki harga tinggi. Pengetahuan tentang karakteristik bioekologi rajungan sangat penting dalam upaya melestarikan sumberdaya tersebut, baik melalui upaya pengelolaan maupun budidaya.

Penelitian mengenai karakteristik Bioekologi Rajungan (Portunus pelagicus) telah dilakukan di perairan laut Kabupaten Brebes Jawa Tengah sejak bulan April 2008 sampai Maret 2009. Tujuan penelitian ini secara umum adalah menganalisis karakteristik biologi, ekologi dan hubungannya dengan distribusi rajungan sebagai dasar pengelolaan sumber daya rajungan yang berkelanjutan Sampel rajungan sebanyak 844 ekor dikumpulkan dengan alat tangkap garok. Data-data biologi dan ekologi rajungan dikumpulkan secara in situ dan dianalisis secara deskriptif.

Pada penelitian ini dilakukan analisis terhadap karakteristik ekologi yang meliputi komposisi tekstur substrat, kandungan C-Organik, kandungan N-total, kandungan orthoposfat (P2O5), nilai pH, salinitas dan suhu perairan. Pada

penelitian ini juga dilakukan analisis terhadap karakteristik biologi yang meliputi morfologi, anatomi, pertumbuhan, distribusi TKG, pendugaan umur, panjang infinitif, ukuran pertama matang gonad, dan ukuran layak tangkap.

Data karakteristik ekologi dianalisis secara deskripsi dengan menampilkan data kelas tekstur substrat, kandungan bahan organik dan kualitas air serta menampilkan hubungan antara parameter-parameter tersebut. Analisis komponen utama (PCA) digunakan untuk mengetahui korelasi parameter ekologis. Analisis terhadap morfologi dan anatomi dilakukan secara deskriptif dengan mengacu dan membandingkan dengan rujukan yang relevan dalam kajian yang serupa, dan disajikan dalam bentuk gambar-gambar morfologi dan anatomi yang dapat menjadi rujukan dalam melakukan identifikasi rajungan. Penampilan reproduksi dianalisis secara deskripsi, sedangkan pertumbuhan dianalisis secara regresi dan menggunakan pola pertumbuhan von Bertalanffy dari perangkat lunak FISAT.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa fraksi substrat tidak mempengaruhi distribusi ukuran rata-rata rajungan. Hasil analisis komponen utama menunjukkan fraksi lumpur dan liat berkorelasi positif dengan variabel C-Organik dan N-total. Nilai pH berkorelasi positif dengan C/N rasio dan fraksi pasir. Kondisi substrat didominasi oleh fraksi pasir diikuti oleh farksi lumpur dan fraksi liat. Hasil analisis menggunakan segitiga shepard didapatkan bahwa kelas tekstur substrat setiap titik sampling hampir sama yaitu didominasi lempung (loam) baik lempung berpasir maupun lempung berliat. Kandungan C-organik berkisar antara 1.08-4.79 %. Kandungan N-Total berkisar antara 0.07-0.51 % sedangkan kandungan Posfat (P2O5) sebesar 3.65-32.26 mg/100g. Kisaran nilai pH dalam substrat adalah

(8)

Kisaran panjang karapas rajungan jantan adalah 22 mm-75 mm, sedangkan rajungan betina antara 21 mm-74 mm. Kisaran bobot rajungan jantan adalah 10.12 g-234.13 g sedangkan rajungan betina 6.53 g- 253.24 g. Kisaran yang luas mengindikasikan bahwa terdapat variasi struktur umur pada populasi rajungan dan rajungan yang ditangkap tidak berasal dari kohort yang sama. Secara keseluruhan rajungan betina memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan rajungan jantan.

Secara morfologi rajungan betina matang dapat dibedakan dengan rajungan belum matang dengan mengamati bentuk dan keeratan melekat lipatan abdomennya. Pada umumnya rajungan dengan tingkat kematangan gonad (TKG) rendah (immature) memiliki bentuk lipatan abdomen yang relatif menyempit dan melekat lebih kuat dibandingkan TKG tinggi (mature). Hampir sepanjang tahun rajungan jantan didominasi oleh TKG I kecuali pada bulan Juli TKG II relatif lebih banyak dari TKG I dan TKG III. Rajungan betina pada TKG V (berried female) ditemukan hampir sepanjang tahun. Pemijahan terjadi sepanjang tahun dengan puncak pada bulan April dan September.

Terdapat hubungan linier antara panjang dan lebar karapas baik pada rajungan jantan maupun betina. Pertumbuhan rajungan jantan bersifat allometrik positif yang berarti kecepatan pertambahan bobot lebih tinggi dari kecepatan pertambahan panjang, sedanfkan rajungan betina bersifat allometrik negatif yang menunjukkan kecepatan pertambahan panjang lebih tinggi dari pertambahan bobotnya. Perbedaan nilai b menunjukkan bahwa rajungan jantan lebih besar dibandingkan betina. Rata-rata faktor kondisi sebesar 0.057 dan 0.059 berturut-turut untuk rajungan betina dan jantan.. Ukuran panjang pertama kali matang gonad untuk rajungan jantan sebesar 63 mm sedangkan rajungan betina sebesar 48 mm. Nilai ukuran panjang layak tangkap rajungan adalah 65 mm.

Melalui penggunaan analisa ELEFAN I dari perangkat lunak FiSAT diketahui panjang infinitif (L) untuk rajungan jantan sebesar 81.10 mm dan rajungan betina sebesar 81.38 mm dengan nilai koefisien pertumbuhan (K) masing-masing sebesar 1.20 dan 0.78. Berdasarkan rumus pertumbuhan von Bertalanffy dapat diketahui bahwa pemijahan atau awal perkembangan rajungan dimulai dari bulan April dan September masing-masing untuk rajungan betina dan jantan pada tahun tersebut, dengan panjang maksimum terjadi pada umur 5.66 tahun dan 5.63 tahun. Berdasarkan model distribusi ukuran dari Battacharya diketahui terdapat dua kelompok ukuran atau kelas umur yaitu nilai tengah panjang 47.5 mm dan 59.5 mm.

Nilai mortalitas total (Z) diketahui dengan menggunakan perangkat lunak FISAT sebesar 2.52, nilai mortalitas alami (M) sebesar 1.53 dan nilai mortalitas akibat penangkapan (F) sebesar 0.98. Besarnya nilai laju eksploitasi penangkapan (E) sebesar 0.391, yang berarti upaya penangkapan berada dalam batas yang masih diperbolehkan.

(9)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(10)
(11)

KABUPATEN BREBES

SUNARTO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada ujian tertutup : Dr. Ir. Sulistiono, MSc.

(Dosen di FPIK Institut Pertanian Bogor) Dr. Ir. Fredinan Yulianda, MSi.

(Dosen di FPIK Institut Pertanian Bogor) Penguji pada ujian terbuka : Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA.

(Guru Besar FPIK Institut Pertanian Bogor) Pror. Dr. Ir Dulmi’ad Iriana

(13)

NPM : C661030011 Program Studi : Ilmu Kelautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA. Ketua

Dr. Ir. Etty Riani, MS. Dr. Sulaeman Martasuganda, B.Fish.Sc., MSc. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, MSc. Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.

(14)
(15)
(16)
(17)

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Maha Pencipta yang menciptakan maklukNya penuh makna tidak ada yang sia-sia, penyibak semua rahasia, pemilik segala ilmu. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, manusia pembawa cahaya, pembasmi kebodohan. Atas rahmat dan Karunia Allah SWT penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini dengan judul: Karakteristik Bioekologi Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Laut Kabupaten Brebes.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA., sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Etty Riani,MS., dan Dr. Sulaeman Martasuganda,B.Fish.Sc.,MSc., sebagai anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dan saran-saran dalam penelitian dan penulisan disertasi ini. Terimaksih diucapkan pula untuk Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA., dan Pror. Dr. Ir Dulmi’ad Iriana yang telah menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka penulis, serta kepada Dr. Ir. Sulistiono, MSc. dan Dr. Ir. Fredinan Yulianda, MSi. yang telah menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup penulis. Ucapan terimakasih penulis sampaikan juga kepada Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad, yang telah memberi izin bagi penulis untuk melanjutkan studi program S-3, dan kepada Dirjen Dikti Depatemen Pendidikan Nasional yang telah memeberikan beasiswa pendidikan melalui program BPPS.

Ucapan terimakasih dan rasa cinta yang dalam diberikan kepada istri Ir. Hardiati Kusumaningsih, dan anak-anak saya Alifya Ihya Muhammad dan Finka Laili Nur Adzillah, yang dengan kesabaran, ketulusan hati dan pengorbanannya selalu memberi doa dan semangat dalam menyelesaikan studi ini. Kepada semua pihak yang dengan ikhlas memberikan bantuan selama penulis menempuh studi, melaksanakan penelitian maupun penulisan disertasi ini, semoga Tuhan membalas amal baiknya. Penulis berharap semoga karya kecil ini bermanfaat besar bagi yang membutuhkannya.

Bogor, Januari 2012

(18)
(19)

Penulis di lahirkan di Brebes pada tanggal 25 Maret 1968 sebagai anak ke lima dari pasangan H. Dusman Abdullah dan Hj. Marsiti. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung, lulus pada tahun 1993. Pada tahun 1994 penulis di terima sebagai PNS di perguruan tinggi yang sama sebagai dosen. Pada tahun 1998 penulis mendapat kesempatan melanjutkan kuliah pada jenjang strata 2 (Magister) pada Program studi Ilmu Perairan Program Pascasarjana IPB Bogor dan lulus pada tahun 2001. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional melalui program BPPS. Sebagai pemenuhan tuntutan profesionalitas tenaga pengajar/dosen, penulis melanjutkan pendidikan pada strata 3 (Doktoral) di Program Studi Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Sehubungan dengan pembentukan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) di UNPAD tempat penulis bekerja dan bertambahnya jumlah mahasiswa, maka selama menempuh pendidikan program S3 penulis masih tetap aktif sebagai pengajar yang harus mengampu mata kuliah baru terutama di Program Studi Ilmu Kelautan yang masih terbatas jumlah pengajarnya. Untuk melengkapi kelembagaan fakultas tersebut penulis juga ditugasi menjadi Kepala Laboratorium Ilmu dan Teknologi Kelautan di FPIK Unpad dari tahun 2006 sampai awal 2011.

(20)
(21)

xi

2.1. Taksonomi dan Morfologi Rajungan ………..

2.2. Distribusi dan Preferensi Habitat Rajungan..……….

2.2.1. Fraksi Substrat ...

2.5. Ukuran Pertama Matang Gonad ………..

2.6. Makanan dan Kebiasaan Makan... 2.7. Pertumbuhan ... 2.8. Moulting ... 2.9. Pengelolaan Sumberdaya Rajungan ...

III. METODE PENELITIAN ………...

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ………...

3.2. Pengambilan Sampel ………..

3.3. Materi Penelitian …... 3.3.1. Parameter yang diamati ... 3.3.2. Alat dan Bahan Penelitian...

(22)

xii

4.2. Karakteristik Habitat Rajungan... 4.2.1. Karakteristik Substrat... 4.2.2. Kualitas Air ... 4.3. Determinasi anatomi Eksternal Rajungan (Portunus

pelagicus)... 4.4. Determinasi anatomi Internal Tubuh Rajungan (Portunus

(23)

xiii

Distribusi jenis rajungan dari genus Portunus ... Distribusi rajungan jenis Portunus pelagicus ... Klasifikasi tekstur berdasarkan kandungan pasir, lumpur dan liat (%) ... Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ...…...……… Nilai korelasi (R2) untuk hubungan bahan organik dan fraksi substrat.. Nilai rata-rata,standar deviasi, nilai minimal dan maksimal parameter kualitas air dan substrat... Interval kelas ukuran panjang dan frekwensi rajungan jantan dan

betina... Ciri-ciri morfologis gonad pada berbagai tingkat kematangan... Kadar protein dan lemak telur rajungan pada tingkatan yang berbeda... Nilai faktor kondisi berbasis panjang dan lebar karapas rajungan... Persentase rekrutmen rajungan bulanan ...

(24)
(25)

xv 1. Diagram alir kerangka berpikir ………

2. Struktur karapas dan bagian-bagiannya……… 3. Bentuk dan ornamen karapas rajungan (Portunus pelagicus) jantan dan

betina………..………

4. Morfologi rajungan ……….……….

5. Morfologi beberapa jenis rajungan……….

6. Siklus hidup rajungan dan habitatnya ……… 7. Siklus gonad musiman secara umum pada invertebrata laut ……… 8. Peranan riset dalam mekanisme pengelolaan sumberdaya perikanan…. 9. Peta lokasi pengambilan sampel rajungan ………….……… 10.Sketsa konstruksi dan dimensi jaring garok... 11.Skema urutan pelaksanaan penelitian ……… 12.Sistem pengukuran panjang dan lebar karapas rajungan……… 13.Segitiga tekstur ………..……… 14.Diagram persentase jumlah nelayan berdasarkan kecamatan di Kabupaten

Brebes ………..

15.Konstruksi bubu lipat yang digunakan untuk menangkap rajungan …..

16.Konstruksi jaring kejer ………..

17.Persentase fraksi substrat setiap titik sampling ……….

18.Tingkat fraksi substrat (%) dan ukuran panjang rajungan (mm)………..

19.Diagram sebaran variable karakteristik substrat berdasarkan analisis

komponen utama……….

20.Bentuk dan ornamen karapas rajungan jantan dan betina ……….. 21.Bentuk abdomen jantan dan betina ……….. 22. Kaki-kaki rajungan jantan dan bagian-bagiannya……… 23.Kaki-kaki rajungan betina dan bagian-bagiannya………. 24.Cheliped baru pada rajungan jantan yang terbentuk dalam proses

autotomi ……….

25.Mulut rajungan dan bagian-bagiannya pada kondisi maxillipedterbuka …

26.Posisi mata dan bagian-bagiannya……… 27.Antena rajungan tampak dorsal ……….……….

(26)

xvi

30.Persentase jumlah rajungan tiap bulan sampling terhadap jumlah total….

31.Nilai kisararan ukuran dan rata-rata panjang rajungan jantan dan

betina………..

32.Persentase frekwensi sampel pada tiap nilai tengah kelas pada

rajungan jantan dan betina……….……….

33.Distribusi frekwensi panjang rajungan jantan………

34.Distribusi frekwensi panjang rajungan betina……… 35.Rasio kelamin jantan dan betina selama penelitian...

36.Fluktuasi hasil tangkapan tiap bulan berdasarkan jenis kelamin…………

37.a. Histologi gonad pada TKG I dan TKG II……… ……… b. . Histologi gonad pada TKG III dan TKG IV ……… 38.Perbedaan bentuk abdomen rajungan matang kelamin dan yang belum

matang ………

39.Segmen-segmen pada rajungan matang kelamin dan belum matang…. 40.Grafik regresi hubungan lebar segmen abdomen dengan lebar karapas pada

tiap kematangan gonad………

41.Sketsa dan foto yang menunjukkan tingkat tutupan abdominal flap terhadap thorachic sterna pada rajungan matang kelamin dan belum matang kelamin ...

42.Dimensi abdomen pada rajungan betina matang kelamin………

43.Hubungan antara lebar segmen pertama abdomen (Ls1) dan segmmen

kedua (Ls2) pada setiap TKG………..

44.Prototype alat pengukur kematangan rajungan berbasis lebar abdomen

(SunCrAble)………

45.Ornamen karapas jantan yang telah matang dan belum matang... 46.Perubahan warna telur pada ovigerous female………

47.Barried female dengan telur di luar abdomen dan dalam gonad... 48.Persentase Tingkat Kematangan Gonad Jantan……… 49.Persentase Tingkat Kematangan Gonad Betina ……… 50.Hubungan linier panjang-lebar karapas rajungan jantan ………. ……… 51.Hubungan linier panjang-lebar karapas rajungan betina ………. ………

(27)

xvii 54.Tampilan hasil pengolahan data dengan ELEFAN I dari perangkat lunak

FISAT yang menunjukkan nilai L dan K pada rajungan

jantan……….

55.Tampilan hasil pengolahan data dengan ELEFAN I dari perangkat lunak FISAT yang menunjukkan nilai L dan K pada rajungan

betina……….

56.Grafik pertumbuhan rajungan betina berdasarkan formula pertumbuhan von Bertalanffy... 57.Grafik hubungan panjang dan umur rajungan jantan……….. 58.Grafik hubungan panjang dan umur rajungan betina……….. 59.Grafik distribusi ukuran berdasarkan metode Bhattacharya……… 60.Tampilan hasil perhitungan nilai Z dan kurva hasil tangkapan berdasarkan

data panjang dengan menggunakan perangkat lunak FISAT………….. 61.Tampilan hasil perhitungan nilai mortalitas alami dari persamaan empris

Pauly dengan menggunakan perangkat lunak FISAT………..

62.Grafik persentase rekrutmen rajungan jantan, betina dan total………..

63.Frekwensi panjang karapas, ukuran pertama matang gonad (Sfm), panjang infiniti (Linf) dan ukuran layak tangkap (Lopt) rajungan jantan... 64.Tampilan hasil Perhitungan nilai mortalitas alami dari persamaan empiris

Pauly dengan mengunakan perangkat lunak FISAT……….

62 Grafik persentase rekrutmen rajungan (a) jantan, (b) betina dan (c) totak... 63 Frekuensi panjang karapas, ukuran pertama matang gonad (Stm),panjang Infiniti (Linf) dan ukuran layak tangkap (Lopt) rajungan betina………..

114

115 117 118 119

120

120 121

(28)
(29)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1.

2.

3. 4. 5. 6. 7.

Komposisi pasir, debu,liat dan kelas tekstur... Grafik hubungan fraksi substrat dan panjang rata-rata rajungan jantan dan betina... Hasil analisis regresi hubungan bahan organik dan substrat dasar perairan Analisis regresi pengaruh pH terhadap C-Organik dan N-total... Hasil analisis komponen utama (PCA) parameter substrat... Tabel rasio seks berdasarkan sampel bulanan... Persamaan hubungan panjang-lebar karapas, panjang-bobot rajungan dan nilai koefisien korelasinya...

147

148 159 163 168 174

(30)
(31)

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah rajungan (Portunus pelagicus) yang merupakan salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis penting karena permintaannya tinggi dan merupakan komoditas ekspor dengan harga yang tinggi. Tahun 2005 volume ekspor jenis crab mencapai 7 125 982 kg (DKP, 2005). Harga jual daging rajungan (rajungan kupas) dari pengumpul untuk kategori jumbo (daging utuh dari bagian dalam pangkal kaki pendayung) mencapai Rp.200 000/kg (Komunikasi pribadi dengan pengumpul rajungan di Brebes Jawa Tengah pada Maret 2011).

Rajungan hasil tangkapan para nelayan dijual pada para pengumpul (bakul). Para pengumpul ini menjual rajungannya kepada para bandar besar yang merupakan agen pembelian dari perusahaan-perusahaan besar (eksportir) rajungan. Oleh karena itu produksi rajungan sering tidak tercatat oleh petugas dari Dinas Perikanan setempat. Tidak adanya data produksi ini mengakibatkan sulitnya mengetahui besar produksi yang dihasilkan. Di lain pihak, pasar yang luas dan harga yang tinggi ini menjadi pemicu berkembangnya perikanan rajungan.

Hingga saat ini besarnya tingkat pemanfaatan dan perdagangan rajungan tidak diimbangi dengan pengetahuan tentang cara melestarikan sumberdaya tersebut. Hal ini dapat berakibat pada terjadinya penurunan stok sumberdaya rajungan. Pengetahuan tentang cara melestarikan sumberdaya rajungan dapat meliputi pengetahuan tentang berapa besar tingkat rekruitmen, berapa besar tingkat mortalitas, kapan waktu yang tepat melakukan penangkapan, berapa ukuran yang layak tangkap, berapa ukuran pertama matang gonad, dan bagaimana karakteristik habitatnya. Melalui pengetahuan-pengetahuan tersebut dapat disusun suatu pengelolaan perikanan yang tidak hanya berorientasi pada produksi tapi juga pada ekosistem.

(32)

sumberdaya perikanan terutama rajungan yang terbatas dan jumlah armada yang relatif banyak dibandingkan dengan wilayah pengelolaan perikanan yang lain. Kondisi demikian dapat mengakibatkan terjadinya tangkap lebih (over fishing) tehadap sumberdaya rajungan.

Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut (2005), menyatakan bahwa sumberdaya perikanan di wilayah perairan Laut Jawa secara umum telah mengalami tangkap lebih (over fishing). Untuk jenis krustase tingkat pemanfaatannya telah mencapai 100 %. Potensi lestari jenis rajungan belum dapat diketahui secara tepat. Komnas Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut menyatakan bahwa terdapat kesulitan dalam mengumpulkan data beberapa komoditas perikanan seperti rajungan dan kepiting karena kesulitan sehingga potensi lestarinya susah diketahui.

Salah satu penyebab terjadinya overfishing adalah dilakukannya penangkapan secara menerus oleh nelayan. Penangkapan yang terus-menerus karena ketidaktahuan mengenai fase-fase perkembangan biologis rajungan, mengakibatkan tingkat rekruitmen menjadi menurun. Menurut Widodo dan Suadi (2008) terdapat beberapa ciri yang dapat menjadi indikasi suatu perikanan sedang menuju kondisi overfishing yaitu waktu melaut menjadi lebih lama dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil, produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya/CPUE) menurun, dan ukuran organisme target semakin kecil.

(33)

penangkapan yang tidak memperhatikan fase-fase biologis rajungan serta penggunaan alat tangkap yang tidak selektif. Penyebab hal tersebut di atas diantaranya adalah pengetahuan nelayan tentang cara menjaga kelestarian sumberdaya rajungan yang masih sangat minim, sehingga mereka tidak mengetahui waktu dan tempat yang tepat untuk melakukan penangkapan dan ukuran yang layak untuk ditangkap. Selain minimnya pengetahuan nelayan, tidak adanya regulasi dari pemerintah yang tegas dan mengikat juga mengakibatkan pola perikanan rajungan tidak mengindahkan kelestarian sumberdaya dan dapat menimbulkan berkurangnya stok rajungan akibat over fishing.

Untuk mencegah terjadinya over fishing maka pemerintah harus melakukan pengendalian penangkapan dengan menetapkan daerah, waktu atau musim penangkapan dan ukuran minimum biota yang boleh ditangkap. Hal ini sesuai dengan tuntutan UU No. 31 Tahun 2004 dan UU No 45 tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 7 ayat 1 huruf (h) dan (p), dan ayat 2. Pada UU tersebut dinyatakan bahwa dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri menetapkan daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan ikan (Pasal 7 ayat 1 huruf h, ayat 2 huruf c) dan ukuran atau berat minimum ikan yang boleh ditangkap (Pasal 7 ayat 1 huruf p, ayat 2 huruf j). Undang-undang ini belum efektif berjalan karena belum ada produk hukum turunannya seperti peraturan pemerintah atau keputusan menteri yang mengatur tentang hal-hal tersebut. Namun untuk menetapkan musim dan ukuran layak tangkap serta daerah penangkapan suatu komoditas perikanan (seperti halnya rajungan), diperlukan bukti-bukti ilmiah (scientific evidents) yang dapat menjadi rujukan (konsideran) dikeluarkannya suatu ketetapan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik bioekologi rajungan secara komprehensif.

(34)

beberapa sebab antara lain daerah tesebut merupakan daerah pemijahan atau daerah asuhan yang dalam hal ini ukuran organismenya belum layak untuk dimanfaatkan atau ditangkap. Perlindungan terhadap daerah pemijahan merupakan aktivitas penting yang dapat mencegah menurunnya stok sumberdaya dengan menjamin terjadinya keberlanjutan rekruitmen.

Penambahan populasi suatu biota dipengaruhi oleh besarnya tingkat rekruitmen. Rekruitmen rajungan sangat diperlukan dalam peningkatan maupun kelestarian stoknya. Tingkat rekruitmen sangat dipengaruhi oleh keberhasilan suatu organisme dalam melakukan pemijahan. Kondisi lingkungan yang cocok akan mempengaruhi keberhasilan proses pemijahan dan perkembangan larva yang dihasilkannya.

Habitat rajungan yang baik juga akan menentukan karakteristik daerah penangkapannya. Melalui pengetahuan tentang karakteristik daerah penangkapan dan daerah pemijahan, maka dapat dilakukan pengelolaan dengan membatasi atau membagi perairan menjadi beberapa kawasan seperti zona inti pada kawasan konservasi yang merupakan daerah pemijahan, zona pemanfaatan terbatas dan kawasan pemanfaatan atau penangkapan yang merupakan habitat rajungan dewasa. Dengan pembatasan wilayah dan ukuran ini maka diharapkan tingkat rekruitmen akan meningkat.

(35)

dangkal di sekitar pantai, umumnya rajungan ditangkap oleh nelayan-nelayan kecil dengan ukuran perahu < 3 Gross Ton (GT) dengan jarak fishing ground < 4 mil. Salah satu lokasi di sekitar pantai utara Jawa yang banyak menghasilkan rajungan adalah di sekitar Kabupaten Brebes.

Pengetahuan tentang tingkat kematangan gonad (TKG) rajungan akan memperkuat informasi mengenai kapan rajungan layak ditangkap, kapan rajungan melakukan reproduksi dan ukuran pada saat pertama kali memijah. Selain hal tersebut, kajian tentang TKG rajungan yang ditangkap pada suatu lokasi juga akan membantu menentukan letak daerah pemijahan dan daerah penangkapan. Kajian biologis yang juga sangat menunjang pengelolaan sumberdaya rajungan antara lain pengetahuan tentang determinasi jenis, morfologis, pertumbuhan dan distribusi rajungan.

Dalam rangka menyelamatkan komoditi rajungan dari alam, maka aspek-aspek biologi yang menyangkut hubungan ukuran dan waktu layak tangkap dan tingkat kematangan gonad, dan aspek ekologi yang meliputi karakteristik utama habitat perlu segera diketahui.

1.2 Permasalahan

Rendahnya pengetahuan nelayan dan masih lemahnya aturan-aturan pengendalian penangkapan oleh pemerintah berkaitan dengan aspek reproduksi, ukuran layak tangkap dan tingkat pemanfaatan rajungan, mengakibatkan eksploitasi dilakukan tanpa kendali. Nelayan melakukan penangkapan rajungan sepanjang tahun tanpa memperhatikan tempat dan waktu pemijahan serta ukuran rajungan yang ditangkap. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan penelitian secara komprehensif terhadap karakteristik bioekologi rajungan yang meliputi karakteristik substrat dan kualitas air, rasio kelamin, distribusi kematangan, pola dan musim pemijahan, ukuran infinitif, ukuran pertama matang gonad, ukuran layak tangkap, rekrutmen, pertumbuhan, struktur ukuran, distribusi, mortalitas dan laju eksploitasi (Gambar 1).

(36)

perikanan tangkap yang didasarkan pada pengetahuan tersebut dapat dilakukan melalui pembatasan alat (gear restricted), pembatasan ukuran (size limit), penutupan musim (close season) dan penutupan lokasi penangkapan (close area)

yang akan membantu pelaksanaan pemanfaatan yang berkelanjutan dan bertanggungjawab (sustainable and responsible fisheries).

Gambar 1 Diagram alir kerangka berpikir.

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini secara umum adalah menganalisis karakteristik biologi, dan ekologi rajungan sebagai dasar pengelolaan sumber daya rajungan yang berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka serangkaian penelitian dilakukan dengan tujuan khusus sebagai berikut:

(37)

1. Menganalisis peranan karakteristik habitat dalam menentukan distribusi ukuran rajungan.

2. Mengevaluasi dan mengembangkan teknik determinasi TKG 3. Mengkaji aspek pertumbuhan dan rasio kelamin rajungan.

4. Menganalisis distribusi TKG dan ukuran rajungan untuk mengetahui musim pemijahan rajungan.

5. Menganalisis mortalitas dan tingkat eksploitasi

6. Mengkaji ukuran pertama kali matang gonad (size at first maturity), umur teoritis, ukuran infinitif dan ukuran layak tangkap

1.4 Kegunaan

Penelitian ini dapat berguna sebagai dasar bagi penelitian dan pengembangan baik bagi keperluan budidaya maupun pemanfaatan sumberdaya rajungan. Penelitian ini juga berguna untuk memberikan masukan kepada pemerintah untuk menerapkan peraturan tentang pengendalian stok rajungan di perairan. Hasil analisis karakteristik bioekologi rajungan dapat dijadikan bukti-bukti ilmiah (scientific evidents) dalam penyusunan suatu pola perikanan yang memperhatikan aspek-aspek biologi dan ekologi sumberdaya dengan menerapkan pembatasan ukuran (size limit), pembatasan alat tangkap (gear restricted), penutupan musim (close season) dan penutupan lokasi penangkapan (close area)

sehingga terwujud pola perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries).

1.5 Kebaharuan

(38)

2.1 Taksonomi dan Morfologi Rajungan

Rajungan merupakan salah satu jenis dari kelas crustacea yang hidup sepenuhnya di air laut. Rajungan merupakan sebutan umum di Indonesia untuk jenis kepiting (crab) dari seksi brachyura yang hidup sepenuhnya di laut sedangkan kepiting biasanya digunakan sebagai sebutan untuk kepiting yang hidup di daerah mangrove atau intertidal, dan secara awam dikenal dapat hidup di air laut dan di darat. Menurut Secor et al. (2010) perikanan swimming crab

diseluruh dunia didominasi oleh tiga spesies yaitu blue crab (Portunus trituberculatus)(50%), Portunus pelagicus (blue swimming crab) (25%) dan

Calinectes sapidus (blue crab) (25%). FAO menyebutkan rajungan dari spesies

Portunus pelagicus, Linneaus sebagai blue swimming crab. Dalam literatur asing rajungan biasa disebut blue swimming crab atau blue swimmer crab (McPherson dan Brown, 2001; Lestang et al., 2003a; Chande dan Mgaya, 2003; Josileen dan Menon, 2004 ;Xiao dan Kumar, 2004; Svane, dan Hooper,2004; Bryarsdan Havenhand, 2004). Peneliti lain ada yang menamakan blue manner crab (Potter et al. 1983) atau blue manna crab (Edgar, 1990) dan sand crab (Sumpton et al, 1994). Ada pula yang hanya menamakannya dengan sebutan blue crab (Batoy, et al. 1980). Razek et al. (2006) hanya menyebutnya dengan edible crab dan Tan et al. (1988) menyebutnya flower crab. Berdasarkan taksonomi, rajungan menurut Stephenson dan Champbell (1959) termasuk dalam :

(39)

Sub Ordo

Kelas Crustacea menurut Webber dan Thurman (1991) beranggautakan 31.000 spesies yang tersebar luas dan umumnya ditemui di habitat laut. Berdasarkan kajian Marine Species Identification Portal (2010) terdapat 22 jenis rajungan dari genus Portunus yaitu Portunus aburatsubo, P. argentatus, P.brocki, P.gracilimanus, P. gracilimus, P. haani, P. Hastatoides, P. iranjae, P. macropthalmus, P. nipponenis, P. orbitosinus, P. pelagicus, P. petreus, P. pubercesis, P. pulchricristatus, P. sanguinolentus, P. speciosa, P. suborbicularis, P. tenuipes, P. trituberculatus, P. granulatus P. yoronensis (Tabel 1). Lovett (1981) mengidentifikasi jenis lain seperti P.innominatus, P. gladiator, P. rubromarginatus, P. tweedei, dan P. longispinus. Rajungan dari genus Portunus

yang ditemukan di Indonesia adalah P. argentatus, P. brocki, P. gracilimanus, P. granulatus, P. pulchricristatus, P. hastatoides, P. macropthalmus, P. nipponenis, P. orbitosinus, P. pelagicus, P. pubercesis, P. sanguinolentus, P. tenuipes, dan P. trituberculatus. Untuk spesies P. trituberculatus tidak dilaporkan oleh Marine Species Identification Portal (2010) ditemukan di Indonesia tetapi Nontji (2007) menemukan jenis ini di Indonesia. Jenis-jenis tersebut tersebar sangat luas di berbagai perairan (Tabel 1).

Tubuh crustacean dibagi dalam bagian thoraks dan abdomen. Pada beberapa crustacea yang umum dijumpai seperti udang, lobster dan jenis-jenis

(40)

(thorachic sterna) dan lipatan abdomen yang berwarna putih. Bentuk lipatan abdomen berbeda antara jantan dan betina.

Tabel 1 Distribusi jenis rajungan dari genus Portunus.

No. Spesies Asia Afrika Australia Eropa Indonesia 1.

(41)

Gambar 2 Struktur karapas dan bagian-bagiannya (Keterangan: 1. Karapas, 2. Orbit, 3.Dahi, 4. Protogastrik, 5.Mesogastrik, 6. Metagastrik, 7. Epibrankial, 8. Lekuk Servik, 9.Meso Brankial, 10.Kardiak, 11. Pascakardiak, 12. Median Pascakardiak).

(42)

(43)

Tubuh bagian dorsoventral rata dan lebih lebar daripada panjangnya. Bentuk tubuh ini memungkinkan sebagian besar jenis crab termasuk rajungan dapat berjalan kesamping bahkan jenis rajungan dapat berenang dengan baik. Menurut Barnes (1987) jenis kepiting dari famili Portunidae memiliki kemampuan berenang paling baik jika dibandingkan krustacea lainnya meskipun termasuk organisme bentik. Di bagian anterolateral terdapat duri-duri yang berjumlah sembilan buah. Duri ke-9 merupakan duri terbesar yang terletak di sisi karapas. Seperti umumnya ordo decapoda rajungan memiliki 5 pasang kaki jalan (periopod), dan satu diantaranya berubah menjadi cheliped atau capit yang berfungsi menangkap mangsanya. Kaki jalan ke-5 dimodifikasi menjadi kaki pendayung yang berfungsi untuk berenang (Barnes,1987; Webber dan Thurman 1991) (Gambar 4). Pada Seksi Brachiura, uropoda biasanya tidak ada, abdomennya direduksi dan menempel dengan kuat di bawah torak atau dada (Hegner dan Engemann, 1970; Barnes,1987; Oemarjati dan Wardhana, 1990; Webber dan Thurman 1991). Tepat dibawah karapasnya terdapat beberapa organ penting seperti gonad, insang, kelenjar pencernaan dan jantung.

(44)

Menurut Nontji (2007) ada beberapa jenis rajungan yang biasa ditemui di

Indonesia seperti rajungan (Portunus pelagicus), rajungan bintang (Portunus sanguinolentus), rajungan angin (Podopthalmus vigil) dan rajungan

karang (Charybdis feriatus) (Gambar 5). Rajungan bintang (P. sanguinolentus) dicirikan dengan terdapatnya tiga titik besar pada karapasnya. Ciri ini yang menjadi salah satu kunci identifikasinya (Lovett, 1981). Karena keberadaan tiga titik ini maka rajungan ini dalam literatur asing dikenal dengan sebutan three spot crab (Nicholson, et al, 2008; Rasheed dan Mustaquim, 2010). Ciri menonjol dari rajungan angin (Podopthalmus vigil) adalah ukuran tangkai matanya yang panjang hampir menyamai lebar karapasnya. Ukuran karapas relatif kecil jika dibandingkan jenis lainnya. Rajungan karang (Carybdis veriatus) mudah dikenali dari ornamen pada karapasnya yang menyerupai bentuk palang, dan warna karapasnya yang merah-kekuningan.

Gambar 5 Morfologi beberapa jenis rajungan.(A) Rajungan (Portunus pelagicus), (B) Rajungan Bintang/three spots crab (P. sanguinolentus), (C) Rajungan Angin (Podopthalmus vigil), (D) Rajungan Karang (Charybdis feriatus).

2.2 Distribusi dan Preferensi Habitat Rajungan

(45)

keberadaannya terbukti dari beberapa penelitian yang telah dilakukan. Beberapa Penelitian di daerah tropis telah dilakukan antara lain oleh Sukumaran dan Neelakantan (1996), Josileen dan Menon (2004) yang mengambil sampel di pantai India, Chande dan Mgaya (2004) dengan mengambil sampel di perairan Pantai Dareel Salam Tanzania,, Batoy, et al. (1980) yang mengambil sampel di perairan Pilipina. Klinbunga et al.(2004) dan Oniam et al.(2010) di Thailand; dan Parluhutan (2007) mendapatkan sampel rajungan di Laut Jawa; Adam et a.l

(2006), dan Arshad et al. (2006) mengambil sampel di perairan Sulawesi. Efrizal (2006) mendapatkan sampel penelitiannya dari perairan Port Dickson Negara Sembilan Malaysia. Maheswarudu, et al. (2008) mengambil sampel di Perairan Palk Bay India. Sumiono dan Priyono (1989) melakukan survai rajungan dengan alat tangkap trawl di perairan Laut Jawa, Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Barat Sumatera dan Irian Jaya, bahkan Sumiono dan Priyono (1989) menemukan rajungan pada seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia.

Penelitian pada daerah subtropis dilakukan antara lain oleh Smith (1982) di Australia Selatan, Sumpton et al. (1994) di Teluk Moreton Queensland Australia pada kordinat 27oLS dan 153oBT., de Lestang et al. (2000), Nalan Go¨ ko, et al. (2003) yang mengambil sampel rajungan diTeluk Antalya Turki. Foka (2004) menemukan rajungan di Rhode Islands. Svane dan Hooper (2004), de Lestang, et al. (2003b), Bellchambers dan de Lestang (2005) mengambil sampel rajungan di Estuari Peel-Harvey di barat daya Australia pada kordinat 32o32’ LS dan 115o47’ BT, Bryars dan Havenhand (2006), Xiao dan Kumar (2004) mengambil sampel di Teluk Spencer dan Teluk St.Vincent Australia Selatan. McPherson dan Brown (2001) mengoleksi sampel penelitiannya dari estuari Hawkesbury River di utara Sydney. Yokes et al. (2007) menemukan spesies

Portunus pelagicus di Teluk Gökova Bay di Laut Aegean sebelah Barat Turki pada kordinat 36°56'26" LU dan 28°11'29"BT.

Berdasarkan identifikasi yang dilakukan oleh Marine Species Identification Portal (2010) dan beberapa peneliti, species Portunus pelagicus

(46)

Tabel 2 Distribusi rajungan jenis Portunus pelagicus.

Negara Wilayah Perairan Referensi

Uni Emirat Arab Selat Hormus Abu Dhabi

Stephensen (1945)* Cooper (1997)*

Pakistan Chapgar (1957)*

Saudi Arabia Laut Merah Klunzinger (1913)*

Yaman Teluk Aden Parisi (1916)*

Mesir Suez dan Massana Kossmann (1877)*

,Parisi (1916)*

Zanzibar Barnard (1950)*

Mozambique Inhambane, Beira dan Delagon Bay

Barnard (1950)* Afrika Selatan Durban Bay & Natal Barnard (1950)*

Madagaskar Crosnier (1962)*

India Bombay, Karwar, dan Okha

Pantai Barat Daya India Jepang Teluk Tokyo & Kochi

(47)

Gotto-Ginowan Okinawa Shokita et al (1998)*

I-Lan, Lan-Yu, Kaohsiung, Peng-Ho.

Papua Nugini Stephenson (1972)*

Caledonia Baru Noumea Stephenson (1972)*,

Takeda & Nunomura (1976)*

Australia Double Island

(48)

Southport(Queensland), Coffs Harbour-Bateman’s Bay, Teluk Spencer (Australia Selatan), Cape Bossut, Roebuck Bay, Exmouth Gulf, Fremantle (Australia Barat), Port Essington, Darwin, Groote Island & Sir Edward Peelew Group ( Australia utara). Teluk Moreton Chambell & Stephenson (1970)*

Svane & Hooper (2004);de Lestang et al

(2003b); Bellchamber & de Lestang (2005) Bryars & Havenhand (2004);

Xiao& Kumar (2004). Griffin (1972)* Selandia Baru*

Tahiti*

Tanzania Dar El Salam Chande &Mgaya (2004) Turki *Referensi diambil dari Marine Spesies Identification Portal (2010).

(49)

bertahan pada suhu yang relatif lebih dingin di lingkungan selatan Australia dengan mengurangi aktivitas. Menurut Razek (1988); Holtius (1987) dalam Nalan Go¨ ko, Dlua, dan Py´ nar Yerlikayaa (2003) spesies ini tersebar pada kedalaman 10-60 m di pantai Mediteranian dan Afrika.

Menurut Moosa (1980) jenis kepiting dan rajungan di Indopasifik barat berjumlah mencapai 234 jenis. Sedangkan di Indonesia ada sekitar 124 jenis dan 4 diantaranya dapat dimakan. Menurut Dahuri (2003) terdapat lebih dari 1 502 spesies crustacea, 83 spesies diantaranya termasuk jenis udang dari suku Penaeidae dan 5 spesies dari kelompok kepiting atau rajungan.

Rajungan hidup pada habitat yang bermacam-macam seperti pantai dengan dasar pasir, pasir lumpur, berpasir putih atau pasir lumpuran dengan rumput laut di pulau-pulau karang dan di laut terbuka. Menurut Nontji (2007), rajungan dewasa hidup di dasar perairan sedangkan stadia larva dan megalopa berenang terbawa arus dan hidup sebagai plankton. Habitat rajungan adalah perairan dengan dasar pasir berlumpur. Selain pada daerah dengan substrat pasir berlumpur beberapa jenis kepiting juga menempati daerah berbatu atau karang seperti jenis

Charybdis feriatus yang biasa disebut rajungan karang. Menurut Kennish (1990) kepiting dari jenis Callinectes sapidus dan Uca pugilator menjadikan ekosistem

salt marsh sebagai habitatnya. Berbagai jenis crab merupakan organisme yang hidup pada dasar perairan (bentik) (Barnes dan Hughes, 1992). Rajungan juga terdapat pada habitat lamun dan rumput laut yang tersebar luas dan pada substrat lumpur dan pasir dari zona intertidal sampai pada kedalaman mencapai 50 m (Williams, 1982; Edgar, 1990).

Rajungan dewasa mampu menempuh jarak hampir 20 km per hari (Kangas, 2000). Baik dewasa maupun juvenil P. pelagicus menempati lingkungan dasar pantai yang terlindung dan betinanya bermigrasi ke laut lepas untuk memijah dan kembali ke estuari selama beberapa waktu setelah memijah. Baik jantan maupun betina bermigrasi dari estuari sebagai reaksi rendahnya salinitas (Potter et al.1983).

(50)

tinggi untuk menetaskan telurnya. Setelah stadia larvanya terlewati rajungan muda bermigrasi kembali ke daerah hulu estuari. Menurut Herrnkind (1983) rajungan dari Famili Portunidae ini menempati zona litoral pada perairan laut tropis maupun subtropis. Blue crab biasanya menempati daerah litoral pada saat air pasang untuk mencari makan, kawin, moulting dan akan kembali ke laut (offshore) ketika surut.

Menurut de Lestang et al.(2003b) sejumlah besar Portunidae sering memasuki estuari sebagai juvenil dan tinggal di habitat ini untuk waktu yang panjang. Meskipun betina portunidae kadang-kadang ditemui di estuari namun beberapa individu keluar dari perairan itu (emigrasi) menuju perairan laut untuk melepas telur-telurnya. Sebaliknya individu-individu portunidae yang menempati pinggiran laut ini sering tidak meninggalkan lingkungan laut ini untuk memijah dan pada keadaan terdapat perbedaan salinitas, rajungan memijah pada daerah dengan salinitas tinggi pada daerah/sistem tersebut.

Pada perairan pantai rajungan yang lebih kecil ditemukan pada perairan lebih dangkal sedangkan yang dewasa ditemukan pada perairan lebih dalam. Juvenil rajungan terdapat pada daerah mangrove dan hamparan lumpur (mud flat) selama 8 sampai 12 bulan hingga mencapai ukuran lebar karapas 80-100 mm. Di selatan Australia ada perbedaan pola pergerakan musiman rajungan dewasa menuju perairan lebih dangkal pada bulan-bulan lebih hangat yaitu September sampai April dan menuju perairan lebih dalam selama bulan-bulan dingin yaitu Mei sampai Agustus (Smith,1982).

2.2.1 Fraksi Substrat

(51)

Menurut Purohit dan Ranjan (2003), ada beberapa kelompok tekstur berdasarkan persentase komposisi pasir (sand), lumpur (silt) dan liat (clay) (Tabel 3).

Tabel 3 Klasifikasi tekstur berdasarkan kandungan pasir, lumpur dan liat (%).

Kelompok Tekstur Pasir Lumpur Liat

Pasir

Umumnya perairan yang dekat dengan daratan memiliki substrat dengan ukuran partikel yang lebih besar dibandingkan dengan perairan yang lebih jauh dari daratan. Partikel-partikel sedimen yang lebih besar dan lebih berat akan lebih cepat mengendap sedangkan partikel yang lebih kecil akan lebih lama mengendap dan terbawa arus menjauhi daratan. Pergerakan masa air yang lebih dinamis di estuari mengakibatkan partikel sedimen yang kecil cenderung terbawa lebih jauh dari daerah tersebut sehingga pada daerah estuari umumnya memiliki partikel dasar relatif lebih besar.

2.2.2 Suhu

(52)

memiliki salinitas semakin besar dengan berkurangnya suhu. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Peningkatan suhu dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas seperti gas-gas O2,

CO2, N2 dan CH4. Kondisi biologi laut juga sangat dipengaruhi oleh kondisi suhu

perairan seperti proses metabolisme, reproduksi, migrasi dan distribusi. Suhu air merupakan faktor penting dalam kehidupan organisme laut.

Perubahan suhu lingkungan dapat mengakibatkan perubahan laju metabolisme. Peranan suhu sangat menonjol dalam metabolisme organisme laut. Hampir semua organisme laut kecuali burung-burung dan mamalia laut bersifat poikilithermik atau ektotermik yang berarti suhu tubuhnya dipengaruhi oleh suhu massa air sekitarnya. Pada umumnya organisme yang tidak dapat mengatur suhu tubuhnya, proses metabolismenya meningkat dua kali untuk tiap peningkatan suhu sebesar 10oC (Nybakken, 1988).

Proses metabolisme hanya berlangsung dalam kisaran suhu yang relatif sempit, biasanya antara 0-40oC walaupun ada yang mentoleransi di luar kisaran tersebut (Nybakken,1988). Di dalam kisaran suhu dimana proses-proses kehidupan berlangsung, metabolisme bergantung pada suhu. Pada beberapa kasus perubahan suhu berfungsi sebagai faktor pertanda suatu rangsangan alami yang menentukan dimulainya beberapa proses seperti pemijahan, migrasi dan sebagainya. Kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air memperlihatkan peningkatan dengan naiknya suhu yang selanjutnya dapat meningkatkan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10oC dapat meningkatkan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebesar 2-3 kali lipat (Effendi, 2000; Nybakken, 1988; McLarent 1966 dalam Parsons et al. 1984).

(53)

Fakta-fakta tentang luasnya sebaran rajungan baik di daerah tropis maupun subtropis telah mebuktikan bahwa rajungan termasuk organisme eurytermal yang dapat beradaptasi pada rentang suhu yang sangat besar. Suhu merupakan faktor penting dalam distribusi, aktifitas dan pergerakan rajungan.

Di bagian barat daya Australia pada musim panas rajungan dapat ditangkap dengan mudah karena rajungan aktif tetapi pada musim dingin rajungan tidak aktif (Kangas,2000). Meagher (1971) dalam Kangas (2000) menemukan selama penelitian di laboratorium bahwa rajungan tidak aktif pada suhu di bawah 13oC, sementara jantan lebih aktif dari betina pada suhu antara 13oC dan 21oC. Meskipun tidak aktif pada suhu kurang dari 14oC namun kecepatan pergerakannya tidak terganggu apabila secara buatan dibangkitkan pada suhu lebih dari 9oC. Pergerakan rajungan dapat terjadi pada musim dingin dari perairan lebih dangkal (lebih dingin) ke perairan lebih dalam. Terdapat penurunan jumlah rajungan di estuari barat-daya Australia selama musim dingin ketika salinitas dan suhu perairan menurun pada tingkat terendahnya yaitu dibawah 25 ppt dan 10oC. Di Laboratorium Smith dan Sumpton (1989) menunjukkan bahwa aktivitas rajungan menurun ketika suhu air turun di bawah 20oC.

2.2.3 Salinitas

Toleransi organisme terhadap perubahan salinitas berbeda-beda. Setiap organisme memiliki salinitas optimum untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Pada siklus hidupnya, rajungan melakukan migrasi dari daerah yang memiliki salinitas relatif rendah seperti di estuari menuju perairan lebih dalam dengan salinitas lebih tinggi dan sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa rajungan memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan salinitas.

(54)

salinitas didefinisikan sebagai total jumlah material padat dalam gram yang terlarut dalam satu kilogram air laut ketika semua karbonat telah dikonversi menjadi oksida, brom dan iod diganti dengan klorine dan seluruh bahan organik telah teroksidasi secara penuh. Definisi ini dipublikasikan pada tahun 1902 (Stewart, 2002). Biasanya satuan salinitas adalah ppt atau part per thousand

(Pond dan Pickard,1989; Barnabe dan Barnabe-Quet, 2000; Stewart, 2002) atau psu (practical salinity units) (Stewart, 2002). Air laut memiliki salinitas 38 ppt artinya dalam satu liter air laut terkandung komponen garam sebesar 38 gram (Nybakken, 1988; Stewart, 2002). Menurut Stewart (2002) kisaran salinitas sebagian besar air laut antara 34.6 sampai 34.8 ppt.

2.2.4 Derajat keasaman (pH)

Nilai pH menggambarkan konsentrasi ion-ion hydrogen; pH = - log 10 [H+]. Nilai pH menunjukkan keasaman dan alkalinitas air, dengan skala dari 0-14. Pada skala antara 0-7 air menunjukkan asam, pada skala 7 air netral dan pada skala di atas 7 menunjukkan air bersifat basa (alkalin) (Charton dan Tietjen, 1988). Nilai pH air laut bervariasi antara 7.9 dan 8.3 bergantung wilayahnya (Barnabe dan Barnabe-Quet, 2000). Kimia lingkungan sangat dipengaruhi oleh pH, sebagai contoh keseimbangan antara NH4+ dan NH3 dalam air dipindahkan

menjadi bentuk NH3 yang sangat toksik bagi organism air ketika pH meningkat.

Organisme air memiliki kisaran pH optimum untuk mempertahankan hidupnya. Air yang tidak toksik pada pH 6.7 dapat membunuh hewan-hewan pada pH 8. Keseimbangan pH bergantung pada interaksi-interaksi yang lain, terutama pada sistem CO2-Karbonat dan pH mengatur kekayaan karbonat air.

2.2.5 Kedalaman

(55)

mengindikasikan bahwa terdapat preferensi rajungan terhadap kedalaman. Rajungan ditemukan pada kedalaman hingga 60 m (Razek ,1988); Holtius (1987)

dalam Nalan Go¨ ko, et al. (2003) menyatakan bahwa spesies ini tersebar pada kedalaman 10-60 m di pantai Mediteranian dan Afrika. Rajungan juga terdapat pada zona intertidal sampai pada kedalaman mencapai 50 m (Williams, 1982; Edgar, 1990). Foka et al (2004), menemukan rajungan pada kedalaman 2 m. Yokes et al.(2007) menemukan rajungan pada kedalaman 0.5 m.

2.2.6 Bahan Organik

Keberadaan bahan organik sangat penting bagi kehidupan rajungan. Rajungan merupakan organisme bentik yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan bahan organik. Sumber bahan organik bisa berasal dari perairan itu sendiri (autochthonous) maupun disuplai dari ekosistem lain (allochthonous). Bahan-bahan organik di air hadir dalam bentuk makluk hidup dan sisa-sisa organisme (bangkai, humus, debris dan detritus) baik dalam ukuran partikel besar, kecil dan terlarut. Bahan organik dalam bentuk partikel biasanya dikenal dengan istilah POM (particulate organic matter) sedangkan yang terlarut dikenal dengan DOM (dissolved organic matter) (Parsons et al. 1984:Mc. Naughton dan Walf,1990).

Particulate organic matter (POM) yang berasal dari lapisan euphotic

merupakan sumber makanan utama bagi organisme bentik. Kecepatan tenggelam partikel bergantung pada asal, komposisi dan ukuran partikel. Ketika tenggelam melewati lapisan air, partikel-partikel tersebut dirubah melaui proses grazing, degradasi mikrobial dan proses-proses kimiawi. Proses-proses ini mempengaruhi nilai nutrisi partikel-partikel tersebut yang umumnya menurun selama proses tenggelam (Boetius dan Lochte, 1994).

Partikel-partikel besar umumnya dimakan oleh hewan-hewan besar seperti ikan, crustacean (termasuk rajungan), moluska dan sebagainya, sedangkan hewan-hewan filter feeder memakan partikel-partikel berukuran kecil. Dekomposer seperti bakteri memanfaatkan bahan organik dalam bentuk terlarut.

(56)

dasar yang memakan sisa-sisa organisme berupa bangkai, humus , debris dan detritus.

2.3 Siklus Hidup Rajungan

Secara umum siklus hidup rajungan melalui beberapa fase yaitu telur, zoea, megalopa, rajungan muda dan rajungan dewasa (Gambar 6). Larva rajungan yang baru menetas disebut zoea dan memiliki bentuk berbeda dari rajungan dewasa. Zoea memiliki ukuran mikroskopik dan bergerak di dalam air sesuai dengan pergerakan arus air. Setelah 6 atau 7 kali moulting, zoea berubah menjadi bentuk post-larva yang dikenal sebagai megalopa yang memiliki bentuk mirip rajungan dewasa. Sebagian besar megalopa bersifat planktonis dan dipengaruhi oleh sirkulasi arus di dasar perairan hingga akhirnya menetap (settle) dan bermetamorfosis menjadi rajungan muda.

(57)

Menurut Charnmantier-Daures dan Charnmantier (1991) secara umum jumlah fase zoea pada portunidae bervariasi antara 4-7.

Gambar 6 Siklus hidup rajungan dan habitatnya. (Sumber : Nyabakken dan Bertness, 2004).

Jantan dan betina umumnya mencapai kematangan kelamin pada ukuran lebar karapas 70-90 mm, ketika umurnya mendekati satu tahun. Jantan dan betina akan membentuk pre-korpula selama 8-10 hari sebelum ecdysis betina. Setelah

ecdysis betina, ketika betina memiliki cangkang yang lunak terjadi kopulasi selama 6–8 jam (Meagher, 1971). Musim pemijahan dilewati selama 3-4 bulan melewati periode musim panas/gugur. Durasi musim pertumbuhan bervariasi antar individu, karena rajungan yang menempati (settling) pada awal musim panas akan memiliki waktu pertumbuhan lebih lama dibandingkan yang menempati pada pertengahan atau akhir musim panas. Di perairan Australia Selatan rajungan mencapai ukuran legal minimal (110 mm) pada umur mendekati 14-18 bulan, telah matang kelamin dan betina telah memproduksi paling tidak dua kantong telur dalam satu musim (Kumar et al. 2003)

(58)

karapas sekitar 15 mm. Juvenilnya bergerak ke perairan lebih dalam untuk tumbuh dan matang. Juvenil umur satu tahun bergerak keluar dari estuari pada musim dingin di inlet Peel-Harvey di dekat Mandurah bagian barat Australia dan menuju perairan lebih dalam pada musim panas di Selatan Queensland.

Rajungan jantan yang matang melepaskan cangkangnya (moulting) beberapa minggu sebelum periode moulting betina. Rajungan jantan membawa seekor betina yang dijepit dibawahnya selama 4 sampai 10 hari sebelum betina moulting. Ketika rajungan jantan menjepit rajungan betina ini disebut sebagai ”berpasangan” atau coupling. Perkawinan terjadi setelah betina moulting dan ketika cangkangnya masih lunak. Sperma disimpan secara internal dalam

spermatheca tetapi pembuahan terjadi secara eksternal. Telur-telur yang telah dibuahi diletakkan dalam bagian abdomennya dan memiliki bentuk seperti busa atau sponge. Rajungan betina yang menggendong telur-telurnya yang telah dibuahi diistilahkan dengan sponge crab. Edwards (1979) dan Kumar et al. (2003) mengistilahkannya dengan berried female. Sumpton et al. (1994) menyebutnya

ovigerous female. Telur pada ovigerous female yang masih muda berwarna oranye dan secara bertahap berubah menjadi coklat dan hitam.

Rajungan jantan dapat kawin dengan sejumlah betina pada saat musimnya. Rajungan betina dapat mengerami sampai 2 juta telur per kantongnya. Pemijahan rajungan terjadi sepanjang tahun baik di perairan tropis maupun sub tropis meskipun betina lebih sering memijah pada musim kering di perairan tropis dan dimusim semi di perairan sub tropis.

(59)

rajungan berukuran kecil yaitu dengan lebar karapas < 30 mm, penentuan jenis kelamin dilakukan dengan pengamatan mikroskopik untuk memastikan apakah

pleopod-nya menembus setae, apabila demikian maka berarti memiliki jenis kelamin betina (de Lestang et al., 2003b).

2.4 Tingkat Kematangan Gonad

Menurut Edwards (1979), identifikasi terbaik untuk melihat kematangan seksual rajungan betina adalah dengan melihat tiga karakteristik utama yaitu (a) keberadaan telur pada abdomen, (b) keberadaan sperma dalam spermateca dan (c) kematangan gonad. Keberadaan telur pada abdomen mengindikasikan bahwa telur-telur tersebut telah dibuahi dan berarti betina telah matang. Williamson (1904), diacu dalam Edwards (1979) mempelajari organ seks betina pada Cancer pagurus, menggambarkan bagaimana suatu cairan diproduksi dari kelenjar menuju spermateca, mengalir ke dalam organ perkawinan betina ketika organ perkawinan dimasukkan. Pada penarikan kembali organ seks jantan, cairan ini mengeras ketika bersentuhan dengan air laut untuk membentuk suatu struktur putih yang menyumbat lubang oviduct. Indikator kematangan seksual pada rajungan yang umumnya diamati adalah kematangan gonad pada individu betina dan keberadaan sperma pada saluran sperma pada individu jantan. Tingkat kematangan gonad berhubungan erat dengan tingkat reproduksi organisme. Pada saat hendak melakukan pemijahan, rajungan memiliki berat gonad maksimal dan akan menurun setelah pemijahan (Effendie, 1997).

(60)

gonad pertama kalinya. Tiap-tiap spesies memiliki ukuran yang berbeda pada saat pertama kali matang gonadnya.

Sumpton et al. (1994) membagi TKG rajungan betina menjadi lima tingkatan berdasarkan penampakan morfologi dengan melihat warna dan tingkat okupasi gonad pada daerah hepatik yaitu:

Tingkat 1. Gonad tidak matang, putih atau transparan

Tingkat 2. Gonad menuju matang, berwarna kuning/oranye terang, tidak menjulur ke dalam daerah hepatik (hepatic region).

Tingkat 3. Gonad dalam proses matang, warna kuning/oranye tidak menjulur/melebihi daerah hepatik

Tingkat 4. Gonad matang, kuning/orangye gelap, menjulur kedaerah hepatik.

Tingkat 5. Ovigerous, betina membawa telur-telur yang matang penuh (telur-telur berwarna pucat sampai kuning gelap) pada bagian luar tubuhnya/abdomen.

Menurut Smith (1982) rajungan mencapai kematangan pada usia satu tahun. Ukuran dimana terjadi kematangan bervariasi dan bergantung pada lintang dan pada individu bergantung lokasi. Rajungan jantan matang pada lebar karapas 85-157 mm. Levinton (1982), menyatakan bahwa secara umum waktu reproduksi bagi invertebrata laut berhubungan dengan perubahan suhu musiman dan siklus bulan. Faktor suhu menentukan siklus musiman gametogenesis dan mendekati waktu pemijahan. Faktor siklus bulan menjadikan organisme memijah pada waktu yang sesuai dengan kondisi pasang atau menjadikan suatu mekanisme bagi seluruh populasi untuk memijah secara simultan dan menjamin fertilisasi yang maksimal. Peranan suhu dan musim telah nyata dalam siklus reproduksi. Gametogenesis dan pemijahan biasanya berhubungan dengan perubahan musim dan suhu kritis yang berkontribusi bagi permulaan pemijahan.

(61)

Gambar 7 Siklus gonad musiman secara umum pada invertebrata laut (Levinton 1982).

2.5 Ukuran Pertama Matang Gonad

Kematangan atau maturity menurut Oxford Dictionary of Biologi yang ditulis oleh Hine dan Martin (2004) didefinisikan sebagai suatu tahap pada suatu siklus hidup yang dicapai ketika suatu organsme berkembang mencapai bentuk dewasa dan mampu melakukan reproduksi. Ukuran pertama kali matang gonad menjadi sifat biologi penting yang dipertimbangkan untuk mengetahui pola reproduksi sumberdaya perikanan dan sistem pengelolaannya. Chullasorn dan Martosubroto (1986) memasukkan sifat ini dalam menentukan sifat biologi penting sumberdaya perikanan pantai di Asia Tenggara, namun belum dilaporkan untuk sumberdaya rajungan. Ukuran pertama kali matang gonad dipengaruhi oleh pertumbuhan dan kondisi lingkungan yang berpengaruh pada pertumbuhan serta strategi reproduksinya. Terdapat perbedaan ukuran pertama kali matang gonad pada berbagai jenis organisme perairan. Menurut Effendie (1997) ukuran pertama matang gonad dipengaruhi oleh jenis dan pada jenis yang sama dipengaruhi oleh posisi lintang habitatnya. Perbedaan lebih dari 5o lintang dapat mempengaruhi ukuran dan umur pertama kali matang gonad pada ikan.

1 1

4

5

6 2

3 Amplitudo

Durasi

Periode reproduksi

1.Gonad istirahat 2.Pengaktifan 3.Gametogenesis 4.Gonad matang 5.Pemijahan

(62)

Ukuran pertama kali matang gonad juga dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan ukuran layak tangkap. Ukuran layak tangkap menjadi hal yang sangat penting dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan. Dalam pedoman tata laksana perikanan yang berkelanjutan (code of conduct for responsible fisheries) yang dibuat FAO (1995) mensyaratkan negara pantai untuk menetapkan ukuran layak tangkap dari sumberdaya perikanan yang dimilikinya. Hal ini juga dicantumkan dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan dan UU No. 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No.31 tahun 2004. Pada UU tersebut dinyatakan bahwa dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri menetapkan ukuran atau berat minimum ikan yang boleh ditangkap (Pasal 7 ayat 1 huruf p, ayat 2 huruf j). Froese dan Binohlan (2000) mengkaji panjang pertama kali matang gonad (length at first maturity) dan menghubungkannya dengan panjang optimum dan panjang asimtut.

2.6 Makanan dan Kebiasaan Makan

Rajungan merupakan biota karnivora pemakan dasar, memakan berbagai macam invertebrata sesil dan bergerak lambat (Williams, 1982). Menurut Kangas (2000) Rajungan merupakan organisme oportunistik, karnivora pemakan dasar dan skavenjer. Diet utamanya terdiri dari berbagai invertebrate sesil dan yang bergerak lambat termasuk moluska bivalve, cacing polikaeta, dan crustacea (Edgar, 1990). Hall (1999) menyatakan bahwa rajungan (Portunus pelagicus) merupakan jenis scavenger yang dominan di teluk Moreton Queensland Australia yang memakan material buangan (discard) dari aktivitas trawling. Charton dan Tietjen (1988) mendefinisikan organisme scavenger sebagai hewan-hewan yang memakan organism-organisme mati, termasuk di dalamnya adalah bakteri yang merupakan scavenger terkecil.

(63)

bervarisi secara musiman bagi juvenil di daerah intertidal (Mortimer dan Connell, 1995).

Chande dan Mgaya, (2004) mengamati isi perut 3948 rajungan yang dikumpulkan dari perairan dangkal sublitoral Kunduchi Pantai Darussalam Tanzania dan mendapatkan makanan utamanya meliputi moluska (51.3%), crustaceans (24.1%), tulang ikan (18%) dan makanan yang tidak teridentifikasi (6.6%). Makanan dominan adalah bivalva ordo Mytiloida dari jenis Arcuatula arcuatula. Hasil penelitian de Lestang, et al. (2000) menemukan bahwa 47-55% isi perut rajungan berisi bahan-bahan cangkang kerang dan polikaeta. Komposisi diet rajungan lebih dipengaruhi oleh tahapan moulting dibandingkan dengan ukuran tubuh.

Rajungan memiliki sifat kanibal terutama pada ukuran relatif kecil. Penelitian oleh Marshall et al. (2004) menunjukkan bahwa rajungan dengan ukuran lebar karapas ≤ 60 mm lebih rentan daripada yang lebih besar, berdasarkan indikasi kelangsungan hidupnya. Kanibalisme banyak terjadi terutama pada masa peralihan moulting (intermoult). Selain akibat kanibalisme rajungan juga merupakan mangsa bagi beberapa organisme. Rajungan merupakan mangsa (prey) bagi organsme lain. Llanes, et al. (2008) menemukan keberadaan rajungan dalam diet sejenis burung elang Pharaoh Eagle-Owl (Bubo ascalaphus) di Abu Dhabi, Uni Emirate Arab.

2.7 Pertumbuhan

Gambar

Tabel 1  Distribusi jenis rajungan dari genus Portunus.
Gambar 3  Bentuk dan ornamen karapas rajungan (Portunus pelagicus) jantan
Gambar 5  Morfologi beberapa jenis rajungan.(A) Rajungan (Portunus pelagicus),
Tabel 2  Distribusi rajungan jenis Portunus pelagicus.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Karakteristik Protein dan Asam Amino Daging Rajungan ( Portunus pelagicus ) Akibat Pengukusan ” adalah karya

Sesuai dengan hasil penelitian oleh Boos dan Arauo (2018) dimana rajungan betina banyak ditemukan pada daerah perairan yang dalam.. Rajungan yang sedang bertelur banyak

Tidak ada perbandingan yang nyata antara nisbah kelamin rajungan jantan dan betina yang tertangkap selama penelitian, struktur ukuran rajungan yang tertangkap selama

146 Tujuan dan manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu mengestimasi biommassa sumberdaya rajungan di Betahwalang; mengestimasi nilai maximum sustainable

Ukuran bobot rajungan betina berkisar antara 13,0-85,0 g/ekor dengan rata-rata 41,87 g/ekor, simulasi hubungan panjang bobot menunjukkan adanya pertumbuhan yang bersifat

Metode yang digunakan adalah metode swept area untuk menentukan biomassa dari rajungan dan wawancara dengan nelayan arad untuk menentukan pemanfaatan nilai

Berdasarkan hasil pengamatan isi lambung pada kelas ukuran dewasa dari 19 individu rajungan terdapat empat kelompok makanan yang terdiri dari moluska (bivalvia),

Hal ini sesuai dengan penelitian Sari 2016, yakni semakin tinggi penambahan kon- sentrasi tepung cangkang rajungan, maka kadar air kerupuk sagu akan semakin menurun, dikarenakan tepung